Kuasa Kata, Puasa Kata
Sekelumit Tentang Estetik, Sedikit Perihal Artistik
SEBUAH pertanyaan harus kuajukan pada diri saya sendiri untuk memulai tulisan ini. Mengapa saya menulis sebagian besar cerita-cerita saya justru pada saat saya kehilangan pekerjaan?
Saya tidak tahu persis jawabannya. Tetapi saya hanya bisa merasakan dampaknya. Inilah kirannya persoalan pribadi saya, yang dil luar dugaan saya, telah bnyak menlahirkan karya-karya yang kemudian bukan lagi menjadi persoalan pribadi saya. Pendeknya telah berkembang jauh menjadi problem keilmuan dalam hal ini sastra.
Kurang lebih apa yang saya rasakan kemudian, saya memilih sebagai kepanjangan tangan “kecintaan” pada diri sendiri. Tidak sulit bagi saya untuk menulis sejumlah kisah sepanjang saya menyakini diri saya sendiri telah mengetahui kodratnya, takdirnya, duduk perkaranya, perannya, misterinya, perkembangan kembara alam pikirannya, bacaan mutakhirnya, lalu teror-teror yang menghantuinya semisal salah satunya soal pekerjaan itu tadi.
Selebihnya, proses kreatif kepengarangan saya terdesak oleh usah saya selama bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, sekurang-kurangnya lima tahun berkecimpung di dunia jurnalistik serta sekitar tujuh tahun mendalami sastra di Universitas Airlangga. Sebab itu kepengarangan saya tentu saja tak luput dari pengalaman hidup saya.
Seperti saya katakan, “cinta” pada diri saya sanggup menggerakkan kepengarangan saya setidaknya sampai saat ini. Terbukti dengan kesanggupan saya mengumpulkan cerita-cerita ini dalam satu buku agar saya bisa meluaskan pandangan keilmuan saya ke khalayak lebih luas.
Maafkan, bila cinta yang saya ketengahkan tanpa bermaksud mengurangi tabiatnya, telanjur diadopsi sebagai anak pungut yang sayang sekali sering diberi beban makna yang sangat klise. Suatu hal yang mustahil saya lakukan sebagai seorang ilmuwan dan manusia yang menerti akan kodratnya selaku individu yang kreatif.
***
MENULIS sastra bagi saya adalah suatu upaya menjaga diri, memahami diri agar tak kehilangan hak milik saya sebagai manusia. Semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan. Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata. Mungkin semacam molekul, partikel, atau gelombang abstrak yang bertukar tempat, silih berganti wujud, tarik-menarik tanpa henti.
Saat itulah tak sulit untuk merondai pikiran dengan menempatkan dirinya pada tirai puisi. Tidak terlalu susah membiarkan otaknya memutar balik pandangan tentang pikiran dalam semesta. Semesta telah dirangkumnya dalam satu gerak pikiran besar. Tidak bersusah payah berkat kata dalam puisi, yang menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Sebaliknya ia telah menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata.
Ya, ia membabtiskan kata itu seperti manusia juga. Seperti partikel, seperti gelombang abstrak. Sebab itu meskipun ia tahu begitu banyak, jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, seperti juga manusia ia tahu bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu kerendahatian untuk berjanji. Juga janji sebagai pengarang memperlakukan kata seperti halnya terhadap manusia. Begitu sebaliknya akan menghormati manusia seperti halnya angkat topi terhadap kata.
Betapa ia tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menjadi pembunuh berdarah dingin yang menghabisi manusia, seluruh semesta, membantai sesama kata dan bahkan membunuh dirinya. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang bersih dan jujur.
Pendek kata sebagai pribadi, sebagai pengarang, sebagai ilmuwan dan sebagai manusia, saya berjanji akan menemukan dan melahirkan kebersihan dan kejujuran kata dalam kepengarangan saya kelak. Kata sendiri belum pernah diperlakukan semulia roh dasarnya.
Jadi satu-satunya amanah pengarang itu terletak pada kemuliaan dan kewajibannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu, sama halnya kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia di semesta ini. Seperti laiknya partikel, dan gelombang abstrak lainnya semacam kabut tipis di selaput jagad.
Maafkan, bukan maksudnya ini menggambarkan kerja Tuhan dalam wujud manusia, partikel, atau gelombang abstrak. Melainkan karena tidak ada Bahasa yang paling mendekati artinya kecuali demikian.
***
DI SINILAH lantas saya mendapatkan bentuknya ke dalam “kisah” yang rasa katanya berbeda dengan “cerita pendek.” Cerita pendek kurang kesanggupannya memboyong segala kemungkinan kata karena tabiat kata yang sudah ditentukan padanya—kurang ajar, purba, tidak saja seperti anak yang lahir yatim piatu tanpa bapak dan ibu, tetapi juga sombong dan tak mengakui manusia. Ia hanya tahu manusia, pengarang, penyair itu ada. Tapi dia hidup di dunianya sendiri yang sama sekali asing dan barangkali punya kitab sendiri, nabi-nabi sendiri.
Nenek moyang cerita pendek telanjur menangkap mereka dan memeliharanya dalam satu kandang peternakan. Mengurung mereka, membebani, mencuci otaknya dan kemudian menggiringnya satu-satu menuju pembantaian sebalum akhirnya dijadikan santapan lezat empat sehat lima sempurna oleh manusia.
Sebab itu, sebagai bagian dari dirinya sendiri, “kisah” lebih mendekati takdirnya kendati dia sendiri masih diberi pilihan untuk menentukan dirinya sendiri. Dia bisa hidup serumpun dengan dongeng, serumah dengan hikayat. Atau bisa jadi mengajaknya kucing-kucingan dengan mencari resep-resep keagungannya. Sebagaimana keduanya bisa menakjubkan makhluk manusia.
Kisah menjadi dunia yang amat cerdas, liar, kreatif tapi di lain waktu bisa kolot, malas atau sumeleh sebagai bentuknya. Inilah takdir yang telah dilunasi setidaknya hingga saat ini. Ia seperti manusia juga, yang tak sanggup mengajar kesempurnaan kendati Tuhan telah menciptakannya sebagai makhluk yang paling sempurna. Secara fisik ia bisa cacat bisa pula sehat jasmani, ciri ataukah berbadan perkasa. Bukankah lebih terhormat, lebih mulia, lebih arif bila kita memanusiakan mereka seperti kenyataan sesungguhnya? Manusia utuh sebagaimana wakil pencipta di bumi ini?
Sastra adalah sastra. Apabila kita terkurung pada penilaian wadag-nya, tentu kita jatuh sebagai pembaca yang memandang sebelah mata dan cenderung sebagai sosok bertabiat keji yang menganiaya sastra. Kisah-kisah saya bisa lahir dalam bentuknya serupa puisi bukan karena berpura-pura meminjam tabiat puisi. Atau persis sketsa karena garis-garis fisualnya dia curi dari seorang perupa. Bilapun mirip nukilan karya drama tak lantas berperan jadi karakter lain, wujud lain. Bukan.
Saya kira apologi itu semua justru melepaskannya dari ruh sastra sebagaimana galibnya yang musti percaya diri, “kreatif,” berani, bebas, sadar diri tengah menarikan tarian semesta di lautan kata. Entah itu ia dalam keadaanya yang terkendali atau sedang dikendalikan oleh suatu kekuatan yang di luar dirinya, tapi ia yakini sebagai imamnya, penciptanya. Kadang-kadang ruh sastra itu tak peduli benar dirinya bermakna atau tidak. Tapi pertanyaan itu tak pernah diajukan padanya yang telah tahu tujuan hidupnya. Kedengarannya hanya serentetan bunyi. Kelihatannya cuma bayang-bayang. Kesannya seperti tanpa pesan. Sebaliknya bukan mustahil di belakang itu malah tersimpan pikiran besar, arti yang gemilang dalam perjalanan hidupnya. Spirit hidup yang luar biasa di tengah lautan kata meskipun dalam kenyataannya di negeri ini dalam penggunaannya, kata-kata demikian keruhnya, tidak orisinil, kerdil dan kosong. Kendati entah di kedalaman lautan kata atau di pinggiran pesisir pantai perawan, saat ini terus diuji oleh sastrawan-sastrawan dengan jiwa besar.
Kebesaran jiwa sastrawan-sastrawan seakan mutlak diperlukan dan terus diupayakan mendekati pemaknaannya, yang menurut saya kurang lebih serupa takdirnya, nasibnya, spirit hidupnya, kegelisahannya. Serupa dengan kata. Sebagai pengarang saya sadar berada di sepanjang ruang dan waktu. Sebagai pengarang saya tidak akan mencari jawab apalagi untuk menemukannya. Karena naluri kepengarangan saya mengungkapkan hal itu akan sia-sia. Saya hanyalah diberi hak untuk mengajukan pertanyaan, bujur rayu, kebijakan filosofis, dalam bentuk seindah mungkin, sedahsyat mungkin agar seolah saya kelak mendapat jawaban pasti atas segala tanya dan mengakhiri kegelisahan saya.
***
MENGARANG bagi saya adalah menipu diri sendiri. Sampai di sini saya percaya berkat pengorbanan yang meski tak istimewa tapi perlu dengan jiwa besar seperti itu, sanggup mempertahan diri, menahan diri dengan puasa agar senantiasa melakoni sebagai manusia yang kreatif semestinya atas nama Sang Pencipta.
Saya harus menipu diri untuk meraih kegelisahan hidup kepengarangan saya selanjutnya, kebingungan saya berikutnya. Kedengarannya memang naïf, dan gila. Saya harus gagah hidup miskin, di tengah kemiskinan di lautan kata, samudera Bahasa di negeri ini, yang fatalnya juga masih hidup susah karena serba terjerat kemiskinan, juga terlilit utang.
Dengan demikian segala kemungkinan bisa terjadi sekalipun ini paling tidak mungkin. Menjadi makhluk yang karena keterbatasannya sanggup menjangkau ketakterbatasannya. Menjadi sesuatu yang biasa demi menuju yang luar biasa. Berada di suatu peristiwa kecil tapi menjadi dahsyatnya. Sesuatu yang seringkali sia-sia, tak tersentuh tetapi sesungguhnya betapa luas maknanya. Atau sesuatu peristiwa besar yang semula percuma, kemudian disederhanakan agar selanjutnya enak dibaca dan perlu.[]
S. Jai
Kediri, 1 Juli 2007