Kamis, 11 November 2010

Prestasi

R U M A H
Cerpen S. JAI


(Salah satu cerpen dari 10 cerpen pilihan Festival Seni Surabaya 2010)



“KEKASIHKU, istriku. Bila tulisan ini telah terbaca, itu pertanda tersusun oleh jiwa yang terkurung kabut kebimbangan. Terungkap kata, di saat makin banyak hal ketiadapastian. Bahkan terjelma ketika hilangnya tujuan serta sirnanya jejak kepulangan, janji, rumah, masa lalu atau asal muasal.”

Inilah sepenggal pengantar surat yang sebenarnya hendak mengutarakan ketidakyakinan sang penulis pada nasib yang bakal menimpa kertasnya. Benarkah hendak diantar melalui jasa tukang pos? Tak bermaksud menafikkan jasa pos, tetapi karena sang suami menyimpan kemungkinan lain. Dia bakal menyerahkan sendiri kertas ungkapan perasaannya itu kepada istrinya, Zulaikah.

Surat itu dipaksa menuruti kemauannya. Itu dilakukan lantaran dia tak cukup bernyali meledakkan segenap perasaannya bila harus berhadapan muka empat mata. Akibatnya, si penulis lebih memilih membayangkan diri bicara dengan tukang pos, bila menulis surat. Namun tampaknya yang bernasib buruk justru tukang pos. Bagaimana dia harus bekerja dengan baik sampai terselip bintang jasa bila melayani laki-laki seperti Raksu Sansabila ini yang tak tahu alamat surat istrinya, tujuannya.

“Kita sama-sama pulang, tetapi sama-sama tak tahu alamat suratnya, istriku.. Hanya saja sebagaimana laiknya sepasang suami istri, kita tahu persis keberadaan kita masing-masing. Juga anak-anak, keceriaannya, kesehatannya, bahkan waktu bangun malam bilamana mendusel mencari puting susu ibunya. Kita tahu persis. Tentu engkau juga tahu bila puting susu tergerak bukan oleh karena anak kita, itu berarti akulah biang pelakunya. Lalu kamu tersenyum, karena tahu waktu dan tebakanmu jitu.”

Ah, sesungguhnya tak tepat betul bila Raksu harus menyebut dengan kata-kata “pulang.” Sebab bagaimana itu bisa terjadi bila kedua sejoli itu tak punya rumah? Mustahil. Ya, mereka miskin. Lebih tepatnya kemiskinan telah menderanya hingga babak belur. Ditambah krisis ekonomi berkepanjangan yang meluluhlantakkan negeri ini juga telah menghajarnya habis, tanpa ampun.

Sejujurnya bukan cuma karena itu. Melainkan karena kejujuran Raksu dan Zulaikah sendiri. Justru karena kejujurannya sendiri itulah, dia telah menduga sebelumnya bakal menyeret lebih dalam dan panjang jurang kemiskinannya, meski kemudian mereka tak perlu bersikap sentimental dengan terus menerus menyalahkan diri sendiri.

Mereka tahu ada yang salah di luar dirinya. Kendati cukup sulit menentukan salah dan benar di luar dirinya di tengah hiruk pikuk zaman yang silang sengkarut, setidaknya itu yang sanggup menumbuhkan keyakinannya tentang kebenaran dan kesalahan.

“Istriku, aku bangga padamu karena engkau wanita yang kukuh, punya nyali, intelek dan berkarakter. Sebab itu aku tak segan belajar hidup dan kehidupan darimu. Aku tak malu berada di baris belakang memunggungi pundakmu yang memancarkan sinar dan rindu aku memelukmu itu. Karena itu aku menghormatimu meski akhirnya kamu memilih pulang kembali ke rumah orangtuamu dan menuntunku untuk melakukan hal serupa—kembali ke rumah orangtuaku. Di sinilah, perlunya aku mengeja lagi arti kepribadian, hidup dan kekalahan, mungkin juga kekejaman. Dan tentu saja kepercayaan diri.”

Kota ini memang kejam, seperti raksasa buta yang kelaparan. Hebatnya, Raksu dan Zulaikah tak pernah melihat dengan mata kepala sendiri seekor raksasa apalagi yang mempertontonkan taring-taringnya. Itu hanya ada dalam dongeng. Yang banyak jumlahnya justru orang yang membabi buta dan masih kelaparan.

