Menakar Kenaikan Cukai Rokok
Surabaya Post, Selasa, 9 Desember 2008 | 10:50 WIB
Dibanding membayangkan cukai rokok naik 6-7 persen, lebih asyik berandai-andai RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berlaku dan Jawa Timur bisa menghitung pendapatan daerah dari Pajak Rokok 25 persen cukai. Oleh S. Jai *
SETIAP ada peristiwa politik, senantiasa inspiratif. Tak terkecuali Pilkada. Apalagi berlangsung di wilayah “seindah” dan “semenarik” Jawa Timur—penduduknya besar, karakternya komplek, pendapatan daerahnya melimpah dan tentu saja kian banyak yang merasa berkepentingan atasnya.
Maka amat inspiratif bagi siapapun untuk berandai-andai, mengkalkulasi, menganalisa atau bahkan menghitung untung rugi. Karena itu mari kita berandai, jika Jawa Timur telah mengakhiri pesta demokrasi, pemimpin baru duduk di kursi. Rupanya amat menarik bila kita berandai RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kini tengah digodok di pusat, lantas diundangkan.
Bagi Jawa Timur masalah pajak rokok tentu bakal jadi perbincangan yang memeras otak. Sebetulnya, cukup banyak yang bisa disoal dari RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini. Satu hal yang tak bisa dianggap remeh adalah masalah pajak rokok yang menawarkan dua opsi. Pertama, pajak yang dikenakan berdasar persentase cukai rokok atau kedua didasarkan kepada harga jual eceran.
Yang pertama, daerah diberi wewenang menaikkan maksimal 25 persen dari cukai rokok yang telah ditentukan, untuk agar masuk ke pundi-pundi pemerintah daerah. Sementara cukai rokok yang masuk ke kas negara tetap 100 persen dari ketentuan pajak. Dampaknya tentu saja, harga rokok di pasar naik setidaknya sebesar kenaikan yang diambil persentase oleh pemerintah daerah.
Adanya keharusan bahwa kenaikan maksimal 25 persen itu diperuntukkan bagi program kesehatan pun, kelak masih bisa disoal. Kendati banyak para pihak, utamanya kelompok lembaga swadaya masyarakat yang mendesak agar ada dana khusus bagi kesehatan bagi para penderita penyakit akibat asap rokok.
Sementara alternatif kedua kenaikan pajak maksimal 25 persen dari cukai rokok itu, langsung dikenakan pada harga jual di tingkat pengecer. Konsekuensinya, pemerintah daerah harus mendaftar toko atau supermarket yang menjual rokok untuk penghitungan berapa rokok yang dijual dalam sebulan. Lalu berapa musti dikenakan pajaknya dari angka itu kepada sejumlah pengecer, toko, supermarket yang sudah barangtentu tak mau dirugikan dari “gerilya” pemerintah daerah ini.
Asumsi persentase 25 persen bisa seperti ini. Diketahui saat ini cukai perbatang rokok Rp 30 – Rp 35. Dalam sepuluh atau duabelas batang alias perpak, cukai rokok kurang lebih mencapai terendah Rp 300 dan tertinggi Rp 420. Selanjutnya, apabila kemudian pemerintah menaikkan tertinggi 25 persen (yang menjadi hak dari pemerintah daerah), pajak rokok menggelembung jadi Rp 375 hingga Rp 525.
Terang saja, bila angka-angka itu nantinya pasti tidak bakal berdampak berarti bagi konsumsi rokok di tingkat masyarakat, bahkan masyarakat miskin. Apalagi bila dibandingkan dengan persentase konsumsi rokok yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sekadar contoh, Dr Widyastuti Soerojo (Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI) menyebut, perokok pemula perempuan usia 4-10 tahun, 68,8% (2001) naik 78,2% (2004). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah perokok pemula umur 5-9 tahun naik signifikan.
Jika pada 1995 produksi rokok hanya 199.450 miliar batang, maka 10 tahun kemudian (2005) meningkat menjadi 235.500 miliar batang. Prevalensi merokok di kalangan remaja laki-laki umur 15-19 tahun meningkat 139,4 persen selama 1995-2004; dari 13,7 persen menjadi 32,8 persen. (Jawa Pos-11/11)
Tentu saja, tidak sulit untuk memprediksi dampak apa yang bakal terjadi manakala, benar kemudian pemerintah menaikkan cukai rokok 6 sampai 7 persen. Jawabannya, tidak banyak yang berubah alias tak ada perubahan pada konsumsi rokok di tingkat publik. Konsumsi rokok masih seperti sediakala—terus meningkat. Yang sedikit berubah tentu saja, terkait pundi-pundi pemerintah dari cukai rokok.
Dibanding membayangkan cukai rokok naik 6-7 persen, lebih asyik berandai-andai RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berlaku dan Jawa Timur bisa menghitung pendapatan daerah dari Pajak Rokok 25 persen cukai.
