SEPOTONG CINTA
DAN SENYUM RUPIAH
Monolog S. Jai
BAGIAN SATU
SESOSOK LELAKI, SEORANG SUAMI, SENDIRI DI BAWAH TEMARAM CAHAYA BULAN. DILATARI SEBENTUK PONDOK BOBROK. LELAKI ITU MELEDAKKAN SEGENAP PERASAANNYA ATAS APA YANG TERSISA PADA DIRINYA.
LELAKI: Sesungguhnya ini hanyalah soal kesunyian, kesepian, kesendirian. Sendiri itu susah dan kosong. Saya telah capai dengan segala argumentasi perihal pertaruhan, berpikir tentang udara bersih, air jernih. Capai. Karena itulah ibunda dengan getar suara dari langit dan yang tahu kesedihan putranya ini seringkali menanyakan apakah sebetulnya saya telah bosan hidup? Bagaimana bisa saya capai bertaruh, berpikir, berharap udara bersih dan air jernih? Demi saya, putranya, ibunda senantiasa hadir menjadi kawan di saat tepat. Dia datang tepat waktu dan hebatnya tak pernah mengetuk pintu. Dia selalu datang, tiba-tiba entah menerobos dari pintu sebelah mana. Dimana engkau sekarang ibunda? Saya telah sampai pada titik kejenuhan dari pernyataan saya tentang kebebasan, memeras otak dan membuang jauh emosi. Apa hendak saya katakan lagi manakala saudara-saudara kita sendiri tak kuasa menyerap pengakuan saya seperti ini. Saya betul-betul merasa sendiri. Lebih dari cukup bagi saya merangkum simpul bahwa betapa diantara saudara-saudara kita sendiri, di tempat ini, di negeri ini, dan di dunia ini lebih banyak yang ingin menang sendiri. Mau unggul tanpa peduli bagaimana cara dan jalan mana. Sebetulnya saudara kita ini tidak sedang bicara kebenaran, melainkan bicara kepentingan sendiri. Jujur saja saya akui, bagi saya inilah masalah terpelik saat kenyataan, bayangan, fakta dan ilusi saling menumbuk. Karena itulah, yang tersisa pada diri saya hanyalah keinginan saya untuk berbicara atas nama cinta yang saya punya, tentang diri saya sendiri, biar pun mungkin juga pada diri saya sendiri pula.
LELAKI: Ibunda, saya rindu sekali padamu. Biar pun saya susah sungguh, tolong limpahkan doamu yang semestinya buat saya, kali ini iklaskan diperuntukkan bagi keselamatan negeri ini, dan demi kedamaian orang-orang yang sangat saya cintai. Saya tak kuasa berbuat apapun. Saya telah tidak memiliki apapun kini, kecuali sepotong sisa cinta. Bahkan sisa yang telah saya punya yang ini pun tertinggal keiklasan untuk tidak lagi mendapatkan sepenuhnya doa dari ibunda. Satu-satunya yang musti saya pegang kukuh hanyalah percaya pada sesuatu keajaiban dan juga kegaiban. Karena barangkali hingga di usia saya yang sebegini dewasa, apa yang musti saya terima sudah bukan sepenuhnya menjadi hak saya, ibunda. Kenanganlah hak yang menjadi sepenuhnya hak saya. Hanya kenangan.
LELAKI: Ya, saya pernah mengenal sepotong keajaiban cinta yang membias, berbinar dari sepenggal dongeng ibunda. Ketika ibunda mengisahkan sang pecinta Dewi Anggraeni dan Raden Panji Yudarawisrengga, meski sang kekasih telah tiada. Cinta tetap menjadi pengawalnya. Atas nama cinta yang ditebar Dewi Anggraeni, meski terbang menghadap sang pencipta, Raden Panji Yudarawisrengga dijaga tenaga gaib nan ajaib. Pewaris tahta kerajaan Jenggala itu memilih menyingkir ke Ngurawan—tempat Prabu Lembu Pangarang, pamannya, bertahta. Raden Panji yang juga punya nama Jayakusuma itu pun berpetualang cinta dengan menikahi putri pamannya, Dewi Surengrana. Sang pangeran muda itu pun telah melunasi takdir keajaiban cinta sejatinya, tatkala ruang waktu peristiwa berkubang pada peperangan. Ketika itu pecah pertempuran antara Kediri dan Hindustan. Pemantiknya, harga diri yang terbeli lantaran lamaran raja Hindustan, Kelana Sewandana ditampik Dewi Candra Kirana. Perang berakhir dengan Prabu Kelana berkalang tanah bersimbah darah. Segera, sang pangeran muda memetik kesempurnaan bulan pada diri Kirana yang jelita dengan pancaran ruh Dewi Anggraeni yang telah tiada. Nun jauh di sana, selembar jiwa bernyanyi dalam duka. Surengrana musti mengisi hari-harinya yang dirobek senandung cemburu. Tangisnya seperti tembang. Perempuan itu membunuh sepi dengan menderak-derakkan jeruji giginya. Dia memarut geram sendiri. Ia pun menuai badai. Badai langu membungkus namanya, Dewi Thotok Kerot. Dongeng inilah kenangan yang tak lekang dari ibunda perihal kegaiban takdir dan keajaiban cinta.
LELAKI: Sebagaimana hari ini, kami percaya, cinta mengalahkan segalanya kecuali cinta itu sendiri. Sampai kemudian diantara kami, saya, istri saya dan anak-anak tidak pernah lagi mengajukan pertanyaan perihal cinta itu lagi. Bahkan hingga kami berpisah, terpisah, atau takdir yang memisahkan kami. Sungguh cinta sanggup mengalahkan segalanya, kecuali cinta itu sendiri. Istri saya mencari jawab atas pertanyaannya sendiri, demikian halnya diri saya menyoal gebalau tanya punya saya sendiri. Rahasia apakah seperti ini? Hari berganti seperti biasa, bulan bergelombang dan tahun mengalun. Betapa mata tajam istri saya telah tersedot oleh kesibukan kerjanya sehari-harinya. Ah, saya tak hendak menyalahkan karena telah dengan segenap jiwanya mengabdi pada hidup, pada keluarga dan pada takdirnya di dunia. Yang lebih mengejutkan ternyata juga terjadi pada saya. Saya bukan saja jarang berkumpul dengan keluarga, istri dan anak-anak. Diam-diam saya sering melupakannya. Atau lebih tepatnya, perpisahan kami ternyata lebih dari sekadar oleh sebab ruang dan waktu. Tapi juga ingatan. Istri saya menjadi lebih sering absen dari ingatan saya, tentang kebiasaannya, suaranya, kecantikannya, perhatiannya, mata tajamnya, juga suka dukanya, bahkan kepercayaannya pada sesuatu yang tak perlu diungkap dan disingkap—mungkin cinta itu sendiri. Namun demikian, begitulah hidup kami, tetap percaya pada betapa cinta sanggup mengalahkan segalanya, kecuali cinta itu sendiri. Begitulah, kami merasa kian terpisah, tapi tidak dengan cinta kami.
BAGIAN DUA
LELAKI ITUPUN BERSELANCAR DI LAUTAN CINTA. BERKENDARA PERAHU KENANGAN.
LELAKI: Mengingat istri saya—Zahra, perasaan iba sontak terbit di benak saya menyalip kemampuan saya sebagai suaminya. Saya memang gampang iba pada siapa saja, perempuan, anak-anak, orang tua, anak yatim, orang miskin, penderita, orang kaya yang miskin jiwa, atau orang berjiwa besar yang kerdil nasibnya. Tetapi iba pada istri saya, Zahra, kali ini mendadak membuyarkan segala isi perasaan saya. Hilang sirna semua rasa, naluri, indera bahkan pikiran saya, hanya lantaran cerita sepele perihal Zahra belaka. Mula-mula oleh karena keinginan Zahra untuk pergi ke sebuah WC umum. Waktu itu malam hari. Dia hendak buang hajat, sepulang kerja lemburnya, istri saya minta saya mengantar hingga pintu WC. Sambil meremasi perutnya yang nyaris ambrol saja seluruh isi ususnya. Saya pun membalap langkahnya, sebab justru istri saya terbukti dalam keadaan demikian tak lebih cepat dari merangkak. Kakinya tersendat-sendat. Perangainya ditarik-tarik melukiskan perut melilit. Jarak pintu rumah kontrakan kami dengan WC umum kurang lebih 20 meter dan harus melintasi pojok gang jorok biasa ditongkrongi anak-anak muda kampung yang pangangguran. Seperti malam itu juga, di pojok gang itu kasak-kusuk, bicara kasar mereka, derum raungan sepeda motor membuat istri saya mengurungkan niatnya untuk buang hajat. “Nggak jadi!!” katanya. Lantas ia balik kucing dan menyisakan keheranan dan tanya pada diri saya. Keheranan dan tanya yang tak pernah terjawab sampai kami bertengkar tanpa sebab, kecuali oleh perkara yang amat pribadi—buang hajad di WC umum itu tadi Saya hanya menduga-duga. Bagaimana bisa istri saya cepat mengurungkan niat, seolah ada yang menyumbat lubang pintu keluarnya hajat hanya karena anak-anak muda yang kurang kerjaan dan bejat itu? Padahal ada saya, suaminya, yang siaga berjaga di pintu WC dengan beberapa ember air saya bawa. Lain waktu, Zahra meminta saya mendampingi pergi menemui salah seorang kliennya, yang belum pernah sama sekali ia kunjungi. Karena itu istri saya butuh bantuan suaminya menemukan alamat yang sudah ia catat dalam buku hariannya. Sebagai suami, saya tak keberatan biarpun berkendara umum. Naik bis, naik mikrolet, becak, jalan kaki. Suatu peristiwa tak diduga terjadi. Sepanjang perjalanan di angkutan, kami sama sekali tak saling bicara. Berujung saya pun kehilangan istri saya. Atau lebih tepatnya Zahra kehilangan jejak suaminya. Ternyata saya berjalan terlampau cepat dan terlalu jauh dari istri saya. Ketika di kendaraan umum, saya menoleh, meraba serta mendengar sekelilingnya ternyata di situ sudah tak saya jumpai Zahra. Sesampai di kontrakan, kami pun kembali bertengkar. Zahra menyumpahi saya bermacam-macam. Tangannya memukul dan kakinya menendang. Istri saya mulai berani menghajar saya. Benar-benar dia berani pada saya, suaminya.
LELAKI: Kami menikah dua tahun sesudah rezim Soeharto tumbang—hanya selisih beberapa minggu semenjak kisah airmata di muka kasir supermarket.
Waktu itu ketika pacaran Zahra, kekasih saya itu, mengajak berbelanja. Sebagai calon suami, biarpun harus pura-pura bergaya belanja di supermarket, di plasa-plasa, sebagai seorang pria, saya harus bayar semua kebutuhan Zahra, mulai dari pasta gigi, pembalut wanita, kue, permen, rok mini hingga supermi. Apalagi saya Langit memang sudah bekerja. Di depan kasir, calon istri saya itu mencermati selembar uang yang hendak saya bayarkan: Selembar limapuluh ribuan edisi khusus bergambar Soeharto senyum. Uang itu masih gres dan bukan cuma Zahra yang terpikat tapi juga kasir itu tertarik pada keindahan desain uang kertas itu dan bermaksud memilikinya. Pada uang kertas itu ada lubang transparan yang seolah-olah bukan terbuat dari kertas atau plastik tapi dari emas. Zahra tidak rela uang itu dibayarkan. Karena itu satu-satunya yang tersisa, maka saya serahkan pula pada kasir pembayaran biarpun saya sungguh bersedih hati dan membiarkan kekasih saya Zahra menangisi kertas Soeharto senyum itu. Dia baru berhenti sesenggukan sesudah saya katakana padanya, “Sudahlah, saya masih menyimpan dua lembar lagi di rumah.” Zahra bisa menghapus airmatanya sekalipun agak ragu lantaran takut saya berbohong padanya. Begitu turun dari tangga Zahra sudah sudi menggandeng tangan saya dan bahkan menggamit pinggang calon suaminya itu, pria ganteng yang di depan anda ini. Pernikahan kami memang dibilang tak terlalu rumit. Pacaran tak terlalu lama karena kami sama-sama menganggap sebagai sesuatu yang kurang penting. “Yang penting adalah cinta dan kesetiaann,” demikian ikrarnya beberapa hari menjelang pernikahan. Di kampung calon mertuanya itu, yang namanya pernikahan itu pihak laki-laki dituntut banyak keluarkan uang dalam jumlah besar untuk meminang si perempuan sebagai maskawin. Ini beberapa kali saya melihatnya sendiri. Ada dua truk yang berbaris saat ada pinangan. Kedua truk itu penuh hasil panenan dengan seekor kerbau jantan dewasa untuk calon istrinya. Memang ada pula yang cukup dengan perhiasan emas berpuluh-puluh gram. Ada juga yang sekadar maskawin berupa seperangkat alat sholat dan kitab suci Al-Quran. Bahkan ada yang Cuma beberapa puluh ribu uang, itupun masih mengutang. Zahra bersedia saya nikahi dan ia cukup meminta maskawin uang Rp.100.000,-. “Asalkan maskawin itu Mas bayar dengan dua lembar uang limapuluh ribuan edisi khusus bergambar Soeharto senyum yang kapan hari Mas janjikan,” pintanya. Suatu syarat yang sama sekali tidak berat, karena dua lembar uang yang dimaksudkan itu memang masih saya simpan rapat-rapat. Kami menikah sederhana. Serba sederhana. Foto-foto tidak ada, pesta juga tidak. Cuma yang istimewa soal Soeharto senyum itu tadi, biarpun tak dihadiri oleh yang terhormat beliau yang bersangkutan. Namun namanya pernikahan tetap saja disaksikan banyak orang. Seperti tontonan. Saya membaca ikrar akad nikah begitu keras dan mantap menyerupai deklamasi sebuah puisi. Bedanya, kali ini tidak ada tepuk tangan.
LELAKI: Benih pertengkaran sesungguhnya sudah saya rasakan semenjak dua peristiwa. Kali pertama, saya telah dititipi pesan orangtua bahwa perempuan bertubuh pendek, seperti Zahra, apalagi yang punya weton ahad kliwon itu banyak bicara dan cepat naik darah. Berikutnya ketika malam pertama, demikian bahagianya sampai Zahra istri saya yang masih gres itu lupa menyimpan ‘Senyum Soeharto’ itu di tempat yang aman setelah sekian lama mengaguminya. Sementara saya juga lupa menyiapkan tissue sebelum sanggama. Sampai akhirnya entah bagaimana kejadiannya uang kertas itu tersembur ceceran sperma tepat di bagian yang paling misterius—senyumnya. Itulah kali pertama dalam keluarga terjadi amarah dan perang di hari yang justru seharusnya penuh berkah.
LELAKI: Usai tumbangnya rezim Soeharto, uang kertas yang ramah itu jadi barang antik yang diburu banyak orang kaya, yang barangkali sudah dapat diduga sebelumnya oleh istri saya. Tapi sungguh di luar dugaan saya. Saat keluarga kami kesulitan uang, seorang kolektor hendak menawar selembar senyum edisi khusus itu seharga Rp. 5.000.000,- sebelum akhirnya menaikkan senilai Rp. 6.000.000,-. Istri saya menolak mentah. “Ditawar berapapun tak bakal saya terima!” Lalu dia pun menyimpannya lebih rapat di tempat yang tak seorang pun dapat mengetahuinya, bahkan oleh saya sendiri, suaminya. “Apalagi yang ini nomor serinya berurutan. Tak seorang pun yang berhak selain aku,” tukas Zahra makin membuat saya ngiler akan jutaan uang itu. Saya membenarkan perkataan istri saya karena menurut ajaran agama, seorang suami jelas tak berhak untuk mempengaruhi apalagi bernafsu memiliki kembali maskawin yang telah diberikan pada istrinya, jika tak mau dicap laki-laki pendosa. “Saya tidak tahu sepenuhnya isi hati Zahra. Kalau saya sih, apalagi dalam kondisi serba kekurangan dan kesulitan uang, dapat menduga: Satu-satunya yang meragukan isi hati saya hanyalah dosa itu tadi. Ya, kalau bicara dosa, semua manusia pasti berdosa. Biarpun seorang presiden yang tersenyum dan gambarnya dipasang di lembaran uang itu, juga berdosa. Bahkan apakah tidak mungkin, dia lebih berdosa lagi karena itu, sebab telah beribu-ribu bahkan berjuta-juta rakyat dibuatnya berdosa lantaran uang yang ada gambar dirinya itu? Eh!!” begitu pikir saya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat keluarga kami sama-sama kehilangan keseimbangan. Kami, istri saya Zahra dan saya telah kehilangan pekerjaan. Fatalnya, malapetaka itu justru datang pada waktu kami sudah punya putera. Hingga tidak ada alasan (dan rasanya jikapun ada tak perlu diceritakan di sini) untuk terus menyimpan dua lembar senyum penuh misteri itu. Saya pun sudah lupa bagaimana dan bagian mana saat istri saya bisa melupakan uang itu untuk kepentingan menyambung hidup. Yang saya ingat adalah saat dia berdoa, agar senyum di lembar kertas itu tetap apa adanya supaya laku dijual untuk kebutuhannya. Syukurlah masih ada senyum biarpun semisteri apapun. Tidak dalam rupa-rupa berjuta-juta, uang itu masih harus dipotong Rp. 2.000,- untuk ongkos jasa tukar. Nilai kotornya tinggal Rp. 88.000,- Nilai bersihnya habis untuk keperluan asap dapur. Sejenak dapat menarik nafas lega, tapi ini bukan akhir dari kesulitan, tapi awal dari kehancuran keluarga. Kehancuran yang memilukan.
BAGIAN TIGA
LELAKI MEMPERLIHATKAN KEGETIRAN. KEPAHITAN: SEBENTUK SURAT.
LELAKI: “…SEBENARNYA saya malas menulis ini, tapi saya harus melakukannya agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Saya ingin kau tahu, meski mungkin beberapa bagian sudah sering kau dengar. Hingga saat ini, saya masih tidak bisa berpikir apa-apa tentang pernikahan kita selanjutnya. Beberapa hari sudah kita mencoba untuk tak bertemu. Ini kita lakukan mungkin dengan demikian keadaan menjadi lebih baik. Saya tidak yakin. Sebab dalam kesendirianku, di saat malam menjelang tidur atau saat saya tiba-tiba terbangun, saya tidak bisa menahan tangis saya. Ada rasa sakit di dada saya setiapkali mengingat perlakuanmu. Saya tidak pernah menyangka kau tega berbuat seperti itu. Kau dengan mudah melempar kesalahan kepada saya. Saya menyesal baru mengetahuinya justru di saat kita punya adik. Setiap kali aku ingat, setiap kali itu pula hati saya mengatakan, TIDAK BISA! Saya tidak bisa hidup bersamamu lagi. Seharusnya kau tahu setelah kita menikah, kau satu-satunya orang yang menjadi tempat saya bersandar. Tapi sekarang setiap kali kau di dekatku, saya merasakan sakit yang teramat sangat. Dulu saya mencintaimu karena kau orang baik. Jika saat ini kebaikan itu tak kudapati lagi, apakah kau harus bertahan? Kau sering bilang kau sangat menyayangi saya (juga adik) tapi apa bukti dari perkataanmu? Jika kau sudah merasa melakukan yang terbaik untuk keluarga, mengapa keadaannya seperti ini? Jika kau menjadi pemimpin keluarga yang baik, mengapa kau tidak bisa mengatasi semua masalah ini? Saya hanya ingin jagan kau sia-siakan apa yang kau miliki. Anak dan istri adalah harta tak ternilai yang kau miliki. Seharusnya kau mencintai dan menyayanginya. Jika sampai terlepas tidak mudah bagimu untuk meraihnya lagi. Zahra.”
LELAKI: Sehabis saya baca, kembali saya lipat surat terakhir dari Zahra sebelum kepergiannya. Surat ini tak perlu lagi saya taruh di bawah tikar pandan. Kalau perlu saya masukkan di lipatan buku tebal paling indah yang saya punya di sela gambar-gambar warna-warninya yang memikat. Sesuatu yang sungguh aneh pelan-pelan merasuki jiwa saya. Diam-diam saya sungguh iba pada istri saya, Zahra, sesuatu yang selama ini lama hilang dari perasaan saya pada orang lain. Saua sering bicara sendiri dalam hati. Bahwa saya masih mencintai Zahra, biarpun hal itu harus saya tunjukkan dengan perasaan iba. “Betapa Zahra kini sedang mengalami ketakutan untuk hidup,” pikir saya.
Kini kesendirian saya begitu menyiksa. Cermin besar yang terpasang dekat pintu, membuat saya berikut nasib buruk ini, hidup ini, menjadi ganda. Bila melewati sisi pintu atau sedang memikirkan sesuatu, tubuh saya menjadi dua. Selanjutnya beranak-pinak dan di rumah kontrakan itu penuh sesak oleh tubuh saya. Berjubel sampai sedikit saja saya tak bisa menggerakkan tubuh. Persis di tempat umum—sesuatu yang amat ditakuti Zahra. Jadilah saya terpaku dan pikiran ini mengembara berloncatan seperti melompat dari satu kepala ke kepala lainnya yang sungguh serasa seperti hantu itu kehadirannya. Hanya karena sepotong kaca kemarahan menjadi tersumbat. Sebab bukankah apa yang saya rasakan, bicarakan, teriakkan, pikirkan tentang kekecewaan, dendam, kegelisahan tentang diri saya sendiri belaka? Tidak ada bayangan apapun tentang kehidupan di situ. Aquarium tua di sebelah diam di situ dan tiada ikan-ikan di dalamnya. Kertas-kertas bekas dan plastik, botol dan gelas malah disumpalkan di mulut aquarium. Tidak ada binatang pagi itu. Pintu terkunci menjadikan kucing tak bisa mengetuk apalagi permisi. Lalat terbang di luar. Nyamuk sembunyi dan hanya sisa-sisa bangkainya yang belepotan darah kering di atas karpet plastik dan tikar pandan sewaktu terbunuh dalam serangan Biru Langit semalam. Buku-buku menumpuk mati dan sebagian lagi di sebelahnya runtuh dan murung. Kesunyian. Sepi. Sendiri. Susah dan kosong. Satu-satunya kawan yang senantiasa hadir di saat-saat seperti ini hanyalah ibunda. Dia datang tepat waktu dan tak pernah mengetuk pintu.
BAGIAN EMPAT
LELAKI ITU MENGHADIRKAN KENYATAAN PERJUMPAAN DENGAN IBUNDANYA. SAAT INI. DI TEMPAT INI.
IBUNDA: Kamu bosan untuk hidup, anakku?
LELAKI (mengeluh): Saya hanya ingin tidur, Ibunda. Dan banyak bermimpi.
IBUNDA: Tidak, anakku. Kamu tak perlu mimpi itu. Seperti orang-orang kaya itu juga tak butuh mimpi. Orang yang tak punya persoalan dengan duniawi akan sulit bermimpi karena hidup itu sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di layar TV. Tapi bukan karena itu kamu tak perlu mimpi, karena kamu bukan orang kaya. Bukankah sudah kuceritakan padamu semenjak kecil orang-orang seperti kita benar-benar tak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir tidak pada tempatnya dan salah alamat?
LELAKI: Tapi saya betul-betul perlu tidur, Ibunda. Dan dalam tidur mustahil tanpa mimpi. Di siang bolong sekalipun.
IBUNDA (seperti nyanyian atau tarian di angkasa).: Ya, yang diperlukan orang miskin macam kita hanya tidur. Tidur yang sebenar-benarnya tidur. Berapapun lamanya. Semenit, sepuluh menit, satu jam, sepuluh jam? Tidur yang terbebas dari mimpi, igauan, pikiran, terror kebutuhan hidup, mati, dunia, akherat, keseharian masa lalu dan hari depan. Bahkan Tuhan. Dan memang siang dan malam bukan hal yang penting, sebab ini hanya perkara apakah matahari menyaksikan kita atau tidak, toh dia juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu. Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin seperti kita yang tidak mempedulikannya. Apakah artinya matahari atau bulan bila kita tak benar-benar mempedulikannya? Bukankah kamu juga bisa mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan tentangnya lalu kau ceritakan pada waktu bangun?”
LELAKI: Yang menggelisahkan saya, Zahra takut pada malam, Ibunda. Walaupun sebetulnya saya lebih parah, karena bagi saya siang dan malam itu sama-sama menakutkan. Ibunda, saya rindu sekali padamu. Biar pun saya susah sungguh, tolong limpahkan doamu yang semestinya buat saya, kali ini iklaskan diperuntukkan bagi keselamatan negeri ini, dan demi kedamaian orang-orang yang sangat saya cintai. Biarkanlah seandainya saya terjangkit insomnia, tak mengapa. Saya akui belakangan ini, memang saya sulit tidur. Kepala saya disesaki berita buruk. Perasaan saya pun kian dipenuhi rasa takut. Itu semua justru terjadi saat makin banyak yang bisa saya nikmati—koran, televisi, internet, facebook, handpone dan sebagainya. Entah mengapa persoalan hidup yang sebegitu berjibun, di otak saya seolah terhenti dalam satu kubangan soal saja: negara dan warga Negara. Saya sendiri heran pada diri sendiri. Rupanya tak cuma terjadi atas pikiran saya. Saya akui, segala fasilitas komunikasi dan informasi yang ada, ternyata justru memperkuat arus darah di otak saya untuk memikirkan satu kubangan soal tadi. Ketika tubuh dan perasaan saya diserbu kelelahan, diserang kejenuhan, karena itu tanpa bisa saya kendalikan, lantas membuat saya mengantuk dan hendak tidur, saat itu pula ternyata peralatan teknologi yang ada di sekitar saya pun berkali menteror saya.
LELAKI: Terus terang sebetulnya bukan hal itu benar yang membuat kami takut, karena toh saya justru merindukan kejutan-kejutan itu untuk waktu-waktu selanjutnya. Saya malah menjadi gila misteri karena takut kehilangan mata rantai berita-berita yang sudah telanjur saya ketahui sebelumnya. Padahal di sekitar saya, televisi tak pernah berhenti menyala, jaringan internet 24 jam tak putus, koran-koran masih saja ada pojok-pojok berita yang belum terbaca. Harus jujur saya akui, ketakutan saya bukanlah oleh sebab karena itu semua, karena diam-diam saya menikmati setiap yang baru saya miliki dan merindukan apa yang belum kami nikmati. Jadi saya sengaja melestarikan ketakutan itu. Saya memelihara ketakutan yang untuk saat ini memang masih datang dari diri saya sendiri dan menjadi milik saya. Singkatnya ini ketakutan yang kenikmatannya saya pelihara oleh dan untuk alasan tertentu. Barangkali saya memang tidak tahu persis alasan tertentu “kenikmatan memelihara rasa takut ini.” Tentu saja hal ini demi menghindari pengakuan yang justru sanggup menumbuhsuburkan sikap arogansi, alibi, atau kepongahan sebagai intelektual, sebagai anggota keluarga, masyarakat, atau sebagai seorang yang dalam taraf penganut pemikiran tertentu selaku pemuja penderitaan. Namun demikian dari sekian banyak alasan tersebut, saya musti kompromi bahwa alasan yang membuat saya nikmat memelihara ketakutan dalam tubuh ini sebetulnya karena merasa sebagai seorang warga yang mendiami sebuah negara bernama Indonesia—suatu wilayah yang punya aparat, birokrat, pejabat dan tentu saja seorang presiden berpangkat Jenderal yang konon memimpin rakyat yang melarat.
LELAKI: Ya, saya sebagai warga negara yang pada waktu merindukan “nikmat pada rasa takut itu” tak sempat mengurus hak-hak juga kewajiban-kewajiban pada negara, justru karena gempuran persoalan pelik. Saya tidak menuntut banyak tahu soal itu dan memang tidak ada yang menuntut saya tahu banyak ketika rumah kami, tempat kerja kami, dan di sepanjang perjalanan diantara keduanya, telah dicekoki kabar berita yang begitu beragam sehingga kian sulit pula menelusuri kebenarannya dan tingkat keruwetan yang justru makin menggurita. Begitu ruwetnya realitas yang ditebar teknologi canggih, membuat kami lupa pada kebiasaan kami mencari suatu kesalahan atau kebenaran. Atau setidaknya menyebabkan kami malas untuk melakukan itu semua. Akibatnya, sesuatu hal baru malah timbul pada kami. Yaitu, kami menjadi lebih tertarik melihat setiap persoalan pada baik dan buruknya saja. Bahwa kesimpulan penglihatan kami menyebutkan, sesuatu hal buruk telah terjadi pada negeri ini. Fatalnya, kesimpulan seperti ini tidak saja terjadi pada diri kami. Melainkan ada jutaan orang di negeri ini yang merasakan hal sama dengan kami. “Sesuatu hal buruk telah benar-benar terjadi pada negeri ini. Dan bila itu terus dipelihara terjadi, ada jutaan orang negeri ini yang terjangkit rasa takut yang luar biasa dan menjadi trauma berkepanjangan yang tidak datang dari dirinya sendiri,” ini pengakuan jutaan orang seperti kami. Sebaliknya ketakutan itu lebih banyak datang dari luar diri—perilaku aparat, kebobrokan birokrat, kesusahan zaman, kemiskinan, korupsi, kepemimpinan negara yang tidak tegas dan sebagainya. Ketakutan yang meluluhlantakkan kesediaan orang seperti kami untuk memeliharanya dalam suatu kenikmatan, kerinduan. Ketakutan yang menggendong perasaan bersalah sebagai warganegara yang tidak sanggup melakukan apa-apa demi negaranya, tapi terus terjadi dan berdampak luas pada dirinya. Tentu, perasaan bersalah seperti ini jauh lebih berbahaya dari kondisi sesungguhnya karena ketidakmampuan memperbaiki negeri ini. Ahli-ahli penggerak massa, orator-orator hebat tentu dibuat berlipat usahanya untuk membangunkan publik yang tidur sebelum mengantuk seperti ini. Politisi-politisi, bahkan yang sudah duduk di lembaga rakyat juga putus asa, karena ia lebih suka mendengarkan alibi-alibi yang manis dari pejabat satu pintu daripada membangunkan spirit hidup yang memang sedang dininabobokkan.
LELAKI: Saya kira, negeri ini sudah sungguh dalam kondisi terjajah yang lebih parah. Saya kira negeri ini sudah luluh lantak digerogoti kanker. Kami kira negeri ini memerlukan pemimpin yang tidak hanya menyerukan bahwa dalam keadaan darurat perang. Saya kira berita-berita buruk yang menjubali angkasa negeri ini cukup bukti bahwa memang negara dalam keadaan genting. Ketika tidak hanya aparat, birokrat, pemimpinnya saja yang membuat orang-orang seperti saya dijangkiti rasa takut yang sama sekali tak bias dinikmati. Melainkan juga rakyatnya ternyata juga lebih banyak tidur sebelum mengantuk. Bila mana rakyat berhasil dibangunkan, melihat fakta bahwa ada dua rasa takut yang bisa dinikmati dan takut yang traumatis, maka mana kala terbangun, ada dua kemungkinan genderang perang keadaan darurat ini kian meluas, berbahaya dan anarkhis. Perang tidak saja dengan jargon basmi mafia kasus atau atau perangi korupsi, melainkan perang yang sebetulnya perang dan diikuti tindakan anarkhisme akibat ketidakpuasan. Mungkin soal ini tak masalah benar manakala telah mambawa serta nama Allah. Sebaliknya tentu saja menjadi masalah besar tatkala dalam hal “demi Allah” ini pun ternyata masih pula mengkorup kekuasaan Allah dengan menyumpahi kata-kata sendirii—“hanya antara aku dan Kau.”
LELAKI: Ya Allah, saya pun hanya bisa menghibur diri sendiri atas kenyataan metafisis itu dengan memuntahkan kenakalan saya. Saya iseng. Saya membayangkan, mungkin dunia ini berubah wajah bila serapah demi Allah dari setiap orang itu berubah arah: “Sumpah bahwa demi Allah atas nama dia sendiri ia melakukan kejahatan ini.” Atau sumpah: “Demi Allah, ia melakukan kejahatan itu atas perintah Allah.” Saya sekadar memuntahkan kejengkelan saya mengapa Allah tidak membuka hati umat-umatnya untuk mengakui setiap kejahatannya, korupsi, menerima suap dan sebagainya. Ya, memang “Allah tidak pernah tidur.” Karena ini hanya menghibur diri saya sendiri, rasa takut akan pelbagai kengerian negeri ini tidak pernah benar pergi dari tubuh. Sebagaimana terjadi pada jutaan yang lain, dan seperti hari-hari sebelumnya, tentu saya tidak sendiri menghibur diri. Pejabat, aparat, birokrat dan para pemimpin kiranya juga melakukan hal yang sama—berusaha menghibur diri sendiri—atau setidaknya berusaha memanfaatkan situasi. Siapa tahu ada pepatah yang benar bisa terjadi “aku datang, aku lihat dan aku menang.”
LELAKI: Itulah kesalahanmu. Ibu tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda-tanda ada apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos. Untuk apa kamu hidup tapi penuh ketakutan, atau untuk apa mati kalau menakutkan? Hidup itu hanya beda sedikit dengan mati, sebab rupanya hanya beda waktu, tempat dan alamat. Kesalahanmu berikutnya, kamu hanya diperkenalkan matahari pada siang dan malam. Itu perasaanmu. Dan tidak diperkenalkan pada kehidupan. Sesungguhnya, Tuhanlah yang memperkenalkanmu tidak saja pada ketakutan tapi juga keberanian dan celakanya di matamu Dia selalu datang pada malam hari. Barangkali itu karena kamu lahir pada waktu malam hari dan hari-hari berikutnya kamu sering jumpai Dia dengan rupa-rupa bentuknya. Di sini sama sekali bagi ibu bukan bermaksud apalagi mempertegas diri perlu menjadi penganut paham pantheisme. Islam sama sekali tidak mengenal ajaran itu, meskipun bukan berarti tidak memberi peluang di dalamnya sebagaimana tersebut dalam ayat Al-Quran yang tersohor, “Kau lebih dekat padanya dari pada urat nadinya sendiri.” Ibunda hanyalah menunjukkan adanya tokoh-tokoh yang tidak mustahil menyakini lain dari ayat itu dan secara sadar atau tidak menyebarkan ajaran ke dalam tindakan nyata dalam kehidupan masyarakat. Buktinya, makin banyak manusia yang mengkorup kekuasaan Tuhan ke dalam tangannya yang bukan haknya. Diantaranya membunuh, menggunakan kekuasaannya untuk merusak tatanan kehidupan kosmos, perang, merusak lingkungan, mendatangkan bencana dan lain sebagainya. Diantara mereka, terkadang berseragam dan membunuh orang dengan senapan dan meriam. Kadang pula Dia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan dengan orang berseragam. Seringkali pula Dia rela menjadikan dirinya teroris dan membawa bom ke sana-kemari meledakkan hotel-hotel, night club, pub, masjid, gereja, tempat-tempat rekreasi para pencari hidup. Tapi kamu lupa Tuhan juga pernah hadir dengan ramah, berbaik hati dan penuh senyuman, berseragam putih bersih sembari mengucapkan ‘maafkan saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin’ kepada orangtua yang anaknya mengakhiri hidupnya di rumah sakit. Tidakkah kamu menyadari bahwa sesungguhnya di mata ibunda, anak itu adalah kamu yang sekarang menjadi hantu?
BAGIAN LIMA
LELAKI ITU TERGAGAP KESULITAN BERKATA. IA PUN BANYAK MEMEGANGI KULITNYA. LALU MENYUNGGING SENYUM. BEGITU MEMBUKA MATANYA, IA MERASA TAK LAGI MENEMUKAN BAYANGANNYA PADA CERMIN. LANTAS MELEDAKLAH SEGENAP PERASAANNYA YANG GETIR KEHILANGAN ISTRINYA.
LELAKI: Maafkan saya, Zahra kekasihku, karena membiarkanmu dalam ketakutan pada pada malam-malam begini. Bahkan hingga detik ini pun, cerita mala mini pun, masih juga tentang diri saya sendiri, untuk diri saya sendiri. Sementara kau entah dimana menikmati ketakutanmu pada malam. Ini memang gila. Segalanya, datang begitu saja merebut waktu kesendirian saya. Jika ini sebuah beban, berarti sendiri itu berat. Bila ini suatu kesia-siaan, berarti sendiri itu percuma tak berguna. Kalau ini penyakit, berarti sendiri itu masa inkubasi yang bisa membunuh saya. Sebaliknya, jikalau ini semua katarsis, berarti kesendirian itu bagiku adalah sesuatu yang tak boleh lagi terjadi di lain waktu dan aku telah menemukan pencerahan dalam diri. Jujur saja saya akui, disinilah timbul keragu-raguan dalam diri saya. Bahkan kini untuk mengakui kelucuan-kelucuan yang pernah ada melekat padamu saja, saya ragu. Apalagi untuk mengenang kemarahanmu, ancamanmu, saya tak kuasa membendung keraguan semisal betapa buat saya seolah itu semua di luar batas kemanusiaan.
LELAKI: Sepeninggalan Zahra, saya sungguh menjadi orang yang tak memiliki apa-apa. Wajar bila kemudian saya mencari diri di balik itu semua dengan memeras otak memerah hati demi menjaga diri sendiri agar tidak selanjutnya hilang kendali. Ya, saya telah tak memiliki apa-apa. Rumah kosong mlompong tinggal beberapa potong kain dan sebuah tempat sampah yang entah sengaja atau tidak dia tinggalkan buat saya. Saya tumbuh jadi lelaki yang amat peka, akankah tempat sampah ini dia persandingkan dengan diriku? Saat ini, satu-satunya yang mampu saya kerjakan memang menjaga diri, menghargai, menghormati, bahkan menziarahi diri sendiri untuk tidak merusak tatanan kehidupan kosmos. Bahwa seorang bapak adalah tetap ayah bagi anak-anaknya sekalipun ditiadakan, dipisahkan ataupun sengaja dihilangkan bahkan dari semesta ini. Selebihnya saya tinggal mengatur detil-detilnya, sulur-sulurnya agar saya tetap sebagai manusia yang utuh ibarat hidangan empat sehat lima sempurna. Keseimbangan jiwa dan tubuhku terjaga, juga masa silam dan masa yang akan datang. Ya, keseimbangan yang tentu saja juga mempertimbangkan banyak hal termasuk di dalamnya engkau dan anak-anak.
LELAKI: Zahra, istriku. Kali ini engkau tak boleh meragukan doa saya, seperti yang lalu-lau. Bahwa sepanjang saya masih hidup, aku akan senantiasa doakan kebahagiaanmu dan anak-anak. Doaku tanpa putus. Hanya itu yang tersisa pada saya, bahkan satu-satunya kekayaan saya yang paling berharga istri dan anak-anakku telah meninggalkan saya. Bagiku, tak ada hal yang paling terhormat dan mulia selain mati-matian demi anak-anak dan istri sekalipun itu cuma dengan berdoa lantaran mereka sedang di tempat yang berbeda, hatinya berbeda, dan darah dagingnya yang menjadi berbeda. Engkau perlu tahu kata darah daging membuat saya meluruhkan airmata. Saya berterimakasih atas segenap cinta yang engkau berikan pada saya, juga kepalsuannya selama ini. Saya akan menjaga segala petuahmu yang menurut saya baik sebagai bukti bahwa kau pernah ada, singgah sepenggalan perjalanan hidup saya. Sebaliknya, atas nama cinta kepadamu dan anak-anak, mulai hari ini berlaku rumusan saya, dan demi menjaga kesegaran ruh hidup saya, bahwa tidak ada kabar darimu berarti kabar baik bagi saya. Kini sampailah sudah kita pada batas. Sebagaimana batas, tentu itu punya banyak arti. Juga sekalipun itu tak pernah tersingkap. Namun bagi saya, kamu perlu tahu hasrat saya sesungguhnya pada saat ini. Bahwa pada detik ini, andai engkau bersama di sini, kita akan bercinta penuh gairah setandasnya, setuntasnya, sepuasnya karena esok pagi hidupku ibarat bakal berakhir dengan hukuman mati. Oh, Zahra, kekasihku. []
LELAKI ITU MEMUNTAHKAN PERASAANNYA YANG MEMBEKU. LAMPU BLACK OUT.
SELESAI