S. JAI
GURAH
Yang Tak Sempat Dikubur
(BAG-2, TAMAT)
(Sebagian fragmen Novel ini pernah dimuat harian sore Surabaya Post pada edisi Pebruari hingga Mei 2005 dibawah judul Tak Sempat Dikubur)
TUJUH
SIMPANG SOCIETET
Satu
MUNGKIN Cuma bisa dihitung dengan jari saja, bila seorang anak bisa melihat sebilah pensil besar berdiri tegak di tengah kota. Selain karena tak masuk akal, soal yang ini tampaknya hanya dimiliki imaji anak yang punya problem dengan sekolahnya.
Banyak sudah anak-anak sekolah, apalagi bagi penduduk kota. Tapi tentu saja tak semuanya suka girang dengan kebiasaan menulis kapur di papan tulis hitam berdebu, atau meraut pensil patah matanya, menyapu bolot hitam di atas kertas karena penghapus di kaki pensil itu. Tak semuanya betah dengan kebiasaan saban hari seperti itu. Selain karena jemari tangan jadi pegal, sudah barang tentu juga menjijikkan bercampur liur yang menetes dari ingus yang tergenjet tak tahan mengendus. Karena nasib buruk di depan kelas mati kutu dengan juding 65) bambu di tangan, bibir tak mau bersuara, otak bisa berjalan, gigi gemeretak kaku, lidah ngilu bila harus diperintah menceritakan gambar-gambar di kertas buffalo, atau kelamin menegang kencang Karena arus darah yang mengalir ke otak tiba-tiba, mendadak sontak mengucur deras ke kantung kemih dan menggenangi ubin kotak-kotak ruangan kelas.
Sebagai anak-anak, entah bagaimana bisa terjadi air dalam tubuhnya masih harus berbagi dengan tangis yang manganak sungai di sudut-sudut matanya. Ternyata bisa terjadi dan pelajaran itupun luput tak terkendali. Setelah sekian tahun duduk manis di meja jati kelas berbaur debu sisa kapur tulis dan penghapus di sebut bantal tikus itu, hanya dua benda berdiri tegak yang kini benar-benar terpendam dalam benak Biru Langit: Kelamin sendiri dan buah pensil yang tiruannya besar-besar berdiri tegak di tengah kota persis depan kantor gubernuran yang diobrak-abrik karena bermaksud hendak dibangun sebuah museum—ambisi yang mengkhawatirkan bisa menteror pensil di benak Biru Langit.
Betapa kenangannya akan tenggelam oleh bangunan-bangunan yang memendam tubuhnya. Empang-empang di sisi gedung saja sudah menghalangi sorot mata anak-anak yang lewat. Kendaraan-kendaraa yang penuh sesak melukai pemandangan jantung kota. Satu-satunya harapan bagi anak-anak yang ingin menikmati ujung runcing buah pena itu bila parak pagi saban hari minggu. Saatnya terbuka pasar murah, bazaar untuk pedagang kaki lima. Rekreasi baru untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Taman kota itu mendadak disulap jadi pasar kaki lima dengan warna-warni barang dagangannya dari sandal jepit, sepatu hingga gesper bermata, dari celana belel, jeans, mantel hingga jas murahan plus tangan bawel penjaga stan, rujak cingur, es buah, semanggi, ketoprak mataraman. Semua tersedia di tempat rekreasi kawasan lain di Gembong ini—tempat tengah kota yang cukup menggiurkan dan menggairahkan para penjaja uang. Di situ tersedia segala barang bekas, semuanya dagangan berwujud barang bekas, segala wujud barang. Barangkali terkecuali manusia bekas.
Tak cuma itu, seolah pensil raksasa itu juga diapit, di peluk kekasih lainnya karena tepat di sebelah barat badut-badut yang menutup tubuhnya, ada pasar buku bekas. Bertempat di sepanjang pesisir jalan yang sama sekali aneh karena bukanlah milik kota ini. Namanya, Semarang. Persis membelakangi stasiun termegah di kota ini, Pasar Turi karena lokasinya berpelukan dengan pasar Turi. Jalannya sempit, bila melenggang di jalan ini, nyaris terhimpit dan tergenjet roda kendaraan angkot dan emperan dasaran pemilik toko buku bekas. Sebetulnya tak terlampau besar, mungkin karena sudah demikian dikenal, apalagi di jalan yang namanya demikian aneh, maka jadilah keunikan. Lebih unik dari toko serupa yang lebih sempit di kawasan Blauran. Semarang menjadi tempat tersendiri di hati para pemburu buku bekas. Ya, sudah pasti jadi sumber pengetahuan baru mahasiswa, pelajar maupun sarjana-sarjana yang haus akan ilmu pengetahuan. Bukan tidak masuk akal bila tempat ini cepat melambung, mengangkasa, meski sempit tapi menjanjikan .
Bersebelah dengan pasar burung dan mebel-mebel berwarna khas, para pemburu ilmu tak cepat dibuat bosan. Tak hanya deru kendaraan yang masuk telinga pengunjung tapi juga dentuman kereta bermesin lokomotif dari stasiun terbaik kota ini. Dan sudah barang tentu para pencopet ikut menikmati serbuan suara itu. Begitulah jalan inijadi demikian terbuka. Sempit dan demikian kenyang sosok, penghuni, tamu. Sesekali dua kali Biru Langit menyempatkan dating ke sana. Berlibur, menguji nyali, menyelami samudera dan memburu dirinya sendiri yang dirasanya hilang. Masih ingat ketika pertama kali dating, ia terombang-ambing tanpa tujuan. Dia hanya berdiri kemudian duduk, jongkok, atau bungkuk. Kemudian berdiri lagi, duduk lagi dengan sorot mata ke sana-kemari sampai ke bawah meja gelap atau rak buku yang terhimpit di sela-sela selangkangan para pemburu.
Ya, ketika pertama kali datang ke sana masih tergiang di jidat Biru Langit dirinya berakhir terdampar dan terjepit di sela-sela buku tebal yang tua di rak buku paling sempi. Dirinya tak bisa bergerak. Dirinya baru bisa keluar setelah ditarik kuat-kuat oleh sebuah buku entah siapa penulisnya dan entah apa judulnya, dan bagaimana hurufnya. Yang jelas seingatnya itu buku paling tebal yang pernah dilihatnya. Karena sanggup membongkar tumpukan lainnya dengan ganasnya. Karena dialah Biru Langit selamat. Berkat buku tebal berwarna merah itulah Biru Langit bisa berkenalan dengan banyak orang, berkawan dengan banyak ragam dan bergurau dengan banyak pernyatan, berargumentasi dengan banyak pertanyaan, bahkan berdebat dengan makhluk-makhluk yang menyamar malaikat. Mula-mula berkenalan dengan Centini dan tak keberatan dibawa pulang. Mahabarata, Seribu Satu Malam, Sindhunata, Naquib Mahfudz, Umar Kayam, Bumi Manusia, Mochtar Lubis, Pramudya Ananta Toer, Al Ghozali, Camus. Mereka-mereka ini sosok-sosok tua yang nakal dan dipaksa untuk dibawa pulang. Begitu nakalnya terkadang kurang ajar, tak peduli mengamuk, murung dan tak sedikit yang sama sekali sulit dimengerti kelakuannya. Di jalan yang sumpek itu pula Biru Langit berkenalan dan dekat dengan Ali Syariati, sebelum ia tertembak ujung pelor kaki tangan penguasa barat.
Semenjak itu dia pun tahu betapa kuliah-kuliah saudara Ali Syariati ini menyiratkan sikap hidupnya sebagai seorang pejuang. Betapa kemudian terpikir menjadi pejuang itu tidak gampang, menjadi seniman tidak mudahdan menjadi pemimpin juga sulit. Semenjak perkenalannya dengan sosok itu Biru Langit merasa beruntung lantaran perlahan-lahan tapi pasti dirinya menggenggam sebilah kunci. Dirinya bersikeras cepat-cepat menyiapkan sesuatu yang menurut pikiran sosok yang baru dikenalnya itu bernama ideologi, pandangan dunia dan masdzab berpikir. Berpijak dari posisinya di tempatnya berdiri di jalan sempit berbaur asap kendaraan angkot, lantas dia bayangkan dan renungkan. Dirinya berpikir tidak ada kata yang paling tepat untuk melukiskan sikap hidupnya kecuali ada sesuatu pengalaman pahit yang musti dipompa untuk diperjuangkan.
Lalu sederet lagi ungkapan paling pas karena memang seperti saudara kandung kata-kata menakjubkan itu. Yakni banyak hal musti dilawan, dihancurkan seperti berhadapan dengan sebentuk raksasa yang bayangannya jatuh kemana-mana. Biru Langit berdiri mengaku dirinya orang yang tidak berbekal apa-apa selain niat baik sebagai makhluk Tuhan. Kedahsyatan pernyataan-pernyataannya hingga kalimat-kalimat terakhir mengingatkan Biru Langit pada sosok Ibu. Lebih dari itu sanggup menggemuruhkan nyali dan spirit untuk menaklukkan puncak-puncak hysteria hidup yang ada dalam aliran darah dan pori-pori kulitnya. Melebihi kedahsyatan gemuruh perut bawahnya yang kosong dan yang hanya berisi seteguk dua teguk air yang mengalir di usus-ususnya. Gelegar itu berlayar dari waktu ke waktu dan tenggelam oleh batok kepala yang pening, mata yang redup. Kepala ini serasa tak berisi apalagi teraliri darah—darah segar yang didorong oleh jantung yang hanya berjarak beberapa puluh centi saja. Begitu berat seolah tersumbat, atau berangkali tersesat karena begitu banyak lorong-lorong yang harus dijelajahi. Biru Langit seperti sedang tak menginjakkan kaki dan kepala ini entah sedang terbuang melayang. Kemanakah? Tak terurus dan dibiarkannya menerawang awang mendekati langit-langit yang menghentakkan imajinasinya. Matanya redup tak mempu mempertontonkan gairah di dalamnya, siapakah sebenarnya ini? Tubuh siapakah gerangan? Ruh hidup yang mana lagi yang memerangkap pemilik jantung dan kepala dan perut kosong ini? Satu-satunya yang tersisa di dalamnya laki-laki Biru Langit merasa menyimpan satu titik nyala api, di tengah samudera dan di kejauhan terlihat di sudut-sudutnya telah berlabuh perahu-perahu nakal. Dia bermaksud meraihnya batang perahu itu, tapi karena tak kuasa, sebaris pesan senada amarah melompat. Pergilah kemana kau suka!
Dalam perjumpaan berikutnya, Biru Langit berjumpa dengan sosok yang bertubuh besar, tambun, yang kemudian hari ia satu-satunya pelukis Semar di kota ini. Namanya Dwi Ja. Memang pada kesempatan pertama ia tak mengungkap tentang pilihan objek Semarnya. Akan tetapi cerita pelukis semar itu perihal ibunyalah yang mengesankan Biru Langit. Dia menjadi kader Partai Sosialis termuda di kota ini yang cukup dekat dengan tokoh dan budayawan gaek Gathot Kusumo. Demi menceritakan perihal ibunya, si pelukis Semar itu rela mengisahkan bagaimana ikwal dirinya sebelum mendekam sebulan lamanya di bulan Januari 1974 yang kemudian hari disebut-sebut sebagai peristiwa Malari.66)
“Di Surabaya saya orang PSI termuda, dan mulut saya yang nggak mau diam membuat saya cepat menyakinkan orang. Saya betul-betul kader PSI. Tokoh-tokoh PSI Surabaya pun begitu cepat mengkader saya ini anak muda yang masih segar, brilian dan berani. Begitu peristiwa Malari meledak, saya dijemput di rumah oleh provost. Inilah hebatnya. Saya punya ayah mayor tentara biarpun tentu ia bukan mengajar saya untuk berani. Tapi mengajari saya untuk jadi seniman. Ibu saya yang mengajari saya berani menghadapi kenyataan, mengambil resiko. Waktu saya ingat provost menyodorkan surat penangkapan, “Dik, anda diundang ke kantor. Ini Suratnya,”
“Ya, Pak. Boleh saya makan dulu?”
“Silakan.”
Selama makan itulah, si pelukis Semar menuturkan bagaimana dia mendengar apa kata ibunya kepada provost.
“Kenapa harus anak saya?”
“Ibu tidak ikhlas?”
“Ikhlas. Karena bapak telah mengajari untuk bertanggungjawab membela yang benar.”
Sampai di tahanan apa yang terjadi? Sang calon pelukis itu hanya mendengar kepalan tangan tentara yang diletakkan di permukaan meja. Setelah itu hanya ada pesan, “jangan ceritakan apa-apa yang terjadi di sini ya, dik.”
“Saya tidak bisa diam, Pak.” Katanya.
Mengingat ibu, yang hadir di dada Biru Langit adalah rasa sakit dan rasa sakit yang sudah lama berdiam di tubuhnya menyebabkan Biru Langit punya kebiasaan aneh: Rekreasi ke rumah sakit. Karena itu meski ia belajar ilmu politik di Universitas Airlangga, dia tidak senang bertutur tentang kampusnya. Sebaliknya, ia lebih memilih bertutur tentang rumah sakit. Suatu kebetulan bila baginya Rumah Sakit Karangmenjangan berada di komplek kampus Universitas Airlangga. Dari ruang kuliahnya hanya berjarak berberapa langkah kaki saja. Sebaliknya bukan karena di balik bangunan dan gedung tempat orang sakit itu ada Profesor Doktor Dokter Maryuhan Kurnia, ahli bedah plastik yang anaknya menyukai Biru Langit. Bukan.
Jadi memang baginya rumah sakit adalah tempat yang mengasyikkan. Betapa baginya berjalan di lorong-lorong rumah sakit seperti bermain kubus-kubus petak umpet semasa kanak-kanak. Bedanya, di kanan kiri lorong di bingkai pintu sal ada tubuh-tubuh yang sedang menunggu nasib dari tangan dingin penguasa rumah sakit. Melenggang di lorong rumah sakit berbeda dengan meluncur di jalan raya. Tak ada sirine, tak ada rem, tak ada kecelakaan, tak ada tronton pengangkut semen. Tapi kereta dorong, roda kursi, tiang infus, sandal ganjil dan tentu saja si tokoh kita malaikat berbaju serba putih melintas tanpa ada yang sanggup menghalangi langkahnya dengan tumit yang bersi putih. Lalu para penunggu nasib yang sabr menggelar tikar bersimpuh di ubin lembab sembari jemari tangan memutar-mutar kipas dari serat bambu warna-warni atau dari daun pandan. Ah, pemandangan yang terlampau biasa memang, tapi mengisyaratkan hubungan makhluk yang benar-benar manusiawi, karena semuanya diperankan oleh manusia. Ada korban, penderita, malaikat dan bahkan Tuhan. Tak perlu biaya mahal bagi siapapun untuk menyelinap ke sana, kecuali ongkos parkir. Itu kalau tidak mau atau kepingin berurusan dengan dengan geng-geng penguasa lahan setempat cukup merogoh kantong keluar sedikit recehan. Tapi tidak bagi Biru Langit.
Dengan mengayuh sepeda pancal hasil jerih payah yang ia beli dari honorarium tulisan di Koran, berbekal seuntai kunci pengaman dan ia pun bebas ongkos parkir yang entah lari kemana duitnya itu. Begitulah, tidak disangka baginya sepeda pancal itu sebuah jalan menuju kenikmatan tanpa biaya. Itu pun kalau tak ingin diusik lagi oleh sepeda dan kunci karatannya, Biru Langit bisa meninggalkan di rumah kontrakannya yang tak seberapa jauh di Menur. Cukup dengan melintas beberapa langkah menyisir kali kecil di belakang rumah dengan menutup lubang hidung lantaran baunya yang bacin dan warnanya menghitam pekat. Sekitar sepuluh menit kemudian tembus jalan Dharmawangsa dan akhirnya leluasa ke rumah sakit. Lima atau tujuh menit kemudian, atau dirinya bisa memutar melewati kedai tuak terkenal dengan tong-tong penyimpan minuman berarak itu hingga tembus gedung bioskop kelas tiga di pasar Kalidami. Bila rela mengayunkan langkah kaki dari tempat itu ke arah utara sepuluh menit kemudian tembus ke lorong-paling senyap di kawasan rumah sakit: kamar mayat—tempat paling disukai Biru Langit bila berlibur di sana, nyaman dan pemandangannya sangat menarik, bukankah mengingatkan kampung halamannya berikut keanehannya lantaran bersebelahan dengan kuburan?
“Ah, tampaknya ini suatu gejala yang amat berbahaya. Aku harus hati-hati karena bila tidak, aku bisa jatuh ke lubang putus asa. Dan tempat ini sudah begitu amat dekat dengan tubuhku saja. Semoga nyaliku tidak,” pikir Biru Langit bermaksud melempar jurus bila saban kali menlintas di kawasan itu. Ini seringkali terjadi bila depan emperan kamar mayat itu sepi tak ada sepotongan pun tubuh manusia yang masih bernafas. Ia cukup kerap terbantu bila penjaga kamar mayat yang berwajah sejuk dengan di temani beberapa laki-laki bertampang dingin bermain catur seperti hendak mencari makna hidup dalam dirinya. Saat itulah nyali Biru Langit sebagian tumbuh dari bidak catur untuk bedrjuang dan sisanya dari penjaga kamar mayat dan laki-laki bertampang dingin untuk mencari makan hidup saat terjangkit panyakit sepi. Nyali yang tidak pernah diadapatkan dari emperan atau di balik jendela kamar kontrakannya yang rindang.
Di petak-petak kamarnya yang senyap dan nyaris pengap itu, kerapkali di sebukkan ulah mahasiswa-mahasiswa yang menekan-nekan keyboard komputer portable si Juned, si Bagong yang kesehariannya lengket dengan kartu-kartu dan meramal nasib setiap calon korbannya dan berakhir dengan nasibnya sendiri, atau si kutu buku karena tidurnya berebut tempat dengan buku dan saban hari tertimbun tumpukan buku-buku tebalnya yang ambrol dan sama sekali tak pernah diketahui Biru Langit buku apa yang suka dilahapnya. Mungkin ensiklopedi, mungkin diktat-diktat kuliah, barangkali juga kamus-kamus asing, atau bisa jadi komik-komik lama dan usang karena kertas-kertasnya yang cuil dan mengotori sprei. Dan itu baru diketahui saat menjelang siang dikibaskan persis di muka pintu kamar Biru Langit. Dan yang paling tak pernah lupa meski hampir tak pernah berbicara dengannya adalah sosok kutu busuk lantaran hobinya tidur sepanjang jam itu. Betapa tidur adalah kebutuhan hidupnya, melebihi kebutuhannya terhadap makan. Apalagi akan ilmu pengetahuan.
Dua
SIANG yang pengap itu perjumpaan dan perkenalan Biru Langit dan seniman Ipong berlanjut. Kalimat ini sesungguhnya tak tepat betul karena yang sebenarnya terjadi, seniman Ipong memperkenalkan pada Biru Langit kehidupan yang lain, bergaul dengan orang-orang yang sering nongkrong di kawasan Simpang. Persisnya di komplek Balai Pemuda. Ini masih dugaan. Sebab belum terungkap betul maksud gamblang si seniman Ipong. Sebagian yang lain yang ditangkap Biru Langit, perjumpaan keduanya kali ini lebih karena keinginannya untjuk mengenalkan diri dengan seorang politikus Bintang Sakti. Kebingungan sikap Biru Langit seperti ini lebih karena didorong perasaan kehati-hatiannya. Tak mengapa. Toh meski tak sedekat calon kekasihnya, perkenalan dengan seniman Ipong adalah persoalan baru dan kin oleh seniman itu pula persoalannya ditambah dengan misteri baru nama politikus Bintang Sakti.
Sekali lagi tak mengapa. Lebih dari itu Simpang menjadi sesuatu yang sama sekali baru bagi kehidupannya. Bertempat di sudut komplek kawasan itu, diutarakanlah maksud seniman Ipong sebelum dipertemukan dengan politikus Bintang Sakit. Baru kemudian ia tahu di bawah pohon nangka yang rindang itulah kawanan anak muda di kawasan Simpang itu sering beradu gagasan berbagai macam ragam persoalan. Sejak kesenian hingga persoalan social, politik sampai perdagangan. Idealisme hingga mencari makan. Seperti syair sebuah lagu penyanyi Leo Kristi, “Surabaya tak bertepi, dimana tepianmu?” Ya, begitulah dia menjadi halte tempat persinggahan berbagai kepentingan. Syair-syair menggelitik penyanyi Sujarwoto Sumarsono, 67) kebanyakan juga lahir dari pinggir Kalimas itu. Drama-drama hebat macam Dian dan si jenius dramawan Basuki Rachmat dengan adaptasi-adaptasi nakalnya asal penulis Jerman. Pun kegarangan aktor aktor Bawong SN, juga si flamboyan Franky dulunya banyak menghabiskan waktu di bawah pohon nangka ini. Lalu apa itu artinya lagi sebatang tubuh Biru Langit? Jelas tidak ada. Sepenggal arti yang cukup dia tahu hanyalah sebatang pohon nangka itu. Bagi orang Jawa sebatang pohon nangka memang bisa berarti symbol penting untuk persaudaraan, kekeluargaan. Diakui atau tidak, meski sering diungkap dengan peribahasa yang sangat sinis “tak ikut makan buahnya tapi belepotan getahnya” buah dan pohon nangka sanggup memikat cermin hidup orang wong Jowo untuk saling berbagi rasa dan karsa, bila tak salah mengelola. Setidaknya begitulah yang telah ditunjukkan orang kelahiran Ngawi si Umar Kayam. Ia telah perintahkan kepada keluarga besar Sastrodarsono dan tokoh Lantip untuk menjelaskan itu semua. Itu pun ia ceritakan menjelang lembaran-lembaran akhir karena pohon nangka bersejarah itu harus ditumbangkan dan buahnya dibagi-bagikan kepada anggota keluarga. Hanya itu. Apa yang dirasa di tempat Biru Langit kini, di tepian Kalimas ini sama sekali belum membekas. Apalagi ia malah dikejutkan selain di sini ia tak mendapatkan sambutan ramah, cuek dan terkesan angkuh. Ya, begitulah betul-betul misterius orang yang disebut-sebut Bintang Sakit. Seberapa saktikah gerangan?
Siang itu pula perburuan Biru Langit berlanjut ke toko buku loak di jalan Semarang. Ia tak punya niat yang mantap untuk membongkar kertas atau huruf-huruf paling kumal di laci rak buku atau di lubang jahanam bawah meja. Tidak. Yang pasti dalam benaknya Cuma memburu hantu, mencari tahu buku terakhir yang menyelamatkannya dari himpitan sampul paling keras di jurang paling dalam buku-buku itu. Betapa mengejutkan ketika menemukan jawaban, si penyelamat itu buku paling berat bersampul merah darah dengan ribuan halaman full color setebal lebih dari limabelas centimeter—Buku Orde Baru, alias Sukses Repelita. Ya, berkali-kali Biru Langit memegangi kepalanya. Tapi tidak karena rasa pusing. Terkejut memang. Jadi jelas ada yang salah dalam diri Biru Langit, kalau betul terkejut mengapa harus memegangi kepalanya—salah satu pertanda yang lebih umum dimaknai akibat pusing, pening, sakit kepala, migrain dan sejenisnya.
Tiga
PERBINCANGAN penting di bawah pohon nangka itu begitu misteriusnya, dan tak boleh tercium kuping perempuan Sulistyorini, si pemburu cinta Biru Langit. Banyak sekali alasannya, dan entah mengapa semuanya jatuh di bulan Juni 1994. Buntutnya bulan ini dianggap bulan terpenting dan bahkan bulan paling sial sepanjang catatannya. Betapa rencana, teror, misteri dan godaan serta penyakit berhumbalang. Pilihan agar kekasihnya Sulistyorini tak diizinkan mencium kabar, lebih sebagai sikap kehati-hatian Biru Langit. Atau setidaknya dengan kata lain di matanya perempuan Sulistyorini adalah sumber malapetaka, biang kehancurannya.
Dia memang cantik, bolehlah selain kenekadannya, dan sudah barang tentu berduit lantaran putri seorang profesor bedah plastik ternama di negeri ini, bahkan di seantero dunia (bukankah tidak ada lagi gelar lebih tinggi sesudah professor?). Lantas rencana apakah gerangan sehingga Biru Langit demikian tega menilai perempuan menderita yang juga kekasihnya itu seperti zombie pencabut nyawa? Barangkali bukan karena rencana di bawah pohon nangka itu betul yang membuat dirinya menjadi makhluk tak berhati. Atau lebih tepatnya akibat nyali Biru Langit yang rendah dan menggigil ketakutan, lantaran belum siap betul untuk menjadi manusia pemberani, petualang dan membuka diri belajar banyak hal tentang hidup. Selebihnya karena jiwanya kurang sabar menghadapi sikap kekanak-kanakan perempuan Sulistyorini yang memang pantas bertindak seperti itu. Dia yang sering disebut-sebut anak mami oleh laki-laki macam Biru Langit. Dia kurang makan asam garam di perjalanan dan tak pernah terantuk batu di tengah hiruk-pikuk kekejaman orang pinggiran.
Ya, dia memang ‘anak mama’ tapi mengapa Biru Langit tak pernah berpikir betapa tak semua perempuan di dunia tahu penderitaan isi hati korban perkosaan macam Sulistyorini. Entahlah mengapa tak terpikirkan itu di benaknya. Semoga ia tak termakan teori profesor bedah plastik Maryuhan Kurnia, ayahanda perempuan itu tentang selaput dara, sehingga menutup mata hati laki-laki Biru Langit. Semoga bukan karena itu tuhan maha pengampun. Akan tetapi entahlah ini sebuah pertanda jalan ke pengampunannya tatkala secarik pesan yang tersimpan di celana blue jeans Biru Langit dari perempuan Sulistyorini sontak mengusik dirinya. Ya, pasti sesuatu kekuatan memaksanya untuk kembali membaca, meski itu telah usang, dan kecengengan itu benar-benar belum pernah mencoba untuk pergi.
Adalah suatu kebahagiaan jika kita dibutuhkan orang lain. Adalah suatu kebahagiaan, jika kehadiran kita dirindukan orang lain. Aku jadi tahu bahwa dalam hidup kita tak bisa sendirian. Kita selalu membutuhkan orang lian. Terutama di saat-saat kita sedang butuh perhatian dari seseorang agar hidup kita senantiasa bermakna. Agar hidup kita tak sia-sia. Tapi mengapa pertemuan kita terasa begitu menyakitkan. Aku bingung, jika aku melihat sesuatu yang tidak benar padamu dan aku berkomentar, kamu akan bilang aku suka ngatur dan kasar. Aku tambah bingung ketika aku bereaksi diam, kamu malah marah dan menganggap aku susah diajak ngomong. Mungkin aku gagal sebagai perempuan. Barangkali juga aku sedang menuju kegagalan sebagai kekasih. Ketahuilah, betapa aku tidak mengerti dengan diriku.
Sulistyorini
Terang saja Biru Langit tak ingat betul bagaimana dan kapan persisnya, berapa jam lalu atau berapa hari sebelumnya pesan secarik kertas murahan itu tersimpan di saku celananya. Begitulah hanya kekuatan tangan Tuhan yang menyebabkannya terjadi hal demikian. Berkat campur tangan-Nya. Oya, ada suatu kabar yang tertunda untuk diceritakan yakni tentang kisah di bawah pohon nangka. Terang bukan karena bisik-bisik seniman Ipong sebagai pembawa kabar, namun semata-mata karena tersita nada cengeng pesan peempuan Sulistyorini. Gaya khas bicara lirih seniman Ipong memang tak terlupa. Terlebih cra dia membasahi rokok Dji Sam Soe-nya dengan sisa bubuk kopi di pantat gelas atau liur di ujung lidahnya sulit terhapus dari memori laki-laki Biru Langit.
“Kusarankan kamu terlibat aksi ini, Biru Langit. Percayalah padaku seburuk-buruk keadaan, politikus Bintang Sakti tak akan menjerumuskan kita,” seperti biasa mata lebar seniman Ipong terlempar liar.
“Aku sih tidak keberatan. Tapi kamu belum jelaskan aksi yang kau maksudkan, bukan?” Biru Langit mencoba menyelidik.
“Sebut saja namanya Aksi Geger Ngoyak Maling. Awal mulanya begini,” seniman Ipong berteriak memesan kopi di warung sebelah. “Sebuah media besar (ia menyebut sebuah nama koran pagi) segaja menilep dana yang dihimpun untuk korban bencana Tsunami di Maummere.68) Dana itu dihimpun selama berbulan-bulan dai masyarakat pembacannya dan jumlahnya hingga kini mencapai miliaran rupiah, kurang lebih 1,3 miliar rupiah.”
“Terus apa soalnya?” Biru Langit memotong karena bermaksud menunjukkan perhatiannya.
“Kamu tentu tak berpikir dana itu tak sampai ke tangan para korban tragedy kemanusiaan, bukan? Tapi itulah yang sebenarnya terjadi. Dana itu terbukti ngendon di tangan segelintir pemilik Koran dan kroni-kroninya. Apakah kita diam saja?” dari bicaranya ada kesan sosok pemilik dahi lebar ini mencoba menyakinkan dirinya sendiri pula.
“Biadab kalau itu benar terbukti seperti itu,” Biru Langit cepat tanggap.
“Oh soal bukti tentang aliran dana dan dugaan keterlibatan wanita idaman lain bos koran itu, atau rencana pendirian beberapa perusahaan di Maluku dari dana yang dikumpulkan masyarakat berbudi baik itu ada di tangan politikus Bintang Sakti. Apalagi tentang main mata dengan sesama anggota gengnya. Semuanya sudah tercium politikus Bintang Sakti,” sorot matanya yang melompat-lompat dan bicaranya yang mulai tersendat mengundang curiga Biru Langit.
“Kamu sendiri bagaimana kawan? Kamu percayai informasi setengah-setengah itu?”
“Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tapi gagasan menyampaikan aksinya dalam wujud kesenian menjadi baru bagiku. Pengalaman estetis dari buku-buku bacaanku menyebabkan aku menyetujuinya dan memilih terlibat di dalamnya.” Meski begitu tersendat, jawaban seniman Ipong terkesan memang tidak sedang terpaksa. “Bagaimana dengan kau Biru Langit?”
“Baiklah. Aku ikut denganmu. Apa kompensasinya?”
“Entahlah. Aku tidak tahu.”
“Ah, aku bertanya pada orang yang salah.”
“Sebaiknya pertanyaan itu kau lempar ke Bintang Sakti.”
“Atau tidak sama sekali (memang sebaiknya disimpan saja pertanyaan muskil ini?”
Lain seniman Ipong, lain pula bagi politikus Bintang Sakti. Ketakjuban mampu menenggelamkan banyak hal. Karena itu eman bila satu hal ini tak diceritakan. Bintang Sakti menyerupai sebuah bayangan—gelap dan memanjang. Dengan kulit hitam yang berminyak, bila berjalan, gigi-gigi putih dan rambutnya yang dua warna lebih dulu menyapa. Ini pertemuan pertama semenjak kawan-kawan berkisah tentang politikus Bintang Sakti kencing sesuka hatinya. Tentu saja selain kebal dari penciuman nyamuk pers, kabar burung menyebutkan dialah si sosok untoughtable (tak tersentuh). Terang saja dengan ketakjuban yang membius itu sanggup menyingkirkan bayang-bayang perempuan cengeng Sulistyorini. Sekalipun politikus Bintang Sakti bukan tak suka berbicara perempuan, lebih dari itu dialah si politikus kencing sesuka hati. Banyak yang kesulitan menterjemahkan kata olok-olok ini. Tapi bukan sesuatu yang tak masuk akal bila olok-olok itu sekadar sindiran terkait dengan masalah-masalah perempuan.
Kami pun berbincang-bincang. Dari dialog itu terungkap jalan pikirannya yang sederhana, tidak meledak-ledak seperti layaknya politikus pada umumnya. Kadang-kadang begitu sederhananya, bicara Bintang Sakti cenderung teknis dan dangkal. Sebaliknya, kesederhanaan bicaranya menyiratkan misteri. Betapa ia tidak bicara politik, kesenian, atau yang lain. Begitu pula tatkala bicara soal perempuan, politikus itu sama sekali tak mempertontonkan emosi. Kesan itu terungkap saat membeberkan rencana aksinya Geger Ngoyak Maling. Penjelasan gamblang, nyaris tanpa symbol yang rumit. Soal-soal teknis pun tampaknya tak ia kuasai. Apalagi bila harus menjelaskan konsep-konsep estetis yang njlimet dan itu nihil. Bahkan ia tak pernah mengungkap dari mana ia dapat ide tentang Geger Ngoyak Maling.
Hebatnya si Bintang Sakti tak mau buka-bukaan bila lebih sepuluh tahun sebelumnya salah seorang penggagas gerakan sastra kontekstual Emha Ainun Nadjib lebih dulu menggunakan judul yang nyaris sama persis: Geger Ngoyak Macan.69) Fatalnya, jelas tak terungkap akankah keduanya nyaris sama ide dasarnya atau tidak sama sekali. Atau memang si politikus Bintang Sakti sengaja berniat buruk mencuri, tanpa memberi kabar asal muasalnya. Belum ada kejelasan yang pasti. Baiklah, hanya saja soal yang ini Bintang Sakti berujar begini:
“Topeng. Ya, perempuan dalam aksi itu nanti harus memakai topeng dengan wajah yang sangat manis. Bergaun merah menyala. Sepanjang aksi perempuan itu terus menari sesuka hati karena dia adalah pelacur,” ucapnya enteng.
“Pelacur? Mengapa pelacur?” Biru Langit mendesak.
“Apakah ada kata yang tepat untuk menggambarkan wanita simpanan yang mengeruk uang dari hak korban kemanusiaan? Apalagi jumlahnya mencapai miliaran. Korupsi mungkin wajar. Tapi yang satu ini, saya tidak bisa memaafkan. Dimana hati nuraninya? Karena itu saya pikir nanti tidak ada salahnya bila perlu catat nama sebesar mungkin di atas kertas tergantung di lehernya. Betapa biadab wanita itu ketika menari sesuka hati.”
“Mungkin dia hanya sasaran antara karena dia adalah seoarang bawahan. Bagaimana dengan bos pemilik Koran itu?” seniman Ipong terus memburu karena mencium ada gelagat kurang fair dari obsesi politik Bintang Sakti.
“Kamu benar. Oh, tapi rupanya kamu belum tahu juga bagaimana seorang perempuan bila selain menjadi bawahan juga seorang simpanan bagi bosnya. Ya, kurang lebih setali tiga uang. Tapi baiklah, kau harus Bantu aku cari jalan bagaimana dengan bos itu. Mau dibawa kemana dalam aksi ini. Sementara ini dalam pikiranku orang ini adalah kunci di balik baying-bayang perempuan itu. Sementara yang lain terlibat sebagai anggota gengsternya dari mata rantai penyelewengan dana kemanusiaan itu. Bagaimana?”
Ah, soal yang begitu tak perlu dikhawatirkan tentu. Apalagi ini hanya masalah sepele yang sudah banyak contoh ragamnya. Toh anda punya banyak anak buah yang belajar rajin menyaksikan bagaimana piawainya Marlon Brando, Robert De Niro, Al Pacino, Andi Garcia dalam God Father. Mereka tak perlu keluarkan sebuah jurus untuk ini,” lagi-lagi Ipong bermaksud membesarkan hati politikus Bintang Sakti.
“Itulah. Supaya otaknya digunakan tidak hanya melukiskan nasibnya sehari-hari. Jangan sampai terjadi kawan-kawan berpikir banyak soal-soal rumit tapi sebetulnya bukan persoalannya sendiri. Itu tidak ada gunanya. Bagaimana mengambil makna dari dua kalimat yang kedengarannya bertolak belakang ini?” politikus Bintang Sakti bermaksud menasehati, sayangnya nasehat itu masih misteri dan tidak pada tempatnya karena kawan-kawan yang dimaksudkan tidak sedang berada di antara mereka di bawah pohon nangka itu. Untuk memecah suasana Biru Langit mencoba membalasnya dengan kalimat yang tidak kurang abstraknya. “Begitu ya begitu, mbok ya jangan begitu. Tak usah buru-buru yang penting cepat tuntas.”
Kemudian terjadilah sesuatu yang aneh. Seolah-olah mereka sama-sama memahami kalimat-kalimat misterius yang tak jelas asal muasalnya maupun maknanya itu. Lebih dari itu, keanehan yang lebih telah terjadi. Seolah-oleh merekapun bersepakat mengenai aksi-aks itu .
Empat
TAK ada selembar kertas pun untuk menjelaskan setiap gerak rencana aksi itu. Hanya dari mulut ke mulut menyebar setiap rencana penting pun terkait angka-angka nominal. Djam D Hari H tak ada. Musik-musik yang semula dirancang politikus Bintang Sakti juga tak memilih lagi aksi ataukah lagu cinta. Apakah ini tak begitu penting baginya? Mungkin apapun yang terjadi peristiwa semacam ini adalah perkenalan Biru Langit terhadap politikus Bintang Sakti, yang tak pernah terjadi sebelumnya. Menjadi hal baru dalam pengalaman hidupnya, sekaligus menunjukkan masih banyak yang tak terungkap dari jiwa terdalam politikus Bintang Sakti. Apakah sudah sedemikian kebiasaan cara kerjanya? Atau sebaliknya justru ini sebuah pertanda dirinya telah menyimpan lebih banyak senjata-senjata pemukul mundur bagi lawan-lawan politiknya? Ah, Biru Langit sudah terlanjur menggunakan bahasa-bahasa seorang yang lebih dulu mengedepankan apriori ketimbang berkenalan dengan seorang kawan, sekalipun bukan mustahil di kemudian hari menjadi seorang lawan. Ketika lama ditunggu tak muncul juga ide-ide terbaru dari Bintang Sakti, sejenak kemudian suasana membeku, dan mendung bergelayut di atas gedung, tapi bukan pertanda bakal turun hujan. Sampai kemudian terlontarlah gagasan agar selama aksi berlangsung gedung itu ditutup kain hitam, symbol atau pertanda bela sungkawa karena dirundung duka akibat tragedi kemanusiaan.
“Ya, setuju sekali. Untukmu Maummere, gedung ini kita tutup kain hitam,” Bintang Sakti menegaskan tanda ucapan terimakasih dengan gagasan itu. “Agar tak diterbangkan angin, kain dibebat kawat dari setiap sisinya,” Bintang Sakti kembali bergairah. Sebagai basa-basi berikutnya, Bintang Sakti membeber perihal semangat Simpang di masa lampau. Mungkin basa-basinya telah ia tahu membosankan, tapi rupanya ia tetap memandang penting untuk mengobarkan semangat menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana ketika di masa revolusi fisik gedung itu dijadikan markas pemuda-pemuda. Meski di lain fakta, jauh sebelumnya Simpang Societed, justru jadi ajang pesta pora sinyo-sinyo di masa Hindia Belanda, dan kini menyisakan hantunya itu.
Untuk menambah bumbu aksinya ia mencuri kisah kelam Kalimas yang memang tidur membujur di sisi utara bangunan itu. Ia ceritakan bagaimana ketabahan Kalimas mengalirkan darah prajurit-prajurit di masa Erlangga dengan Ujung Galuhnya, di masa si cerdik Raden Wijaya berburu tentara Jayakatwang dengan bantuan bala tentara Tar Tar, ratusan ribu prajurit melayang sebelum akhirnya giliran ribuan orang Mongol juga di lenyapkan. Anehnya kota ini jadi berbangga dengan kejayaan di tengah mara bahaya. Padahal kebanggaan itu mendadak berbinar di raut politikus Bintang Sakti, terlebih ketika menyebut Raden Wijaya yang cerdik dan tentu saja pandai bersilat lidah di depan si Khu Bilai Khan, orang Mongol penguasa Cina. Karena ia meluangkan waktu khusus ke negeri itu, justru saat di tanah kekuasaannya terjadi gejolak.
Di wajah Bintang Sakti pula, kebanggaan itu mewakili keganasan perang saudara Panjalu dan Janggala. Bagaimana kota ini yang kalah perang hanya karena terlampau sibuk berdagang. Mestinya Biru Langitlah yang berbangga, lantaran Panjalu menjadi bintang dalam rewayat hidupnya, tumbuh menjadi negeri yang berbudaya dan mengenal sastra denagn amat luar biasanya. Apalagi yang dimaksudkan tak lain adalah Kediri, yang juga tempat kelahirannya? Terus apa yang anda banggakan dari kotamu selain Kalimasmu itu Tuan Bintang Sakti? Apakah laki-laki yang mirip wanita berbadan besar gemuk dan tambun yang duduk malas di Taman Apsari itu? Konon sosok yang dikenal kemudian Joko Dolog itu tak lain adalah seorang yang bodoh, cuma tahu makan enak dan minum arak. Betapa mengagetkan bila si pemabuk yang dimaksud adalah Kertanegara. Terang ini tak layak dibanggakan bila benar terjadi, toh tempatnya pun mulai ditinggalkan orang.
Minggu pertama bulan Juli, gedung itu benar-benar ditutup kain hitam. Selain duka, ada perasaan gelap yang menutup bagian hidup Biru Langit.
Lima
AWAN hitam itu tak lain karena Sulistyorini mendengar rencana aksi lebih cepat dari keinginan Biru Langit. Terlebih perihal kepastian bakal berlangsung di Jakarta juga ia tahu. Itu artinya, Sulistyorini tahu bakal ditinggal kekasihnya untuk beberapa saat lamanya. Fatalnya Biru Langit belum menyiapkan jawaban untuk itu, Sulistyorini keburu menyusul di Simpang Societet.
Di suatu siang yang pengap, didorong kepanikan yang dahsyat, Biru Langit menggiring Sulistyorini ke gigir Kalimas yang dikisahkan politikus Bintang Sakti memiliki kesabaran menyimpan dendam darah dan airmata di masa silam. Tapi di masa kini, di belakang kantor gubernuran itu Kalimas telah menjadi taman dengan paving merah jambu dan anjungan perahu berdayung, yang di waktu malam hari sering jadi rekreasi mesum anak-anak muda kasmaran atau laki-laki hidung belang dengan perempuan-perempuan jalang.
Ya, siang itu Biru Langit menyambar Sulistyorini tanpa berpikir panjang, kecuali mencari rasa aman dari pergunjingan kawan-kawan barunya. Justru di saat sibuk menyiapkan aksi terpenting bagi perjuangan kemanusiaan. Begitulah kurang lebih dalam benak Biru Langit. Namun tidak bagi Sulistyorini. Justru Sulistyorinilah yang merasa terancam sebagai korban kemanusiaan bila Biru Langit meninggalkannya ke Jakarta. Di Kalimas, airmata perempuan itu tumpah.
“Kenapa kamu tidak juga mengakhiri kecengenganmu, Sulistyorini? Berapa kali aku katakan kamu adalah ujian bagiku. Bila aku berhasil membuatmu jadi wanita yang bersahaja, saat itulah aku benar-benar laki-laki berarti bagimu dan bagi semesta,” Biru Langit bermaksud membujuk, merayu atau menggoda dan bahkan memuntahkan amarah padanya.
“Kamu masih bisa marah padaku. Aku hanya tanyakan kenapa kamu harus ke Jakarta. Mestinya kamu bisa menangkap pertanyaanku, bahwa itu pertanda aku tak ingin kau tinggalkan dan jauh darimu. Kenapa kamu justru marah padaku?” Sulistyorini kian menjadi-jadi. Ia malah menunjukkan dirinya yang tersinggung. “Kalau kamu perlu uang, aku bisa membantumu dan tak perlu kau jauh-jauh ke Jakarta.”
Pernyataan itu mempersulit Biru Langit. Ia tak berkutik. Seperti biasa, ketika dirinya tersinggung hebat, ia harus mengakhirinya dengan amarah. “Tidak. Aku tidak butuh uang. Justru sebaliknya selama aksi, aku akan membagi-bagikan sejumlah uang kepada gelandangan, pengemis dan orang miskin dimanapun kujumpai mereka. Hebat kan? Sudahlah, aku pergi tidak akan lama. Berhentilah kau cengeng. Jadilah waniata yang tangguh, berani menghadapi problem dan keadaan apapun.”
“Bukan begitu maksudku Biru Langit. Bukan maksudku aku tidak lagi mempercayaimu. Tapi itu semua karena ketakutankum yang kurasakan. Mungkin ketakutan yang berlebihan. Jujur saja aku ingin mengatakan kamlah satu-satunya orang yang bisa memahami dan mengerti aku. Bila kau harus ke Jakarta, aku benar-benar merasa kehilangan dan sendirian. Kamu tentu tahu selama ini aku selalu menghadapi masalah pribadi yang berat Biru Langit. Kamulah yang selalu menghiburku memberi pertimbangan-pertimbangan dan nasehat padaku. Bila kau ke Jakarta itu artinya aku harus kembali menyimpan masalah itu dan tak membaginya dengan siapapun. Bukan berarti aku memaksamu ikut memikirkannya. Terserah padamu aku tak mau mengganggu urusanmu dengan rencana aksimu itu. Segala perhatian yang kamu berikan selama ini tak pantas bagiku untuk meminta lebih.”
Di luar dugaan, nada suara pasrah Sulistyorini meluruhkan pula hati Biru Langit. Sampai justru pria itu tak bisa berkata-kata. Lantas tahu dirinya mendapat empati kekasihnya, Sulistryorini justru makin menjadi-jadi. “Tak mengapa kalau memang cara ini yang menjadikan sesuatu lebih mempunyai makna. Aku percaya aku bisa mengubah kesedihan ini menjadi kebahagiaan dan menjadi bagian dari hidupku yang sulit kupisahkan. Kadangkala aku merasakan kebahagiaan dalam kesedihanku. Terutama saat aku harus mengingat kebersamaan kita. Saat ada kerinduan yang tak tersampaikan. Saat ada ketakutan yang menyesakkan rongga dada. Aku mungkin hanya bisa menangis saat mengenang tentang kita.”
“Hei.. Ada apa kau ini, Sulistyorini?” Potong Biru Langit.
“Aku sudah cukup bahagia ketika kau mengatakan kau tidak pernah menolak apapun yang ada pada diriku. Aku kembali diingatkan dengan jawaban yang berkali-kali kau sampaikan meski harus kudesakkan pertanyaanku. Masih ingat ketika sebelum menghadap Papa dan Mama dan kau kutanya tentang apa yang kamu sukai pada diriku, kamu bilang aku menyukai semuanya yang ada padamu dengan segala kelebihan dan kekuranganmu.”
“Sulis!!!”
“Aku tak berani berkata sebenarnya karena kamu menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, terlebih wanita sepertiku. Tapi kenyataan yang ada padaku berkata lain. Aku harus sampaikan bagaimana diriku sesungguhnya tetap merasa dilecehkan, sebagai korban perkosaan. Yang bisa kulakukan hanyalah menghibur diri dan berkata, sudahlah jangan dipikirkan yang sudah lalu. Untuk menjadi kertas yang benar-benar bersih memang sulit. Ada saja noda yang menghampiri. Semuanya terserah kamu. Kamu berhak mengembalikan hidupmu yang telah dibuat berantakan oleh manusia jahanam. Jangan takut untuk hidup, memilih teman hidup. Masih banyak yang lebih baik, yang lebih menghormati kamu. Aku juga teriakkan suara keras-keras, mulai saat ini hargailah lebih tinggi dirimu dengan ego. Jangan turuti perasaanmu terlalu jauh.”
“Ssstttt……”
Hujan tangis kembali pecah. Bedanya, kali ini tak sampai mengalir deras, apalagi sampai menganak sungai dan jatuh digigir Kalimas. Tidak. Kali ini airmata sesenggukan perempuan Sulistyorini luruh di pundak Biru Langit. Keduanya sejenak berada dalam pelukan. Sejenak pula suasana kosong oleh kesibukan pikir masing-masing. Dalam benak Biru Langit melintas anggapan bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi pada jiwa Sulistyorini. Dalam hati Biru Langit juga berpikir tentu kalimat-kalimat akhir Sulistyorini adalah bukti dirinya ikut andil membangkitkan gairah hidup kekasihnya. Namun entah bagaimana jadinya, sesuatu yang terlontar dari bibirnya justru berkata lain. Biru Langit merusak suasana barangkali karena memang tengah tidak sedang konsentrasi pada kekasihnya. Sebaliknya, terlampau sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Mustinya akulah yang harus berterimakasih padamu dan Papa serta Mamamu. Lewat tanganmu dan keluarga, mereka banyak berkorban untukku, terutama berkaitan dengan biaya kuliah dan hidupku. Tanganmu sudah mengambil alih tanggungjawab yang seharusnya bukan menjadi kewajibanmu. Terimakasih Sulis, aku tidak bisa membalas kebaikan kalian, selain mengucapkan rasa terimakasih dengan tidak melakukan hal-hal yang membuatmu kecewa. Percayalah..”
Mendengar pernyataan Biru Langit, Sulistyorini menahan pelukannya. Dipandanginya bola mata kekasihnya itu. Tapi ia sendiri tak yakin dengan isi bola matanya. Dia tersinggung, bingung, tapi juga sedih dan prihatin, kemudian kembali tercenung. Sayang keduanya sudah tak mampu berkata-kata. Ya, dua sejoli itu sudah kehabisan kalimat untuk menjelaskan gangguan isi jiwanya yang lunglai. Kosong. Apakah tubuhnya masih berisi? Kalimas tetap tenang dan keruh. Jakarta terlupakan hanyut terbawa arus. Hanya pikiran Sulistryorini terlah mengembara. Di saat bimbang dengan perasaannya tentang kekasihnya dan trauma masa lalu, berlanjut hingga perlahan-lahan perempuan itu mulai meragukan perasaannya tentang cintanya. Mungkin Biru Langit tak berubah mencintainya. “Maafkan aku Biru Langit. Aku menjadi tersadar begitu mendengar suaramu tidak ada yang berubah. Aku bisa merasakan ketulusanmu di sana. Sama seperti saat-saat kita mulai bersama dan berjanji untuk saling setia. Aku mencintaimu, Biru Langit. Tak bisa kudapat menemui cinta yang tulus selain darimu,” perempuan itu makin sibuk dengan jalan pikirannya sendiri. “Bila engkau tak ada di sini bagaimana aku bisa memeluk dan menciummu?”
Enam
KAMIS malam, 9 Juni 1994
Memang bukan malam pertama Biru Langit di bawah gedung pertunjukkan teater di Dewan Kesenian Surabaya. Lebih tepatnya ini malam kedua. Karena itu, ada sesuatu yang menyerang dahsyat untuk perlu diceritakan terlebih dulu. Sebab itu sebelum segalanya terlupakan lebih baik disampaikan lebih dulu.
Kiranya bukan sesuatu yang tak masuk akal bagaimana ini terjadi selain karena ini baru untuk kedua kalinya terjadi dalam hidup Biru Langit, bangunan tua bersebelah dengan gedung teater itu menyimpan inspirasi tersendiri. Ya, pasti karena ini peninggalan zaman Hindia Belanda. Entah mengapa segala yang berbau Hindia Belanda jadi misteri di benak sepenggal hidup Biru Langit. Baiklah seperti janji semula sebelum ingatan ini berontak, diceritakanlah oleh Biru Langit.
Entah ini suatu kebetulan atau bukan setahun lalu, untuk kali pertama ia menonton pertunjukan teater di gedung ini. Betapa jalinan kisah karakter-karakter tokohnya, latar belakang cerita dan semua sangata memikat dalam benak Biru Langit. Tak lain karena ada jiwa dalam pertunjukan teater yang sanggup mengaduk-aduk ruh Biru Langit. “Waktu itu lakon yang dipertontonkan berjudul Nyai Adipati.70) Kisah itu terjadi di zaman Hindia Belanda awal abad 20. Kisahnya tentang kegemparan yang melanda Kabupaten Lumajang pada masa penjajahan Belanda. Karena potret Sri Ratu Emma di rumah Asisten Residen Sitjhoff hilang, kecurigaan politik menjarah kemana-mana. Kekejian kolonialis semakin tak dapat dihindari. Melalui penembak-penembak misterius, para bromocorah dilenyapkan dan 25 orang pelayannya dihukum dera oleh Sitjhoff. Hilangnya potret Sri Ratu Emma dilihat sebagai upaya perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Padahal hilangnya potret hadiah Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu adalah murni perbuatan kriminal. Pelakunya adalah Gombrek, seorang petani Lumajang Kulon, yang jatuh melarat sejak sawahnya ditarik untuk ditanami tebu demi kepentingan pabrik gula. Adipati Lumajang Suryokusumo inilah yang bertanggungjawab melindungi rakyatnya, yang juga mendapat tuduhan mendalangi aksi pemberontakan, hingga Adipati dihadapkan di Batavia. Berkat dorongan moral Van Den Brand, Nyai Adipati mengajukan laporang kelicikan Sitjhoff ke Residen dan dilanjutkan ke Gubernur Jenderal. Tapi tidak memperoleh jawaban yang memuaskan. Kemudian surat protes dilayangkan ke Parlemen Hindia Belanda. Sitjhoff yang sesungguhnya otak pembunuhan Residen Jansen, mengalami kegoncangan jiwa lantaran digugat Nyai di depan Rad Van Justitie. Namun Nyai Adipati tetap berada dalam situasi tersudut. Keberaniannya menggugat Asisten Residen oleh pemerintah dianggap berbau pemberontakan. Karena itu, jika Nyai Adipati tidak mencabut gugatannya, maka akan terkena sanksi hukuman buang.
“Begitu memikatnya cerita itu bagimu, sampai kau tak lupa titik komanya?”
“Bagiku bukan cerita itu sungguh yang mengesankan karena apa yang tersirat sebagai antikolonialisme dan feodalisme tak sememukau apa yang pernah ditulis sebelumnya oleh Pramudya Ananta Toer dalam Bumi Manusia. Apalagi tampaknya buku itulah yang jadi babon inspirasi utama Nyai Adipati. Tokoh-tokoh Nyai Adipati mengingatkan pada nama-nama Nyai Ontosaroh, Minke, Herman Mallema, Annelies.”
“Lantas apa yang mau kau katakan?”
“Justru yang memikat aku oleh karena Nyai Adipati dipanggungkan. Kau tahu Nyai Adipati aslinya kisah dalam bentuk novelet yang ditulis Mayon Sutrisno. Dia orang termasuk dekat dengan dramawan Rendra dan beberapa kali menovelkan dramanya Rendra. Salah satunya berjudul Perampok. Dari situlah aku tahu bagaimana terpukau Nyai Adipati jadi bahasa panggung. Di satu sisi aku teringat Nyai Ontosaroh, di sisi lain tergambar perjuangan masa tua Cut Nyak Dien dengan tubuh ringkih yang loyo tapi semangat juangnya masih menyala di binary matanya. Di atas panggung Nyai Adipati tanpil membelakangi peta dunia dan tak terpisahkan dari putranya Raden Legowo. Sepanjang pertunjukan berlangsung khidmat dan terlebih sesekali terdengar beberapa tembang Jawa seperti Tombo Ati diiringi musik kentrung.”
“Diantara yang sekian banyak memikatmu, tidakkah ada yang paling menarik perhatianmu, Biru Langit?”
“Ada. Perilaku hidup penduduk kampung yang nglesot di lantai. Kenyataannya seperti itulah hidup bangsa ini, yang disimbolkan pertunjukkan. Di situ terungkap bagaimana suasana mencekam, menyimpan kemarahan dan sudah barang tentu keputusasaan.”
“Kedengarannya mengasyikan Biru Langit. Aku jadi merasa lebih mengenalmu dari sisi lain kehidupanmu. Maksudku apa yang menarik bagi hidupmu. Barangkali kau memang seorang nasionalis yang tersisa. Maksudku ada sisa-sisa zaman yang sengaja kau bawa di masa modern ini.”
“Ah, aku mulai senang dengan bicaramu yang membingungkan ini.”
“Kamu sinis kedengarannya Biru Langit.”
“Tidak bagimu. Tapi bagiku juga aku merasa jadi lebih nyaman mengenalmu belakangan dari komentarmu. Kamu perempuan yang mau belajar.”
“Sekarang aku benar-benar mendengar ejekanmu.”
“Oh ya. Tentu kamu tak menduga, sebetulnya aku tahu lebih jauh apa yang ada di balik sandiwara ini. Orang-orang dan kegigihan pelaku-pelakunya selama proses penggarapan Nyai Adipati. Tidak banyak karena aku baru mengusutnya sebelum dan sesudah pertunjukkan.”
“Sebegitu hebatnya yang kamu lakukan? Ceritakanlah Biru Langit.”
“Sang sutradara yang dijuluki si burung nuri itu sampai harus sendiri ke Lumajang untuk studi social perilaku penduduk di sana dan menyeberang ke Madura guan melengkapi property pecut, musik alam, lampu dari tanah liat dan mengenal dari dekat perilaku orang Lumajang yang sebagian besar memang keturunan Madura. Selama itu si burung nuri membunyikan klinthing untuk leher sapi agar diharapkan dari itu muncul setiap inspirasi. Latihan-latihan tiap hari berdarah-darah dan bermuntah-muntah. Itu semua tak musti membawa hasil gemilang. Tanah liat dicarinya dari lahan berbukit di kawasan Lakarsantri. Sepulang dari angkutan umum, esoknya dicetak dan dibakar. Hasilnya nol besar karena berantakan. Peluh dan tenaga telanjur terbuang percuma, hasilnya pun percuma tapi tak menyurutkan semangat mereka. Mungkin dugaanku mereka ini sedang kerasukan rohnya Adipati Suryokusumo.”
“Sebegitu mendetailnya engkau ketahui Biru Langit.”
“Ah ini belum seberapa. Ada bagian terpenting yang belum tapi harus kuceritakan padamu Sulistyorini.”
“Ceritakanlah. Aku mau karena memang sedang tepat tempat dan waktu.”
“Tapi diam-diam aku mulai meragukan diriku sendiri terhadapmu. Betapa tidak. Ini keherananku yang kedua setelah kau yang putri profesor bedah plastik dan gemar politik dipaksa ayahmu kuliah di sekolah politik. Lalu mengapa perempuan sepertimu teramat suka dengan diskusi serius macam begini? Ada apa dengan dirimu? Bukankah ini sebetulnya ancaman bagiku, punya calon istri yang terlampau pintar dan berbahaya bagi laki-laki?”
“Hah, aku jadi tahu sekarang kamu mulai takut kehilangan diriku. Maaf kalau barusan yang lain-lain bicaramu tak kudengarkan he..he..”
“Jadi kau mendesakku mengakhiri semua disini?”
“Ayolah Biru Langit. Kau belum kisahkan bagian terpenting yang kamu janjikan.”
“Aku juga baru tahu kamu menggigil kalau kehilangan aku. Kelihatannya kata akhir itu momok bagimu.”
“Kamu belum mau mulai cerita juga. Hati-hati sebelum ini mengurangi arti penting ceritamu itu.”
“Orang tua sering terusik dengan ulah anak muda yang kritis cerdik dan berani. Entah ini mengapa jadi rumus dunia. Setidaknya itu terjadi di sini. Semula Nyai Adipati ini ide sekelompok anak muda yang berpikiran merdeka dan kian terlihat hasilnya, pengaruhnya, kekuatan aksinya, daya pikatnya. Saat itulah orang tua yang terancam posisinya atau lebih tepatnya terombang-ambing kuasanya, mulai menunjukkan taringnya. Dimulai dengan menyebarkan desas-desus, mengancam menyumbat dana, meneror hendak menghentikan kegiatannya. Sebelum akhirnya turut campur mengurusi dapur dengan tetek mbengek urusan yang jelas menggunakan dalih kepentingan politik pecah belah tak terhindarkan. Anak-anak muda mulai diganti kedudukannya oleh orang-orang tua dari kelompoknya dan anak-anak muda dibuat takbisa apa-apa, kecuali memang tak punya pilihan lain selain perpecahan. Maka terjadilah malapetaka di kemudian hari. Nyai Adipati memang selamat sampai tujuan, tapi kemudian hari yang kumaksudkan juga benar-benar terjadi. Semoga kau mengerti orang tua yang kumaksudkan membuat skenario itu semua adalah politikus Bintang Sakti. Kamu mengerti maksudku Sulistyorini?”
“Tidak. Aku tidak mengerti orang yang barusan kamu sebut. Tapi aku mengerti arah pembicaraanmu.”
“Karena itu sebaiknya kuakhiri bicaraku sampai di sini. Bukankah aku telah tahu apa yang tak kau mengerti?”
“Ya. Hanya aku masih terusik dengan pengetahuanmu di balik layar yang luar biasa hanya dalam waktu semalam. Itu yang menyenangkan aku. Karena itu kiranya tidaksalah bila di kemudian hari kamu berbakat menjadi seorang jurnalis, Biru Langit.”
“Jurnalis? Oh, terimakasih atas masukanmu. Sama sekali tak terpikir olehku. Maksudmu kau menemukan Minke atau Raden Mas Tirto Abdisoerjo dalam diriku? Oh betapa luar biasanya,” Biru Langit sendiri tak tahu dan tak sadarkan diri apakah omonganya serius ataukah bercanda karena dirinya baru saja berkenalan dengan tokoh-tokoh dari sebuah dunia yang lain. Satu-satunya referensi tentang jurnalis di benaknya di dunia nyata hanyalah Pam—bekas sahabatnya, kawan bermain, lawan berdebat, rival berebut pacar yang desersi dari diskusi-diskusi ideologi kiri di kampus Airlangga. Lalu menghilang sekian lama. Itu pun muncul di benak Biru Langit tak laiknya seperti Minke. Betapa Pam bekerja sebagai jurnalis sebuah perusahaan properti. Diambil apanya? Barangkali berikutnya Biru Langit cukup berbilang terimakasih karena dirinya telah diingatkan kembali pada sosok Pam yang pernah betapapun buruk sungguh dalam penggalan hidupnya. Sebab itu tak ada salah bila dirinya berjanji untuk tak lama sesudah ingatannya ke permukaan, bernjanji mencium jejak Pam. Lalu ia pun berjanji dalam hati, tanpa tahu kekasihnya, Sulistyorini.
Tujuh
Geger Ngoyak Maling tak menggegerkan ingatan Biru Langit. Hampir tak ada catatan penting, melebihi rencana semula tatkala bincang dan rembugan di bawah pohon nangka. Kamis malam itu yang mencekam hanya sorot lampu merah menyala. Hampir memedihkan mata. Ada musik kentrung dipadu musik rock tak begitu menusuk kalbu, ada syair-syair, lalu puisi dan dari belakang disusul pernyataan sikap, seruling ditiup melengking dan panjang. Sekelompok pemuda melayangkan yel-yel perlawanan. Semuanya terlampau biasa. Ada sedikit tampil beda malam itu. Sejumlah pemain di tengah pertunjukan menggelar dialog dengan audien, penonton dengan tema pertunjukan. Betapa kemanusiaan telah hilang nilainya oleh uang. Betapa malang korban musibah di Maumere karena hak-hak mereka dipenggal oleh tangan orang yang setiap hari tampil dengan murah senyum.
Dan ini yang paling menjijikkan; tariannya. Tarian yang menggambarkan kemaharajalela, tapi lebih menyerupai kegirangan burung terbang di udara. Jadi sama sekali tiada hubungannya. Dan lagi kasihan malah pada burung itu. Toh bagaimanapun burung gagak sekalipun tidaklah tampil sentimental seperti tarian itu. Lalu yang paling menjijikkan diantara menjijikkan adalah karena tarian itu dibawakan oleh Biru Langit. Bukan itu saja, lantaran Biru Langit harus tampil dengan kostum wanita, dandanan seronok dan mendekati seorang pelacur menggerakkan mahkota dan gaun merah menyala, menggamit kipas di tangan dengan bibir senantiasa menebar senyum. Kalau ini terjadi dulu sebelum remo dan bencong ludruk jadi primadona, okelah. Tapi ini…
Saat seperti itulah Biru Langit harus menari dan sejenak harus menenggelamkan namanya di balik selendang kertas bertuliskan nama seorang wanita pemimpin sebuah media massa terbesar di Surabaya. Sebutlah inisialnya NW dan tak perlu menyebut namanya selengekap kertas itu menanggung bebannya. Tapi semua beban itu seolah semuanya ditanggung Biru Langit, sementara politikus Bintang Sakti malah seperti dewa penyelamat.
Kisahnya, Mat Koja seorang pendekar si tulus hati dari Selobintana yang disegani karena keahliannya menangkap pencuri dari segala lapisan tanpa pandang bulu. Ia jadi kesulitan ketika yang menjadi pencuri ternyata adalah bayangannya sendiri. Sang penyelamat, politikus Bintang Sakti menggugat dan bertanya, mengetuk hati dengan puisi seperti ini:
Untukmu Maumere
Kukirim berita
Tentang ribuan orang
Yang menyisihkan uang
Bagi ribuan orang
Yang malang dan ditimpa bencana
Tapi, apa yang mereka sisihkan
Tak sampai
Terhalang tangan angkara,
Mencengkeram
Berlaksa wajah prihatin
Ooo..
Bencana di atas bencana
Keserakahan menari di atas kemalangan
Untukmu Maumere
Kukirim berita…
Perihal beban itu kiranya harus diakhiri sampai di sini karena bila berlanjut dan Biru Langit tahu diantara penonton itu ada perempuan yang setia mengajaknya diskusi dan mencintai dirinya akan lain cerita. Lalu bagaimana ayahandanya, Profesor Doktor Dokter Maryuhan Kurnia juga duduk di deretan paling belakang di gedung teater itu, cerita akan sama sekali lain. Betapa hancur kelaki-lakian Biru Langit tenggelam di bawah rok menyala si pelacur NW. Hakh… beruntunglah akhir Geger Ngoyak Maling memang digegerkan insiden kecil dan melupakan beban Biru Langit. Aneh, kedengarannya memang, ternyata orang yang disebut-sebut biadab dan berada di balik kedzoliman menjegal hak korban tsunami di Maumere itu hadi pula di tengah pengunjung.
Lebih aneh lagi si empunya inisial DI, sang bos besar yang datang, tentu saja dengan beberapa anak buahnya itu tak berniat menghentikan pertunjukkan. Barangkali tarian, nyanyian, dan yel-yel tak memberinya kesempatan untuk itu. Mungkin juga karena dia tahu pertunjukkan itu sudah jadi tontonan dan pemainnya semua yang hadir di gedung pertunjukkan, termasuk dirinya. Namun bisa jadi segalanya berjalan seperti ini lebih karena dirinya sedang tahu diri. Dia menyadari sebagai seorang pemain yang tangguh, politisi yang ulung, geng dari sebuah kelompok yang licin dan tahu pintu masuk dan keluar setiap persoalan sesulit apapun.
Ya, segalanya mungkin bagi orang besar dan penguasa seperti dia. Apalagi cuma menghadapi seorang Bintang Sakti dan anak-anak muda yang perlu mainan. Bila yang terakhir ini benar, tampaknya untuk malam ini dia harus kecewa, sebab begitu ia bermaksud bertatap muka dengan Bintang Sakti, barangkali untuk menentukan deal-deal atau yah, setidaknya sedikit konfirmasi si politikus lebih dulu melompat keluar berbekal kunci pintu belakang gedung pertunjukkan. Banyak pertanyaan tersisa, termasuk mengapa insiden itu terjadi justru di akhir cerita? Tiadakah tangan-tangan yang bisa bekerja dengan baik sehingga tak perlu insiden itu terjadi? Atau tidakkah justru ini hasil kerja terbaik pembuat skenario yang bakal menyimpan sejuta misteri setidaknya untuk malam ini? Pertanyaan itu tinggallah pertanyaan, meskipun hanya untuk sementara.
Delapan
YANG tak boleh lupa diceritakan, tapi baru ingat sekarang adalah penampilan Sulistyorini malam itu. Ia kelihatan amat berbeda dari biasanya, bukan karena duduk setikar dengan papanya, memang sebuah pemandangan yang jarang ditemui Biru Langit di hari biasa.
Kesannya, dia memang sedang berbahagia, sehingga begitu bahagianya, sebagai perempuan dia harus memendam perasaan, buntutnya yang tampil di luar tubuhnya malah sikap kemalu-maluannya. Satu lagi, kebiasaannya mengenakan celana jean dan Tshirt ketat, untuk waktu itu ia tanggalkan dan berganti dengan kemeja halus dan rok panjang. “Kau terlihat lebih anggun dengan penampilan seperti ini Sulistyorini,” Karena kaget setengan terpukau, Biru Langit terpaksa menembakkan pujian seperti itu. Buntutnya, perempuan itu lebih terlihat kekenak-kanakkan. Melihat sikap perempuannya seperti itu, Biru Langit keterrusan melemparkan pujian dan kali ini lebih berani bicara tentang isi roknya. “Ah, yang satu ini untuk aku saja, ya!” Biru Langit cekikikan sebelum akhirnya senyum kecut diserobot teori Profesor Maryuhan Kurnia tentang kelamin.
Beruntung malam itu Profesor tak mengikut sertakakan putrinya pulang bersama dengan mobil VWnya. Setelah basa-basi sebentar minta Biru Langit main ke rumahnya di Dharmahusada atau di kamar kerjanya di Bedah Plastik Rumah Sakit Karangmenjangan. (Bisa jadi ini bukan basa-basi, karena professor itu berujar tanpa didampingi istrinya Puri Wangi. Betapa wanita sering meragukan isi hati laki-laki). Sepeninggal professor, jadinya Biru Langit bisa punya waktu panjang untuk menenangkan diri, menyibukkan diri atau mengubur dan bahkan membolak-balik isi hatinya tentang perempuan Sulistyorini. Hasilnya, seperti ini: Begitu panjang waktunya, selain karena malam Minggu jadi trade mark malam panjang, dua sejoli itu duduk duduk di depan jalan Simpang, bicara soal naluri, jalan-jalan di Jembatan Yos Sudarso disitu terungkap soal tanggungjawab. “Semoga tak ada yang terluka,” katanya, tanpa memberi penjelasan siapa yang dimaksud. Memang tidak ada yang terluka malam itu. Betapa indah Kalimas di waktu malam yang berlukis perahu dan kerlip lampu metropolis remang. Kadang terdengar kecipak ikan yang menyembul di permukaan juga gemericik air yang terpecah dan senantisa membuat kesadaran dua sejoli itu dalam jaga. Tidak disangka perempuan Sulistyorini menyimpan banyak bahasa. “Adakah keberanian jika ingin kutelusuri tubuhmu dengan kesederhanaan bahasa untuk menggali sepotong hati yang selalu kau simpan rapat di bawah kuasa dalam gengamanmu. Betapapun hanya beberapa, makna itu telah memiliki sayap di lengannya. Yang menjadikan semua berjalan biasa tanpa kata, atau juga kalimat yang panjang-panjang yang kubaca, sebuah kesederhanaan bahasa. Saya kira, saya benar-benar suka padamu Biru Langit. Semoga tidak menjadi seonggok penyesalan.”
“Ada yang tak kau suka dan terpikir olehmu, Sulistyorini?” Biru Langit mencoba mengusik dan membaca pikiran kekasihnya.
“Tidak,” Sulistyorini menghentikan pernyataannya. Ia balik bertanya, “Apakah dengan yang kita alami aku bisa disebut kekasihmu, atau kau kusebut kekasihku Biru Langit?”
“Kenapa kamu kembali sentimental, berubah dari beberapa jam lalu?” Biru Langit asal kena.
“Aku hanya memastikan tak ingin ada orang lain yang memasuki hadir di antara kita, dalam cerita kita,” perempuan itu mempertontonkan muka kusutnya.
Duduk di tepi pagar besi Kalimas, dua sejoli itupun tanpa ragu saling berangkulan, berpelukan dan disusul kemudian Biru Langit mencium pipi Sulistyorini dan menyentuh bibirnya. Biru Langit tahu dan sadar tak boleh terlambat melakukan itu. Jadi ia sudah memilih tepat waktu. Sebelum akhirnya perempuan itu bertindak atau berkata yang lebih sentimental lagi dan sebelum hal itu menggerogoti isi hati Biru Langit dengan sendirinya. Ia sudah tahu pasti soal keperawanan. Itu lagi yang jadi senjata Sulistyorini. Begitulah Biru Langit berani ambil resiko dengan lebih dulu menciumnya. Selamat.
Meski malam bertambah malam, namun tidak ada tanda-tanda menunjukkan hal itu. Bahkan jalanan makin padat berisi. Kesibukan malam justru menuju puncaknya. Waktu menunjukkan sekitar pukul 22.00 wib. Sebelum pulang diajaknya gadis itu memesan makan malam di lesehan Yos Sudarso. Entah pernah terjadi dalam pengalaman Sulistyorini ataukah tidak, Biru Langit tak begitu peduli memaksanya duduk di warung pinggir jalan berbaur dengan asap rokok dan tungku pemilik warung beralaskan tikar atau terpal berdebu. Biru Langit memesan krengsengan dan Sulistyorini menyantap mie goreng. Lamban sekali perempuan itu makan, mungkin karena panas, mungkin juga bermaksud menikmati. Tapi bukan mustahil karena takut kehilangan waktu. “Selepas malam ini, pasti hanya ada kegelisahan. Apalagi Biru Langit segera berangkat ke Jakarta. Tentu aku tak bisa sedikitpun mengusir bayangannya. Namun aku pun tak mendapati sesuatu dari pencarianku. Ah, aku semakin berpikir banyak tentangnya. Semoga kegelisahan ini tak mengganggumu di sana,” Sulistyorini tak mengucapkan ini karena bibirnya sibuk atau lebih tepatnya menyibukkan diri agar terkesan tampil lahap mengusir kebutuhan tubuhnya dengan mie goring yang mungkin bercampur semut, ulat atau keki kecoak yang sama sekali tak dia tahu. “Aku mengherankan diriku kenapa aku masih malu, sesuatu yang amat dibenci Biru Langit. Tidak boleh. Aku sekarang sudah banyak belajar tentang naluri. Aku ingin semua yang t elah kudapat tak pernah berakhir dan aku sekarang merasa sangat bahagia. Kebahagiaan ini tak boleh pergi karena ini kali pertama aku merasa kehidupan menjadi berarti. Bukankah telah ada orang untuk diajak berbagi, tanpa perasaan tertekan tanpa depresi. “Ketakutannya akan kehabisan waktu tak mau pergi. Toh jam pun kian mendekati tengah malam dan adat kesopanan perempuan jadi pertimbangan.
Terlepas dari itu, sepiring krengsengan dan mie goreng memang telah ludes tanpa sisa. Setelah menghabiskan sia minuman the botol dan bayar ke pemilik warung, Sulistyorini harus pulang. Taksi langsung meluncur ke Dharmahusada, melintas cepat lewat jalan Moestopo, Karangmenjangan, Kalidami dan tembus Kertajaya berbelok ambil arah kiri. Setelah itu tak ingat persis karena ingatan Biru Langit jatu pada Sulistyorini yang bergaun malam. Makin mendekati pintu rumahnya, Biru Langit, Biru Langit makin disibukkan dengan mencari kalimat yang sekiranya bisa ditinggalkan kekasihnya, agar dirinya sulit untuk memejamkan mata. Beruntung kemudian sebelum turun dari taksi, Sulistyorini mengajukan pertanyaan yang mungkin tak begitu penting dan asal kena saja. Sebaliknya menjadi tantangan dengan menggerakkan hati Biru Langit untuk mencari jawaban terberat agar tak mudah hilang dan lekang di makan waktu.
“Kau harus jawab pertanyaanku. Apa sih yang menarik dari aku, bagi kamu?”
“Semuanya. Karena engkau pilihanku. Maka di dalamnya, termasuk harus bisa menerima kekuranganmu juga. Semua harus bisa dipertanggungjawabkan,”
Jawaban Biru Langit kedengarannya sedikit memaksa. Tak mengapa. Tapi ini bukti dia telah mampu menundukkan putrid seorang profesor bedah plastik terkemuka.
Taksi meluncur ke kontrakannya di Menur.
Sembilan
HAMPIR bisa diduga, bila kemudian tidur Sulistyorini di kamar mewahnya tak bisa jenak. Jalan pikirannya berputar dan perasaan bercampur aduk. Sesekali melintas bayangan tubuh Biru Langit yang di jalanan. (padahal sebetulnya laki-laki itu telah pulang di rumah kontrakannya) Sementara dirinya berbaring nyaman di kasur empuk berselimut tebal.
Di saat lain rencana keberangkatan kekasihnya ke Jakarta terus juga terngiang-ngiang di telinga dan isi otaknya. Lalu, kepulangan di tengah malam hari memaksanya harus membersihkan tubuhnya dan mandi sedikit banyak malah menunda waktu tidurnya. Tubuhnya serasa lebih segar dri sebelumnya. Belum lagi semangat hidupnya saban kali sehabis menelan setiap kata Biru Langit menghidupkan emosinya. Pendek kata, betapa ia merasa merugi bila menghabiskan sisa malam dengan memejamkan mata. Kemudian entah bagaimana mulanya dia menikmati betul malam yang tersisa ini lantaran begitu yakin Biru Langit juga melakukan hal yang sama—tak segera tidur untuk membayangkan dirinya (padahal semenjak tiba di kontrakannya, tanpa menyentuh air barang sedikitpun laki-laki itu langsung amblas alias molor).
Karena beberapa rencana sudah diputuskan sejak mula, mencari kawan lamanya Pam dan memenuhi undangan professor bedah plastik Maryuhan Kurnia) Sialnya, tubuh Sulistyorini makin sulit diajak kompromi. Sedikit saja waktu lengah dari pikiran, perasaan dan emosinya, perempuan itu pun tertidur tanpa daya, tergolek lunglai seperti kain bekas. Dia memang merasa sial, dalam tidur pendeknya tanyata masih diganggu dengan mimpi buruk. Tentu saja segala perasaan dan mimpinya yang belakangan itu baru dirasakannya tatkala bangun, saat pnya sedikit waktu untuk merangkai kembali jalinan ketaksadarannya, yang tergambar di aras otaknya. Kurang lebih seperti ini: Suatu saat perempuan itu berlari seperti hendak memburu sesuatu. Anehnya dia lakukan itu di tengah samudera. Tak berapa lama perempuan itu dalam pelariannya menyaksikan ada tiga arah jalan di air. Terang saja ia pun memilih salah satunya. Di luar dugaan pilihannya mengagetkannya lantaran jalan itu dekat dengan gelombang besar. Apa boleh dikata itulah pilihannya dan itulah baginya yang cocok. Kembali perempuan itu dikejutkan perjumpaannya di sebuah rumah yang tertutup dan gelap. Entahlah bagaimana mulanya ia diberitahu seseorang bahwa Biru Langit sedang ada di langit-langit. Sulistyorini menggigil, begitu tahu Biru Langit tersekap di sana dengan wajah yang hampir seluruhnya tertutp kain putih melilit mirip perban. Hanya mata dan mulut yang kelihatan dari sela-sela ikatan. Di wajah Biru Langit ada pisau yang diikatkan di sana. Dia melihat kekasihnya dengan kecemasan dan Biru Langit menatap Sulistyorini penuh harap memohon pertolongan. Akhirnya seseorang mengijinkan mereka berdua berjalan-jalan dengan menenteng pisau dan parang. Begitulah yang begitu jelas dalam gambaran, sebelum perempuan menjatuhkan pilihan sebuah jalan, berulang kali dibingungkan dengan daftar yang cocok dengan dirinya. Walhasil, sebelum keputusan itu, telah lebih didahului musibah dan terjebur di samudera yang lumayan luasnya, meski dari petunjuk beberapa orang perempuan itu akhirnya bias naik ke daratan lagi. Sesungguhnya, masih ada lagi bagian lain dari mimpi itu, tapi sebagaimana kebanyakan mimpi ada pula yang sulit dibahasakan kembali dengan pikiran, apalagi bila telah lewat waktu. Ya, waktu terkadang cukup kejam mendzolimi alam bawah sadar. Atau jalan pikiran manusia saja yang seringkali tersumbat di bagian sisi lobus occupitalis yang tak bias membedakan mimpi dan kenyataan, justru pada satu titik penting terbangun dari tidur?[]
DELAPAN
INSPIRASI
Satu
BILA pagi itu ada pemandangan menarik di penghujung abad ini, maka terjadilah. Meski bukan yang paling spektakuler, namun itu terjadi di sebuah kurun waktu paling mutakhir sebabnya berabad-abad yang lalu memang memangpernah terjadi. Puluhan tahun sesudahnya juga menghiasi wajah kota ini. Bertahun-tahun lalu masih juga sering terjadi. Akan tetapi bisa diduga mengapa sekarang begitu unik dan terkesan gila romantika. Padahal itu bukan.
Ya, pagi itu Biru Lagit langsung mengayuh sepedanya, melintasi kota. Ia bermaksud melunasi janjinya pada dirinya sendiri. Lantas apa yang terjadi bila ia memancal sepeda butut kesayangannya. Tentu saja wajah kota seperti ibarat menggarami samudera. Tak banyak berubah di tengah hiruk pikuk zaman yang sudah menggila. Hanya Biru Langit sendiri yang bisa merasai bagaimana sejarah ini ada dalam dirinya—ia hanya melunasi janji dengan mencari sepotong manusia yang bisa jadi tiada arti bagi zaman ini—Pam. Betapa dengan semangat dalam dirinya itu ia pun mencari dirinya sendiri makna sejarah.
Asap dari deru kendaraan di jalan seperti angin yang berlalu dalam dirinya. Ketika dia melenggang di Simpang dengan mengangkat dagunya dan mendongakkan wajahnya, Biru Langit memandangi sebuah rumah sakit tua di seberang kanan jalan. Di situlah dulunya dokter pribumi Soetomo pertama kalinya menampung pasien-pasiennya. Entah mengapa ia menyaksikan dokar banyak hilir mudik di sepanjang jalan itu dan mendapati Darsam dan Robert Suurshof. Ia meluncur ke arah ELS.71) Barangkali maksudnya hendak meledek Minke yang dua tahun di sana tinggal kelas satu. Ia meninggalkan dokar dan memotong jalan tembus di kanan, sebelum akhirnya merapat di kiri jalan dekat pasar Pandegiling.
Entah mengapa, lagi-lagi otaknya merasa diajaknya terhenti dan batinnya merasa memiliki seorang kawan. Seniman tapi juga ilmuwan. Namanya Slamet. Dia seorang seniman musik. Atau lebih kerennya komponis. Dia pun diingatkan dengan Jean Maris, sahabat Max Tollenar, yang cacar karena keganasan perang Aceh. Tak Cuma cacat, yang membuat keduanya mengingatkan Biru Langit pada Slamet. Tapi juga diantara keduanya darahnya berbau Perancis. Jean Maris orang Perancis yang lantas jadi serdadu Belanda. Slamet beristri orang Perancis ketika belajar musik di sana. Sayangnya, hingga kini ia tetap memilih tinggal di gang sempit dekat pasar Pandegiling. Ketika melanjutkan sepedanya di Embong Malang, dalam hati Biru Langit hanya mengingat dengan satu pertanyaan. “Jalan ini tampaknya sudah tak layak lagi menyandang nama Embong Malang.” Karena itu barangkali ia sulit mengingat satu pun peristiwa di jalan yang telah malang melintang lantaran suntuk oleh gang-gang yang tak karuan, sebelum sampai di pacuan kuda, tepatnya dekat pabrik es.
Biru Langit membanting arah sepedanya di gang-gang sempit berbau. Bahkan begitu rumit, iapun berkali- kali berputar haluan. Memotong satu dua jalan rel kereta api. Kemudian masuklah di gang tersempit di kampung itu. Begitu sempit, nyaris sempoyongan bila acap kali ada orang masuk, lantaran di kanan-kiri masih terpasang tiang jemuran penduduk kampung.
Ya, itu kunjungan kedua Biru Langit ke rumah mungil itu. Satu-satunya catatan yang tak pernah terhapus dari ingatannya tentang rumah itu karena bersebelahan dengan badan rel kereta. Apalagi kali pertama datang ke sana Biru Langit harus menembus kuburan, tanah, serta kali paling busuk di kampung yang kemudian diingatnya bernama Asemrowo itu.
Dua
WANITA tua itu, benar-benar tak bisa menyembunyikan ketuaannya. Kacamatanya, sisa rambut putihnya di bawah kerudung, baju kebayanya yang banyak menyediaakan tempat bagi peniti pelbagai ukuran dan pasti keriput kulit tangannya yang berkeliau.
Ya, bagi Biru Langit tidak ada yang terlupakan pada diri ibunda Pam. Demikian pula, sebaliknya, tak lama dia mengingat Biru Langit sebagai sahabat anaknya. Bahkan dia tak lupa Biru Langitlah kawan terbaiknya. (Jika belakangan berubah, tentu hanya mereka berdualah yang tahu duduk soalnya). Raut wajahnya yang dingin, bukti wanita itu banyak makan asam garam membesarkan anak-anaknya. Tak pernah mempertontonkan kesedihan (dan bahkan kegembiraan). Tak sempat pula memperlihatkan rautnya yang cepat berubah oleh kejutan, kekawatiran, apalagi merasa bersalah.
Pendeknya dia sosok wanita yang sering disebut-sebut orang Jawa sebagai sosok yang memegang teguh prinsip hidup “Orang hidup ojo kagetan. Orang hidup harus selalu siap dengan yang terburuk. Ada banyak hal yang sudah terjadi sepanjang hidup sehingga kadang sesuatu hal menjadi biasa saja dibandingkan hal-hal lain.” Sebuah pesan hidup yang mengingatkan akan kata-kata dalam kitab Wulangreh: den ajembar, den momot lawan, den wengku, den kaya segara.72) Ya, suatu pandangan hidup yang sederhana tapi juga demikian rumitnya. Sederhana lantaran kata-kata demikian pendek ungkapannya tapi rumit oleh karena Biru Langit mengerti arti sepenuhnya. “Manungsa tinitah luwih, apa ngaken raksa, mulya dewe saking Kang Dumadi.” 73) Ah, kedengarannya ada bahasa lain yang seringkali diucapkan orang. Tapi apalagi maunya bahasa Jawa yang kali ini. Entahlah, ini hanya soal kesan dan pesan dan raut wajah perempuan tua ibunda Pam.
Kedatangan Biru Langit pun tak membuatnya terkejut. Dengan sabar ia pun mendudukkan Biru Lanit dan mendudukkan perkaranya. Sebaliknya, justru Biru Langitlah yang dibuat terkejut wanita itu, ketika didengarnya kabar Pam Langit tak lagi pulang ke rumah. Ia pergi entah kemana. Tanpa kabar, tanpa berita. Selama bertamu, Biru Langit tak banyak bicara. Apalagi basa-basi. Demikian pula dengan wanita itu karena memang tak banyak yang bisa dibicarakannya. Beruntung, sepucuk surat penting telah membantu mengungkap perihal misteri laki-laki Pam. Dari ibundanya Pam itu, Biru Langit mendapati sepucuk surat panjang tertulis rapi dengan jari Pam, tanpa coretan. Hebatnya itu surat pertama dan terakhir yang tampaknya sengaja tidak hanya diperuntukkan ibundanya. Lebih tepatnya itu sebuah kartu ucapan terpanjang di hari lebaran sebagai permohonan maaf kepada siapa pun yang mau membacanya.
Beruntung pulalah ibunda Pam cukup mengerti dan sudi menyimpannya baik-baik surat itu di kopor tua terbuat dari seng. Setelah Biru Langit bermaksud meminjamnya untuk disalin dan berjanji mengembalikannya, beginilah isi surat itu dalam salinan Biru Langit:
Kami sekeluarga besar. Itu betul-betul kami rasakan waktu pernikahan Kang Darman, kakak nomor dua. Kami berkumpul dan bukan main riuhnya anak cucu ibu dan ayah. Aku masih teringat jelas karena sempat meminjami dasi sejam sebelum akad nikah Kang Darman. Sampai sekarang dasi itu belum kembali. Sudah pasti lenyap karena peristiwanya sudah tujuh tahun silam. Kecuali itu, rasanya semenjak itulah kami semua sudah merasa dewasa di hadapan ayah ibu. Adik terkecilku tujuh tahun lalu sudah kelas tiga SMA. Tentu saja kini telah bekerja. Bahkan tinggal dau dari kami yang belum berkeluarga. Pernikahan Kang Darman itu pun sudah jauh dilangkahi beberapa adiknya.
Keluarga kami sepuluh orang. Dua diantaranaya perempuan. Wajar jika karena kesibukan masing-masing kami baru dipertemukan kembali pada hari lebaran. Selain itu tidak lagi. Jadi lebaran itu hari yang amat istimewa. Tidak mungkin ditinggalkan. Tapi sekarang tidak lagi seperti itu. Semenjak pernikahan Kang Darman, bahkan ibu pernah cerita biu punya anak banyak agar besok sering ada upacara pernikahan.
Itu sudah berjalan beberapa tahun terakhir semenjak pernikahan kakakku. Aku teringat betul dan aku yakin keluargaku lainnya juga berbuat hal yang sama. Waktu itu suasana memang menyentuh melihat acara pernikahan Kang Darman. Kang Darman seperti orang yang sekian tahun lamanya baru sembuh dari sakitnya. Kang Darman menikah pada usia yang tergolong tua dan memperoleh gadis yang amat muda. Bukan karena itu saja, sepanjang usia tua Kang Darman semua tahu dialah yang paling banyak menyusahkan orangtua. Khususnya ibu kandung kami. Sepertinya kakakku itu orang sakit. Sebetulnya tidak. Buktinya, dialah yang punya keberanian tinggi untuk memilih hidup yang kukira sebetulnya punya resiko besar. Sehabis menikah dan punya anak satu perempuan, Kang Darman merantau ke negeri jiran, Malaysia sampai sekarang. Kata itu keberanian itu sudah nampak pada masa dia masuk taman kanak-kanak. Kang Darman itu pekerja keras dan tentu saja sayang ibu. Hanya ibu yang tahu. Bapak sendiri tidak pernah menghadapi persoalan seperti yang dihadapi ibu. Itu perbedaan ibu dengan bapak. Bapak itu orang yang terlampau dihormati, tidak pernah Kang Darman membantah atau main bentak seperti yang dilakukannya terhadap ibu.
Semenjak pernikahan Kang Darman, seoalah semuanya menemukan jalan terang. Segala kenangan pahit seolah terhapus dalam sehari. Aku masih ingat bagaimana barang-barang perabotan itu hancur oleh kapak Kang Darman, bagaimana padi di sawah ludes dijual tengkulak tanpa sepengetahuan ibu dan bapak. Suatu ketika ibu kepergok nyaris menenggak racun serangga karena ulah Kang Darman itu. Itu cerita lama yang lenytap oleh peluk cium ibu pada Kang Darman di hadapan bapak. Aku tidak tahu betul bagaimana perasaan ibu dan Kang Darman, karena aku tak betul-betul tahu apa yang terjadi. Aku hanya sempat meminjami dasi waktu pernikahan Kang Darman. Itu kuingat betul. Sudah sekian tahun tidak pernah ia ganti karena semenjak kepergiannya ke Malaysia dia tak pernah kembali. Hanya beberapa lembar surat dan wesel yang dia kirim bua mertuanya, tidak buat ibu. Alasannya, Kang Darman memang tak sanggup untuk membuat surat kecuali ucapan-ucapan salam, kecuali oleh karena ibuku yang tak tahu baca-baca. Ibu tahu betul itu. Tapi yang dipikirkan ibu, satukali saja kiriman uang tak pernah jatuh ke tangannya. Itu yang membuat dia curiga. Lagi pula sudah sekian tahun. Padahal dia meninggalkan anak darah dagingnya di tempat ibu. Bila ibu memuntahkan marah, siapa saja bakal kena, tidak kecil tidak pula dewasa. Aku bisa bayangkan andaikata tak seoarang pun di sebelah ibu kecuali bapak. Bapak akan menanggapinya dengan lelucon-lelucon, satu hal yang paling ibu benci dan tak hilang dari kehidupan bapak. Rumah yang Cuma dihuni sepasarang orangtua jadi riuh membicarakan anak di rantau.
Tahun-tahun berlalu dan itu sudah berjalan sepanjang tahun. Karena itu lebaran tahun ini tidak bakal ada yang istimewa. Tak ada surat, wesel apalagi kartu ucapan. Bapak-ibu sendiri tinggal ditemani adik perempuan kami. Kemudian bapak-ibu sudah tak kuat lagi pergi sembahyang ke masjid. Hanya dalam hati saling memintakan maaf. Tidak sempat meninggalkan rumah untuk bersilaturahmi. Hanya si bungsu, adik kami satu-satunya, harapan untuk menutupi itu semua. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana perasaan sesungguhnya bapak dan ibu ditinggalkan anak-anaknya. Hanya kenangan masa-masa kecil anak-anak yang menghiasi hidupnya—terakhir dia cium pipi Kang Darman sebelum pergi ke Malaysia cari kerja. Sampai membuat rumah, sebagian juga dibelikan sapi. Dan membiarkan bapak ibunya menunggu hasil sepetak sawah warisa. Ujian apalagi sebetulnya yang dilupakan Tupah pada keluarga kami.
Ibu pernah menangis dan aku memergoki ibu menyembunyikan air mata meratapi anak hilang di rantauan. Semenjak itu aku seperti dihidupkan lagi untuk mencintai ibu dan mengutuk kakak-kakakku yang tinggal di Jakarta, misalnya. Jakarta memang tempat yang jauh. Orang bilang jarak antar kota tak mengubah rasa cinta. Bagi ibu, tidak. Cinta ibu tanpa kabar. Jika ibu hendak menyiapkan kebutuhan puasa dan lebaran, ibu sendiri pergi ke pasar. Tak perlu menunggu uluran tangan dan kiriman kakakku. Apalagi orang lain. Sampai betul-betul biasa di mata ibu. Setidaknya, ibu tak pernah mengeluh di hadapanku meskipun aku kerapkali certa soal dasi. Aku perlu menjelaskan pada ibu bahwa dasi memang soal sepele, tapi yang perlu kutegaskan adalah rasa kasih sayang yang sedikit itu pada Kang Darman yang dulu ibu sering menyebutnya durhaka. Itu yang mau kutunjukkan pada ibu. Itu pun aku belajar banyak dari naluri-anak-anak karena memang hanya itu yang aku bisa. Perhatian semacam itu yang kata ibu tak pernah dipinjam saudaraku yang lain. Mereka saling sibuk dengan urusannya sendiri dengan keluarganya dan anak-anaknya sendiri pula. Sampai tak pernah menyempatkan diri untuk menjenguk bapak dan ibu di hari lebaran sekalipun. Ibu tidak pernah terima kabar apakah alasan tak kebagian tiket kereta atau memang tak sanggup menyisakan uang untuk pulan, jauh lebih bisa diterima asalan Kang Darman di Malaysia. Jauh dan sedang cari uang.
Suatu ketika ibu berniat mengganti dasi yang aku maksudkan. Aku tersinggung. Aku menolak dan aku tak bermaksud agar ibu berbuat seperti itu. Barangkali ibu terganggu juga dengan ulahku. Aku hanya mohon maaf pada ibu dalam hati. Lantas membiarkan ibu sendirian pergi ke pasar mencari buah kurma kesukaannya. Itu yang terpenting bagi ibu, katanya. Aku sudah terbiasa melihat ibu sendiri. Karena itu aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya bisa melukis kartu ucapan sepanjang ini. Tidak cukup aku mewakilkan maafku hanya dengan dua kalimat majemuk yang sudah terlampau sering diucapkan orang. Tidak ada artinya. Di bagian akhir kartu ucapan aku membubuhkan tanda tangan. Di sini banyak buah kurma ibu. Tapi aku tak bisa beli buat ibu. Sebab di sini pula banyak berita-berita besar yang tak ingin kuceritakan buat ibu. Aku tulis kartu ucapan ini tepat pada saat banyaknya karyawan di PHK, tenaga kerja dipulangkan dari Malaysia. Tapi percayalah Kang Darman tak akan pulang. Demikian pula dengan yang lain. Salam buat ibu. Mohon maaf lahir dan batin.
Dari putramu.
Tiga
EDAN! Masih saja tak berubah kelakuan si pemuja setan satu ini. Makin menyebabkan Biru Langit mendapat satu lagi julukan baru padanya—si bunglon. Betapa banyak cingcongnya, tetap tak mau pergi dari mulutnya, hanya untuk menyelamatkan dirinya. Seperti inilah gambaran si Pam saat berdiskusi dengan kawan-kawan di kampus soal apa saja dari masalah politik, ideologi sampai soal wanita. Berputar-putar tanpa menjelaskan sumber persoalan yang sebenarnya. Bahkan sekarang ia meninggalkan bangku kuliah tanpa kejelasan batang hidungnya.
Betapa dalam suratnya ia banyak mengutuk saudaranya yang hilang, tapi sesungguhnya Pam sendiri telah menunjukkan sikap bahwa dirinya juga tak mau pulang. Barangkali ini dia lakukan karena terlalu banyak membaca buku-buku dan dia memilih racun yang direguknya dari buku-buku itu.
“Kasihan sekali kau bunglon! Kau bisa jadi orang yang sangat berbahaya, tidak bagi engkau sendiri tetapi juga bagi orang lain.” Begitu Biru Langit bicara dalam hati.
Lepas dari itu Biru Langit harus jujur mengakui banyak dari ungkapan si bunglon itu yang memikat hatinya. Terutama gaya tulisannya yang banyak kejutan-kejutan, kompleks dan berisi. Kedua, meski sebatas kata, tampaknya si bunglon itu tahu benar bagaimana menggugah rasa cinta terhadap sang ibu. Sesuatu yang tak ada pada Biru Langit. Karena itu, diam-diam Biru Langit mengaguminya sambil meratapi dirinya, yang tak lagi memiliki ibu. Ibunya kini telah berada di tempat yang jauh, mati karena nelangsa sejak ayahnya terbunuh oleh peluru penembak misterius. Inilah untuk kali pertama di benaknya timbul keberanian melintaskan masa lalunya yang hitam menghitam. Lalu, melintaskan kembali hidupnya bahwa ternyata dirinya masih tetap manusia. Dan sedikit dalam dengan mulai tumbuh sebuah pengetahuan bagaimana ia bisa mulai mencintai ibu dan bapaknya.
Ironisnya, itu semua ditumbuhkan oleh sahabatnya yang telah hilang dalam sebuah surat terakhirnya. Ya, suatu pesan tanpa alamat. “Lagi-lagi kau membuatku marah, gelisah, kasihan, Bunglon! Tapi bila kelak kutemukan kau, aku tak segan menyirami engkau dengan ucapan terimakasih,” kenangnya.
Tentang bunglon ini Biru Langit mendapati kata kunci di kamus: Bunglon Sisir, hidup di pohon yang sebarannya di sekitar hutan Maluku dan Irian Jaya—Ah, cocok dengan warna kulit Pam yang kehitam-hitaman. “Betapa suratmu makin mencerminkan kehidupanmu tak jauh dari milikku, jalanan adalah rumahmu,” Batin Biru Langit main bergejolak. Ia tak yakin, bakal pergi terbuang di sisi jalanan, tertiup angin dan asap debu kendaraan bermotor. Pikiran itu kian sabar mengikuti ayunan kaki pada pedal sepeda pancal.
Empat
SANGAT kusut pikiran Biru Langit, diserbu habis isi surat terakhir Pam. Ia seperti diburu-buru masa lalunya dengan perempuan ibunya. Setiap kali menyeberangi jalan, seolah giliran badai jalanan yang membebani kayuhan sepedanya. Ia menjadi tak kenal waktu. Satu-satunya yang diingatnya hanyalah beban pikirannya, bahwa ia kini merasa kembali menjadi manusia, punya orangtua. Mengenang kembali ruh ibunya, semangat hidupnya, penderitaannya, janjinya, cita-citanya, bahkan kesiapan menghadapi kematiannya. Helai demi helai terpajak jelas di hadapannya.
Pada kesempatan lain, masih di atas sepedanya dan di jalanan, helai-demi helai masa depannya tergambar jelas pula. Disadarinya, masa depan tentu tak lagi seperti masa lalunya, setidaknya atas pantulan spirit hidup dan mati ibundanya. Betapa dulu peristiwa berlalu dan dirinya terbenam di dalamnya. Entah, kekuatan apa dan dimana letaknya dalam hidupnya yang kemudian menyelamatkan dirinya seperti sekarang ini.
“Ya, sesuatu telah terjadi. Tetapi sesuatu juga telah menjadi diriku hingga tumbuh seperti sekarang,” pikirnya tanpa henti. Jalan pikirannya pun kian mendesakkan untuk terus merenungkan siapa di balik ini semua. Kekuatan dirinya sendirikah? Kesabaran? Penderitaan? Keseriusan? Keluguan? Terang saja tak menemukan jawaban karena sengaja, laki-laki ini masih menutup satu kemungkinan yang mengunci segala pikirannya: Tuhan. Bukan karena apa, lantaran dalam hitungan menit atau jam, ia masih belum lepas dari angka satu dari kesadarannya sebagai manusia. Pendek kata, Biru Langit belum yakin seratus persen dengan dirinya sendiri. Boleh jadi perasaan ini, pikiran seperti ini cuma gurauan salah satu metabolisme tubuhnya sendiri.
Ya, terus terang, mumpung ini sebuah kesempatan, ia tak mau spekulasi diganggu oleh kekuasaan Tuhan. Ia tak mau ambil resiko, bila sekilas saja mampir di benaknya, pikirannya bisa berhenti mendadak dan mengagetkan reaksi tubuhnya, lalu berhentilah ia mengayuh sepedanya. Betapa mengerikan. Sepintas, itu semua tak terjadi. Roda sepeda tetap berputar. Mulailah Biru Langit merasa menjadi manusia.
Ya, ia memulai jadi manusia tepat pada hari Minggu. Ironis, justru terjadi tatkala banyak orang sedang memilih untuk harinya istirahat, bersenang-senang, atau waktunya dibuang. Karena itu rasanya, pada hari itu ia tak pantas berhadapan, apalagi, berurusan dengan orang. Setidaknya, ia harus tahu memilih orang, sesuatu hal yang amat sulit dilakukannya bila sedang di jalanan. Padahal bukankah Pam baru saja mengingatkan dirinya juga orang jalanan? Jalanan baginya seperti denyut jantung. Atau sebaliknya, denyut nadinya hidup laiknya hiruk pikuk jalanan. Inilah, gairah baru dalam diri laki-laki itu. Meski sebetulnya yang tepat adalah inilah kesadaran baru akan gairah hidupnya yang dinamis seperti mesin waktu. Ajaran ibunya memperkuat kesadaran itu. “Orang miskin tidak boleh lelah, tidak boleh capek. Orang miskin tidak boleh mengeluh.” Maka dari itu, hari pertama hidup, menjadi siksaan bagi Biru Langit. Betapa meski demikian ia tak boleh menangis seperti bayi keluar dari rahim. Karena dia sedang tidak telanjang. Bedanya lagi bila bayi baru lahir berbaur antara malu, takut, bangga, sedih sehingga jadilah tangis, tidak demikian dengan Biru Langit. Mungkin ada pada dirinya perasaan malu, sedih, bangga, takut. Tetapi ia telanjur dibekali dengan pikiran. Karena itu satu-satunya jalan harus berpikir dan bukan menangis. Sebab itu untuk selanjutnya, ia punya nyali untuk menghentikan laju sepedanya, akibat satu kegiatan penting: Berpikir tentang tujuan hidup, maksudnya langkah berikutnya sesudah detik-detik menjadi manusia. Sejenak ia memeras otak, beberapa kata diputar-putar: manusia-hidup-hari minggu-rekreasi. Ketemulah jawabannya: Rumah Sakit.
“Ya, sesuatu kesukaanku yang telah lama tak kulakukan harus kulakukan hari ini. Tamasya ke rumah sakit,” Biru Langit girang memperlihatkan gairahnya yang berkobar. Sudah pasti hasrat gembiranya, ini berbeda dengan apa yang terjadi pada keluarga priyayi macam Sulistyorini.
Ia menatap matahari dan mamastikan sudah nyaris meninggalkan siang. Ia juga memastikan jam-jam seperti ini di hari libur, Sulistyorini asyik bermain ice sceating di Plaza Tunjungan, bersama gadis-gadis atau anak kecil yang menjerit-jerit kegirangan. Benar-benar anak papa mama. Betapa si Sulistyorini ditemani mamanya, Puri Wangi sambil menyantap kentang goreng. Atau ditinggal papanya si Profesor bedah plastik itu menikmati gado-gado di sebuah café di Hotel Garden Palace. Ah, Biru Langit mengaku tahu kebiasaan itu saja, merasa dirinya sedang merugi sebagai manusia jalan pikirannya kembali berputar, mengapa ia memilih rumah sakit, tidak panti jompo, panti asuhan, atau rumah sakit jiwa? Jawaban sementara karena di rumah sakit segala jalan menuju hidup dan mati terasa gamblang. Ada orang sehat yang hidup, ada orang mati, ada banyak yang setengah mati. Tak sedikit yang putus asa meminta mati, tapi masih hidup, lalu yang berjuang untuk agar tetap hidup juga lebih banyak lagi. Betapa fantastis. Yang bersedih, yang gembira, berduka, dan bahagia, raut-raut wajahnya amat gampang berbeda. Tampaknya inilah dan disinilah pelajaran pertama tentang hidup yang amat penting bagi siapa saja. Sayang hanya sedikit saja yang menyadari hal ini dan Biru Langit salah satunya.
Tentang rumah sakit jiwa, sebetulnya menarik juga, karena itu ia pun timbul keingintahuan, kelak bila telah datang masanya akan berkunjung ke sana. Untuk saat ini pertanyaan pertanyaan sebatas membentur pagar besi yang tertutup rapat di rumah sakti jiwa di Menur. Entah mengapa. Barangkali karena, rumah sakit jiwa adalah sebuah dunia manusia yang lain. Atau lebih tepatnya, tempat manusia hidup dengan cara pandang yang lain. Liyo-liyaning liyan.
Ah, ini semua masih asumsi-asumsi saja. Tetapi, saat ini yang tengah terjadi, Biru Langit telah berada persis di pintu belakang Rumah Sakit Karangmenjangan.74) Ia tahu apa yang hendak dilakukannya, membuka lebar-lebar matanya, kuping, hidung, pikiran dan perasaannya. Bahkan naluri, imajinasi, persepsi dan intuisi dan interpretasinya. Karena dengan cara itu, ia bisa merasakan jarak manusia dengan ruhnya sendiri. Bahkan pori-porinya pun ikut membuka diri. Sebuah pertanyaan menyerobot masuk dan tentu saja tak terjawab pasti, mengapa ia mulai tumbuh kesukaannya untuk masuk lewat pintu belakang yang tak lain adalah kamar mayat? Barangkali saja jawabnya ini karena ada sisa darah Jawa mengalir dalam dirinya sehingga ia cenderung main belakang yang sepele seperti dirinya hendak masuk dari belakang. Bila ingin di depan, tentunya harus mencuri kesempatan, menyerobot setiap hambatan untuk bisa ke depan. Mungkin. Bisa jadi, ini sebuah kiat Biru Langit untuk mengusir rasa takut terhadap hawa kematian. Betapa kematian di rumah sakit berbeda dengan di luar rumah sakit. Tidak ada doa-doa, bacaan-bacaan yang justru mencipta kengerian. Tidak ada nyanyian atau dupa atau selamatan yang menakutkan. Kematian di rumah sakit ini menjadi suatu hal yang biasa. Satu-satunya yang serupa dan itu hal yang menyenangkan adalah ciri warna putih yang menjanjikan sebuah jalan yang bening. Karena itu yang mencemaskan, mengapa masih ada orang suci yang beranggapan mati di rumah sakit mengurangi kesempurnaannya dibanding bila mati di rumah atau tentu saja di jalanan? Sebaliknya hal lain yang membedakan menyebabkan jurang perbedaan mati di rumah sakit dan di luar rumah sakit adalah, formalin 75) alias pengawet.
Memang menjelang masuk kamar mayat, terlebih bila dijumpai kereta dorong yang mengangkut jasad orang, setiap yang berpapasan senantiasa menutup hidungnya, berjalan cepat. Sebagian yang lain memilih berpaling atau berjongkok di sisi lorong dan menahan isi perutnya yang hendak ambrol karena muntah. Ia heran, mengapa isi tubuh orang tak demikian bisa diajak kompromi. Bukankah, barangkali inilah yang tepat sebuah inspirasi? Lantas dijawabnya sendiri soal inspirasi ini oleh Biru Langit. Dengan demikian, inspirasi menurutnya adalah setiap tindakan berani untuk melakukan tindakan kreatif, dan penghuni rumah sakit boleh berbangga karena ini.
Ah, coba bayangkan bila pemilik warung dan langganannya dekat kamar mayat itu sedang bekerja, menyantap makanan dan menenggak minuman. Kenikmatan tampak benar-benar milik mereka, tanpa menutup hidung, mata dan telinga. Pantaslah mereka awet muda, karena mereka pikir bau formalin menjadi suplemen baru bagi hidupnya.
Tak kurang menarik, pemandangan di lorong-lorong rumah sakit seperti pasar penuh sesak sosok-sosok yang begitu asing sampai tak terdefinisi satu persatu. Kaya miskin berbaur, kakek-nenek bercengkerama, laki perempuan, anak-anak maupun dewasa, bahkan begitu asing sampai sulit mengenali di antara mereka ini manusia jahat atau baik, hitam putih, sawo matang, bahkan antara malaikat dan jin. Mereka berkawan baik karena nasib. Mereka sosok yang senantiasa sabar menunggu dan menghargai waktu. Tiada saat yang tepat mempelajari hidup ini selain pada tingkah polah mereka. Ini mengingatkan pada sebuah sajak Alexander Pope, yang paling tepat untuk mempelajai kemanusiaan adalah manusia itu sendiri. Kiranya, cukup untuk itu. Tapi betapa di lorong itu lebih dari cukup ada malaikat, jin dan bukan mustahil Tuhan ada dimana-mana. Bohong kata orang bila tempat ini paling nyaman. Terbukti justru lorong-lorong ini tempat segala kegaduhan…....dengung lebah lebah menyerupai tempat ini. Salah besar bila rumah sakit tempat yang tepat bagi manusia untuk istirahat. Sebaliknya, justru lokasi palint membutuhkan energi besar untuk mencari hidup. Begitu besar makna itu di sana, sampai seringkali sukar membedakan orang sakit dan yang tidak sedang sakit. Mereka memilih untuk sibuk berbagi.
Setidaknya pemandanganitu sering dijumpai di lorong-lorong rumah sakit. Para pembezoek atau penunggu banyak menggelar tikar berbagi rasa dengan lainnya. Mereka yang sakit dengan masih memegangi infus di tangan atau dengan kaki atau bagian kepala dibebat perban, mencuri waktu berkeliaran di sana. Lalu berceritalah tentang penderitaan mereka bercerita untuk mengusir kesedihan. Mereka bercengkerama hanya untuk menemukan saat yang tepat agar bisa menertawakan dirinya, agar orang lain mau memaksakan dirinya menertawai bahan bicaranya sebagai lelucon. Karena itu leluconlah barang termahal di tempat itu selain tentu saja biaya di loket-loket rumah sakit.
Yang menakjubkan betapa lorong-lorong itu seperti kotak mainan anak-anak semasa Biru Langit kecil. Masih ingat, di kepalanya saat bermain gobak sodor dengan anak-anak dusun. Berbelok ke kanan lalu ke kiri, ke kanan lagi, kiri lagi. Sempit, dengan berjubelnya orang. Berjalan tanpa hati-hati, tanpa bisa membawa diri hanya akan menuai pergunjingan sebagai manusia kebingungan. Ya, sesuatu yang masuk akal karena di rumah sakit ini segalanya seolah berjalan dengan kepastian. Ragu-ragu berarti malapetaka. Orang yang paling berjasa menganjurkan hidup seperti ini tak lain adalah dokter (semoga tidak keliru dan entah mengapa sejenak pikiran Biru Langit meloncat ke profesor bedah plastik). Tentu saja dalam hati Biru Langit mengagumi profesor. Tapi entah mengapa berada di rumah sakit ini pikirannya diaduk-aduk.. Mengintip di sal, ia terhimpit dengan ruangan sempit pasien. Tapi ia tak punya perasaan apa-apa tatkala membuang pandang ke keluasan kebun tempat beberapa ekor menjangan dibiarkan bebas berkeliaran.
Satu-satunya alasan dirinya memilih tak punya perasaan apa-apa karena sedetikpun Biru Langit tak ingin mewakili perasaan menjangan di rumah sakit ini. Ia harus tetap sebagai manusia. Menjadi manusia di antara orang-orang di sini sama sekali rasanya berbeda bila sedang di luar sana. Satu-satunya yang masih serupa dengan dunia luar, di sini pun masih ada kelas-kelas menengah, atas atau bawah. Semoga ini hanya benar-benar perkara isi kantong mereka. Lebih dari itu kenyamanan yang terjadi di luar sana betapa sebuah penyakit, karena di tempat ini sebagai ajang paling tepat guna melatih nyali. Teriakan, tangis sedih orang jadi biasa. Bila sedang tepat waktu berkunjung ke sana pasien yang tak tahan rasa sakit harus melempar suaranya keras ke udara, sebab tak diizinkan menyimpan dendam pada dokter dan birokrasi rumah sakit. Bila anggota keluarganya tak berhasil diselamatkan, tak ada laranganuntuk meledakkan tangsi. Lalu jerit menyayat anak-anak yang risih kedengarannya tak kurang memekakkan. Karena itu bila ada yang belum pernah dengar itu semua, atau kurang yakin dengan nyalinya, rumah sakit adalah tempat yang tepat. Tapi itu belum seberapa, bila waktunya tepat pasti menjumpai raungan sirine ambulan di pintu gerbang disusul kemudian derit kereta dorong, tak berapa lama tubuh hancur korban kecelakaan dikeluarkan dari mulut ambulan. Terlihat tulang-tulang yang remuk bercampur pasir dan dari kepalanya menganak sungai darah segar beberapa cabang. Seperti kecap di mangkuk soto dan menetes di meja makan. Tak berapa lama lagi tiba ambulan entah yang ke berapa. Dari mulutnya menyembul tubuh rusak berbau tahi. Daging-dagingnya sebagian terjatuh di paving merah jingga. Masih segar bersebelah dengan pedagang sate bakar yang menaburi bubuk kelapa muda. Karena begitu banyak sepatu dan sandal melintas, daging itu pun cepat gepeng dan mengering persis dendeng.
Begitulah di tempat ini begitu banyak menyimpan cerita, perjuangan, kekalahan maupun kemenangan. Manusia melawan menusia, orang bertarung dengan mesin, tubuh berperang dengan benda mati lainnya. Bahkan manusia melawan binatang pun atau yang bentrok dengan jin pun ada di tempat ini. Perihal dua yang terakhir ini Biru Langit pernah mengikuti salah satu ceritanya. Kurang lebih seperti ini: Semula seorang lelaki hendak ke jalan besar, karena rumahnya di pedalaman, lantas ia harus menyeberangi areal perkebunan—entah milik siapa. Celakanya, itu dilakukannya pada malam hari. Saat langkahnya masih dalam hitungan jari, tiba-tiba ia menginjak seekor binatang yang langsung mereaksi dengan menggigit salah satu jarinya. Dialah seekor ular kobra yang kemudian jadi musuhnya. Meski si kobra itu cepat melarikan dirinya, begitu laki-laki itu melompat kaget, kobra itu telanjur menanamkan racun dalam darah laki-laki itu, akhirnya cacat kakinya seumur hidup. Ia selamat berkat berpuluh-puluh serum kuda. Jiwanya yang terancam kobra tertolong berkat jasa kuda. Sejak itulah laki-laki itu jadi pengagum kuda dan amat membenci ular.
Berikutnya, Biru Langit harus cerita pertarungan manusia dengan jin yang harus berakhir di sal rumah sakit. Laki-laki itu semula bekerja di sebuah pulau kecil dan terasing. Suatu kali ia terjatuh dan terjerembab tak sadarkan diri. Entah bagaimana kejadiannya, sadarnya terjadi juga datang selama berbulan-bulan. Bahkan tubuhnya lunglai dan matanya melotot tanpa kepastian arah pandang. Orang kampung menyebut kerasukan jin jahat. Tapi dokter memvonis penyakit lain di salah satu aliran darah menuju otaknya. Kesimpulan itu diambil setelah melalui foto CT Scan. Sebuah benda super kecil jelas terlihat dalam darah menuju otaknya. Fatalnya, selama berbulan-bulan laki-laki itu meski kesadarannya mulai pulih, ia tak bisa memastikan arah pandang dan bicara sepata kata saja tak bisa. Satu-satunya yang luar biasa terjadi di sal rumah sakit itu hanyal jin dan kesabaran istrinya. Sang istri seperti bertubuh ganda, ia harus memandikan, menyelimuti, menyuapi sang suaminya yang ia percaya di situ jin itu bersemayam. Karena tak pernah putus asa, selama berbulan-bulan sang istri mulai diserbu kenyataan lain. Dia jadi jarang mengurus dirinya dengan benar. Selebihnya mulai tumbuh keragu-raguan antara mengurusi suaminya ataukah mengenakkan istirah jin dalam tubuh suaminya. Satu-satunya yang mengakhiri cerita ini, laki-laki itu mati tanpa ada setetes pun airmata. Inilah kematian paling menakjubkan di mata Biru Langit. Betapa hidup, cinta, kesedihan, kasihan, kesabaran, putus asa, sama sekali tak punya arti yang lain di tempat ini. Bahkan kematian di rumah sakit ini, betapapun orang suci menilai sebagai tidak sempurna.
Hari menjelang petang, karena matari telah condong ke barat. Tentu ini petaka bagi Biru Langit, karena berarti hari Minggu keburu akan berakhir. Ia masih harus memutar otak menjadi manusia—berpikir tanpa istirahat. Cepat saja ia temukan jawaban. Karena itu ia tahu tujuannya: Profesor Bedah Plastik! Dialah sepengetahuan Biru Langit orang satu-satunya dalam benaknya yang tak mau berhenti berpikir. Seperti pengakuannya sendiri. Selain itu, betapa dirinya harus pula melunasi janjinya ke Dharmahusada. Karena itu meski jarak Karangmenjangan-Dharmahusada bisa ditempuh beberapa menit saja, dengan bersepeda Biru Langit harus tetap menjaga pikirannya. Maksudnya tak boleh sedetikpun berhenti, paling tidak bisa mengikuti laju berputarnya gigi-gigi roda sepeda.
Dalam hitungan detik, Biru Langit cepat melintas di kawasan elit itu. Bisa diduga mengapa pedalnya dikayuh lebih kuat agar lajunya, lebih kencang. Tak lain sesuatu telah menakutkan dirinya. Ia takut pikirannya tersedot habis berkat rumah-rumah orang kaya itu—satu dari sekian banyak penyakitnya. Ya, bila berhadapan dengan kekayaan, seringkali pikirannya justru buntu. Bahkan untuk mengingat kediaman kekasihnya, Sulistyorini saja, dirasa otaknya tersendat-sendat. Karena itulah ia memilih untuk jarang sekali bertandang.
Begitulah ini kali kedua Biru Langit ke sana. (kali pertama datang hanya masuk ke pekarangan rumahnya) ia harus memutar ingatannya. Bila sesampai di bawah tiang-tiang listrik tegangan tinggi, jika memutar haluan dengan berbelok ke kanan, itu kebiasaannya kalau hendak ke perpustakaan atau menonton pemeran, pertunjukkan di PPIA.76) Sebelum memutar haluan, bila hendak ke rumah besar profesor bedah plastik itu, ia harus berbelok ke arah kiri.
Lima
KEDIAMAN sang profesor bedah plastik itu lebih menyerupai istana ketimbang rumah orang biasa. Seperti berkali-kali profesor itu bila bicara sebagai manusia. Ya, pendapat ini cukup kuat apalagi didukung argumentasi profesor saat pertama kali bertemu, bahwa hanya rajalah yang berhak mendiami istana. Tapi sejak dari pintu pagar, dua buah tiang besar, halaman yang luas, pintu jati dari ruang tamu berundag yang maha luas layak untuk disebut kediaman seorang raja. Yang membedakan hanyalah ruang tamu itu tak ada sama sekali buah lukisan, tampak sekali profesor memang bukan pemuja seni, apalagi patung, atau piano. Yang mencolok kebanyakan perkakas yang berukuran besar, meja besar, kursi besar, almari besar, bersebelah dengan rak tinggi tempat buku-buku bersampul tebal.
Lagi, astaga! Lampu gantungnya di langit-langit berkubah itu bersinar seperti bintang-bintang saja. Menyaksikan istana dan dirinya telah terkurung di dalamnya, penyakitnya perlahan kambuh. Otak dan hatinya serasa hendak membeku. Fatalnya, justru tepa pada saat hati dan otaknya mengeras seorang permaisuri dan putri raja keluar dari peraduannya. Gaunnya sangat indah. Benar-benar Biru Langit kini melihat wanita ibunda Puri Wangi dan putrinya Sulistyorini, dari kejauhan keduanya seperti terpaut sedikit saja usianya. Setelah basa-basi, ibunda Puri Wangi mempersilakan Biru Langit berbincang dengan putrinya, sambil menungguProfesor Maryuhan Kurnia tiba.
Ah, betapa dari tutur katanya, Puri Wangi itu perempuan yang amat lemah, meski kadang-kadang dibalut kesopanan. Betapa kelemahan itu dia tunjukkan kepada tamunya justru pada saat di kediamannya sendiri, di istananya sendiri . Ya, banyak misteri makin terkubur di istana ini. Keanehan demi keanehan tertangkap pikiran Biru Langit yang tertolong oleh penyakitnya bagai anak ayam menginjakkan kaki di balai-balai.
“Kenapa pikiran kamu kacau seperti ini, Biru Langit?” Sulistyorini menghentikan lamunan tamunya itu.
“Oh ya? Bagaimana kamu tahu? Aku sedang merenungkan perangai mamamu. Kasihan dia, di istana sebesar ini jiwanya lumpuh dan tunduk pada kekuasaan papamu,”
“Ah, baru beberapa kali bertemu, kaum punya nyali menyimpulkan begini macam, Biru Langit,” giliran Sulistyorini dikagetkan pengakuan Biru Langit.
“Aku hanya mencoba menangkap senyum berat dan sorot mata ragu-ragu ibunda Puri Wangi. Tidak lebih dari itu,” Biru Langit menyakinkan.
“Kamu berbakat jadi pembual. Tapi entah mengapa aku ya cukup suka dengan gaya analisismu.”
“Itu kebanyakan tabiat wanita. Jujur saja aku tidak suka. Aku hanya ingin, bila benar itu terjadi pada mamamu, aku tak ingin kamu mengalami hal itu.”
“Maksudmu?” Sulistyorini panasaran, entah karena kurang jelas ataukah sekadar minta Biru Langit bicara lebih banyak.
“Aku serius dan tidak sedang ingin jadi pembual.”
“He, kenapa kau melotot seperti itu? Maksudku, kau kan seorang pengarang. Eh, siapa tahu kau sedang membuat karangan?”
“Betul aku pengarang. Tapi salah bila kau melihat setiap karangan itu hasil bualan. Salah besar.”
Mendapat serbuan hebat seperti itu, Sulistyorini takluk. Ia diam tepekur. Diam perempuan itu, mendapat arti lain di kepala Biru Langit. Rupanya itu bukti perempuan itu menyerupai tabiat ibundanya. Di kepala Biru Langit dia inginkan terjadi saling serang. Keinginannya berhenti di tengah jalan, justru di kediaman, istananya sendiri. Beruntung diamitu tak berlangsung lama. Dengan tertatih-tatih Sulistyorini kembali menyakinkan bahwa dirinya tak ingin kelucuan terjadi bila terdengan ibunda Puri Wangi, sementara mereka berdua bicara dengan nada serius. Bahkan terlampau serius.
“Tak ada kekonyolan paling konyol di dunia ini kecuali bila terjadi kelucuan tapi dalam bicara serius.”
Giliran Biru Langit mendapat pukulan hebat. Ia pun ganti diam tepekur. Meski ia tak tahu benar apa maksud kata-kata sulistyorini, dia coba renungkan dan pertanyakan bagaimana bisa ia mendapat ungkapan demikian dahsyat. Lama tiada pembicaraan. Juga pertanyaan. Beruntung, Sulistyorini menyelamatkan keadaan. Kini sebagai pemilik istana, ia benar-benar tak seperti ibundanya dengan senyum kecut dan sorot mata terpaksa.
“Ayolah kita bicara yang enteng-enteng saja. Bukankah ini hari Minggu?”
“Misalnya soal apa?”
“Kisah cinta.”
“Oh…”
Dasar Biru Langit, kisah cinta yang ada di kepalanya tentu bukanlah kisah cinta murahanyang diecer di pingir jalan. Isi kepalanya langsung terisi dengan kisah cinta Saijah dan Adinda, sebuah kisah cinta paling agung sepanjang berabad-abad, yang di tangan Multatuli demikian menakjubkan. Biru Langit hafal betul dan oleh sebab itu ia nukilkan sedikit kisah paling tragis dan mengerikan hati itu untuk Sulistyorini.
“Pada suatu hari ketika pemberontak-pemberontak sekali lagi dikalahkan, ia mengembara di dalam desa yang baru saja direbut oleh tentara Belanda,jadi masih terbakar. Saijah tahu bahwa gerombolah yang dihancurkan di tempat itu, sebagian besar terdiri dari orang Banten; ia berkeliling seperti hantu di rumah-rumah yang belum terbakar seluruhnya dan menemukan mayat ayah Adinda dengan lua kena kelewang di dada. Di sampingnya Saijah melihat ketiga saudara Adinda yang terbunuh, pemuda-pemuda, anak-anak mati, dan sedikit lagi ke sana nampak mayat Adinda, telanjang, teraniaya dengan cara mengerikan…
Ada sepotong kecil kain biru masuk ke dalam luka yang terbuka di dadanya, yang rupanya mengakhiri pergulatan yang dalam…” 77)
“Lho, kok cerita kamu begitu.” Sulistyorini protes keras lantaran tak mendapat kisah cinta yang diingini.
“Kalau yang kau mau aku ceritakan Romeo dan Julietnya Shakespeare, terang aku tak bisa. Itu kisah cinta paling kusuka karena selain digali dari cerita rakyat, juga kisah itu berakhir memilukan,” Biru Langit terus menyakinkan.
“Ah, kamu pemuda yang berbahaya.” Sulistyorini punkian menjadi sangsi.
“Kamu harus dengarkan penjelasanku. Begini: Setiap kisah cinta itu tentu menarik bagi kalangan muda karena di situ terungkap sebuah fase perkembangan fisik, mental maupun spiritual dan perlunya mengalami ketegangan-ketegangan. Ketegangan seperti inilah yang harus dicari oleh setiap individu, untuk menemukan suatu hal yang transenden bagi dirinya, semacam sandaran hidupnya. Kurang lebih begitu. Ya, sebagian dari mereka kawula muda punya semacam utopia, bahwa menceritakan kembali pengalamannya adalah juga termasuk sandaran,” kedengaran bicara Biru Langit susah dimengerti bahkan oleh dirinya sendiri karena pikirannya diganggu oleh hantu istana itu.
“Maaf bila aku kurang memahami kalimatmu,” perempuan Sulistyorini mendesak untuk mencari sebuah jalan.
“Nah, itulah maksudku. Saijah dan Adinda itu sebuah dunia tersendiri yang harus dimengerti, direnungkan untuk kemudian dibaca lebih kritis,” Biru Langit masih terdengar menaklukkan pikirannya sendiri. “Dia bukan sekadar cerita. Dia bisa dimaknai, didialogkan teks dan konteksnya. Membaca kritis berarti memaknai karakteristik faktor sosio kultural cerita itu hidup, kemudian menginterpretasikan dan meresapi cerita tak lain dimaksudkan untuk menciptakan kondisi berpikir sejak usia muda, mencapai ketegangan dan senantiasa membentuk pemahaman baru tentang sebuah dunia.” Begitulah perlahan Biru Langit mulai menemukan pijakan.