Sekalipun bakal kehilangan sedikitnya Rp 135,849 miliar Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.07/2008. Hitungan kasarnya, dengan asumsi tingkat konsumsi rokok tidak bergeser, dan daerah lain menambah pajak rokok juga dengan persentase yang sama, angka cukai Rp 43,8 triliun bakal membengkak menjadi Rp 54,75 triliun.
Dari jumlah itu Rp 10,95 menjadi hak terbesar Jawa Timur, selain Jawa Tengah, Jawa Barat, Provinsi Sumatera Utara, DIY sesuai perbandingan dari Peraturan Menteri Keuangan. Sebut saja kurang lebihnya 70 persen dari Rp 54,75 triliun, yang berarti sangat mungkin Jawa Timur berhak atas Rp 38 triliun. Sungguh jumlah yang fantastis.
Angka itu memang belum pasti, juga mungkin tidak pasti kendatipun hari ini misalnya pasangan gubernur yang terpilih telah dipastikan memimpin Jawa Timur. Setidaknya, sedikit tergambar wajah 2009 apa yang berdenyut di Jawa Timur, jika Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berlaku atau tidak.
Rokok adalah gurita, tidak saja bagi pemerintah daerah, industri rokok, tapi juga gurita bagi masyarakat miskin para perokok. Sebagaimana data survei Indonesia Forum on Parlianmentarians for Population and Development (IFPPD), bahwa dari 19 juta keluarga miskin di Indonesia 12 juta ayah dari keluarga miskin ini adalah perokok.
Jika sehari rata-rata 10 batang rokok dihisap maka mereka telah membelanjakan Rp 23 triliun pertahunnya untuk rokok. Boleh jadi sekalipun harga rokok melambung, mereka tetaplah miskin, mungkin juga mereka tetaplah sebagai perokok, meski dengan rokok ketengan.
Kenyataannya, harga rokok belum akan melambung. Apalagi bila harus naik sebatas 25 persen. Rendahnya cukai rokok di Indonesia dan ditunjang murahnya biaya produksi menyebabkan harga rokok yang sangat murah. Ketika harga rokok bisa terjangkau oleh semua kalangan termasuk yang paling miskin pun, maka jumlah perokok akan sangat besar begitu pula jumlah penderita penyakit yang disebabkan oleh rokok.
Kenyataannya, dari data Center for Religious and Community Studies (CeRCS) harga rokok di Indonesia rata-rata Rp 9 ribu perpak tahun 2007. Angka itu terpelanting dan terbanting jauh dibandingkan di Thailand mencapai Rp 16 ribu perpak, Malaysia Rp 20 ribu perpak, atau di Singapura mencapai Rp 69 ribu perpak tahun yang sama.
Melihat kenyataan seperti itu, bagi yang memperjuangkan masyarakat sehat untuk mendapat udara yang terbebas dari segala zat adiktif, tentu masih akan mengelus dada dengan kenaikkan cukai 25 persen. Apalagi cuma 6 sampai 7 persen saja di tahun 2009. Lantas, menyakini bahwa tak perlu cuma mengelus dada karena masih butuh upaya konkret meminimalisir senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat kersinogenik ini melayang-layang di udara kota ini, adalah penting.
Barangkali inilah catatan bagi gubernur baru perlunya mempertimbangkan betul pendapatan daerah dari sektor pajak satu ini. Jikapun belum perlu mbanggel melihat tabrakan pelbagai aturan perundangan yang berpeluang potensi dampak menurunnya gairah dunia usaha, terutama akibat UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Betapa, pajak dan retribusi daerah dalam UU yang baru lebih banyak daripada UU sebelumnya,UU 34/2000. Betapa pemerintah malah memberi peluang legal pungutan secara “kreatif” bagi daerah sebagaimana disebut pemerintah pusat “perda bermasalah.”
Itulah suatu hal yang bukan mustahil terjadi dalam waktu dekat. Apalagi berkah itu musti dibagi sebesar 30 persen kepada pemerintah propinsi, 40 persen kepada daerah penghasil, dan sisanya termasuk 30 persen dibagikan kepada seluruh kabupaten atau kota yang ada di Jawa Timur yang bukan daerah penghasil. Akan tetapi baiklah, berkah boleh jadi amat tipis dengan musibah.
Artinya, membayangkan keadaan yang lebih runyam, semisal korupsi merajalela mungkin lebih baik bagi Gubernur sekarang bila kelak RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mulus diberlakukan. Mewaspadai tumbuh suburnya “raja-raja kecil” kiranya lebih bagus bila tak ingin keadaannya kelak lebih runyam. Tentu saja sambil mengembangkan spirit hidup masyarakat kecil yang lebih positif, sehat dan kreatif—amanah yang tak bisa ditinggalkan pimpinan Jatim ada atau tidak ada korupsi.
Kenaikan pajak rokok 25 persen dari cukai adalah sesuatu yang dibayangkan. Lalu mengapa belum tergambar cukai naik lebih dari seribu persen? (*)
*) Penulis adalah peneliti pada The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya