CALCUTTA VAN JAVA
Sebuah Naskah Drama
S. JAI
TOKOH
DALANG KENTRUNG
EDELEER GERRITSEN
KIAI MANSYUR
UMI KHALSUM
KASIYATI
PANGGUNG HANYA SERUANG. SEBUAH
TEMPAT TINGGI TEMPAT CERITA BERGANTIAN DIBAWAKAN. SEMENTARA DI BELAKANG PANGGUNG, SEBENTUK
LAYAR LEBAR. SEBUAH PETA DUNIA DENGAN JALUR TRANSPORTASI BUDAYA JAWA DAN INDIA
MEMBENTANG DI PERMUKAANNYA. DI SEBELAH
KANAN SEKELOMPOK ANGGOTA MUSIK KENTRUNG SAMPAKAN PENGIRING. SENANTIASA MENGALUN DENGAN TEMBANG-TEMBANG
PENGLIPUR LARA. SALING BERSAHUTAN KARENA SETIAP YANG BERMAIN BERBURU HARMONI
IRAMA TETABUHAN KENTRUNG. DALANG DAN WAYANG SAMA-SAMA PUNYA RUANG DALAM DIRI.
BABAK PERTAMA
SATU
DALANG KENTRUNG: Pabrik itu dibangun pada menjelang akhir
masa kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr ACD de Graeff sekitar tahun
1930. Jerih payah dari revolusi industri
paling modern di zamannya, 40 tahun sesudah berakhirnya system tanam paksa
tanaman tebu. Benarkah sungguh-sungguh
berakhir?
Yang menakjubkan ketel uap pabrik sebagai dapur meski lebih setengah abad
umurnya tetap berfungsi baik. Juga
lokomotifnya penarik lori-lori baru belakangan saja diafkir. Justru ketel kedua
yang baru dibangun lima tahun terakhir sering ngadat. Puncaknya bulan April 2007 pipa-pipa arus
produksi meledak dan kebocoran tak bisa dihindari. Produksi mangkir total.
Setelah tender perbaikan digelar, biaya perbaikan nyaris menyentuh angka 10
miliar. Kerusakan ketel jelas berdampak
pada ruginya petani tebu yang harus antri tebang jika pun beruntung tebunya tak
mengering. Waktu tercepat yang dibutuhkan perbaikan ketel dua bulan.
Peristwa inilah yang mengantar percepatan insinyur Gerritsen dikirim ke
Jawa. Meski sebetulnya ia hendak
ditugaskan menyelidiki kebocoran-kebocoran lain terkait keuangan
perusahaan. Kapasitas produksi sangat
memadai, bahkan peringkat terbaik. Tapi
kredibilitas perusahaan harus diselamatkan sampai tercium rencana swastanisasi
dari pihak BUMN.
Sudah dapat diduga apa yang terjadi di dalam. Nenek moyang di Nederland hanya butuh kirim
orang untuk menyiapkan laporan konkret dari Gerritsen. Tapi kini rencana sedikit berubah. Dia punya tambahan waktu untuk menggoda
perempuan-perempuan Jawa.
DUA
EDELEER GERRITSEN: Bukan
maksudku tampil selaku diri yang gila misteri.
Kedatanganku memang membawa misi rahasia.
Secara professional tak seorang pun boleh menyingkap tabirnya. Tapi secara pribadi tidak satu pun bagiku
perlu menyimpan misteri hidup. Sepanjang
berbatasan tipis dengan rahasia tertinggi dari Sang Khaliq, tidak pernah aku
menutup-nutupi suatu soal. Apalagi
menyangkut kehidupan pribadiku.
Seperti yang kututurkan ini adalah keberadaanku yang sebenar-benarnya. Bahkan yang tersimpan di bilik ruang dalam
jiwaku. Menjadi rahasia bila berhadapan
dengan orang lain, bagiku cuma terhalang selembar tirai. Tentang hidupku, cintaku, petualanganku, juga
tentang kehidupan spiritualku. Terlebih
pengembaraanku menembus keleluasaan padang alam citaku.
Sebelum terpaku di kamar kos milik keluarga Nyonya Jumanah dan Kiai
Mansyur, aku punya latar belakang pekerjaan yang sama sekali tak menyenangkan
untuk kuceritakan kendati itu terjadi di negeri sememikat itu, India. Aku diminta mempelajari seluk-beluk sukses
berabad-abad maskapai perkebunan peninggalan Inggris. Dua tahun aku di negeri persemakmuran itu
tapi tanpa hasil. Pikiranku terus
melayang pada perempuan. Karena kukira
penyebabnya lantaran tak ada wanita yang menyeretku jadi betah dan pintar di
sana.
Kini sesuatu yang luar biasa mulai terjadi di sini. Aku merasa takjub, benar-benar tersihir keindahan India justru di wilayah
peta ini. Sepenggal negeri yang dahulu
bernama Hindia Belanda. Ketika aku
menjadi seorang yang terhormat lebih dari sekadar anugerah Edeleer dilayani
wanita tengadah pasrah di gang mesum bernama Kasiyati. Saat di lembaran hidupku yang lain aku dipuja
gadis penuh gairah putri nyonya rumah, Umi Khalsum.
Aku lahir di Wageningen, Nederland 28 tahun lalu. Aku tak punya nama kecil. Aku menyelesaikan pendidikan teknik di Technische
Hogeschool Delf dengan spesialisasi
mesin produksi Ketel Uap dan Boiler, menurut anjuran ayahku yang
berharap aku bisa bekerja di maskapai perkebunan yang dirintis leluhurku, Deli-Batavia
Maattschappij di anak cucu perusahaannya.
Entah di turunan yang ke berapa.
Sampai kemudian oleh suatu sebab aku bekerja di PT Perkebunan Nusantara X
Pabrik Gula Ngadirejo, di Jawa ini.
Sebelum dipersiapkan mengemban
misi rahasia ini, aku harus terlebih dulu mendalami Bahasa Indonesia selama
beberapa bulan di Universitas Leiden.
Mengambil kursus singkat spionase di salah satu rekanan Akademi Militer
Kerajaan di Breda.
Tapi baiklah untuk sementara aku belum perlu mengungkap misi rahasia apakah
itu. Demi menjaga profesionalisme
kerjaku sebagai seorang ingenier, ahli mesin. Aku perlu tunjukkan bahwa bule yang semenjak
kecil dicap pemalas ini, karena kebiasaanku membersihkan lubang kuping dengan
bulu ayam atau cottonbuds, berkelejatan lantaran geli keasyikan ke
sekujur syaraf tubuhku ini, seorang pekerja yang beres. Di pabrik tak ada
ayam. Hanya kulit tebu atau paku. Kunci atau besi.
TIGA
KIAI MANSYUR (Kebiasaan
Amarah Abah) : Umi, kamu seperti perempuan liar, tak bermoral. Kau perempuan penggoda yang tak tahu agama.
Melihatmu, aku merasa telah menanggung beban dosa yang luput kumintakan ampun
pada Allah. Kau berbeda dari tiga
kakakmu yang selamat menempuh hidup bahagia.
Tinggal kamu satu-satunya slilit di sela gigi Abah dan Ibumu.
UMI KHALSUM: Jangan
salahkan terus aku, Abah. Aku punya
pribadi dan Abah punya andil membuatku berbeda seperti ini. Bagaimana Abah terus membedakan aku dari
saudaraku dengan sekeji ini. Aku memang
harus beda, tanpa atau dengan campur tangan Abah. Persoalanku sudah sangat lain
Abah. Masalah keilmuan. Kenapa Abah begitu bernafsu ingin aku seperti
anak-anak lagi?
KIAI MANSYUR : Anakku, Abah sekadar memantik hatimu akan
moral dan agama.
UMI KHALSUM: Bagaimana
bisa Abah punya hak menentukan seolah satu-satunya orang yang tahu moral, dan
kukuh beragama? Hanya karena Abah punya mushala dan pernah nyantrik di
pesantren paling mujarab menyembuhkan luka aklaq. Seoalah aku adalah dosa Abah dan harus mohon
ampun bertobat padamu.
KIAI MANSYUR : Karena itu sebaik-baik jalan,
anakku. Agama.
UMI KHALSUM: Anakmu
memang tak bisa membaca huruf Arab apalagi kitab. Tapi bukan berarti aku terkutuk.
KIAI MANSYUR : Tak ada orangtua yang tega mengatai
anaknya demikian.
(Umi hampir saja menangis
bila ayahnya tak mulai menyoal hubungan asmaranya dengan pria dari negeri
kincir angina itu. Bahwa seorang ayah
kini sedang khawatir dengan kehidupan pribadi putrinya.)
KIAI MANSYUR : Mustinya kamu berlaku sopan sekalipun kepada
pria yang kurang tinggi aklaqnya, Umi.
UMI KHALSUM: Jadi
Abah menempatkan Umi dan Tuan Gerritsen tak beradab?
KIAI MANSYUR: Tidak.
Abah hanya melihat kamu sedang terancam, mendekati bahaya perbuatan
setan.
UMI KHALSUM: Sudah
kusangka, Abah sangat kejam.
KIAI MANSYUR: Abah cuma tidak ingin apa yang kubangun
sebagai keyakinan lalu runtuh kembali.
Sesuatu yang berat. Sakit.
Pengorbanan itu sangat pedih, Umi.
Kecuali bagi orang yang ikhlas.
Tapi ada yang lebih pedih dari itu, takdir yang tak sempat kita
rebut. Bapakmu ini belum cukup ilmu
ketika tidak sungguh-sungguh menyakini jalannya benar-benar ikhlas atau
meragukannya. Dulu ketika Abah memilih
menikahi ibumu, aku sedang berperang menaklukkan diri. Bagaimana aku bisa menjamin hidup seorang
wanita yang tidak henti-hentinya merasa diri sebagai anak haram keberadaannya
di dunia ini. Ia menyebut diri putera
setan. Abah bertarung waktu itu dengan
batin sendiri. Lebih meradang ketimbang
pergulatanku dengan keadaan zaman. Abah
tak bisa berpaling karena kuanggap ini takdirku yang bisa kurebut. Aku memenangkan pertarungan itu, meski
semuanya itu ternyata bukan semata-mata hasil jerih payahku. Seiring berlalunya waktu, lambat laun darah
setan yang mengalir di tubuh ibumu terbuang.
Anak. Ya, anak-anak telah lahir
dan membersihkan kotoran yang bersarang pada tubuh ibumu. Aku bersyukur karena
semua anak yang lahir dari rahim ibumu, perempuan. Siti Rodiyah, Siti Rofiah, Siti Fatimah dan
kau ragilku, Umi Khalsum. Aku tak habis
piker bagaimana Mbah Putrimu, ibumu dan aku punya nama sendiri-sendiri
untukmu. Seolah-olah kamu hendak
dibentuk demi untuk memenuhi perasaan-perasaannya sendiri. Ah, tapi sudahlah, kau juga tak akan mengerti
perasaan Abah. Kau belum pernah dihujani
panah takdirmu ke ulu hati antara yang tak bisa kau tekuk dan yang bisa kamu
buat remuk. Sepenuhnya itu hakmu Umi,
milikmu. Abah hanya tunjukkan
batas-batas diriku, bahwa kuakui terkadang aku sangat ingin kau kembali seperti
anak-anak lagi. Bukan. Jangan. Jangan artikan ini penyesalan. Ini cuma gambaran ayah yang tak mau hilang
kekuasaannya.