“Lantas, ada apa dengan Cinta?”
“Ya jelas konkretisasi dalam hal ini adalah persoalan cinta. Cinta adalah sebuah dunia juga. Cinta menjadi agung di tangan individu dan antar individu. Karena itu penyempitan terhadapnya adalah penyempitan terhadap individu dan antar individu. Di tangan Saijah dan Adinda, cinta menjadi hal yang hebat. Cinta itu sendiri dikoyak-koyak sampai pada diditk dimana cinta adalah kemanusiaan itu sendiri. Cinta di tangan Saijah dan Adinda tidak sekadar cerita rakyat sebagaimana cerita itu dihidupkan di Rangkas Bitung.” Inilah saat paling menakutkan, sebab ketika Biru Langit demikian serius berujar justru Sulistyorini mulai tertawa cekikikan. Lamat-lamat terngiang kembali tentang ucapan perihal kekonyolan, kelucuan dan keseriusan.
“Kukira kamu sedang mencoba merayakan saja. Hanya karena kau tak bisa bersikap romantis sehingga keluarlah senjata Saijah dan Adindamu itu,” kali ini tawa perempuan itu tak lagi sembunya-sembunyi.
“Oh tidak. Kamu salah besar jika kerangka romantismu itu yang populer. Padahal ini adalah bahaya besar, bagaimana sikap romantis menjadi paham besar dan menggejala. Ketahuilah pada dasarnya romantisme ialah paham yang idealistis yang melihat dunia kehidupan nyata manusia dari prespektif sebuah dunia ideal, seimbang, harmonis seperti dalam surga. Disinilah bahaya besar bila romantisme ini dipahami sempit hanya melahirkan para pemain cinta yang hanys bisa bermimpi, dininabobokan surga yang cenderung menjatuhkan pada selera populer. Begitulah romantisme populer hidup, berkembang dari bentuk budaya populer, disebarluaskan industri populer, menjual obat bius dan memberi harapan-harapan pada pemain cinta yang tidak melibatkan diri pada wacana sesungguhnya.”
“Tolong sampaikan padaku bahasa yang sederhana saja. Terserah kamu mau merayuku, menipuku atau hanya mendengar omong kosongmu saja,” keaslian Sulistyorini jadi mengemuka, ia memang perempuan tak sabaran.
“Aku hanya ingin mempengaruhimu untuk selalu hidup realistis, itu saja. Titik. Dan jangan terpukau oleh mimpi.”
Tampaknya perempuan Sulistyorini lebih bisa mengerti dengan penjelasan akhir yang singkat itu. Justru pikirannya bekerja sendiri tanpa dicekoki idiom-idiom yang gagah tapi rumit. Anehnya, Biru Langit terus menembakkan kata yang sudah bisa diduga tak lagi didengarkan kekasihnya.
“Ini persoalan kita bersama bagaimana menyalakan api romantisme di tengah maraknya berita kriminalitas yang tiap hari memenuhi halaman koran, penggusuran atas tanah, atas hak. Api romantisme yang tidak berpihak pada kesewenang-wenangan, pada keserakahan. Itu semua harus dihidupkan dengan penuh tanggungjawab yang besar.78)
Hanya basa-basi tuan permaisuri Puri Wangi yang justru menenangkan suasana. Edan benar ini hari. Boleh jadi ini terjadi sekali dalam pengalaman hidup Biru Langit betapa jiwa yang lumpuh mampun menggempur pertarungan dingin dalam sebuah istana penuh hantu pada hari Minggu. Terpaksa Biru Langit dan Sulistyorini harus tunduk menyerah kalah pada omongan tak berguna dari seorang wanita lemah seperti Puri Wangi. Tapi baiklah tak ada salah bila mendengar pesan tak penting sang permaisuri itu.
“Pikirkanlah kalau kamu mau tinggallah di sini. Banyak kamar kosong dan kamu tak perlu mengeluarkan uang untuk kontrak rumah.”
“Terimakasih, Bu. Sulistyorini telah banyak membantu saya, saya tidak ingin lebih merepotkan lagi, terutama ibu dan bapak.” Ketika berujar demikian, sebetulnya surat Pam lah yang banyak bermunculan di kepala Biru Langit. Apa terjadi bila ia katakn sebetulnya dirinya lebih ingin memilih hidup di jalanan ketimbang menjadi berdiam di istana seperti ini. Tak inginlah kekonyolan benar-benar terjadi justru bila di berargumentasi demikian seriusnya. Sementara sorot mata dan senyum permaisuri Puri Wangi tetap mesterius.
“Pikirkanlah sungguh sambil menunggu papa datang. Tentu dia akan senang bila mendengar kamu menyetujui.”
Tidak ada jawaban.
“Papa masih di kantor klinik di Jalan Jawa.”
“Kerja?”
“Biasanya membaca atau menulis.”
“Papamu juga menulis?”
“Begitulah, papa paling suka melahap buku-buku keilmuan dan menulis untuk mendisiplinkan keilmuannya,” ungkap Sulistyorini.
Lantas diceritakannya, pengakuan papanya, bagaimana kebiasaan membaca dan menulisnya itu bermula sejak pergi menuntut ilmu kedokteran di negeri Belanda, tepatnya saat mendalami ahli bedah plastik di Groningen. Di kota negeri kincir angin itulah banyak pengalaman keilmuan tumbuh dalam dirinya, lebih-lebih dalam bidang filsafat dan dalam pemikiran modern. Karena itu salah seorang ilmuwan yang dikaguminya adalah Albert Einstein si penemu teori atom yang luar biasa itu, dengan kumis lebat dan rambut acaknya itu. “Ya, pikiran-pikiran Einstein diakui papa benar-benar memberi inspirasi hidupnya. Kekagumannya terhadap kepintaran dan kegeniusan ahli fisika itu seolah tak tertanding. Jangan heran kalau koleksi buku Einstein papa lengkap, sejak dari riwayat hidupnya, buka pikirannya, pidato-pidatonya, percikan tulisannya di Koran-koran, semuanya punya. Papa juga gemar membaca majalah bergengsi American Scientific, Science, Nature,” imbuhnya.
Dalam hati, Biru Langit berkata tak satu pun ia pernah lihat rupanya, apalagi menyentuhnya. Tapi ia hibur dirinya, tentu saja sang professor itu tak melengkapi koleksinya dengan Ibnu Chaldun, Iqbal, atau Tan Malaka, Boris Pasternak, Multatuli, Sindhunata…. Belum berakhir, membariskan daftar orang hebat di dunia yang belum disentuh sang profesor, sekonyong-konyong derum mobil VW pemilik istana itu tiba. Entah mengapa, pikiran Biru Langit mengarah untuk bagaimana memulainya untuk menyembahnya. Konyol memang, tapi itu benar ada, meski tak benar-benar terjadi.
Enam
“SAYA suka berpikir. Saya katakana kalau butuh pemikiarn, tanya saya, karena di zaman seperti ini masih pula ada orang yang tak mau berpikir. Menanam bunga pun saya berpikir. Coba bayangkan, demi kepentingan keilmuan Stepen W Hawking yang lumpuh bisa terus berpikir. Sebab itu saya pikir hidup ini ilmiah. Saya juga terkesan dengan komentar seorang editor majalah Nature, apa nanti yang tak ditemukan di dunia?” Sang profesor tahu pertanyaan itu tak untuk dijawab, apalagi oleh seorang Biru Langit. Tapi di benak Biru Langit tumbuh daya kreatifnya yang menyatakan bahwa pertanyaan itu hanya bisa diucapkan seorang yang berilmu tinggi.
Lantas diceritakannya, sang profesor sering berpikir tentang kejadian-kejadian sepele. Suatu ketika, dalam perjalanan mobil didengar siaran radio yang dengan enteng berbicara soal kebenaran. Betapa gusar sang profesor. Sebagai profesor saja dirinya tak bisa menjawab soal itu, tapi tiap hari justru didengungkan orang tentang benar dan salah. “Dalam hati saya berkata, apa-apaan ini? Orang ini ngerti apa nggak tentang kebenaran?” Lantas kepada Biru Langt, sang profesor memberi contoh keseharian tentang berpikir. “Mengapa anak minum susu?” Dia tak boleh menjawab ‘saya minum susu karena disuruh mama. Dikatakan anak harus dididik berpikir dengan sebab akibat, bukan dengan kekuasaan. Seharusnya anak dididik berpikir bahwa minum susu itu sehat untuk pertumbuhan badannya, agar tidak mudah sakit dan badan jadi kuat, katanya. “Selama belajar, saya banyak bergaul dengan validitas internal, ekternal keilmuan, alat ukur, kriteri dan sebagainya. Bahwa hidung itu bagus apabila simetris, untuk bisa simetris harus dibuat alat ukurnya, bagaimana bila hal itu terjadi pada anak kecil yang menangis misalnya. Nah, teori inilah yang kemudian saya angkat dalam disertasi program doctor saya, malalui promoter seorang profesor asal Belanda,” demikian ungkap sang professor sepertinya peduli untuk dimengerti. Sebaliknya Biru Langit juga pasang muka untuk agar dicap lebih mengerti. Satu-satunya yang mengusik pikiran dan terlibat di dalamnya hanyal kata kebenaran. Sebab itu ia tanyakan. Bagaimana bila professor bicara tentang kebenaran. Ia katakan, dalam pikirannya penelitian tentang disertasi program doktornya itu bagus bial dipakai menyelesaikan masalah-masalah umum. “Ilmu itu universal, pasti sama metodenya untuk mencari kebenaran. Begitulah hidup saya kian berubah dengan kebenaran itu. Hidup saya tak pernah terlepas dari upaya mencari kebenaran. Kebenaran bukan omongan saya, tetapi melalui suatu hipotesa, dalil, jika sudah dilakukan pembuktian dengan metode ilmiah. Segala perkembangan hidup saya tidak terlepas dari itu. Hidup saya betul-betul berubah.”
Lagi, suatu malapetaka terjadi. Saat Biru Langit tumbuh dengan teori kebenaran itu, mendadak sang professor nyaris lepas kontrol bicara sesuatu yang kedengarannya untuk dirinya sendiri. Ketika itulah Biru Langit menangkap ada lubang ketidakjujuran sang professor. Atau setidaknya sengaja disembunyikan. Suatu kekuatan yang menggerakkan tubuh dan jiwa sang professor tapi diungkap. “Anda belum ceritakan siapa di balik yang menggerakkan anda, yang membukakan mata anda tentang kebenaran itu.”
Hebatnya sang professor tak menunjukkan gelagat tersinggung. Ia seperti menangkap arah tembakan pertanyaan Biru Langit. Meski demikian, dingin saja dia menjawab. “Sampai saya meraih gelar dokter ahli bedah dari Universitas Airlangga, hidup saya sebagai suatu perubahan evolusi saja. Selanjutnya pun demikian. Evolusi hidup saya mencapai keilmuan lebih tinggi pun bukan karena benar-benar demi keilmuan tetapi lebih didorong keinginan saya untuk meraih dua gelar. Sebab itu kalaupun banyak hal di luar dugaan, yang terjadi dalam diri saya selama mengambil doctor itu jelas soal tersendiri.”
Titik. Disinilah letak misteri itu. Sang profesor tak berniat menjelaskan lebih dalam. Demikian, Biru Langit ketakutan terapung-apung dalam jurang tak bertepi. Sebab itu ia putuskan untuk mengakhiri perbincangan dengan pertanyaan yang kaku. “Oh ya, saya dengan profesor menulis juga?”
“Ya. Konsekuensi dari kata berpikir. Saya banyak menulis di media massa. Saya juga sedang menyiapkan draf buku ajar Tentang Hidup dan Budaya Keilmuan untuk diterbitkan.”
“Oh ya?”
“Karena saya terus berpikir, akhirnya saya temukan sebuah model berpikir. Ini yang sedang saya siapkan. Saya mengutip Einstein, Hawking karena banyak hal-hal di dunia ini yang semu. Hawking bilang barangkali masalah di dunia nantinya hanya bisa diselesaikan oleh buku yang hanya berisi beberapa halaman, tidak perlu beribu-ribu halaman. Einstein pun tidak punya bayangan, seperti model saya, tapi saya percaya ini omongan orisinil saya…”
Selebihnya sang professor betul-betul bicara masalah pribadi. (ah diam-diam ada pikiran sang profesor yang menarik dalam tubuh Biru Langit).[]
SEMBILAN
OMONG KOSONG
Satu
TAK ada tanda-tanda Isya’ tiba. Biru Langit melompat hengkang dari istana dan menyisakan penyesalan. Ia lupa memandangi langit-langit dan bintang yang bersinar di istana itu. Ia lupa menyantap hidangan dan mereguk minuman di meja, beberapa potong roti dan mentega, coklat dingin , ada minuman ovaltin.
Oh, sudah lupa rasanya sejak beberapa tahun belakangan dan lupa kali ini rasanya benar-benar berbeda. Ia berpikir bagaimana itu bisa terjadi, tetap telah telanjur terjadi. Karena itu ia renungkan bagaimana bila tak lagi pernah berkunjung ke istana itu? Kasihan betul pasti. Lainnya, Biru Langit lupa menanyakan pendapat sang profesor perihal Geger Ngoyak Maling, satu-satunya peristiwa yang mempertemukan keduanya dan membuat janji bicara tentang hidup di istana itu. Rasa sesal itu makin tebal, mengingat beberapa hari lagi Biru Langit musti meninggalkan Surabaya. Sementara banyak bincang yang belum lunas sampai dua tiga pertemuan dengan sang professor bedah plastik itu. Betapa ia belum bicara tentang pergulatan hidup di jalanan, tentang Sulistyorini, tentang tanggungjawab sebagai manusia, atau bahkan tentang pribadi.
Pribadi. Ya, kedengarannya kata ini yang cukup berjasa merekatkan hubungan antara dua laki-laki, mahasiswa sosial politik dan profesor bedah plastik itu. Pribadi. Sebuah kata yang amat perlu dihadapi dengan kehati-hatian. Suatu ketika bukan tanpa alasan bila kata itu yang sanggup menghancurkan kehidupannya. Sebaliknya, kata itu pula yang membuka jalan untuk menjadi manusia yang benar-benar hidup dengan sorot mata tajam, dada terbuka, dan bicara lantang. Lantas berjalan enteng seperti melayang tanpa beban—mungkinkah ini yang disebut cara hidup malaikat?
Kedengarannya sampai di luar pagar istana itu, antara dua pria itu masih bersepakat untuk tidak berbicara tentang soal-soal pribadi. Jadi semasa masih dalam situasi batin yang seaman-amannya, yang mengerikan hanyalah bayang-bayang pertanyaan, kepribadian, kata pribadi, obsesi pribadi, hubungan pribadi dengan sang putri. Ah, tapi Biru Langit tak mau hidup atau berjalan lebih besar dari bayang-bayangnya sendiri.
Dua
JAM tiga sore, hari berikutnya, rombongan lepas dari terminal bis Bungurasih sesuai rencana. Sekitar belasan orang di bawah pimpinan politikus Bintang Sakti, mereka meninggalkan gedung tua berselimut kain hitam di kawasan Simpang. Kendati cukup dengan bis ekonomi jurusan Pulogadung, politikus Bintang Sakti sanggup merias wajah-wajah rombongan menjadi segar dengan sorot mata tajam, lantaran dipompa api perjungan membela korban bencana alam. Hanya beberapa saja yang membebaskan sorot matanya ragu-ragu atau penuh kecurigaan. Lainnya, asal melangkah dan dan dengan sedikit poles, mengkilatkan kulit dan binar mata mereka kegirangan. Semenjak itulah Biru Langit mencoba memberi arti tentang api perjuangan. Tentu saja diantara semangat yang ditangkapdari bawah pohon nangka dn pelesir di hari minggu sebelumnya. Itupun belum seberapakarena masih diteror oleh waktu selama belasan jam dalam perjalanan.
Agar terhindar dari ancaman, terror Biru Langit sibuk mereka-reka pikirannya, di bawah dingin serbuan hawa palsu Air Conditioning. Sebagai orang baru yang tugasi membawa panji-panji api perjuangan, ia harus rajin mengamati gerak-gerik romobongan pasukan. Selain itu juga agar kedekatan mempermudah menyampaikan setiap kabar tentang apa saja di medang perang. Sudah barang tentu kecurigaan pda sesama anggota rombongan tetap ditanam dalam-dalam. Dalam setiap kesempatan, ia mengamati gerak-gerik bagaimana dingin dan tenangnya si panglima perang Arif Budiman, penyair asal Kutisari itu. Lalu, seniman Ipong yang selalu bernada protes tidak puas dan penuh kecurigaan. Betapa dia lebih menyerupai seorang penjaga leluhurnya di Benowo ketimbang sebagai seniman. Bicaranya yang besar keras tampaknya cermin dia orang dari kampung terasing dekat dengan punden Pangeran Benowo. Pangeran Benowo adalah putra Jaka Tingkir pendiri kerajaan Pajang sebagai penerus Demak. Sayangnya, Pengeran Benowo disingkirkan sepupunya, Arya Penggiri. Entah bagaimana ceritanya, berakhir di dusun penuh siwalan itu. Lantas prajurit berotot Budiarto dari Kertajaya yang nyaris susah membawa diri setiap kali bicara kaku dan kebiasaan sendawanya yang luar biasa, sanggup membangunkan setiap yang tidur. Berikutnya Vidi dan Setia Kawan, keduanya prajurit pampasan perang dari Jombang dan Blitar. Selaku prajurit setia, kareda sudah tunduk pada sumpah, tak bisa menyembunyikan rasa takut dan pengabdiannya pada politikus Bintang Sakti. Sang flamboyan dan si peniup suling yang lugu. Lalu ini, Johar Kurmen dia sisa-sisa orang Jawa yang cinta berkeluh terhadap kota, ya Surabaya. Karena itu dia menyatakan genderang perang bila mendengar setiap yang berbau tidak senafas dengan Surabaya. Satu keanehannya, ia seorang yang tak suka tampil ke depan. Satu hal lagi yang ia bisa, ia seorang jurnalis. Satu hal lain kenapa dia amat cinta dengan Surabaya melebihi pada dirinya sendiri,lantaran ia masih tenggelam dengan kesedihan Surabaya sejak Kalimat ditumpahi racun pasukan Mataram pada abad 17. Kota ini dibendung kehilangan 59.000 jiwa dari 60.000 cacah warga kota. Kemudian sosok yang dibalik layar, sebagai sesepuh yang madeg pandhita ratu adalah si Bintang Sakti. Banyak misteri ada padanya, banyak cerita ada di sekitarnya, desas-desus. Seluruh kota bahkan kota di dunia telah diinjaknya, kebiasaannya kencing di sembarang tempat, kaya raya, beristri banyak, pialang politik, mengidap kencing manis, sang penyelamat, dan anehnya laki-laki berambut panjang ikal itu belum pernah menunjukkan dirinya tak disegani. Ia selalu memilih duduk di belakang.
Cepat Biru Langit menoleh di bangku bis paling belakang. Benar dia ada di sana. Anehnya lagi, dalam sekejab suara sudah tiba di Jakarta. “Ini Jakarta Bung! Bukan Surabaya!” begitu sapa tegur pertama buat wajah pgi ibukota. Kedengarannya, kota ini lebih tidak ramah,dibanding Surabaya. Entah, mungkin juga kota yang perlu ditaklukkan, setidaknya bila terlihat dari kacamata si Johar Kurmen. Betapa tidak, hari pertama di Jakarta, rombongan justru memesan masakan Padang. Hanya si Johar Kurmen mengunyah daging kikil, setelah lebih dulu memesan lontong balap Wonokromo. Nihil.
Tiga
DI SEBUAH kamar penginapan Mawar depan terminal Pulo Gadung, sebuah kopor coklat muda dibuka dan astaga, isinya penuh uang kertas lima ratusan rupiah, warna hijau. Tampaknya sudah dibendel dari bank masing-masing seratus ribu rupiah. Gres! Belum pernah sebelumnya Biru Langit melihat keindahan rupa uang sebanyak itu, rapi, sudutnya tajam, warnanya seragam dan kertasnya bersuara lantang bila dipegang. Dan yang pasti nomornya manis berurutan.
Tangan politikus Bintang Sakti demikian sakti menguasai. Tanpa ragu-ragu atau bermaksud hati-hati, hanya matanya yang melempar pandang kesana-kemari. Para prajurit tanpa tanya kecuali pada dirinya sendiri. Itu terlihat dari setiap sorot mata yang menajam ke arah benda coklat muda dan tangan Bintang Sakti. Mereka para parjaurit sudah tahu kemana dan untuk apa isi kopor coklat muda itu. Tak lain ke tangan-tangan mereka sendiri. Tapi persoalan itu justru terletak pada diri mereka sendiri. Mau diapakan keindahan kertas-kertas warna hijau itu nanti diterbangkan? Atau tak perlu diterbangkan? Terus saja uang masih di tangan Bintang Sakti, terciptalah perang batin di kalangan rombongan prajuritnya. Tapi sorot misteri sang sesepuh itu tak cukup diketahui ada apa di balik rencana ini semua.
“Uang ini harus kalian dermakan kepada kamu miskin, pengemis dan gelandangan di jalan setiap kali kalian temukan. Bila kalian tak temukan, cari sampai dapat sebanyak-banyakny dan uan ini harus habis. Ingatlah, tanggungjawab ini kuberikan kepada kalian..” ucap Bintang Sakti panjang lebar.
Ya, memang kalimat tak Cuma itu. Biru Langit juga tak mungkin salah dengar, bagaimana sang sesepuh itu memasang kata amanah dalam pernyataannya. Suatu kata yang selebihnya berat makna dengan tanggungjawab bagi pemberi maupun penerima, semacam tugas suci. (Ah, Biru Langit begitu ketakutan menterjemahkannya sendiri) Betapa dirinya sedikit lebih gampang mencerna kalimat laindari sang sesepuh itu. “Karena aksi kita ini memperjuangkan kemuliaan, alangkah baiknya bila kita mulai dengan kemuliaan pula,” demikian katanya.
Ah, begini rupa rasanya bila politisi, sesepuh berbicara tentang orang kecil, kaum gelandangan dan pengemis: Kemuliaan. Anehnya,dalam benak Biru Langit dirinya lebih menangkap sebagai upaya untuk semacam pensucian diri atau membersihkan sedikit dosa-dosa di masa lalu. Astaga! Mengapa pikiran seperti itu mendadak membuat tubuh Biru Langit seperti dipukul benda keras? Lalu tubuhnya panas dingin sebab tak lain sebetulnya Biru Langit sedang membicarakan dirinya sendri. Persis ketika lembaran setumpuk uang kertas limaratusan itu jatuh padanya. Bibirnya gemetaran dan keringat dingin mulai merintis di rongga-rongga kulitnya. Matanya gelap, dan kepalanya mulai pening. Entah, mengapa tiba-tiba ia mendengar bisikan pelan tapi makin beruntun tidak jauh dari dirinya suara seorang perempuan, “mendici..mendici…mendici….” Setelah kertas di tangan dan ia sadar dari kegelapan, baru Biru Langit terheran-heran. Mengapa suara itu yang datang , dari seorang perempuan lagi. Bukankah itu salam bagi kaum gelandangan dn pengemis di masa silam, tepatnya di zaman Yunani abad-abad permulaan? Ah, mungkin karena ia telah banyak membaca saja sehingga ruh pengemis perempuan di zaman Yunani itu datang dalam pikirannya.
Ini pemandangan pertama tentang wajah Jakarta. Mengapa kaum pengemis dan gelandangan susah ditemui? Dimana mereka bersembunyi? Atau waktu masih terlampau pagi buat mereka? Padahal kesibukan kita mulai berputar, manusia mulai menyemut. Aplagi, kota seperti ii dikenal tak pernah tidur? Dari trem Jabotabek kota yang sumpek itu, mungkinkah kaum gelandangan masih tidur di balik genting-genting semrawut itu. Dalam tubuh trem yang bergoyang terlihat hanya beberapa pengemis saja, itu pun langsung diserbu para prajurit, Vidi, Setiwan, si Burung Nuri malah tampak beringas. Lalu seorang pengemis buta yang pura-pura menyuarakan nyanyian dari kotak kecil karaoke buatan malah sudah dikangkangi si panglima dan penyair Arif Budiman. Hebatnya, setelah sekian lama menincar korbannya, panglima itu cukup punya nyali untuk menghentikan seorang pengemis buta itu. Caranya, ia memegang kuat si bocah yang menuntunnya dan memasukkan sejumlah besar kertas limaratusan di sakunya dan memintanya berhenti. Ia melotot kaget bercampur bercampur girang dan si buta tak tahu apa yang terjadi dan terus menyuarakan kaset lusuh dari kotak karaoke itu. Hanya, satu tarikan kecil si bocah yang menghentikannya dengan kasar dan membisikan ke telinganya, “akan kujadikan kau sebuah sajak penting di dunia ini.” Begitulah akhirnya lahir sebuah sajak Impian Dalam Trem. 79) Dengan disana-sini dicampur bahasa Inggris, Perancis, lantas diterbangkanlah sajak itu ke seluruh penjuru dunia, sementara pengemis itu tetap buta dn tak pernah tahu jadwal kereta dan gerbong nomor berapa yang membawanya pergi melintasi Jakarta. Sang penyair yang tak pernah berpisah dari seniman Ipong yang keras dan kritis, tampaknya harus menyimpan rapat-rapat rahasia sajaknya itu. Bila tidak, betapa sang kritikus itu juga sanggup membuka mata dunia dan membuat dunia tahu bahwa darah yang mengalir dari sajak itu adalah darah pengemis yang buat.
Sang kritikus lain lagi punya cerita. Karena memang belum pernah terlihat melempar selembar pun uang kertas yang indah itu. Entah sekarang berada msih di sakunya, di tas kecilnya yang selalu dikempit di ketiaknya atau sedang di tempat lain. Dia selalu berpandangan menhimpang dengan anggota pasukan yang lain, dan nyaris terkesan seorang desersi. Benarkah? Dalam sebuah kesempatan perbincangan, suatu ketika sang kritikus itu terlempar kata kamuflase. “Cara seperti ini hanyalah kamuflase, untuk menutupi maksud sesungguhnya aksi ini.” Sampai di sini, Biru Langit tak bisa menerima kalimatnya. Tentang kamuflase yang diingat Biru Langit hanyalah gelagat pengemis yang buta saat menyanyikan lagu dari kaset dalam kotak miliknya. Tapi tentang tujuan sesungguhnya, Biru Langit sedikitpun tak punya pikiran apa-apa. Rupanya kalimat lain dari sang kritius itu cukup menyegarkan. “Kalau itu dimaksudkan untuk orang miskin, orang seperti kita ini juga miskin,” (ah rupanya dia melibatkan Biru Langit). “Jadi memang masih pantas untuk menerima sumbangan,” imbuhnya.
Sekarang jelaslah sudah bahwa dia perlu uang dan lembaran kertas indah itu memang belum pernah pergi dari tas atau kantongnya. Semenjak mendengar bicara sang kritikus tubuh dan pikiran Biru Langit serasa berkali-kali menerima pukulan keras. Lalu dadanya serasa ditikam benda tajam hingga terhunjam dalam. Sama sekali di kepalanya berloncatan kata amanah, tanggungjawab, pensucian, pembersihan, kamuflase, makin cepat dan cepat. Tapi di sisi lin ia mendengar suara, “mendici..mendici..mendici…makin besar jumlahnya. Dalam kesempatan lain, sang kritikus banyak mencuri waktu dengan berkendara bajaj meluncur ke kawasan Senen. Bisa diduga kemana arahnya, tak lain di sepanjang pasar buku lok di pinggiran jalan. Inilah pasar buku loak terbesar di kota ini, mengingatkan Jalan Semarang di kota Surabaya. Tempatnya pun tak jauh dari stasiun kereta Senen. Bedanya di kawasan ini lebih luas, lebih banyak stan. Bisa diduga sang kritikus itu bakal menghabiskan lembaran kertas yang indah itu di tempat ini. Benar, ternyata sekembali dari Senen, sang kritikus sudah memenuhi tasnya dengan buku-buku bekas. Seperti biasa ia tak tunjukkan selembar pun, satu bukupun pada yang lain, meski hanya permukaan sampulnya. Ia hanya menyampaikan pesan, “Dengan buku-buku ini, saya juga akan memperjuangkan kaum miskin, gelandangan dan pengemis.” Begitulah terbaca sekilas bagaimana ia menyimpan pikiran Marxis,Leninis, Mao Tse Tung dalam otaknya. Jujur saja harus diakui Biru Langit, nama-nama tokoh itulah yang mempertemukan dan mendekatkan keduanya semenjak berkumpul dalam diskusi-diskusi di kampung tesembunyi di Benowo. Setidaknya, itu terbaca pula dari persannya agar Biru Langit menyempatkan diri pergi ke Senen. Ya, pastilah dia ke sana. Bukankah pasar buku loak adalah rekreasi terbaik baginya di bumi ini selain rumah sakit?
Tentang kaum miskin, pengemis dan gelandangan masih menyibukkan pikiran Biru Langit. Ia belum mendapatkan seorang pengemis pun. Malah ia tersedot oleh Jakarta yang dibenaknya menenggelamkan mereka. Kemana mereka menyingkir, sembunyi atau mencari penghidupan. Ke pinggiran kota? Ya, pasti mereka menyingkir ke pinggir kota. Lantas, mengapa dirinya justru ke jantung kota? Mendadak pikirannya melompat pada Bintang Sakti. Bagaimana ia bisa merencanakan sesuatu yang salah sasaran? Ataukah justru da manuver baru menggiring pasukannya ke jantung kota sonder kaum pengemis ini? Begitulah ia pun meloncat cepat ke kecurigaan. Kecurigaan seniman Ipong. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba pikiran Biru Langit tertuju pada masjid.
Ya, masjid. Di sanalah kaum pengemis berada. Karena sudah jadi rahasia umum, mereka kaum pengemis ini menyimpan di matanya bahwa di masjid banyak penderma. Bukan karena alasan kaya atau miskin. Kaya dan miskin hanyalah soal harta kekayaan di rumah. Tapi isi kantong orang yang pergi ke masjid tentu soal lain.. Apalagi bila kantong-kantong mereka berada paling dekat dengan hati dan isi dadanya. Para pengemis sudah tahu itu. Ya, masjid adalah tempat yang sepele bagi mereka. Mereka juga gampang bisa leluasa mata sejuk setiap yang keluar dari pintu. Lagi-lagi Biru Langit terjerat oleh isi kepala sang kritikus. Mengapa kertas dingin serasa jadi juru bicara yang mewakili perasaan-perasaan kaum pengemis dan gelandangan? Mungkinkah ini bukti kebenaran ucapan sang kritikus sat melibatkan Biru Langit dengan “Kita ini orang miskin” itu lantas sebagai kepanjangan pikiran Marxis-Leninis-Mao yang banyak diamininya itu? Biru Langit tak punya nyali untuk menjawab. Tapi ia tahu satu-satunya alasan untuk cepat pergi ke masjid terbesar di negeri ini—Istiqlal. Benar, ternyata bisa diduga begitu banyak jumlah pengemis dan gelandangan di hampir tiap pintu masjid. Inilah perjumpaan pertama Biru Langit dengan mereka, di tengah kota. Laki-perempuan, Kakek-nenek, bayi-bayi dalam gendongan ibunya, anak-anak yang tak bisa tunjukkan keceriaannya. Mereka hidup. Menjumpai mereka tak ada waktu bagi Biru Langit untuk bicara, tak ada kesempatan untuk berpikir, apalagi cerita atau membuat cerita di tengah mereka, kecuali teriakan mendici..mendici… “Berbagilah kebahagiaan hei saudaraku, aku tak ada waktu. Merdeka!” Lembaran indah warna hijau, habis seketika hanya dalam hitungan detik.
Empat
MALAM
“Apakah seorang pengemis cukup berarti bagimu, sehingga kamu menuliskan sajak tentangnya, Kawan?” Biru Langit mencoba menyelidiki isi kepala penyair.
“Oh, kamu memata-matai aku Biru Langit?”
“Ya, sebagai seorang kawan aku perlu jawabanmu, untuk kusimpan kelak bila mengenangmu.”
“Jadi bagimu aku lebih penting dari pengemis itu?”
“Bisa ya, bisa juga tidak.”
“Pengemis bagiku adalah sebuah inspirasi yang kaya. Karena begitu dekatnya bicara kenyataan dan impian baginya. Hanya itu, dan jujujr saja, memberikan uang padanya sebetulnya adalah pertarungan hebat bagiku: Aku takut keliru menilai mereka dan khawatir salah persepsi mereka terhadapku. Siapa yang tidak tercengang bila uang yang kuberikan padanya diam-diam secara perlahan membunuh impian-impian dalam dirinya? Padahal berapa besar uang yang diterimanya. Lalu berapa ratus orang jumlahnya yang peduli padanya? Lantas apa boleh dikata bila para pengemis itu benar-benar mendewakan para dermawan seperti kita laiknya kepada Tuhan? Berhadapan dengan pengemis aku merasa sebagai manusia yang harus tetap menjaga harmoni kenyataan dan impian. Bagiku, aku tidak yakin yang mereka minta adalah uang recehan atau sedekah. Tidak. Yang mereka minta adlah ketulusan dan keiklasan sebagai manusia. Jadi sebetulnya mereka adalah manusia yang sanggup menyentuh dunia terdalam dari manusia lain. Ya, sebuah dunia yang oleh manusia itu sendiri tak disadarinya ada pada dirinya; terhadang. Omonganku bukan teori dan bukan tanpa bukti, sebagai manusia pengemis bisa tersinggung nuraninya bila bersentuhan dengan kekerasan tindakan kasar atau bahkan ketidaktulusan. Dia sendirilah yang melatih dirinya untuk tahu itu semu. Untuk tahu kapan waktunya dan menempatkan nuraninya di tengah begitu banyak tangan-tangan persi di depan matanya. Salah satu kebesaran jiwanya adalah kesanggupannya untuk duduk di tempat rendah, dan mengorbankan sedikit tenaga mengangkat kepalanya menatap mata setiap manusia yng lewat di depannya. Karena itulah bagi saya, pengemis itu sedang berusaha untuk menterjemahkan sebuah kekosongan dengan caranya. Bagiku tidakkah, yang dimiliki jiwa pengemis itu lebih indah dari sajak Octavio Paz, betapa dunia setengah terbuka: aku percaya telah melihat maut ketika kulihat penampakan lain dari wujud, kekosongan: kecemerlangan tanpa sifat selamany,” Sang penyair menghentikan celotehnya dengan sorot mata tak terhenti, seolah ia sedang menikmati sendiri sepotong puisi.
“Kau sedang berbicara tentang diri sendiri, tanpa melihat penting seorang pengemis. Tapi tak apalah, ternyata kau seorang yang cukup religius,” Biru Langit menghancurkan kediaman sang penyair.
“Oh ya. Setiap penyair pastilah seorang yang religius.”
“Itu artinya kau seorang yang romantis juga kan? (entah tiba-tiba Biru Langit terngiang suaranya tatkala berbincang tentagn hal ini dengan Sulistyorini) Kamu mudah terseret oleh cara hidup pengemis itu di depan manusia lain. Kamu tak lebih sebagai seorang korban dan tak ada jalan keluar bagimu kecuali sepotong sajak dan ketulusan itu tadi.”
“Kamu benar saat berbicara tentang sepotong sajak dan ketulusan. Sebagai penyair, aku tahu keduanya memiliki tabiat yang sama yakni pentingnya kejujuran. Bila tanpa itu, keduanya sama sekali tak memiliki makna. Tapi kamu keliru ketika menyebutkan sebagai korban karena sebagai korban manusia akan terjebak pada hitungan untung dan rugi. Padahal kita bisa memilih diantara keduanya atau terserah ula pakai pijakan yang mana. Ekonomi, politik, sosial, sastra, filsafat atau agama. Tentu kau pernah membaca bagaimana Al Quran mengabarkan bahwa pada prinsipnya manusia ini makluk yang merugi. Tapi kabar itu belum berhenti kecuali bagi orang-orang yang tidak beriman. Kurasa sebagai manusia kita sepakat untuk memilih tidak berhenti, kau, aku atau pengemis itu. Tetapi tentang jalan boleh punya pilihan. Aku tak perlu berhenti dengan sajak, mungkin engkau dengan uang recehan, atau pengemis yang memilih cara lain. Sebagai penyair aku berbicara kejujuran dengan kata. Dengan katalah kemudian aku berbicara soal kenyataan, sebuah dunia yang tanpa makna yang sering menenggelamkan tubuh manusia menjadi potongan-potongan dan merasa sebagai orang asing saja. Mungkin pengemis itu tak tahu mengapa ia masih saja duduk di sana, seperti juga bila kau tanya mengapa aku masih saja menulis sajak,” kali ini sang penyair seperti meratapi dirinya seolah ia merasa pertanyaan itu justru ditujukan pada dirinya sendiri. Ia diam seperti telah menemukan jawaban, hanya saja ia terus disibukkan untuk menyakinkan nuraninya.
“Tampaknya aku telah memulai bisa mengagumimu karena kau yang dengan sadar sanggup menenggelamkan dirimu, ee, maksudku ke dalam kata. Jadi aku bisa menangkap bahwa kau sendiri tak mempedulikan dirimu. Atau lebih tepat tak menganggap dirimu penting. Bukankah ada yang lebih penting darimu yakni kata sang penyair?”
“Terimakasih kau telah membaca aku dengan tepat. Inilah yang kumaksudkan perjuangan mempertahankan batas ambang antara kenyataan dan mimpi, ketakjelasan batas kenyatan sejati dan yang kasat mata. Pada kenyataannya tidak satu pun di dunia ini yang menyimpan realitas purba, yang belum bercemar oleh waktu, apalagi tercemar oleh kata. Saya percaya dengang ungkapan penyair Subagio Sastrowardoyo, ‘asal mula adalah kata, jagad tersusun dari kata.’ Jadi menghidupkan kata-kata yang mati bagiku sebanding artinya dengan menghembuskan nafas dalam jasadku sehari-hari. Barangkali beginilah ruh kehidupanku terus bergerak menuju kehidupan yang lebih berikutnya. Maaf kalau aku harus kabarkan padamu juga tentang pernyataan seorang filsuf yang aku setujui kata-katanya. ‘Tak ada tulisan yang aku sukai kecuali digoreskan dengan darah’ demikian kata Nietzsche. Bagiku tak lain sang filsuf satu ini sedang mengecam kata-kata mati. Itulah sebabnya banyak kata dan buku-buku yang tidak dibutuhkan lagi. Seperti inilah aku membahasakan ke dalam pengertianku sendiri kata-kata sang filsuf itu sebagai pencarian makna hidup. Ya, kita sedang sama-sama mencari makna. Ya, makna bukanlah kenyataan tetapi kenyataanlah yang terus menerus mencari makna. Tentu kau sudah sedikit menemukan jalan yang membedakan sekaligus membuat sama antara aku, penyair, engkau, uang dan bahkan seorang pengemis. Kamu bisa menambah sendiri deretan lebih panjang lagi, saudara Biru Langit.” Sang penyair dan panglima bermaksud melemparkan jauh tubuh dan pikiran Biru Langit ke angkasa yang asing, dan berhasil. “Tapi kau belum sama sekali kemukakan pendapatmu tentang soal yang sama, bukan? Untuk kusimpan bila kelak kamu sudah tak berguna.”
“Baiklah. Jujur saja harus kuakui, aku kagum padamu ketika bicara tentang ketulusan, keikhlasan dan kejujuran karena itu yang sedang kupersoalkan saat ini sebagai manusia. Kalau boleh aku berkata, itu harga sebatang maunsia yang masih kupercaya. Tapi maafkanaku bila yang lain-lain dari ucapanmu tak begitu aku percaya. Tampaknya ini yang membedakan antara kau dan aku. Maafkan aku dan jangan dulu potong bicaraku. Kata telah mampu membuka hidupmu terhadap kejujuran, keikhlasan dan ketulusan, mungkin juga kebenaran. Tapi bagiku perjalanan, kepahitan, kegetiranlah yeng menyebabkan aku percaya dan yakin dengan beberapa kata yang kusebut belakangan itu. Akut tidak bermaksud bakal mengataimu kau seorang yang bukan mustahil bisa bermanis di bibir, bersembunyi di balik kata tentang kejujuran. Tidak akan. Semoga dugaanku keliru saja. Tapi harus jujur kuakui aku tersinggung ketika aku kamu katakan arti seorang pengemis bagiku adalah seberapa besar uang recehan kuberikan padanya. Tidak demikian sederhana kawan. Kau tentu menyadari antara kau dan aku punya satu kesamaan tujuan hidup: berjuang. Kamu memperjuangkan kata dan aku memperjuangkan sebuah perjalanan, masalalu, masa kini dan masa depan. Bukankah bagiku kedengarannya lebih realistis. Aku ingatkan bahwa kita harus pula sama-sama menyadari takkan pernah sekalipun kita samap pada satu titik kecemerlangan. Kita selalu berada pada sejumlah koma dengan di sana-sini banyak lubang ngangga yang anehnya begitu hebat ditaklukkan oleh tangan kekuasaan. Rasanya tak paerlu kau memicingkan mata dengan kata kekuasaan. Kekuasaan Tuhan, rezim atau bahkan malaikat atau setan. Jadi tampaknya kamu menurut aku harus mengoreksi kepercayaan dirimu yang amat berlebihan, sebelum aku mencap kamu sebagai seorang yang individualis. Itu sesuatu yang amat berbahaya bagimu, karena justru bisa membunuhmu sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. Itu artinya, bila telah terjadi, kegagalan besar bagimu. Ya kamu bisa gagal sebagai manusia. Lalu bila Tuhan kasihan padamu kamu bisa dibuat beruntung. Ya, tampaknya beruntung itu kata yang paling tepat buat manusia dalam keadaan sepertimu. Pikiranmu, perasaanmu, batinmu, nuranimu, tetap dihidupkan Tuhan dalam batas-batas tertentu atau puncak-puncak tertentu, tetapi bukankah itu semua tetap dalam kungkungan jasmaniah? Jujur harus kukatakan padamu, bila kamu tak segera membuka diri, itu sama artinya tak mau berlomba dengan makhluk rohani yang lebih tinggi: malaikat. Masih perlukah aku pasang nama Ibnu Chaldun untuk menyakinkan pendapatku? Barangkali, kamu berpikir aku juga seorang yang religius sepertimu. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tetapi kalaupun ya, yang membedakan kau dan aku adalah religiusitasmu yang bersumber pada pikiran. Sementara padaku ada yang tak terjangkau oleh akal dan bahkan tak bisa kuceritakan padamu sama sekali. Ya, seperti inilah kurang lebih hubunganku dengan pengemis dan gelandangan seperti yang kau tanyakan. Persaudaraan, kawan. Persaudaraan. Hanya itu sementara in yang bisa kuceritakan padamu,” sepertinya bibir Biru Langit gemeter ketika berkata persaudaraan.
“Kritikmu terhadapku, mengingatkan aku akan Faust. Itu sama artinya kau menudingku lebih gampang bersekutu dengan setan demi meraih apapun. Tapi aku bukan orang Jerman dan memang pikiran filsuf-filsuf Jerman banyak mengilhami pikiranku. Harus kuakui aku seorang Descartius. Lantas apa pendapatku tentang kau, Biru Langit? Kamu seperti orang primitif, kau tak lebih dari hantu abad permulaan yang gentayangan di zaman ini. Karena itu, ketulusan, keikhlasan dan kejujuran yang ada padamu itu adalah sisa peradaban yang tak bisa dipakai di zaman ini. Jadi terus terang aku pun mencurigaimu bahwa itu hanyalah omong kosong yang dibalut dengan rohani-rohani itu tadi. Bukankah kita telanjur sepakat tak ada setan atau hantu yang berwujud bermuka buruk dan bergigi drakula. Fatalnya, manusia telanjur diciptakan sebagai makhluk manis dan ternyata setan pun amat senang bersemayam dalam tubuh manusia. Karena itulah dugaanku mengapa kini kamu tetap memilih hidup di jalanan, jawabnya ada dua. Barangkali karena kau orang primitif yang sulit untuk larut dalam perubahan zaman. Atau karena kau terlalu asyik dengan dunia rohanimu itu. Dengan demikian menurutku kau seorang yang inkonsisten. Gagasanmu tentang persaudaraan itu hanyalah gambaran sikapmu yang cenderung Marxis. Lalu kamu mencoba mencampur aduk dengan komunisme, Islam, terhadap kaum pengemis dan gelandangan.” Kedengarannya sang penyair tersinggung, nada suararnya pun meninggi.
“Kalau kau sudah tak bisa kujadikan saudara, sepertinya kamu perlu mendengar penjelasanku tentang filisofi gelandangan,” Biru Langit terus menantang. Tapi suasana hening.
Lima
RABU, 15 Juni 1994 Pukul 09.00 WIB
Rombongan meluncur dengan bis Mayasari Bhakti dari arah Pulo Gadung menuju Senayan. Tujuannya gedung wakil rakyat. Empat puluh menit kemudian belasan pejuang hak itu tepat tiba di pagar besi gedung wakil rakyat. Setelah sang panglima di dampingi beberapa prajurit mengurus segala soal dengan aparat, belasan orang langsung melenggang di pelataran aspal hitam halaman gedung. Pasukan berjalan cepat. Makin cepat dengan membentangkan beberapa gulungan poster berisi kecaman terhadap tindakan tak berperikamanusiaan oleh dua orang pemimpin sebuah media massa. Diantaranya “Kembalikan Sumbangan Rp 1,3 M Kepada yang Berhak,” “DI dan NW, Dimana Nuranimu?” “Koranmu Hanya Kedok Kejahatanmu,” “Maumere Bukan Ladang Ganja,” dan masih banyak lagi. Pasukan berjalan lebih cepat lagi diiringi cekikikan tawa mereka yang sejuk dihempas guyuran rintik-rintik air mancur depan gedung dewan.
Karena di sisi lain harus menghindarkan poster mereka yang yang terbuat dari karton agar bebas dari air. Begitu tiba di pintu kaca, pasukan cepat merangsek masuk. Terbang, rebana, seruling, yel dan lagu-lagu langsung ditembakkan. Sementara panglima mengatasi persoalan dengan beberapa aparat yang kaget dengan kedatangan mereka. Terlihat sekali petugas berseragam polisi itu dengan menggenggam handitalky di tangan menjaga pintu lift masuk sebab khawatir pasukan nekat menerobos. Tak ada peristiwa benar detik-detik itu kecuali bunyi rebana, terbang, seruling dan nyanyian tanpa judul. Selain itu juga wajah-wajah dan tampang yang memasang aksi pasukan maupun petugas polisi.
Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, rombongan diizinkan masuk dan berdialog di lantari dua gedung dewan. Beberapa wakil rakyat bertindak sebagai tuan rumah dan dialog berjalan dingin, menegangkan dan kadang memaksa diri bertindak lucu. Seperti biasa politikus Bintang Sakti yang duduk di kursi paling belakang menutup pembicaraan. Tuntutan pasukan ditanggapi dengan rencana wakil rakyat memanggil dan minta ketegasan DI dan NW. Kesimpulan lain, dewan perlu mempertimbangkan adanya Undang-Undang yang mengatur media massa menarik sumbangan dari masyarakat untuk tujuan tertentu.
Enam
DARI SENAYAN ke Tanah Abang hanya beberapa menit bila ditempuh dengan naik angkot. Lebih cepat lai bila dengan menumpang taksi. Ke Tanah Abang memang sebuah pilihan. Karena disini cukup banyak kawan lama, atau lebih tepatnya orang-orang ternama yang telah bersedia dijadikan kawan.
Masa silam jalan Simpang di Surabaya yang telah menyimpan catatan bersama dengan sebuah gang sempit di Tanah Abang, di rumah Sutradara, penulis skenario film dan pemimpin Teater Populer, Teguh Karya. Menjelang sore itu, di pendopo rumahnya yang memang masih asli berarsitektur gaya Jawa, justru di tengah kota Jakarta. Boleh jadi di kota ini hanya itulah rumah satu-satunya.
Menjelang sore itu Teguh Karya mengundang banyak sekali para pemulung, jumlahnya mencapai puluhan. Mereka diundang untuk bicara banyak perihal diri mereka sendiri. Maka berbicaralah mereka dengan berbagai bahasa, gaya maupun celoteh serius dan kekonyolan serta cerita. Teguh Karya memang mengundang mereka untuk penggarapan sebuah film cerita. Sebagai tamu rombongan Biru Langit hanya mendengarkan saja. Itu pun berada menyisih di tempat yang agak jauh. Banyak ragam cerita orang miskin di sana, tapi ceita yang mana yang kemudian jadi sebuah film cerita tak ada yang mengerti.
“Oh, begini rupa rasanya si Teguh berkarya itu menjual orang miskin,” cemooh Setiawan. Sulit menerka keseriusan bicara Setiawan.
Tapi entah mengapa ia berpendapat seperti itu. Memang begitulah adanya orang satu ini banyak berkubang dengan film-film perihal kehidupan dan perjuangan hidup orang miskin.
Di tempat pojok agak menyisih, persis di belakang rumah joglo Biru Langit mendapat cerita pemulung tanpa nama. Ia punya keluarga, anak dan istri. Hebatnya, ia pun punya kampung atau lebih tepatnya sebuah gang yang dihuni oleh para pemulung. Semuanya pemulung, kakek-nenek, anak-anak, laki-perempuan. Lebih hebat lagi, mereka semua tinggal tanpa ktp. Usut punya usut, ternyata keberadaan mereka memang disoal. Tiap mengajukan permohoan ktp selalu ditolak. Penolakan itu sebagai dampak dari sikap pembangkangan para pemulung terhadap pemerintah daerah. Ikwal kisahnya, gang itu dulunya sebuah areal tanpa kejelasan pemilik lama karena tempatnya yang bersebelahan dengan kuburan. Bertahun-tahun sejak aktivitas pemulung di sana tak pernah timbul persoalan sampai akhirnya banyak dididikan bangunan. Lama kelamaan para pemulung yang sudah memadati gang itu merasa terganggu kegiatan kremasi pembakaran mayat di kuburan itu. Lantaran terganggu kebersihan lingkungannya, para pemulung punya keberanian untuk memprotes dan meminta ganti rugi yang menimpa diri mereka, terutama kepada pemerintah daerah. Tanpa hasil. Tuntutan malah berbalik. Mereka tak pernah lagi mendapat ktp dan belakangan lahan itu bakal digusur dari aktifitas para pemulung…
“Bukankah kamu punya hutang untuk menjelaskan filosofi gelandangan kepadaku, Biru Langit?” panglima Arif Budiman menagih janji, ada seniman Ipong, Burung Nuri. “Tampaknya kita bisa bicara dalam suasana yang tepat.”
“Pada prinsipnya manusia hidup ini menggelandang di duni ini tanpa tujuan, dan itu yang tidak dapat dilakukan oleh gunung, laut atau angin. Karena benda-benda itu memang tak sanggup melakukantugas yang diberikan kepada manusia. Oh, barangkalai hanya kebetulan saja saudara-saudara kita jadi pengemis atau gelandangan seperti itu. Bukankah itu mempermudah kita untuk mengakui bahwa dia adalah saudara kita lantaran punya tugas yang sama di dunia ini? Ya, memang sebagai manusia, sebagai pribadi memang sama sekali tak pernah bisa mengerti pengalaman batin, perasaan atau kehidupan rohani masing-masing, akan tetapi sebagai saudara tentu kita mengerti arah kembara semua ini. Ya, karena kita sama-sama sebagai gelandangan yang miskin dan tak memiliki apa-apa kecuali kekayaan batin sendiri-sendiri. Menjadi gelandangan adalah syarat mutlak karena dengan demikian manusia akan menemukan kebebasannya, termasuk tentu saja dalam hal menggunakan pikirannya. Begitulah, karena Tuhan menciptakan manusia sebagai tenaga kreatif, roh yang membumbung tinggi, bergerak maju, bangkit dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu yang kubicarakan ini manusia yang sehat. Lain halnya bila diantara kita memang ada yang tidak termasuk dalam masalah ini. Ya setidaknya ini pertanyaan untuk kita sendiri. Jadi, menjadi gelandangan hanyalah suatu keadaan, menjadi pengemis Cuma situasi di semesta ini. Tapi menjadi manusia bukan kutukan, apalagi untuk menjadi manusia bodoh. Menjadi manusia karena manusia tahu diri dengan kebebasannya dan menggelandang adalah sebuah cara untuk mencari jawab apa yang sudah dan akan diperbuat bagi tatanan kehidupan semesta ini. Betapa semakin jauh menggelandang semakin banyak pula setan berkeliaran mengganggu, menteror, bahkan memalsukan jalan hidup yang diterangkan Tuhan kepada manusia yang sengaja ditempatkan di posisi yang setinggi-tingginya ini. Kalam Tuhan sudah demikian menunjukkan kemurahannya pada manusia, mengapa kita tidak malu kepadanya bila kita meletakkan pengemis dan gelandangan di tempat yang sehina-hinanya? Terus terang saya curiga laku pengemis dan gelandangan ini sebagai penggemblengan jiwa, pengujian batin, terlepas dari karena kebodohannya yang mati pikirannya, sehingga sampai di situlah titik temu tingginya amal mereka dibandingkan dengan gagasannya. Tapi bagi kita, orang yang sudah sedikit dibukakan pengertiannya mana manusia diserlimuti kabut kebodohan dan berpengetahuan, tentu bisa mengerti bila lebih mengutamakan tujuan-tujuan amal bagi tata kehidupan kosmos daripada gagasan yang hanya berguna bagi diri sendiri atau yang disalahgunakan oleh laku setan untuk merusak tatatan kehidupan semesta ini. Itulah sebabnya aku sulit mempercayai tujuan hidup ini, karena tujuan hidup ini banyak dikelilingi hal-hal yang palsu. Aku lebih percaya pada amanat hidup, lantaran sebodoh-bodoh manusia, Tuhan telah menempatkan di tempat yang tinggi dengan kecerdasan, pikiran dan tentu saja batin dan kehidupan rohani. Kukira kau sudah cukup mengerti dengan kepalsuan tujuan hidup yang kumaksud. Dan kukira engkau juga mulai paham, gelandangan yang kumaksud betapa manusia ini senantiasa gelisah dalam pengembaraannya mencari titik temu, menemukan jawaban atas pelbagai pertanyaan misteri semesta, dan mendapatkan cahaya keabadian. Ah, maafkan penjelasanku barangkali sulit kau cerna. Atau kau meungkin mulai menilaiku pintar omong kosong?” terakhir Biru Langit lebih didorong karena kehabisan kata-kata dari pada menutup pembicaraannya.
“Oh, tidak. Kita memang sedang hanya omong kosong. Bedanya Cuma kamu yang mamasukkan ‘omong kosong’ itu dalam penjelasanmu. Seolah-olah memperjelas bahwa kaum sadar tentang hal itu,” Sang panglima tertawa bermaksud menyindir. “Omong kosong sebab satu pun diantara kita tak mampu membebaskan penderitaan pengemis dan gelandanganitu. Baru sedikit uang recehan, kita sudah banyak bicara,” imbuhnya.
“He! Kamu jangan epehan,80) Bung Arif,” sergah seniman Ipong. “Dua kalimat akhir itu punyaku. Itu bagianku untuk bicara,” seperti biasa bila hendak bicara seniman Ipong seperti tak terkendali, wajahnya tegang, matanya nanar.
Sayangnya saat berapi-api itu pecah oleh pelanyan rumah yang membawa nasi goreng Jakarta. Apalagi, tuan rumah cepat menyilakan agar menyantap hidangan. Sebab itu, tidak ada alasan lain untuk tidak menikmati nasi goreng Jakarta dan teh hangat. Bicara pun tak diizinkan suasana. Aneh, padahal suasana tak ada yang istimewa. Nasi gorengnya pun juga tak seindah namanya. Tampaknya ini keangkuhan Jakarta, sampai nasi goreng pun harus dimonopoli. Dimana-mana nasi goreng itu sama. Barangkali perasaan lapar yang membuat suasana jadi hidup berkat nasi goreng Jakarta. Seember lagi. Tak ketinggalan sendawa prajurit Heru.
Justru tuan rumah sutradara Teguh Karya yang tak mau berkurang bersahajanya meski terus bicara di sela-sela asap rokok dan secangkir kopi susunya. Mula-mula dengan nada nyinyir ia bicara soal bukunya 25 Tahun Teater Populer, kemudian teater dan tentu saja film. Yang paling panjang, ketika bicara tentang hidup. Bagaimana persoalan teater adalah sebenarnya persoalan tentang hidup. Hidup harus dilakoni dengan tatag, titis, tutug. Hidup harus dihadapi dengan berani ambil resiko, tahu kemampuan diri dan bertanggungjawab sampai tuntas. Berani, cermat dan tuntas. Menjadi aktor dalam teater sama halnya menjadi lakon dalam kehidupan nyata. Aktor harus pandai bergaul dengan kehidupan karena dengan demikian hidupnya akan realistis. Begitulah, sang sutradara banyak bicara tentang hidup juga kehidupan bekas anak buahnya. Herman Felani yang sadar gagal jadi aktor ternama tapi puas mendapat semangat hidup aktor di kehidupan nyata. Lalu Alex Komang yang tidak bisa bergaul, Slamet Raharjo yang bersahaja dan Eros Djarot yang cerdas membaca tanda-tanda zaman. Sesekali ia di usia tuanya berbangga memiliki rumah tua yang klasik di tengah kota sambil berjalan hilir mudik dengan sebatang rokok yang tak henti-hentinya ia isap tembakaunya. Mula-mula di pendopo, di situlah dalam banyak kesempatan diambil gambaranya dalam film November 28. Di halaman depan banyak diletakkan pelbagai kembang persis saat film Ibunda di buat, atau film Doea Tanda Mata. Di salah satu ruangan ruangan banyak terpampang beberapa foto lama. Aktris Christine Hakim bermain dalam Ranjang Pengantin, Wajah Seorang Laki-Laki. Lalu pertunjukan Jayengrana dan Layonsari. Di dalam ruangan masih tersimpan banyak sekali benda-benda antik, meja kursi, jam dinding, lampu gantung, almari besar. Begitulah kehidupan antik di kawasan Kebon Pala, Tanah Abang.
Malam itu rombongan tidur di pendopo. Pulas cukup dengan tikar pandan. Hanya beberapa mata berdedip, termasuk seniman Ipong bicara tentang kemiskinan, yang tertunda.
“Orang miskin, pengemis dan gelandangan tidak lain hanyalah sebuah korban. Ini jelas suatu fakta hidup dari anmal rasioanle, binatang yang berpikir. Manusia itu tak lebih punya sikap dasar sebagai binatang yang tempatnya lebih tinggi sedikit dibanding kera, sebagai animal rasionale ia punya dua kecenderungan menindas dan ditindas. Yang kedualah yang banyak dipredikatkan pada golongan miskin dan gelandangan. Dianggap sampah, penyakit masyarakat, dipinggirkan. Dan yang penting mereka itu dicap tidak beradab. Hebatnya, cap kedua ini justru melahirkan konsep baru terhadap pola hidup mereka yang sebagai makhluk sosial: yakni solidaritas kaum miskin. Mereka bisa berkumpul, mengancam, menaikkan posisi tawar, menuntut, bahkan memberontak, tak lain karena jumlahnya yang maikn hari bertambah besar…”
Seniman Ipong terus berbicara. Bahkan hingga tiap katanya makin sulit dipahami karena hari kian malam. Sampai ia putus asa oleh sebab tak ada sedikitpun nyala bola mata rekan-rekannya. Ya, para prajutit lebih banyak yang tidur mendengkur ketimbang mendengarkan ocehan tak bermakna.
“Huh..Diamput!!”
Tujuh
PAGI. Tak satupun koran ibukota memuat berita aksi protes rombongan Bintang Sakti bersama prajuritnya. Bisa diduga lantaran kasus ini menimpa bos besar imperium media massa. Entah apa yang terjadi di belakang ini semua, sebentuk solidaritaskah? Belum ada jawaban.
Satu-satunya yang masuk di telinga Biru Langit, hanyalah ocehan seniman Ipong tentang solidaritas yang ia dengar lamat-lamat antara sadar dan tidak di tengah malam. Mungkin juga bila kata Ipong, bila ada solidaritas kaum miskin, bukan mustahil ada solidaritas golongan elit. Diantara keduanya lebih gampang cari perbedaan ketimbang persamaannya. Meski sama-sama terikat oleh sebuah solidaritas. Nasib buruk pengalaman sejarah dan kekayaan yang membedakan keduanya, setidaknya begitulah pandangan Ipong.
“Solidaritas kaum miskin lebih karena didorong oleh nasibnya yang selalu jadi korban kekuasaan, uang dan alat negara. Sebaliknya solidaritas kaum atau golongan elit karena didorong oleh kepentingan sama-sama menjaga kekayaan modalnya dan tentu saja kedudukannya sebagai warga negara kelas satu,” ini pikiran Ipong yang diingat, Biru Langit karena menyerupai adonan buah pikiran Karl Marx, Mao Tse Tung, atau Tan Malaka (memang itulah nama-nama yang kerap ia sebut, entah sebagai tokoh idolanya ataukah bukan).
Satu hal lain yang dia ingat adalah tiadanya kejelasan bicara tentang mimpi, kenyataan atau omong kosong. Ini pula yang membedakan sekaligus dengan tiga lelaki; si brewok Marx, si keren Mao atau si misterius pemilik sebuah foto Tan Malaka. Sebaliknya obsesinya bicara atau membual atau berapi-api atu entah apa namanya lebih menyerupai kesurupan ketimbang intelektual yang berpikir dingin.
Ya, barangkali saja ia sedang menterjemahkan kesepiannya sendiri menikmati kesendiriannya sekaligus mengusir nyamuk, kecoak atau setan. Lantas apa kata-katanya bila menutup pembicaraan seperti ini? “Aku tidak suka kesunyian. Jadi keadaanku seperti ini bukan semata-mata keinginanku sendiri. Ada kekuatan lain yang… ah sialan betul dunia ini. Kenyataan macam ini?” Begitulah Biru Langit mau katakan seniman Ipong telah asyik dengan kebiasaannya menyalahkan kekuatan lain di luar dirinya ketimbang keadaan dirinya yang membuatnya seperti sekarang.
“Kalau kau punya kesimpulan seperti itu, sebetulnya diantara kita ada titik temu, isi pikiran kita bila untuk mengatakan tentang dunia ini, kawan Ipong,” pikir Biru Langit. “Boleh jadi kita hanya memang sekadar omong kosong belaka.”
Berikutnya catatan pentingnya tentang seniman Ipong. Trade marknya menyebut praktek kapitalisme rente oleh penguasa negerinya—bahwa penguasa menjual pengaruh untuk menguasai ekonomi. Itu yang dilakukan Soeharto dan anak-anaknya. Dia Cuma menjual kekuasaan. Dalam kapitalisme rente, kaum oposisi yang ingin menjadi kapitalis itu dibatasi ruang geraknya. Yang diberi kesempatn yang tidak mengancam kekuasaan politik, seperti etnis Cina. Selain dari golongan Cina adalah golongan pribumi yang tidak mengancam kekuasaan seperti kerabat, konco. Jadi tidak ada perusahaan besar yang murni milik Cina, atau murni milik pribumi. Sebagai seniman tak lupa dirinya menjejalkan kritik sesama rekannya, “Seniman selalu terbawa arus ekslusivisme seni, terjebak permainan yang mengarah dalam gerakan-gerakan bentuk saja, tetapi tidak dalam jiwa, roh dan isi pikiran.”
Delapan
DERIT roda kereta Jabotabek beradu rel kali pertama mengagetkan potongan-potongan peristiwa asing. Banyak kali terjadi hentakan akibat misteri suasana hatinya yang tak menentu—lebih tepatnya gejolak pertarungan dalam jiwanya atas kenyataan yang entah mengapa sulit ia terima dengan iklas. Kereta berhenti di sebuah stasiun kecil di Cipayung, Bogor. Entah bagaimana terjadinya tiba-tiba Biru Langit telah melompat ke tubuh mikrolet. Sepasukan ditelan semuangya dengan diantar seorang kurir bernama Daeng Kelana, mikrolet meluncur di sebuah perbukitan. Lagi-lagi yang mengejutkan, angkutan sewa itu berhenti di gerbang Padepokan Bengkel Teater milik penyair kenamaan WS Rendra.
Untuk pertama kalinya dalam perjalanan, rombongan disambut oleh beberapa ekor anjing. Tidak liar memang. Lalu kandang ayam, gubuk reot dan lading gersang. Kurir menterjemahkan semua gambar yang semuanya tak tersentuh. Juga foto-foto. Lantas berkenalan dengan manusia-manusianya, orang-orang perkasa yang menyerahkan tubuhnya dan nasibnya, juga jiwanya pada nama besar si burung merak itu. Kali ini waktu yang mengecewakan. Sayang waktu telah jatuh menjelang petang perjumpaan dengan pembawa sajak sebatang lisong dalam film Yang Muda Yang Bercinta itu sampai film itu dilarang beredar , hanya sekali kata saat pengajian. Malam berlanjut dengan tahlil dan terpaksa rombongan pun hraus menginap di ruang perpustakaannya (suatu pengalaman yang menyebabkan Biru Langit sulit memejamkan mata karena tenggelam dalam kata, tubuhnya yang ringkih itu. Ingatan yang sama menerbangkan dirinya kepada suasana pasar loak di jalan Semarang Surabaya, atau perpustakaan di Balai Pemuda).
Malam berakhir dengan penjamuan makan nasi lodeh dengan lauk ikan asin, plus harus mencuci piring bekas makannya sendiri. Itu aturan setiap tamu yang dijamu di sini. Barangkali, ini cuma sepercik cermin sikap hidup kegagahan dalam kemiskinannya yang ditanamkan Rendra pada anak buahnya: Ikan asin dan piring kotor, dan tentu saja perhatiannya pada alam, lading, kebun, lereng, perbukitan, binatang piaraan dn angin. Barangkali, itulah pilihannya karena alam bersih yang ia bangun perjuangkan dan jaga dari kerusakan, ia bisa temukan jalan. Ya, suatu pikiran tentang kebudayaan. Sepotong sajaknya mengingatkan Biru Langit, miski ia belum jenak bertatap dengan wajah sejuk penyair berambut semir itu. Aku tulis pamflet ini karena kawan dan lawan adalah saudara di dalam alam masih ada cahaya. Matahari yang tenggelam diganti rembulan. Lalu besok pagi pasti terbit kembali. Dan didalam air Lumpur kehiduapn, aku melihat bagai terkaca. Ternyata kita toh, manusia! 81)
Pukul 10.00 pagi. Tepat esok harinya. Tak terbayang semalam dan memang terlupa untuk diceritakan, lantaran terinjak dan semua perabotan dinding, daun pintu, jendela, saka, kediaman segalanya terbuat dari kayu jati. Tiap kali kaki melangkah, saban kali pula lantai berderak.
Dalam kekosongan pikiran, timbul pertanyaan bagaimana orang ini membeli ini semua? Uang dari mana? Kayu jati illegal loging ataukah bukan? Terang tak terjawab. Putus. Sang burung merak melompat dari lubang pintu.
Lalu perkenalan politikus Bintang Sakti atas gerombolannya lebih menyerupai impresario. Nyata tapi tak masuk akal. Dari emperan lantai dua yang menyerupai balai-balai itu bertiup angin kencang yang berputar-putar dari atas maupun bawah perbukitan Cipayung, juga suara kambing, bebek, atau anjing. Lalu laki-laki yang menyapu halaman. Dari balai-balai itu pula banyak tikaman yang menghunjam berkali-kali.
Ceritanya, mata pisau itu telah terlihat bagi Biru Langit saat mendapat laporan aksi kegilaan bos koran terbesar di Surabaya, tak ada tanggapan yang bisa dicatat. Sebaliknya sang burung merak berbicara terlampau banyak, sampai tak satupun anggota rombongan yang bisa mencuri waktu atau memotong bicara. “Begini rupa rasanya polah tingkah orang punya nama besar. Apalagi yang terlah berumur.” Ada misteri di dalamnya, kenapa ia tak peduli, kenapa ia bicara begitu banyak soal sampai tak termuat dalam ingatan. Bahkan soal tahlil minta doa karena istrinya yang sakit keras tak membekas. Mungkinkah ada sindrom kuasa dlam dirinya selaku orang besar? Sikap yang senada kentara sekali saat mengomentari beberapa kali pencalonan nobel sastrawan Pramoedya Ananto Toer. Seolah-olah dia berkata dirinyalah sebetulnya yang lebih pantas mendapatkannya. Ah, ternyata toh kita manusia! Terkadang di mata Biru Langit, dia lebih sebagai sosok yang menganut ilmu silat ketimbang surat: Betapa ia bangun pagi pergi ke ladang dengan cukup menggerakkan celana komprang kaos oblong lalu menendang kesana-kemari. Makin membuat isi pikiran Biru Langit berputar-putar menerawang ke dalam sayu hijau mata tuanya. Tapi ia terus berbicara, berkicau sambil mempertontonkan bulu-bulu indahnya, matanya. Hebatnya sesekali ia memperlihatkan pukulannya yang dahsyat, menghunjamkan tikamannya yang mematikan.
Ya, ia diam-diam manusia yang berbahaya, seperti kobra yang sanggup membunuh seratus manusia sekaligus ia juga penari yang cantik bila sedang bertemu dengan kekasihnya. Kedua-duanya hadir persis di dalam dirinya tertangkap sebagai buah tangan Biru Langit untuk dibawanya kembali pulang ke Surabaya. Dalam perjalanan pulang setelah menikmati derit lokomotif, kawat-kawat elektris, lalu peron, bangku-bangku yang bosa menera saat-saat keberangkatan, setelah membungkam kenangan dengan berfoto bersama di pelataran masjid istiqlal berlatar belakang menara Monas, Biru Langit melirik sepotong sajak penyair panglima rombongan yang terpaksa juga dimaksudkan sebagai cindera mata dari si burung merak. Di lobby rumah rakyat itu, engkap mengecupku seraya berkata: “ada anak burung terjatuh dari sarangku. Maafkan aku mencintainya, ternyata. Ah, betul juga si burung merak itu manusia berbahaya bukan? Ia lebih menyemprotkan bisa ketimbang senyum sebenarnya. Atau sebenarnya ia adalah ular kobra yang memangsa sesama ular dari pada si burung merak yang memamerkan kecantikan sekaligus kesombongannya.
“Barangkali tak juga terlalu sia-sia hei panglima, saat kau membujuk, menghasut, menteror sepasukan prajurit anak buah Hamlet bercelana jean itu!” pikir Biru Langit. “Kau kotori pikiran mereka, dengan pertanyaan mengapa lebih memilih mengabdi kepada penguasa yang dictator daripada seniman yang mencintai kebebasan dan meliarkan tubuh dan jiwamu mengembara?” Tak ada jawaban seketika kecuali busa atau ampul kondom yang melayang-layang dan mencemari sungai-sungai nadi mereka. Tentu saja jawaban sementara sebagai permakluman, “Toh kita adalah manusia.”
Sebelum lepas meninggalkan kota dari bawah menara, tiap wajah banyak berubah karena siap berkendara bis executive class termahal. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Biru Langit. Mendadak tikaman terjadi bertubi-tubi, pukulan berkali-kali mengenai jantung hati paling dalam. Betapa melalui kuping dan mulut sang panglima serta seniman Ipong, tercium kabar telah terjadi transaksi besar-besaran antara politikus Bintang Sakti dengan wakil bos koran besar yang terbit di Surabaya itu. Transaksi terjadi atas perantara salah seorang petinggi sebuah koran harian dan mingguan Tabloid terbit di Jakarta, di suatu tempat di kawasan Lebak Bulus persisnya di belakang stadion. Ya, sebuah tempat yang cukup nyaman, jauh dari keramaian untuk transaksi. “Nilainya mencapai ratusan juta dan baru kali ini aku lihat uang sejumlah besar itu,” bisik panglima. “Hasilnya, seperti ini kita bisa pulang nyaman dengan bis mewah ini,” ucapnya menyakinkan.
Selepas itu seluruh rombongan pasukan menikmati perjalanan malam dengan enggan membuka mata. Dalam sekejab bis telah tiba di terminal Bungurasih Surabaya. Bahkan tanpa mimpi. Hanya tubuh dan wajah yang serasa melepuh yang masih terbawa. Peristiwa terjadi paling cepat dalam diri Biru Langit itu tak terhapus, persis beberapa hari menjelang tragedi pembredelan pers Tempo, Editor dan Detik 21 Juni 1994. Ya, inilah siang yang paling panas saat kali pertama turun dari suhu Air Conditioning bis executive class.
Seolah dirinya menjadi kembali hidup pertama kali mengenali dunia. Tapi ia bukan seekor bayi.[]
SEPULUH
IDEOLOGI LELAKI
Satu
KENDATI perempuan Sulistyorini mengaku suka membaca sejumlah sajak Chairil Anwar dan pernah membaca skenario Aku garapan si jenius Sjumanjaya, entah mengapa sama sekali tak ada yang membekas padanya. Ia justru tumbuh sebagai gadis yang sulit melepas kekanak-kanakannya, sentimentalismenya. Beruntung perkenalannya dengan Biru Langit, politik dan diskusi-diskusi kiri agar menggoyahkanya untuk tinggal sedikit saja membuatnya garang. Begitu pun berkali-kali Biru Langit musti ingatkan dengan bait-bait ‘Kawan-kawan, kita bangkit dengan kesadaran, mencucuk menerawang hingga belulang. Kawan-kawan, kita mengayun pedang ke dunia terang. Tak mempan.
Lantas, apa yang terjadi selama sepekan tanpa Biru Langit di dekatnya. Seperti inilah ternaya yang dialami perempuan Sulistyorini.
“Yang sebenarnya terjadi, meski selama ini kamu berpura-pura tahu (sok tahu), aku yakin kamu juga papa dan mma tidak pernah tahu apa arti kehadiranmu bagiku, Biru Langit. Kamu telah kuanggap saudara, sebagaimana orang-orang yang aku cintai, papa dan mama. Jika ada yang menyuruhku berhenti mengingatmu, kangen padamu, berarti dia tiak pernah mengerti aku sebenarnya. Berarti dia talah membunuh sebagian dari hidupku. Kalau itu ada padamu seperti terkesan olehku berarti kamu benar-benar tak mengetahui apa yang telah kukorbankan untuk kamu Biru Langit. Aku perlu ulangi, demi kamu, aku telah buka rahasiaku yang telah kehilangan darah keperawananku, mahkota hidupku. Kamu belum mengerti Biru Langit,” Sulistyorini seperti tersedu suaranya memberat, badannya tertangkap menumpahkan segala perasaannya, dendamnya kepada kekasihnya. Biru Langit tak mampu menggunting kata-katanya, ia tersedot daya ledak emosi Sulistyorini. “Aku terus menunggumu, suratmu, telpon darimu, kedatanganmu bahkan kabarmu pun tidak, berapa lama. Kau tak tahu apa yang aku lakukan di sini? Aku menulis surat-surat untuk menumpahkan perasaanku padamu yang tak mungkin kukirimkan kepadamu. Tak terbayang olehku andai perasaanku ini selisih jalan dengan kamu Biru Langit. Karena itu cukup aku kumpulkan seperti ini.” Ia membuka tas dan memperlihatkan kertas-kertas berwarna-warni. Biru Langit tak punya nyali menyentuhnya. Dirinya masih temukan pikiran dan perasaan sendiri. Betapa sunyi kekasihnya itu saat menulis larik-larik, “Aku tak bisa menulis puisi entah mengapa aku menilai inilah puisi pertama dalam hidupku. Betapa berat saat aku menuliskannya, tanpa tujuan. Setidaknya ini untuk aku bisa mengurangi penderitaanku,” Sulistyorini mencoba menenangkan diri, sekaligus menyedot perhatian kekasihnya.
Kata ‘puisi’ membuat Biru Langit terluka. Ia menggandeng perempuannya dan mengatakan dengan kata-kata bijak. “Menulis surat panjang, itu cara paling ampuh untuk menulis sastra, puisi atau prosa,” meski sebetulnya dalam hati ia merasa prihatin dengan nasib puisi seperti diucapkan kekasihnya. Lantas untuk memecahkan kebekuan, diajaknya Sulistyorini berjalan-jalan. Sore itu, Ahad, ia menyempatkan menonton latihan teater mahasiswa. Tampaknya, mahasiswa-mahasiswa ini mau mementaskan naskah Caligula-nya Albert Camus, cuma saja kedengarannya dialognya maupun tokoh-tokohnya diadaptasi dengan gaya Jawa. Barangkali dimaksudkan mendekatkan pada persoalan-persoalan pemerintahan saat sekarang. Soal kediktatoran, korupsi, perempuan, intrik-intrik istana, uniknya tingkah polah tokoh-tokoh dalam pertunjukkan meminjam gaya Kabuki Jepang. Dari sekian adegan yang tepat menggambarkan suasana hati Biru Langit dan Sulistyorini adalah saat Caligula menuntut istrinya ikhlas dibunuh sebagai bukti cintanya pada permaisurinya itu. Sekaligus demi cinta wanita malang itu pada dirinya. Fantastis, tragis dan subversif. Hebatnya, betapa terjadi pertarungan batin saat akhir adegan, berpapasan dengan senyum dan pandangan absurd perempuan Sulistyorini. Terkadang ia terlihat sengaja menyembunyikan wajahnya di balik urai rambut yang jatuh di wajah. Banyak sekali perasaan yang menyeruak. “Akankah aku musti membunuhmu perempuan sentimental dan cengeng?” pikir Biru Langit. Sulistyorini hanya diam saja. Hei, diammu jangan menyimpan sesuatu gejolak. Entah bagaimana makna diam itu tiba-tiba sebuah apel merah memaknai sesuatu, lalu beberapa lembar kertas surat berwarna-warni. Biru Langit memaksakan diri untuk membuka lembar demi lembar ari yang sepele hinga yang paling berat semuanya ditujukan kepadanya. Sementara dilatari suara kacau mahasiswa-mahasiswa yang latihan acting voice, musik yang gaduh, sungguh suasana yang tak romantis. Satu-satunya yang menyelamatkan, cepat Biru Langit menggenggam jemari tangannya, sampai menggelindingkan sebutir apel merah dari tangannya.
“Biru Langit,” suaranya tertahan, “Aku selalu menahan apa yang bergejolak, setiap kali sentuhanmu menyentuhku. Aku takut sesuatu terjadi pada kita sepeninggalanmu. Tapi di sisi lain begitu hinakah aku di matamu, sehingga tak menghargai perasaanku lagi? Aku memang sakit, dan aku tak berhak berada di antara kamu. Jujur saja sampai detik ini ada dalam diriku masih bertarung diantara dua hal ini Biru Langit.”
Biru Langit tak memiliki jawaban. Sebaliknya, ia juga tak mau hanyut oleh kedekatan, kemanjaan, ketakutan atau bahkan kehilangan, iri atau dengki. Tidak. Apalagi oleh airmata. Kekalutan membuat perempuan Sulistyorini bersandar di pundaknya. Sebab itu dilatari kegaduhan teriakan dan musik pokrol bambu, satu-satunya yang menyelamatkan adalah bait-bait sajak Chairil Anwar…kita mengayun pedang di dunia terang… Takut terjadi selisih paham, mengetahui Biru Langit mulai membuka surat, perempuan Sulistyorini masih mendesakkan hasrat dan kalimat.
“Kamu harus percaya betapa sakit dan pedih hatiku ketika kamu pamit berangkat ke Jakarta. Aku melihat tatapanmu yang sangat menyentuh perasaan. Ada airmata yang mengalir ketika sampai di rumah. Maaf aku harus menuliskan surat-surat ini karena perasaanku yang merasa dibohongi, telah menghapuskan rasa percayaku, saat ini. Aku tidak tahu sampai kapan akan pulih kembali. Aku tidak ingin berpura-pura, maaf jika ini agak menyakitkan. Percayalah, jika di sana kau rasakan kerinduan, di sini pun kurasakan hal yang sama. Aku sangat menyayangimu.”
Entah bagaimana mulanya, lembar-lembar yang terbaca kali pertama Biru Langit adalah sebuah puisi (ah dia tak tahu benar apa artinya. Setidaknya ia terpikat karena kekasihnya menuliskan dalam larik-larik menyerupai puisi). Ada dua lembar yang menarik dibacanya:
Manakala sunyi menggerigi
Malam yang perlahan membuka kembang sejak tadi sore
Menghias sekelopak, lalu menabur (di atas)
Wangi di atas tubuh dan memagutnya dalam sekulum
Lagu yang telah tersusun
Semusim yang lalu tidakkah
Kau dengar pori-pori yang gelisah?
Menahanku sesak (yang) berlari-lari mendatangi
Tubuhmu yang menjelma api
Lalu mengabu (bersama rindu)
Kutaburkan dirimu didiriku hingga
Tiada itu mewarna jelas di dahiku
Lalu…
Jauh-jauh kudengar lagu itu
Di balik naungmu yang membahana
Ku bimbing nestapa yang mengelabu
Menghindar pada abu yang mengarak-arak rindu
Terlena menuju altar
Pada arus di bawah samudra kencana
Yang mewangi bagi srimpi malam hari
Di balik naungmu yang membahana
Kubawa secangkir embun manakala senja
Beradu kelu yang terpendam sudah
Menjadi rindu membatu
Di situ,
Gunung-gunung tak lagi bersetubuh
Enggan merupa kita. Sebab ada lengan
Yang bertaut gelang gemerincing
Rencong pengasihan
Dua puisinya tanpa judul, hanya saja di kertas bagian bawah tertulis:
Tuhan memberiku cobaan, itu berarti Tuhan menyayangi dan menjagaku. Jika saat ini ada cemas yang teramat sangat, mungkin itulah cara Tuhan mengingatkan…
“Tidak ada seorangpun yang menginginkan apa yang telah dirintis itu gagal. Tapi entah karena apa semuanya terasa lain. Aku menjadi sangat sensitive. Dan aku mulai suka menyakiti diriku sendiri dengan pikiran-pikiran tentang kesedihan. Hingga aku menangis, “ terus saja Sulistyorini mendesakkan perasaan sat melirik dan tahu kekasihnya usai membaca bait-bait puisinya.
“Sayang, tidak ada puisi terindah selain yang kita jalani selama ini. Kuyakin engkau mengerti, karena engkau telah menterjemahkan lewat kata. Walau kutahu, kau takkan mampu menuangkan semua, tapi aku bangga padamu sayang. Tahukah kau sayang, kau adalah bagian dari puisi terindah yang pernah kumiliki. Bagaiamana aku akan selalu mencintaimu, selain menghormatimu. Aku menghormatimu sebagai bagian dari hidupku. Engkau selalu membuatku sadar dalam menjalani hidup. Seharusnya engkau di sini bersamaku, membagi kebahagiaan ini.”
Coretan-coretan perempuan Sulistyorini kedengarannya di mata Biru Langit makin menggila. Betapa idiom-idiomnya sangat sederhana tapi justru asing di telinga Biru Langit. Dalam hati Biru Langit bertanya-tanya, bagaimana kegilaan perempuan di hadapannya ini demikan kumat, hanya dalam waktu sekejap kepergiaannya. Apalagi bila setahun, dua tahun, puluhan tahun. Sebegitu pentingkah dirinya di hadapan perempuan itu. Atau sebaliknya sedemikian perlunya menyehatkan wanita itu bagi Biru Langit setidaknya terbukti dari sekian lama perjumpaannya, membuahkan hasil tanpa sentimental, cengeng, ratapan, dan tentu saja puisi murahan. Benarkah sepasang kekasih ini sedemikian saling berharga? “Oh, betapa kejam seisi dunia ini telah meruntuhkan nasib dua sejoli ke dalam lubang perangkap berbahaya: misteri puisi murahan,” keluhnya. Tapi sungguh tak ada lagi pilihan, mencari perlindungan pun tidak, ia tahu telah jauh masuk perangkap meski hanya sebentuk lembaran sesobek kertas. Untuk mengibaskannya pun tidak sanggup. Sebab itu ia musti baca surat terpanjang dan paling murahan yang pernah didengarnya dari kekasihnya. Beruntung, suasana tak begitu memagut sehingga melompat sejalah kata-kata dan jatuh entah ke mana pergi ke jalan-jalan, lapangan, ruangan kosong, gudang atau bahkan pasar becek dan diterbangkan angin. Dengan mencoba bangun dari kemalasan ia tunjukkan beringas kepala dari rasa pusing, blingsatan matanya dari kabur, dan perutnya dibebaskan dari berpilin-pilin serta tengkuknya dari lengkung tulang belakangnya. Lalu melompat-lompatkan pikiran Biru Langit mengeja kata-kata dalam suratnya…
Mas, lagi ngapain sih? Kalau memang sibuk ya udah. Nggak usah telpon, nggak usah ngirim kabar. Aku nggak bakalan nangis gara-gara ini. Bahkan aku bisa membalas perlakuan Mas padaku. Mas, aku punya hati, rasa khawatir kangen, marah, benci, kesal, sedih. Mau tahu perasaanku sekarang. Aku ingin melupakan Mas. Hanya jalan itu yang bisa membuatku tenang. Maafkan aku, hatiku sedih jika merasakan mas tidak mempedulikan aku. Aku tahu mas berjuang. Tapi itu tidak berarti bisa seenaknya. Sungguh aku sedih. Itu tak apa. Itu menjadikan sesuatu lebih bermakna. Aku percaya bisa mengubah kesedihan ini menjadi kebahagiaan dan m enjadi bagian dari hidupku yang sulit kupisahkan.
Kadangkala, aku merasakan kebahagiaan dalam kesendirianku. Terutama saat aku harus mengingat kebersamaan kita. Saat ada kerinduan yang tak tersampaikan, saat ada ketakutan yang menyesakkan rongga dada. Aku menangis saat mengenang tentang kita. Ya, menangis karena bahagia. Sudah demikian rumitnya hidupku, sulit menterjemahkan tangis dan kebahadiaan. Mas tidak mengerti perasaanku. Mas selalu menganggap semuanya baik-baik saja.
Sudahlah, Mas lakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku tahu mas ingin meraih sesuatu. Dan untuk itu ada yang harus di korbankan. Dan aku tahu posisiku sedasng berada di sebelah mana. Aku mulai berpikir sekecil apapun perhatianku padamu menjadi sia-sia. Sudahlah, Mas sudah berubah, aku tidak mengalimu lagi. Oh, Tuhan, jika aku tahu akan terjadi hal demikian, aku tak akan mau melepasnya ke Jakarta. Tapi apa yang bisa kulakukan, aku bukan apa-apa bagi dia. Aku tidak tahu dia manganggapku apa. Mas sikapmu telah menyakiti hatiku. Aku tidak tahu apakah saat pulang nanti aku masih bisa menyambut kedatanganmu
Yang selalu menunggu.
Ketika Biru Langit melipat kertas suratnya, tangannya seperti ketakutan karena hati-hati. Sesuatu telah menggerakkan dagunya ke atas dan menarik bibirnya ke belakang kuat-kuat. Sebelum akhirnya tertawa meledak sekuat tenaga. Sulistyorini kaget setengah mati, tapi suasana benar-benar berantakan berkeping-keping. Airmata, ludah, lidah, bahu, kening, hidung, tubuh sebuan bergerak seperti baru saja berlari seribu meter. Betapa Biru Langit memekikkan tawa demi banyak hal. Kelucuan, prihatin, sedih, duka yang dahsyat, “Bagaimana bisa aku mengalami hal ini,” ucapnya. “Bagaimana bisa ini terjadi padaku. Belum pernah sebelum ini aku dijangkiti perasaan seperti ini,” tiba-tiba ia mendekatkan moncong mulutnya kepada kekasih. “Dan kenapa kita tiba-tiba jadi bodoh seperti ini? Aku demikian cepat terseret keadaanmu yang mustinya kita bisa sama-sama memenggalnya berkeping-keping, ha?”
Sulistyorini hanya menatap balik wajah lelakinya, tanpa mengerti luapan emosi yang tak berujung pangkal itu. Di balik itu semua, sesungguhnya Biru Langit mentertawakan dirinya sendiri. Di sisi lain ini bukti dirinya lebih baik dari sebelumnya, lebih sehat dari kesehariannya, atau bahkan lebih unggul dari manusia kebanyakan. Setidaknya untuk waktu petang itu. Saat bersebelahan dengan mahasiswa-mahasiswa berlatih teater mencari pencerahan diri. Begitu sehatnya dirinya, sampai melihat perempuan Sulistyorini di dekatnya demikian cantiknya, hidungnya, kakinya, alis matanya, dan baunya. Ya, ia bukanlah perempuan yang norak, murahan sebagaimana kata-kata dalam suratnya. “Ah, tidak, kau cantik sekali. Maafkan itu semua hanya ada dalam pikiranku.” Begitu cantiknya sampai-sampai tak terpikir sedikitpun di benak Biru Langit tentang kata apalagi puisi. Yang ada hanyalah perasaan dan tentu saja sedikit nafsu, gairah serta gejolak hidup sehatnya. Ia merasa seperti manusia kebanyakan. “Kekasihku, buatlah hidupmu selalu mengagumkan, biarpun itu bagiku tidak. Namun setidaknya engkau senantiasa tahu dan mengerti aku tidak akan pernah menyatakan ‘tidak’ yang sesungguhnya. Begitulah lebih dari sekadar fakta cintaku terhadap engkau. Aku sendiri sulit untuk menceritakan dan mengabarkan kepada orang lain, termasuk engkau. Kecuali kepada Tuhan.”
Sulistyorini tak bisa menyembunyikan kegirangannya mendengar ungkapan manis kekasihnya. Ia begitu berani mencengkeram lelakunya. Ia memastikan diri sudah tak memiliki air mata lagi karena itu ia bermaksud memaksa memperlihatkan linangan basah bola matanya. Merasa tak mampu dan belum cukup, tanpa sadar, bibirnya mulai berkata-kata, perasaannya terbawa, dan pikirannya mengembara. Munculnya semacam puisi yang sangat berbeda, dan kiranya tidaklah perlu untuk dicerna apalagi di eja kata perkata. “Sayang, bagaimana kita akan menyatukan dua samudera tanpa ada benua di antaranya. Sedang di sini kita tak punya semut pekerja yang bisa merancang jembatan untuk pertemuan kita. Kita hanya menuliskan tembaga yang telah legam di genggaman. Tak apa mau kita seperti itu. Kita jadikan emas dan kita bangun sendiri rumah kita di sana, di puncak mercusuarlah kita rajut benang-benang kerinduan kita di atas serpihan-serpihan ombak di laut sana. Pada angin yang berhembus di kala senja, akan kukabarkan cintaku dari puncak mercusuar.”
Kali ini Biru Langit benar-benar tersedot oleh suatu kekuatan dahsyat. Tak ada desau angin apalagi kicauan burung. Engah megnapa suasana serasa hening. Tidak juga ia mencoba mencari makna. Diam itu mungkin juga bukti puisinya taklah bermakna. Biru Langit tak punya nyali untuk meledakkan tawa.
Dua
LAMA sekali Biru Langit berdiri tanpa kata-kata. Ia tengah berpikir tertuju nyalinya. Ia mulai menyadarinya, tertawa, nyali, tak menjadi pertanda terenggut dari dirinya. Kebebasan. Ya, barangkali ini bukti secuil terenggutnya kebebasan. Secuil, bisa berarti awal dari keruntuhannya. Apakah dengan demikian diam-diam dirinya menjual sebagian hidupnya kepada perempuan Sulistyorini? Ia melemparkan diri ke dalam ranjang dan membanting tubuhnya, jiwanya, hidupnya: Hanya oleh karena tunduk kepada seorang perempuan.
Satu-satunya yang membayangi Biru Langit adalah Caligula. Betapa dirinya lemah di hadapan tokoh ciptaan Albert Camus itu. Mengapa justru dirinya menyerahkan cintanya pada sesosok tubuh perempuan. Ah, betapa otoritarian itu wanita. Terlalu baik dirinya di hadapan Sulistyorini, hingga ia lupa diri, seberapa lenmah dirinya sebagai sesosok makhluk Tuhan yang mengarungi samudra hidup di semesta ini. Fatalnya, sesuatu telah menyedotnya bertingkah tak kalah sentimentil, seolah-oleh ada bagian perjalanannya yang tak cuma berhenti istirahat, tapu mundurke belakang. Dan jujur saja Biru Langit harus mengakui kemiskinanlah titik temu dari seluruh rangkaian waktunya yang menyebabkan ia terdampar di wilayah yang sebetulnya tak ia kenali sungguh: sentimentalisme. Dunia yang harus dihadapinya dengan amat hati-hati. Sebab ia bisa meniadakan dirinya, melumatnya dari sekian banyak kata dan metafora hidup.
Ya, pendek kata sentimentil bisa sama sekali tak bermakna bagi manusia. Bahkan menjadi pembunuh baginya, menguburnya dalam-dalam di semesta ini. Jadi sentimentil tak mustahil menjadi semacam ideologi yang mencuci otak manusia untuk kemudian diganti sebagai sejenis benda yang belum ada namanya, tapi hidup lebih rendah dari binatang ternak yang menjadi pelengkap empat sehat lima sempurna makhluk hidup lainnya. Bila tidak, sentimentil juga yang sanggup menyebabkan dunia ini berkerut kerena tua bukan karena kecantikannya, tapi oleh karena kepasrahannya. Sebaliknya, sentimentil bisa menjadi kekuatan dahsyat karena justru dengan demikian makin menunjukkan dirinya sebagai manusia jauh dari sikap sempurna. Karena itu ia pula yang menggerakkan sisi dalamnya, nasibnya, kelemahannya, kekalahannya, kepekaannya bahwa manusia bukanlah seonggok daging yang hidup sendiri.
Ya, manusia tidak hidup sendiri, bahkan dalam kediriannya ada sesuatu yang telah menggerakkannya.
Ya, suatu kekuatan yang karena itu dirinya bisa melihat kehebatan dunia luar, kegagalan, kemenangan, kekuasaaan. Toh, ini semua hanya soal dunia dalam. Lalu, dimana engkau memilih? Berpijak? Persoalannya tidak banyak yang tahu menempatkan diri saat tepat memenangkan pertarungan antara dunia dalam dengan dunia luar, antara perjuangan dalam diri manusia sendiri, atau peperangan manusia dengan kekuatan hebat di luarnya. Segalanya berpulang pada manusia. Ah, sebetulnya tak tepat benar bila Biru Langit memilih cara “hati-hati.” Ada sisi yang tak terjawab dengan idiom itu. Yang paling mendekati tepat adalah perjuangan. Dan itu pun harus diembel-embeli tanpa henti. Lalu apa yang terjadi pada Biru Langit pada saat sekarang? Ia masih hati-hati, ia masih berdiri pada perasaannya, ia masih berada pada titik yang terlalu besar dan dalam kemiskinan. Ia masih berada pada wilayah kegelisahan dan disisi lain ia ingin terus hidup sebagai manusia. Sebab itu kemiskinanlah yang menyebabkan dirinya mengeja seluruh rangkaian yang pernah dilihatnya, dirasakannya. Segalanya dalam waktu yang cepat. Hebat. Lantas baginilah jadinya, ia berbicara pada dirinya sendiri. “Kujaga segala penghargaan ini, walau seharusnya ada toleransi diantara kita. Namun terbuka sudah serbuk-serbuk bertaburan penghias malam. Terbentang sudah dan terpungkirilah satu janji di hati. Tak ada emosi yang henti, semua berlalu bersama debu. Berlari menodai makna hari. Aku tak pernah menyukai ketertutupan ini. Pun tak sepantasnya kubuka yang ada. Waktu yang tak berpihak. Dan kesakitan semakin menggelegak. Di sini ada emosi yang tak terkendali. Menggebu. Memukul dinding dingin dada.”
Luar biasa, Biru Langit tertegun sendiri mendengar luapan hatinya. Sejenak kemudian ia tergelitik untuk tertawa lepas. Ia sengaja menyia-nyiakan dirinya. Sore itu persis perasaannya tatkala melempar tubuhnya ke tempat tidur rumah kontrakannya. Inilah perasaan terbaik semenjak kepulangannya, seusai mendebat kekasihnya, dan sesudah tunduk pada surat-surat kadaluwarsa yang terpaksa harus ia baca. Ya, ia merasa lebih jujur, lebih bebas dan lebih berbicara gamblang membedakan dunia dalam dan kenyataan, puisi dan fakta. “Sayang, pendeknya aku ungkapkan hal ini tatkala emosiku sedang labil. Hanya karena masalah sepele aku merasa tertekan. Mungkin aku sudah benar-benar capek dan butuh waktu untuk istirahat sejenak. Memang aku akui, saat ini aku (mungkin) terlalu memaksakan diri dan berharap banyak dari sesuatu yang belum jelas. Aku terlalu ambisius untuk mewujudkan mimpi dan cita-citaku dulu, dan aku lupa akan seberapa besar kemampuanku, serta dukungan yang sebenarnya aku harapkan tapi tidak kuperoleh. Sayang, aku mempunyai cita-cita untuk memutus lingkaran masalah kemiskinan yang membelitku. Aku tak ingin larut dalam masalah-masalah itu dan terus-terusan menjadi korban suatu keadaan. Kenyataannya, aku telah ditempatkan sebagai korban, menanggung beban. Lantas apakah engkau bisa merasakan, melihat keadaan apa yang kita alami sekarang. Mungkin tidak. Sebab engkau selalu positive thinking menghadapi sesuatu atau barangkali tak berpikir apapun?. Jujur saja aku ingin bercerita padamu, satu hal yang membuatku bingung, mungkin juga sedih, adalah ketika aku memilih berbohong, tentang kemiskinan, yang . Semua tentu tidak akan jadi masalah bila engkau tak perlu membantu biaya hidup dan pendidikanku. Engkau dan juga keluargamu bermaksud memberikan cuma-cuma, sebab biaya hidup dan pendidikanku, bagi keluargamu bukanlah apa-apa. Tanpa suatu paksaan aku menyanggupi. Tanpa suatu pengantar basa-basi berbelit-belit aku selalumenerima dengan tangan terbuka sumbanganmu. Bahkan sedikit lubang penyelesaianpun tak ada beritanya. Ah, ketahuilah kekasihku, bahwa yang benar-benar meringankan aku berikutnya adalah saat aku harus ceritakan sentamintalia ini sebanyak kali kepadamu. Ah, sampai ceritanya begitu panjangnya. Sampai mulut dan pikiranku capek untuk terus menceritakan kembali dan hebatnya sesudah itu juga tak terjadi suatu peristiwa atau perasaan apapun menyusul kecapekanku. Jujur saja kuakui, aku hanya ingin waktu segera berlalu dan aku akan segera lepas dari masalah ini, “ Lalu Biru Langit membuka mata.
Hari sudah petang. Ada yang aneh dengan dirinya, ia merasa sulit membedakan antara igauan, mimpi ataukah bukan kedua-duanya. Dalam gelap oleh banyak tanda Tanya itu. Biru Langit menemukan satu jawaban. Atau mungkin jalan tengah. Mungkin juga sebuah inspirasi. Tepatnya suatu inspirasi. Bahwa dirinya harus mempertimbankan tawaran untuk tinggal serumah dengan keluarga Sulistyorini, papa Maryuhan dan mama Puri Wangi. Kali ini boleh dikata berkat pertimbangan yang sangat logis, urusan kemiskinan, kepraktisan, kenyamanan dan tentu saja masa depan. Selain tentu saja atas alasan tetek mbengek yang berkaitan dengan perasaan segala. Bahwa ia lelaki yang dibutuhkan, diharapkan dan cukup berarti. Yang meluangkan sebuah pertarungan. Karena itu di samping ia menerka-nerka perasaannya kelak tinggal dengan manusia-manusia yang secuil saja dari bagian hidupnya, jiwa dan pikirannya yang ia kenal. Biru Langit juga harus menjawab teka-teki selaku laki-laki yang terpilih bagi mereka, seberapa jauh akan menelan kebebasannya berada di dalam rumah besar dan orang-orang besar—orang kaya yang mempelajari orang miskin dengan cara tertarik pada dalil-dalil filsafat keilmuan. Akankah yang menimpa padanya adalah kebiadaban tak laiknya selaku makhluk manusia? Sebab itu tak berlebihanlah bila yang hadir dalam pikirannya adalah laki-laki Pam, sahabat sekaligus musuhnya selama ini. Yang telah menghilang dengan membawa sisa-sisa kebebasannya dan juga dendam. “Aku tak akan pernah mengubah pikiranku, perasaanku terhadapmu kawan. Aku telanjur memposisikan dirimu di suatu tempat dalam diriku, dimanapun kau berada. Bahkan jika pun hilang,” ucapnya dalam hati. “Hanya aku yang bisa memaknai ada dan ketiadaanmu, sahabat. Aku bisa menerka perasaanmu bila kelak engkau tahu aku tinggal serumah dengan Sulistyorini,” lantaran ini hanya suatu inspirasi Biru Langit hanya bisa tersenyum—pertanda sebuah keraguan antara memiliki hidup dan dimiliki, antara menang dan kalah, antara idealisme dan jalan tengah. Dan antara kemanusiaan dengan kebendaan.
Tiga
KEMBALI Biru Langit tertegun dengan jalan pikirannya, yang kedengarannya begitu sederhana. Menjadi rumit tatkala melibatkan emosinya, perasaannya dan suatu kekuatan hidup yang entah dimana jauh keberadaannya. Karena itu nyalinya dia tarik ulur dan terpikir olehnya untuk tak perlu lagi tersenyum.
“Ah, ini jelas bukan kemauanku sendiri terlibat dalam tetek mbengek urusan pelik macam wanita,” keluhnya.
Uniknya, Biru Langit mulai meratapi dirinya, seberapa kuat dirinya menentang arus yang menghanyutkannya , nyata-nyata tak bisa bangun dari keterpurukannya. Buktinya, ratapan, penyesalan terus hidup, tumbuh dan berkembang. Barangkali ini suatu jalan tengah atau kompromi, karena ia menempuh cara membelitkan hidupnya kepada akar-akar yang berjuluran. Alibinya, karena dengan demikian dia berharap menemukan hidup baru, atau lebih tepatnya menghidupkan sisi-sisi baru dalam dirinya, yang selama ini tak terjangkau oleh dirinya sendiri, seorang laki-laki.
Ya, barangkali ia sedang berharap bisa lebih mengenali diri bahwa ada bagian dari ruh hidupnya yang selama ini tersia-siakan. Barangkali. Meski demikian sebuah pertanyaan terus meluncur deras, bukankah sebenarnya ia bisa memilih bebas dari akar-akar itu lalu terbang seperti elang, gagah, keras, beringas dan sombong. Anggaplah ini suatu titik pemberhentian sementara. Karena dengan demikian ada yang harus digerakkan di dalam pemberhentian itu. Sembari menguji bahwa dalam semesta ini tak ada yang benar-benar berhenti. Ada yang bergerak dalam diam. Ada energi hidup sekalipun manusia memilih dirinya berhenti di sebuah stasiun. Sebab itu Biru Langit merasa di situlah perlunya berpikir tentang hal-hal yang seperti, semisal perihal perkawinan.
Ya, jujur saja ia harus akui berbicara tentang wanita bagi Biru Langit seperti hantu soal perkawinan tiba-tiba menerobos masuk. Dan ia musti menambahkan hantu lainnya yakni cinta. Ah, perkawinan, suatu ideom yang mustinya tak cocok buat sepasang manusia, meski di sisi lain justru menempatkan manusia pada posisi yang demikian sederhana. Lalu mana yang benar? Sebuah penyederhanaan ataukah suatu hakekat hidup apa adanya? Begitu sulit berdiri di suatu titik. Atau menjadi kekasih, pecinta, pejantan, budak sekaligus dalam pengertiannya yang komplek, meninggalkan kehidupan sebagai manusia bebas. Lantas, apa arti kebebasan sebentuk yang demikian? Mungkin tak ada, atau belum menemukan. Namun barangkali juga belum memerlukan. Sebaliknya, bukan mustahil kebebasan itu belum datang jika ia sebentuk makhluk yang bertugas menyelamatkan manusia dari kehidupan yang otoritarian ini. Apapun kata orang tentang perkawinan, sekalipun sebagai hantu, Biru Langit masih punya kuasa untuk memasukkannya ke suatu pertimbangan yang pelik, apalagi ke persoalan rumit sampai menggugat tidakkah sebetulnya undang-undang perkawinan negeri ini cuma sebentuk tirai yang membuat sekat perzinahan besar-besaran? Yang dijaga oleh algojo-algojo pembawa tradisi sembari menakut-nakuti atas nama penguasanya? Tidak demikian adanya. Sebab jika benar seperti ini Biru Langit bisa terjangkit penyakit kejiwaan yang menentang arus masyarakat, meski ia tahu tak berhak berbicara tentang kebenaran yang sebenar-benarnya. Sebab itulah baginya untuk saat ini berpandangan mempertimbangkan perkawinan adalah suatu kerugian-kerugian. Tentang cinta yang semodel demikian pun ia tak paham. Yang ia tahu adalah cinta dalam pengertian melibatkan ruh jiwa yang tinggi dan mendekati pembicaraan hidup dan mati, dua hal yang dirinya tak bisa memilih. Maut telah hadir dalam diri kita sejak kita hidup, kata Sutardji Calzoum Bachri. Hidup seperti cinta yang ini bukanlah pilihannya. Sebagaimana mati, mustahil pula ada dalam tangan atau pikirannya. Apalagi orang lain, meski sama-sama tahu bagaimana hidup dan apa itu mati. Ibunya lah yang mengajari segalanya tentang cinta yang demikian. Bahkan perihal jalan kematian. “Ibulah makhluk hidup paling fantastis di semesta ini, dan bapak adalah makhluk yang paling menderita, oleh sebab kematiannya yang ada di tangan orang lain. Apalagi ia telah menjadi korban salah pilih—buntut dari suatu pilihan,” kenangnya. Oleh sebab itu suatu yang sangat menarik bagi Biru Langit adalah berada pada situasi ketegangan antara pilihan-pilihan dengan suatu yang bukan pilihan. Inilah penyakit yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak seperempat abad ini tak sudi hengkang dari kehidupannya. Inilah kelemahannya. Inilah petaka terburuk sepanjang zaman yang menjangkit pada anak manusia.
Cerita tentang perempuan Sulistyorini pun di sinilah duduk perkaranya. Perkara berikutnya adalah sejauh mana ia sadar akan hal itu mempertahankan kemanusiaannya lauar maupun dalam, justru pada saat dirinya terus-terusan menjadi korban dan terpuruk dalam sebuah zaman. Inilah yang sebenar-benarnya disebut kegairahan—semacam seks. “Ya, semacam itulah. Tetapi sebetulnya bukan. Bahkan bisa jadi seks hanyalah percikan dari kegairahan itu tadi. Karena itu aku sendiri yang mengatur dian kegairahan itu seberapa besar atau seberapa kecil agar tak justru menjatuhkan aku pada kehinaan. Ya, aku sendirilah pembawa api itu karena ibuku meski tak suntuk telah mengajari untuk itu. Sisanya aku sendirilah yang menentukan jalanku, Ibu.” Biru Langit mulai mencemaskan mengapa pikirannya berlarut-larut, perasaannya berbelit-belit. Satu-satunya yang sanggup menutup adalah kesadaran bahwa segalanya telah berjalan di rel pikiran dan emosinya. Tidak lebih dan tidak kurang. Bahkan untuk menggerakkan indera paling terdekat pun belum ia lakukan. “Sialan, kenapa setan demikian pintar menerobos alam kesadarannya!” celetuknya. “Atau barangkali setan juga yang mempengaruhinya menusukkan dalil-dalil menyerupai filsafat tanpa lebih dulu mengujinya di alam terbuka. Ah, lulusan sekolah filsafat mana itu si setan?
Empat
“JADI kamu telah mempertimbangkan sungguh untuk mau tinggal di sini, Biru Langit?”
“Begitulah Bu.”
Sengaja Biru Langit mengutarakan maksudnya langsung pada mama Puri Wangi, si permaisuri yang lemah lembut justru karena kelemahannya itu. Ia tak mengabarkan lebih dulu kepada Sulistyorini, tak lain agar tercipta histeria pada wanita itu dan pancaran bahagia pada Puri Wangi. Dan Biru Langit tak perlu menyiapkan perhatiannya berlebihan karena ia percaya hal itu pasti terjadi. Ia tampil biasa dengan baju dril lengan panjang yang dilipat, blue jeans dan sandal gunung, tas berisi beberapa pakaian pengganti dan sejumlah buku. Satu-satunya yang agak menganggu adalah bau tembakau dan rambut panjang—ciri khas orang jalanan. Ia terganggu meski tak bermaksud mengakhirinya. Ia tetap percaya diri. Dugaan terhadap profesor Maryuhan Kurnia yang selalu berkata “ndak apa-apa” tak mengurangi percaya dirinya (justru tentang profesor bedah plastik ini, Biru Langit percaya lebih banyak perang mulut saja daripada menyimpan luka hati yang menusuk perasaan).
Diam-diam Biru Langit mencermati sosok yang demokratis di istana itu, yang mendekati pengertian liberal. Jika benar demikian bolehlah dikata Biru Langit telah mencicipi kebebasan dengan memiliki perempuan Sulistyorini.
“Hei..jadi..” Sulistyorini tak bisa berkata lantaran begitu bingungnya. Senyum, tertawa, menangis, histeria menumpuk jadi satu. “Kenapa kamu begitu bodoh. Kalau kau beritahu aku sebelumnya, aku bisa membersihkan kamar atas terlebih dulu,” tangannya mulai memukul-mukul, rambutnya dikibarkan kemana-mana, meski tak ada angin bertiup.
Lalu ia lebih sibuk lagi. Berbicara. Dandan. Mengatur polah tingkahnya agar tak terkesan ia sedang berada di alam terbuka yang kotor. Dan yang penting, ia terkesan sudah melupakan dirinya sebagai korban perkosaan—inilah satu-satunya kenyataaan yang tak pernah terungkap sedetil-detilnya keculai tentang analisa sang profesor bedah plastik yang mengungkap fakta bahwa perempuan korban perkosaan tidak akan berubah kehormatannya karena diperkosa. Liang vagina sesudah perkosaan akan segera kembali normal. (Bersiaplah kelak Biru Langit akan menyingkap habis misteri ini, demi mendapatkan pasangan hidup yang sehat walafiat, empat sehat lima sempurna tanpa beban dosa: caranya dengan mengakui semua perbuatannya).
“Bagaimana Sulistyorini, kamu sudah siap kita tinggal serumah?”
“Kenapa tidak?”
“Kamu sudah kuat, jika kutangkap kebiasaanmu yang membungkus tubuhmu dengan handuk selepas dari kamar mandi?”
“Ah, pikiranmu ngaco!”
“Aku serius.”
“Toh aku tak pernah pakai handuk sehabis mandi.”
“Hi..begitukah. Jadi seperti lemper tanpa bungkus.”
“He.. ayo-ayo teruskan..”
“Oh, andai ada lemper berkeringat sebegitu gedhe..”
“Bangsat, kamu Biru Langit. Mau bilang apa lagi kau..”
“Tak akan ada orang menulis puisi…”
“Apa hubungannya?”
“Lho, penyair kan sibuk menggosokkan kertasnya untuk lemper berkeringat itu tadi…”
Sepasang sejoli yang mulai tinggal serumah itu tertawa ngakak.
“Kamu harus berkata jujur, mengapa tak memberitahukan dulu tentang rencana ini, entah serius ataukah tidak pertanyaan Sulistyorini kali ini.
“Apakah itu masih penting bagimu. Toh, aku masih bisa tinggal beberapa minggu di kontrakanku bila aku mau,” Biru Langit mencoba kembali mengusik kegelisahan Sulistyorini, seolah yang hendak dikatakan adalah dirinya bisa tak perlu tinggal di istana milik papa-mamanya ini.
“Oh, aku mau katakan ini upayamu menunjukkan penghargaanmu padaku. Dan saat ini aku ingin mengatakan agar semuanya bermakna. Aku ingin memberitahu bahwa apa yang kamu lakukan selama ini sangat berarti bagiku. Surat-suratku selama ini, perlu engakau tahu betapa tidaklah cukup mewakili perasaanku. Terimakasih Biru Langit, engkau mau menemaniku, mengisi waktu bersama. Mau mendengar cerita-ceritaku, dan juga menasehatiku di saat aku memang butuh untuk itu. Aku tentu tak akan melupakan kenangan-kenangan manis seperti ini. Aku akan selalu mengingatnya dan akan kuceritakan pada anak-anak kita kelak. Ada satu hal yang tak pernah berubah ada padamu dan aku sangat menghargainaya. Engkau punya sifat sabar yang hebat. Engkau tidak mudah terpancing, memiliki kelebihan dalam mengendalikan emosi.”
“Kau terlalu berlebihan memujiku. Kau tahu justru menempaktkanmu ke jurang sentimentalia paling dalam,” Biru Langit mempertontonkah ketidaksabaran dan memberikan telak.
Sulistyorini mati kutu. Kali ini benar-benar terlibat seperti korban perkosaan. Pucat dan berdebu. Persis meja makan yang kotor dekat bak sampah.
Kamar atas lebih menyerupai tempat peristirahatan ketimbang ruang untuk tidur. Istirahat, yang dimaksudkan di sini, menenangkan pikiran, jiwa dan tubuh. Dan tidur itu tak lain berupa melemparkan kesadaran sejauh-jauhnya—kiranya seperti inilah pola pikir orang-orang dalam keluarga seperti ini. Sebab, itu jadi kamar ini lebih cocok bagi Biru Langit meski berantakan berdebu, terbuka dengan jendela dan ventilasi yang tak terurus, kardus-kardus bekas. Kursi panjang tak tersentuh. Tak terbayang jika sebelumnya sudah dirapikan Sulistyorini—bisa mentalkan imajinasi dan membunuh inspirasi. Beberapa majalan dan buku berantakan, pertanda ruangan ini kadang-kadang saja terpakai. Biru Langit terpikat matanya pada sepasang buku berjudul sama. Ia terkagum-kagum dan membuka acak, Wanita, Paul Wellman. Biru Langit menjamah permukaan buku bergambar seorang wanita berbusana yang mempertontonkan kecantikannya—tubuhnya. “Hei.. kamu membaca buku ini, Sulistyorini?”
“Ya.. aku membaca saja. Tapi aku tidak tahu sungguh apakah ini karya serius ataukah tidak. Seorang mahasiswa papaku membawakan buku ini untukku dan aku tidak keberatan menerimanya.” Sulistyorini tanpa ragu-ragu saat menyebut salah seorang yang dimaksud. “Namanya Isnaeni, seorang dokter tentara dari kesatuan marinir. Dia ambil spesialis bedah plastik dan masih menyempatkan membaca buku-buku seperti ini.”
“Wah, hebat ya dia. Tentara, dokter, spesialis, bedah plastik dan membaca buku sastra. Tapi aku tidak mempersoalkan hal itu, justru aku melihat kamulah yang hebat,” Biru Langit tahu diri ada yang terasa ganjil dan itu ada pada Sulistyorini. “Aku sendiri sudah membaca, buku ini beberapa tahun lalu dan kesabaranmu membaca ini akan serasa penting bagi seorang wanita, bahkan laki-laki. Akan sanggup merubah diri atas pandangannya terhadap setiap wanita. Bahkan wanita adalah suatu ladang inspirasi bahwa wanita itu seperti nyala api bagi suatu peradaban. Bahkan wanita adalah suatu kekuatan, suatu dunia yang tak bisa begitu saja dianggap tersendiri. Tapi wanita suatu dunia yang justru bisa menggerakkan peradaban dengan pelbagai renik kelemahan dan kedahsyatannya. Sebab itulah kamu dan siapa saja tidaklah salah bila membaca karya seserius ini. Kedengarannya dokter tentaramu itu cukup tahu akan hal ini, Sulistyorini.”
“Ya, tapi aku tidak bisa menangkap nyali api seperti yang kamu gambarkan itu Biru Langit. Aku hanyalah membaca, lebih karena dia seorang wanita. Itu saja,” Sulistyorini sedang memainkan jurus, di satu sisi ia bicara dirinya sendiri, di sisi lain ia menangkis jurus lain perihal tentara itu. “Jadi aku lebih menyukai cara membacamu ketimbang upayaku sendiri mengambil makna dari kenyataan hidup yang dialami pelacur dalam tokoh novel itu. Karena itu ceritakanlah lebih banyak lagi tentang novel itu.”
“Oh, kamu tak perlu memaknai sebaik dan sebahaya tokoh pelacur dalam novel itu. Janganlah dan mustahil bisa. Itu samaartinya kamu justru terjerumus bakal menempatkan dirimu sebagai pelacur, dan tidak apa adanya seperti sekarang.” Sebetulnya Biru Langit setengah bercanda, namun kata pelacur membuatnya tak bisa ketawa dan sulit untuk melucu, makin membuat Biru Langit menyimpulkan bahwa dia masih seorang wanita.
“Begini, aku hanya ingin mengatakan betapa cinta itu bagi manusia, seorang wanita sesuatu yang mendarah daging, menulang dan telah tumbuh di mana saja, kapan saja. Dia tak pernah jauh dari kehidupan gadis kecil pengemis, budak, bahkan pelacur. Bahkan di saat seperti itu cinta telah merelakan dirinya ditempakan pada suatu keberadaan yang sangat rendah, tipis hina—kemiskinan, nista, budak kelamin. Hebatnya seluruhnya itu terjadi pada diri seorang wanita bernama Theodora, yang hidup pada masa kejayaan Romawi sekitar abad 6. Pada saat itulah kedahsyatan cinta itu tak bisa digambarkan dengan kata-kata ketika bersekutu dengan kecantikan dan kecerdasan yang ada pada diri perempuan itu. Sang perempuan hanya memilih menjadi selir penguasa, akan tetapi betapa kecerdasannya, cintanya yang menipis bedanya dengan intrik-intrik kehidupan istana jusru membuatnya dipuja-puja. Seorang pelacur, selir bisa merubah peradaban dan menjadi penguasa kebudayaan terbesar pada masanya. Betapa akhirnya, cintanya, hidupnya dipuja-puja rakyatnya, karena ia telah tahu apa arti dirinya bagi peradaban, arti seoarng manusia, bukan hanya karena wanita, apalagi hanya karena pengemis atau pelacur. Begitulah dia menjaga cintanya, hidupnya dari setiap kekuatan yang mengancam bakal merenggutnya. Oh, Sulistyorini aku sendiri seorang laki-laki, maafkan bila kau mencampuri hak-hak hidup. Theodora yang telah terenggut, salah, atau keliru kusampaikan padamu. Sudah kukatakan sebelumnya tak ada kata-kata yang bisa menuliskan kedahsyatan cinta, kecerdasan, kecantikan yang bersekutu dalam tubuh Theodora. Di sinilah keseriusan karya ini, penulis telah mengumbar kata untuk maksudnya itu, justru demi kerendahan dirinya mencari makna cinta yang bersekutu dengan banyak hal dalam hidup Theodora. Kamu juga harus demikian Sulistyorini, kerendahan dirimulah yang diminta Theodora untuk merubah peradaban, cinta, kecerdasan dan kecantikanmu sebagai wanita bisa untuk itu. Hanya dengan demikian sebagai wanita kamu akan tahu betapa penting arti dirimu bagi yang lain, termasuk bagiku. Bahkan bagi zaman ini. Lalu apakah kamu masih sulit menjawab pertanyaan seberapa penting aku bagimu Sulistyorini?” Biru Langit merasa dirinya belum pernah berbicara seserius ini kepada kekasihnya. Demikian seriusnya sampai ia lupa sedang berbicara untuk dirinya sendiri ataukah untuk kekasihnya. Mengerti tidakkah dia? Bukankah soal seberat ini juga soal setiap manusia? Entah bagaimana mulanya saat pikirannya, tubuhnya dan jiwanya, inderanya terasa lelah, ia mulai bangunkan hal lain. Di sore yang pengap, berdebu dan derit daun jendela yang menutup, Biru Langit mendengar isak tangis Sulistyorini. Air matanya seperti tak tertolong. Tak cukup kain, sapu tangan untuk menyelamatkannya, ia raih tangannya sendiri, lalu korden berdebu didesak menghentikan tangisnya. Tapi tak bisa. “Kenapa kamu jadi seperti ini Sulistyorini? Kamu sakit, karena aku menyakitimu?” Biru Langit sebetulnya hanya basa-basi, dan bertanya apa adanya. Ia tahu bagaimana keadaan sebenarnya kekasihnya: Terharu. Atau Cuma ini saja yang sebenarnya ia tahu dari perasaan perempuan? Bukankah dia juga tak pernah tahu kedalaman hati korban perkosaan? “Ah, ini semua jadi tidak penting bagiku. Prek soal wanita!” pikirnya.
“Aku terharu. (Betul tho?) Aku jadi tahu bagaimana kamu menempatkan aku Biru Langit. Karena itulah ini bukti seberapa penting artinya kehadiranmu buatku. Aku yakin kamu bukan orang yang salah, maksudku aku tidak salah memilihmu menjadi bagaian dari hidupku,” katanya tersedu-sedu, terbata-bata karena sibuk mengatur perasaan dan isi pikirannya.
“Sudahlah, jangan berbicara terlalu banyak. Aku malah sulit untuk mengerti. Lebih baik menangislah.”
Sulistyorini malah tertawa.
“Hei.. ketawamu itulah bukti kelemahanmu. Maksudku mengingatkan kau agar tak terlalu yakin dengan isi bicaramu. Jangan terlalu percaya. Kau bisa salah menempatkan aku di posisi yang mana yang menurutmu sangat penting itu. Aku seorang laki-laki lebih percaya kepada apa yang diungkapkan Tagore perihal perempuan. ‘Bagiku kau setengah perempuan dan setengah impian.”18)
Kembali perempuan Sulistyorini tertawa. Tetapi kali ini tawa yang sangat sulit dicerna. Mungkin juga memang tanpa makna.
Sesudah makan malam, semeja dengan profesor bedah plastik Maryuhan Kurnia, banyak berbicara tentang suatu zaman, tentang sejarah keilmuan. Akan tetapi, hanya sedikit sekali yang tersimpan. Justru yang terekam baik di otak Biru Langit karena puluhan kali seorang profesor itu berkata. “Ndak apa-apa” atau “Itu nggak jadi soal.”
Lima
DI KAMAR atas rumah ini, Biru Langit kembali bisa mendengarkan beberapa suara radio asing, diantaranya BBC London atau Voice of America maupun Radio Australia. Suatu kebiasaan yang beberapa tahun terakhir ia tinggalkan, sepeninggal dari orang tua angkatnya di Kediri. Meski, ia bisa melihat perkembangan dunia dari sejumlah stasiun TV swasta, rasanya kenikmatannya, kehangatannya, berbeda bila didengar dari siaran radio. Sepertinya, gelombang-gelombang suaranya yang mengirimkan sinyal ke kupingnya mencitrakan masa-masa hidupnya bersama Prawira dan Yunani—orangtua angkatnya di kampung. Kekacauannya menemukan gelombang paling pas tak bisa diganti untuk menghidupkan kembali kenangannya, juga menghitung sisa-sisa semangat hidupnya.
Untunglah, ia tahu diri bukanlah sosok yang romantis. Apalagi sentimentil, akan tetapi memang belum menemukan kecanggihan informasi yang melampaui gelombang radio. Tak ada setitik saja di dunia ini yang lepas dari gelombangnya. Seakan dunia benar-benar digenggamnya—beda rasanya melihat sisi dunia dari tabung televisi, seperti memeluk perempuan saja. Dalam hal-hal begini ia bisa mulai berani mempertanyakan: Mengapa bisa terjadi pada dirinya seperti ini? Jawabnya karena udara pun, gelombang pun tak memiliki udara kebebasannya sendiri. Tentu saja dari siaran radio asing itulah Biru Langit mendengar pertama kali kabar buruk yang sangat merisaukan.
Hari itu, Selasa 21 Juni 1994. Tiga buah media besar Tempo, Editor dan Detik dibredel pemerintah rezim Soeharto, tanpa suatu alasan yang mendidik—merongrong kewibawaan pemerintah. Pembreidelan diumumkan menteri penerangan “si petunjuk bapak presiden” yang telanjur dijuluki rakyat “hari-hari omong kosong (Harmoko). Konon pembredelan itu terkait pemberitaan pembelian puluhan kapal bekas buatan Jerman untuk persenjataan angkatan laut, melalui juru runding Menristek BJ Habibie.
Dikabarkan negara akan tekor besa karena peralatan itu lebih menyerupai besi tua ketimbang bangkai kapal, di samping terjadinya dugaan penyimpangan praktek nepotisme segala. Kabar lain mengungkap ini petaka dari bau bacin perseteruan terselubung militer dengan sang penguasa dan dimenangkan oelh tangan kekuasaan. “Petaka. Ya, terlepas dari benar tidaknya konflik terselubung ini menjadi bukti bahwa petaka itu memang ada, ketakutan pada rezim satu ini cukup beralasan. Ya, petaka ini telah menyangkut kepentingan banyak kalangan. Dan tampaknya ini puncak dari bacinnya kekuasaan yang kehilangan kecerdasannya,” tukas Biru Langit menggeram. “Tinggal menunggu waktu, siapa sebenarnya paling cerdas, rakyat ataukah penguasa.”
Tiba-tiba bagi Biru Langit udara sangat dirasa pengab. Bahkan Radio Nedherland giliran menyiarkan wawancara sejumlah pihak. Sebagian besar menghujat rezim Soeharto, sisanya melecehkan militer. Entah, dalam situasi yang serba panas seperti tini mendadak Biru Langit ingat pada sosok Pam, kawan serta lawannya yang menyingkir, karena dirinya tak mau ditaklukkan dan malu bila diketahui orang telah takluk. Barangkali karena kabar terakhir yang diterimanya Pam bekerja pada sebuah media yang turut dibunuh.
Ya, sebelum kepergiannya dialah yang memperkenalkan dalam salah satu wawancaranya dengan Kiai Alawy Muhamad terkait kasus penembakan petani di waduk Nipah beberapa waktu lalu. Ah, bukan memperkenalkan. Lebih tepatnya mengajak untuk sekadar menemani karena toh selama wawancara, kiai yang selalu tampil sinis itu tak pernah secuilpun mengajak bicara Biru Langit. Bahkan sorot matanya pun tak pernah jatuh atau bertubrukan dengan Biru Langit. Ah, barangkali serta pula yang menyeret Biru Langit untuk kali pertama masuk pesantren sekalipun mengakhirinya untuk tak pernah lagi kembali. Semenjak itulah Biru Langit terus bertanya tentang setan dan mencari jawab dalam buku-buku Islam yang mau bersahabat dengan pencariannya dan tak begitu cepat menuduhnya setan.
Di situlah ia menjumpai kekejaman. Tapi disitu pula ia mendapatkan sebagian dirinya dan tentang kebenaran—bukan kebenaran itu sendiri. Sebagai manusia ia harus selalu bertanya dan meragukan setiap hal. Tapi sebagai manusia pula ia harus mengakhiri kebingungannya. Persoalannya adalah tidak mudah menempatkan pada suatu yang tepat pernyataan terakhir ini ke dalam bingkai hidupnya, mungkin pribadinya. Masalah berikutnya, adalah soal pribadi ini ternyata cuma akal-akalan manusia saja. Sebab itu susah untuk membahasakan ke dalam bahasa universal yang tak cuma bisa dipahami manusia—sang jagoan memelintir, mendistorsi kebenaran demi kepentingan sendiri, pribadi. Dan Pam hadir dalam situasi terjepit yang sangat tidak tepat, di satu sisi hadir sebagai pribadi di sisi lain ia hadir bersembunyi , menyelinap diantara setumpuk bahaya umat (maksudnya rakyat, publik).
“Mengapa kamu tiba-tiba gemetar dan pucat seperti ini Biru Langit? Seolah bencana ini sedang menggelontor urat nadimu seorang diri,” Sulistyorini memergoki.
“Aku sedang memikirkan si bangsat Pam,” jawab Biru Langit. “Aku mengenal baik kelakuannya, kecerdikannya, idealismenya. Tapi ia tak henti-hentinya menggangguku. Dia yang membuatku ragu-ragu tapi tidak pada tempatnya, justru pada saat ada persoalan penting yang menjadi taruhan untuk menguji idealismeku. Pembredelan media ini pembodohan paling ampuh sempanjang zaman bagi rakyat, yang dilakukan penguasa paling bodong dalam sejarah bangsa. Tapi bagiku Pam malah ikut-ikutan mengancam dengan mencoba membodohi aku agar aku kasihan padanya.”
Semula Sulistyorini tak sudi bicara soal Pam—lelaki yang pernah memburunya, bahkan mempermalukannya, dengan sepotong kembang merah yang tak ia butuhkan. Bahkan memuakkan baginya, yang kemudian kemuakan ini pula yang dijadikan senjata Biru Langit untuk memikatnya. Jadi, kesediannya lain untuk kembali bicara tentang Pam, lebih dari sebuah pertanda bagi Biru Langit. “Di sini, di dekatku kau sudah nyaman. Ada apa denganmu sebetulnya Biru Langit?” Sulistyorini mulai menggugat. “Kamu dipaksa kasihan padanya? Apakah kamu yakin dia memerlukan itu?”
“Aku tidak tahu. Akan tetapi kehadirannya dalam pribadiku di masa-masa yang lalu, seperti mata-mata yang terus mencurigai kehidupanku, sikapku, pendapatku, gagasan-gagasanku, bahkan mungkin idealismeku ini kedengarannya bukan sepenuhnya miliku sendiri, tapi juga milik Pam,” ungkap Biru Langit.
“Ah, jangan salah Biru Langit. Kedengarannya kau sendiri yang mencurigai pribadimu.”
“Sulit membedakannya.”
“Ceritakanlah padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu.”
“Begini. Mungkin ini kedengarannya cengeng. Tapi ini berangkat dari kejujuranku sebagai manusia yang selalu mempertanyakan, seorang yang tidak pernah puas melihat masa silam yang kelam. Aku hanyalah sederet orang yang sadar mencoba untuk bangkit. Ya, banyak juga sih orang yang telah tahu akan tetapi tidak mengerti, atau salah mengerti, atau malah nggak ngerti sama sekali. Tetapi selamat dalam kehidupannya. Mereka jaya, bergembira apa adanya, menari, bernyanyi, asyik sampai tak tahu siapa sesungguhnya dirinya, karena tak pernah mempertanyakan. Ya, kedengarannya memang cengeng. Jujur saja aku ingin benar-benar menjadi dirinya sendiri. Semoga kau tak salah mengerti. Aku ingin mengendalikan gairah hidupku sendiri, aku ingin membebaskan diri dari hantu-hantu masa lalu yang semakin kurasakan menusuk jiwaku. Aku ingin utuh seutuh-utuhnya supaya aku bisa berlayar di samudera luas dan tak tenggelam seperti sekarang. Aku tak ingin jiwaku dibelah-belah oleh kapak yang kesetanan dan sanggup membuatku gila seperti ini. Inilah penyakit yang membelah jiwaku, yang oleh pengejar masa silam disebut-sebut schizofrenia yang menjangkiti mereka juga. Pertanyaanku apa yang terjadi bila kegilaan didiagnosis oleh orang-orang yang juga gila. Aku tersiksa dengan jiwa yang tercabik-cabik. Aku ingin melupakan masa silam. Aku ingin hidup kembali. Tapi tak bisa. Aku tak bisa melupakan secuil saja penggalan hidupku, yang membuatku menderita seperti sekarang ini. Aku mau hidup Sulistyorini. Aku tidak mau hanya menjadi beban oleh karena beratnya masa silam. Dan tentu kau tahu ada berjuta-juta orang bernasib sepertiku. Berjuta-juta. Anehnya, seperti tak terjadi apa-apa. Ya, mungkin tugasku sekarang hanyalah selalu menjaga diri agar tak harus tenggelam. Aku tak perlu melupakan masa silam, tapi menjaga bagaimana itu sanggup membuatku sadar dia tak sampai meniadakan sisa-sisa jiwaku yang terserak. Hei aku ingin hidup seribu tahun lagi, Bung Chairil. Ya, Sulistyorini aku tak perlu melupakan sahabat kita Pam, karena dia sudah habis. Dia sudah mati bersama terbunuhnya Tempo, Editor dan Detik. Jadi dia tak bakal punya sumbangsih terhadap idealismeku.”
“Hei, Biru Langit. Kau jangan menceracau seperti itu. Kau sudah seperti orang gila, apa?”
“Lho, kamu ini bagaimana? Apa kamu pikir sudah empat sehat lima sempurna. Jadi manusia Indonesia seutuhnya, kawan?”
“Kau seperti orang tak beragama, Biru Langit.”
“Agama? Bukan. Aku hanya belum ingin melibatkan agama. Untuk memastikan aku ingin menerbangkan sayap kebebasanku. Aku percaya tanpa atau dengan agama, kebebasan ini sudah menjadi hakku. Kedengarannya memang arogan. Tapi begitulah aku mengatur hidupku. Dengan demikian aku bisa menempatkan agama sebagai suatu inspirasi dan bukan sebuah inspirasi. Seberapa pun kecil sumber inspirasi yang ada padaku, persoalannya itu bisa terus menyalakan api gairah kehidupanku. Bukan membunuhnya. O ya, kukira inilah yang membedakan hidup dan matinya gairah dalam diri Pam dan ada pada diriku. Pam, seorang yang atheis, seorang yang percaya akan kekuatan dirinya. Pekerjaan--kalaupun ada--Tuhan menurutnya, yang paling memuakkan adalah selalu bersembunyi. Fatalnya, Tuhan selalu bersembunyi dalam diri orang-orang yang pengecut. Dengan cara itu ia menjadi seorang yang sangat percaya diri dan pemberani. Sementara aku, selalu berada dalam posisi kebingungan dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kukira hal ini lebih karena kesulitanku membedakan antara persoalan keilmuan dan ketuhanan. Di satu sisi aku masih percaya pada masa lalu, masa kini dan masa depan. Hasilnya adalah ketakutan. Tapi di sisi lain aku masa bodo dengan hal itu. Buahnya adalah kebimbangan oleh sebab apalah arti sepotong kecil makhluk bernama Biru Langit bagi semesta ini, dibanding sebutir pasir atau batu misalnya?”
“Eh, kedengarannya kamu menyindir aku, Biru Langit?”
“Oh tidak. Aku berbicara soal diriku sendiri.”
“Kalau tidak, bagaimana mungkin kamu berbicara soal masa lalu dan Pam, tapi menyeret-nyeret sedemikian jauh.”
“Aku hanya ingin menyakinkan diriku, seberapa berartinya Pam bagiku. Ia bisa tak lebih dari sebutir pasir seperti aku. Kamu sendiri bagaimana? Soal agama? Sisa kembang merah layu pemberian Pam? “ Biru Langit kembali mengusik kegelisahan kekasihnya.
“Aku tidak tahu itu semua,” Sulistyorini tak pasti hendak menunjukkan gelagatnya, keangkuhannya, cuek, ketololannya atau kepedihannya, tak jelas.
“Ah,” lagi-lagi Biru Langit mengejutkannya. “Aku punya ide dan ini baru kutemukan sekarang. Jadi masih segar. Bagaimana kalau kita sepakat tidak mencampuradukkan keilmuan dan soal-soal spiritual keagamaan. Ya, maksudku harus membedakan keduanya supaya memperoleh buah yang menyegarkan badan. Supaya tak ada pertengkaran diantara kita yang sebetulnya tak perlu dan malah bisa menganggu tatanan kosmos seindah ini sebab kedengarannya ketidaktahuanmu itu menyimpan bahaya besar.”
“Ngaco kamu. Kamu ngomong apa sih?”
“Sepakat?”
Sulistyorini diam. Diam berarti sepakat. Tapi diam juga boleh karena tak paham. Huh dasar perempuan, diam memang terkadang bisa berarti the silent is golden: emas. Tetapi menurut ajaran spiritual, diam itu berarti,.. (ah kenapa bicara sesuatu yang belum waktunya?)
Biru Langit diam. Tetapi dalam diamnya menyimpan gelora, pemberontakan, gugatan. Pelajaran mengarang yang ia peroleh dan laku seniman di kawasan balai pemuda, cukup buatnya untuk menjadi pemberontak—memberontak pada realitas, pada dunia dan pada Tuhan. Inilah yang menyelamatkan dirinya dari keberingasan dan pendendam; menjadi munafik. Sebab itulah dalam diamnya, ia mengagumi sosok Pam sebagai pejuang hak-hak manusia. Dalam diamnya ia meragukan benar apakah atheis dalam diri Pam sungguh-sungguh menafikan Tuhan. Ataukah Cuma suatu cara hidup untuk tak mendengar ancaman Tuhan saja? Tapi surat Pam yang tertuju pada ibunya dan telah ia simpan mengesankan ia seorang tenaga kreatif yang melawan dan memberontak kuasa Tuhan. “Ah, bagaimana bisa terjadi Tuhan baginya bisa diganti dengan selembar kertas surat untuk ibunya,” pikir Biru Langit. “Hal ini cuma bisa dilakukan seorang yang cerdas seperti dia. Jadi mustahil rasanya aku kasihan padanya. Dia tak butuh dikasihani. Dia memang telah jadi korban, tapi dia tentu akan memberontak kuasa Tuhan yang direnggut penguasa rezim dengan membunuh Tempo, Editor dan Detik. Aku percaya.”
“Kenapa tiba-tiba kau jadi orang yang tidak percaya diri seperti ini, Biru Langit?” Sulistyorini membangunkan lamunan kekasihnya.
“Oh, ya?” Biru Langit terperanjat. “Soal apa? Masa depan? Nasib bangsa? Atau Cuma bicara soal kita berdua?”
“Semuanya.”
Biru Langit menghela nafas panjang. Ia memutar tubuhnya kembali menghadap jendela. Ia mengamini dugaan Sulistyorini. Buktinya ia juga mulai tersinggung. Ia merasa kekasihnya sedemikian kejamnya.
“Aku juga tak menduga sedemikian berartinya Pam bagimu.”
Lagi, sinisme Sulistyorini tentang Pam menampar-nampar batin Biru Langit.
Enam
SERGAPAN ketakutan lama-kelamaan mereda. Tampaknya, di rumah Dharmahusada, Biru Langit menemukan jalan keluar. Diskusi yang aktif dengan Sulistyorini, membuahkan pikiran yang lebih jernih. Tentu saja jalannya belepotan, emosi, dendam, gairah meledak dan percikan kegilaan pun tercurah. Ia bisa membolak-balik hati. Dan lagi ia menulis sebuah karangan tentang betapa rezim penguasa telah merebut kekuasaan dari tangan Tuhan. Ini pun suatu jalan keluar.
Dalam kasus pembredelan Tempo, Editor dan Detik menjadi titik balik baginya yang sangat penting. Ia bisa berbicara atas nama orang banyak. Ia telah mereka kerangka kemana arahnya kurang lebih isi tulisannya. Ia juga masih punya banyak waktu berdiskusi dengan profesor bedah plastik, yang terpikat pada soal-soal politik. Hebat.
Nantinya, tulisan Biru Langit akan berbicara soal pembisuan salah satu kekuasaan Tuhan yang direnggut dari asal muasalnya. Sang penguasa telah menutup ruang publik, hak-hak setiap orang untuk menjadi pintar, mengerti, cerdas dan perburuan keingintahuannya menyingkap dunia. Sang rezim juga telah melakukan tikaman ke jantung publik dengan cara-cara yang menimbulkan rasa putus asa, lenyapnya hak hidup jutaan orang dan menghidupkan dendam yang terbawa seumur-umur hidupnya. Dan lagi yang terpenting adalah bahwa sang rezim hanyalah seorang yang pengecut. Betapa tindakannya adalah suatu kebodohan karena apa yang ia lakukan bukanlah memberontak pada kekuasaan Tuhan, menyaingi kedahsyatannya, akan tetapi hanyalah mencuri sebagian dari miliknya.
Ya, rezim itu tidk sedang membuat, menciptakan tatanan dunia baru bagi manusia untuk sepanjang masa. Sebaliknya, bukan untuk apa-apa. Karena itu percayalah sang penguasa nanti segera tumbang. “Hei, tentu ini nantinya jadi kesimpulan penting. Bahwa pembodohan itu nanti menemukan jalan kegagalan. Tak sedikit yang jadi pembela Tuhan, sisanya mereka yang menjadi pemberontak dan pembangkang karena sekian tahun rezim itu berkuasa, diam-diam mereka membaca buku-buku terlarang secara tekun. Selebihnya, para jenius tentu tak tinggal diam, selalu mengobarkan api pemberontakan dengan dingin demi memperjuangkan dunia yang hidup kepada Tuhan. Ya, seperti inilah mereka ini mengembarakan kebebasannya,” pikir Biru Langit.
Jadi satu-satunya prestasi Biru Langit saat ini yang perlu dicatat adalah ia sama sekali tak punya rasa takut berbicara tentang kebebasan. Ia juga tak takut bicara tentang Tuhan, sepertinya ia bukan siapa-siapa. Mungkin ia sejawatnya atau dirinya sendiri. Ini yang membedakan Biru Langit dengan profesor bedah plastik, Maryuhan Kurnia—betapa ia tak pernah punya nyali untuk bicara tentang Tuhan yang entah ia sembunyikan di sudut mana bagian hidupnya. Seoalah ia berdoa untuk hidupnya dengan rumus-rumus Einstein saja. Suatu ketika, sang profesor pernah menunjukkan tempat persembunyian tuhan di tempat yang gelap, itu pun dengan nada ancaman. “Soal Tuhan, menurut pendapat logika di kepala saya, sama halnya memaksa saya untuk berbicara tentang agama, atau ratu adil dan sejenisnya dewa-dewa dan sebagainya. Saya harus menjelaskan bahwa itu bukan orang dan tidak masuk akal orang bisa menjadi ratu adil seperti itu semua hanya software, suatu sistem,” demikian ungkapnya dengan gaya sinismenya yang khas. “Perkembangan agama itu tidak pernah rasional. Kenapa kita beragama? Biasanya karena penguasa, karena orangtua, karena guru atau orang yagn dihargai. Bukan karena rasio. Kalau bapak ibunya menyuruh Islam, Kristen, Yahudi atau yang lain, pergilah si anak ke sana. Sebab itu jangan pernaha lagi tanyakan kepada saya soal agama. Agama itu golongan dan menurut saya bisa jadi bumerang. Saya hanya sedikit menyinggung saja supaya orang bertanya tanya sendiri bahwa agama itu seperti gerombolan, kelompok atau pribadi. Ya, supaya tak jadi bumerang, belum apa-apa sudah menyerang balik saya sebagai orang yang melawan agama. Akal sehat saya mengatakan, agama itu hidup selalu karena dipaksa oleh penguasa. Sejak zaman dahulu seperti itu. Agama berkembang karena perang. Masak kita mau melawan orang tua? Makanya, kalau bisa kita mengembangkan pikiran sendiri tanpa harus melibatkan kekuasaan. Inilah penghargaan kita kepada orangtua, suatu prestasi besar yang lebih objektif.”
’Prestasi’ profesor bedah plastik menghentikan pukau Biru Langit. Sepertinya sampai di sini batas kesepahaman. Selebihnya adalah ruang terbuka untuk peperangan. Dalam sekejab, tulisan Biru Langit berjudul “Rezim yang Mengkorup Kekuasaan Tuhan” telah kelar di depan monitor dan keyboard komputer. Ketika dibaca ulang, Biru Langit telah menghilangkan pikiran sang profesor, terlebih tentang ketuhanan, sedikit saja buah pikirannya yang diamini, diantaranya perihal profesionalisme. Betapa sang profesor sangat mengagungkan setiap profesionalisme. Kendati demikian, Biru Langit membersihkan pandangannya dari kecurigaan-kecurigaan yang nantinya bisa menghambat simpati publik pada nasib buruk jurnalisme. Profesionalisme yang diungkap profesor bedah plastik itu adalah setiap profesional yang berpikir selaku intelektual (kata ini terpasang secara kasuistis, sebab sesungguhnya sang profesor memandang sebelah mata dengan hanya mengakui profesionalisme dan keilmuan eksakta. Ilmu-ilmu sosial menurutnya bukanlah ilmu, karena itu ia mencurigainya). Yakni setiap profesional yang memiliki basic intelektual, basic logic, basic rational. Karena dengan demikian intelektual memiliki produk yang objektif, yaitu analisa yang sesuai dengan kenyataan. “Dulu waktu di SD,” kenangnya. “Saya dengar dongeng kancil yang melompat puluhan buaya dan mencuri timun. Baru kemudian saya temukan cerdik itu maksudnya cerdik menipu. Pekerjaannya memang menipu. Apakah seperti ini? Tidak demikian bagi intelektual yang makan sekolahan.”
Dari sinilah kemudian profesor bedah plastik itu mencoba menawarkan analisanya terkait fakta politik pembunuhan tiga media besar. Hampir bisa diduga kemana arah analisanya yang murahan itu. Satu hal yang tak bisa ia sembunyikan, ia mengecam rezim penguasa.
“Maaf, Profesor,” tiba-tiba Biru Langit berseru. “Kau telah memberiku gagasan, tapi tak kupakai seluruhnya, karena menurutku itu saja tidak cukup.”
Ia tercenung. Wajahnya berkerut memperlihatkan dengan tajam hitam kulit pelipisnya yang bekas operasi plastik, oleh sahabatnya sesama profesor bedah plastik dari Australia. Seperti biasa ia selalu membubuhkan “ndak apa-apa” di belakang kalimatnya.
“Ya, aku harus menjadi diriku sendiri. Dan kukira apa yang menjadi buah pikiran tentang kebebasan berpikir anda itu sudah kulampaui. Selain itu, anda lebih menempatkan diri saya sebagai pengarang an bukan sebagai seorang profesional, apalagi sebagai ilmuwan. Maafkan bila saya tersinggung. Bukankah, anda melihat kepengarangan saya sebagai pemuja klenik?”
“Itu yang ndak boleh terjadi, tersinggung. Keilmuan tak memberi peluang untuk tersinggung.”
Hari-hari hampir tanpa jeda aksi demonstrasi. Diskusi-diskusi berhenti dan mahasiswa-mahasiswa turun ke jalan. Di jalan para demonstran melempar tuntutan menyuarakan haknya yang dibonsai penguasa. Radio BBC, Radio Australia terus mengabarkan hampir setiap jam, kondisi sejumlah kota terutama di Jawa dan Sumatera. Mereka meneriakkan satu kata “lawan” dan mempopulerkan bait-bait penyair kampung, yang juga seorang penarik becak Widji Thukul Wijaya. Seolah-olah kata itu menaklukan kekuatan yang sebenarnya: hanya satu kata.
Yang mengejutkan, siaran BBC London hari Senin pagi 27 Juni terjadi peristiwa berdarah. Puluhan aktivis di Jakarta harus menghadapi pentungan polisi berseragam hitam-hitam dan mengerikan. Masa yang bergabung dengan wartawan, mahasiswa, aktivis LSM disambut kekerasan pentungan rotan pasukan operasi bersih. Ya Jakarta berdarah saat itu. Puluhan orang yang diberitakan terluka parah, tak sadarkan diri, hilang atau ditangkap hidup-hidup. Pelukis Semsaar Siahaan dikabarkan bakal mengalami kelumpuhan hebat, lalu yang mengejutkan ada nama si burung merak dan anak-anak muda pengikutnya.
Sejenak Biru Langit teringat saat saat bagaimana beberapa hari sebelumnya, ia melancarkan aksi provokasi agar mereka cepat meninggalkan ladang-ladang atau tak perlu menjadi pelayan atau keset bagi sang nama besar. Ini tentu suatu pukulan, bagi Biru Langit karena ada darah ternyata yang mengalir dari tubuh mereka. Oleh sebab itu betapa malu dirinya bila harus mengutip sebaris sjak Sutardji Calzoum Bachri, karena tampaknya hanya seperti ini yang bisa ia lakukan di Surabaya, ‘Yang tertusuk padamu berdarah padaku’ 82). Ah betapa rendahnya diri ini. Dan lagi nama besar si burung merak, tampaknya telah menjawab teka-teki paling misterius tentang kepedulian. Sejenak angan Biru Langit terbang pada sosok (yang memuakkan) politikus Bintang Sakti, dn acuh sang penyair mendengar kabar aksi penggelapan dana Maumere yang berujung kelam. Mendadak kali ini darah telah terpercik oleh kesewenangan serupa tapi tak sama—kepada media—tentang hak dasar manusia. Bedanya pun tipis tapi amat jauhnya (setelah kekuasaan, berikutnya adalah uang). Berikutnya, yang tak kalah mengejutkan dalam peristiwa berdarah itu, nongol nama Pam sebagai korban. Lantas Biru memastikan dari kertas copy faximale dari sebuah kantor berita di Jakarta. Serasa justru darah Biru Langit berhenti mengalir.
Oya, tentang darah. Kisah tentang darah ini, kali pertama terjadi pada Biru Langit ini bersamaan dengan kisah tentang seorang jenderal dengan pesawat tempurnya. Waktu itu Biru Langit masih kanak-kanak dan terjadi beberapa waktu sebelum bapaknya mati ditembak gerombolan orang tak dikenal. Entah bagaimana mulanya bapak berujar, “sesuatu yang mengerikan akan terjadi.” Memang bapak yang meniru gaya seorang jenderal itu bisa saja mengucap kata-kata yang bernada memberontak. Atau sebaliknya, seorang jenderal pun bisa pula mengumumkan keadaan perang dengan nada lemah lembut. Semuanya serba mungkin. Demikian bolak-balik gejolak seluruh isi hati tentang jenderal dalam diri bapaknya, tiba-tiba mendadak dan cepat blingsatan seolah tak diberinya kesempatan hati lain masuk dan menteror rasa takut dengan berita kesejukan. Tidak bisa. “Ah, bapak bisa saja. Paling-paling itu kalimat untuk mengusir rasa takut yang sudah bapak simpan berpuluh-puluh tahun lamanya,” tukas Biru Langit menyela—sela seorang anak kepada bapaknya yang dianggap tak punya nyali untuk hidup jujur. Memang begitulah keadaan seorang yang umurnya sudah di ujung tanduk, tinggal mati saja. Maka yang berjalan adalah rasa takut dan Cuma bisa melangkah pelan-pelan, berjalan merambat, bernostalgia di masa lalu dengan kegagalan-kegagalan yang membuatnya putus asa. Ya, seorang yang terus dimakan umur hidupnya bertambah hari-bertambah bulan, bertambah tahun bertambah kelam. Lebih dekat dengan putus asa ketimbang rasa optimis untuk bertemu dengan kemapanan, keadilan, kemenangan. Apalagi bertemu Tuhan yang konon bisa dijumpai di ujung gang dengan arah membelah jalan ke kiri atau sebelah kanan. Ingat…di setiap jalan yang dilakukannya dihadang oleh orang kafir, iblis atau semacam vampire dengan pakaian serba hitam dan menyerang pada malam hari.
“Tidak. Ini bukan lelucon. Sesuatu yang mengerikan akan betul-betul gejadi,” kata bapak yang terakhir kali, “Kamu harus percaya bapak.”
Saat itu pula Biru Langit berlari sekuat-kuatnya menuju Maknya. Biru Langit berhamburan dan sergera dirangkum maknya di ketiak persis ketika sejumlah pesawat tempur meraung-raung tepat di atas atap rumah. Kemudian diceritakanlah dengan bahasa anak-anak bagaimana seorang bapak yang menakut-nakuti anaknya dengan iblis, vampire. Kata ibu, itu tidak ada dan cuma ada dalam dongeng.
Biru Langit mulai mencurigai bapaknya tidak hanya sebagai seorang penakut, tapi juga pengecut tidak bertanggungjawab, mengabarkan berita bohong mendidik anak-anaknya dengan kengerian dengan perang tidak dengan kasih sayang, pendidikan, kreativitas, cinta diri. Barangkali Biru Langit juga harus mencurigai diri sendiri yang sudah terjangkiti basil penyakit bapak. Setidaknya separuh dari umurnya sudah dimakan oleh umur bapaknya dan diisi dengan kekejaman. Sementara itu dari umur bapaknya, akan sedikit berkurang dengan mengusir sebagian dari hidup Biru Langit. Lantas bagaimana dengan diri Biru Langit, seorang anak, dengan bapaknya yang terus berjalan-jalan bernostalgia dengan masa lalu, dengan masa kanak-kanak? Suatu ketika di pagi yang membuka hari, Biru Langit menantang bapaknya dengan pertanyaan yang tidak sopan—tapi ketidaksopanannya itu bapak sendiri yang mengajari. “Apa yang saya peroleh dari bapak?” Beberapa saat kemudian bapak main tendang sampai Biru Langit terjungkal. Rasanya persis terjungkal dari tugu yang dibangun bapaknya sendiri. Malu campur dendam. Bapak melemparkan jauh-jauh Biru Langit sampai bak sampah. Secepat kilat Biru Langit merasa dianggap sampah oleh bapak. Gerakan ketika menendangnya pun seperti kebiasaan bapaknya membuang puntung rokok atau bungkus nasi. Biru Langit bermaksud membalas tapi ibu mencegah (inikah awal mula keberanian?) Dan memang Biru Langit tak sanggup melakukan apapun ketika di ketiak ibunya. Ibu, katanya, tiga kali kepala seorang bapak yang bisanya cuma menakut-nakuti anaknya melihat dunia.
Di rumah yang sempit itu, Biru Langit bermaksud membalas tendangan bapak dengan bermain pisau lipat. Hasilnya, bapak hanya tergores ringan di bagian lengan. Lalu bapaknya menghajar Biru Langit lagi. Kali ini Biru Langit tak Cuma terjunjgkal, tapi juga berdarah. Melebihi darah goresan pisau di lengan bapaknya. Semenjak itulah Biru Langit tahu darah, warnanya merah, seperti getah dicampur kecap dan sedikit pewarna. Lantas diceritakannya kepada teman-teman bagaimana pertama kali ia melihat darah. Dan mereka pun menceritakan pengalaman masing-masing. Biasanya, ibu menangis saat melihat anak-anaknya berurusan dengan darah. Tangis kas seorang ibu. Ibu akan gugup mengambil sedikti kain untuk perban dari jaritnya dan obat merah. Apalagi bagi ibu yang tak menyiapkannya karena memang tak siap anaknya berdarah darah. Lagi-lagi ibu yang dibuat repot oleh bapak.. Tapi ibu tak pernah bisa bertengkar dengan bapak. Pernah sesekali bertengkar, esok paginya sudah baikan lagi. Berciuman lagi. Biru Langit hanya memergoki satu kali. Lalu disimpulkan sendiri mereka memang saling membutuhkan, saling mengatur bagaimana memberinya kekejaman dan kedamaian. Kadangkala bapak menang, lain kali ibu lebih unggul. Nyatanya, Biru Langit tidak pernah bisa hidup sendiri. Ya, Biru Langit tidak bisa hidup sendiri. Apalagi teman-teman mengajak Biru Langit untuk bermain di luar, Bapak melarang tapi ibu mengijinkan. Lebih dari itu Biru Langit tak diberikan kesempatan untuk tahu kehidupan teman-teman yang lain.
Begitulah cerita tentang darah itu mengingatkan Biru Langit pada seorang jenderal yang memerintahkan anak buahnya berperang. “Saya tidak takut bapak.” Dia sendiri yakin ini hanya untuk mengusir rasa takut, dan itu adalah kesalahan bapak. Maka yang muncul adalah jawaban itu tadi. Bapak diam lalu merenung. Biru Langit tahu dia semula bermaksud menyembunyikan rasa takutnya di balik retorikanya, tapi Biru Langit tahu betul dia orang macam apa, agamanya bagaimana, kapasitasnya berapa. Ia juga tak perlu menggambarkan bagaimana dendam Biru Langit hanya membayangkan bagaimana bapak menendangnya ke tempat sampah dan berdarah. Semua orang tahu setiap yang hidup, anak-anak, dewasa, ibu-ibu, laki-laki, perempuan semuanya berdarah, semuanya merah, seolah tubuhnya berwarna merah penuh dengan darah.
Suatu ketika, pernah ibu menceritakan pada Biru Langit saat lahir bayi itu juga merah bercampur darah. Dia percaya dengan cerita ibu. Lain halnya dengan bapak, ketika ketakutan, Biru Langit tak mau diajak jalan-jalan bernostalgia. Masa lalu bapak hanya membuat orang untuk bunuh diri atau setidaknya cuma menunda kematian. Betapa bisa dibayangkan bila seorang jenderal tugasnya sekadar menunda kematian dan sementara jabatan, pangkat yang dia peroleh tidak cuma menunggu orang-orang untuk mati. Siapa tahu apa yang dilakukan seorang jenderal sebelum itu? Silakan berjalan-jalan, bernostalgia. Anda tak sulit menemukan jawabannya…”Sesuatu yang mengerikan memang akan terjadi,” pikir Biru Langit. Sementara bapak tak pernah membayangkan bagaimana anaknya dihantui rasa tertekan yang bukan main bertumpuk, rasa takut matu, apalagi rasa takut dibunuh oleh bapak sendiri. Seorang bapak tidak pantas jika tak bisa menunjukkan bagaimana caranya anak memberi hormat atau para anak buah kepada jenderalnya. Karena itu saya memberi hormat dengan cara saya sendiri. “Sesuatu yang mengerikan memang akan terjadi, bapak.” Bila bapak masih hidup dipastikan Biru Langit akan punya nyali untuk menatap bapaknya dengan wajah seorang anak pendendam tapi tetap bersih. Bapaknya bakal makin menunjukkan rasa takutnya. Ya: tapi di belahan bumi yang lain. Atau bila masih hidup akan menendang lagi anaknya sampai terjengkang dan hidung anaknya kembali berdarah.
Tujuh
SEJAK dari awal, sesungguhnya yang meleset dari bicaranya adalah perihal Pam. Laki-laki itu kalau mau jujur tak mau pergi dari kehidupan Biru Langit yang compang-camping. Tak ada satu hal pun pada bulan-bulan belakangan yang sepi dari bayangan kehidupan Pam. Pelbagai pantulan hidupnya terus menyerbu. Jelas sudah, Pam sukses merasuk dalam diri Biru Langit.
Berikut ini sejumlah pantulan yang menyerbu dalam perjalanan Biru Langit—dalam hati sebetulnya ia bermaksud mengusir, atau memperkecil ruang gerak hantu Pam. Sayangnya, Biru Langit tak bisa dan malah salah langkah akibat dirinya yang justru terseret-seret lebih jauh.
Problemnya adalah karena sama-sama simpati pada korban kekuasaan. Beberapa jam sesudah pembredelan pers, sesudah ia membaca nasib Pam, entah bagaimana mulanya tiba-tiba Biru Langit duduk dan hadir dalam suatu kampanye Ojo Dumeh. Biru Langit tekun menyimak pledoi-pledoi GM salah seorang pemimpin media yang dibunuh. Bertempat di aula gedung kesenian, di komplek Balai Pemuda, tempat itu tak seperti biasanya, sesak oleh asap rokok para simpatisan. Berada di tengah asap rokok itulah GM mengaku dirinya kini pengangguran.
Dia ceritakan ingatannya tatkala melakukan perjalanan ke Eropa Timur. Di sana baca puisi dan teater mendapat kunjungan yang besar dari publik. Publik tampaknya suka sekali dengan kesenian. Tetapi setelah ada pergantian rezim. Jadi pemerintahan yang demokratis, ternyata masyarakat yang semula mendatangi teater dan baca puisi menjadi jauh berkurang. “Waktu itu saya bertanya kepada salah seorang pejabat kebudayaan, kebetulan seorang wanita, mengapa hal itu terjadi. Jawabannya ternyata menarik karena menurut dia, sejak jatuhnya komunisme maka surat kabar dan televisi telah menyiarkan hal yang benar sehingga orang tak perlu lagi datang ke teater, orang tak perlu lagi mendatangi acara baca puisi. Karena tadinya hanya di teater dan baca puisi saja bisa ditemukan kebenaran,” kisah GM.
Dan ini berarti, puisi dan teater menjadi satu-satunya sama penyampaian apa yang benar. Jadi lebih menarik dibanding surat kabar dan televisi serta radio yang dikuasai oleh partai dan negara dan harus berbicara tentang apa yang dikehendaki engara. “Jadi, kalau kita ingin demokrasi maka kesenian tidak akan punya peminat yang banyak dan itu merupakan ancaman bagi seniman. Ah, tapi ini cuma bergurau saja,” cepat GM menyela. Lain ceritanya bagi Cina, imbuhnya. Di Cina, pemerintahannya komunis, segalanya dikuasai pemerintah, tetapi toh suatu hari ada sutradara film yang kemudian dikenal di dunia karena film-filmnya bermutu dan tidak hanya berbicara tentang propaganda pemerintah. Orang seperti itu tetap mempertahankan integritasnya sebagai seniman dengan skil dan ketrampilan yang tinggi untuk menyatakan hasil karyanya. Hal ini yang belum terlihat dalam film-film Indonesia, tidak bebas karena tidak boleh bicara soal sosial politik. Keterbukaannya hanya sebatas pada buka-bukaan.
“Kami mengungkap soal film seks. Apa karena itu kami dibredel, jangan-jangan karena kami membongkar kenyataan bahwa film seks Indonesia ada politiknya. Lebih lanjut menurut GM, terlalu sederhana untuk mengkonsentrasikan kesalahan yang ada sekarang pada badan sensor film. Dalam Tempo menjelang dibredel , dikutip sebuah pernyataan bahwa pada BSF (Badan Sensor Film) dititipkan sebuah pesan agar BSF tidak terlalu ketat menyensor film Indonesia supaya laku. Karena itu sebuah politik perfilman di Indonesia bahkan juga seluruh politik informasi di Indonesia ini harus ditinjau kembali. Bagaimana mau membuat film yang bermutu kalau film yang bermutu dihambat di peredaran, kalau belum apa-apa sudah mengalami sekian pergulatan melawan birokrasi. Ini adalah masalah politik informasi yang menyesatkan, bukan hanya masalah pers yang kita hadapi sekarang.”
Kesenian, menurut GM, memiliki peran yang penting, sebuah peran yang memberikan kesempatan untuk membuka koridor lebih luas. Ketika pers dibungkam, seperti sekarang, biarkan kesenian yang bicara. Ketika pers menjadi ketakutan, kesenian harus mengambil alih peranan. Seorang seniman kalau mau mencipta tentu membutuhkan ruang untuk berekspresi dan kebebasan. Dan kebebasan itu kalau tidak diberikan, tidak tersedia atau dihambat oleh penguasa, maka akan menimbulkan reaksi. Hal ini menyebabkan persoalan menjadi persoalan politik, karena dihubungkan dengan kekuasaan. Seorang seniman tidak bisa menutup diri pada sebuah perjuangan untuk memperluas ruang kemerdekaannya. “Tapi bahwa kesenian harus berbicara politik saya kira tidak,” tandas GM.
Kesenian menurutnya, bisa memperjuangkan soal itu, tanpa menjadikan keseniannya hanya berbicara politik. Tentang keterlibatan seniman pada persoalan-persoalan politik yang nampak menonjol belakangan ini, sebetulnya bukan hal baru dan tak perlu ditakutkan. Buntutnya, sama seperti si burung merak yang ditangkap polisi di jalanan, meski dengan hukuman ringan . Ternyata yang hadir dalam pertemuan Ojo Dumeh ini kalangan pers, mahasiswa, umum, seniman dan budayawan, tapi juga polisi. Buktinya, penyelenggara, ketua Dewan Kesenian harus berurusan dengan polisi.
Delapan
BEBERAPA hari kemudian, sebuah peristiwa penting terjadi. Tak Cuma soal kesenian. Tepat 29 Juli, hari Jumat di tempat yang yang sama, digelar pembacaan puisi dan peluncuran buku penyair Wiji Thukul, Mencari Tanah Lapang. Bisa dipastikan mengapa peristiwa malam ini lebih mengesankan dari pembacaan puisi sebelumnya oleh penyair yang sama pada siang harinya di kampus Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Airlangga. Tak lain lantaran Biru Langit dikenalkan dengan seorang lagi laki-laki dalam kehidupannya.
Tapi baiklah, sebelum itu alangkah etisnya bila Biru Langit merunut tentang peristiwa keseniannya lebih dulu karena memang inilah partai utamanya. Persoalan bila sesudahnya ternyata lebih penting itu lain soal. Penampilannya, pernyataan dirinya malam itu memang menjadikan ia seoarang penyair dan bukan si lugu yang saat pertama kali perjumpaan Biru Langit dalam diskusi tampil terkesan rendah diri, pelo dengan kopyah mungil yang selalu ia pakai membelakangi kepalanya. Betapa ia justru bisa menarikan suaranya yang cadel sambil menembakkan kata-katanya. Dengan tubuhnya yang ringkih, kurus kerempeng, compang-camping tak terbayang ia ternyata seorang yang keras kepala. Ia pilih sendiri kata, peluru dan pistolnya untuk melawan. Lebih dari itu ia sendirian pula yang pasang badan, dengan otot di leher yang menegang, bahkan berani bernyanyi dengan suara kas kuli batu atau tukang becak.
Malam itu, tak lupa ia membawakan puisi yang telah dijadikan pernyataan perlawanan rezim oleh mahasiswa, aktivis LSM maupun kalangan buruh, hanya ada satu kata: lawan! Oya, sebelum jabat tangan dengan penyair, kali pertama Biru Langit menemukan nama Wiji Thukul Wijaya dalam catatan Ariel Heryanto, sebagai penyair kampung Solo dalam Prisma 8, 1988. Lalu Keith Foulcher si doktor dari Flinders University of South Australia, yang menjuluki Thukul sebagai penyair jalanan. Berikutnya dalam catatan Netwoker Halim HD, mengungkap penyair itu nama aslinya Wiji Widodo kalahiran kampung Sorogenen, Solo 26 Agustus 1963. Lahir dengan panggilan akrab Jikul dan besar mengamen puisi di tahun 1980-an dari satu kampung ke kampung lainnya, Solo, Jogja, Semarang, Tegal, Jakarta sampai Bandung. Ia banyak menciptakan lagu anak-anak ke selatan, dari titik api, aku masih di laut, kedongombo, pemilu orba, hidup di televisi, kuli-kuli dn tong potong roti. Baiklah, inilah bait-bait puisi sang penyair yang dimiliki Biru Langit melalui selembar kertas yang ia temukan dari rak untuk sebuah penerbitan. Kebetulan ditulis penyair di tahun 1987-1988 an, tahun-tahun ketika namanya tercatat dan kali pertama sampai di kuping Biru Langit.
Bunga dan tembok
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur
Dalam keyakinan kami
Dimana pun—tirani harus tumbang!
Berikutnya, sebetulnya perkenalan dengan laki-laki bernama Isnaeni bukanlah hal yang istimewa. Bahkan lebih banyak menyinggung pribadi Biru Langit. Yang menarik hanyalah karena hal ini suatu pengalaman baru dan tentu saja perlu analisa baru, cepat, akurat, apalagi dalam suasana yang belakangan begitu menegang. Bisa diduga bila yang terjadi adalah laki-laki yang sedang menganalisa laki-laki. Sebagai pria normal yang timbul kemudian lebih mungkin rasa ini ketimbang cemburu. Atau perasaan senang daripada kagum. Meski seorang doktor linguistik lulusan Universitas Cornell, Dede Oetomo, pernah mengungkap dalam diri setiap laki-laki ada kecenderungan potensi berperilaku homo, bisa diduga mengapa perkenalannya kini dengan Isnaeni melalui profesor bedah plastik yang turut hadir dalam pembacaan puisi penyair jalanan itu, menimbulkan kemuakan dan tidak suka. Tapi layaknya sebuah perkenalan, setiap jiwa tentu menyibukkan diri dalam suatu pesona.
Begitulah pula yang terjadi pada diri Biru Langit, seluruh sisi kekuatannya ia curahkan demi suatu pesona. Ia tempuh pelbagai cara meski dengan manis di bibir pahit di hati atau bermanis-manis masam perangai. Rasanya sulit menggambarkan suasana yang demikian memalukan ini. Pria itu berbadan tegap, tinggi besar, berkulit putih, berambut pendek yang manis, ringan kaki dan banyak mengumbar bicara—pendeknya ia pintar memikat lawan bicara. (oh, mengapa sederetan kata-kata ini sedemikian indah? Barangkali ada yang tidak beres dalam diri Biru Langit. Atau mungkin inilah ungkapan kejujurannya?) Sebaliknya yang ini tentu bukanlah sesuatu yang indah bagi aktivitas Biru Langit: Ia seorang perwira marinir, militer. Seorang dokter tentara, sarjana ekonomi perbankan, bekerja sebagai dokter di rumah sakit pangkalan TNI Angkatan Laut di Tanjung Perak, Surabaya, kini sedang menjalani tugas belajar di bedah plastik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, yang artinya ia mahasiswa Profesor Doktor Dokter Maryuhan Kurnia. Akan tetapi bukan itu semua yang mengejutkan Biru Langit, melainkan cara sang profesor Bedah Plastik itu memperkenalkan mahasiswanya itu yang kedengarannya berlebihan. “Beliau ini dokter pribadi, si Sulistyorini. Bila dia sakit, dialah yagn menangani, tapi kenyataannya dia datang bukan hanya bila Sulistyorini sakit, tapi juga bila perlu konsultasi dengan papanya, “ seperti biasa sang professor bicara enteng dan membubuhkan, ndak apa-apa—idiom kata yang bagi Biru Langit lebih misterius ketimbang manusianya. Lama kelamaan, dalam percakapannya Letnan Kolonel Marinir Isnaeni itu demikian membosankan, kebiasaannya berbicara banyak tapi ternyata tidak berbobot tentu menjemukan. Sementara itu, cara dia menghargai setiap lawan bicara tak lebih sebagai upaya baginya untuk mengumpulkan bahan bicara yang sebetulnya lebih berbicara tentang keunggulannya diri sendiri. Kedengarannya seolah-olah dokter perwira itu serba tahu, dan banyak makan asam garam ilmu pengetahuan. Hal it setidaknya terlihat dari sederet gelarnya belum lagi tentang hobinya menulis artikel, pemerhati social, mantan dosen fisiologi dan lain-lain. Apakah benar demikian, tentu saja di benak Biru Langit, tidak. Setidaknya ini terlihat dari pandangannya yang amat keliru terhadap anak-anak muda sosialis demokrat. Oleh sebab itu, Biru Langit pun kian hafal bagaimana ia harus menghadapi pria perlente macam begini; betapapun memuakkan bila harus memilih Cuma cengengas-cengenges.
“Saya bisa menduga mengapa mahasiswa-mahasiswa seperti anda juga menyukai puisi-puisi seperti itu. Ternyata mereka yang umumnya aktivis dan gampang mencerna sajak-sajak yang sederhana. Tentu tidak seperti terjadi pada mahasiswa kebanyakan seperti saya,” begitu bila si dokter perwira itu mulai bicara tentang dirinya, sebelum akhirnya selalu mengatakan, “Tetapi saya senang dengan anak-anak muda yang kreatif, menuliskan apa-apa yang jadi kegelisahannya ketika melihat terjadi ketimpangan di negerinya.”
“O, begitu. Ya, memang seharusnya demikian, “ Biru Langit dingin, di otaknya bergejolak. Ia tak menyukai tentaran baret merah yang memang sedang naik daun di mana-mana. Namun ia juga tak memungkiri sebuah doktrin untuk tidak mempercayai tentara sekalipun dokter, sekalipun marinir.
Sesekali Biru Langit memberi umpan untuk agar sang dokter tentara itu bicara kesenian, puisi, sajak-sajak perlawanan. Tetapi ketidaksabaran Biru Langit berbasa-basi dan cengengas-cengenges memaksanya to the point, mendesaknya menyampaikan pandangannya tentang gerakan-gerakan perlawanan kelompok kiri. Seperti inilah pendapatnya yang menurut Biru Langit tak sepenuhnya benar itu, meski ia mengakui kehebatannya memasang nama-nama besar tokoh kiri internasional.
“Suatu hari di penghujung tahun 90-an, saya yang masih berstatus mahasiswa diajak seorang teman bertandang ke rumah salah seorang aktivis mahasiswa. Menurutnya, acara bertandang itu hanya sekadar silaturahmi dan perkenalan dengan mahasiswa senior, tak lebih. Sesampai saya di rumah kos tersebut ternyata di sana telah berkumpul sekitar sepuluh orang mahasiwa mengitari meja makan dengan setumpuk buku tua yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Alangkah terkejutnya manakala saya mengetahui bahwa mereka sementara mendiskusikan buku-buku tua yang ditulis oleh Karl Marx, Frederick Engel, Tan Malaka dan Pramudya Ananta Toer yang berpaham sosialis-komunis. Bukan hanya itu, berderet-deret buku langka dan di larang yang berpaham Marxisme-Leninisme tampa terpajang rapi di sebuah rak susun. Belakangan saya tahu bahwa mereka tidak membaca keseluruhan buku tersebut. Mereka hanya membaca introduksinya dan menjadikannya sebagai symbol perlawanan untuk suatu reformasi radikal revolusioner. Saya piker seandainya mereka dengan sungguh-sungguh membaca keseluruhan isi tersebut dengan pemahaman, saya yakin mereka tidak akan menjadikan ideology usang tersebut sebagai sebuah paham perlawanan.”
“Apa yang anda lakukan waktu itu, dengan style anda seperti ini?” Biru Langit bertanya seperlunya, sekaligus menyindir sinis.
“Ya, saya sebagai tamu yang diajak bertandang untuk sementara waktu hanya diam layaknya seorang pengamat. Tapi lama kelamaan, timbul juga responsive insting melihat diskusi semakin tidak terarah dan hanya memandang perlsoaland ari satu sisi demensi penyelesaian. Inti diskusi mereka adalah kejenuhan kepada system politik, perbedaan status social yang telalu mencolok dan ketidakberpihakan system social politik kepada strata perifer yang terdiri dari kelompok buruh dan tani. Dan mereka saling percaya paham Marxisme Leninismelah jawabannya (Betapa ia mulai menggunakan istilah-istilah yang memuakkan.)
“Terus..” Biru Langit memaksa diri ikut menyela dan tentu saja asal bicara.
“Lalu saya mencoba menyumbangkan pikiran dengan mengantarkan penyelesaian melalui kacamata Pancasila dan Islam. Mendadak diskusi berhenti. Semua memandang kepada saya yang dianggap berseberangan dengan mereka. Kemudian mereka berargumentasi membantah pendapat saya dengan sengit. Seolah berupaya untuk menyakinkan saya bahwa Pancasila telah gagal dan Islam bukan alternatif terbaik bagi suatu penyelesaian sosial. Hasilnya, diskusi semakin panas ketika saya dengan tajam mengatakan bahwa ideologi yang saat ini mereka pelajari, sosialisme dan komunisme justru telah gagal dimana-mana. Saya mengajak mereka untuk mengkaji pengalaman sejarah bahwa ideologi komunis hanya memberikan penderitaan dan pembodohan kepada rakyat. Terbukti pergolakan di tahun 1926-1927, pakai Madiun 1948 dan tentu saja G 30 S/PK gagal dan hanya menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat terutama terpecah belahnya persatuan dan kesatuan bangsa. (Dia makin memuakkan saja). Dunia pun telah membuktikan kegagalannya komunisme Uni Soviet yang dikenal sebagai kiblat komunisme telah runtuh. Negara Eropa Timur satu persatu menyatakan diri lepas dari ideology komunis. Saya yakin tak lama lagi komunis di Cina akan runtuh dengan wafatnya Deng Xioping. Saya mengajak mereka kembali pada pemahaman eksistensi pribadi bangsa kita yang asli yaitu Pancasila. Dalam 25 tahun mendatang saya yakin bahwa ideology-ideologi di dunia komunis, sosialis, liberalis, kapitalis dan lain-lain akan mengalami keruntuhan. Dan kiblat ideology baru yang membawa pencerahan itu ada di Indonesia. (Biru Langit tak bisa menahan tawa tapi tidak jelas apakah sebetulnya ia sedang menahan perutnya agar tak keluar seluruh isinya).”
“Lantas, bagaimana reaksi mereka?”
“Yang mengherankan, mereka masih saja berargumentasi bahwa kegagalan Negara-negara dan ketidakberhasilan segala bentuk aksi terjadi karena Negara-negara tersebut tidak menerapkan teori secara benar. Setelah diskusi selesai, saya pamit pulang dan berusaha melupakan apa yang telah saya alami sebagai suatu mimpi buruk. Tadinya saya berikir bahwa kelompok penganut paham kiri ini tidak terlalu besar dan belum berani menampakkan diri. Tapi ternyata dugaan saya meleset. Meskipun dari segi kuantitas kelompok New Left ini sedikit namun dari segi paham ideology, kelompok ini termasuk militant dan radikal. Konsep menghalalkan segala cara telah menjadikan ujung tombak pola kerja mereka dengan menunggangi buruh tani dan rakyat jelata dengan alasan advokasi. Yang dirugikan adalah individu, pribadi dan golongan yang secara sungguh-sungguh berkeinginan untuk berempati dan membela rakyat jelata tanpa embel-embel ideologi. Lihat saja, banyak aktivis mahasiswa yang berkendara agama menunjukkan kepedulian terhadap nasib rakyat, penggusuran, upah buruh yang amat minim serta petani yang lahannya diambil paksa.”
“Terus maunya apa?” Celetuk Biru Langit.
“Mau apa? Apanya?” Si dokter tentara itu kedengarannya memergoki iseng Biru Langit. Barangkali dirinya merasa dipermainkan. Sehingga “apanya” dia nadanya meninggi. Kecurigaan tak bisa terhindarkan—sungguh suasana yang sama sekali tidak nyaman. Meski demikian Biru Langit tak kurang akal.
“Terus, maksud saya, anda kan belum kasih komentar pertanyaan saya soal puisi perlawanan,” keseriusan Biru Langit tak mengurangi ketegangannya, tapi ia sadar mengajukan soal yang tak diminati dokter tentara itu.
Dan benar adanya. Sang dokter tentara tak menjawab satu patah kata pun. Suasana pecah oleh persoalan lain yang entah tak merasuk dalam pikirannya.
“Tahu rasa kamu!” pikir Biru Langit. “Mustinya tentara itu perlu belajar baca puisi, jangan cuma pegang senjata.” Biru Langit terus disibukkan dengan pikirannya sendiri. Bila pun banyak membaca puisi, tentara tetaplah tentara. Sebaliknya kalaupun tentara itu boleh baca puisi, itu berarti sipil seperti dirinya pun harus diberik hak untuk menggunakan senjata, atau setidaknya mempelajari seluk beluk senjata berikut pelurunya. Pasti asyik. Lalu ia pun tertawa dengan ketololannya sendiri, gelak tawa yang kosong tiada makna.
Meski demikian, seburuk apapun peristiwa malam ini, adalah perkenalannya yang luar biasa dalam hidupnya. Betapa ia merasa, bagaimana satu persatu nama hadir dalam lingkaran keruwetan hidupnya, yang ia rasakan dari hari ke hari jadi misteri yang membingungkan, hidup yang begitu cepat seperti mengambang namun buram, absurd, serasa berada di tengah kabut tak bertepi—ya, begitulah dari hari ke hari Biru Langit seperti sedang berbantal kabut, berenang di tengah ombak. Hidup yang menurut penjelasan Profesor Bedah Plastik kedengarannya sangat sederhana. Lantas menjadi aneh karena malam itu sang profesor memilih diam karena memang tidak mengerti. Setidaknya seperti itulah pengakuannya. “Saya tidak mengerti,” selain senjata “ndak apa-apa,” nya sang professor. Sesuatu yang sangat masuk akal, karena menurut engakuannya sendiri ia mengerti karena tidak membaca buku-buku dari karya sejumlah nama besar yang disebut-sebut dokter tentara itu. “Daripada salah mengerti, yang dibicarakan orang yang kurang mengerti, lebih baik saya diam. Apalagi karena saya memang tidak mengerti. Tapi kalau soal budaya ilmiah dan bedah plastik tanya saya.”
Kebekuan akhirnya terpecahkan Gelak tawa kali ini bukan lagi sesuatu yang kosong. Bahkan masing-masing sibuk mencari makna tawa itu dalam benak sendiri.
Sembilan
TENTANG tempat komplek Balai Pemuda, terselenggaranya kegiatan baca puisi perlawanan, itu keberadaannya memang tak bisa dilepas dari politikus Bintang Sakti sebagai sesepuh, yang mbahureksa.
Dahulu di zaman Hindia Belanda gedung itu dipakai klab orang kulit putih. Orang pribumi dan anjing dilarang masuk, betapa kurang ajar itu colonial Belanda, betapa pribumi itu disamakan dengan anjing. Barangkali oleh sebab itu pula jarang pribmi yang sengaja memelihara anjing. Lalu di masa revolusi fisik tahun 1945, komplek itu dijadikan markas Pemuda Republik Indonesia, dijadikan pusat perlawanan pemuda Indonesia terhadap pasukan sekutu. Tetapi sekarang komplek Balai Pemuda itu dikuasai oleh seorang tua yang nyentrik—nganeh-nganehi, politikus Bintang Sakti. Rambutnya yang putih dibiarkan memanjang, dikuncir dan setiap berjalan ia selalu dibuntuti oleh werewolf-werewolf kucel yang bangga sebagai gelandangan-gelandangan. Oleh karena teracuni atau lebih tepatnya terimbas racun novel-novel Iwan Simatupang—tapi yang ini alias tanpa alamat dan tempat tinggal yang jelas. Fatalnya, si tuannya politikus Bintang Sakti ini menambah racun seperti bubuk ditergen yang biasa digunakan tokoh-tokoh agama, kiai, ustad, ulama, dai atau mistikus dengan dalil-dalil mensyahkan kedudukannya. Sekali lagi, yang lebih tepat werewolf-werewolf inilah yang terimbas racun. Agama bagi politikus Bintang Sakti seperti seekor kancil yang tertangkap tangan yang lalu dilemparkannya pada werewolf-werewolf kelaparan.
Kini, sepintas gedung-gedung tua komplek Balai Pemuda itu tak menyisakan apapun juga—apalagi darah, perlawanan. Sudah berjalan puluhan tahun dan orang-orang pribumi sama sekali tak pernah mempermasalahkannya. Barangkali karena terlampau sibuk dengan pekerjaannnya dan jalan pikirannya yang sudah sesak oleh rasa bersalah akibat sejak lahir telah dikoyak moyak kemiskinan dan sekarang terimbas racun modernitas. Politikus Bintang Sakti sendiri menjadi penguasa di sana berawal dari kisah sebutir beras. Waktu itu tahun 1972 harga beras membumbung naik dan ia turut memprotes. “Ketika itu Jawa ibarat tikus mati kelaparan di lumbung padi. Ada gudang pangan nasional terbesar di sini dengan lumbung padinya, tetapi penduduk miskin juga membengkak. Harga beras tak terjangkau. Beberapa kota yang disebut lumbung padi justru muncul kondisi baru, rawan pangan. Di Ngawi sejumlah penduduk sudah mula mengkonsumsi pangan non beras. Ditemukan juga di Pacitan, masyarakat yang makan gaplek dan ares umbi pisang,” demikian kenangnya suatu ketika. Saya, orang tua itu juga tak pernah mengajari bagaimana mencuci muka—mencuci tangan agar pikirannya bersih sehingga tidak muncul sama sekali perasaan dendam. Mengapa tidak pernah terungkap fakta sesungguhnya pasca penangkapan dirinya mengakhiri demonstrasi harga beras naik. Ia ditangkap aparat dan mendekam beberapa bulan di tahanan. Tapi itu menurut pengakuannya dengan bangga. Benarkah ia ditahan, dikurung dalam tahanan alias dipenjara? Lalu apa yang terjadi saban harinya di dalam penjara? Lantas ada apa selepas dari penjara justru direkrut jadi werewolf alias anak buah seorang pejabat tinggi waktu itu? Berikutnya, megnapa politikus Bintang Sakti merahasiakan pertemuan penting di bilangan Lebak Bulus beberapa hari lalu?
Sekarang memang lain. Keadaan sudah berubah. Beban, dosa itu menyisakan dendam. Hanya jalan yang menentukan. Ternyata ia berbeda sebagai politikus menempuh cara. Biarpun tubuhnya sudah dimakan sisa umur tetapi jangan sekali-kali salah tafsir. Herannya, justru itulah yang makin menguatkan bahwa dia laki-laki yang patut disegani, dihormati. Tidak hanya itu, tetapi dia patut didewakan. Barangkali aneh kedengarannya, tua, hitam, keriput, kurus seperti mayat tetapi didewakan. Sebagai seorang dewa, tentu ia menceritakan hal-hal yang baik, meksi sebagai manusia biasa dia tak pernah luput menangkap agama seperti menggenggam seekor kancil di tangannya. Sang politikus Bintang Sakti pun membuka kisahnya tentang seorang bapak yang berotak bersih dan belum sama sekali dilumuri pikiran hitam seperti oli pabrik tempat kawan-kawannya bekerja. Kedengarannya seperti mesin perang yang sedang diturunkan ke sebuah kampong yang penduduknya miskin, kotor dan matinya tinggal berada di ujung mesin penghancur. Lalu bangkit teriak, menabuh genderag, maju dan mati. Kedengarannya, seperti itu mengerikan. Dikatakannya, “Jika semangat berjuang mereka digambarkan ke dalam sorot-sorot bayangan di luar akan tampak seperti pecahan kaca. Kadang mengkilat kadang tak berarti muncul dan tenggelam.”
Sebagai politisi ia gila misteri. Dan inilah kisah berikutnya yang (bangsat) ternyata mampu memikat hati Biru Langit….
Diceritakannya bagaimana pemuda-pemuda bersepakat belajar hidup dari pria dalam tokohnya itu. Ya, diakui sebetulnya hal itu pernyataan berlebihan dari seorang pemuda. Tetapi rasanya itu perlu, terbukti sejumlah pemuda lain bersepakat. Bahkan yang paling arif pun mengingatkan dengan pernyataan seperti ini, sebagaimana ditirukan politikus Bintang Sakti. “Bukan maksud kami menempatkan laki-laki itu besar kepala karena harus berada di depan seperti kisah-kisah kepahlawanan pemuda harus dibarisan depan… pemuda harus di barisan depan…. Sementara sudah menjadi kisah umum orang muda tak berdarah dingin tetapi emosional dan besar kepala. Semoga saja anak-anak, ibu, perempuan tua, kakek, bersitegang mendengar cerita yang sesungguhnya sudah mereka ketahui sebelumnya, karena mereka bertetangga, karena mereka punya nasib sama. Sama-sama terpuruk tetapi tak punya kesadaran untuk bangun dan Cuma cerita dari mulut ke mulut yang menjadi api yang menyadarkan mereka, bahwa mereka orang tidak berguna. Tak ada yang salah kalau laki-laki tua itu harus mati di depan puluhan orang-orang kampung. Itu wajar. Tetapi kematiannya yang membangunkan orang hidup itu yang harus kita jaga.”
Begitulah bapak yang legam bagi anak-anaknya itu bukan orang biasa. Sekarang belum mati. Sekarang masih hidup meski sebetulnya sekarat dengan ribuan basil penyakit bersarang di bawah rongga-rongga kulit dan dagingnya. Kemudian, penyakit kencingnya, sudah pasti—suka kencing dimana-manapun tempatnya, itu karena kantung kemihnya telah usang. Laki-laki itu dengan dada membusung ke depan menantang siapa saja yang bermaksud menghadang langkahnya. Sampai tubuhnya kurus kering dimakan penderitaan laki-laki itu masih sanggup menunjukkan dadanya. Bahwa dia memang dewa, terhormat. Siapapun tahu bahwa pisau, golok, pedang tak pernah mampu menembus kulitnya. Tak ada satu goresan pun dari kulitnya yang hitam tapi bersih. Begitulah, laki-laki itu tak pernah berususan dengan senjata, kecuali nyali dan dendam memang dia punya. Masih menurut kisah politikus Bintang Sakti. “Dia selalu kalah. Dia biarkan orang-orang kampong berdiri di belakangnya sebagai orang kalah. Mau apa sekarang?” Tiga orang istrinya dan tujuh orang anaknya cuma menjadikan pria itu terbebani seumur hidup. Tapi dia tahu siapa yang salah. Betapa tidak? Anak-anak adalah darah daging sendiri yang suatu ketika harus diusirnya dari keluarga, dan rumah rumahnya dari kampong, kalau perlu ditendang keluar biar tidak bercokol di negeri bapaknya. Tetapi pria itu belum sanggup.
“Suatu ketika,” kisah Politikus, “Laki-laki itu sehat betul dan di luar dugaan dia masih hidup. Penyakit dia seperti lelucon hanya menjadikannya bangkit lalu jatuh, bangkit lagi, jatuh lagi, kemudian bangkit lagi, hidup beberapa bulan lagi, menderita lagi. Sayang sekali dia sudah tak memiliki airmata cukup untuk menggenangi rumahnya dengan airmatanya agar tetangga membantu mengirimi beras, gula, kopi, untuk menyambung hidup. Tetapi ya itu tadi dewa tidak akan menangis dan tidak sedang membutuhkan beras. Setidaknya, semenjak itu dia telah menemukan kebenaran, bahwa daripada mengkalkulasi kesalahan yang sebagian kecil dia lakukan semasa kanak-kanak, lebih baik menghitung kesalahan orang lain kepadanya dan itu keinginan dia hingga sekarang. Kesalahan pertama orang kepada laki-laki itu karena mereka menganggapnya dewa. Dan kesalahan kedua, orang-orang diam saja melihat kawannya menderita.”
Darah muda Biru Langit bergolak. Ia tak tahan dengan misteri gila-gilaan ala politikus Bintang Sakti. Cepat dia menyela dan menggugat. “Siapa laki-laki yang anda ceritakan itu, Bung—panggilan politikus Bintang Sakti yang atas permintaannya sendiri? Dan apa artinya, dia memandang orang kampong diam saja melihat kawannya menderita?”
“Karena mereka tak punya pikiran sama sekali. Yang mereka pikirkan cuma keluarganya sendiri. Bagilah beras ke tetangga, begitu mustinya.”
“Ya, tapi anda belum jawab pertanyaanku yang pertama, Bung.” Sergah Biru Langit karena merasa ditelikung. “Siapa pria dalam cerita anda itu?”
“Saya sendiri. Politikus Bintang Sakti!”
“Ah,” pikir Biru Langit, “Begitu rupanya awal mula cerita beras itu.”
Entah apa yang terjadi padanya semenjak teka-teki misterinya telah terpecahkan, ia masih tetap ingin melanjutkan ceritanya, meski kini merubah gayanya lebih sentimental, mengiba sebagai sosok pria yang tua dan rapuh. “Saya punya istri, punya anak. Kadang-kadang apa yang saya lakukan tidak membuat mereka tertawa atau bersedih. Tetapi justru membuat mereka bingung.” Sementara Biru Langit yakin politikus Bintang Sakti itu tidak sedang mengatakan yang sesungguhnya. Dia yakin polikus Bintang Sakit itu tidak sedang mabuk oleh pikirannya sendiri yang baru saja waras dan sedikit normal. Politikus Bintang Sakti hanya mondar-mandir memikirkan satu hal tadi karena tiba-tiba dia merasa sebagai seorang dewa yang kesepian. Atau seorang pelawak yang abai?
