Membaca “Racun Tembakau” Chekov
Oleh S. Jai
GEBALAU info perang melawan nikotin, sudah merambah pelbagai ranah. Mulai dari aspek sosial, agama, politik, dan utamanya kesehatan dikuliti habis di media massa. Namun belum satupun yang menembus wilayah budaya, dalam hal ini kesenian.
Barangkali memang terasa ganjil. Meski kenyataan menyebutkan, masalah bahaya racun tembakau—ada dan tiadanya pembahasan dari sudut pandang kesenian—terbukti tak bisa mungkir dari keganjilan. Setidaknya pro-kontra. Artinya, seniman juga budayawan itu seperti halnya manusia biasa pada umumnya, bisa terkait dengan asap bertuan dari lokomotif rokok.
Kendati bukan tanpa alasan, diantara miskinnya karya sastra berlatar bahaya asap rokok, “Racun Tembakau” karya sastrawan Rusia Anton Chekov menarik untuk dibaca kembali, dimaknai lagi. Sastra berbentuk monolog drama ini telah menjadi klasik dan menjadi popular di negeri ini dekade 1970-an, melalui terjemahan Jim Adhi Limas dari judul asli On the Harmful Effects of Tobacco.
Tak kurang sebelum menjadi raja monolog, Butet Kertaradjasa musti menguji diri lulus dulu menampilkan lakon ini pada eranya. Bahkan komunitas teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) musti berkali-kali menggarap naskah tipis ini, untuk menjamin actor-aktornya bermutu, meski terbilang dari naskah sederhana.
Anton Chekov, yang disebut-sebut bapak cerpen adalah satu dari sekian sastrawan realis Rusia yang kehidupannya tidak menyenangkan. Banyak dugaan sebagian besar karyanya adalah pengalaman kepahitan hidupnya. Anton Chekov yang lengkapnya
Anton Pavlovich Chekhov (29 Januari 1860 – 15 Juli 1904) adalah seorang penulis besar Rusia yang terkenal terutama karena cerpen-cerpen dan dramanya. Banyak dari cerpennya dianggap sebagai apotheosis dari bentuk, sementara dramanya, meskipun hanya sedikit - dan hanya empat yang dianggap besar- mempunyai dampak yang besar dalam literatur dan pertunjukan drama.
Justru kehebatan “Racun Tembakau” berawal dari kesederhanaannya.
Dikisahkan, Ivan Ivanovich Nyukin, seorang suami bercambang panjang tapi dipingit. Bininya punya sekolah musik partikelir dan indekos buat anak perempuan. Ivan perokok berat beristri seorang pekerja atas nama sosial dan amal. Pria yang selalu merasa tertekan oleh istrinya itu, diminta ceramah tentang bahaya racun tembakau di sidang komunitas ilmiah. Tugas itu bukanlah soal bagi kerja Ivan.
Sebaliknya, persoalan justru milik Ivan. Diantaranya, ia perokok berat dan telanjur tahu bahaya rokok. Lalu bawah sadarnya kuat mendesak untuk mengisahkan kebenciannya pada istri dan keluarganya. Ivan mengaku ada yang meracuni jiwanya, seperti halnya rokok meracuni hidupnya. Dia mau bebas tapi tidak bisa. Dia hanya jadi tokoh penganjur yang tidak jujur pada dirinya sendiri.
Demikianlah, tampaknya menjadi penganjur adalah kepribadian paling mutakhir manusia masa kini untuk selamat meski hal itu bukanlah hidup yang sebenar-benarnya bagi dia. Hidup yang serba palsu (kalau semuanya palsu, untuk apa tetap berlalu?).
(MELIHAT PADA ARLOJINYA) Waktunya sudah habis. Kalau di….ditanya istri saya, saya mohon, saya mohon dengan sangat, jawablah bahwa pemberi ceramahnya…bahwa si Gendeng saya maksud saya sendiri, telah melakukan tugasnya dengan sopan. (LIHAT KE PINGGIR BATUK-BATUK) Istri sedang memandang saya (SUARA DIPERKERAS) Setelah kita bertitik tolak dari pola bahwa tembakau mengandung racun yang jahat, seperti tadi saya uraikan, maka hendaknya kebiasaan merokok harus dihapus. Dan omong-omong, saya mengharapkan sekali, bahwa ceramah saya mengenai Bahaya dari Tembakau ada manfaatnya bagi hadirin sekalian. Sekian.
Sastra “Racun Tembakau” ini berusaha menyingkap problem kejiwaan manusia modern. Yakni manusia yang menggugat dimana batas-batasnya dari pelbagai konflik kejiwaan? Antara lelaki dan perempuan, masalah pribadi dan keilmuan, kepribadian dan hilangnya kepribadian, keluarga dan masyarakat, juga masalah ingatan akan masa lalu dan hari depan. Masalah merokok bisa jadi adalah pemantik. Namun, bukan mustahil justru menjadi ruang yang luang, bagi seorang yang sangat peka, memiliki masalah kejiwaan yang akut dan komplek seperti terjadi pada tokoh Ivan Ivanovich Nyukin.
Artinya, ketika membaca kembali “Racun Tembakau,” ada estetika yang unik bisa dikembangkan di situ, yakni “estetika mempersulit diri” dari setiap soal sederhana perjalanan hidupnya. Semacam sentimentalia, meski bukan berarti percuma. Barangkali, alam bawah sadarlah, ruang yang luang untuk mengembangkan estetika paling sulit ini. Yakni samudera jiwa yang selama ini abai karena serbuan nalar-nalar yang sangat cerdas. Trauma pun tak pelak jadi puncak pencapaian alam bawah sadar yang penting diziarahi. Sedang peluang lain ada pada mitos, agama, dan kepercayaan tokoh dalam menjalani kesulitan hidupnya.
Estetika “mempersulit diri” lebih mengarah pada upaya mengeksplorasi trauma jiwa sampai batas ujung terjauh mungkin. Sebagai metoda pencarian kemungkinan-kemungkinan bahasa sastra hingga puncak keindahan sonder menafikan sisi kemanusian, baik terhadap masyarakat, keluarga—istri dan anak-anak, juga sudah barangtentu agama. Di sinilah, dalam membaca kembali “Racun Tembakau” di era yang sama sekali lebih mungkin ketimbang masa sastra itu ditulis Chekov.
Ruang maya situs, dan kecanggihan teknologi modern memungkinkan menggali informasi social, ekonomi, kesehatan dan agama lebih dalam lagi. Kendati, membaca sastra “Racun Tembakau” tetap dalam kerangka sastra yang mengedepankan kemanusiaan yang universal, sekalipun dengan semangat Realisme-Sosialisme.
Tokoh Ivan sanggup mengurai bahaya racun tembakau tak hanya karena asap rokok mengandung 4000 zat kimia beracun yang berbahaya bagi tubuh. Tapi juga angka kematian 456 perokok dalam setiap jam. Yang paling hangat, harian Kompas (3/9) menurunkan Dirjen WHO Margaret Chan dalam buku WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2008 mengingatkan pada abad 20, epidemi tembakau telah membunuh 100 juta penduduk dunia dan pada abad 21 ini jika tak ada upaya serius dapat membunuh 1 miliar orang. Tahun ini diperkirakan 5,4 juta kematian akibat rokok, lebih banyak dibandingkan gabungan kematian akibat TBC, HIV/AIDS, dan Malaria.
Bukan sesuatu yang muskil, tokoh Ivan saat sekarang adalah seorang penulis cerita, pengkotbah, pengrajin esei, peneliti, wartawan, profesi lainnya, atau orang biasa lainnya yang juga perokok yang ”dipaksa” berceramah perihal bahaya rokok. Ketika, Chekov menulis adegan ”Racun Tembakau” berupa amarah pada jas tuanya yang sering dipakai ceramah-ceramah, sampai muntahlah kemarahan pada diri, di luar teks sangat mungkin terjadi hal lain.
(DENGAN KASAR MEMBUKA JASNYA) yang selalu musti aku pakai buat beri ceramah-ceramah pada kesempatan-kesempatan amal. Rasain lu! (MENGINJAK-INJAKNYA). Rasain! Aku tua, melarat, sengsara seperti jas tua ini, dengan punggungnya yang tembel-tembel,…
Di luar teks bisa terjadi peristiwa, deretan setiap huruf yang tersusun rapi di keybord komputer yang dibuang pengarang ke bak sampah, dan tercecer di lantai. Sebelum akhirnya dipunguti lagi untuk melanjutkan cerpen ini. Lantas pengarang mencabut dengan kasar sebatang nyala rokok yang terjepit di antara dua bibir kasarnya. Lalu dia buang tepat di bawah kaki sendiri. Sambil mengumpat dia berkata, ”Rasakan hei puntung laknat! Kuinjak-injak kau! Rasain! Aku tua, melarat, sengsara, menderita. Aku sudah nyaris habis menghisap kamu tapi kamu tak habis-habisnya menghisap aku.”
Berlanjut dengan pengakuan pengarang, yang sederhana, sebagai lelaki yang hanya ingin mendapat hidup yang bersih, tidak dihisap. Kalaupun menghisap itu karena dia membutuhkan kenikmatan. Sebagai lelaki, pengarang itu mengaku punya kehormatan untuk mendapatkan hidup yang bersih, tidak terus-terus dihisap, dan mengumpulkan penyakit di tubuhku.
Begitulah, membaca kembali ”Racun Tembakau” pun jadi punya gambaran bahwa mungkin yang dihisap atau menghisap itu adalah istri, atau sudah barangtentu juga adalah rokok dan bukan pengidap penyakit AIDS. Andaikata pengarang itu adalah penulis, barangkali akan tertulis penutup karangannya seperti ini:
Maaf, pembaca, istriku sepertinya mau memeriksa cerpenku. Kalau anda ditanya, kumohon katakan, ”Cerpen ini hanya untuk dibaca para perokok karena di tubuhnya dibenamkan 4000 racun asap rokok.” Bagi yang bukan perokok mustahil paham cerita ini. Sekian. []
Surabaya, 3 September 2008