(Beberapa butir air bergulir
dari sudut mata Abah.)
UMI KHALSUM: Seperti
halnya dia, aku tidak berduka. Dia
kukira hanya sedang tidak mengenali puterinya lagi. Seorang wanita berdarah muda yang tengah
menggugat hidupnya karena merasa ibarat di sarang laba-laba. Bahkan untuk menangkap gairah yang
menggelegar dari binary matanya saja dia tak bisa. Kiranya, ia melihat puterinya terjebak
permainan cintanya sendiri.
KIAI MANSYUR: Umi, kau sedang dikuasai nafsumu, anakku.
UMI KHALSUM: Tapi
aku punya otak, Abah.
KIAI MANSYUR: Hanya itu yang mengendalikanmu? Tidak
cukup. Tidak adil. Kamu hanya akan jadi kekonyolan yang kau
tertawakan sendiri kelak. Pergaulanmu dengan
Gerritsen akan meruntuhkan spirit hidup ibumu bila kau tak hati-hati, Umi. Abah sedang mengingatkan. Jangan kau buat ayah ibumu punya hutang
pertobatan yang belum lunas.
(Umi Khalsum tercenung. Berdiam diri. Berdamai diri).
EMPAT
EDELEER GERRITSEN: Aku suka sama kamu karena kau gadis yang
sangat bergairah, Umi. Kau gadis Jawa
model terbaru. Pintar, terbuka, pemberontak, punya karakter dan yang lebih
penting kamu kaya obsesi. Juga fantasi.”
UMI KHALSUM: Ada lagi pujianmu yang tertinggal, Tuan
Gerritsen?
EDELEER GERRITSEN: Oya, ada.
Kau sangat cantik. Maksudku, itulah segala kecantikanmu, Umi.
UMI KHALSUM: Bagi Umi Khalsum yang terakhir ini tak
sanggup menusuk ke dalam kalbunya.
Betapa, meski ia cantik, ia telah meninggalkan jagad kecantikannya dari
sisi jasmaniahnya. Ia tak mau undur ke
belakang dari pencapaian dunia dalamnya.
Tapi ia percaya rayuan Gerritsen bahwa kecantikan itu bias dari gelora
cintanya pada ruh hidupnya yang sejati.
Bahwa dirinya adalah misteri tersembunyi dan kini ia berenang di lautan
bawah sadarnya itu demi dia sendiri.
Umi cukup memahami ajaran manunggaling kawula Gusti.14) Bahwa
dirinya hanyalah gambaran mengenai Tuhan saja.
Ia semata-mata tampil sebaik samarannya, nama-nama yang pernah dia
punya. Termasuk gambaran cintanya kepada
pria itu. Ia juga percaya pada seorang
pria yang kelak akan menyingkap sisi terahasia hidupnya, mengenali cintanya dan
tentu saja membuka tudung samarannya.
Ia yakin Gerritsenlah pria itu. Pria intelek didikan Eropa. Ahli mesin yang jatuh cinta pada puisi, tahu
mistik, mengagumi Jawa dan tentu saja seorang petualang yang haus akan sesuatu
fantasi baru, obsesi segar yang kira-kira simpulnya jatuh pada perempuan Jawa
bernama Umi Khalsum.
UMI KHALSUM: Bila aku bersamamu, aku seperti
menziarahi hidup yang purba, yang primitive dan tanpa kepalsuan, Tuan
Gerritsen.
EDELEER GERRITSEN: Andai negeri ini dipenuhi sesak manusia
berjiwa sepertimu, Umi. Setidaknya
orang-orang pintar yang bebas punya kehendak seperti kau banyak hidup di kota
ini. Apalagi jika para penguasa negeri
ini punya jiwa sebebas kau, terlebih dengan spirit ibu yang ada padamu. Oh, kejayaan akan datang dan kehormatan
kembali, enggan untuk pergi lagi, Umi.
(Mata Gerritsen menerawang
dalam).
UMI KHALSUM: Wow.. jadi kau tahu juga riwayat Jawa di
masa tempo dulu, Gerritsen?
EDELEER GERRITSEN: Aku hanya sedikit membaca permukaannya
saja. Dari Lombard, Geertz, atau Magniz
Suseno selain pakar-pakar Jawa dari negeriku sendiri waktu di perpustakaan
Leiden.
UMI KHALSUM: Tapi kau sangat menukik dalam kalbumu
perihal kejawaan. Seolah kau tahu banyak
jiwa ksatria dan kesetiaan seorang perempuan pada diri Dewi Shinta atau pada
Kunti yang dari rahimnya lahir Arjuna. Kau juga pemuja percintaan Batara Kamajaya
dan Dewi Ratih, bukan?
(Tiba-tiba Umi bicara
wilayah jiwa yang antara hidup inheren di negeri kahyangan dan bumi pertiwi.)
EDELEER GERRITSEN: Tentu Mahabarata dan Ramayana juga
kubaca. Meski cuma
sepenggal-sepenggal. Bagaimana bisa kamu
puji aku luar biasa dalam kejawaan? Kau
yang bertahun-tahun mendalami Jawa, tinggal di Jawa, berbahasa ibu Jawa. Pujian itu tepat untukmu.
UMI KHALSUM: Buktinya aku masih juga belum paham
benar. Sebaliknya, aku mengerti justru dari uraianmu.
EDELEER GERRITSEN: Semoga kau tidak sedang berfilosofi mikul
dhuwur mendhem jero15) yang terjemahannya, memendam rasa sakit
sambil mendorong orang lain celaka itu.
UMI KHALSUM: Tidak.
Apalagi terjemahanmu itu salah kaprah.
(Umi seperti melempar bola
pingpong saja).
UMI KHALSUM: Sepanjang siang Umi menghabiskan hari
bersama kekasihnya, Gerritsen. Keduanya
saling menjelajah wilayah tak berpeta.
Kota dan juga cinta. Kota yang
bagi Umi persis rak-rak perpustakaan pribadinya, arsitektur, maupun tata letak
rancang bangunnya. Sementara penduduknya
adalah buku-buku budaya, agama, kepercayaan, sastra, ilmu jiwa dan sebagainya
dalam deretan katalog secuil kertas.
Lalu tentang cinta, kami saling memasuki ruang-ruang jiwa yang belum
terjamah, hutan-hutan perawan, saling menjadi tamu sekaligus tuan rumah di
negeri fantasi kami sendiri tempat segala keindahan juga misteri
kegaibannya. Kami sedang merasuk melalui
pintu bahasa, bercengkerama, berkencan menciptakan sekaligus memecahkan
mitos-mitos baru kami perihal cinta.
Bahwa cinta tak pernah tuntas bila dinalar sekalipun murni dari otak homo
sapiens paling cerdas, intelektual suma cumlaude dari universitas
terkemuka.
Ternyata cinta berdiam di sisi tersembunyi dari bilik bernama hati. Semacam institusi yang bersih, murni, suci
tanpa kepalsuan dan kebenarannya tak diragukan.
Ia merangkum seluruh gemuruh gairah pikiran, perasaan, inderawi juga
intuisi batin kami.
UMI KHALSUM: Pikiran
akan gagal menerangkan cinta. Seperti
keledai di lumpur. Cinta sendirilah
pengurai cinta.16)
(Tiba-tiba Umi ingat saja
sepotong sajak penyair Rumi dari Afganistan).
EDELEER GERRITSEN: Huih…kau pengagum Rumi rupanya.
UMI KHALSUM: Ah, hanya membaca. Tapi itu tak akan membantuku jadi orang. Aku punya spirit sendiri tantang bulan. Aku berjanji kelak akan kuceritakan padamu
bagaimana lelaki memuja cinta perempuan karena perempuan adalah kesempurnaan,
kecantikan purnama. Kukira tak hanya
perempuan yang mendamba purnama tapi juga kaum pria yang mabuk kemilaunya.
EDELEER GERRITSEN: Candra Kirana?
UMI KHALSUM: Diancuk! Tuan tahu juga?
EDELEER GERRITSEN: Kan sudah kubilang, aku diberitahu Romo
Zoetmulder.
UMI KHALSUM: Kami
sama-sama pecinta. Kami sama-sama
pemabuk tak peduli mata yang berpandangan,
raga yang bergandengan,
berpelukan, bahkan berciuman di dekat kuil bersebelahan dengan Jalan
Niaga tengah kota. Diapit dua buah bukit
ranum di sisi barat kota. Juga pelukan
kali di tebing kuil menuju pasar bekas dermaga kapal masa silam.
Umi menghabiskan waktu belanja buku-buku dan sedikit keperluan wanita,
parfum, snack, sofftex, susu pembersih, juga pembersih lubang
kuping cottonbuds untuk kekasih agar tak perlu repot mencari bulu ayam,
kendati dengan alas an khusus Umi tetap setia menyediakannya.
LIMA
SULUK SANG DALANG: Bias
binar keajaiban cinta tetap nyala. Bagai
lazuardi api yang berkobar tertiup angin.
Semesta dibasuhnya, meski sang kekasih telah tiada. Atas nama cinta Dewi Anggraeni, yang terbang
menghadap sang pencipta, Raden Panji Yudarawisrengga menolak kawin dengan
saudara sepupunya, putrid Prabu Lembu Merdhadhu di Kediri. Pewaris tahta kerajaan Jenggala itu memilih
menyingkir ke Ngurawan—tempat Prabu Lembu Pangarang, pamannya, bertahta. Raden Panji yang juga punya nama Jayakusuma
itu pun berpetualang cinta dengan menikahi putri pamannya, Dewi Surengrana.
Sang pangeran muda itu pun telah melunasi takdir keajaiban cintanya,
tatkala ruang waktu peristiwa berkubang pada peperangan. Ketika itu pecah pertempuran antara kediri
dan Hindustan. Pemantiknya, harga diri
yang terbeli lantaran lamaran raja Hindustan, Kelana Sewandana ditampik Dewi
Candra Kirana. Perang berakhir dengan
Prabu Kelana berkalang tanah bersimbah darah.
Segera, sang pangeran muda memetik kesempurnaan bulan pada diri Kirana
yang jelita.
Nun jauh di sana, selembar jiwa bernyanyi dalam duka. Surengrana musti mengisi hari-harinya yang
dirobek senandung cemburu. Tangisnya
seperti tembang. Perempuan itu membunuh
sepi dengan menderak-derakkan jeruji giginya.
Dia memarut geram sendiri. Ia pun
menuai badai. Badai langu membungkus
namanya, Dewi Thotok Kerot.
ENAM
KASIYATI: Duhai anakku tersayang, entah sudah
berapa dongeng kuceritakan padamu. Kini
sampailah pada kisah penghujung di usiamu.
Sejenak lagi kau tumbuh remaja.
Bila sebelumnya telah kukisahkan tentang dongeng binatang, cerita
berikutnya adalah perihal manusia. Bukan
maksud ibumu hendak menghentikan tradisi bercerita kita. Tapi semata-mata agar engkau belajar mencari,
menemukan dan menyelami cerita-ceritamu sendiri. Sesukamu.
Sekehendakmu. Sebebas merpati
yang terbang dan kemudian kembali pulang.
Engkau punya rumah, anakku. Hanya inilah
pesanku. Engkau juga punya ibu. Seburuk apapun ibumu. Sebrengsek dan senaif apapun dia.
Sekalipun orang lain menilai kehidupan kita tak bermutu, belajarlah mencari
arti dari keadaan itu sesungguhnya.
Karena dengan demikian kau tak terbiasa dalam kepalsuan, sebelum
selanjutnya menolak kepalsuan itu. Sebab
itulah sebagai anak yang hendak menginjak remaja, saatnya kini kukisahkan
padamu dongeng tentang sesuatu yang dianggap orang tidak bermutu. Manusia yang kukuh sungguh melawawan
kepalsuan itu.
Ibumu ini telah cukup melihat cerita ini banyak yang tidak masuk akal,
hilang ingatan atau antara mimpi dan kenyataan.
Ibumu hanyalah seorang tukang cerita bagi anak-anaknya seperti engkau,
anakku. Agar tumbuh kuat dan hidupmu
bermutu. Sekalipun kita dilahirkan di
dekat air comberan dengan kondom beterbangan dikendarai busa sabun wangi dan
sampah shampoo di komplek pelacuran berbau minyak srimpi ini.
Wahai putraku tercinta, Ibumu memang seorang pelacur, tapi kisah ini adalah
cinta yang besar bagimu, bagi hidupmu, dan bagi harapan-harapan kehidupan di
masa mendatang. Agar engkau jadi tahu
tak semuanya yang besar musti berawal dari kemewahan, kemegahan. Inilah misteri dari cinta, anakku. Tumbuh dimana ia suka. Sekarang, tiba saatnya kau perlu tahu gairah hidup
ibumu yang demikian juga disemangati oleh dongeng yang abai. Tentang seorang wanita yang dikutuk karena
kebiasaan buruk. Seorang pencemburu yang
senantiasa menderak-derakkan giginya.
Kerot-kerot mengunyah dendam dan benci.
Mungkin semacam cinta juga.
Bahkan dendam itu pun diabadikan dalam sebuah arca Dewi Thotgok
Kerot. Luar biasa tinggi arca perempuan
yang sedang sial itu.1)
Tentu saja ibu menyimpan banyak tanya, gugatan. Sedemikian buruk nasib sang dewi. Sementara pria punya selera, sang pujaan Panji Jayakusuma malah kian memprimadona
justru karena sering berganti nama dan cintanya. Terlebih terhadap Dewi Candra Kirana. Seolah mereka sejoli penyelamat dunia.
Aku protes keras, anakku. Cinta itu
misteri yang bukan cuma milik orang istana, putera raja-raja yang sempurna
hanya dalam cerita. Kita tidak akan
pernah sesempurna cerita itu, anakku.
Tapi cinta itu tumbuh tidak pernah pilih kasih. Ia hadir pula bersama kita, di sini. Di dunia nyata maupun mimpi kita, cerita kita
ini.
BABAK KEDUA
SATU
KASIYATI: Takut?
Ah, aku telah tak punya rasa itu lagi.
Garis hidupku yang melabuhkan aku di gang mesum ini, telah suntuk
bagiku. Menjadi orang buangan, tapi
dibutuhkan. Jadi yang terhina tapi
dipuja lelaki hidung belang, telah mendamparkan takdir kehidupanku yang sama
sekali lain. Meski aku tak tahu persis
apakah takdir itu kurebut atau hanya terseret arus yang menyebabkan aku
demikian tak punya takut.
Katakanlah sesuatu kekuatan tumbuh dari bawah kesadaran jiwaku, bahwa
hidupku kini yang sebenarnya, telah ada di ruang rongga tubuhku. Sedang jasad
ini ternyata tak cukup berguna kecuali bagi lelaki yang perlu menenggelamkan
batang tubuhnya.
Karena itu, aku tidak takut dengan garis keriput di raut mukaku. Aku tak gentar dengan usia senja yang bakal
menyerang tubuhku. Apalagi hanya untuk
hilang nyali bila mulai sepi dari penjaja tubuhku. Aku merasa punya hidup baru
sebagai seorang wanita berjiwa pengembara yang meninggalkan jasadnya. Agar menikmati keluasan samudera alam cita,
merasuk ke dalamnya, mendaki puncak-puncak gunung es di dasar lautan terdalam,
terjauh. Aku tak peduli tubuh semenjak
lelaki sedang butuh.
Meski aku tetap setia tinggal di gang sempit ini, kendati tak masuk dalam
kamus pilihanku. Aku memang tak punya
pilihan, seperti halnya aku setia pada jasadku yang tak tersisih sekalipun
merepih. Pilihanku hanyalah aku punya
obsesi yang besar pada kehidupan yang sederhana di gang sempit dan mesum
ini. Gang yang cuma kenal ditindih atau
menindih.
Ya, keberanianlah yang menggurat di nadi leherku. Keberanian untuk kembali
lahir lagi, hidup lagi, tidak sekadar sebagai seorang pelacur miskin yang
sentimental pada isi kantong lelaki. Aku
ingin bernyali besar tumbuh sebagaimana jiwa seorang wanita, seorang ibu bagi
anakku dan seorang manusia yang mengendarai sendiri mimpi-mimpinya. Bahwa menjadi manusia, menjadi wanita
tidaklah sesederhana di gang mesum ini.
Ketika perempuan-perempuan sibuk menjemur kasur, mencuci sprei, atau
upacara menelan pil anti hamil, aku berkelana selaku wanita tukang cerita bagi
anakku. Aku memperkenalkan negeri asing
yang entah itu dongeng, mimpi atau dunia nyata keadaannya. Aku tak peduli. Karena bagiku yang terpenting adalah aku
sedang menciptakan suatu dunia baru yang sanggup melepaskan seluruh krisis yang
mendera tubuhku. Bagaimana rupanya? Seperti apa wujudnya? Percaya atau
tidak? Itu hanya semata urusan orang
yang mencari-cari pekerjaan yang sia-sia.
Paling-paling aku cuma dicap perempuan yang mati rasa, yang sakit jiwa
atau putus asa akibat dagangannya nganggur percuma.
Tapi kalianlah sebetulnya yang sakit
Satu-satunya kebusukanku, aku adalah seorang pelacur. Itu semata-mata urusan tubuhku sendiri.
Aku sudah bermaksud menghentikannya dengan cara hanya menerima seorang
tamu saja. Seorang saja. Selebihnya, jiwaku sehat walafiat. Bahkan belum pernah aku merasa sesehat
ini. Aku punya anak, punya hidup, punya
cinta, cita dan punya hak dan kuasa. Apa
yang salah? Aku juga punya misteri yang
kukejar, punya gairah yang memabukkan untuk kuburu. Apalagi?
Salah satu kebrengsekanku hanya urusan jasadku.
Setiap lelaki yang kuhardik dengan kasar seperti itu tak cukup pintar untuk
mengerti. Lelaki paling cerdas hanya
bersikap mundur teratur. Tapi yang bodoh
biasanya mengajak bertempur. Sedang pria
yang setengah-setengah seringkali berucap, “astagfirrullah.” Kata yang di gang mesum ini terbilang sangat
kejam menggantikan kalimat, ”Tuhan menyembuhkan penyakit sosialmu dengan
mengutuk jadi gila.”
Dengan makhluk pria, aku tak pernah berdebat. Cukup jelas bagi yang datang di gang ini,
juga yang ke rumahku bukan lelaki yang punya jiwa petualang soal-soal kegilaan
atau kemabukan. Yang datang Cuma
sepenggal nafsu dengan bumbu perasaannya.
Atau seonggok hati yang berekor birahi.
Dan tentu saja uang atau perjanjian utang.
Selain itu, juga lantaran di pintu rumahku dan pintu jiwaku seakan tertulis
pesan, “Tak ada tempat untuk berdebat,” atau, “Ceritaku tidak untuk digugat.”
Namaku Kasiyati. Ejaan yang benar
Kasih Hati. Tapi penghuni gang mesum ini
akrab memanggilku Mening. Bila ada
lelaki yang senang dengan nama Kasiyati, sudah barangtentu dia bukan pria
biasa. Dulu aku tersiksa dengan nama Mening. Kini tidak lagi. Aku punya seorang putra tanpa bapak,
Jauhari. Panggilannya Jauhar. Aku sendiri yang memberinya nama. Seperti juga aku yang menentukan jalan
hidupnya, juga jalan ceritanya.
Aku menjalin kasih dengan pria berkebangsaan Belanda, Edeleer L
Gerritsen. Aku berharap dia bisa menjadi
ayah yang baik bagi Jauhar. Karena
keinginanku itu, aku sendiri yang menambahkan Edeleer di depan namanya
itu. Artinya, tuan yang terhormat.
DUA
UMI KHALSUM: Entah bagaimana mulanya, keberadaanku,
kehadiranku begitu tiba-tiba saja ada.
Aku lahir, hidup, punya masa
silam, masa kini dan masa depan, maka aku ada.
Aku sering berganti-ganti nama, tapi tak mengubah garis hidupku.
Dan yang kutulis ini kuyakin adalah perjalanan hidupku terlepas dari siapa
pun namaku.
Semula aku punya nama Kiyato, agar tumbuh sebagai gadis yang tegar. Mbah Puteri yang memberi nama itu. Selain berbau Japanese, juga mencontoh
kekuatan batin Mbah Puteri yang dulu sebagai
jugun ianfu3) sebagai pemuas nafsu serdadu
Jepang. Namun selang beberapa tahun,
ibuku yang memang berdarah Jepang itu protes.
”Harusnya aku yang punya nama itu, karena akulah keturunan langsung serdadu
Jepang,” sergah ibu suatu saat seperti dikenangkan Mbah Puteri.
“Nggak perlu. Justru karena kamu
memang berdarah Jepang kamu kuberi nama Jawa—Jumanah. Akulah yang tahu ayahmu orang brengsek,”
tepis Mbah Puteri yang masih menyimpan kekerasan hati buah dari dendam. “Kamu tak akan kuat. Tapi puterimu bisa jadi yang berani
berhadapan dengan orang Jepang.”
Ucapan Mbah Putri memang terbukti.
Bertahun lalu aku turut andil mendaftarkan nenekku sebagai penerima
santunan korban kekejaman fasisme Jepang.
Ibuku sempat mengganti namaku dengan Maharani. Tapi keseharianku yang rusuh, liar dan tak
pernah makan kitab suci agama, membuat ayahku Kiai Sholeh Mansyur jadi
risih. Aku berganti nama Islam dari
kitabnya, Umi Khalsum.
Aku bersikukuh menjadi diriku sendiri, keadaanku.
Tingkahku kian menghebat, kebat kliwat4) tatkala duduk sebagai mahasiswa
Ilmu Budaya di Universitas Pawiyatan Dhaha.
Aku makin merasa tangguh merekam di otakku konsepsi-konsepsi kebudayaan
sebuah kota yang telah lama terkubur.
Aku punya kepercayaan demi melukis gambaran bakal lahirnya kembali
kejayaan kota ini.
Aku menciptakan kota Calcutta van Jawa, menjadi kota besar, kaya, megah
yang terbelah peradabannya oleh sungai laiknya ular melingkar, Gangga. Dengan sisik-sisik berkilau di sisinya. Rumah abu, mantra dan doa peziarah yang
hendak menghormat leluhurnya.
Bila matahari pagi menyusup, percikan kilau dari ombak kali menjadi kanvas
emas perahu-perahu gethek5) penambang pasir. Di sisi timur
bibir kali berdiri Klenteng terjepit pusat kota dagang, Dhaha. Di pinggir sebelah barat gereja yang lapang
menghadap kubah masjid agung. Berdiri
menjulang di atas pasar bandar kali.
“Ini sebuah kota pujaanku, impianku,”
gumamku. “Betapa sejak dari sudut
arteri hingga jantungnya membuat pikiran, perasaanku melesat ke peradaban dengan pelbagai
kepahitannya, keangkuhannya bahkan keluguannya.”
Petang datang diintip mata dewa yang berbinar keemasan. Di sudut timur laut kota, petilasan Yang
Mulia Maharaja Prabu Jayabaya tak pernah henti menghembuskan nafas kota.
Sebuah spirit dan jiwa dari raga kota.
Sebiji mata batin bagi seluruh warga yang memujanya.
Di sana tertanam rahasia masa silam, masa kini dan masa depan. Kami
berlomba menangkap sumber dari segala sumber alamat, sasmita.
Tentu engkau pun tahu aku memahatkan doa atas nama Gerritsen juga di
sana. Aku ingin dengan segala cinta dan
birahi menjadi satu-satunya kekasihnya.
Aku mau dia menjadi pendamping hidupku.
Dan aku baru kali ini mengucapkan doa yang begini simple, meski
aku orang pintar. Bukankah cirri orang
pintar itu berdoa dengan bahasa yang melayang tinggi melambung ke angkasa? Tapi tidak bagiku kali ini.
SUARA-SUARA: Eh,
kamu juga minta supaya kekasihmu itu tak sering bertandang ke gang mesum
Proborini?.
UMI KHALSUM: Tidak.
Kenapa? Mungkin jawabnya
belum. Karena bule itu biasanya
liberal. Ia tidak suka dilarang dari
sesuatu yang memang haknya.
SUARA-SUARA: Hei..jadi kau pendamba cowok
liberal? Penganut freesexs,
sering gonta-ganti pasangan?? Ingat
AIDS, sayang!
UMI KHALSUM: Huh!
Aku tidak berkata begitu.”
SUARA-SUARA: Lantas?
UMI KHALSUM: Karena aku tahu Gerritsen hanya bergaul
dengan seorang pasangan saja yang aman di gang itu. Dia sendiri cerita padaku. Sebegitu terbukanya cowok liberal itu.
SUARA-SUARA: Kau akan menikahi pria yang menceritakan affair-nya
dengan seorang pelacur?
UMI KHALSUM: Why not?
TIGA
EDELEER GERRITSEN: Meski aku tak tahu jawaban persisnya, sayang
dugaanku keliru ketika mengira wanita itu tak menyukai tetek mbengek
soal mesin, oli dan rancang bangun pabrik.
Setidaknya itu kutahu dari gairah sorot mata Umi Khalsum bila mendengar
paparanku. Gadis itu jadi paling kritis
mengajukan Tanya seolah dialah insinyurnya, bukan aku.
Entahlah, semakin aku cuma merasa ada yang aneh saja. Selanjutnya terserah padaku. Biarpun tumbuh kecurigaanku mengapa Umi
Khalsum gelisah sibuk mengatur duduk bila menyaksikan bulu ayam menari di
cuping kupingku. Seakan aku yang
menikmati tapi dia yang menggelinjang malang.
UMI KHALSUM: Jadi Mr Gerritsen didatangkan khusus
untuk menangani ketel pabrik yang meledak itu?
(Kedengarannya Umi bertanya sesuatu yang telah tahu jawabnya).
EDELEER GERRITSEN: Ya,
begitulah kurang lebihnya.
UMI KHALSUM: Wah, hebat dong.
EDELEER GERRITSEN: Kebetulan saja, aku yang ditunjuk
mendampingi lobi mendatangkan konstruksi pipa-pipa ketel uap dari Jerman atau
Jepang atas rekomendasi banyak pihak yang tak perlu kusebut.
UMI KHALSUM: Sebegitu pentingnya bule ini?
EDELEER GERRITSEN: Jangan kamu kira aku nggak ngerti kata bule,
gadis Jawa yang nggak Jawa.
(Kami pun tertawa
cekikikan. Desah angina penjambak bau
sedap malam menerobos kehangatan canda kami).
UMI KHALSUM: Huh, apa sampean ngerti orang Jawa
yang Jawa?
EDELEER GERRITSEN: Untuk mengerti Jawa tidak harus belajar
pada orang Jawa. Nederland itu gudangnya
pakar Jawa. Kamu mungkin nggak percaya
orang Jawa sekarang justru belajar Jawa di Nederland. Lebih banyak professor ahli kebudayaan Jawa
di Nederland ketimbang dari Jawa.
Universitas Leiden itu istananya budaya Jawa. Paling yang kamu kenal cuma Neil Murder, Zoetmulder.
UMI KHALSUM: Aku percaya. Aku sudah tahu kenyataannya seperti itu. Jadi kata-katamu percuma. Lebih baik ceritakan yang tak aku tahu
perihal pabrik.
EMPAT
KASIYATI: Edeleer, aku harus katakan tak
cukup berucap terimakasih padamu. Kaulah
pria yang membuka matapandangku, matahatiku, matabatinku tentang keindahan
cinta di lembah nista ini. Kau seperti
sengaja dikirim hanya untukku, untuk hidupku.
Tidak untuk yang lain, tidak untuk kepentingan lain.
Bagiku engkau sesosok dewa yang
terjun ke rawa-rawa, sesuatu yang tak pernah terbayang sebelumnya olehku.
Kau sungguh nyata, Edeleer. Kau
menembus lebih jauh dari hidupku selama ini yang cuma berkubang pada Lumpur,
dan rumput basah di rawa-rawa ini. Hidup
sederhana yang berkutat soal dapur, kasur dan sumur atau sandang, pangan dan
papan. Hidup yang bahkan untuk menyentuh belahan jiwaku, anakku saja
aku tak mampu. Aku tak kuasa dan tak
sampai terjemah hatinya. Bagaimana bisa
aku mencuri arti yang demikian ini?
Bahkan, jikapun itu suatu ujian, aku merasa tidak pernah lulus. Untuk pasrah saja aku tak rela. Apalagi harus memberontak keadaan. Apalagi harus bersyukur, betapa aku makhluk
paling nista, bila itu terjadi: Bersyukur dianugerahi kebebasan menikmati gerak
riuh gemuruh gang mesum ini. Lebih kejam
dari rajam hujatan makhluk yang disucikan moral dan kitab agama atas nama
dendamnya pada gang mesum ini.
Apakah itu pertanda puncak dari kematianku? Tujuan hidupku? Atau semacam tetenger
bahwa aku telah tak memiliki apapun?
Apalagi hak? Sebaliknya bahwa
akulah yang sesungguhnya telah dimiliki belahan jiwaku, anakku. Begitulah aku sebagai perempuan sebagai ibu
yang terampas, terenggut.
Pada titik tertentu, aku merasa diselamatkan putraku.
Kini aku berdiri di titik balik yang serupa garis cakrawala di tepi
samudera. Kaulah samudera itu, Edeleer,
dengan alunan ombak, angin dan kicau beburung di angkasa. Juga di balik pelipis laut yang terendam ada
karang, palung terdalam sampai ruang gelap di dasarnya. Kekayaan yang tak ternilai harganya.
Jiwa yang membangkitkanku kembali
dari matisuri pikiran, indera, imajinasi, perasaanku dan intuisi hati dan
batinku.
Ah, mengapa aku demikian memuja dengan kata-kata begitu seolah-olah hidup
seperti rumput—hijau segar tapi kerap dianggap pengganggu. Kutahu jawabnya demi hidup itu sendiri yang
seringkali dicap tidak bermutu, meski sama-sama susah dimengerti, kejujurannya,
keluguannya, keindahannya, apalagi rahasianya.
Padahal ini adalah sesuatu yang sederhana.
Cinta, birahi, uang dan harapan.
Atau sejenis belaskasih, nafsu, hiburan dan uang makan.
Kekasihku, Gerritsen, aku memujamu sebagai orang asing dari belantara jiwa
yang perawan, suci dengan sinar gairah purba yang lugu dan murni yang
kubutuhkan. Andaikata aku lelaki
pengembara, kaulah Dewi Anggreini yang memikat hati sang Panji. Tapi kaulah pria itu dan aku bukanlah Dewi
Anggreini, perawan lugu sesempurna cahaya rembulan, purnama yang bertengger di
jarum-jarum cemara dan puncak rerimbunan bambu yang membayang diserpih air
sungai.
Kau yang berkuasa atas kelelakianmu.
Aku tidak punya kekuatan untuk menaklukkan cintamu, merebut rahasia
jiwamu menjadi milikku. Aku hanya
menunggu keajaiban berpihak padaku mendapatkan cintamu, kasihmu, birahimu,
hidupmu.
LIMA
UMI KHALSUM: Memandang
Abah menuntun ibu ke kamar mandi saban pagi, telingaku serasa dibisiki
sepenggal kata yang menggetarkan hati.
Ibu lebih sepuluh tahun usia Abah tapi di tubuhnya sama-sama mengalirkan
darah sejarah.
Lukisan itu bukan suatu alasan bagiku membenarkan atau menyalahkan argument
Abah. Aku sebatas memahami serentetan
bunyi yang ditembakkan dari rongga mulut Abah melalui sudut pandang sorot mata
ibu. Kukira itulah satu-satunya usahaku
menjangkau hati ibu. Perihal takdir ibu
aku tak sampai hati mengumbarnya.
Ibu tetaplah seorang ibu.
Bila menelan sesuap makanan, terlebih dulu ibu musti menjulurkan lidahnya
ke depan, mengangkat dagu tinggi-tinggi, lalu memaksanya meluncur di batang
tenggorokan. Kebiasaan itu abadi hingga
kini, yang menurut Mbah Puteri sebuah gambaran dari semangat hidupnya yang
melayu, memberat dan menyiksa diri.
Berbeda dengan Abah, ibu puasa bicara.
Satu-satunya jendela yang menembus kalbunya cuma sorot matanya. Orang pertama yang sanggup mengintip ruang
jiwa dari jendela itu adalah Abah. Dari
sanalah tidak ibu punya garis-garis warna yang berbeda. Abah senantiasa menanamkan benih cinta dengan kata, “Kau bisa mengendalikan
takdirmu, berawal dari matamu.” Mantra
Abah ini ternyata mujarab. Syarat berat
agar Abah menyembuhkan sakit jiwa ibu sebagai anak setan terlampaui. Setelah berkat doa, cinta, juga tatapan
mata. Maafkan bila untuk yang satu ini
aku susah menterjemahkan: Bagaimana mula
pertama percumbuan ibu, percintaannya di ranjang saat saling memasuki dari
jendela dua pasang matanya. Hampir
pasti, Abah harus terlebih dulu main paksa.
Lantas, betapa hidup ibu jadi berubah semenjak awal mula menjatuhkan mata
pandang ke dalam bayang terdalam bening mata bayi-bayi puteri buah kasih
keduanya. Ibu mendapati cermin diri pada
sebentuk nyala redup yang berkelebat menyusup di rongga mata anak-anaknya.
Untuk pertama kalinya ibu tersenyum, saat itu. Untuk kali pertama ibu memperkenalkan kepada
kami, bayi-bayi ini, kebebasan seperti arus air mengalir. Lalu apa bedanya aku dengan saudara-saudaraku? Mengapa di mata Abah, aku pembawa sial? Jika Abah memintaku membaca ayat-ayat
berbahasa Arab, mengapa kemudian kujawab dengan pertanyaan serupa agar Abah
duduk di bangku kuliar mengambil filsafat, sejarah, sastra atau budaya? Mengapa engkau tidak menemukan jawabnya pada
mata ibu, bahwa takdirku berbeda dengan takdirmu, Abah, yang berkawan maupun
yang bergelut denganku?
Aku tidak mendapat alasan yang cukup untuk menyiksa Abah. Ibu mengikat kami. Tidak saja perasaan dan batin kami. Tapi juga hati yang tak terbantahkan
kejujurannya, kebenarannya, kemurniannya.
Siapa berani berbantah, mengunyah, apalagi muntah?
Kenyataan bahwa kecurigaan Abah kelak aku akan merobohkan bangun spirit
hidupnya, hanya dengan menjalin asmara pria asing itu kukira sangat berlebihan. Itu sama artinya,
Abah yang putera seorang terpandang, kukuh memegang ajaran agama,
menganggap semua pria bule itu Yahudi atau kafir. Sungguh keji.
Kuakui, sadar atau tidak, sisi terdalam jiwaku yang sempat terlupakan
terbias bayang bening sorot mata ibu.
Jendela hati yang menghamparkan
pandang segala keindahan hijau belantara cinta yang purba.
ENAM
KASIYATI: Tahukah
kamu perihal cemburu, Edeleer Gerritsen?
Pernahkah kau menyelami perasaan perempuan yang dikurung dalam diri
seperti itu, seorang pelacur yang hanya mendamba cinta seorang lelaki saja?”
pertanyaan ini bergemuruh di dadaku hampir pasti tak terjawab oleh kekasih
hati.
Di depan pria pujaan, hatikui seringkali rusuh—keadaan yang pernah kubayangkan
dan kutakuti, mula pertamanya, mencari makna dari keterasingan,
keganjilan. Sama sekali tidak popular di
gang mesum ini, ketika halaman rumah para wanita penghibur bisa dihitung berapa
jumlah tamunya dalam sehari, sehari semalam atau seminggu.
Hebatnya, aku kian merasa dikuasai gila-gilaan olehnya. Hingga dia menggapai kenikmatan rasa buah
dari emosinya itu. Aku bercumbu dengan
cemburunya pada pejantan asing berkulit roti merah yang matang. Puncak rasa itu nyaris membuatnya melenyapkan
otaknya. Dia hampir hilang akal.
KASIYATI: Aku
belum pernah punya rasa ini sebelumnya, Edeleer. (Kasiyati mengulang tanya, juga mungkin kepada dirinya sendiri).
EDELEER GERRITSEN: Aku menyukai tempat ini, menyukai kamu,
memberiku daya hidup.
KASIYATI: Kata-katamu menghunjam sampai ulu
hati. Seperti roti tawar dengan mentega
tanpa selai. Aku ingin mengatakan sesuatu yang semenjak engkau jadi tamuku,
telah menyiksaku, Edeleer.
EDELEER GERRITSEN: Ceritakanlah.
Senang sekali aku mendengarmu, Kasiyati.
KASIYATI: Aku
kini dihinggapi perasaan yang sebetulnya tak dimiliki wanita penghibur. Kau
yang memulai, Edeleer, kuharap kamu juga yang mengakhiri. Jika aku menjadi pelacur karena semata-mata
demi uang, demi kehidupanku, aku sudah cukup mendapatkan hampir seluruh gajimu
dari perusahaan. Jumlah besar yang
mungkin tak seberapa dibanding kiriman komisi jasa baikmu dari negerimu
sendiri. Aku sudah harus memenggal masa
laluku yang menyerahkan keperawanan karena kemiskinan. Aku mesti mengakhiri dongeng Bombay6)
ala India tentang seorang gadis yang menjual keperawanannya di atas alas
kardus demi biaya pembakaran jenazah bapaknya.
Barangkali ini serupa daya hidup dalam pikiranmu. Hanya saja aku mendapati suatu kenyataan yang
lain, Edeleer. Aku sudah harus
meninggalkan lembah ini tanpa harus dibayangi ketakutannya merenggut kebebasan
hidup seseorang. Bukankah kau datang ke
gang ini didorong keinginan melunasi kebebasanmu? Ah, bagaimana mungkin aku mulai bisa mengutuk
dan mengingkari kenyataan lembah nista yang telah jadi bagian hidupku. Edeleer, bertahun-tahun aku hendak
melenyapkan akalku, tapi terbukti hari
ini aku tak bisa. Agar tidak banyak
mempertimbangkan seabrek perangkat pikiran, perasaan, nasib. Betapa hari ini ternyata aku masih hidup dan
sanggup jatuh cinta kepadamu, Edeleer.
Aku mencemburui kebebasanmu, cintamu.
Sementara aku masih terpaku pada keseharian hidup yang mengurungku di
sini. Apakah aku salah? Aku tidak sampai
hati menyalahkan diri sendiri atau menyesali diri karena jujur harus kuakui
satu-satunya terjemah dari kebebasan yang kudapatkan terbaik ternyata ada di
tempat ini. Ialah tatkala aku tidak
punya perasaan apa-apa terhadap beban tubuhku.
Juga simpul yang tidak asing bagi kebutuhan tubuh: Uang yang kudapat
dengan gampang. Terlentang di atas
ranjang, melayang dan akhirnya dibuang.
Edeleer, tentu kau tak bisa membayangkan dari anti klimak keadaanku yang
telah terlupakan.
TUJUH
DALANG: Kasiyati
mengapuh perasaannya, pikirannya, inderanya, sampai dengus nafasnya pun ia
minta menyingkap isi hatinya. Sulit
dibayangkan tidak menguap, bila itu ia ungkap kepada pria yang memuja pikiran,
apalagi harus berkendara bahasa Indonesia dari hasil kursus tiga bulan. Sebab itu, Kasiyati lebih banyak bersandar
pada hal-hal yang irrasional, yang tak terucapkan, dan yang asali, murni tak
terbantahkan. Inilah yang ia percaya
sebagai nenek moyang bahasa yang ia ucapkan.
Seorang Edeleer Gerritsen hanyalah manusia biasa. Ia berbicara dengan banyak sekali bahasa. Satu-satunya kamus mutakhir yang komplet
menyerap makna adalah ketika kami sedang bercinta, bercumbu rayu dan bertubuh
utuh memerah sperma menghisap darah, peluh dan melemparkan raga. Nafas kami yang hangat kaya nuansa, bahkan
puisi. Juga aroma tembakau yang dihisap
Edeleer, bau parfum murah hadiah pria-pria yang mencoba merayuku, minta diri
tak mau dikebiri dari arti.
EDELEER GERRITSEN: Jika
pun benar kamu sedang tersiksa, aku tak suka kamu menyiksa diri seperti ini,
Kasiyati. Di tempat ini, di ruang dan pada orang yang kupilih sebagai pelabuhan
hasrat cintaku.”
KASIYATI: Hei..
Bagaimana kamu bisa ucapkan kata-kata seindah itu, Edeleer?
EDELEER GERRITSEN: Kamu
yang mengajari aku, Kasiyati.
KASIYATI: Ah,
Tuan hanya memuji.
EDELEER GERRITSEN: Tidak,
perempuanku. Dari seluruh permukaan bumi
paling tepi, ranjangmulah, kamarmulah pasak bumi yang memusat ujung
temaliku. Lalu, kamulah titik dengan
bilik-bilik kamar tempat istirahku.
Pengelanaanku berpusar padamu, berkumpar di pusarmu.
KASIYATI: Edan! Jangan-jangan ini rahasia terhebat dari
ketangguhanmu di tempat tidur. Karena
Tuan minum pasak bumi Kalimantan, ya?
EDELEER GERRITSEN: Nggaaakk!!! Aku cuma sedang belajar bahasa Indonesia
saja. Dari tubuhmu.
DELAPAN
EDELEER GERRITSEN: (Menyampaikan laporan) NGADIREJO,
suiker fabriek8), April-Mei 2007. Perbaikan ketel pipa air berkali-kali bongkar pasang. Kerusakan parah akibat ledakan pipa mungkin
bisa diatasi. Tapi mencari kebocoran dalam
jumlah besar seperti upaya menemukan jarum di tumpukan jerami. Jerami yang terbakar. Kebocoran masih terus terjadi.
Desas-desus dari luar berhembus pabrik bakal berhenti total
beroperasi. Tapi kamu para inginier
berkejaran dengan waktu
memulihkan peralatan jantung pabrik.
Ketel buatan Japan, merk yoshimine berkapasitas 75T/h itu, kerusakan boleh dikata total dari kedua jenis
arus: pipa air downcomer maupun riser. Kontraktor yang memenangkan tender dan
sanggup mendatangkan pipa khusus dari Japan berjenis searless carbon steel
tube boiler 33. s-jis.6-3461-1978
(Ike tak yakin angka-angka ini berguna bagi anda, hei para bestuursleder9)
). Sanggup bekerja 24
jam. Sebab bila dalam sehari perusahaan
untung bersih 2 miliar rupiah, berapa musti rogoh kocek dalam sebulan atau
bahkan dua bulan?
Rupanya ini krisis paling hebat sepanjang sejarah pabrik. Melihat geliat kerja mandor perusahaan,
karyawan pastel dan kampanye apalagi yang kontrak harian, seperti
kucing kebanyakan makan. Krisis ini
memudahkan bagiku menangkap isu praduga bersalah demi memuluskan project
atasanku: Menguasai kembali maskapai melalui swastanisasi. Tentu saja sambil di sana-sini berteori. “Jelas ini akibat human error yang
menumpuk. Standar perawatan ketel di
luar dan dalam masa giling tidak diterapkan.
Jelaga yang berlapis-lapis penyebab korosi berlebihan.”
Beragam tuduhan pun mulai melayang.
Rasional maupun berbau supranatural.
Krisis ini konon ibarat pecahan gunung es dari akumulasi pelbagai
kejahatan misdrijf10) berwajah kolusi, korupsi dan nepotisme meski
masih desas-desus perlu dibuktikan lebih dalam.
Kebocoran dana di sejumlah pos atau mark up pelbagai tender
sonder pertimbangan biaya perawatan dan nilai penyusutan. Tuan pasti paling suka fakta ini agar “ayam
jantan” segera lepas dari kurungan bolong BUMN ini. Ini sandi operasi yang tak boleh bocor kepada
pers. Untuk masalah ini akan terus saya
kejar sampai mendekati kebenaran.
Info lain: Mulai muncul gerakan protes petani akibat kerugian yang diderita
tanpa kompensasi. Harga tebu jatuh tanpa
kepastian kapan waktu tebang. Sebagian
malah mulai menuding telah terjadi permainan atas rendahnya rendemen
tebu. Pada saat kisruh, dari sisi
kepercayaan gaib,itu semata-mata kesalahan administratur pabrik yang tak
menghormati danyang-danyang penunggu desa.
Upacara-upacara ritual dituding sengaja ditebas. Tak ada pertunjukan wayang, jaranan, apalagi
ritual penyerahan binatang atau boneka korban.
Kelihatannya mulai banyak kepentingan yang bermain. Lebih banyak pula yang sibuk mencuci
tangan. Soal yang ini, kiranya kawan yang
bertugas nguping di jajaran direksi di kantor Jembatan Merah Surabaya
banyak mengumpulkan data. Laporan untuk
sementara sampai di sini. Kiriman komisi
jangan sampai telat lagi. NB: Email
baruku pasakbumi@mailcity.com.
Daftar dugaan departemen-departemen yang potensi korup belum bisa
kulaporkan. Aku masih melayani
perempuan-perempuan di sini. Kau tahu bukan, aku seorang javanenliefde11)
terutama kepada gadis-gadisnya.
Aku cuma berbekal sepotong sajak Tagore:
O,
perempuan, kau bukan buah karya Tuhan semata, tetapi
buah
karya lelaki juga12).
BABAK KETIGA
SATU
DALANG: Aroma
kecap merasuk ketika kami melenggang di gang kampong yang sebagian besar dihuni
orang Tionghoa. Sebuah pabrik berdiri gugup di situ karena kedelai seperti lari
sembunyi dari ladang. Lalu restoran cepat saji menyediakan aneka makanan murah
rakyat seperti warung. Kami menyantap
rupa-rupa masakan tauhu dibumbu tauge, taokwah manis hangat semangkuk. Kamu juga memesan taoco dan menyeruput
segelas teh. Beberapa gethuk pisang
kumasukkan kantung plastic. Bentuknya
menyerupai jung-jung yang membawa pasukan Kublai Khan di masa akhir kejayaan
Kediri lampau, mengangkut senjata api
atau juru masak tentara yang kocar-kacir oleh tipudaya Widjaya. Kukira orang-orang ini musti berterimakasih
pada Airlangga yang memuluskan jalan sejak Tuban, Ujung Galuh hingga pusat kota
lepas dari nasib kelam sejarah di kemudian hari.
DUA
UMI KHALSUM: Aku benar-benar tak bisa sembunyi dari
bayangan Mr Gerritsen. Ia menjadi
semacam hantu yang mengikuti terus kemana aku pergi. Bahkan ia merasukiku.
Hanya dalam keadaan kosongku, ia menyisakan bayangan yang tak pernah
pergi. Geliat tubuh, desis bibir
tipisnya dan geli yang angslup di jurang birahi, bertempias melalui
pori-pori kulitnya. Merinding ngeri.
Saat ujung lembut bulu ayam menari melemparkan ribuan syaraf telinganya
seperti bola bekel.
Tidak ada yang aneh bila aku merasa tak ada bedanya aku bersamanya atau
tidak. Perasaan ini rupanya buah dari
kecamuk ketakutan Abah dan keindahan mata ibu yang kini sebagian menjadi
milikku.
Aku merasa telah hilang tubuh, bentuk dan remuk. Sebaliknya, aku menemukan keutuhan dari
serpih ruh jiwaku yang tak terlacak sampai ujung terjauh mimpiku, igauku, alam
bawah sadarku.
Batasnya cukup jelas: Jutaan syaraf kuping kekasihku yang seolah
milikku. Seoalah punyaku. Juga tarian itu selain sepotong sajak Tagore
yang telanjur dibenamkan padaku tentang kecantikan seorang perempuan. Sajak yang ditulis pengarang kelahiran
Calcutta dan menetap di sana hingga senja usianya. Lalu tentang Jalan Niaga, kuil, laut,
dermaga, sawah, hutan, bukit. Tidak sulit
bagiku memindahkan itu ke wilayah peta kotaku.
Menjadi semacam perpustakaan dengan rak-rak berderet tempat berdiamnya gemuruh ruh. Apalagi cuma soal sepele semacam kemiskinan,
pelacuran.
Aku cukup tahu diri dimana tersembunyi kecantikanku, di lipatan segala peta
itu. Siapapun namaku, apapun profesiku.
TIGA
(GERRITSEN bersikukuh
menggiring Umi Khalsum ke Poh Sarang.
Tempat paling masyhur bagi arsitektur gereja Katolik bergaya Majapahit
di dekat kaki bukit. Buah tangan
Maclaine Pont).
EDELEER GERRITSEN: Bertahun-tahun
aku ingin berkunjung ke tempat ini, Umi.
UMI KHALSUM: Bagaimana perasaanmu kini?
EDELEER GERRITSEN: Luar
biasa. Apalagi di sisi seorang perempuan
sepertimu. Mudah bagiku membayangkan
lekuk liku gerbang gereja dan menara kapel seperti tubuhmu.
UMI KHALSUM: Overdomme!17) rayuanmu maut juga. (Sebuah ciuman mendarat mulus
di emperan paras Umi.)
Kuceritakan padamu, di muka
bukit inilah, tempat yang tepat bagiku mengenalkanmu pada sosok pertapa Kilisuci. Konon tak jauh dari gereja itu pula tempat
pertapaan putri Airlangga menjadi orang suci yang menolak singgasana. Dialah penjaga negeri ayahandanya dan
keturunannya sebagai titisan Wisnu di samping pendeta Hindu terkenal Mpu
Baradah. Kesucian orang-orang ini
tergambar dari cerita Panji dan dongeng Calon Arang, ketika Kediri
diserbu wabah penyakit akibat ulah dukun teluh yang dendam lantaran putrinya,
Ratna Manggalih tak juga berjodoh. Aku merasa dibesarkan
spirit mitos itu. Cinta, nafsu, kuasa,
juga pengembaraan batin sebagai pemberontak yang oleh orangtuaku telanjur dicap
pembangkang,” tandas Umi yang menyerupai keluh kesah.
EDELEER GERRITSEN: Ceritakanlah
padaku, Umi. Tentang dirimu sendiri.
Hidupmu.
UMI KHALSUM: Aku kehilangan akar. Aku tak punya tokoh panutan. Aku hanya menangkap binary mata ibuku,
satu-satunya yang masih terjaga berkat sepotong dongeng, selain tentu saja
gairahku waktu aku selagi bayi yang menyusu.
Selain itu aku bukan siapa-siapa.
Karena itu hidupku kuhabiskan hanya untuk mencari masa silam semata-mata
memberi arti masa kini sembari mempertimbangkan masa depan. Tentu ini sebuah kecelakaan. Ya, mungkin sebagian telah menjadi
takdirku. Tapi sisa takdirku berkata
lain. Aku beruntung sebagai perempuan
dan hidup dari kekayaan hasil bumi warisan kakek yang tuan tanah dan kini
giliran dikelola ayahku, Kiai Mansyur.
Dua hal yang akhirnya memicu diriku menjadi pembangkang yang gampang
tersulut api emosi masalah keluarga. Aku
membabtiskan diri sebagai peziarah masa lalu semenjak di bangku Universitas
Pawiyatan Dhaha. Harus jujur kuakui,
belakangan hari, sehabis memerah otak memeras hati, kutemukan ujung simpul dari
pencarianku selama ini. Yaitu
cinta. Juga kau yang menjadi saksi
hidupku tentang cinta yang kumaksudkan, hidup yang kumiliki. (Umi
menghabiskan kata seperti hendak menyusutkan jiwanya sampai seolah ingin
mencairkan tubuhnya).
EDELEER GERRITSEN: Ah,
lagi-lagi kau melebihkan kehadiranku, Umi.
UMI KHALSUM: Tidak, kekasihku. Kau adalah sisi kedua mata uang emas yang
terbakar gelora api cinta yang berkobar.
Sementara sisi
lainnya adalah sesuatu keindahan cinta yang universal pada tubuh mitos-mitos
penjaga hatio dan batinku. Juga
jiwaku. Sampai aku sulit mengenali lagi
mana bagian tubuh dan mana jiwa mitos-mitos itu. Cinta yang selama ini tidak kutemukan dari
kitab-kitab pelbagai agama, aliran, sekte-sekte yang luar biasa subur di sini
laiknya dalam satu rak khusus. Aku tak
bisa membaca kitab, tapi sekarang aku tidak buta. Bahkan aku mampu mengembalikan cinta itu
kepada yang murni dan asali. Pengalaman
batinku yang gaib hingga merasa hilang raga jadi kunci pembuka rahasia cinta. Juga kepercayaanku pada negeri dongeng
sebagai kenyataan tinggi sangat membantuku menterjemahkan perihal cinta yang
universal. Oya, hampir lupa kuceritakan,
perihal cinta sesame manusia, alam, demi keseimbangan semesta, aku terilhami
biografi Mahatma Gandhi yang ternyata seorang penganut Jainisme Mahavira. Lihat cara berbusana Gandhi yang nyaris tak
cukup disebut selembar kain adalah simbol kepapaan hidup di dunia, seorang
vegetarian yang menghapus kasta lebih dari sekadar derajat arus dan warna
darah. Andai dia bukan lelaki, tentu
lain ceritanya bagiku. Dialah yang
mengilhami aku sekaranga agar menjadi seorang pecinta sejati, sebebas burung
terbang rendah atau menjulang tinggi.
Cinta sebagai suatu pengalaman religius di louar batas-batas agama,
kepercayaan atau sekte.
EDELEER GERRITSEN: Kau tidak sedang mengenalkan diri sebagai
seorang penganut penghayat kepercayaan kepada Tuhan, bukan? (Ada nada gugatan pada diri
Gerritsen).
UMI KHALSUM: Pertanyaan itu tak perlu kujawab.
Pertanyaan yang kurasa serupa dengan apakah seorang pelacur itu punya
Tuhan. Kalau Sidharta tak malu berguru pada seorang pelacur seperti dalam novel
pemenang Nobel Herman Hesse, lalu jawaban apa yang memuaskan bagimu?
(Tiadanya jawaban atau
pertanyaan lagi membuat dialog terhenti).
DALANG: Ada yang mengeras atau mencair di dalam hati. Apapun itu, barangkali itu suatu cinta atau
cinta yang sedang mencari bentuk. Umi mulai diserbu rasa
takut kehilangan ruang waktu bercerita. Hari menjelang sore saat Umi ragu
Gerritsen bakal tersinggung bila diseret ke tempat Dewi Surengrana. Prasasti bagi kaum Hawa pencemburu buta yang
menderak-derakkan dendam dengan giginya.
Sedang pria itu punya kebiasaan nyleneh pula menikmati bulu ayam
dari lubang kupingnya. Boleh jadi ini cuma perasaan Umi saja. Ternyata, lebih dari itu Umi juga tak punya cukup keberanian menceritakan
kehebatan suluk asli Kediri, Gatoloco yang bernas beringas ketimbang
teori cinta Kamasutra. Bukti bahwa Umi masih wanita
biasa.
EMPAT
SUARA-SUARA: Kasiyati, bergegaslah mencari pengganti
nama baru buat putramu. Bila kau tak
ingin hendak mewarisi pemantik perpecahan antar umat. Jauhar, dalam tradisi Hindu berarti
jalan bakar diri ketimbang duduk tunduk pada kekuasaan musuh. Dan musuh Hindu waktu tempo dulu adalah
Islam, sesudah membinasakan Budha Hinayana maupun Mahayana. Namun Jauhar bagi dunia Arab berarti
permata, yang kemudian biasa digunakan dalam sajak mistik Islam, Hamzah
Fansuri.
LIMA
EDELEER GERRITSEN: Bagiku
, Jawa adalah persimpangan dua perempuan.
Ketika di India, aku pernah menonton film dari stasiun televise lokal. Sebuah film lama, Grihajuddha, garapan
sutradara Busdhadeb Dasgupta, yang juga seorang penyair asal Calcutta. Aku sangat terkenang kisah persimpangan jalan
tokoh-tokohnya saat negerinya sedang dilanda krisis moral dan politik kelas
menengah.
Aku menggambarkan diriku berada pada situasi itu ketika berhadapan dengan
Umi Khalsum dan Kasiyati. Bahkan lebih
banyak lagi persimpangan menghantui terkait krisis suiker fabriek. Saat begitu rupa warna pilihan, aku musti
menjatuhkan satu pilihan tanpa harus menafikan pilihan lainnya.
Aku resmi menikahi Umi Khalsum dengan cara Islam. Tapi aku menemukan kebebasan dan
tanggungjawab tanpa embel-embel moral justru pada diri Kasiyati. Kukira barangkali karena Umi Khalsum terlampau
dewasa karena pengembaraannya. Sementara
pada diri Kasiyati justru kebebasan itu kuraih dari kekanak-kanakannya, yang
tanpa aturan. Akulah baginya yang
melengkapi fantasi kekanak-kanakannya, karena ia tak pernah lagi merasa
terkurung satu-satunya jerat kelam hidupnya, kemiskinan dan lembah hitam. Bersamanya, aku menemukan seluruh sisi kemanusiaanku tanpa
selembar kertas pun yang menyederhanakan hubungan cinta kami. Apalagi rupa-rupa surat nikah maupun Kartu
Keluarga atau KTP.
Suatu ketika aku menangkap situasi jiwaku dari pantulan keinginan hasrat
birahi Umi yang tak bisa kululuskan lantaran terbentur sebingkai dinding. Saat Umi mengungkap hasratnya yang kuat ingin
bercumbu rayu di kebun tebu. Aku tak
tahu persis alasannya meski kukira hendak melepas bebas suatu beban. Baru setelah kudesak karena aku menolak, ia
mengurai latar belakangnya. Katanya,
demi membantai ngeri gelitik gemerisik daun tebu. Angin berbisik tapi serbuk daun tebu bagi Umi
membuat nyeri hati. Pobhia yang tak bisa
kujelajahi. Aku hanya menebar janji
bakal menutup kembali goresan luka hatinya itu.
Kendati aku menyimpan bayangan gersang bila kami berkelejatan di kebun
tebu.
Kukira hanya orang yang benar-benar sehatlah, atau yang berbatasan tipis
dengan keadaan jiwa yang pathologis yang memahami situasi keindahan semacam
ini. Lalu tidak keliru bila kemudian tumbuh benih kecurigaan pada diriku bahwa
sekarang hubungan kami bertiga adalah hubungan orang-orang yang terjangkit
psikopat dan mabuk oleh keindahan cinta.
Andaikata aku punya kemampuan bahasa Indonesia yang hebat, mungkin
keadaanya akan lain pencerahannya.
Beruntung aku memiliki dua perempuan yang kecerdasannya tak kutemukan
pada diri orang lain, wanita lain. Meski
tak pernah mengajukan tanya, Umi kukira memahami hubunganku dengan
Kasiyati. Sebaliknya, demikian halnya
pada diri Kasiyati.
Kami rupanya telah menjamah sedikit dari misteri tingkat tinggi perihal
cinta.
Sebab itulah sebagai sebuah persimpangan, akhirnya dalam catatan harianku
pun kujatuhkan pilihan pada Umi Khalsum, dalam selembar kertas hijau muda. Ini hal yang tak kuasa kulakukan pada
Kasiyati. Catatan harian itu sebagai
berikut:
Umi Khalsum.
Nama ketiga ini pun sesungguhnya masih tidaklah tepat. Ia bukanlah pemeluk Islam teguh. Dia juga bukan pemilik suara indah. Keindahannya terletak pada kecantikannya.
Kecantikannya tercium dari imajinya tentang sebuah kota. Kepercayaannya, keyakinannya, obsesinya
membangun pusat kota budaya di atas agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen,
Konghucu, dan agama lain penganut kepercayaan, dengan megah. Ia menemukan diri di tengah carut-marut
kegaguan zaman. Berkat pengembaraan terhadap diri, berpihak pada spiritualitas
yang aneh, ganjil, liar bahkan cenderung subversif dan anarkhis, ke dalam
semangat baru, arus baru juga kebangkitan baru.
Ia pemburu masa lalu sebelum akhirnya menemukan ruh cinta dari salah
satu versi cerita Panji dalam Babad Kediri.
Engkau tak perlu lagi ganti nama keempat, Umi
Khalsum.
ENAM
EDELEER GERRITSEN: Masih
tiada sehelai pun catatan harian Gerritsen tentang Kasiyati. Suatu misteri terdalam yang belum terpecahkan. Namun Kasiyati sungguh manusia biasa yang
bisa terbakar amarah, kecewa atau duka ketika kekasihnya memilih menikahi Umi
Khalsum.
Emosi Kasiyati pecah membuncah. Ia
menangis meski lupa bagaimana mula caranya, karena tak pernah ia lakukan
semenjak bertahun-tahun lalu. Sungguh
pantangan baginya menangis apalagi di depan putranya. Tapi kali ini benar-benar terjadi dengan
sedu-sedan menyayat yang sangat aneh.
Sebuah tangis dengan irama seronen19) mengiris. Ia menangis dengan begitu indahnya. Seolah memperjelas itulah hidupnya yang
sebenar-benarnya. Sebuah tangis yang
membuatnya menarikan ruh jiwanya sebagai seorang manusia kukuh tak mau
menanggung beban badaniyahnya. Sepertinya
ia sedang mengalunkan nyanyian-nyanyian kerinduan pada hidup yang abadi di alam
cita.
Sayang, mata ini sering menipu diri.
Geliat tubuh Kasiyati yang meronta, berkelejatan seperti cacing
terpanggang terik, mengesankan ia sedang mendendam pada hidup, mengumpat pada
Tuhan. Kasiyati membanting-banting
pintu, memukul-mukul meja,
membentur-benturkan kepalanya pada dindinya kayu.
Sungguh, betapa amarah Kasiyati sebetulnya tertuju pada dirinya sendiri,
keadaanya dirinya. Atau lebih tepatnya
keterbatasan diri atas penjara tubuhnya.
Tubuh yang bahkan telah sejak lama ia jual atau gadai pun tidak ia
lakukan.
Kelelahanlah, juga perasaannya yang menyendiri membuat tangisnya
terhenti. Pagi masih cerah ketika ia
mulai lagi menyenandungkan irama seronen yang mengiris, lalu menari,
juga nyanyian kerinduan yang mengukuhkan keinginannya tak mengakui
tubuhnya. Ia ingin melenyapkan
tubuhnyta, sebab tahu diri percobaannya memberi arti padanya telah gagal. Bahkan tak cukup berarti bagi lelaki
kekasihnya. Tiada suasana paling nestapa
selain seperti ini. Tak ada keindahan
paling menakjubkan dan tak bisa diceritakan kecuali terjadi pada pengalaman
diri Kasiyati.
Kindahan dari pencerahan keadaan diri yang mirip supreme de gout de moi,20)
–perasaan mual luar biasa terhadap dirinya.
TUJUH
KASIYATI: Sebagaimana
setiap pertemuan, acapkali menyegarkan ingatan.
Juga menyisakan
gumpalan rahasia terpendam. Kuburannya
adalah waktu. Kini aku jadi mengerti mengapa pertemuan kita yang ternyata bukan
hanya sekali terjadi ini, senantiasa menggairahkan. Jawabnya karena kita punya cinta yang
menyemangati hidup. Aku rindu pertemuan-pertemuan berikutnya denganmu, tempat
kekinian memberi makna bagi waktu yang tepat menjadi suatu peristiwa.
Bagiku, perjumpaan denganmu yang menggendong masa lalu, juga kepingan masa
silam, adalah peristiwa yang menakjubkan.
Kukira demikian halnya bagimu bertemu seorang yang memburu masa depan
sepertiku. Jadi satu-satunya kesamaan
kita pada hari ini adalah sama-sama menciptakan peristiwa, menyingkap maknanya
sambil mengubur usia atau mengejar alam cita.
Sebab itu, maafkan aku bila aku merasuki hari-harimu dengan beban yang
kufetakompli sama denganku seperti itu. Aku tak bisa menilai diriku sendiri,
apalagi ketika menjalani peristiwamu dengan sorot mata dari jendela hari depan. Harus jujur kuakui, bagiku, pencerita,
penulis atau pendongeng dari jendela waktu itu, bahwa seluruh nama-nama dari
peristiwa atau cerita ini memang pernah ada.
Akan tetapi segala
peristiwa di dalam cerita ini tidak pernah ada.
Atau tepatnya mungkin belum sempat ada.
Satu-satunya peristiwa yang kita sadari ada, adalah upacara kematian
insinyur Edeleer L Gerritsen. Lagi, aku
memfetakompli peristiwamu, yang kuyakin benar lantaran kita memang sedang ada
di sana saat itu, pertemuan itu.
Gerritsen meninggal setelah menjalani perawatan intensif di RS Baptis
akibat komplikasi dari bahaya tetanus di lubang kupingnya. Lagi, satu hal yang di luar pengetahuan kita,
ternyata Edeleer L Gerritsen punya kebiasaan buruk selain menarikan bulu ayam,
ia juga tak jarang menenggelamkan batang kunci atau paku ke kupingnya.
Semenjak itu aku mulai punya masa lalu, sehingga bisa kuceritakan seperti
ini. Termasuk mengulang peristiwa
keherananmu saat aku membawa surat wasiat Edeleer L Gerritsen agar jenazahnya
dibakar bila ia meninggal dan ia minta abunya dilarung di kali Brantas. Ah, rupanya inilah terminal kita berikutnya
bisa saling bertemu bukan? Aku sendiri
terkesima ia berwasiat seperti itu. Tapi kesima yang tak menyurutkan sadarku
dengan berusaha mencari jawab dugaanku sendiri.
Bahwa kau akan melakukan satti21) karena cintamu yang
luar biasa padanya. Semestinya, akulah
yang melakukan itu karena telah mual dengan beban raga yang menyiksa.
Sampai sekarang aku tidak tahu, mengapa tidak juga kulakukan itu padanya,
Saudaraku.
DELAPAN
KASIYATI: Jelang
petang. Aku datang ke dusun Menang bermaksud menjemput masa
depan. Kubawa serta putraku, benih yang
kutanam agar panen di hari belakang.
Aku tak hanya ziarah ke petilasan
Eyang Jayabaya, tapi juga menziarahi seluruh gemuruh tubuhku yang menyimpan
perasaan mual ini dengan sedikit melonggarkan kepercayaan pada akan datangnya
masa depan. Aku menziarahi kembali
mimpiku, tenaga gaibku, alam mistis yang diantar kembang kanthil dan
aroma kemenyan juga japamantra juru kunci petilasan.
Menaiki tangga pamoksan aku melepas alas kaki. Menyerahkan doa pada juru kunci yang berlaku
sebagai pintu menuju hari yang lebih menjanjikan. Ini tempat samadi yang tak pernah sepi dari
dengung doa minta rezeki, jodoh, jabatan, pangkat bahkan keberuntungan hasil perjudian.
Entah bagaimana mulanya, aku menyakini tempat ini sebagai semacam gerbang
melihat hari depan. Atau daun jendela
yang setiap saat bisa terbuka bagi yang hendak ingin menatap riwayat dan
semangat untuk membuka hari.
Anakku banyak bertanya, tempat apa ini dan untuk apa kemari. Aku pun menjelaskan dan menabur benih
pengetahuan gaib dan penglihatan mistik padanya. Bahwa tempat pemujaan ini dibangun di atas
mimpi seorang bernama Warsodikromo yang menyingkap sebagai petilasan Eyang
Jayabaya. Mata air Mbah Sumber Buntung
dijelmakan sebagai Sendang Tirtokamandhanu, tempat pemandian puteri kraton
Kediri. Pesarean Mbah Ageng
disebut-sebut sebagai loka muksa, pintu menuju surga bagi sang
Prabu. Lalu makam ki Salepuk dijadikan loka
busana, tempat busana sang raja semula ditanggalkan sebelum muksa. Kemudian makan Eyang Samsujen menjadi loka
makuta, tempat Sri Aji Jayabaya meletakkan mahkotanya sebelum muksa.
Suatu keajaiban terjadi ketika aku merasa tak cuma masa depan yang datang,
tetapi aku juga bertemu dengan masa lalu. Aku bertemu dengan sesosok perempuan
yang entah kapan waktunya tiba-tiba saja datang petang itu. Aku serasa sangat mengenal perempuan itu.
SUARA-SUARA: Begitu pula denganku, kawan.
KASIYATI: Bagaimana
bisa kamu juga datang kemari? Sepertinya kau juga telah terbiasa. Untuk apa?
SUARA-SUARA: Sama sepertimu. Aku mau menjemput masa
depan.
KASIYATI: Pasti
urusan cinta, bukan?
SUARA-SUARA: Ya.
Salah satunya. Kamu?
KASIYATI: Begitulah.
SUARA-SUARA: Hebat dong!
KASIYATI: Kami seperti sama-sama sangat mengenal
kepribadian kami. Tapi kami tak pernah
menyebut sepotong nama pun untuk dilekatkan di badan. Aku pulang dengan
kesegaran yang belum pernah terasa sebelumnya.
Sekaligus dibalut mendung rasa takut, was-was menatap hari esok.
Barangkali aku memang sedang menerima sasmita, tapi beban hidup yang
menumpuk di badan ternyata masih cukup kuat menghalang. Entah mengapaaku ingat
ajaran leluhurku tentang sedulur papat, lima pancer. Kakang kawah,
adi ari-ari, welat, kunir dan getih puser.
SEMBILAN
DALANG: NGADIREJO, akhir Mei 2007. Pers makin sibuk memberitakan
perbaikan ketel pipa air yang tak kunjung kelar. Sampai hal yang sulit diterima akal telah
terjadi. Tekanan dari jajaran direksi
tak henti-hentinya melumrahkan gebrakan meja.
Bahkan Administratur pabrik mempertontonkan drama paling tragis
sepanjang kepemimpinannya. Ia menangis
seperti perempuan muda dijamah tubuhnya oleh lelaki. Ia tersedu di depan para staff. Sesuatu yang
sama sekali tak berarti kecuali bagi dirinya sendiri.
Keadaan ini tak bisa dibiarkan terus berlarut. Aku khawatir pers beralih isu mengarah pada
merajalelanya tindak korupsi. Hal yang
tak boleh terjadi sebelum aku melaporkan detil kejahatannya pada atasanku. Secara pribadi aku suka bila pers mencium
ini. Proses swastanisasi tentu lebih
cepat. Cuma justru di sinilah
pekerjaanku, memotong kecepatan waktu sampai atasanku di Nederland benar-benar
siap.
Maka rumus BUMN sarang koruptor itu benar.
Aku berhasil mengumpulkan beberapa data tender proyek yang di-markup,
pencurian besi tua secara
besar-besaran, keterlibatan aparat keamanan, permainan rendemen yang
melibatkan ketua paguyupan kelompok tani dengan orang dalam dan yang paling
terbuka adalah suap dalam rekruitmen tenaga kerja.
Memang beberapa palaku yang sempat tercium aroma korup, jadi pelanggan
pergeseran gerbong. Sayang, ini
tampaknya hanyalah upaya arisan saja.
Ketika laporan ini ditulis, petani tebu protes keras karena tanamannya tak
terurus. Sebagian yang lain mengamuk
dengan membakar tebu-tebunya yang melinting kering.
Info terkini: Dikabarkan rencana pembelian vaporator, pemasak gula
dari Jerman. Total anggaran mencapai 36 miliar rupiah. Silakan cek ulang kawan
di Jerman, karena di sini diisukan cuma seharga 18 miliar.
SELESAI
CATATAN
1) Arca itu hingga kini
masih berdiri kukuh di Desa Pulu Pasar, Kecamatan Pagu, Kediri. Tingginya
mencapai 4 meter.
2) Sebutan untuk pelacur
rendahan pada masa imperium Romawi yang
sering dikenal dengan nama kuno Byzantium. Diambil dari novel Paul I Wellman, Wanita,
Gramedia 1976, cetakan kedua.
3) Wanita pribumi yang
dijual untuk menjadi budak nafsu serdadu pada masa pendudukan Jepang 1942-1945.
4) Melampaui batas tata
kewajaran atau norma masyarakat umum.
5) Perahu tradisional yang
hanya dijalankan dengan sebatang gala. Biasanya perahu ini terbuat dari
bambu-bambu yang diikat.
6) Judul cerpen yang ditulis
seorang pengarang terbaik Indonesia, Gerson Poyk. Mengisahkan seorang pelaut
Indonesia yang membeli perawan gadis remaja Bombay. Saya membaca cerpen ini dari
majalah sastra Horison beberapa tahun lalu.
7) Dari bahasa Belanda. Artinya, laporan sementara.
8) Pabrik Gula (Bld)
9) Para anggota pimpinan
(Bld)
10) Kejahatan berat yang di
sini dikanal dengan KKN.
11) Pecinta Jawa
12) Dipetik dari kumpulan
sajak Tukang Kebun, Rabindranath Tagore, Pustaka Jaya, 1996 hal 94.
13 )Gerakan bawah tanah. Pengarang mengasosiasikan jiwa yang
terlupakan dengan idiom ini.
14) Paham mistik Jawa yang
terjemahan harfiahnya, menyatunya Tuhan dalam diri manusia.
15) Ajaran moral orang Jawa
tentang etika tenggang rasa. Kuranglebih
terjemahannya, menjunjung tinggi harkat martabat dan menutup rapat aib yang
merendahkan.
16) Dari salah sebuah sajak
sufi Jalludin Rumi, dalam Mastnawi.
17) Sejenis kata umpatan.
Artinya, terkutuklah kau (Bld).
18) Artinya jalan
persimpangan. Selain film yang ditontonnya waktu di India ini, tokoh Gerritsen
juga terinspirasi kunjungannya ke Calcutta. Di sana ia mendengar cerita bahwa
sebuah prasasti Airlangga ditemukan di sana oleh Raffles. Prasasti itu kemudian disebut Batu Calcutta
berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Juga disebut-sebut sebagai batu perismian
Biara Pucangan. Cerita ini juga diilhami oleh pesona penyair Rabindranath
Tagore yang jatuh hati untuk menulis sajak tentang Jawa. Sayang, penulis belum
menemukan sajak yang dimaksud.
19) Seruling khas gamelan
Madura
20) Istilah ini digunakan
pengarang Budi Darma untuk melukiskan kondisi kejiwaan tokohnya dalam Olenka. Sumber utamanya dari ungkapan Albert Camus pada novel La
Nausee.
21) Tradisi Hindu kuno yang
berlaku untuk perempuan-perempuan istri demi membuktikan pengabdian dan cinta
pada suaminya. Caranya dengan ikut membakar diri
bersama jasad suami bila telah mati.[]