Di ujung perempatan jalan besar, ada sebuah bangunan tua bekas gedung besar tak terpakai. Setiap orang yang lewat dengan menyusuri trotoar jalan, dengan gampang bisa mengamati bangunan yang dikelilingi tembok besar yang oleh anak-anak digambari berbagai macam dan dikotori dengan arang, cat atau sejenis pilox. Barangkali saja dijaga ketat oleh satpam yang tugas pokoknya setiap sore menghalau anak-anak gembel yang melukisi dinding tembok karena dianggap mengotori pemandangan kota. Tapi anak-anak tak kehilangan akal malam hari adalah waktu yang tepat melanjutkan aksi mereka. “Saya hanya tertawa saja melihat tingkah anak-anak itu. Kadang saya juga berpikir dengan pikiran seorang dewa. Mengapa bapak-bapak tidak belajar dari anak-anaknya? Dan saya tertawa lagi. Dunia apa ini? Berikutnya, saya merenungkan diri pribadi. Sebuah rumah yang hendak dibangun, tidaklah pernah berubah sama sekali bila hanya dipikir. Seperti juga nasib tidak pernah berganti hanya dengan berpikir. Seorang dewa tidak dilarang merenungi hal seperti ini. Merenung lagi. Barangkali jikapun saya akan menceritakan satu kalimat seperti ini kepada tetangga, kawan, anak-anak, kerabat, mungkin akan ditertawai, mungkin juga ditangisi karena resikonya terlampau besar.”
Ceritanya makin sulit dihentikan. Ketika dia melihat gambar-gambar milik anak-anak, politikus Bintang Sakti seperti bermimpi meloncat ke istri dan anaknya. Ia membayangkan tekadnya untuk tak perlu lagi melakukan satu hal yang ceroboh dan berjanji melewati waktunya sebaik mungkin—sesuatu yang mustahil, seperti tangisan yan tak berguna. Lukisan ksatria menunggang kuda itu menggamit cambuk dan keris, tetapi jelas bukan Dipanegara yang mengagumkan namun juga seorang yang arogan itu. Di sebelahnya, lukisan orang bekerja ditunggui mandor yang berkacak pinggang. Di bawah lagi gambar sebuah warung yang dilempari petugas karena pemiliknya tengah diusir. “Menikmati lukisan anak-anak itu, saya merasa seperti tertidur ratusan tahun di kamar tidur yang teramat sunyi. Toh, ternyata saya bukan dewa. Saya manusia biasa yang dewasa. Yang terbiasa menghadapi kawan, lawan atau politisi lawan. Yang penting dihadapi dengan dada membusung. Memang bukan oleh karena keberanian, tetapi akibat penderitaan yang seumur hidup ditambah perasaan kesepian ratusan perasaan ditipu, perasaan dihasut, perasaan diadu domba, perasaan diremehkan. Segalanya bercampur aduk lalu pecah seperti bom waktu. Sesuatu yang wajar bukan?”
“Ya, segalanya masih berjalan di atas kewajaran.”
“Ini saya pelajari dari siaran-siaran tv yang digunakan orang sebaik-baiknya tanpa sisa untuk mengumpulkan massa, main bujuk rayu. Digunakan pejabat sebaik-baiknya untuk membersihkan muka dan mencuci tangan mencuci kaki biar wajahnya tetap seperti wajah malaikat. Padahal semua tahu tangannya kotor oleh darah anak-anak dan kakinya kotor oleh keringat orang miskin lalu kepalanya dipenuhi dusta, siapa yang tahu?”
Sesungguhnya, politikus Bintang Sakti tak sempat berpikir, karena tipis bedanya jarak emosinya. Bagaimana ia bisa berpikir bila hal itu ia sampaikan dalam waktu sepersekian detik. Bahkan dalam waktunya yang pendek itu harus berebut dengan keinginan kembali mencari lukisan di tembok besar seberang jalan. Belum lagi, tiba-tiba serbuan ingatannya pada istrinya yang berburu mengisi ruang otaknya. Ya, seorang ibu dari anak-anaknya yang tahu betul bagaimana menghadapi kenyataan hidup, pahit getirnya, penderitaanya, dan bagaimana kebahagiaan hidup yang semu itu.
Sampai di sini, betapa politikus Bintang Sakti memang gila misteri. Lagi-lagi darah muda Biru Langit telah habis kesabarannya. Tentang hidupnya yang telah diobrak-abrik telah gambling tergambar di benaknya. Tetapi kenapa di tangan politikus Bintang Sakti begitu berbeda rasanya. “Hei bung, berapa kali harus saya tanyakan siapa orang yang anda maksudkan dalam kisah Bung?”
“Diri saya sendiri. Mungkin,” jawabnya singkat.
“Tak bisakah Bung cerita sesuatu yang bukan misteri kepada kami anak muda yang benci misteri?”
“Ya, bisa. Tetapi itu tidak asyik. Tidak ada seni berpolitik di situ.”
“Hei, I tu artinya anda mendistorsi kata seni. Tidak boleh dan salah.”
“Tidak boleh? Kalau begitu ya karena tidak asyik saja.”
“Huh! Anda cuma berbelit-belit Bung.”
“Baiklah kalau begitu siapkah anda mendengar keinginan saya yang bukan misteri?”
“Kenapa tidak? Katakanlah.”
“Saya ingin kawin lagi. Istri yang keempat.”
Ah, bukan sesuatu yang penting bagi Biru Langit.
Sepuluh
BERAS. Sejumput beras sulit dibayangkan bagaimana bisa mengubah pandangan seseorang tentang hidup. Jawabannya, bisa oleh karena adanya nilai sebutir benda kecil berwarna putih itu bagi kehidupan itu sendiri. Kalaupun nilai itu kemudian berwujud harga dalam rupa-rupa sebentuk rupiah hanyalah suatu kebetulan itu terjadi pada manusia. Tapi nilai beras nyata-nyata tak cuma berharga bagi manusia. Serangga atau unggas pun punya penilaian bagi kehidupannya terhadap beras. Dengan logika yang sangat sederhana memang bisa dijelaskan bagaimana pentingnya beras dan perlu dibuktikan dengan produksi missal, di sawah-sawah oleh petani. Berlimpah.
Ya, hanya sesekali dua saja terjadi gagal penenan, atau diserbu hama wereng, tikus. Selebihnya cerita yang meluas berkarung-karung beras dengan segel manis berhasil ditampung di gudang-gudang, keluar masuknya diatur, dijadual, serbuan ngengat ditangkis dengan rupa-rupa ramuan kimia sampai berbau apak, dengan teknologi supercanggih dijamin aman. Lalu harganya pun diatur sikian rupiah. Lantas, ada ekspor-impor dengan modernisasi perdagangan beras. Semuanya masih bisa dijelaskan. Dengan logika masih pula bisa dijelaskan, jikaun kecilnya subsidi dan merosotnya produksi beras berdampak pada melambungnya harga. Kemudian serbuan hama atau akibat musim kemarau panjang, sehingga mengacaukan pola musim tanam, kebingungan petani memilih varietas yang cocok, naiknya harga pestisida, masih bisa dijelaskan. Apalagi, orientasi petani yang sengaja untuk mencukupi kebutuhan sendiri, karena ulah penadah besar yan dianggap diskriminatif, merugikannya sangat bisa dimaklumi. Justru wajar bila terjadi petani memberdayakan kekuatannya sendiri untuk menyelamatkan keluarganya dengan cara menyimpan beras tidak untuk dijual.
Sebaliknya, yang sulit dijelaskan dengan logika adalah bagaimana sebutir beras yang berpilin-pilin dalam usus dan lambung kemudian menggerakkan otak dan menggetarkan hati kemudian menghasilkan suatu kompromi. Ada distribusi yang terputus-putus sejak dari usus, pembuluh darah hingga jaringan neuron. Entah menyusup ke bagian mana dan menghasilkan suatu yang mirip sebuah pemberontakan, atau revolusi yang di mata Biru Langit sangat mengagetkan, dan itu terjadi pada diri politikus Bintang Sakti saat mengambil nilai sebutir beras baginya, bagi keluarganya dan bagi werewolf-werewolfnya. Apakah dengan demikian telah cukup diwakili ungkapan “sekian puluh juta penduduk negeri ini sama-sama makan beras?” jelas tidak. Harus dicari dan ditemukan detik-detik awal mula revolusi itu terjadi dalam diri politikus Bintang Sakti, yang nyata-nyata mampu menggerakkan pesona keseharian hidu si Bung itu hingga berpuluh-puluh tahun kemudian. Kalaupun ia kemudian berkisah tentang penderitaan, kemiskinan, masa lalu, itu kiranya persoalan lain. Bukti bahwa ia memang punya masa lalu.
Tapi kenyataan bahwa dalam dirinya telah terjadi pemberontakan besar dan arena itu dia menang berkat beras, itu fakta yang jujur harus dikagumi Biru Langit. Sampai kemudian melar dengan berpikir tentang perempuan keempat. Sungguh hal itu adalah kepekaan yang patut diacungi jempol. Tinggal selangkah lagi mengganti beras dengan hal-hal lain untuk menemukan titik pemberontakan lain dalam diri semisal, istana, kedudukan, perempuan dan lain-lain. Sebelum akhirnya juga kekuasaan dan ilmu pengetahuan. Sayangnya, politikus Bintang Sakti ini sosok yang harus selalu dicurigai karena kebiasaannya mendistorsi seperti sebagaimana dilakukan terhadap seni dalam kegiatan politiknya. Ia menganggap politik itu seni dan seni itu bisa dijual untuk politik—sesuatu pengertian yang penuh bisa diterjemahkan ke dalam bahasa yang gampang dicerna, mudah dimengerti dan enteng dipahami. Tampaknya, ia sengaja tak sudi mengurai persoalan yang pelik seperti itu. Ia takut keliru atau disalahkan. Mungkin juga karena ia tahu kesalahannya.
“Ah, yang belakangan ini Biru Langit tak yakin betul. Justru kecurigaannya berkembang, bila politikus Bintang Sakti sanggup mengganti beras itu dengan kekuasaan atau ilmu pengetahuan. Biru Langit kesulitan membayangkan apa bakal terjadi dengan dunia ini. Bolehlah, sampai di sini ia dianggap sebagai orang yang tak peduli dengan tetek mbengek penjelasan dan catatan sejarah. Ia hanya mau berdiri, berlalu sebagai pembuat sejarah, tokoh dan pelaku. Tetapi ketidakkonsistenan telah menghancurkan dirinya sendiri, setidaknya menurut pandanganku. Betapa pentingnya penjelasan dan catatan bagi kehidupan di dunia ini untuk ditinggalkan kepada anak cucu, dibaca kembali, selain agar dimengerti segenerasi. Ia mengabaikan satu hal itu, di sisi lain ia justru memperjuangkan sentimentalisme kebutuhan duniawi dengan beras sebagai contoh konkretnya. Bukankah sesungguhnya justru sejarahlah yang harus membebaskan diri dari urusan-urusan duniawi dengan menciptakan utopia-utopia yang bersifat simbolis. Oleh karena tujuan-tujuan yang konkret telah dimiliki sebelumnya oleh ideology-ideologi? Barangkali politikus Bintang Sakti memang perlu perempuan keempat untuk menjembatani kompromi-kompromi berikutnya akibat ketegangan karena ketidakkonsistenannya sendiri. Atau selebihnya, ia perlu perempuan kelima, keenam dan seterusnya?”
Inilah rupanya penggalan perjalanan hidup Biru Langit paling rumit perihal politik dan perempuan. Betapa ia diam-diam telah masuk ke dalam circle keduanya dan sulit keluar apalagi dengan selamat tanpa cerca. Di satu sisi ia buth penjelasan dan catatan akan hal itu, namun pada kenyataannya ia sama sekali tak memperoleh jawaban. Politikus Bintang Sakti telah sudi dengan leluasa membuka misteri keinginannya untuk bergaul dengan perempuan keempat untuk dijadikan sebagai istri. Perlukah kemudian dikejar agar terbuka kembali, itu perempuan untuk apa, siapa namanya, demi perjuangan ideologi atau utopia, dunia atau akherat atau ia hanya bermaksud menciptakan sebuah tanda bagi kehidupannya saja—semacam status kejantanannya?
Selebihnya perkenalan dengan dokter tentara Letnan Kolonel Marinir Isnaeni yang menyelinap dalam dirinya, justru memperkeruh suasanan batinnya perihal perempuan. Mendadak Biru Langit merasa dirinya sangat ceroboh, rapuh, pencemburu atau rendah diri. Bukan satu satunya alas an karena dokter tentara itu menyelewengkan diri bertindak sebagai dokter pribadi Sulistyorini: Kekasih Biru Langit. Ya, dokter pribadi. Ya, ini alasan yang sebetulnya cukup untuk tidak mengatakan : ini sebuah ancaman. Atau setidaknya karena ternyata si dokter tentara juga sering bertandang di luar waktu sakit Sulistyorini. Sebuah langkah yang sangat arif ketimbang mendoakan agar senantiasa Sulistyorini dijatuhi hukuman sering sakit. Meski sama-sama bukti kekurangajaran manusia yang bisa mencetak biru bahwa sebetulnya setiap manusia itu berpotensi untuk jatuh sakit. Bahkan setiap manusia itu berpenyakit. “Ah, rasanya belum pernah terjadi dalam diri Biru Langit sebelumnya, perasaan bahwa perempuan itu sepenting hari ini,” pikir Biru Langit yang menyelami keasingan dirinya. “Padahal aku belum memasukkan pelbagai pandangan social, politik, budaya, ekonomi, apalagi ideologi di dalamnya. Hah!!”
Selain itu, baru saat inilah dirasakannya dirinya perlu hiburan, meski ia tak bisa memilih untuk jauh dari persoalan. Sebuah artikel tentang perempuan ia baca dan ia dapati tulisannya seperti ini: Seorang wanita jelas berbeda dari pria. Terutama pada anatominya. Tapi wanita juga mempunyai persepsi berbeda terhadap berbagai pengalaman, walaupun seberapa banyak perbedaan itu dilihat dari sikap budaya dan dari perbedaan kelamin, belum nyata benar.
Sebelas
CUACA bulan Juli luar biasa bertambah gerah. Semakin pengap dengan nafas hitam mobil dan kendaraan motor lainnya, seberapapun jauh diterbangkan ke udara atau digiring ke pinggir pantai utara, seperti sia-sia. Kabut awan juga kosong. Tetapi kabut lain bersemayam pada diri Biru Langit bergumpal-gumpal, bahkan ia berjalan seperti sedang menggendong gumpalan kabut atau bila tidur kelihatannya berbantal kabut. Memandang langit yang kosong, dengan pandangan yang terhalang selaput bening matanya, seperti merasai dirinya mengambang di angkasa. Bedanya, kadang-kadang pemandangan itu bia terbingkai dalam jendelanya. Tetapi perasaan bilamana dirinya terombang-ambing, dilempar dan dihempaskan hembusan angina yang pengap tak juga mau pergi dalam dirinya.
Inilah rupanya kabut paling panjang dalam sejarah manusia, tak hancur oleh musim, tak retak oleh zaman. Matahari musim panas, atau bulan musim hujan hanyalah pemandangan yang menghiasi bingkai kehidupannya seperti lukisan-lukisan atau karto pos-kartu pos yang dijual murah. Kabut tetap tak mau pergi, dan bayangan-bayangan di kejauhan makin menggila. Dan di bawah langit, di sebuah kota dengan gedung-gedung kokoh, roda-roda yang beringas, kampong slum kumuh, sisa-sisa pohon hijau sebuah taman yang kering justru mengotori benak Biru Langit. Kesumpekan yang tak jelas tapi nyata di belakang bawah kabut kehidupannya. Ironisnya, diam-diam ia telah menemukan titik simpul dari keresahannya, kegelisahannya hanyalah ada pada diri seorang perempuan—kekasihnya, Sulistyorini. Ia tak bisa mencari jawab semisteri apapun dirinya sebagai manusia bagaimana hal itu terjadi, perempuan melekat kehadirannya di tengah kabut pekat yang menyiksa.
Ya, ia tak bisa mencari jawab seberapa hebatkah dirinya jikapun benar kelak ada pemberontakan dalam dirinya, kalaupun terjadi revolusi segenap pikiran, emosi, jiwanya. Tapi ia akui perubahan itu nyata terjadi dan perbedaan masa lalu dan masa kini memang dating. Hanya saja ia pun harus ragu titik simpul itu bukanlah sebuah kenyataan, melainkan justru suatu misteri. Selanjutnya, Biru Langit mulai merasakan dirinya, kini menjadi sosok yang bukan mustahil tana ia sadari sedang gila misteri. Setidaknya dalam waktu dekat ini belum ada tanda-tanda kabut menyingkir menuju setitik celah langit yang terang. Terhadap persoalan yang menghempas-hempas di atas gelombang kabut seperti ini, seorang profesor bedah plastik pemuja budaya ilmiah yang mengobarkan panji-panji sendiri sekalipun tak bisa membuka jalan. Bahkan terkait dengan pribadi putrid satu-satunya ia pun tak kuasa—atas nama demokrasi, sebagai ganti sementara kata cinta sang professor. Sang profesor tak bisa menjawab pertanyaan Biru Langit mengapa ia percayakan dokter tentara Isnaeni sebagai dokter pribadi putrinya dan bagaimana, sejauh mana hak-hak seorang dokter pribadi bisa masuk dalam pribadi putrinya, lalu bukankah dia tetap seorang dokter bila mengunjungi pasiennya di luar jam diagnosa akibat penyakit yang diderita pasiennya?
“Saya tidak bisa menjawab soal-soal pribadi semacam itu. Bagi professor seperti saya hal itu sudah selesai.”
“Itu artinya anda sedang melakukan eksperimen terhadap putrid anda sendiri, Prof. Tidakkah anda pertimbangkan kemungkinan justru putri anda mengalami gangguan jiwa, kalau dia tidak tahu secara terbuka maksud anda sesungguhnya mengenai dokter tentara itu,” Biru Langit seperti mengobarkan darahnya yang tersirap karena perasaan yagn tak sudi ia ungkapkan dengan jujur.
“Kenapa justru anda yang bingung?” sinisme profesor kumat.
“Karena saya melihat sebuah ancaman, Prof. Dengan begitu, berarti diam-diam anda sedang melenyapkan sebuah kehidupan pribadi, dari ruang dan waktu yang demikian utuhnya.”
“Anda keliru Biru Langit. Anda tidak berbicara dengan lugu. Berbicaralah sesuatu hal yang konkret dan masuk akal. Begini: Sebetulnya saya sedang melakukan koreksi sejarah. Ini yang saya maksudkan dengan pikiran modern. Saya tidak ingin ada kesalahan lagi sejarah Hindu-Aristokrat. Di bawah kekuasaan raja-raja di dalam istana, seluruh rakyat sampai hulubalangnya harus ngesot, menyembah. Rumah tangga di zaman dulu juga harus begitu, panggil tuannya dengan ndoro. Saya dulu dipanggil ndoro karena masuk lingkungan mereka. Ini budaya raja. Bapak di atas, anak-anak di bawahnya. Menurut pikiran modern ini nggak betul. Sekarang mestinya bapak dengan anak bisa guyonan. Seperti ini mau saya, karena ini adalah analog yang menurut saya sebagai budaya ilmiah. Saya piker, walaupun asal muasalnya dari lingkungan perguruan tinggi, science bisa diterapkan di segala lapisan masyarakat di jagad ini. Anak kecil yang belum bersekolah, harus diajari ngomong pakai logika, seperti ini. Jangan biasa diajak pergi ke tempat dukun, tanya hari baik dengn tetek mbengek ilmu astrologi dalil-dalil yang sebetulnya dikembangkan tidak ilmiah. Saya ingin menciptakan iklim seperti ini. Juga dalam keluarga saya. Apakah bahasa saya yang sederhana ini belum bisa ditangkap?”
“Guyonan. Prof? Bagaimana anda memakai kata ini di tengah hiruk pikuk zaman yang makin sulit ditemukan lelucon seeprti ini. Ini zaman sudah demikian kaku. Anda belum menjelaskan sesungguhnya tentang hal ini, dan lagi sejak berhari-hari saya ada di rumah ini, saya belum menjumpai suasana guyonan yang anda gambarkan itu, Prof.”
“Kedengarannya anda tak menangkap esensi dari teori saya. Kalau soal zaman, iklim yang seperti saya gambarkan itu baru bisa terlaksana apabila saya jadi presiden.”
Di mata Biru Langit, sinisme sang professor tiba-tiba berbuah lelucon, meski kemudian kembali disangkal sang professor.
“Huh… kuharap anda tidak sedang membuat lelucon yang merisaukan saya ini, Prof.” Biru Langit tak bisa menolak tawa.
“Oh tidak. Saya serius. Atau setidaknya orang-orang yang seperti sayalah yang pegang kekuasaan, baru iklim ini bisa berubah. Soeharto saja, begitu punya kekuasaan, budaya di negeri ini bisa berubah. Korupsi merajalela. Saya mengikuti zaman Soeharto, juga Soekarno. Dulu negera ini melarat tetapi tak pernah dengar koruptor-koruptor, aksi sogok menyogok. Mungkin kalau pun ada jumlahnya sedikit ya. Saya tahu karena saya mengalami. Zaman Soekarno yang dikobarkan hanya masalah politik dan nasionalisme, bagaimana cinta tanah air. Ya, memang melarat karena nggak ada yang mikir duit. Soeharto, sebaliknya malah mikir perut. Bila Negara ini dipegang oleh orang-orang yang mau memulai dengan idealisme berbudaya ilmiah, sedikit demi sedikit suatu saat akan lebih baik. Apalagi kalau saya atau orang seperti saya yang pegang kuasa ini punya duit, tentu jadinya lebih cepat terjadi perubahan. Saya tinggak suruh orang bekerja mati-matian. Tapi kalau tidak punya kekuasaan, tidak punya uang bagaimana saya bisa suruh orang?”
“Bahasa anda memang terlampau sederhana, Prof. Tapi anda juga berlebih menyederhanakan arti kata budaya, seperti setiap orang itu berbudaya. Tidak, Prof! Budaya itu suatu perjuangan bahkan pemberontakan dengan segenap pikiran, emosi, kekuatan, pengetahuan yang dikerahkan demi kehidupan yang lebih baik di jagad ini. Bahkan tidak hanya berlaku untuk manusia saja, apalagi untuk diri pribadinya. Ya, kata kuncinya adalah pemberontakan dan baik. Dua hal yang sampai detik ini begitu kerap dibunyikan, begitu sering dipersoalkan, begitu gampang disimpulkan, tapi sebetulnya begitu rumit untuk dimengerti. Saya bisa katakana amat berbahaya bila di tangan orang-orang yang ceroboh dan bodoh. Sabaliknya bisa sangat menjerumuskan di tangan orang-orang pintar karena sudah ratusan buku, bahkan ribuan dan masih terus dicoba untuk dirumuskan arti dua kata yang saya sebut tadi: pemberontakan dan kebaikan. Jadi, begitu rumit, Prof dan saya hanya bisa menasehati setiap yang masuk ke dalamnya agar berhati-hati. Karena itu kedengarannya, bila saya tak salah tangkap, anda bukanlah orang yang cocok dengan bukti ucapan terakhir anda yang menyiratkan sebagai orang yang hedonis dan materialis.”
“Ya..ya.. Sampai dengan kata pribadi saya sepakat. Justru yang ingin saya kerjakan ini adalah untuk bangsa, untuk Negara. Untuk pribadi tidak ada. Ini soal politik dan bukan soal pribadi, soal bagaiaman mengurus Negara. Ini yang saya ingin agar didengar dan dimengerti orang banyak dengan gampang. Demi politik, apa yang bisa saya kerjakan sekarang, saya lakukan. Saya ceramah, menulis di Koran-koran untuk menyebarkan pikiran saya. Bukan agar saya kelak menjadi presiden. Tapi saya ingin menanamkan ideologi lain, memang iya. Kalaupun saya berbicara tentang kekuasaan dan duit itu hanyalah ajakan saya agar berbicara lebih realistis. Jadi tidak ada hubungannya dengan segala yang berbau irrasional dan mitos pada diri manusia. Saya sendiri sudah tidak pernah punya rasa kecewa, karena sudah hilang dari hidup saya dan pikiran-pikiran saya. Kalau kamu mau hidup enak di dunia ini, kamu berbuat sebaik-baiknya. Berbekal tanpa rasa kecewa, apapun hasilnya puas. Bila target tak tercapai, bisa dilanjutkan waktu berikutnya. Tidak ada sesuatu yang sia-sia. Ini bukan sesuatu yang murahan, ini prinsip yang benar dan ciri jawaban yang benar.”
Diam-diam mulai ada kesan yang disambar Biru Langit. Meski harus diperas susah sungguh. Barangkali karena otaknya yang telah carut marut, yang tak siap mendengar kesederhanaan kata seorang professor yang ia curigai sebagai penganut hedonis. Mungkin juga karena ia menangkap adanya tak kejujuran di balik kata-kata sederhana sang professor. “Ah, sebegini parahkah keruwetan isi dunia ini dan siapa sebetulnya yang sedang mengalami gangguan jiwa akibat kompleksitas yang menggila ini? Bukankah manusia itu makhluk yang komplek dan tak bisa disederhanakan?” pikir Biru Langit. Sebaliknya, ia menemukan hal luar biasa dalam beberapa kali perjumpaan dengan sang professor. Baru kali ini ia berbicara tentang kebenaran secara berterus terang, meski kiranya boleh dikata itu pertanda kekurangpercayaan dirinya dalam pencarian dan perjuangan sehingga perlu kata bantu. Biru Langit sesungguhnya merindukan bilamana ia bicara tentang kebaikan sebagai penyeimbang dari “ndak apa-apa” nya sang profesor. Sayangnya, kerinduan itu tak pernah kunjung datang. Selebihnya, yang mengejutkan adalah betapa sang professor diam-diam juga bicara tentang perasaan, kendati ia menafikannya sebagai sisi lain dari wajah manusia. Ya, ia bicara tentang perasaan, gairah, nurani, mungkin juga ruh terdalamnya dengan sesuatu yang entah apa namanya dan bagaimana bentuknya. Jawaban sementara yang ditemukan Biru Langit hanyalah: Kata.[]
SEBELAS
SCIENCE, FICTION
Satu
BIRU Langit tidak suka pada tentara. Biru Langit tidak suka pada dokter tentara. Biru Langit tidak suka pada dokter Letnan Kolonel Marinir Isnaeni. Terlebih Karena keterlibatannya dalam lingkaran pribadi Sulistyorini—ruang yang belakangan ini begitu menggelisahkannya. Ruang yang entah sadar maupun tidak dirasainya lama kelamaan dicoba untuk diretakkannya. Tembok-tembok penyekat mulai dihancurkan, tak lain untuk menaklukkan ruang diri untuk selanjutnya dijadikannya menjadi bagian dirinya yang lain. Batas-batas pribadi mulai diperhitungkan sungguh agar dengan gampang bisa diubah wujudnya seperti tirai super tipis.
Atas dasar inilah sesungguhnya satu diantara sederet alasan Biru Langit sudi tinggal satu rumah dengan Puri Wangi, Sulistyorini dan profesor doctor dokter Maryuhan Kurnia. Tapi, mendadak ia merasa dikesampingkan, karena ternyata ada orang lain yang diam-diam masuk ruangannya dan mencoba meretas wilayah pribadi kekasihnya,. Bahkan betapa ia membangun benteng kokoh sebagai dokter pribadinya. Biru Langit merasa terusik dan terganggu hatinya. Bagaimana bila terjadi ruang pribadi Sulistyorini dikoyak moyak dengan senjata dokter tentara, Letnan Kolonel Marinir Isnaeni itu. Tentu, harga diri menjadi hal yang penting dipertaruhkan kemudian.
Kalau benar itu terjadi, maka tak ada bahasa paling rendah selain kurang ajar. Diantara sekian banyak pertanyaan yang menjejali benaknya, terselip wajah Pam. Barangkali begini rupa rasanya ketika Pam gagal mendapatkan hati Sulistyorini karena perempuan itu telanjur jatuh hati pada pemuda Biru Langit yang hingga kini tak ditemukan bekas-bekas alasannya mengapa sampai terjadi demikian. Sepertinya ini adalah masa-masa paling sulit di lalu lintas otak dan hatinya. Seperti jalan raya antara otak dan hatinya berjubel rintangan-rintangan menjenuhkan—bukti dari kegagalannya memperkuat bangunan kokoh idealismenya. Ia merasa runtuh. Dia begitu rapuh tiba-tiba. Ia kembali tak berdaya, sebagaimana kelahiran hingga masa kanak-kanaknya yang penuh derita. Ia kalah. Dikalahkan oleh dentuman masa lalunya yang kembali menyergapnya setelah sekian lama justru membakar jiwanya. Inilah pasang surut hidupnya yang paling runyam, mendekati predikat manusia yang serendah-rendahnya, semurah-murahnya di hadapan makhluk manis yang bernama perempuan. Manusia yang paling rendah adalah manusia yang tidak bisa melihat kekuatan lain selain tangan dan kakinya. Manusia yang tak bisa menjaga dirinya dari kekosongan, dan bahkan tidak tahu menahu bahwa dirinya sebetulnya sedang kosong. Bahwa sebetulnya dirinya tinggal mayat hidup tanpa sepengetahuannya. Dan semurah-murahnya manusia adalah yang dalam dirinya hanya bisa menggerakkan nalarnya, nafsunya untuk membunuh atu membiak. Manusia yang murah yakni manusia yang mengalami kematian yang tragic atas instingnya, gairah hidupnya, ide-idenya karena dengan demikian mereka dihargaimurah, semurah dunia nyata tempatnya berpijak dan perlu pajak ini. Tetapi tidak pernah menikmati keasyikan berada di tengah arus gelombang kebahagiaan sesungguhnya dan kesenangan kegembiraan yang meruah yang sama sekali tak disediakan duni dan tak perlu membayar pajak ini. Betapa bumi ini memang tidak cocok untuk manusia yang menyeretnya pada tempat yang paling hina, di tepian paling jorok dan tanpa perasaan, tidak mengakuinya sebagai pewaris tubuhnya. Anehnya, hampir tak ada yang menepis anggapan bahwa dunia ini memang kejam.
Ya, memang begitulah adanya. Kekejamannya yang paling utama adalah menzalimi manusia dengan menghilangkan instingtive dari kediamannya yang suci. Berikutnya karena bumi menyediakan dirinya menjadi pembela satu-satunya surga terindah bagi manusia. Lalu, apakah arti dari kehadiran mereka ini semua? Apa guna setiap kurun masa dilakukan cacah jiwa oleh badan yang berhak mengklaim ini punya pekerjaan dan ini tidak, ini kaya dan ini miskin, ini punya hutang di bank dan ini tak punya jaminan. Juga ini manusia dan yang ini setengah manusia. Keseimbangan, ya barangkali alasan inilah yang aktual digunakan. Kadang-kadang dibahasalainkan dengan pemerataan. Tetapi sesungguhnya bukankah setiap oranglah yang justru punya hak untuk menentukan keseimbangan dirinya? Karena diri sendirilah yang tahu kediriannya? Bukan malah sebaliknya dilakukan oleh badan-badan yang meniru jasad manusia lengkap dengan kepala dan kaki tangannya itu—suatu lembaga yang sebetulnya lebih mengajari manusia untuk menemukan kegilaannya daripada menunjukkan jalan kebahagiaan di surga di luar bumi ini sebagai makhluk-makhluk angkasa luar yang bergairah, indah dan mempesona.
Ya, keindahanlah yang menjadi harapan dan tujuan semua orang, tapi hanya sedikit yang sudi memikirkan, merenungkan, memburu, apalagi menebarkannya. Kalaupun ada dari sedikit itu, mereka telah salah pikir, salah renung, salah perburuan dan fatalnya mengajak yang lain ke jalan kesesatan sampai ke titik nyaris sebagai bukan manusia, entah apa namanya. Baiklah keseimbangan. Sekarang keseimbanganlah yang membuat Biru Langit beruntung dan selamat. Persoalannya adalah bagaimana tetap berdiri pada titik agar dirinya tak jatuh ke tempat rendah dan murah, apalagi hanya akibat persoalan perempuan macam begini yang kedalam keperempuannya belum sepenuhnya oncat dari wilayah pribadi. Kedengarannya, pengertiannya serupa dengan puasa. Demi keseimbangan mulai sekarang Biru Langit harus berpuasa terhadap hal-hal yang sanggup merendahkannya. Karena dengan demikian seluruh rangkaian peristiwa hidupnya, penderitaannya yang kelam, dendamnya yang membara, pencariannya yang bersahaja, kebingungannya, dosanya, bahkan kesia-siaannya sendiri menjadi bermakna. Keseluruhan rangkaian itu telah menghidupinya seberapa pun terseok-seok langkahnya. Tapi kini dilihatnya dunia begitu sempit bahkan seolah bisa berada dalam genggamannya. Di tangannya itulah terlihat bagaimana dokter tentara Letnan Kolonel Marinir Isnaeni terjepit diantara jari-jarinya. Kasihan deh lho.. Oleh sebab itu demi keseimbangan pula puasa memberi pengertian lain, betapa pentingnya perempuan baginya. Pendeknya tak ada hal sekecil biji pasir pun yang tak bermakna. Apalagi ini sebesar tubuh perempuan Sulistyorini. Apakah ancaman keseimbangan ini musti didiamkan? Kenapa tidak diperjuangkan? Kenapa masih banyak berkata-kata. Tidakkah Biru Langit tidak cukup percaya metafora penyair Sapardi Djoko Damono: aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Ya, inilah pengungkapan, penyingkapan yang dilakukan kata terhadap kedirian Biru Langit. Dan inilah jagad kecil dalam dirinya yang tersusun berkat ketguhan metafora perempuan, per-empu-an. Stop! Ah, mengapa banyak sekali berseliweran otak-otak orang lain yang berebut dalam otak Biru Langit? Adakah dalam dirinya mulai terjangkit penyakit keterasingan?
Ya, saat seperti inilah yang tepat untuk menjaga diri, menahan diri agar tak kehilangan hak miliknya sebagai manusia. Ya, saat ini pula ia temukan arti jaga diri yang sebenar-benarnya. Bila suatu saat seorang berpisah dari kawan,kerabat atau saudara tak ada pesan paling hebat selain ‘jaga dirilah baik-baik’—menjaga diri dari zombie asing yang menggerogoti otaknya, menjaga diri dari serbuan virus penyakin akut yang mematikan dan menjaga diri agar selalu siaga tak sihinggapi ilusi menyesatkan. Justru dari titik inilah ia bisa belajar banyak perihal cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri dan terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan. Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia,sampai dasar yang terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata karena tak sanggup menampung kandungan isinya, tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling kecil dalam kata mungkin semacam molekul, partikel atau gelombang abstrak yang bertukar tempat, silih berganti wujud, tak menarik tanpa henti. Ah, beruntung tampaknya Biru Langit tak sulit merondai pikirannya, dengan menempatkan dirinya pada tirai puisi. Tidak terlalu susah membiarkan otaknya memutar balik pandangan tentang pikirannya dalam semesta.
Ya, semesta telah dirangkumnya dalam suatu gerak pikiran besarnya. Tidak bersusah payah untuk itu berkat kata dalam puisi yang menghadirkan perasaan, instuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan roh hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Sebaliknya ia telah menemukan roh, kesadaran, jiwa, imajinasi, instuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata. Ya, pendek kata ia membabtiskan kata itu seperti manusia juga, seperti partikel seperti gelombang abstrak. Sebab itu meskipun ia tahu begitu banyak, jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, seperti juga manusia Biru Langit tahu bagaimana mereka harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besarnya. Sebab itu pula ia berjanji kelak sebagai pengarang ia akan memperlakukan kata seperti halnya terhadap manusia, begitu sebaliknya aku menghormati manusia seperti halnya angkat topi terhadap kata. Betapa ia tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang, pernyataan dan perkataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menjadi pembunuh berdarah dingin yang menghabisi manusia, seluruh isi semesta, membantai sesame kata dan bahkan membunuh dirinya. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana, kecuali bagi siapa saja yang bersih dan jujur. Demikianlah, sebagai pribadi, sebagai pengarang, sebagai ilmuwan dan sebagai manusia Biru Langit berjanji akan menemukan dan melahirkan kebersihan dan kejujuran kata dalam kepengarangannya kelak.
Kini dorongan kuat dan serangan hebat dalam bagian hidupnya talah cukup menjadi alasan (alasan bukanlah kata yang tepat sesungguhnya) guna menyusun kata-kata menjadi jalinan peristiwa yang benar-benar hidup. Hidup yang sungguh-sungguh hidup, saling ketergantungannya dalam keutuhannya tanpa direcoki oleh ruang dan waktu, apalagi oleh manusia. Pendek kata ia seperti kata yang tak mau mati ide. Ia harus berani mengakui sebagai manusia atau sebagai kata telah lahir cacat oleh pendahulu-pendahulunya. Boleh jadi apa yang dilahirkannya sekarang ini telah lebih dahulu dilahirkan pengarang-pengarang dan karya-karya sebelumnya. Sehebat apapun karyanya, kata-katanya mungkin bukan sesuatu yang benar-benar baru karena orisinalitas di tengah hiruk pikuk zaman juga kian sulit ditemui dan dicari. Tetapi kedadaran kosmis seperti dalam pikiran besar, yang juga dianugerahkan pada kata menjadi esensi dalam kepengarangan. Ya, boleh jadi jauh lebih hebat dari karya sastrawan terdahulu, Steinback, Jose Rizal, Gorky, Tolstoy, Pasternak, Pram, Kundera, apalagi Tahar Ben Jelloun, Naguib Mahfudz, Mishima, Marquez, Borges, Sindhunata. Boleh dikata karya Biru Langit kelak adalah sampah, meski diperlukan orang-orang rendah hati seperti Einstein, Heisenberg, Gustav Jung, meninggalkan Newton, Descartes dan pendahulu-pendahulunya. Namun demikian tekad untuk sadar cukup karya sajalah yang cacat dan bukan dirinya atau setidaknya Biru Langit bisa mengurangi cacat dalam dirinya yang terbawa sejak lahir menjadi lebih berharga. Seharga bagaimana kata juga memandang hal yang sama pada dirinya. Bayangkan, betapa sebuah tragedi besar terjadi, bila ia tak lahirkan karya. Bila kata tak lagi menghidupi semesta. Sudah barang tentu ia bakal cacat sebagai makhluk hidup karena mati ide. Karena itulah dalam diri Biru Langit mengalir semacam pemahaman bahwa ia tak percaya pada karya terbaik. Baginya, sebuah karya yang terbaik hanyalah karya yang belum lahir dan masih ada dalam otak. Ia justru percaya pada karya yang baik yakni yang bergerak dinamia dalam kediaman katanya. Artinya, tidak salah bila Biru Langit menila semua karya itu misterius, tidak mustahil menyimpan muatan buruk, pembodohan, kebohongan dan kejujuran di situ sulit dipertanggunggjawabkan. Kini, ia lebih cepat percaya pada karya yang dibebani setumpuk obsesi, menyimpan keserakahan, kemabukan, aksi tipu-tipu, target, cita-cita, dendam, gejolak dan sebagainya, keinginan popularitas terselubung penulisnya—keseluruhan watak manusia. Tapi kata sendiri belum pernah diperlakukan semulia roh dasarnya. Tak cuma kepada pengarang lain, bahkan kepada karya sendiri pun seharusnya juga dihadapi dengan sikap apriori. Jadi satu-satunya amanah pengarang itu terletak pada kemuliaannya dan kewajibannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karyanya itu sama halnya kreasi tuhan menempatkan roh hidup manusia di semesta ini, seperti halnya partikel dan golombang abstrak lainnya semacam kabut tipis di seluruh jagad. Maafkan, bukanlah maksudnya ini menggambarkan kerja Tuhan dalam wujud manusia, partikel atau gelombang abstrak, melainkan karena tidak ada bahasa yang paling mendekati artinya kecuali demikian. Kesadaran seperti inilah yang sesungguhnya musti ditegakkan, mendekatkan diri pada pekerjaan Tuhan agar senantiasa ikhlas menjalani hidup, ikhlas dengan kreativitasnya, sebagai rohani beterbangan—yang mendekati sang pencipta.
“Andaikata..andaikata Pam masih hidup, masih ada, maksudku masih bisa bersama-sama, dialah yang kuajak merenungkan dan memikirkan serta mendengarkan gagasanku yang demikian rumit ini dan tak perlu aku sendiri seperti ini. Seandainya, karyaku telah lahir, dialah orang pertama yang kuminta membacanya, berdiskusi bersama sambil sesekali menikmati wajah manis perempuan bernama Sulistyorini. Karena dialah mungkin yang bisa memahami jalan pikiranku, perasaanku sambil aku menyindirnya sebagai sosok sang epikuris sebagaimana kecurigaanku selama ini. Ya, kupikir Pam hanyalah laki-laki pemburu kesenangan, bergaul, bekerja, pacaran. Inilah rupanya ketidaksepahamannya sejak sediakala, meski Pam seorang yang cukup menahan diri. Kemiskinan keluarganya membuatnya bekerja dan mencari uang, karena ia ingin hidup, jiwanya nyaman. Ia juga yang mengajariku untuk percaya pada mawar berwarna merah bila merebut hati kekasih dan ternyata gagal—satu-satunya hal yang menjatuhkan hidupnya sendiri, kepalsuannya—dengan membuktikan dirinya menghilang. Hanya saja, satu-satunya yang bisa mematahkan dugaanku adalah surat panjang yang ditujukan kepada ibunya. Bahasanya begitu memukau melukiskan besar cintanya terhadap ibunya yang tak tertandingi. Seolah ia mengatakan ruang dan waktu tak mampu meretas kasih sayangnya. Ah, seandainya kelak ia membaca karyaku, mungkin ia takkan terlalu banyak mengajukan pertanyaan. Atau seandainya ia kini mendengar uraian-uraianku, ia akan tahu bahwa sekalipun seorang Einstein akan balik bertanya ternyata banyak yang tidak ia tahu tentang alam semesta tentang dunia batin manusia, pengalaman religius, yang sangat mempribadi seperti halnya kasih sayang terhadap ibunya.”
“Tidak kusangka, Pam begitu berartinya bagimu Biru Langit. Mungkin jauh lebih berarti dibandingkan diriku. Bahkan sekalipun ia telah tak diketahui rimbanya,” tukas Sulistyorini.
“Jangan salah sangka. Engkau pun tak kalah pentingnya bagiku. Yang sangat menusuk perasaanku puncaknya adalah, aku tak pernah sanggup mencintai ibuku dengan penuh kasih sayang, sebentuk kasih sayang Pam. Sementara berartinya engkau bagiku karena mampu membuka cakrawala, pesona hidupku dari sisi yang lain. Percayalah, tak ada satu titik pun di semesta ini yan tak kuanggap penting. Kahadiranmu bagiku mempertajam mata batin tanpa aku harus menundukkan kamu menjadi bagian hidupku, seperti juga kepada Pam tak pernah terlintas diantara kami untuk saling menaklukkan, bahkan kita jadi saling tahu bagaimana dan dimana saling menempatkan diri. Inilah sebetulnya prinsip dari persahabatan dan oleh sebab itu aku harus percaya padanya, kepergiannya yang tak meninggalkan bekas adalah pilihannya yang segar sekaligus bukti bahwa dia memang tak boleh menaklukkan engkau Sulistyorini. Sebab itu jangan katakan kasih sayangku padamu telah mengakhiri persahabatan kita. Bukan. Aku mengutuk kata-kata Albert Camus yang seperti pernah kau dengar dalam pentas Caligula, bahwa cinta adalah segala-galanya, mencintaiku berarti siap mati untukku, demi cintaku padamu engkau harus mati di tanganku.”
“Sudahlah, Biru Langit. Istirahatlah, hari sudah malam. Bila kau lanjutkan ceritamu perutku akan semaki mual, sayang.”
“Oya? Aku justru terinspirasi untuk mengajakmu makan malam.”
“Ah, dengan senang hati. Asal kau tak ceritakan padaku tentang darah. Kau tahu itu bukan karena aku pobhia pada darah. Tapi darah menghunjamku pada masa silam yang kelam.”
“Sudahlah, bila kau lanjutkan kisahmu aku bisa muncrat… Eh, maksudku muntah.”
“Sialan kamu!”
Sejoli itu meluncur ke sebuah rumah makan di bawah jembatan stasiun Gubeng. Mereka memesan nasi goring dan pecel lele. Sialnya, nasi goring pertama kecampur bangkai kecoak, dan musti diganti dengan nasi goring kedua. Ini pengalaman pertama terjadi pada diri Sulistyorini. Akhirnya, makan malam berlalu dengan kecoak yang terbawa pulang di benak mereka.
Dua
ISTANA besar Profesor Doktor Dokter Maryuhan Kurnia sedang pulas tertidur. Mendadak suatu sore dikagetkan derum mobil menerobos pintu gerbang, menuju halaman di sayap istana. Suara, warna, derumnya, jelas dokter tentara Isnaeni pemiliknya. Bila benar, tentu ini suatu malapetaka: Ia datang pada saat Sulistyorini tidak sedang jatuh sakit, dan profesor belum kembali dari ruang prakteknya di Jalan Jawa. Atau barangkali masih berkantor di Karangmenjangan. Artinya, Sulistyorinilah yang harus menjadi korban dipenjarakan di rumahnya, istananya sendiri menjadi sebuah makhluk hidup yang menahan dokter tentara itu dari kepergiannya.
Benar. Dokter tentara itu kini telah berdiri di mulut pintu. Sebuah ironi terjadi sebab permaisuri Puri Wangi jadi petugas pembuka pintu dan tamu langsung mengutarakan maksudnya, hendak bertemu Sulistyorini. Wajah Sulistyorini pucat seperti tak berdarah, gerakannya ragu-ragu, meski kecantikan seorang putrid terpancar dari istananya, wewangian dan kosmetiknya, kelihatannya tak mampu menutupi jiwanya yang terpenjara. Nyala pandangnya lain, kelembutannya berubah ketegangan.
“Dokter tak perlu mengkuatirkan kesehatan saya, kalau tak ingin membuang-buang waktu. Saya bisa jaga diri,” ketidaksabaran Sulistyorini tak bisa dibendung.
“Tapi sebagai dokter pribadi, saya berhak tahu perkembangan dan keadaan kesehatan anda nona manis. Seluruh catatan medis anda ada pada saya, beberapa tahun terakhir ini. Jadi saya sedikit banyak telah tahu siapa dan bagaimana anda, termasuk mengapa kamu berkata sinis seperti itu Sulistyorini,” dokter itu berusaha menaklukkan sang putri.
“Jujur saja harus kuakui, dok. Setiap kali anda datang kemari, kepalaku jadi pusing. Saya bisa jatuh sakit beneran dan itu artinya andalah sumber penyakit saya.”
Dokter Isnaeni tertawa karena melihat kelucuan sekaligus merasakan serangan dan ia pantang menyerah. “Kamu seperti anak kecil Sulistyorini, tapi juga seperti kebanyakan orang di sini mereka tak suka berurusan dengan dokter. Kalau bayi takut disuntik, orang dewasa jantungnya berdebar, tekanan darah berpacu keras, keringat mengucur deras, ujung-ujungnya mereka tak mau minum obat. Aku juga belum pernah menyuntikmu bukan?”
Tak disangka lelucon dokter Isnaeni membakar emosi Sulistyorini. Kesannya telah tercapai puncak kemuakannya, setidaknya dari kata-kata seperti ini: “Dokter sialan. Lelucon anda ini menurut saya sudah suatu kekurangajaran. Jadi omongan dokter sama sekali sudah tidak benar dan bukti anda tidak tahu siapa dan bagaimana saya. Saya kira anda juga tidak tahu tentang perempuan. Ini malapetaka bagi anda, dokter. Kasiha sekali perempuan-perempuan yang memilih dekat dengan anda, Dok.”
Tentu tak tahu dirilah setiap laki-laki yang tak terpukul oleh kalimat tajam dan panjang seperti rentetan bunyi senapan. Meski dirinya tak merasa dilemparkan ke tempat yang serendah-rendahnya, dokter itu tercenung untuk mengatakan sesuatu yang sama sekali baru, memulai sesuatu yang baru. “Sulistyorini, sebagai dokter aku tidak perlu mendoakanmu jatuh sakit untuk agar bisa bertemu denganmu, bukan? Akan tetapi sebagai manusia dewasa engkau sedang sakit dan perlu obat seperti halnya terjadi padaku. Jangan pungkiri itu nona manis.”
“Tidak. Kamulah yang sebenarnya sakit. Dan tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakitmu, dokter.”
“Begitu?”
“Ya, seperti itu.”
“Siapa yang mengajarimu berpikir demikian filosofis? Biru Langitkah? Si mahasiswa indekos sepanjang zaman itu?”
“Dokter tak perlu turut campur kehidupan pribadiku. Terus terang, saya jadi curiga mengapa papa memilih anda sebagai dokter pribadi. Saya kenal betul dengan papa, yang tidak mau diganggu kepribadiannya. Saya curiga ini hanyalah rekayasa anda saja agar bisa dekat dengan saya dan papa.”
“Syukurlah anda sudah mengerti, nona manis. Tak perlu aku menjelaskan panjang lebar. Sekarang bagaimana?”
“Bagaimana apanya? Ya, kalau papa tahu dan mau, ia bisa mempersulit karir anda dokter.”
“Baiklah, kau tak perlu lagi panggil aku dokter. Panggil aku Isnaeni saja. Katakan bila berjumpa Biru Langit aku ingin berkenalan dengannya. Bila ia butuh pekerjaan, datanglah di kantor saya, di belakang lapangan Dharmawangsa. Kudengar ia pengarang karena itu dia bisa Bantu usaha penerbitan di sana. Katakan jangan belajar jadi penganggur dan manusia indekos sepanjang masa.”
Sulistyorini melangkah undur dari tempat duduknya. Sekarang ia tak cuma merasa pusing di kepalanya. Perutnya mual dan isinya serasa mau ambrol saja. Badannya panas dingin, dan denyut jantungnya makin kuat memompa darahnya. Semenjak hari itu Sulistyorini benar-benar jatuh sakit. Satu-satunya hal paling luar biasa ia lakukan adalah ia menolak minum obat, sejenis analgesic dan anti peratik pereda rasa sakit penurun panas yang diberikan dokter Isnaeni. Aspirin-parasetamol menumpuk busuk.
Tiga
BERIKUT ini adalah perjumpaan paling mengharukan antara dua perempuan, Sulistyorini dan ibundanya Puri Wangi, terkait dengan kondisi sakit putrinya itu. Karena ini pertemuan mendalam antara dua orang insan perempuan, apalagi seorang ibu dengan putrinya, Biru Langit tentu tak memahami sungguh perasaan-perasaan mereka. Biru Langit hanya bisa merangkumnya, mendengar dan menafsirkan dari cerita ibu Puri Wangi. Kurang lebih seperti ini:
Penyakit Sulistyorini bukanlah penyakit fisik yang akut apalagi berpotensi untuk kambuh dalam waktu menahun. Sementara, rasa sakit yang menyerang tubuhnya sebagai akibat dari gangguan psikis, mungkin karena terkejut atau terlalu capek menghabiskan tenaga. Bahkan dirinya sempat menanyakan apakah dirinya belakangan ini berbuat sesuatu yang mengecewakan putrinya. Dan dijawab oleh Biru Langit, hal itu tak pernah ia lakukan karena memang dirinya tidak berhak itu atas diri Biru Langit. Meski demikian, dengan tenang Puri Wangi mengakui hal itu adalah sesuatu yang biasa terjadi pada seorang wanita—sesuatu yang jelas tak terpahami Biru Langit. Inilah kesulitan lain dari usaha mengerti perasaan Sulistyorini dan ibu Puri Wangi dalam sakitnya. Tak lain karena kemiskinan bahasa ibu Puri Wangi yang terkesan pasrah dan tak banyak bicara seperti dalam kesehariannya.
Sekali pun sebagai ibu, Puri Wangi tampaknya tak leluasa memberikan nasehat. Terlebih menyangkut satu pengalaman kelam Sulistyorini yang tak pernah terjadi pada diri Puri Wangi, hilang kegadisannya secara paksa (ini bahasa yang secara sadar digunakan Biru Langit dengan penuh kehati-hatian). Maka yang terjadilah menangis menjadi hiburannya. Setiap kali ibu Puri Wangi sampai di kamar, justru menambah tangis keduanya. Sebab itu, Sulistyorini memilih untuk sendiri. Nyatalah bahwa pilihan kesendiriannya dari ibu Puri Wangi adalah persoalan perempuan. Dan yang terpenting, sang ibu tak sanggup menyembuhkan. Naluri seorang ibu Puri Wangi sesungguhnya bisa membuka sebuah jalan bagi Sulistyorini dengan berbicara banyak, mengobral kata dan perasaan terutama soal perjalanan hitam putrinya. Sayang hal itu tak ia lakukan. Menangis menjadi jawaban ketidaktahuannya mengapa keduanya terpilih sebagai perempuan. Dan tangis itu terbawa hingga di luar pintu kamar. Dan sang ibu tahu kesendirian putrinya adalah suatu bahaya besar. Ia minta Biru Langit untuk mengisi hari-hari putrinya: Orang yang sebetulnya tidak tepat bila harus menggantikan peran membocorkan lebih banyak perjalanan hitam Sulistyorini yang menyerupai kutukan itu. Ya, sekalipun laki-laki, Biru Langit tak sampai hati dan tak cukup punya nyali untuk itu. Seperti suatu dunia yang tak terjangkau.
Begitulah betapa sulit melukiskan perasaan, pikiran, jiwa dan isi hati dari perjumpaan dua perempuan ini. Betapa habis dan luluh lantak seluruh yang dimiliki Biru Langit berhadapan dengan soal keperawanan macam begini. Kendati samara-samar soal lobang (maafkan Biru Langit karena ini satu-satunya cara membangkitkan kembali jiwa yang luluh lantak), ia lebih cepat memahami bacaan terakhirnya soal lubang hitam dari buku-buku yang ditulis fisikawan caliber dunia Steppen W Hawking. Satu-satunya yang dipahami dari Puri Wangi adalah permintaannya agar Sulistyorini diajak kembali ke arena Ice Skeating atau mendengarkan musik—hobi yang telah lama ia tinggalkan.
Empat
BELUM pernah Biru Langit melihat kondisi Sulistyorini sebaik ini. Tubuhnya tenggelam dalam selimut berombak yang berpilin-pilin. Selimut berenda itu menenggelamkan piyama tidurnya yang bening, dengan warna-warni yang berontak. Kelihatan tubuh Sulistyorini makin menipus dengan geraian rambut dan raut wajahnya beralaskan bantal. Lalu tali piyamanya sebesar lidi aren melekat di kedua pundaknya, ia tahu Biru Langit mendekatinya. Ia tak kaget, terganggu atau risih kendati tubuhnya berbau apek keringat dan arus mulutnya.
Semula Biru Langit ragu-ragu saat menyeka dahi Sulistyorini. Ia pun menyempatkan menyingkap sebagian gerai rambut kekasihnya. Berikutnya, di periksanya denyut nadinya di pergelangan tangan. Selanjutnya tidak tanggung menggenggam telapak tangan kekasihnya itu. Ya, ia memang sedang dalam keadaan tidak sehat. Denyut jantungnya tak stabil, tubuhnya panas tapi perasaannya menggigil. Keringatnya enggan berderai.
“Kenapa tak pernah kau ceritakan padaku kamu suka musik, Sulistyorini?” Biru Langit membuka bicara, dengan mata jatuh di atas tumpukan kaset dan tape recorder, dan tentu saja buku-buku. “Ya, kita memang hidup tidak terlepas dari musik, bahkan dalam kesenyapan pun ada musik. Ya, musik bisa membuat hidup kita jauh lebih hidup dari hidup, dinamikanya, loncatan partiturnya, kelembutannya, bisa menggetarkan batin kita. Atau bahkan melemparkan kita jauh ke sebuah dunia yang tak pernah kita kenal sebelumnya. Tanpa musik mungkin jiwa kita kering, seperti juga tanpa puisi. Sebab itu puisi pun juga menyimpan musik. Mungkin karena jiwamu sedang kekeringan saja sehingga engkau seperti ini, Sulistyorini.”
“Kamu sungguh kejam Biru Langit. Dalam keadaan seperti ini, kamu paksa aku mendengarkan uraian filsafatmu yang kasar. Eh, bungkuslah dengan cerita biar aku bisa enteng mendengarnya dan kamu tinggal lama di sini,” Sulistyorini sambil menarik ke atas tubuhnya dan menyandarkan punggungnya pada bantal. Sekarang hamper separuh tubuhnya yang dibebat piyama licin itu menyeruak.
Luar biasa girang Biru Langit mendengar ungkapan Sulistyorini dan luar biasa senang tak lagi menjumpai tubuh kekasihnya itu tenggelam. Seperti nyala lilin yang kembali berkobar, dengan hempasan arus udara dari bibir-bibir mungil. Nyala lilin yang bersitahan. Di atas tempat tidur ia juga seperti kapal yang tegar dari hantaman gelombang selimut kusut. Matanya mulai berbinar, dan Biru Langit menatap hingga ke ruang dalam dan menemukan dirinya di sana. “Ah, Sulistyorini, mustinya kau yang ceritakan padaku dan banyak bercerita agar kau temukan kembali api yang tersimpan dalam sekam. Ayolah, mungkin itu akan membuat arterimu rileks atau justru meregang dan mendorong keringatmu bercucuran. Ceritakan, kau menyukai Queen, Beatles, Koes Plus, ada Kitaro, Sirkus Barock, ah kau punya Kado Muhammad juga rupanya. Pilihlah mana yang kau suka dan kubantu memutarkannya.”
“Tidak usah. Aku suka ceritamu. Itu musik bagiku.”
Lagi, Biru Langit melambung sekaligus siksaan buatnya. Sebetulnya ia memutar otak agar Sulistyorini mengungkap banyak hal yang menyebabkan ia menderita dan jatuh sakit sebagai akibatnya. Barangkali ia dihantui oleh perasaan berdosanya, atau mungkin perasaan sakit dan dihina. Demi kekasihnya, ia telah siap mendengar kisah sekalipun paling hitam dari jagad kelam.
Ya, ia telah siap sesiap-siapnya. Bila itu terjadi dari bibir Sulistyorini sendiri, itu artinya ujia berat bagi Biru Langit hidup matinya, sebagaimana seorang ibu yang melahirkan anak-anaknya. Ya, sebuah perjuangan, pergulatan di seberang pintu dua ruangan. Ya, bila itu terjadi hal itu adalah titik dari waktunya untuk membolak-balik hati meski dengan perasaan getir. Begitulah ia cukup percaya pada kata-kata Carl Gustav Jung bahwa pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realistis. Ya, inilah sikap terbuka membocorkan diri atas sisi gelapnya. Ini memang sebuah siksaan, tapi Biru Langit yakin sebagai sebagai jalan pencerahan kendati pun bukan suatu penebusan dosa. Bahkan dosa menjadi kata yang pengertiannya amat susah dirumuskan.
Kiranya, sekaranglah saat yang tepat, sebuah kesempatan untuk mencari jawab, bahwa nilai seorang manusia bukan terletak pada masa lalunya, tetapi terletak pada bagaimana ia bisa menghitung sisa umurnya itu kelak bukanlah hal yang sia-sia. Hanya sedikit saja rupanya tetapi membutuhkan pengorbanan besar, sekalipun itu sesungguhnya tidak cukup berguna bagi orang lain. Ialah berbicara dan berbicara tentang ketakutannya sendiri, juga kepada dirinya sendiri. Dahulu ketika Biru Langit masih kanak-kanak, bila ibunya tahu si anak histeris mendengar raungan belasan pesawat terbang, si ibu malah memaksanya menantang derum pesawat itu pada keesokan harinya. Hasilnya seperti sekarang. Lantas, apa guna orang lain dalam hal ini apa guna Biru Langit bagi kekasihnya Sulistyorini? Bukankah sebetulnya bisa ia kerjakan sekalipun tanpa Biru Langit, menjadi semacam monolog begitu? Sepertinya, orang lain di sini mendapatkan pengertiannya yang baru. Jarak menjadi berubah, mendekat atau memantul. Atau bahkan telah tiada jarak diantara keduanya. Yang ada menjadi tiada. Sebaliknya yang tiada justru bisa dihadirkan keberadaannya.
Ah, lama-kelamaan keadaan ini memang menyiksa, menjadi suatu keanehan karena tanpa memberikan aba-aba, mendadak di antara keduanya terjangkit semacam penyakit mashokis—saling menyiksa diri. Betapa tidak, keduanya saling melempar minta cerita, dan cerita pun menjadi bulan-bulanan karena bernasib sial. Kasihan, sejak berapa lama menjadi korban, Bung?
“Hei… cerita saya itu seperti sound scape, jadi kacau dan hangar binger. Tidak cocok buat kamu, Sulistyorini.”
“Aku tidak peduli. Pokoknya bicaralah sepanjang apa pun aku tekun mendengarnya,” Sulistyorini merajuk, sambil melempar selimut ke sisi ranjang hingga lengkaplah sudah pemandangan, tidak ada gelombang apalagi laut. Yang ada hanya seorang perempuan di atas ranjang dengan piyama terang benderang. “Ayolah, apa saja sayang.”
Sayang Sulistyorini kembali meluruhkan Biru Langit. Seolah ia dijatuhkan dari tempat yang tinggi, kemudian dilambungkan lagi. Tak pernah ia merasa diperlakukan sedemikian hebatnya di tempat yang begitu dahsyatnya: di kamar dan tepian ranjang. Sementara ia belum juga menemukan bahan cerita. Atau mungkin karena ini bulan Agustus sehingga begitu sulit mendapatkan ide cerita. Apa hubungannya? Bisa jadi karena negeri ini sedang berpesta dengan lampu-lampu penjor di jalan raya, gedung-gedung dan pesta sesungguhnya justru menghilangkan sisi gelap sebuah perjalanan. Padahal ide itu terselip dalam gudang saat berada dalam kegelapan, sementara obsesi Biru Langit membuka kata agar ide-ide beterbangan dan Sulistyorini sudi membedah dirinya dan mengudal kepedihannya. Sungguk sebuah siksaan. Ia menyesali mengapa negeri ini berpesta di bulan yang telah demikian penuh siksaan, di tepi ranjang.
“Baiklah, asalkan kau mau berjanji untukku, Sulistyorini?”
“Apa itu?”
“Ya, menceritakan padaku satu cerita saja agar menahanku lebih lama di kamar ini.”
“Oya? Dengan senang hati.”
Lalu mulailah Biru Langit mengarang dengan sangat bersusah payah—kehidupan lain dia yang sangat menggelisahkan. “Suatu pagi mendung tebal menutup sepanjang jalan yang meliuk di sebuah kota. Jadi awan gelap dan pengap.” Meski belum menemukan bahan, tampaknya ia girang menemukan idiom yang tepat untuk Sulistyorini. Entah mengapa iangatannya jatuh pada masa kanak-kanak yang menggoda perempuan gila semasa di kampung dan itulah kali pertama ia diperlihatkan suatu benda yang sangat aneh: vagina dengan belantara hutannya, dari seorang perempuan gila.
“Terus, kok berhenti Biru Langit?” Sulistyorini menyela.
“Ya, segerombolan bocah tanpa hirau suasana asyik menggoda sebentuk tubuh perempuan muda, entah sebut saja namanya Merdeka.”
Sulistyorini cekikikan dan mulai mempertontonkan kemanjaannya. “Kok Merdeka?”
“Sudah jangan protes saja.”
“Lalu kenapa perempuan?” Sulistyorini menggugat.
“Hus! Pertanyaan itu mustinya diajukan kepada Tuhan. Bukan kepada tukang cerita, jelas?”
“Lho, kok..”
“Sudah jangan omong lagi. Kapan aku ceritanya?”
“Kok membawa-bawa nama Tuhan?”
“Lho, tukang cerita itu kan Tuhan kecil. Sudah ya, aku keburu lupa ini.”
“Siapa nama perempuan tadi?”
“Merdeka! Bagaimana sih?”
“Nggak.. Aku hanya menggoda. Terus..terus.”
“Ya, bocah-bocah itu terus menggoda dan bahkan menemukan nyanyian-nyanyiannya. Merdeka..merdeka..Hiduplah Indone… Huek..hueekkk…. Tiba-tiba anak-anak itu batuk. Lalu cekikikan, lantas tertawa ngakak dengan memamerkan bibirnya yang terkadang persis ikan gurami. Merdeka tidak peduli. Ia terus berjalan dengan melenggak-lenggokkan tubuhnya. Dia justru berjoget dan balik menggoda sesekali mempertontonkan goyangannya dan juga tubuhnya. (Biru Langit mensensor bagian ini karena tidak sampai hati). Perempuan itu juga balik bernyanyi dengan syair-syair yang asal kena. Tapi mendung itu juga yang menutup raut muka seorang perempuan lain, ibunya yang terus mengejar Merdeka dan membuntutinya.”
“Perempuan lagi?” kembali Sulistyorini protes.
“Iyalah. Ibu itu musti perempuan,” jawaban yang tak bermakna.
“Terus?”
“Si ibu itu sontak menghentikan Merdeka. Lalu ibu itu berkata: Tidakkah kamu kasihan pada ibumu, Nak? Kamu tidak menyayangi ibumu, Merdeka? Perempuan tua yang baru belakangan sering dipanggil Ibu Pertiwi itu mulai terisak. Kemudian pecahlah tangisnya. Setelah menatap hampa sorot mata ibunya, Merdeka tahu itu isak tangis yang datang dari jiwa ibunya. Seorang ibu yang setiap saat begitu mudah menyentuh nuraninya, sekalipun pada kesempatan yang tak setiap orang bisa menyentuhnya—semacam kondisi kegilaan. Mengelus-elus rambutnya yang tumbuh liar seperti belantara. Dibujuknya anaknya pulang, sampai suaranya terdengar menghiba: Pulanglah, Nak. Tapi mendung tebal dan kabut itu telanjur menutupi wajah Merdeka. Ini yang menyebabkan hatinya tak mudah dibentuk setelah bertahun-tahun lamanya jiwanya berontak. Kini nyaris mencapai anti klimak, karena itu hanya padangan matanya yang menerawang jauh-jauh sekali. Bahkan tak berbatas.”
Sulistyorini tekun mengikuti. Sepertinya ia terharu. Atau mungkin tersiksa. Terlihat dari keseriusannya. Bahkan untuk menggerakkan tubuh saja ia tak kuasa. Begitulah, Sulistyorini mulai hanyut dalam cerita.
“Perempuan Merdeka itu terusik,” lanjut Biru Langit. “Ia berontak dan berkata: Mengapa Merdeka harus pulang ibu? Merdeka tak lagi punya rumah. Begitulah perempuan itu mengungkapkan segala gejolak jiwanya dengan bahasa yang hanya bisa dipahami kedua makhluk perempuan itu. Ketahuilah ibu, katanya, rumah tempat kita berkumpul dan bercanda dulu telah hilang. Mata Merdeka sudah tak bisa melihat bunga-bunga yang pernah tumbuh di halaman kita. Juga hijaunya daun yang membuat kita damai. Sekarang semua telah menjadi rumah baru yang hanya memamerkan topeng-topeng di setiap dindingnya. Tak ada celah untuk kita bernafas. Sampai membuat Merdeka sesak nafas dan sakit, Ibu. Sakit! Sakit! Merdeka benar-benar sakit berada di rumah itu, Ibu. Begitulah ia terus meronta. Lalu kecemasan Merdeka begitu memuncak manakala ibu itu menyebut satu-satunya tokoh laki-laki dalam cerita ini.”
“Laki-laki? Siapa dia dan apa katanya?” Sulistyorini terpancing dan ada keingintahuan berikut kecurigaannya yang dalam.
“Laki-laki itu adalah bapaknya. Bapakmu mencemaskanmu Merdeka, begitu kata ibunya. Tak disangka kebencian Merdeka pada laki-laki bapaknya itu menghebat. Bapak? Begitu sergahnya. Bukan! Dia bukan bapak dan tak pantas menjadi seorang bapak, Ibu. Mendadak ibunya terhenyak. Merdeka! Bagaimana kamu bicara seperti itu. Merdeka pun tak kalah tersinggung dan berkata…Ibu! Saya ingatkan jangan teriak panggil namaku selantang itu. Sudah tidak ada artinya, Ibu!”
“Huh, dasar calon politisi,” Sulistyorini menyela.
“Tidak. Aku tak ingin jadi politisi. Aku ingin jadi filosof,” Biru Langit sekadar menghentikan cerita, tak menyadari betul apa yang dibicarakannya.
“Lanjut…”
“Begitu cantiknya perempuan itu.”
“Yang mana?”
“Kau Sulistyorini.”
“Huh! Gombal!”
“…Begitulah di mata Merdeka, laki-laki bapaknya hanyalah pembuat topeng. Tangannya selalu belepotan cat untuk topeng-topeng itu. Entah sudah berapa topeng yang dia selesaikan. Tapi agaknya dia belum juga puas. Padahal semua ruangan telah bertopeng. Ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dapur, wc, halaman rumah, bahkan potret-potret di dinding telah digantinya dengan topeng. Kepada ibunya, Merdeka menyakinkan, hanya kita berdua yang tersisa ibu. Ia tertunduk. Bukan menangis. Justru airmatanya sudah tak cukup diajak untuk bisa mempertontonkan tangis. Saat itulah dengan penuh kasih sayang digandengnya tangan Merdeka dan dibimbingnya berjalan. Sebuah pemandangan sebentuk kenangan masa kecil Merdeka dan Ibu Pertiwi. Sayang sekali matahari tak menyaksikan adegan ini, Sulistyorini.”
“Lho kenapa?”
“Kan hari masih mendung. Jadi matanya tertutup awan hitam dan terhalang gerimis tipis.”
“Oh ya..ya.. Terus..”
“Kedua perempuan itu, Merdeka dan Ibu Pertiwi pulang. Sesampai di muka pekarangan, Merdeka tak mau lagi bergerak melihat pagar pintu, simbol-simbol rumah dan kayu rapuh dan batunya keropos nyaris runtuh. Merdeka memandang ibunya, ada yang berkecamuk dalam batinnya. Mendadak, matanya berkilat-kilat marah saat mendapati seorang laki-laki tua berbaju putih polos keluar rumah. Lelaki itu menghampiri, memandangnya dengan seulas senyum yang sulit dimengerti. Tangan lelaki itu hendak memeluknya, tgapi segera ditepis dengan kasar oleh Merdeka. Dada Merdeka turun naik menahan marah. Tanpa diduga tangan Merdeka terangkat hendak menampar wajah di hadapannya. Namun tangan kokoh laki-laki itu lebih dulu memegangnya kuat-kuat. Merdeka berontak ingin melepaskan diri. Dengan kasar lelaki itu menyeretnya ke dalam rumah. Tatapan sendu perempuan tua menyaksikan kejadian itu dan sesekali mengusap sudut matanya. Lagi, Ibu Pertiwi menangis…”
Kontan, Biru Langit harus cepat menghentikan ceritanya. Ia mendapati justru Sulistyorini yang tak kuasa menahan airmatanya. Makin deras menggenangi pelupuknya dan akhirnya tumpah. Tangis pun pecah. Biru Langit bisa menduga, kekerasan dan laki-laki yang menyebabkan ia tak kuat. Tapi ia telah bangun benteng, setidaknya bukankah peristiwa seperti ini yang dikehendaki Biru Langit? Lagi, keduanya kini sedang bertanya melawan perasaannya. Bagi Sulistyorini, setidaknya menurut pandangan Biru Langit, airmata yang tumpah di raut wajahnya, telah membuatnya lebih segar. Sebaliknya, bagi Biru Langit, ini adalah tangis paling aneh yang ia rasakan dari kekasihnya, di tempat yang amat memikat: tempat tidur. Pertanyaan antara yang rekayasa dan alami dari hati yang paling dalam. Antara keinginannya menjadi sosok yang menyerupai peran seorang psikolog dengan laki-laki keji penebar derita.
“Kenapa kamu yang menangis Sulistyorini?” Biru Langit pura-pura tak tahu, dan berlagak malaikat tanpa dosa.
“Nggak apa-apa. Aku masih kuat. Lanjutkan ceritamu, aku menyukainya.”
“Sampai di mana tadi?”
“Ibu Pertiwi menangis,” Sulistyorini membersihkan airmatanya.
“Ya, maafkan…”
“Nggak apa-apa. Kamu tak bersalah, sayang.”
“Maksudku Ibu Pertiwi yang minta maaf pada Merdeka.”
“Oh, sorry,” Sulistyorini kecele. “Apa katanya?”
“Ibu Pertiwi minta maaf lantaran tak bisa mencegah suaminya agar berhenti membuat topeng yang sudah jadi bagian hidupnya. Katanya: Maafkan ibu, Nak. Ibu tahu kamu tak menyukainya, tapi karena apa? Jelaskan Merdeka. Jangan berdiam diri begitu. Tidakkah kamu malu dikatakan edan? Berkata demikian Ibu Pertiwi terus mengusap matanya yang basah. Demikianlah, ini bukan kehendakku, Sulistyorini, betapa episode ini bagian paling menjengkelkan karena penuh dengan permintaan maaf. Betapa Merdeka pun juga minta maaf pada Ibu Pertiwi. Katanya: Maafkan Merdeka, Ibu. Merdeka tidak bermaksdu membuatmu sedih. Jangan menangis, Ibu. Airmata ibu terlalu mahal untuk membayar semua topeng itu. Anehnya, setelah saling minta maaf, kedua perempuan itu justru terkesan saling cek-cok, Sulistyorini.”
“Bertengkar, maksudnya?”
“Kurang lebih seperti itu. Yang jelas terjadi ketegangan.”
Dan Biru Langit menceritakannya seperti ini:
“Jangan diam saja Merdeka! Bicaralah sesuatu.”
“Tidak, Ibu. Sebenarnya Merdeka tidak pernah bisa diam. Di rumah ini justru ibu yang selalu diam. Kenapa ibu? Kenapa ibu tidak pernah protes melihat semua tingkah laku laki-laki itu? Apakah ibu sudah dipaksa mengenakan topeng buatannya sehingga muka ibu sendiri tak berhak berbicara? Merdeka memang tidak mengerti tentang hidup. Tetapi apakah setia harus diwujudkan dengan cara seperti itu? Tidak ibu. Merdeka tidak rela membiarkan lelaki itu memperlakukan ibu dengan seenaknya. Ibu, Merdeka tahu bagaimana muka lelaki itu sebenarnya. Merdeka pernah memergoki lelaki itu melepas topeng yang selalu dikenakannya, dengan dibantu beberapa wanita muda. Di sana, Ibu. Di tempat yang seharusnya hanya menjadi milik ibu dan lelaki itu. Betapa mengerikan mukanya, Ibu. Hitam dan penuh bopeng. Merdeka jijik melihatnya. Muka itu semakin mengerikan ketika lelaki itu tahu Merdeka memergokinya, mencurangi kejujuran, keiklasan, dan kebijakan pengetahuan ibu. Dia lalu memaksa Merdeka memakai salah satu topeng buatannya, agar Merdeka tidak menceritakan kejadian itu pada ibu. Merdeka tidak mau, sebab Merdeka sudah berjanji akan menghentikan perbuatannya. Akan kulakukan apa saja yang bisa kulakukan. Jika perlu amuk! Ibu, apakah Merdeka anak yang durhaka jika mengatakan bahwa laki-laki itu tidak pantas menjadi suami ibu, juga tak pantas menjadi bapak Merdeka?”
Naluri perempuan tua itu membuat dirinya tanpa sadar terus menggoyang-goyang tubuh Merdeka. Biar pun dia tanpa berkata-kata...
“Merdeka tidak akan membiarkan semua itu terus terjadi. Ini sudah menjadi keinginan Merdeka. Tapi ternyata, Merdeka tidak cukup kuat untuk menaklukkan kenyataan. Zaman sudah edan dan laki-laki itu telah ikut edan. Apakah salah jika Merdeka membalas dengan cara edan-edanan? Dengan memakai topeng Merdeka sendiri? Ibu, apakah ada perbedaan, Merdeka waras ataukah edan-edanan? Keduanya sama-sama membuat Merdeka malu. Dengan seperti ini, paling tidak, bukan hanya Merdeka yang merasakan malu, tetapi lelaki itu juga. Bukankah begitu, Ibu?”
Ibu Pertiwi memamerkan kediamannya.
Sulistyorini juga diam.
“Bukankah begitu Ibu Sulistyorini?”
Ia diam dan makin sibuk dengan dirinya sendiri.
“Haloo….”
Masih hidup.
Biru Langit tinggal menyelesaikan bagian akhir ceritanya:
“Merdeka! Merdeka! Bangun, Nak. Bangun!”
Perempuan Ibu Pertiwi terus memanggil nama Merdeka. Beberapa tetangga membantu. Namun Merdeka tetap diam di tempat. Tubuhnya tidak bergerak. Selebihnya Merdeka hanya bisa mendengar tangis perempuan ibunya yang semakin lama semakin surut tapi justru kian menyayat. Di sebelahnya, lampu ublik di ruangan semakin kehilangan cahayanya. Sampai akhirnya padam.
Hari itu, pagi-pagi sekali di jalanan tampak beriringan beberapa orang laki-laki mengusung keranda. Di belakangnya seorang perempuan tua menjerit-jerit memanggil anaknya. Perempuan tua itu hanya bisa memandangi orang-orang dari kejauhan. Kadang-kadang dia memaksakan dirinya tersenyum, biarpun kakinya terasa perih dan berdarah karena menginjak topeng-topeng entah milik siapa. Merdeka terus saja berbicara dengan bahasa yang hanya dipahami ibunya. Biar pun suaranya makin tak terdengar.
Hari itu pagi-pagi sekali, telah dikuburkan dengan upacara sangat sederhana, entah sesosok manusia ataukah sebingkai topeng. Yang jelas namanya Merdeka. Angin berhembus kencang, meruntuhkan symbol-simbol rumah di atas pagar halaman. Terjerembab ke tanah, pecah terinjak…
“Hmm..inilah kebiasaanmu yang murahan itu Biru Langit. Kau seringkali membunuh tokoh-tokoh ceritamu.”
“Karena kupikir itu lebih baik untuk mengakhiri penderitaannya,” ia cukup hati-hati berucap yang ini. “Ya, karena pengarang itu punya kuasa.”
“Kenapa tak kau suruh bunuh diri saja tokohmu itu?”
Ah, kekhawatiran Biru Langit pun terjawab sungguh—Sulistyorini berpikir tentang bunuh diri. Suatu kondisi yang sangat absurd, yang melukiskan keluasan diri sekaligus kerendahan, yang menggambarkan keberanian tapi kekonyolannya, yang mempertontonkan kebebasan tapi juga penderitaan paling kelam. Juga memamerkan jalan menuju batas ruang waktunya, tapi sebetulnya juga telah menemukan jalan buntu masa depannya. Satu-satunya pengertian yang gampaing diterima dengan satu kata ialah, bunuh diri itu memang situasi yang amat fantastik, dan karena itu mamang hanya boleh terjadi dalam fiksi.
Ia katakan, memang sebuah fiksi banyak yang menempuh jalan fantastik dari tangan tukang ceritanya, pengarangnya dengan lkuk-liku pikiran absurditas seperti disebutkan di atas. Dan itu artinya, Sulistyorini mampu menangkap bagaimana sebetulnya tokoh sesungguhnya dalam fiksi adalah sang tukang cerita sendiri yang sanggup dengan kuasa kreatifnya membunuh dirinya. Bahkan bila mau, si tukang cerita menjelaskan kepada tokoh-tokohnya bahwa seluruh umat manusia di dunia ini termasuk dirinya dalam tokoh itu telah menjalani prosesi upacara bunuh diri missal, meskipun secara perlahan-lahan, apabila dalam diri manusia terus-menerus digerogoti dan kehilangan bagian demi bagian. Ya, kehilangan ruh kemanusiaannya yang ditandai dengan kian keroposnya jasadnya. Sebaliknya, di situlah tampaknya sumber malapetaka bagi Sulistyorini, betapa ia pahami bunuh diri itu berarti darah dan tali gantungan di benaknya. Semoga tidak terjadi demikian.
“Lalu, kenapa kamu pikir justru Merdeka itu tokoh manusia dengan darah dan dagingnya, Sulistyorini?”
“Karena aku menemukan diriku dalam tokoh buatanmu itu. Bukankah perempuan itu aku, Biru Langit?”
Biru Langit tegang. Pikirannya kacau dengan tokoh-tokohnya sendiri. Ia telah dibuyarkan imajinasinya, yang sama sekali tak diingatnya kembali hanya dalam hitungan sekian detik. Sementara Sulistyorini terus menuntut dan merasa justru dirinya yang sebenarnya adalah tokoh buatan Biru Langit. Sementara Sulistyorini yang sekarang bukanlah apa-apa. Makhluk hidup pun bukan. Ia telah mati dan dia sendiri menangisi kematiannya. Ya, satu-satunya pekerjaan yang besar ia lakukan selain tekun mendengarkan tukang cerita, adalah menangis. Ia merasa sangat kesepian di dalam kematiannya. Ia merasa sangat sunyi, di balik isak tangisnya. Ia merasa bukan apa-apa selain kekosongan dan ruang hampa. Pendek kata, ia lebih percaya pada kuasa tukang cerita ketimbang kepada yang menjaga dan memberinya lentara hidup. Ketegangan otak dan kekacauan berpikir Biru Langit mengakibatkan timbul niatnya untuk membelokkan ceritanya. Ia mulai sibuk menyusun rekayasa tokoh-tokohnya.
“Kamu keliru Sulistyorini. Kamu tidak ke mana-mana dan tetap di sini di sampingku. Justru tokoh ceritaku ini tukang cerita dengan salah seorang putrinya. Kamu masih harus mendengar bagian paling akhir kisah ini, sayang.”
Lalu, disusunlah rekayasa peristiwa yang ia sendiri takut tak berisi dan tanpa kesan. Seperti ini:
Ruangan itu sempit dan pengap. Cahaya matahari hanya bisa menerobos masuk lewat celah-celah kecil yang ada di dinding itu. Di sudut ruangan hanya ada lampu minyaki yang apinya mulai redup. Di sampingnya, sesosok tubuh meringkuk lemah dengan kepala terkulai. Matanya tertutup.
Kriettt!!
Pintu dibuka dari luar. Seorang lelaki tua tukang cerita masuk ke kamar putrinya. Dia segera memadamkan lampu. Ruangan menjadi remang-remang.
“Bapak, jangan dimatikan lampu itu. Biarkan saja tetap menyala. Tolong, bapak. Biarkan lampu itu tetap menyala.”
Lelaki tua tukang cerita itu menoleh.
“Kamu sudah bangun, Merdeka? Ini sudah lewat tengah hari. Bapak matikan lampunya, ya?”
“Merdeka? Siapa Merdeka?”
Tukang cerita itu kaget dan tanpa sadar kembali menyalakan lampu dihadapannya.
“Kenapa panggil aku Merdeka? Aku ..(Biru Langit nyaris menembakkan nama Sulistyorini)..Aku Marsinah!”
“Bapak bawakan jajan ini untukmu, Merdek…k, Sul…Eh, Marsinah!”
Putri tukang cerita itu tak bergerak. Hanya matanya saja yang memandang ke arah bapaknya. Tukang cerita itu menunduk. Ada sesuatu yang dipikirkannya dan ditambatkan di lantai tanah.
“Ceritakan kepadaku tentang dongeng kancil, ande-ande lumut, putri salju atau apa saja, Bapak.”
“Sudah, jangan lagi rewel!”
Dia tak punya bahan untuk diceritakan. Sayang ia, tukang cerita yang bodoh. Bila sedikit pintar barangkali ia akan menempuh jalan seperti dilakukan Yasunari Kawabata: Bunuh diri. Lagi, ketakutan Biru Langit kembali terjadi. Sulistyorini tak tunjukkan simpati. Ia masih juga kosong. Akhir cerita yang sia-sia rupanya.
Lima
“SEKARANG giliranmu, Sulistyorini.”
Mendadak ia merasa ditampar. Dalam keadaan seperti ini, ia sama sekali tak punya rencana, cerita bahkan ilusi. Kata-kata pun begitu miskinnya ditelan kekuatan dahsyat yang menekan perasaannya. Dari sedikit kata-kata itu, Sulistyorini tak menaruh kepercayaan membawa tubuhnya ke ruang fiksi, apalagi sampai menyentuh ke dasar jiwanya. Lalu kepada siapa ia berserah diri? Entahlah. Ia belum bergerak dari suatu titik. Tampaknya, ia perlu sepotong rayuan yang tak perlu ia tahu kesungguhannya, bualan atau sekadar tipu muslihat—kekuatan kata.
“Aku tak bisa. Sungguh tak punya cerita.”
“Ayolah, katakana apa yang terlintas dalam pikiran dan perasaanmu. Apa saja, segalanya bermakna bagiku,” desakan, bujur rayu Biru Langit terus ditembakkan. “Bicaralah betapapun pedih itu.”
“Emosiku sedang labil, dan aku merasa tertekan. Mungkin aku sudah benar-benar capai dan butuh waktu istirahat. Aku sadari karena aku terlalu memaksakan diri dan berharap banyak dari sesuatu yang belum jelas. Aku terlalu ambisius untuk mewujudkan mimpi dan cita-citaku dulu, dan aku lupa akan seberapa kuat kemampuanku, serta dukungan yang sebenarnya aku harapkan tapi tidak kuperoleh,” tuturnya tidak dengan cukup percaya diri.
Tidak jelas apakah kalimatnya yang berputar-putar itu terpahami betul oleh Biru Langit. Terkadang timbul kesan, dalam hal ini Biru Langit dilibatkan ke dalam perasaannya yang pelik, sebagaimana ungkapnya. Belum pernah selama ini perempuan itu didengarnya bicara tentang cita-cita, harapan, apalagi ambisi kecuali soal hubungan persahabatannya, percintaannya yang belum terungkap lengkap.
“Selesaikan kalimatmu, sayang.”
“Aku punya cita-cita untuk memutus lingkaran masa laluku yang membuatku terseret-seret. Aku tak ingin larut dalam masalah-masalah masa lalu dan menjadi korban suatu keadaan. Ini keinginanku, otakku yang berbicara. Tapi perasaanku belum bisa. Kenyataannya, aku telah ditempatkan sebagai korban, sekaligus harus menanggung akbiat dari masa lalu. Apakah, engkau bisa merasakannya dengan melihat keadaanku sekarang? Mungkin tidak. Sebab engkau selalu berusaha positive thinking menghadapi sesuatu. Itu pikiranmu. Sebaliknya, perasaanmu bisa jadi berkata lain. Kau masih dengar ceritaku Biru Langit?”
“Tentu saja.”
“Jujur saja ingin kukatakan padamu,” Sulistyorini begitu ragu-ragu, terkesan dari bicaranya yang patah-patah. Tekanan perasaannya menyebabkan isak tangisnya kembali mencuat. “Satu hal yang membuatku bingung, sedih, dan menyiksa diriku adalah ketidaktahuanku perihal sikapmu sebenarnya terhadap keperawanan.”
Biru Langit tertegun bukan lantaran kilatan pisau lidah Sulistyorini. Tapi karena ia ingin biarkan tumbuh dalam diri perempuan itu seonggok nafsunya bertutur kata. Seberapa pun besar kediamannya, meniup-niupkan hawa ke dalam nalurinya untuk mengobral kata, penyesalan, ketakutan bahkan merajuk sekalipun.
“Aku telah mencium arah bicaramu,” Biru Langit dingin.
“Aku takut sekali Biru Langit. Aku bimbang. Terpikir olehku aku belum cukup waktu sampai menyimpulkan keperawanan bukan hal terpenting bagimu yang tertimbun oleh perasaan entah cinta, iba, lupa waktu atau entah oleh apa. Namun di bagian lain otakku, terpikir bagimu takkan pernah memberi ampun padaku.”
Hebatnya, Sulistyorini tengah mencoba bicara dengan pikirannya, bukan dengan emosinya. Kendati dua kalimatnya terkesan sebuah permohonan ketimbang suatu pilihan. Lalu dimana perasaannya saat berbicara? Ternyata ia tambatkan pada isak tangis dan airmatanya yang kian deras.
Lantas, tak mau disebut makhluk paling kejam menyaksikan seluruh penderitaan itu, cepat Biru Langit menangkap pundak Sulistyorini dan mengunci bibirnya dengan jari telunjuknya.
“Engkau jangan meremehkan daya intelektualitasku, Sulistyorini. Aku bisa tersinggung,” ia ucapkan ini persis meminjam kata Al Pacino dalam film God Father.
Dalam waktu sepersekian detik, dengan gerakan yang tak terhitung dalam ruang dan waktu pemandangan berubah menjadi pelukan yang kuat dan erat. Tangis pun bagi Sulistyorini dirasakannya sangat berbeda artinya. Lalu, lukisan gelombang dan ombak memecah di atas sprei dan selimut tersusun kembali akibat gerakan kaki yang lupa terkendali.
“Teruskan kalimatmu, sayang. Kau berbicara bukan pada orang yang salah,” dibisikkannya suara hampir menyentuh cuping telinganya.
“Aku telah menjalani hari yang melelahkan. Aku capai ketika aku mulai instropeksi diri, aku malah menjadi takut. Jangan-jangan selama ini perasaanku, pikiranku, keinginanku, hatiku dan tindakanku yang semuanya kutujukan untuk rasa cinta dan keinginan hidup denganmu hanya ada membeku di pikiranku. Apakah selama ini aku sakit? Ya, dengan merenung, diam, aku telah asyik dengan pikiranku sendiri. Apa yang kurencanakan telah kulakukan, tapi itu semua hanya terjadi dalam pikiranku. Bila tidak, mengapa aku masih terbaring lemah seperti ini? Ketahuilah, Biru Langit, rasa cinta dan kasih sayangku padamu seperti semakin tak bisa kutahan. Sampai aku nekad mengambil kesimpulan: Tak ada yang lebih penting bagiku selain siap di sampingmu dan mendampingimu sepanjang waktu.”
Biru Langit dingin. Bukan karena keringat Sulistyorini yang tak ragu menyusup ke lubang pori-pori lelaki yang erat mendekapnya. Namun bombardier kata yang tak biasa ia dengar dari seorang wanita, ternyata membuatnya mengambil sikap menunggu. Ia menunggu sudah tuntaskah jalinan kisahnya.
“Belum,” katanya. “Justru aku belum sampaikan padamu cerita yang sesungguhnya. Ini masih semacam pengantar. Karena aku perlu ucapkan janji terlebih dulu. Janjiku menunjukkan kepadamu bahwa aku mencintaimu dan harus selalu melayanimu. Selama ini kamulah yang selalu berkorban untukku. Sekaranglah saat bagiku untuk membuktikan sebaliknya betapa aku mencintaimu. Aku akan memberimu kejutan-kejutan. Sekarang kamu siap dengan ceritaku sesungguhnya?”
“Ya, kenapa tidak? Dengan senang hati Sulistyorini.”
“Sekarang peluk aku kuat-kuat dan cium aku selembut mungkin,” perintahnya.
Biru Langit menuruti perintahnya dan Sulistyorini pun menyusun kata demi kata di tubuh kekasihnya di tengah gelombang samudera ranjang memecahkan ombak-ombak sprei dan selimut. Sejenak terjadi pertarungan memperebutkan nahkoda atau imam cinta. Piyama tipis nyaris tembus pandang yang gemilang ibarat kertas bagi Biru Langit. Demikian pula hangat tubuh Biru Langit yang menanti serupa lading imajinasi bagi Sulistyorini. Ya, sebuah awal keduanya menyusun fiksi yang telah menjadi haknya. Pelukan dua sejoli itu yang menguat dan ciuman yang mendarat di pipi dan bibirnya yang menghangat sebagai tanda berawalnya perjuangan eksistensi diri dalam fiksi ini yaitu saling menyadari kontek kahadirannya, dan menguji kata dengan bahasa tubuhnya.
“Sayang,” desah Sulistyorini masih dengan cucuran airmata yang panas karena bertaruh dan berebut makna antara keikhlasan dan gairah menguji kata-katanya sendiri, inilah barangkali bagian dari kekurangajaran ungkapan, di satu sisi menyerahkan diri dimaknai tapi di sisi lain justru sibuk diri mencari makna. “Inilah cerita yang kujanjikan dan jujur saja ini yang bisa kususun dengan sungguh-sungguh, seikhlas-ikhlasnya, seindah-indahnya sebab hanya engkau yang bisa menembus keindahan yang kutawarkan.”
“Kasih, belum pernah kutemui fiksi yang luar biasa seperti ini, sebab ini adalah pengalaman terbaru sepanjang kehadiranku di semesta ini. Betapa aku merasa menemukan keutuhanku kembali kelengkapanku yang sedang menuju sempurna berkat keindahan yang kau tawarkan. Andai kau tahu perasaanku sekarang, tubuhku ini seperti hendak raib karena hanyut oleh arus deras dan gelombang gairahmu yang menggelegar. Ya, tubuhku hilang dan aku lupa telah memilikinya. Ya, lupa. Inilah lupa diriku paling dahsyat yang menjangkiti aku dan belum pernah terjadi sebelumnya membelakangi ingatan kesadaranku sehebat ini, Sulistyorini. Aku telah hilang bentuk, remuk. Menjelma gelora api dalam tubuhmu yang segar berair.”
“Oh, andai kau juga tahu perasaanku, Biru Langit,” perlahan-lahan isak tangis Sulistyorini mencapai puncaknya ledakannya berwujud erangan dan igauan, sebelum akhirnya jatuh dan tenggelam ke dalam desah dan dengus nafasnya tidak karuan. Ya, tidak karuan seirama dengan usapan bibir Biru Langit dan sentuhan jari-jari serta, himpitan tubuhnya mendarat seluruh permukaan k ulit kuning langsat Sulistyorini. Ya, menjelajahi segala penjuru wilayah serupa peta, seperti kanvas kosong, atau seperti kertas putih yang tipis dan rindu akan kata, darah atau warna. Cahaya kemilau yang memancar dari payudaranya menusuk ruang terdalam mata Biru Langit dan membutakannya (seolah) dan sesudahnya ruangan kamar, ranjang dengan dinding-dinding kokoh seperti samudera tak bertempi yang berputar-putar menuju satu pusaran yang paling dalam dan belum pernah terjangkau jangkar Biru Langit sebelumnya. Waktu juga menghilang entah kemana. Entah bagaimana urutan peristiwanya segalanya mengental, mengumpul dari samudera ke bukit, dari bukit ke ngarai dari ngarai ke danau dari danau ke hutan belantara atau sumur tanpa dasar sebut sajalah spiritual black hole. Demikian halnya, Sulistyorini ia benar-benar telah klendran di bagian mana ia taruh dirinya pada kekasihnya, ia telah abai kapan terakhir kali sosot mata tajamnya ditambatkan pada pantai gairah Biru Langit, sebelum akhirnya Sulistyorini tak tahu dimana tepi-tepinya sendiri. Hisapan demi hisapan membawa sejoli itu seperti tengah bertukar tempat, berganti posisi saling mengenalkan diri, bahkan saling memiliki, sekalipun itu tak mungkin, kendati pun itu mustahil. Inilah ketegangan yang mengasyikkan. Ya, suatu fantasi yang benar-benar nyata. Belum pernah terjadi di luar dirinya suatu ketegangan yang mengasyikkan. Begitu asyiknya, sejoli itu rintihnya terdengar seperti sebuah cengkerama. Gerakan-gerakan tubuhnya yang setengah telanjang dalam kesatuannya seperti tarian kanak-kanak yang murni. Lalu tutur lembut katanya mengisyaratkan kejujurannya, menjadi musik yang menambah kenikmatannya. Seolah-olah bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk diterbangkan ke angkasa dilayangkan ke udara. Begitu seterusnya di langit, jatuh lagi, dilemparkan lagi, jatuh lagi, sampai tak ada batas birahi dan gairan cinta mati yang tak pernah habis-habisnya.
Sedikit dari darah yang mengalirkan jemari tangan Biru Langit ia gunakan menyingkap helai rambut kekasihnya yang menutupi wajahnya. Agar padang yang maha luas jendela kecantikan jiwanya itu tak terhalang, keringant atau seperti titik titik oase di padang tandus tak bertepi. Sebagian besar arus darahnya mengalir ke wilayah paling rahasia dari tubuh, wilayah paling subur dan wilayah paling mengundang pesona wisata ruh cinta di mulut gua garba dengan lorong terdalam menuju hati serta darah yang mengental di pulau bertanjung yang sejak zaman baheula disebut lingga yang padat. Tapi benarkah itu wilayah paling rahasia? Lalu apa artinya sebuah rahasia di dalam ketelanjangan yang demikian bersahaja?—ketelanjangan yang menyingkap derita dan juga bahagia? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terus mengemuka sepanjang penyerahan dirinya kepada kuasa birahi dan cinta, sepanjang permainan agung yang berbuah orgasme. Ya diiringi desah kuat dan erangan hebat yang melepas segala beban derita dan bahagia, ke udara, persetubuhan sejoli itu melayangkan kenikmatannya yang maha dahsyat ke ruang paling dalam di dasar hati, sekaligus ke udara paling bebas di bumi ini, bahkan ke langit di seluruh semesta. Segala pertanyaan itu pun terjawab hingga detil paling muskil.
Mata Sulistyorini berlinang basah airmata. Barangkali menangis, tapi barangkali juga karena melepas beban dari kebutaannya. Tangis tipis yang mistis. Sementara Biru Langit menyanyikan puji dan ampunan pada Tuhan.
Biru Langit dan Sulistyorini yang masih merapat saling mengangkat wajahnya. Tangannya samara-samar terulur dan membersihkan wajah kekasihnya dari carut-marut helai rambutnya. Kini mulai menangkap padang kosong itu disirami titik-titik air danau keringatnya. Ya, kanvas kosong itu kini telah diisi lukisan warna. Kertas putih pun disesaki kata-kata. Mereka terbangun dari fiksi dan kembali ke alam nyata.
“Sulistyorini,” ungkapnya dalam keintiman yang belum terlepas. “Bagaimana kau bisa menuliskan kisah sehebat ini? Percayalah aku akan merindukan fiksi-fiksimu berikutnya.”
“Oh, Biru Langit kekasihku. Ceritaku yang ini memang tak kan pernah berakhir, sayang. Demi cintaku padamu, aku tentu tak pernah bisa mengakhirinya.”
“Tak terbatas?”
“Ya, tak terbatas.”
Sesudah keintiman terlepas dan menyisakan putih susu yang menyehatkan, ditambah sedikit vitamin ciuman lembut di ujung bibir Sulistyorini, sebuah keajaiban terjadi: Perempuan itu terbebas dari derita sakitnya, ia sembuh dari demamnya.
Enam
TAMPAKNYA sampailah kini pada bagian yang paling menjemukan untuk dijalani, didengarkan dan diceritakan. Setidaknya itu bias terlihat dari catatan-catatan Biru Langit yang tercecer dan tak tersusun rapi. Dirasanya waktu begitu lama berlalu, justru pada saat derap jantungnya menghendaki berlari cepat. Kalimat-kalimat begitu mahal di saat semestinya, dirinya harus banyak mengobral kata, ungkapan dan ucapan. Karena itu dirasanya, hari-hari demikian Bengal dan tidak seperti biasa memperlakukannya seperti ini.
Ya, ia merasakan sesuatu yang baru terjadi dalam dirinya. Inilah yang kedengarannya, sedikit banyak mampu menghibur kejemuannya atas dunia luar. Kesegaran menghirup udara cukup membuatnya menemukan alasan, bahwa seberapapun kejenuhan tetap harus dikemukakan demi keseimbangan dan tentu saja demi keadilannya sendiri menjalani hidup. Betapa ia tak boleh, tak biasa dan tak bisa memilih. Segalanya tersedia apa adanya dan ia menjadi bagian di dalamnya sekalipun seringkali ketlingsut di tempat yang sangat terjepit. Seperti surat yang tertimbun kertas-kertas bekas dan bungkus karton.
Pada saat demikian, Biru Langit mencari-cari kuasanya sendiri yang ia dapati bersamaan dirinya yang menghilang. Di luar, memang dirinya tak memiliki kekuasaaan. Tapi di dalam, ia terus mencoba bertanding dengan berbekal kenekadannya, menghitung ada dalam dirinya. Di luar, ia merasai juga seperti dirinya, menghitung keberadaannya sendiri, ketiadapedulian dan bahkan berbicara tentang diri mereka sendiri juga kepada dirinya sendiri. Fatalnya, mengapa perasaan itu muncul di saat dirinya kehilangan kekuasaan dan diperlihatkan di diapan matanya bahwa memang ia tak punya kuasa? Boleh jadi inilah zaman paling buruk tentang keterasingan manusia akibat serbuan materi seperti disebut kaum Marxis dan Erich Fromm. Akan tetapi bukan itu betul yang menggelisahkan Biru Langit, karena memang dirinya tidak sedang bicara materi dan keterasingan.
Ia berbicara pada satu keadaan yang sama sekali lebih berbahaya dari seluruh bahaya manusia yakni kecenderungannya bermonolog, kesukaannya berbicara sendiri tentang dirinya sendiri dan kepada dirinya sendiri. Ya, suatu keadaan berbahasa yang sama sekali tak punya arti. Ya,ya.. karena Biru Langit ingin mencatat dunia dalam manusia yang kerontang, meski sekadar mengusir kejemuannya pada hari-hari. Tapi sekaligus ia juga ingin mengungkap betapa di antara jiwa-jiwa manusia yang kerontang itu ada yang paling mengalami nestapa dan itu menyedihkan bila tak segera ia mengetahuinya lalu segera bangkit membenahi dirinya. Mungkinkah, karena perasaan senasib dan sepenanggungannya dalam perjalanan bangsa yang bertahun-tahun didera akibat masa kelam, penderitaan, tekanan dan kepahitan, secara langsung juga turut membentuk tradisi dalam arti lebih suka diceritai daripada menjadi pencerita yang analitis. Atau lebih suka jadi pendengar atau pendongeng saja?
Ya, boleh jadi deraan nasib dalam zaman gelap seperti ini dengan kata lain turut menumbuhsuburkan monolog. Buktinya, berapa banyak penulis yang begitu dahsyat apabila menceritakan tentang penderitaan itu sendiri, meski tanpa suatu analisis tertulis dari disiplin keilmuan yang dalam. Tentu saja, ini adalah dua jurang terdalam yang harus dihindari Biru Langit, “zaman gelap,” dan “keterasingan.” Lalu bagaimana bisa ia berjuang keras keluar dari situasi yang membelitnya ini? Lantas seberapa kuat dirinya menahan serbuan orang-orang yang tiada menyadari dirinya menggunakan kekuasaannya tak lebih hanya untuk dirinya sendiri, tentang dirinya sendiri dan terus-menerus mencari arti dari bahasanya sendiri pula itu?
Tujuh
TAK seorang pun menyangka, Biru Langit harus memutuskan keluar dari kelompok diskusi aktivis-aktivis kiri di kampusnya Universitas Airlangga. Banyak yang menyayangkan, tapi tidak sedikit pula yang mengamini. Kendatialas an sebenarnya tak pernah diungkap, apalagi dalam suasana diskusi yang sudah barangtentu bakal menuai bentuk sentimentalisme seorang aktivis. Tiadanya informasi yang jelas ternyata justru menyudutkannya. Ia keluar dituding karena alas an dirinya disibukkan dengan urusan-urusan perempuan. Bila hendak lebih kritis sebetulnya alas an yang sama sekali bukan salah.
Ya, memang dalam waktu belakangan Sulistyorini menjadi titik simpul paling penting dari perjalanan Biru Langit. Begitu pentingnya hingga dirinya seperti digerakkan oleh aura kekasihnya itu sampai pada titik sulitnya mencari jati dirinya pun ia alamai. Bahkan hingga pada wilayah paling gersang yang sebelumnya tak pernah dirasa Biru Langit: cemburu dan curiga. Ah, tapi biarlah agar cerita ini urut, untuk sementara kutangguhkan soal yang satu ini.
Alasan sesungguhnya, Biru Langit (dan tentu saja mengajak serta Sulistyorini) keluar dari kelompok diskusi kiri, lantaran ia sudah tak lagi menemukan kegairahan akan kegelisahan intelektual yang terbuka (alasan yang membedakan pernyatan dokter tentara Kolonel marinir Isnaeni). Diskusi-diskusi tak menelorkan konsep wacana yang sampai pada menggali ruh terdalam sisi manusia. Seolah-olah manusia ini hidup dalam penyederhanaan kiri dan kanan, dalamnya persyaratan yang sangat berat dan mustahil terjadi dalam suasana kewajaran manusia. Pendeknya suatu utopia yang justru menumbuhsuburkan ilusi-ilusi yang telah mendarah daging sebelumnya yakni sebuah masyarakat sosialis.
Kegandrungannya pada teori-teori Marxis, Mao Tje Tung, New Left, Tan Malaka yang menuju aksi revolusioner tak sempat digodog dalam laboratorium intelektual menuju gagasan baru semisal membandingkan dengan gagasan Hasan Al Banna, Iqbal, Arkaun, Mahatma Gandhi, Ali Syariati, dan sederet nama lain menjadikan diskusi-diskusi itu kering—sesuatu yang sama sekali tak perlu terjadi dalam petualangan segar seorang manusia macam Biru Langit. Dan lagi, keberaniannya mengungkap bahwa sebetulnya cikal bakal dari komunisme yang diagung-agungkan mereka itu adalah terdapat dalam jiwa kebudayaan Isalam telah mematahkan diskusi-diskusi dan menutup pergaulan diantara mereka. Ya, seperti keasingan berbincang perihal factor X sebagai spiritualitas di hadapan mereka.
Lagi, bila itu terjadi, itu artinya Biru Langit sekaligus juga harus meniadakan arti Pam dalam ketiadaannya. Itu yang barangkali juga sedang bergulat menaklukkan impian-impiannya, idealisme-idealismenya sendiri, sambil mengucap “selamat jalan di persimpangan semoga sampai tujuan.” Dengan demikian dirinya bisa leluasa berpikir tentang kedamiana, tidak dalam jangka waktu mendatang, tapi bias ia mulai saat sekarang.
Demikianlah, mula-mula ia tanpa pikir panjang memutuskan hubungannya dengan kelompok diskusi kiri kendati meninggalkan desas-desus. Selanjutnya, terpikir olehnya masuk pergaulan lain dengan bergabung kelompok Aksi Budaya Bermain pimpinan Ipong. Dengan cepat ia akrab dalam lingkaran pergaulan penyair, seniman dan wartawan. Meski di lain kesempatan juga makin akrab dengan politikus Bintang Sakti, si yang mbahurekso kawasan Balai Pemuda itu. Salah satu yang mengakrabkan mereka biasanya dengan masakan, roti mariam di kawasan Ngampel bila sedang menyempatkan berziarah ke makam Sunan Ampel di belakang masjid kawasan itu. Kendati dalam hati, mulai timbul kecurigaan ada latar gelakang yang gelap tentang kebiasaan ini. Sampailah juga tumbuh kecemburuan terkait maksud terselubung politikus Bintang Sakti, di balaki kebiasaannya yang mereguk air sudci di masjid Ampel sampai kembung . Diam –diam politikus Bintang Sakti jatuh hati pada Sulistyorinin tentu saja itu dibarengi dengan keinginannya mempersuntingnya menjadi istri keempat—suatu keinginan yang sungguh memalukan di mata Biru Langit. Tak cuma memalukan, tapi juga memuakkan. Keinginan yang tidak bisa ia sembunyikan dari sorot matanya dan bicaranya yang berbusa-busa.
Pada saat demikian biasanya Politikus Bintang Sakti sibuk dengan dirinya sendiri terutama dalam hal mempertontonkan kekuasaannya, uang dan juga kekayaannya. Ah, suatu pemandangan yang sudah sangat biasa tetapi masih juga terjadi dan fatalnya itu melibatkan Biru Langit dalam lingkaran persoaln yang memualkan perutnya ini. Karena itu tercatat sudah, hanya Biru Langit yang tahu benar mengapa banyak lelaki jatuh hati pada kekasihnya dan bermaksud untuk memiliki—keinginan dari banyak cara memperlihatkan kejantanannya. Sebaliknya Biru Langit pria yang menaklukkan wanita dengan percintaannya. Ya, memang Sulistyorini tak boleh lepas darinya dan semenjak itu tak seorang pun menyangka, bahkan dirinya sendiri bahwa telah terjadi perubahan pada diri Biru Langit. Ia harus punya keinginan spontan untuk segera mengawini Sulistyorini—sesuatu yang tak pernah terbayang sebelumnya dalam waktu secepat ini, bahkan untuk bicara saja seperti saat ini.
Demikian waktu disampaikan kepada Sulistyorini, bahwa situasi terkini lebih sebagai penyebab keinginan mereka daripada sebagai alasannya, kekasihnya itu mafhum. Sejoli itu pun tak mau menikah dalam kondisi perus Sulistyorini terlihat berisi. Suatu alasan yang masuk akal. Pendeknya hanya ada satu jalan itu, kendati pun tiada yang tahu menyempit, longgar, lempang, ataukah justru buntu. Setidaknya sejoli itu telah tahu pintu, bahwa pertama mereka harus meminta restu Mama Puri Wangi dan Papa Profesor Doktor Dokter Maryuhan Kurnia, si ahli bedah plastik yang gandrung dengan soal-soal politik. Sebab itu Biru Langit menduga di tangan professor itu permasalahan bisa menjadi rumit, ruwet dan panjang. Ya, waktu yang memanjang dirasanya begitu menjemukan, tapi apa boleh buat jalan musti ditempuh untuk tahu menyempit, lempang ataukah buntu.
Delapan
“JANGAN berdiri saja di situ, masuklah Biru Langit.”
Suatu petang, Biru Langit memang hendak memenuhi maksudnya dank arena itu ia pilih waktu usai praktek profesor itu di kliniknya di Jalan Jawa.
“Bagaimana, tampaknya kau mengajak berdebat lagi? Soal apa? Pendidikan oh ya. Kau kelak juga garus pikirkan anak-anakmu dengan pendidikan yang benar.”
Betapa girang Biru Langit saat profesor bicara anak-anak dan masa depan. Seolah ia telah membuka pintu bicara ke arah sasaran dan sang professor dirasainya menangkap tanda-tanda zaman. Mungkinkah, ia telah tahu hubungan sejarah putirnya, atau kedekatannya, tentang rencana-rencananya, tentang perkawinan?
“Bila kelak anakmu tumbuh dewasa, sebagai orangtua kau dan ibu dari anakmu harus memberikan pendidikan yang merdeka, harus memilih sekolah yang terbebas dari tangan kekuasaan. Ya, tampaknya itu memang hanya ada di luar negeri seperti Singapore misalnya. Anak juga harus tahu dan merasakan seberapa hebatnya kekuasaan tak bisa dipakai alasan membenarkan atau mencampuri science, atau institusi ilmiah sejenisnya. Orangtua juga harus bisa berpikir, di balik kecenderungan memasukkan iptek dan imtaq ke dalam pasal rancangan unang-undang pendidikan. Betapa ini sebuah lelucon karena iman dan taqwa itu salah kaprah bila harus masuk pendidikan. Karena itu bicara soal agama, dan agama itu kekuasaan. Tentu kamu sudah tahu kapan hari saya bicara kekuasaan agama itu menjadi utopia, apakah itu kekuasaan Tuhan, kekuasaan nabi, roh kudus, paus, ketua mui yang sudah selesai sampai berhenti di situ. Bahkan bagaimana itu bis terjadi juga di perguruan tinggi. Mereka masih berpikir bahwa menjadi orang baik itu harus dengan iman dan taqwa, padahal tidak. Kamu bisa menempuh jalan yang ini, menjadi orang yang tidak pada umumnya Biru Langit. Menjadi orang yang percaya pada cara bersain dengan dunia global dalam pendidikan anak-anakmu kelak. Saya sendiri melihat hal-hal yang berbau agama tidaklah konsisten, tidak ada jaminan imannya baik diiringi kebaikan moralnya,” ungkap profesor dingin dan enteng, dengan membumbui lelucon semisal, “Kalau Tuhan itu satu dan harus memenuhi doa orang yang saling bermusuhan, betapa Tuhan itu menjadi bingung karenanya.”
Sampai di sini Biru Langit masih tertegun, ia masih merasa anak-anak dan masa depannya dibicarakan. Tak ada niat untuk menggugat, terlebih ketika sang profesor menyebut contoh seorang loyalis yang tak diragukan lagi iman dan taqwanya. “Tapi tahukah kamu sekolahnya apa para loyalis yang hanya ingin meraih pangkat saja itu? Yang benar sesuai keilmuan itu adalah seoarang yang dinilai bukan karena loyalitasnya tapi karena kontribusinya. Dia bisa memberikan gagasan, kritik, pekerjaan, praktek, eksperimen dan bukan silent is building, asal bapak senang. Lalu dimana letak kebenarannya? Yang jelas bukan pada omongan orangnya, tapi dengan penelitian, validitas, alat ukur seperti saya mengoperasi hidung atau bibir sumbing itu dikatakan sudah bagus bila alat ukurnya simetris. Jadi kebenaran itu yang telah terbukti dan bukan hipotesa-hipotesa. Saya Tanya kebenaran itu apa, nggak ada yang bisa menjawab. Tiap hari ngomong benar-salah, tapi tak tahun apa itu yang diomongkan. Sebaliknya, bila sudah temukan dan berani bicara kebenaran ilmu, kita tak perlu keder dengan siapapun, sekalipun pada seluruh dunia. Kamu juga harus ajara dan didik anakmu seperti ini Biru Langit. “Jangan pakai cara lama menakuti orang, membatasi kreativitas. Hidup harus tanpa fanatisme karena dalam ilmu tidak ada paksaan. Anak-anak kita tidak akan bisa maju bila tak biasa dengan alternative. Ya, hidup di dunia ini harus dengan alternatif.”
Di ruang kerjanya yang mewah, di atas meja kaca mengkilat, berserak beberapa batang spidol. Berkali-kali ian menyentuhnya lalu berdiri dekat whiteboard. Tapi berkali-kali pula ia membatalkan keinginannya, barangkali lantaran kebiasaannya menguliahi mahasiswa-mahasiswanya tapi bisa jadi memang karena belum tergerak untuk menorehkan teorinya ke atas papan tulis.
“Sesungguhnya persoalan saya yang konkret,” potong Biru Langit, “adalah soal manusia juga, keinginan untuk hidup…”
“Ya, ini memang soal manusia, soal ilmu pengetahuan dan tidakada soal yang tak bisa dipecahkan ilmu pengetahuan,” giliran profesor cepat menggunting, “Begini, memang ilmu yang sebenarnya itu natural science. Definisi ilmu itu benar-benar oleh karena suatu dengan acuan materi dan sistem. Bidang studi atau suatu pengetahuan yang sistematis untuk menerangkan fenomena dengan acuan materi yang kemudian diolah dalam metode ilmiah. Jadi kalau tidak ada materi, idealisme orang itu bukan ilmu, kalakuan manusia, hokum, kejahatan itu bukan ilmu karena tidak ada materi fisik. Kalau H2O itu nggak ada, ternyata dengan alat ukurnya, dan direaksi kimia terjadilah komposisi seperti itu. Ilmu sesungguhnya seperti itu. Tapi ilmu tentang kelakuan manusia? Tidak ada materi. Hukum, ekonomi, Soeharto batuk kurs naik, bagaimana menghubungkannya? Memang setidak-tidaknya ilmu psikologi, sosial itu hanya dicari cara supaya mendekati natural, sehingga mnasih bisa dipakai ilmu. Tapi tidak semua orang setuju. Berbeda dari fisika, biologi, kimia. Biologi bilang orang ada itu karena gen, maka ditemukan DNA,83) ada barangnya dan kelihatan. Tapi agama? Agama itu tidak bisa disebut ilmu karena dogmatis banget, cerita doing, nggak ada materi fisiknya. Yang bilang tuhan itu ada, mana? Nggak ada dan nggak bisa diproses kimia, tidak pernah kelihatan. Nabi juga demikian, hanya disebut Tuhan dari mimpi. Padahal mimpi bagi ilmu pengetahuan tidak ada apa-apanya. Surga dan neraka juga tidak pernah kelihatan, tidak pernah ada yang tahu. Jadi Cuma cerita. Boleh percaya tapi itu bukan ilmu. Saya tidak melarang untuk tidak scientist. Boleh. Orang pakai kepercayaan, silakan, tetapi itu tetap bukan scientist. Tahapan-tahapan natural science itu bisa memprediksi terukur dengan alat ukur. Newton bilang tarik-menarik dua buah benda itu sebanding massanya dan berbanding terbalik dengan kwadrat jaraknya. Itu bisa mengukur tarik menarik segala benda di alam ini. Mengapa bulan di situ terus, kok nggak pergi? Nggak mendekat? Karena ada daya tarik menarik seperti hukum Newton. Sehingga kita bisa menghitung kira-kira itu barangnya di mana, bisa diprediksi dengan tepat. Terus pertanyaan saya pada anda, kalau kalakuan orang itu suka mencuri, korupsi, mestinya kan lebih sering masuk penjara? Kenapa di negeri ini nggak? Mengapa pejabat-pejabat yang seperti ini malah sedikit yang masuk penjara? Lalu bagaimana memprediksinya? Ini terjadi karena alat ukurnya tidak akurat dan karena itu tidak masuk hitungan saya. Memang ini soal kelakuan manusia, tentang ilmu sosial, tapi saya akan ajak semua orang untuk memakai keilmuan dalam memceahkan semua soal, termasuk jika kamu punya soal karena bisa dipakai siapa saja dan dimana saja. Bagaimana caranya supaya dia bisa disebut ilmu, harus dipakai metode ilmu dengan mengubah sendiri instrument-instrumennya dengan cara-cara sendiri. Validitasnya, yang terlalu rendah tak bisa dipakai. Soal Negara, hukum, bangsa, pemerintahan, semuanya ilmu sosial. Artinya, kalau kita mau menyelesaikan soal-soal itu harus memakai cara berpikir orang-orang natural science. Misalnya, kita pakai sesuatu alasan yang logic, yang relevan dan tidak asal bunyi. Orang yang berilmu itu tidak asal bunyi. Kenapa orang berkaki dua? Jawabannya, karena ayam berkaki dua. Ini sudah terbukti, tapi relevansinya dimana? Jadi untuk membuktikan kbenaran itu harus dengan data-data yang dianalisis, instrumennya jelas dan pakai logika. Kamu boleh percaya atau tidak saya menemukan pernyataan bahwa: “untuk membuktikan kebenaran itu kita harus baik dengan semua orang.” Kedengarannya ini memang sedikit religius. Itu omongan surgawi tidak cocok kalau untuk professor seperti saya. Saya guyon mengatakan diri saya ini nerakawi untuk menjelaskan omongan yang gak ilmiah itu, nggak ada logikanya itu.”
Biru Langit tak bisa tertawa lepas. Justru ia mulai menghela nafas dalam. Barangkali karena dalam tubuhnya telah mulai panas, karena merasa dirinya menjadi manusia terpenjara. Tapi kalah jauh lantaran hati dan perasaannya mulai terluka, semacam putus asa melihat seorang profesor berbicara sendiri atas nama ilmu pengetahuan, seolah-olah segalanya berada dalam kepastian ilmu dan teorinya. Biru Langit pun mulai curiga adanya suatu penyakit mental yang berdiam dalam diri Profesor Doktor Dokter bedah plastik, betapa ia telah melihat persoalan itu dengan materi dan bukan bagaimana materi itu sebetulnya juga punya jiwa, ruh hidup dan tidak dihilangkan haknya untuk menolak dijadikan kelinci percobaan oleh ilmu pengetahuan yang memusingkan sang professor sendiri. Dan lagi, diam-diam hati Biru Langit terasa teriris-iris, melihat sang professor yang alergi dengan agama dengan spiritualitas yang sering dijadikan bahan olok-olok itu. Akan terapi yang paling menyedihkan adalah sang professor belum memberikan jawaban persoalan dirinya sebagai manusia yang sehat dan hendak menikahi putrinya yang sentimental itu. Sialnya, bahkan untuk mengajukan pertanyaan saja belum ia lakukan. Tapi tidak fair rasanya bila Biru Langit tak mendebat, jika tak ingin dirinya mendapati jawaban soal cintanya pada gadisnya dari seorang ayah yang berpenyakit mental dokter bedah plastik. Jadi bolehlah ia berkepala dinign, menunda sedikit waktu percepatan dalam hidupnya.
“Saya curiga anda menyimpan tidak kejujuran, Prof. Tapi semoga kecurigaan saya ini keliru,” Biru Langit mencoba menawarkan strategi agar bicaranya yakin berguna bagi sang professor, syukur bila merubah pandangan hidupnya. Sekaligus mempertontonkan atraksinya bahwa dirinya tidak sedang berbicara sendiri. “Selain itu saya melihat ketidakkonsistenan berpikir anda dalam sejarah ilmu pengetahuan. Jadi soal kejujuran dan konsistensi anda yang saya gugat. Begini, anda tampak ceroboh ketika memindahkan dan mencari jalan pada saat begitu percaya pada ilmu pasti, tapi juga menggebu-gebu berambisi memecahkan persoalan-persoalan perilaku manusia dengan kompleksitas dampaknya dan itu. Anehnya, anda tetap ngotot bersikeras cenderung merendahkan manusia itu sendiri dari materi-materi ilmu pasti. Itu artinya anda merendahkan diri anda sendiri, pikiran anda sendiri di hadapan materi bukan? Apakah sampai di sini kedengaran omongan saya tidak ilmiah?”
“Teruskan!” professor itu tampak menyiapkan energi baru.
“Kalau benar terjadi demikian, saya juga curiga anda memahami diri anda sendiri hanya seonggok materi dan bukan sebagai layaknya manusia diciptakan Tuhan berikut ruh hidup sebagai energinya. Di mata saya, anda memahami diri anda sendiri hanya dari pikiran anda saja. Ya, semoga dugaan saya keliru untuk membuktikan ketidakjujuran anda, professor. Dan lagi, ketika anda mengagungkan teori Newton dan Einstein, seolah anda tidak mengerti puncak-puncak perncapaiannya yang ternyata saling bertentangan. Ibarat mesin, Newton adalah otaknya mesin atau mesinnya otak. Tapi Einstein, ia lebih mirip seorang pengarang absurd atau mistikus dari pada seorang ilmuwan. Karena ia tak begitu percaya pada kepastian ilmu pengetahuan. Diam-diam ia semacam penganut religiusitas ketimbang seorang yang atheis. Ya, semacam religiusitas yang anda cibir habis-habisan dan anda jadikan dagelan mentah-mentah itu. Oya, rupanya adan perlu tahu bahwa sekarang makin banyak ilmuwan yang sadar konsep-konsep mistik memberikan gagasan filosofis pandangan keilmuan mereka, termasuk ilmu tentang manusia yang menjawab segala renik persoalan manusia yang anda hargai senilai tempurung buah kelapa, karena otaknya itu,” Biru Langit menyadari gerakan emosinya, karena mulai tumbuh kejengkelannya.
“Jangan keliru, karena saya tidak pernah bicara pribadi-pribadi manusia. Saya bicara keilmuan dan bukan demi tujuan pribadi, tapi saya rangkai teori demi tujuan manusia memang iya. Sebetulnya, saya ingin mengubah isi pikiran manusia sebagaimana ilmuwan-ilmuwan seperti Newton, Einstein dan lain sebagainya menggunakan pikirannya. Saya juga ingin menyebarkan semangat kerja sebagaimana mereka profesional bekerja di bidangnya dan tentu saja, semua itu ada aturan mainnya ada alat kontrolnya. Karena dengan demikian semuanya berubah, bangsa ini berubah dan hidup kita juga mengalami perubahan. Tidak seperti sekarang. Tapi kalau anda berpikir seperti itu, ya ndak apa-apa. Saya tidak memaksa,” betapa ia mulai sentimental, bukti kebekuan perasaannya terhadap orang lain antara kecewa dan pasrah pada kenyataan.
“Sesuatu yang tidak mendidik, Prof.”
Biru Langit bermaksud mendinginkan pikirannya, yang dirasanya mengalami error akibat serbuan logika ilmu sang profesor, kendati dirinya yakin dingin yang sedingin-dinginnya tidaklah terletak pada pikirannya. Yang dirasainya otaknya yang panas tak berimbang hasratnya yang belum terjawab. Sebaliknya pun perubahan yang digambarkan professor itu malah mengernyitkan dahinya. Betapa itu mustahil terjadi karena telah ketinggalan zaman. Sementara perubahan yang dikehendaki Biru Langit tak sanggup menyentuh logika profesor. Inilah ketiadaan konsistensinya pikiran dan ilmu pengetahuannya profesor itu, bahwa perubahan belum akan terjadi meski sebenarnya selalu terjadi. Tak kejujuran baginya hanya ada pada otak dan ciri-ciri keilmuaannya, dan tidak meletakkan pada ruang dalam batin manusia yang tak saja hampa, sepengetahuan Biru Langit. Sebab itu, terpaksa ia harus menunda lagi sedikit waktu dan tampaknya esok akan berlangsung seru. Setidaknya terlihat dari jari-jari professor yang masih menggantung spidol snowman dan whiteboard-nya yang putih bersih.
Sembilan
HARI kedua, ruang kerja gedung bedah platik rumah sakit Karangmenjangan, siang.
“Hei, apa kesibukanmu sekarang, hingga siang-siang sudah datang kemari?”
“Kuliah.”
“Ohya, bagaimana kuliahmu?”
“Alhamdulillah, berjalan baik dan tak terlalu membosankan.”
“Alhamdulillah? Ha..ha,” sinisme professor itu mulai lagi. “Terus kegiatan di luar masih menulis atu lagi kosong?”
“Bersama kawan-kawan Kelompok Aksi Bermain, kami sedang merencanakan Seratus Hari Pembredelan. Kami harus jadi kelompok penghubung jaringan seniman, wartawan, intelektual, LSM, seluas mungkin untuk bertemu 1 Oktober dan menggelar pentas serentak dalam satu malam. Tempatnyta di komplek Balai Pemuda. Saya berharap orang-orang seperti anda juga harus hadir di acara yang sangat luar biasa penting untuk negeri ini.”
“Kau sendiri bagaimana?”
“Saya terlibat di dalamnya. Nanti saya akan membacakan sebuah cerita pendek saya tentang kesunyian dan pembisuan.”
“Kamu mau menceritakannya untukku, Biru Langit? Kebetulan aku punya waktu banyak sehabis operasi bibir sumbing dan liposuction sejak pagi.”
“Kisahnya tentang keadaan sebuah negeri yang tanpa suara dan begitu sunyi karena setiap orang warganya harus menjalani operasi menghilangkan pita suaranya agar tetap bisa hidup. Sampai suatu ketika benar-benar negeri ini dihuni orang bisu, bahkan binatang pun juga harus mengalami nasib serupa, dihilangkan pita suaranya. Begitu lamanya, akhirnya untuk berbicara mereka menemukan bahasa isyarat sendiri dengan tangannya, yang terus memusingkan pihak penguasa negeri itu. Rencana berikutnya, mereka bakal antri untuk amputasi bagian tangannya. Betapa fantastisnya yang ingan saya gambarkan saat seluruh warga berbicara dengan sisa bagian tubuhnya itu.”
“Kedengarannya sangat menarik.”
“Dan lagi Prof, tentu saja operasi itu melibatkan para dokter. Untuk itu barangkali suatu saat saya perlu bertanya soal-soal medis pada anda. Tapi saya datang kali ini tidak untuk itu.”
“Saya bisa menangkap keinginan dan pikiran besarmu untuk Negara ini dengan ceritamu itu. Ya, ndak apa-apa.”
“Ya, cepat atau lambat perubahan mesti terjadi, Prof. Kukira anda setuju dengan ucapan-ucapan saya, bukan? Saya harus jujus menginginkan perubahan dalam diri saya, nasib saya, status saya, hidup saya…” entah mengapa Biru Langit begitu sulit memulai bicara soal rencana yang melibatkan kekasihnya Sulistyorini. Sepertinya lantaran banjir kata dan longsoran dalil yang membuatnya terjerembab dalam lubang. Tapi ia harus terus berjalan dan waktu masih memanjang. “Sabarlah, Biru Langit sayang,” bisiknya.
“Ya ya..setiap warga negara punya hak untuk perubahan negerinya. Seperti halnya punya hak untuk mengajukan pertanyaan untuk apa sebuah negara itu ada? Bagi saya jelas negara itu dipakai untuk kemakmuran rakyatnya, ini tujuannya. Terus untuk mencapai ini harus adil dan aman. Lalu bagaimana caranya? Untuk mencapai itu perlu instrument kenegaraan. Apa? Keilmuan. Karena ilmu tak mengenal primordial, golongan dan sangat objektif jadi adil hanya peduli benar dan salah. Pakai logika dan relevansi yang setiap orang bisa. Tidak pakai emosional, karena memang tidak bisa. Contohnya ada orang yang mau kawin, orang lain bisa Tanya sekolahnya apa, penhasilannya berapa. Tapi soal emosinya hanya mereka berdua yang tahu. (Biru Langit seperti mendapat angina segar karena hasratnya mulai mendapat tempat, meski hanya barang sedikit). Jadi betapa pun kuatnya kepentingan pribadi tidak bisa dipakai untuk kepentingan public. Keilmuan itu soal kendaraan. Emosi tak bisa mengantar kita sampai tujuan. Berikutnya, negara ini harus negara sekuler. Artinya, meski bukan berarti tak mau tahu, tapi dalam kerjanya tak usah pakai agama. Bila tak ingin disebut Negara ambivalensi. Pengalaman Turki waktu memproklamirkan negaranya sekuler tapi ada partai agama yang menang pemilihan umum. Yang benar adalah Singapore. Agama dilarang berpolitik, tapi boleh hidup semaunya seperti Amerika, Perancis. Sementara India, Malaysia, Indonesia itu bukan Negara sekuler. Israel juga sekuler tapi politik agama tetap hebat. Saya tidak peduli, bagi saya Indonesia bila mau adil harus sekuler, konsisten dan tidak memikirkan agama. Tidak bisa berdasar negara agama. Harus sekuler berdasar keilmuan. Karena negara ini dibuat untuk seluruh orang. Bukan untuk mayoritas dan tidak ada minoritas. Semua warga negara punya hak yang sama. Tidak ada mayoritas Islam kemudian menempeleng orang seenaknya. Atau karena mereka yang punya maka yang lain dianggap kost. Jangan salah dengan keilmuan budaya yang lain dimatikan. Budaya apapun boleh tapi hanya untuk mereka-mereka saja pemiliknya. Tapi untuk negara hanya satu yang bisa dimengerti semua orang, Jawa, Irian, Batak yakni keilmuan. Ewuh pakewuh cuma dimengerti orang Jawa, orang Batak nggak peduli. Mau menari Bali semalam suntuk, dikembangkan nggak karu-karuan selakan. Tapi demi negara, setiap bekerja jangan coba-coba selain dengan keilmuan. Sama seperti terhadap agama, bukan berarti negara tak membolehkan hidup. Mau sembahyang 24 jam nggak makan, minum, berak juga silakan. Itu urusan mereka sendiri dan bukan urusan Negara. Kita jadi tahu mana kepentingan public mana kepentingan pribadi. Kalau punya pembagian yang jelas sebenarnya mengatur negara ini gampang. Tapi kalau kita gak punya pegangan pasti ngomongnya kacau balau.”
Entah mengapa saat sang profesor itu benar-benar menarikan spidol snowman-nya di whiteboard, Biru Langit melihat fantasi di papan yang kebetulan lebih luas dibandingkan kamar kareja dokter bedah plastik itu di jalan Jawa. Diagram-diagram yang ditorehkan profesor itu sampai di mata Biru Langit serupa struktur gen yang menjelaskan kromosom sel telur dan sel sperma dan menghasilkan keturunan XY. Di saat lain ia melukis telur ayam berukuran besar. Ya, barangkali telor dinosaurus. Lalu ia menuliskan nama-nama anggota keluarga, tulisan yang laing kurang jelas manakala membubuhkan nama Sulistyorini dan Biru Langit. Sebaliknya di bagian itu malah gambling tertulis profesor doktor dokter bedah plastic Maryuhan Kurnia. Apakah ini pertanda hilangnya kendali Biru Langit akibat kejemuan yang menyiksa? Karena menurunnya tingkat kesabaran menjalani waktu yang dirasanya memanjang?
“Sekarang ini tidak bisa tidak,” lanjut profesor itu ,” untuk bisa ke tujuan akhir, harus banyak yang mendukung gagasan saya tentang cara berpikir, cara kerja dan cara control keilmuan ini agar negara ini cepat beres. Kalau banyak didukung, menang dan pucuk-pucuk kepemimpinan bangsa ini—saya atau orang-orang seperti saya, tinggal mendekte jalannya negara saja. Masalahnya sekarang ini yang mendengarkan gagasan saya ini tidak ada, nggak ada yang mengerti soal-soal begituan. Bicara saya kepada orang-orang pintar seperti anda untuk menggalakkan pengertian. Semisal untuk menjalankan character national building, dengan wajib militer pun tak bias dilakukan segera. Bahkan tak mungkin bila masih begitu banyak orang yang brengsek. Saya membayangkan wajib militer itu berdampak pada rasa kebangsaan yang kuat bila dikerjakan dengan betul dan ide ini harus dibicarakan supaya tak ada GAM, Fretilin, Papua merdeka, RMS dan disintegrasi bangsa. Orang harus membayangkan Negara ini dipertahankan. Caranya, setiap warga Negara yang mengajak dewasa harus pernah wajib militer. Betul-betul jadi militer yang membela bangsa ini. Militer itu wawasannya nasional, Negara mewawan orang-orang yang maker atau ancaman orang asing dan di barak-barak militer itu ada Cina, Jawa, Ambon, Bugis. Saya punya obsesi, kepentingan negara harus diutamakan: Tapi sekarang tak bias wajib militer karena militer ituhanya satu grup, bukan untuk yang lain. Ini harus diberantas. Tentara ya tentara yang ngurus Negara. Bukan yang kemudian jadi gubernur, mendapat hak-hak istimewa. Jadi semua warga Negara yang berumur 18 tahun ke atas, laki-laki, perempuan, sehat bisa diatur lebih detil, perlu waktu 6 bulan atau 1 tahun. Dari pada budgetnya dibikin korupsi orang-orang dan tentara yang kaya-kaya juga banyak. Untuk apa itu? Dan yang mengelola wajib militeri harus tentara, departemen pertahanan yang membawahi orang-orang pinter perang. Jadi soal karena di sana-sini banyak terjadi kebrengsekan, kuat karena pegang senjata dan sistemnya dibuat dengan mempertahankan kekuasaan tentara, ini pola piker yang tidak benar. Karena Soeharto berkuasa, tidak ada yang berani menyinggung kekuatan tentara, bisnisnya. Sistemnya yang harus diperbaiki, otaknya, kerjanya, alat kontraolnya kalau sudah baik, bikin undang-undang bahwa kepentingan Negara, bangsa, rakyat dan tidak ada undang-undang kepentingan pribadi, golonga. Kalau ada KKN harus digantung atau diapakan. Bila naik haji dengan biaya Negara, jelas melanggar undang-undang dan harus dihuku. Berani ngomong begitu karena ada aturan mainnya, uang Negara itu juga punya orang hindu dari pajak, konghuju, Kristen, tidak boleh dipakai haji orang Islam. Jadi pola tujuan sebagai pola piker harus berada dalam sebuah dokumen resmi. Ini terjadi karena kepentingan golongan masih main dalam kepentingan negara, bahkan kepentingan pribadi juga ada main. Sekarang kita harus katakana yang namanya golongan itu apa? Supaya kalau menyinggung itu, stop!. Ini persoalan sangat mendesak. Persoalannya tanpa ilmu, cara kerja, cara berpikir dan alat kontrolnya akan makin banyak kebrengsekan. Sesuatu yang unibersal itu bukan agama karena iti juga bikin alat control bernama moral , karena itu agama. Salah!. Agama itu hanya golongan karena satu sama lain beda, menteri agama juga tak perlu ada, apalagi dialog antar agama seberapa pun besar persoalan kenegaraan atau seberapapun kecilnya, tentang hal seperti ini Einstein pernah bilang—tidak ada kebodohan yang lebih bodoh mengulangi pekerjaan-pekerjaan yang sama tetapi mengharapkan hasil yang berbeda. Sesuatu yang sia-sia alias mustahil. Terus terang, saya curiga kalau ada orang bilang, rakyat ini sudah pinter-pinter. Itu tidak jujur dan tidak fair, dan ini kendala bagi usah menyebarkan gagasan saya. Sebetulnya rakya Indonesia itu berapa banyak sich yang pinter? Mereka itu nggak ngerti apakah sebetulnya yang dipilih jadi presiden sekarang ini yang mampu atau yang tidak. Paling yang dipilih ini orang yang disenengi. Tukang becak tidak bisa menangkap omongan orang yang tinggi. Kalau omongan orang yang tinggi itu gak semua orang bisa nangkap. Kalau Einstein ngomong di Surabaya, paling yang datang cuma seratus orang. Dari jumlah itu yang limapuluh ngantuk, itupun yang duapuluh lima antara ngerti dan nggak, yang lain salah mengerti. Jadi begitu tingginya dia sampai guyonannya pun tak bisa ditangkap. Misalnya god does’nt plays dies. Tuhan tidak bermain dadu, itu bisa salah tangkap. Ada yang menyatakan begitu karena Einstein itu religius. Salah besar. Dia atheis seratus persen.”
Di hadapan profesor bedah plastik belum pernah Biru Langit sesulit ini dia memposisikan dirinya. Ia tidak yakin benar apakah gagasan-gagasan sang profesor itu betul masuk otaknya ataukah tidak, yang ia tahu kedengarannya kuliah itu lebih bagus ketimbang diajarkan dosen kewiraan di kampus, atau lebih maju dari pengantar ilmu politik. Dan yang pasti suasananya yang bersahabat, didukung ruangannya meski sempti tapi ber-AC, dengan korden-korden jendela menghadap kebun dan lapangan parkir yang sejuk. Pasalnya, kepalanya sudah telanjur dipenuhi fantasi tentang gerak kromosom dan struktur gen yang menari-nari dalam bola besar, menyerupai gerakan planet-planet di semesta dan ia ganti sendiri namanya sesuka hatinya. Ada planet rindu, sayang, cinta, seks, janin, perkawinan, pesta, sedeeret lagi cincin, mas kawin.
Ya, tampaknya ini suatu indikasi, mulai tumbuhnya kecenderungan dirinya yang juga bermonolog, berbicara sendiri tentang diri dan untuk dirinya—sesuatu yang tai ia kehendaki. Sebab itu ia memeras otak untuk segera mengakhiri situasi yang sungguh tidak menyenangkan ini, semacam basa-basi tak berguna atau omong kosong seperti tong sampah, berguna tapi amat rendahnya. Ya, ia mulai mikirkan sebuah jalan akhir kekerasan ataukah jalan damai.
Ya, begitulah Biru Langit harus menempuh percepatan waktu agar soal cinta dan perkawinannya dengan Sulistyorini tak lapuk di makan zaman. Maksudnya segera mendapat kepastian atau sambutan dan untuk itu ia memilih damai, cara halus yang sedikit elegan.
“Maafkan saya, Prof. Bukan saya kurang tertarik dengan gagasan politik anda, dan karena kekurangmengertian saya secara utuh, kiranya masih perlu penjelasan mendalam di lain waktu.” Biru Langit memulai menata kesabaran kembali.
“Oh, sejak kapan kau suka basa-basi sepanjang itu? Tapi ndak apa-apa. Teruskan.”
“Sebetulnya, saya dating tidak untuk urusan politik.”
“Katakan..”
“Saya ingin menyampaikan keinginan saya untuk menikahi putri anda, Sulistyorini secepat mungkin.” Biru Langit sudah mengoreksi kalimatnya sependek mungkin, tanpa mengurangi kejelasan maksudnya.
Sang professor bedah plastik itu mengangkat mukanya, menajamkan matanya dan selanjutnya menjatuhkan pada tubuh Biru Langit, entah persis bagian yang mana. Ya, seperti dapat diduga sebelumnya, ia terkejut. Kendati sudah tak ada artinya bagi Biru Langit, sang professor membuang arah pandangnya ke jendela, memperlihatkan ia berpikir. Justru yang sangat mengejutkan Biru Langit adalah ekspresinya yang dingin dan benar-benar tak berperasaan seperti pengakuannya.
Berikutnya, ucapannya yang entah ditangkap Biru Langit tak menyimpan kejelasan sebuah guyonan ataukah awal dari kejngkelannya yang serius, seperti juga kata-katanya tentang orang tinggi yang tidak semua orang bisa mengerti.
“Heh.. hebat juga kamu ya. Mungkin kamu belajar politik pada si ganteng Andi Malarangeng itu. Kamu pacari putriku, kuliahmu dibiayai olehnya, lalu kamu tinggal gratis di rumahku dan sekarang kamu mau menikahi putriku. Ya, kamu cerdik juga. Berikutnya, kamu cerdik juga menyampaikan pada saya, di ruang kerja dan saya masih mengenakan seragam dokter seperti ini. Sekarang apa maumu, anak muda?”
“Saya ingin prof melepaskan Sulistyorini menjadi istri saya. Saya minta restu yang ikhlas,” Biru Langit memompa keberaniannya dan tidak terlalu sulit bagi aktivis seperti dia.
“Ikhlas? Ha..ha.. Kamu menyudutkan saya pada masalah pribadi seperti ini, sesuatu yang tidak bisa saya kerjakan sebagai seorang ilmuwan, seorang professional. Kamu tidak bisa minta restu kepada saya, yang kamu lakukan tak lebih dari mengajukan pertanyaan dan saya bisa memberikan jawabannya dengan analisa, berapa penghasilanmu, apa pekerjaanmu, dan apa tujuan hidupmu. Tapi soal cinta dan tetek mbengek emosi, perasaan, saya angkat tangan karena hanya pribadi kamu sendiri yang tahu. Itu masalah pribadi dan bukan masalah ilmu pengetahuan. Maaf, saya tidak ada waktu dan harus memberikan kuliah mahasiswa saya.”
“Bagaimana soal tanggungjawab? Anda bisa dikata tak bertanggungjawab pada masa depan putrid anda.”
“Hah, tanggungjawab saya pada keilmuan bukan pada pribadi, apakah kamu kurang mengerti, anak muda? Apakah bila kelak kamu ceraikan istrimu, lalu kamu paksa anakmu ikut denganmu atau memilih sendiri antara ayah dan ibunya. Ini soal kemanusiaan dan bukan pribadi. Apakah kamu mengerti maksud saya, Biru Langit?”
“Ya, saya mengerti. Karena anda sudah bukan lagi orangtua Sulistyorini. Dan lagi karena sebagai seorang profesor, anda sudah tak lagi memiliki perasaan, kecewa atau gembira, apalagi yang bisa anda bagi kepada orang lain, termasuk putrid anda.”
“Masih ada yang ingin disampaikan sebelum kupersilakan anda pergi?”
“Tidak ada profesor. Pesan saya, jaga diri anda baik-baik.”
Biru Langit meninggalkan ruangan dengan sama sekali tak ada rasa tersinggung. Ia tidak pernah punya perasaan sebaik ini, tanpa sakit hati. Sebaliknya, sang professor masih mencoba berpikir tentang sebuah kerumitan keberadaan keluarga. Ya, situasi yang ternyata menurutnya tidak terjangkau oleh tanggungjawab keilmuan dan pribadi. Ironisnya, seorang putrinya yang mungkin selam ini ia cintai telah menjadi pemantiknya. Ah, benarkah itu suatu cinta?
Entahlah, dalam hati Biru Langit tumbuh keyakinannya, bahwa sang professor itu tak bakal berhasil menemukan jawabannya. Apalagi soal kejujuran, juga ia percayai takkan hadir gratis begitu saja.
Sepuluh
GAGAL mendapat restu sang profesor, disusul suasana mendung di istana Dharmahusada yang kekeringan akibat kemarau. Tak tahan berat dan tebalnya awan, maka hujan tangis pun ditumpahkan perempuan Sulistyorini di depan Mama Puri Wangi. Sebelum akhirnya giliran ibu itu yang menangis untuk putrinya. Ya, tangis yang sejak mula sulit dimengerti, dimaknai, apalagi diungkapkan di tengah keluarga yang sangat membungkus rapat perasaan. Ya, istana Dharmahusada telah memenjarakan hati dan emosi di balik tembok logika dan keilmuan serta profesionalisme seorang professor doctor dokter bedah plastik. Akan tetapi, siapa sangka tempbok itu juga menandai tugu upacara korban dengan dua wanita sebagai yang terpilih.
Bertahun-tahun Puri Wangi tanpa suara, tapi hari ini, bersama putrinya ia telah berontak dan tangis keduanya mencari arti sendiri bagi dirinya sendiri maupun keluarga. Ya, hari ini apa yang sering melekat kepadanya sebagai makhluk yang lemah, ia dengan caranya sendiri menumpahkan hidupnya pada airmata sebagai perjuangannya mengungkap kembali ingatan, penyesalan, putusasa, bahkan sesuatu yang tidak berarti apa-apa. Mungkin juga kebahagiaan kalau ada, atau setidaknya harapan turut pula dalam tangisnya.
“Malang sekali nasibku, anakku. Tapi perjalanan hidupmu lebih pahit dan nestapa dari mamamu. Apakah kamu yakin Biru Langit tidak akan mengecewakanmu, Sulistyorini?” kedengarannya ini kalimat paling tulus dari seorang ibu.
Dia menggeleng.
“Mama mengerti perasaanmu, Nak. Mama sudah cukup makan asam garam di rumah ini, bagaimana emosi yang kacau balau. Hari ini bahagia, sehari kemudian sedih dan menangis. Begitu berulang-ulang selama bertahun-tahun,. Mama memilih diam semata-mata karena tak ingin ada konflik di keluarga ini dan papamu ternyata justru menyukai kediaman mama. Mama tidak tahu apa arti ini semua pertanda cinta pada papamu. Diam mama telanjur sebuah pilihan bahwa tidak ada yang penting bagi hidup mama, mungkin juga cinta. Tapi mama harap dalam dirimu tidak ada lagi penyesalan, sekali pun percintaanmu dengan Biru Langit tak bisa diterima papamu, Sulistyorini.” Dengan usaha keras Puri Wangi mencoba menghibur putrinya.
Sulistyorini menggeleng lagi.
“Kau yang harus tentukan jalan sendiri Sulistyorini bersama Biru Langit. Mama percaya kalian bisa. Dia orang baik, sabar.”
Di luar dugaan tangis Sulistyorini kian menghebat. Setelah itu tidak ada kata-kata, hilang terbawa arus deras airmata sampai isak paling akhir, menuju samudera dengan gelora ombak yang tak bisa dihentikan. Di tengah deburan ombak itulah nalurinya menyatakan tidak lagi takut rintangan suatu apa. Apalagi seonggok mimpi yang belakangan menghantuinya, tentang kekasihnya yang hilang ditelan samudera bergelombang besar. Ya, tidak ada lagi ketakutan itu karena gelombang besar samudera itu sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Sebelas
1 OKTOBER 1994, pukul 19.00 wib
Malam, kawasan Balai Pemuda luar bisa padat berisi. Bergelombang manusia makin malam, tambah berjubel karena malam itu digelar Seratus Hari terbunuhnya tiga media besar di negeri ini. Lokasinya yang dekat jalan besar, berikut pameran meubeler dan barang kelontong, menyebankan cukup menarik perhatian. Bahkan oleh orang yang kurang mengerti dengan kesenian. Tapi berkumpulnya orang jadi pesona tersendiri buat peringatan peristiwa besar kedholiman rezim penguasa. Serentak, ada puisi, pernyataan sikap, pidato kebudayaan, teater, musik digelar di tempat-tempat tersebar seikiar lapangan parkir. Karena kelompok aksi Budaya Bermain dan Club Wartawan Surabaya, maka itu mengundang hadir seniman-seniman dan kelompok kesenian dari pelbagi penjuru kota untuk terlibat aksi Seratus Hari. Ada dari Solo Kelompok Tanggap dan Sanggar Sukabanjir yang dipelopori penyair Wiji Thukul, Mahasiswa dari Universitas Darul Ulum Jombang, dari Lumajang dan Barisan Seniman Muda Blitar, dan Universitas Airlangga, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Lalu sederet happening art dan seni rupa instalasi. Musisi Leo Kristi dengan konser rakyatnya menyedot massa luar biasa antusias sambil memajang sejumlah lukisannya di ruang pameeran dan mencoretkan kata-kata protes di kanvas kosong. Sejumlah mantan wartawan korban rezim penguasa juga bermain musik sebisanya untuk mengusir kegelisahan. Biru Langit pun ambil bagian membacakan cerita pendeknya ‘pembiusan’ dan juga ‘mulut kotor’ yang berkisah tentang usaha seorang tokoh membersihkan diri dari bau mulutnya yang ternyata bersumber dari dalam tubuhnya yang kotor, bahkan akibat pembusukan bertahun-tahun di dalamnya, sementara selama ini yang dilakukannya tak lebih hanya menggosok giginya.
Malam itu, dalam ceritanya si laki-laki telah menemukan kesadarannya dan melakukan usaha kerasnya demi sebuah mulutnya agar kembali bersih tanpa bau, meski nyawa taruhannya.
Kendati bertabur pesta keprihatinan, malam berjalan makin mencemaskan akibat begitu banyaknya orang-orang siluman yang mengawasi gerak-gerik penggagas Seratus Hari yang memedihkan itu. Ya, bukan mustahil diantara mereka kaki tangan-kaki tangan atau orang suruhan politikus Bintang Sakti yang malam itu tidak nampak batang hidungnya. Hampir bisa diduga sebelumnya, karena si politikus Bintang Sakti yang tak pernah mengurus anak-anak nakal ini yang di luar kendalinya. Meski demikian, bukan berarti ia tidak tahu cara menunggangi anak-anak ini. Ada seribu cara mengatasi secuil kerikil ini. Yakni pakai kaki tangannya, setidaknya beri satu pelajaran sebagai shock therapy: kecerdikan yang telah jadi kebiasaannya karena disitulah makanannya.
Di tengah aksi yang mencemaskan itu terlihat ‘mantan’ dokter pribadi Sulistyorini, dokter tentara Letnan Kolonel Marinir Isnaeni. Ia menangkap wajah seksi tubuh Sulistyorini yang terlepas dari genggaman Biru Langit. Tak pelak, dokter tentara itu mengejarnya, setelah menerjang rintangan tubuh-tubuh yang menghadang, perempuan itu tertangkap. Tapi banyak yang berubah dan dokter tentara itu tak seberani sebelumnya, lebih sopan dan cukup bersahabat. Tidak ada basa-basi yang memualkan lagi, kecuali soal kabar dirinya dan tentu saja Biru Langit. Dokter tentara itu mengaku menyaksikan pembacaan dua cerpen Biru Langit. Ujungnya ia menegaskan kembali tawarannya untuk bekerja sebagai copywriter dan konseptor di sebuah perusahaan penerbitan dan entertainmen miliknya di belakang lapangan Dharmawangsa. Sulistyorini menjawab belum mengerti, dan oleh sebab itu alangkah baiknya bila membicarakan langsung dengan Biru Langit di lain hari. Dirinya hanya menambahkan, berharap Biru Langit menerima tawaran itu agar bisa untuk menopang hidup dan belajar hidup mandiri. Demikian pula dokter tentara itu optimis, perusahaannya akan berkembang pesat bila ditangani orang-orang seperti Biru Langit. Tanpa basa-basi keduanya mengakhiri pertemuan dengan saling senyum, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya diantara mereka berdua.
Yang mengejutkan, mendadak malam itu Pam ternyata hadir pula. Wajahnya tertangkap Biru Langit berkelebat cepat di tengah kerumunan banyak orang. Biru Langit muncul keheranannya, bagaimana wartawan satu ini setelah korannya dibunuh tiba-tiba muncul kembali di sini? Apakah ia bermaksud pulang ke ibunya karena menganggur? Ataukah sengaja turut hadir di Seratus Hari pembredelan, karena sebuah penghormatan dirinya yang juga korban kehilangan mata pencarian? Mungkinkah kemunculannya seban ia tahu nama Biru Langit dan Sulistyorini dia ketahui ada di belakang layar aksi ini? Tanpa berpikir pangjang Biru Langit mengejar wajah itu hingga sembarang tempat. Sayangnya, hingga suntuk matanya, yang dicari belum juga dapat. Biru Langit juga belum tahu apa hendak dikata kepada Pam bila nantinya berjumpa. Ya, karena telah sekian tahun diantara keduanya saling mengubur masa silam, meski bersiteguh sama-sama menggenggam pandangan hidup. Ya, beberapa tahun lamanya mereka berkawan dan kehilangannya, dalam keterpisahannya.
Bila pun kini bertemu, barangkali persahabatannya itu telah pula berganti makna, cara, maupun artinya. Begitu hidupnya, persahabatan itu sampai-sampai di antara Biru Langit dan Pam tak lagi mementingkan keberadaannya, ada dan tidaknya. Mereka terus hidup sekaligupun dibunuh, seperti pada saat memutuskan undur diri dari kelompok diskusi kiri. Seperti kenyataan, meski hanya ada dalam impian. Sebaliknya, persahabatan itu seperti impian tapi sesungguhnya nyata-nyata ada dan sanggup membuat perubahan, membersihkan diri dan segala kabut yang menutup sisi dalam kemanusiaannya, seberapapun itu bisa menuai hasil menuju kegemilangan.
Malam semakin larut dan satu persatu orang mulai meninggalkan tempat. Sampai dengan tinggal beberapa gelintir saja dalam waktu yang sangat cepat, beberapa orang mendorong Biru Langit masuk ke sebuah mobil tanpa plat nomor. Bahkan secara paksa, beberapa rekan yang menyaksikan peristiwa ini hanya bisa teriak-teriak dan tarikan-tarikan tak berguna persis adegan-adegan film buatan Amerika dan kemudian banyak ditiru intel-intel negara ini.
Ternyata, di dalam mobil sudah menunggu Pam dan Sulistyorini. Sesudah itu tidak jelas mimpi ataukah kenyataan karena yang hadir berikutnya adalah kenangan-kenangan masa silam mereka, luka hati, percintaan, segenggam mawar merah tak bermakna. Mereka telah tahu kemana tujuannya, ruang tahanan—tempat barunya yang tidak begitu dirisaukan. Ya, mereka bertiga telah biasa dengan dinding-dinding dingin yang beku atau kabut tebal di atas udara samudera. Kenyataan bahwa mereka tidak pernah takut bakal kehilangan dirinya, meski dipisahkan atau dihilangkan keberadaannya.
Yang mereka resahkan hanyalah bila tak ada kesempatan yang diberikan untuk ke kamar mandi, menggosok gigi dan membersihkan bau mulut dan kebusukan dalam tubuhnya.[]
EPILOG:
FANTASI EROS DARI BALIK JERUJI
KEKASIHKU,
Bila kelak kita kembali, aku berjanji pulang menggendong serangkai kata, rayuan keinginan bahkan kusumat dan mungkin petaka. Segalanya melebur dengan kata maupun suara juga mantra-mantra tertentu rimbanya. Tanpa sedikitpun menyisakan keraguan, kupanggul segenap rindu itu padamu, pada anak-anak buah dari mimpi-mimpi kita. Segalanya memadat tak terkikis oleh perjalanan jauh dan hempasan angin panas, udara pengap, atau gerah cuaca sebelum dimuntahkan hujan. Rindu ini menggerang di nanar mataku dan menggumpal di benak dadaku. Aku tersirap oleh penglihatanku akan hutan-hutan jati, tempat kita pernah sama-sama sembunyi, yang di musim semi seperti payung-payung yang menyejukkan hasratku kepadamu. Hutan-hutan yang mengingatkan aku pada rerimbunan daun yang mengitari ceruk, justru mengganas menyiramiku dengan pupuk dendam. Segenggam pun tak melenakan diriku. Aku seperti seorang yang buta. Aku juga seperti seorang yang tuli. Dan sudah barangtentu aku persis seorang yang bisa. Waktu seperti berhenti di dadaku. Waktu seperti terbunuh di kepalaku. Sementara yang hidup hanyalah kamu dan anak-ana hasil mimpi-mimpi kita, meski itu semua di sepanjang hutan itu hanyalah bayang-bayangnya saja. Meski itu semua cuma gaung kata-katamu dan lengking jerit anak-anak. Bahkan hingga igauanmu pun menyala di jiwaku. Inilah kiranya puncak dari getaran sukma orang-orang yang kucintai yang bisa kurasakan lalu membias pada sisi terdahulu hidupmu—di saat besar harapanku segera mengakhiri perpisahan. Betapa perjumpaan adalah siraman alkohol pada goresan luka. Pertemuan adalah guyuran air hujan pada cuaca pengap di ujung kemarau.
Kekasih,
Aku membayangkan hujan turun saat kita bertemu. Peluk cium buah anak-anak. Sentuhan kulitmu mengakhiri gejolak yang selama ini berkelindan. Atau lebih tepatnya rangkum tubuh kita, anak-anak dengan ayah dan ibu hasil pernikahan langit ini menyingkap segala mendung, mencerahkan langit-langit di hati kami. Sebab itu tak mengapa ada airmata bening yang menajamkan pandang menusuk kalbu. Lunas sudah semenjak detik akhir perjumpaan itu dari segala bayang-bayang, apalagi keragu-raguan atau ketakutan.
Anak-anakku, menarilah. Menyanyilah. Aku ingin membunuh segala nyala kangen yang telah sekarat ini setuntas-tuntasnya agar tak ada lagi benih untuk esok hari.
Bungaku, mekarlah. Semerbakkan baumu, warnamu, biar kubawa sampai mimpi-mimpiku.
Kasih,
Bukankah hari ini adalah mimpiku yang lalu, seperti hendak dirampok kesunyian hutan, pukau angin? Tetapi entah mengapa setiap kali bersamamu, di dekatmu, apalagi di dekapanmu aku tak punya nyali untuk mengendarai mimpi-mimpi? Atau barangkali lantaran memang aku tak mampu membawa diriku terbang kesana oleh karena terlalu berat beban di dada, terlalu sarat pikulan di pundak, terlampau keras batu di kepala? Aku tak tahu persis jawabannya. Aku terhuyung limbung. Aku terbelit akar kebingunganku sendiri sebelum akhirnya jatuh terjerembab. Inilah pangkal muasal penyakit yang berkali-kali mengendap padaku. Inilah adab musabab yang sering menyeretku dalam jurang hubunganku denganmu. Jurang yang bertahun-tahun mengangga namun kita selalu saja menyisir di rahangnya. Seolah tak punya rasa nger jatuh di dalamnya dan mati. Sebaliknya yang luar biasa terjadi kita pergi ke sana seolah berpakansi saja, berlibur mencari udara segar.
Semenjak perjumpaan kita, berkali-kali aku terantuk batu-batu. Tetapi engkau dengan sabar membesarkan hatiku, lalu membangkitkanku. Diantaranya dengan mengutip kembali omonganku yang terbenam dan telah kulupa sungguh apakah itu telah keluar dari dasar hatiku yang terdalam. ”Untuk apa kita bertengkar? Di usia seperti ini tidak ada guna kita melakukan itu.” Padahal hanyalah sebuah pertanyaan yang coba kucari jawabnya sendiri. Anehnya, aku justru meragukan niat baikku yang tentu saja keraguan itu memicu keretakkan hubunganku denganmu lagi. Padahal lebih tepat bila kukatakan keraguan itu cermin ketidakberdayaanku.
Sayang itu semua tak pernah benar terjadi. Ini semua terjadi hanya dari balik jeruji.
Yang Terkasih Sulistyorini,
Coretan ini kugoreskan ketika perasaanku terus datang sebagai sosok pribadi yang makin bukan milikku saja. Kesibukan kembara pikiranku bergelombang. Waktu istirahat jiwaku berkurang. Bahkan tidur tubuhku pun kian jarang. Saat itulah aku merasa sebagai pribadi yang sedang mengembarakan emosi, pikiran, pandangan dunia ideku tidak kepada diriku tetapi kepada orang lain.
Tidak aneh juga bila itu kepada engkau, kekasihku, wanita istri dalam percumbuanku yang lama tak kujumpa terpisahkan dinding penjara yang beku ini. Rasanya baru kemarin kita bertemu, sayangku. Sesaat. Pertemuan sesaat hanyalah terminal dari sekian banyaknya persimpangan yang semrawut antara dendam, naluri, pikiran, perasaan, emosi, imajinasi, birahi, harapan, keragu-raguan, dan takut yang silang sengkarut. Karena itulah kupandang perlu menggurat surat agar kita mengerti tak selamanya pertemuan itu hingar-bingar, akut dan bahkan tak hilang watak carut-marutnya.
Duhai Perempuanku,
Terus terang, belum pernah kualami emosi yang demikian bergolak, dalam pertemuan-pertemuan yang selama ini kita jalani. Ini sebuah pengalaman baru bagiku, bersitatap, berdialog dengan engkau yang menjadikanku tahu kamu. Bicaramu spontan, tajam, bahkan terkadang menyakitkan. Satu diantara yang mengejutkanku adalah soal seks (kenyataannya, soal ini tak pernah pergi dan justru menjadi zombie yang menyiksaku di balik dinding bisu ini). Bukankah engkau pernah terlintas menghakimiku bahwa mencintaimu karena seks dan nafsu? Kuceritakan ini padamu dengan harapan sanggup membebaskanku dari cengkeraman keadaan yang menyerupai kutukan ini—manusia yang dilepaskan haknya atas birahi. Jiwaku terganggu, batinku sedih. Tubuhku sakit, meski aku tak sanggup mengurai diri bahwa sebagai lelaki aku sedang tergila-gila dengan tubuh perempuanku, istri yang dikirim langit melalui mimpi-mimpiku. Inilah yang membebaniku setumpuk masalah tubuh dan kejiwaan.
Engkaulah, Istri dalam Percumbuanku,
Maafkan. Aku tak hendak melakukan pembelaan benar dan salahnya. Bagiku seks, birahi, bisa jadi suatu alibi, logika atau keindahan bahasa yang terungkap dari gelora tubuh dan jiwaku tidak saja di hadapan tubuh indahmu bahkan bayang-bayang akan keindahan itu sendiri. Boleh jadi seperti katamu nafsu bisa terangkum di dalamnya. Kau perlu tahu, aku menggelorakan pandangan dunia, keinginan, untuk menjadi lelaki normal. Itu di satu sisi. Di lain sisi, bila tak memenuhi syarat normal apalagi yang mengarah pada tuduhan seks nyleneh, berarti tidak ada ruang baginya dalam wilayah seks yang bermoral. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu bila tuduhanmu seperti itu melayang padaku saat aku masih meringkuk di balik jeruji penjara ini. Aku tidak tahu apakah tuduhan yang kau maksudkan itu seks nyleneh atau karena dorongan lelaki yang berlibido tinggi dan berani? Hanya engkau sendiri tentu saja yang mengerti persis artinya. Sedangkan kukira, dua yang tersebut paling akhir itupun pengertiannya juga amat sumir. Perlukah aku mencurigai jangan-jangan kita punya pemahaman yang beda masalah seks yang kita bicarakan ini?
Yang Terkasih, Sulistyorini,
Aku mencintaimu seutuhnya. Itu tentu saja termasuk di dalamnya aku mencintaimu karena aku perlu seks dan engkau butuh seks. Perjalanan hidupku menyimpulkan itu. Bahwa engkau pun mendambakan seks yang sehat bahkan menghormatinya. Aku terdorong untuk menjaga seksualitas ini selalu dalam situasi sehat jiwa dan badan. Sebaliknya, kecintaanku pun telah mempertimbangkan diri pentingnya aku menjaga vitalitas seks dalam diriku, tubuh dan jiwaku. Jadi bagi lelaki sepertiku dan wanita sepertimu lakinya makhluk Tuhan yang normal, kukira engkau pun tahu kita dianugerahi dorongan seks yang sangat kita junjung tinggi keindahan dan kenikmatannya ini. Masalah berikutnya yang kusadari tumbuh adalah bahwa pasangan lelaki perempuan yang umurnya kian maju dan berkat keindahan seks pula telah lahir anak-anak, ternyata banyak mempertimbangkan faktor lain yang turut mencampuri keindahan seks itu. Kamu pun tahu hal itu. Lantas pertanyaannya bukankah kita sama-sama tahu? Sebagai sebuah pertanyaan, apalagi jawabannya juga dalam wujud kata tanya, tentu sulit untuk dipecahkan.
Sayangku, Kekasihku, Hidupku,
Begitulah aku jadi lebih paham, seks itu justru dari masalah luarnya. Begitu pula aku bisa mengerti kecurigaan itu apabila mengurai soalnya justru di luar masalah seks. Sayangnya, aku tidak bergairah bicara di luar seks, jadilah seperti ini adanya dan maaf tidak berusaha memahami kecurigaanmu. Karena sebenarnya itu lebih mengarah pada perilaku seksualitasku. Begini: Bila yang engkau maksud ”nafsu” saja tanpa pertimbangan soal lain termasuk di luar seks dalam perilaku seksualitasku, mungkin itu keliru dan tidak ada padaku. Dalam berhubungan seks, aku mempertimbangkan banyak hal yang kesemuanya terangkum dalam apa yang kusebut cinta itu tadi, moral dan sejumlah persoalan lain yang melingkupinya. Sebab itu bukan kebetulan bila aku dan engkau kelak kemudian hari memilih untuk menjadi sepasang suami istri di dunia nyata. Ketahuilah, dalam berhubungan seks, aku menyerahkan sepenuhnya tubuh dan jiwaku kepadamu sebagai pasanganku. Hanya kepada engkau yang bisa mengemban amanat cintaku dalam seks. Tidak kepada yang lain dn tidak akan pernah kuserahkan cinta ini kepada wanita lain. Karena pada saat berhubungan seks, segenap perasaanku, naluriku, emosiku, cintaku, tubuh dan jiwaku hanya bisa terlepas melalui setiap inci lubung kulitku lalu mengalir, menguap kepada tubuh dan jiwa pasanganku yang cuma seorang yakni engkau. Tidak akan pernah bisa mengalir kepada tubuh, pori-pori perempuan lain. Puncaknya, memang sebatang kelamin tubuhku yang memasuki ronggamu lalu mencari yang seolah luput dari pengertian seks itu sendiri. Cuma beberapa gumpalan mengental atau kelembaban yang agak menjengkelkan. Tapi ketahuilah ternyata itu bukan satu-satunya puncak seksualitas. Raut mukamu, merah pipimu, sorot tajam matamu, nganga kering bibirmu merangkum segala keindahan seksualitas sejak ngarai sampai perbukitan. Tentu saja ini tak bisa diwakilkan oleh wajah siapapun, karena keindahan itu telah terpatri di sana bagiku. Inilah yang dimaksudkan dengan wajahmu yang ayu atau kecantikanmu yang luar biasa, tentu saja terlepas dari pengertian kecantikan ”dunia dalam” jiwamu karena yang terakhir kusebut ini punya wilayahnya sendiri. Wajar bila kupercaya itu, dan faktanya tak sungguh-sungguh aku sanggup melepaskannya, memisahkannya dari keduanya. Melihat raut mukamu ketika sanggama, seperti melihat keluasan dunia, menikmati keindahan puisi, tak habis-habisnya menuju keutuhannya, utuh mengkeluh. Padahal sebelumnya, ketika kumulai menyentuh sudut-sudut tubuhmu, melintasi gunung-gunung ranum berumput, menguasai perbukitan sejuk segar, lantas memasuki liang goa meronggamu aku telah tahu kesimpulannya—inilah paling sempurna guratan bentuk paling simetris ukurannya. Berhenti. Tapi imajinasi itu tak pernah mau berhenti sampai di raut muka dan sorot matamu. Sementara dua buah payudaramu tak henti-hentinya menggelorakan semangat untuk merangkummu dalam satu kesatuan tubuh dan jiwa antara menjadi engkau atau menjadi diriku. Mencintaimu atau mencintaiku. Mencintaiku atau mencintaimu. Hidupmu atau hidupku. Hidup kita. Di luar itu, segalanya hanya berputar-putar mencari ruang. Pesanku, bila kelak kita sanggama, jangan pernah memejamkan mata atau memalingkan muka. Kecuali bila kita benar-benar menghendaki seperti itu, sebagai bukti bahwa ada kekuasaan yang di luar kuasa kita, membawa kita ke suatu puncak kenikmatan makin dahsyat: Kekuasaan maha sempurna.
Cintaku, Segalanya Bagiku,
Sesungguhnya, aku ingin melihat isi tubuhmu. Maksudku tanpa terhalang benang pakaianmu. Aku ingin selancar bersamamu, berlayar di samudera tubuhmu. Mungkin engkau perlu tahu bahwa saat ini kuingin melepas beban gairah jiwa padamu, seorang wanita yang bukan kebetulan menjadi segalanya bagiku lebih dari sekadar mimpi-mimpi sepasang suami-istri. Begini: Bagiku, sekalipun setiap hari sepasang suami istri sanggup sanggama berpuluh kali, tentu hal itu bukanlah masalah. Sebaliknya, akan menjadi masalah apabila sepasang suami istri hasil perkawinan langit ini tidak melakukan sama sekali selama lebih sebulan dan mungkin untuk waktu yang masih berlanjut. Boleh jadi seringkali justru datang masalah itu dari luar problem seks. Lantas, bila kenyataannya seperti ini: Seorang lelaki seperti aku sonder persetubuhan lebih selama sebulan, dan mungkin masih akan bertambah waktu demi menjaga cintanya, gairahnya kepada raut muka, bibir, pipi, sorot tajam matamu, lekuk kulitmu, buah payudaramu, ngangga rongga goa garbamu hanya karena terpisahkan dinding pernjara. Lalu aku hanya bisa menjumpai dendam gejolak, mimpi-mimpi, birahi, imajinasi, emosi bahkan mungkin juga nafsu selama ini, sampai detik ini dengan penuh cinta. Kemudian, masihkah hasrat kerinduan menyentuh bagian luar tubuhmu, engkau hadiahi kecurigaan yang belakangan terasa kian sakitnya? Aku tentu tahu persis jawabannya, mengapa semua itu tidak kuakhiri saja dengan melabuhkan jurumudi tubuhku pada seonggok daging perempuan yang dalam bahasa perdagangan seks dinyatakan amat rendahnya? Tentu jawabannya bukan saja karena kini aku tengah sendiri di sel penjara ini. Melainkan lantaran sebagian jawabnya telah engkau simpan di raut mukamu dan tajam matamu. Cinta. Ya, rasanya aku hanya tak ingi membenarkan kecurigaanmu.
Duhai Mahkotaku, Hidup Matiku,
Corat-coret ini musti kututup dengan sebuah catatan kaki bahwa seks yang kumaksudkan sejak awal tulisan ini jauh dari watak negatifnya, sehingga idiom yang paling tepat sesungguhnya adalah erotika. Karena telah menjadi pandangan duniaku, maka sebut saja eros. Bagiku tulisan seperti ini akan sangat banyak bermakna dan kuharap demikian juga halnya bagi engkau. Kecuali apabila kelak selepas dari sangkar ini, engkau memilih untuk menolak sanggama denganku. Segalanya akan menjadi tak bermakna. Sia-sia.
Sayangnya, itu belum akan terjadi benar.
Kini, hal itu hanya terjadi di sini, dalam kesunyian ruang bui.
Entah, engkau berada di mana.[]
Musim Kering, Idul Adha 1426 H
Catatan :
1)Sangat makmur dan sangat subur.
2)Pasar rakyat dan pesta sebelum pabrik memulai produktivitasnya. Biasanya, berbagai pertunjukan seperti wayang kulit dan orkes juga digelar di tempat ini.
3)Obat datang penyakit hilang, orang Jawa seringkali bila meminum obat atau jamu mengucapkan doa ini.
4) Wayang kulit.
5) Meriahnya gamelan bertalu-talu.
6) Tetangga kiri-kanan.
7) Rumit.
8) Panggilan untuk anak laki-laki.
9) Cucuku.
10) Terimakasih.
11) Rombongan karawitan.
12) Rokok buatan sendiri dengan bahan dari kulit jagung.
13) Mengganggu langkah kaki.
14) Merintis.
15) Kolam.
16) Menuai.
17) Jatuh.
18) Musim pancaroba.
19) Sekarat.
20) Syukuran.
21) Dari kata random yang berarti acak. Istilah ini digunakan untuk menghitung kualitas tebu dari campurannya yang afkiran dan juga sampah.
22) Gerobak yang berjalan ditarik lokomotif di atas rel.
23) Sebahu tanah ada 500 ru, kurang lebih 1 ru ada 14 m2. Di bagian masyarakat tertentu, terutama di pelosok pedesaan, ukuran ini masih lazim \dipakai.
24) Pada larik kedua sajak Alexander Pope, The Second Epistle of Essay on Man, tertulis “the proper study of mankind is man.” Ajaran yang tepat tentang kemanusiaan adalah manusia itu sendiri.
25) Dari sebuah film karya Teguh Karya, Perkawinan dibintangi Slamet Rahardjo dan Christine Hakim.
26) Tokoh dalam cerita ini tidak mengenal secara langsung hak waris sebagaimana tersebut dalam Al-Quran Surat An-Nisa: 11
27) Semacam olok-olok yang sering digunakan di masa pemerintahan Hindia Belanda. Artinya, kebangetan.
28) Dari adegan film Forrest Gump saat Forrest dengan lari siang dan malam bersama pengikut-pengikutnya sampai tumbuh jenggot dan rambutnya yang panjang.
29) Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta, berarti Orang yang dilawan oleh pemain-pemain yang lain, orang yang membiayai pekerjaan-pekerjaan yang kurang baik.
30) Tubuh. Di sini berarti jenazah.
31) Penyabung.
32) Berkokok.
33) Maksudnya mayat-mayat.
34) Permainan dadu.
35) Permainan kartu.
36) Pulas.
37) Kain panjang pasangan kebaya.
38) Bentuk khas rumah adat Jawa.
39) Bubur dengan menggunakan gula merah. Makanan khas setiap syukuran adat Jawa.
40) Pecahan kaca.
41) Musang.
42) dari catatan sorang siswa di Timor yang melakukan perjalanan ke Timor selama masa liburannya Juli 1981, dalam Perang Tersembunyi Sejarah Timor yang Dilupakan, Fortilos 1998.
43) Barisan Tani Indonsia, organisasi onderbouw PKI
44) Di penghujung tahun 1965 gerombolan PKI, Pemuda Rakyat, BTI dan lain-lain menyerbu peserta Mental Training yang diselenggarakan Pelajar Islam Indonesia di Kanigoro Kras, Kediri. Dengan bersenjatakan klewang, parang, palu bahkan pistol mereka melakukan teror terhadap aktivis PII. Mereka memporak-porandakan apa yang ada di masjid, termasuk menginjak-injak Al Quran dan juga memperlakukan wanita di luar batas kesusilaan. Dengan diiringi yel-yel “ganyang santri, ganyang, teklek, mereka menggiring puluhan ulama dan para peserta Mental Training ke kantor polisi.
45) Dalam Al-Quran surat Tha-Ha ayat 126 Allah berfirman, “Begitulah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi engkau lupakan-Dia; Begitulah di hari ini, engkau dilupakan.” Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang berpaling kepada peringatan-Nya dan yang pada akhirnya dikumpulkan oleh Allah di akherat dalam keadaan buta.
46) Kesenian rakyat asal Kediri, tepatnya di kecamatan Ngadiluwih. Kesenian ini dikembangkan dari ritual upacara meminta hujan dengan menggelar pertunjukan saling mencambuk. Sekarang hampir punah.
47) Panggung.
48) Ada kekuatan ghaib yang menjaga.
49)Penjaga.
50) Rumah besar. Dahulu kantor Kompeni Belanda.
51) Rakyat biasa.
52) Menikahkan anak.
53) Anak semata wayang. Anak tunggal
54) Zaman bahuela, kuno.
55) Lima M; main judi, memakai obat-obatan terlarang, mencuri, main perempuan dan minum-minuman keras.
56Tunangan.
57) Penganut Roland Barthes. Barthes terkenal dengan teori element of semiology, Puisi dapat ditempatkan sebagai sebuah teks yang senantiasa melewati tindakan komunikatif, proses signifikansi dimana produksi maupun reproduksi makna menjadi besar kemungkinan terjadi.
58) Maksudnya tokoh anti kapitalisme, Fredric Jameson
59) Naskah Drama karya sastrawan Perancis, Albert Camus.
60) Dari sebuah sajak Arif B Prasetyo.
61) Jakker, Jaringan Kesenian Rakyat. SMID Sidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demkrasi. PPBI, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia
62) Minta hidup! Minta hidup!
63) Sebutan laIn untuk RSUD Dr Soetomo
64) Apa yang disebut Fat is Beautiful, bukan tanpa bukti. Sebuah artikel The Feminin Figure in Art, History and Surgery tulisan Bnito Viar-Sanch, Presiden International Society fr Aesthetic Plastic Surgery 84-85 menyebut bertahun-tahun lalu dalam kebudayaan Mesir kuno yang disbut Rhytmic Cuture relief-relief atau patung mitos keagamaan menampilkan sosok wanita yang berlemak, Pun di masa Renaissance, lukisan-lukisan tubuh wanita yang diciptakan pelukis pada zamannya, nampak kekagumannya pada tubuh yang tertimbun lemak. Paling menonjol adalah di masa kebudayaan Paleitic. Ada lebih dari 300 figur patung Dewi Venus yang dibuat sebagai simbol tempat laki-laki merindukan sosok keperempuanan, watak keibuan dan tubuh sensual. Bahkan di Rusia orang juga menghormati Venus, yang mirip sebuah Torso. Masih menurut artikel tersebut, beberapa ribu km jaraknya dari Eropa, tepatnya di Siberia persis dekat danau Baikal, telah ditemukan patung-patung perempuan dengan sosoknya yang tinggi dan berkepala panjang. Sama sekali berbeda dengan model Rusia dan Eropa. Hal serupa juga di sepanjang kepulauan Malta, pegunungan Mediterania Barat. Ini cukup sebagai indikasi kurang dari 5000 km, tidak ada perbedaan yang mengejutkan perihal patung-patung itu. Nah, sejarah manusia seperti itu dimaksudkan, untuk waktu sekarang figur nenek moyang manusia ribuan tahun yang lalu bukan tidak mungkin dirindukannya kembali. Mengenai teknik liposuction sebenarnya ada dua cara mekanik, di bagian tumpukan lemak terssbut disedot dengan kekuatan sedotan atau mekanik saja, lemak-lemak itu, tentunya setelah dibasahi, lalu dihisap. Jadi yang keluar itu sel-sel lemaknya. Satuan terkecil dari bagian lemak, itu adalah sel. Kalau sel-sel lemak itu keluar, sel itu masih juga bisa dipakai untuk di tempat-tempat lain asal mempunyai syarat-syarat sterilitas, tidak bercampur kuman dan setelah melalui perawatan bisa dimasukkan ke tempat-tempat lain yang kurang. Metode kedua dengan memakai alat ultrasound, lemak itu ditembak. Lemak-lemak tersebut hancur. Jadi tidak lagi dalam bentuk sel lalu baru dihisap juga oleh alat yang sama dengan menggunakan kanul. Alat penyedot. Jadi perbedaannya, kalau lemak dihisap secara mekanik, pembuluh-pembuluh darahnya ikut tersedot, tetapi kalau dengan ultrasound itu hanya pada sel-sel lemaknya saja dan pembuluh-pembuluh darahnya tidak ikut tersedot, sehingga pendarahannya sedikit, sedangkan metode mekanik itu sendiri bisa juga memakai mesin penyedot atau bisa juga dengan pakai tangan. Kemudian yang penting juga diperhatikan adalah masalah anestesia, pembiusan. Anestesia itu bisa lokal bisa pula umum. Yang lokal itu pakai suntikan supaya tidak sakit, yang lokal ini bahayanya kadang-kadang terjadi apabia over dosis obat penghilang rasa sakitnya. Obat itu ada dosis maksimumnya, banyak pasien mati akibat overdosis. Terkadang dokter-dokter tidak menyadari yang terjadi seperti itu. Timbunan lemak itu biasanya luas, misanya timbunan di perut, satu perut itu perlu berapa gram obat anestesi untuk disuntikkan di situ, dan bisa pula melampaui batas dua, tiga kali bahkan empat atau lima kali lipat dosis maksimum. Banyak laporan-laporan kejadian kematian seperti itu. Jadi bukan karena disedot lemaknya tetapi karena anestesinya itu tadi. Di Indonesia ada yang mati, tidak diketahui apa itu karena terjadi seperti ini. Supaya masyarakat juga hati-hati, oleh karena itu jangan asal sedot. Seorang dokter yang berwenang mempertanggungjawabkan semua itu. Misalkan sedot di perut, lemak, otot dan usus. Kalau tidak mengerti dan tidak terlalu memperhatikan anatomi perut, bisa saja alat penyedotnya masuk ke usus, ususnya lubang malah bisa-bisa pasiennya mati.
65) Juding, semacam alat Bantu penunjuk di papan tulis terbuat dari bambu biasa digunakan oleh guru di depan kelas untuk menjelaskan pelajaran kepada murid-muridnya sampai keras-keras bunyinya.
66) Dikenal malapetaka limabelas Januari. Kerusuhan besar di Jakarta sebagai bentuk operasi khusus pada 15 Januari 1974. Kerusuhan dipicu oleh aksi mahasiswa pimpinan Hariman Siregar saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka. Arsitek opsus itu disebut-sebut Ali Murtopo untuk menjatuhkan Pangkopkamtib Sumitro. (Lihat Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Sumitro dan Peristiwa 15 Januari 1974, Sinar Harapan: 1998).
67) Nama kecil penyanyi Gombloh.
68) Maumere terletak di wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur. Bencana tsunami menyerang kawasan itu pada 12 Desember 1992. Menurut catatan, akibat musibah itu memakan korban kurang lebih 2.000 jiwa dan merusak sekitar 18.000 rumah. Tsunami terjadi akibat gempa bumi berkekuatan 6,6 pada skala Ricter juga menyerbu P. Babi dan Pamana. Bahkan di wilayah tertentu garis pantai bergeser 20 sampai 50 meter ke daratan.
69) Dalam bahasa Indonesia kurang lebih terjemahannya, Keributan Memburu Macan.
70) Diangkat dari novelet Mayon Sutrisno dengan judul yang sama. Novelet ini pernah dimuat di sebuah majalah wanita yang saya lupa namanya. Sepengetahuan saya Mayon Sutrisno sempat bergaul dengan komunitas Bengkel Teater Rendra dan memprosakan sebuah drama garapan si burung merak itu. Uniknya, ada semangat yang serupa terkandung dalam novelet Nyai Adipati, drama Perampok rendra dan Bumi Manusianya Pramudya Ananta Toer. Memang meski tak sekuat Pramudya, Mayon Sutrisno cukup dikenal sebagai penulis yang konsisten mengankat tema-tema nasionalisme. Diantara tulisannya yang lain adalah beberapa buku tentang biografi Bung Karno.
71) Kependekan dari Europese Lagere School. Sebutan untuk sekolah dasar Eropa.
72) Kurang lebih artinya sebuah pesan agar manusia senantiasa berlapang dada menerima takdir dari yang kuasa, seperti keluasan laut.
73) Manusia diciptakan mulia dan paling sempurna oleh Sang Pencipta.
74) Nama popular RSUD Dr Soetomo Surabaya, karena letaknya yang berada di tengah kampung Karangmenjangan. Uniknya, di salah satu emplasemen rumah sakit ini, beberapa ekor menjangan memang sengaja dipelihara di sana.
75) Zat pengawet yang biasa untuk mengawetkan mayat di kamar mayat rumah sakit. Zat ini pula yang sering dicampur pada makanan tertentu agar cukup tahan lama.
76) Pusat Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika.
77) Dari Max Havelar karya Multatuli hal 297. Penerbit Djambatan, cetakan ketujuh, 1991.
78) Ketika cerita ini ditulis, sedang marak pelbagai kasus kengerian berita Koran, diantaranya kasus penggusuran di Kedungombo, rencana pembangunan Waduk di Nipah dan terbunuhnya buruh wanita Marsinah.
79) Sajak Impian dalam Trem, karya Arief B Prasetyo. Selanjutnya dikumpulkan dalam Kami di Depan Republik oleh Kelompok Seni Rupa Bermain.
80) Serakah.
81) Dari Aku Tulis Pamflet Ini dalam Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi. Lembaga Studi Pembangunan. 1980.
82) Sajak Satu karya Sutardji Calzoum Bachri, dalam O, Amuk, Kapak, Sinar Harapan 1981.
83) Singkatan deoxyribonucleic acid yakni asam deoksiribonukleat, dasar molekul kromosom yang berdiri sebagai salah satu prestasi terbesar ilmu abad 20. Sebagaimana diuraikan James Watson dan Francis Crick untuk memahami mekanisme molekul keturunan secara tepat.[]
TENTANG PENGARANG
S. JAI. Selepas lulus dari jurusan Sastra Indonesia, saat masih bernaung di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, ia memilih menjadi seorang “pengembara.” Ia lahir di Kediri, 4 Pebruari 1972. Menurut Penanggalan Islam-Jawa, mustinya ia tercatat lahir pada Ahad Kliwon (4 Pebruari 1973) melalui tangan trampil seorang dukun bayi di dekat lereng gunung Kelud. “Aku tak mau umurku dicuri biarpun hanya sedetik, apalagi setahun,” demikian ungkap putra pasangan Ali Bin Tamsir, tukang kebun sebuah perusahaan peninggalan Hindia Belanda dan Markonah bekas bunga desa yang buta huruf. Ketika beranjak dewasa, berbekal rasa percaya diri yang tinggi dan bermaksud memecahkan problem ekonomi orangtuanya, ia menempuh pendidikan SMEA. Tiga tahun kemudian berhasil mengantongi nilai ujian “nyaris sempurna.” Walhasil, saat itu pula pandangannya tentang ekonomi berubah—sekaligus pemecahan—bahwa ekonomi bukanlah sebuah masalah. Karena itu, tahun 1991 mengembara ke Surabaya untuk memperdalam sastra dan budaya hingga menyelesaikan studinya tujuh tahun lamanya. Tujuh tahun pula bergaul dengan sejumlah komunitas seniman Bengkel Muda Surabaya, Kelompok Seni Rupa Bermain, Teater Puska, Teater Gapus, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar. Sempat bertandang ke banyak komunitas diantaranya Teater Garasi Judi Ahmad Tajudin, Teater Populer Teguh Karya, Bengkel Teater Rendra. Bermula dari bermain drama, terlibat penggarapan sejumlah lakon baik sebagai actor, penulis maupun stradara. Diantaranya, Nyai Adipati, Jalan Tembakau, Samadi, Alibi, Caligula. Pernah mengikuti Pertemuan Teater Indonesia tahun 1993 di Surakarta. Di awal gerakan reformasi, tahun 1994 terlibat kegiatan Malam Seni Luar Biasa di Dewan Kesenian Surabaya memperingati 100 hari pembredelan Tempo, Editor, Detik bersama seniman dari Surabaya, Gresik, Blitar, Solo dan Yogyakarta. Tahun 1995 bersama KSRB menerbitkan antologi puisi dan cerpen Kami di Depan Republik dibacakan di STSI Denpasar sebagai catalog Seni Rupa Layanan. Dengan disertai pertunjukkan drama Kopi Pahit Pak Su, yang ditulis dan disutradarainya sendiri. Selaku kontributor gagasan Seni Rupa Peristiwa, tahun 1998 esainya termaktub dalam catalog Istighotsah Tanah Garam, penyerta ritual tanah di lokasi rencana pembangunan waduk Nipah di Sampang Madura. Berlanjut dialog dengan anggota DPRD Jatim bekerjasama dengan LBH Surabaya. Kemudian tahun 1999 sebagai kontributor gagasan gerakan budaya Wayang Kentrung Tiji Tibeh kerjasama dengan The Japan Foundation. Selain esainya termaktub pada katalog, juga selaku sutradara bersama Saiful Hadjar, Harman Sumarta, Amir Kiah, dan dramawan Akhudiat. Di lapangan sastra, cerita pendek pertamanya priyayi dimuat di koran Surya yang kemudian memberinya kesempatan untuk bekerja sebagai jurnalis selama beberapa tahun. Sastra digelutinya setelah meninggalkan kegiatan jurnalistiknya. Berturut-turut ia melahirkan sejumlah novel. Novel pertamanya Tanah Api diterbitkan LkiS Yogyakarta 2005. Sebuah novel yang diilhami mitos Cerita Panji berjudul Tanha kini dalam persiapan diterbitkan penerbit yang sama. Sementara novel Gurah ini, semula di sebagian fragmennya dimuat bersambung di harian sore Surabaya Post dari Pebruari hingga Mei 2005 di bawah judul Tak Sempat Dikubur. Pada Agustus 2004 mendirikan Komunitas Teater Keluarga. Komunitas ini bermula dari kegelisahan di pinggiran Jalan Airlangga yang berlanjut kehendak mempertemukan setiap lalu lintas ide dalam satu simpul—untuk mengejawantahkannya. Di sekitar Jalan Airlangga, tepatnya depan kampus Universitas Airlangga Surabaya berhumbalang gagasan-gagasan dari sekelompok intelektual muda yang mampir di kedai-kedai kopi. Sejak dari penyair, wartawan, pengarang, penganggur hingga yang masih menyandang status mahasiswa. “Jabang bayi” Komunitas Teater Keluarga lahir di kedai kopi yang terbuka di trotoar jalan itu. Agustus 2004, tercetuslah nama Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga disingkat Keluarga. Puncak-puncak pencapaian kepenyairan kala itu, kian membuat timpang untuk jagad teater dan prosa. Inilah awal Komunitas Teater Keluarga menggagas teater monolog Alibi yang ditulis dan disutradarainya sendiri. Alibi digagas dalam bentuk ”Gerakan Seni Budaya Mengelola Spirit Neo-Primitif: Sebuah Konsep Gagasan Teater Tutur” tepat pada 6 November 2004 di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Sederet penggagas utama S. Jai, F Aziz Manna. Kemudian sejumlah nama turut memberi kontribusi Mashuri, Indra Tjahjadi, Putera Manuaba, Zeus NUman Anggara, Listiyono Santoso, Adi Setidjowati. Dalam proses berikutnya, tentu saja makin membludak intelektual-intelektual yang berasa berasal dari lingkungan jalan Airlangga. Boleh mahasiswa, sarjana (muda, karena fresh graduate) atau pengajar. Bahkan tak sedikit komunitas yang tumbuh berkembang untuk bertemu di simpul yang sama. Naskah Pantai yang ditulis Zeus NUman Anggara juga digagas untuk pentas di tempat ini. Berikutnya, pada 25 Oktober 2008 teater masih dipercaya sebagai kendara menuju ujung terjauh temali kekeluargaan: Racun Tembakau adaptasi dari On the Harmful Effects of Tobacco, Anton Chekov yang menggunakan konsep “Estetika Realisme - Primitif, Testimoni, dan Pengutuhan Kualitas Hidup.” Adaptasi dan penyutradaraan masih dikerjakannya sendiri. Sementara katalog dikerjakan bersama mantan aktivis Sardiyoko, Siti Nurjanah, Indra Tjahyadi. Menulis naskah dan menyutradarai pembuatan film dokumenter Pita Buta, tentang alur dana bagi hasil cukai tembakau di Kediri. Selain itu juga menulis esai di pelbagai media massa dan gagasan kesenian dan kebudayaan mulai dari prosa, puisi, drama, film yang hendak dikumpulkan di bawah Kumpulan Konsep Kebudayaan . Sedikit dari cerita-cerita pendeknya masih tersimpan dalam bentuk manuskrip biasa. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehari-harinya ayah dari Raushan Damir, Khasyful Kanzan Makhfi dan Zahra Ulayya Mahjati ini bekerja pada Kini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya. Sebuah lembaga pemberdayaan yang bergerak di bidang pendampingan, pendidikan alternatif dan penelitian masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.[]