Kota ini tak sanggup membuat keduanya tunduk apalagi bertekuk lutut. Baginya uang bukanlah satu-satunya tujuan hidup. Sebaliknya satu-satunya yang memenjarakan tubuhnya di kota itu hanyalah ketidaktahuannya. Saat Raksu dan Zulaikah bekerja di sebuah agen kantor pos di sebuah menara hotel berbintang lima, menjual benda-benda pos, meterai, perangko, melayani surat-surat kilat, paket barang, kilat khusus yang belakangan diragukan keasliannya atau kepalsuannya, khususnya meterai. Ya, banyak yang menyebut itu barang asli tapi palsu.

Raksu dan Zulaikah pun makin terusik. Bergegaslah keduanya mencari tahu, pergilah ke kantor pos atau ke bank guna memeriksakan meterai bermasalah itu Itu terjadi setelah melewati beberapa bulan dan hasilnya memang kian meragukan. Ada yang menyebut itu “meterai cucian” tentang pitanya, rangkaiannya, lemnya, pantulan sinarnya yang tak terbaca bila diteropong di bawah cahaya khusus dengan alat khusus. Kadangkala terlihat jelas bekas tanda tangan yang tersisa.

Sampailah pada kesimpulan bahwa “meterai cucian” itu adalah hasil kerja sang bos yang berakal bulus untuk mengeruk uang dari penjualan ratusan hingga ribuan lembar perhari dengan nominal 6.000 rupiah perhari itu. Anehnya, itu terjadi sejak bertahun-tahun lalu tanpa ada yang menyoal.

Huh, bagaimana itu bisa terjadi di negeri ini, di tempat yang hanya beberapa langkah kaki dari kursi tempat duduk sang penguasa di istana yang megah itu.

Inilah, sesuatu yang hanya masuk akal bagi bulus, tapi tidak bagi manusia. Oleh karena bagaimana bisa manusia menyelami kedalaman akal bulus yang cepat-cepat menyembunyikan kepalanya ke dalam batoknya bila kepergok manusia. Satu-satunya yang tertangkap adalah bulus itu menggunakan otaknya dan terbukti takut manusia dengan membaca kemauannya yang banyak.

Ah, sungguh fantastik pemandangan keduanya yang bertukar pikiran. Memutar otak, memeras hati dan tentu saja beradu kekuatan. Sudah bisa diduga, pemenangnya adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna yakni manusia. Manusia bisa punya kedok dan bisa pula memegang pistol.

Begitulah, sampai pada kesimpulan penjualan benda-benda pos, perangko dan layanan surat-surat kilat hanyalah kedok perdagangan meterai palsu atau asli tapi palsu yang dilakukan pemilik perusahaan. Berikutnya, pistol peluru karet serta handytalky bekas milik sang bos kiranya juga alibi untuk menakut-nakuti orang lain bahwa dirinya punya kekuasaan, atau setidaknya bisa menyalahgunakan kekuasaan—seringkali sang bos mengaku dirinya anggota intel dari markas besar tentara.

Meski kesimpulan sementara dan oleh sebab itu perlu diusut kebenarannya, sang bos itu tak lain cuma intel gadungan yang mengaku punya anak buah dan dekat dengan tentara. Itu sebuah cara sebab dengan begitu dirinya mendapat suntikan nyali untuk melancarkan aksi tipu dayanya seperlunya.

Fatalnya, itu semua ia pertontonkan dengan bangga di depan kerabatnya yang tak lain adalah karyawannya sendiri—Raksu Sansabila dan Zulaikah. Inilah sepotong duri dalam daging yang menyebabkan keduanya hanya punya satu pilihan untuk angkat kaki dari Jakarta dan tak mau berurusan dengan perbuatan dosa.

Karena saudara, membuatnya tak terlintas di pikirannya untuk mengusut kasus itu ke pihak berwajib. Raksu dan Zulaikah cuma punya satu pilihan menuntaskan pekerjaan dan segera memesan tiket bis pulang di terminal dan tujuannya kampung halamannya.

“Ya, sekarang barulah jelas di mata apa arti penting kampung halaman bagi kita, istriku, kekasihku. Khususnya keluarga. Maksudku asal muasal kita pernah dilahirkan. Hal ini lebih dari sekadar fakta bahwa kita orang di negeri miskin seperti ini bila sudah tak ada kerja, mereka akan kembali bergantung pada keluarga. Tentu engkau bisa bayangkan bila keluarga sudah tak sanggup dijadikan sandaran, apa yang terjadi selain rasa frustasi? Berbeda apabila itu terjadi di negara kaya, negara akan menyokong dana dan pendidikan sampai yang terjatuh bangkit kembali. Seperti juga aku, engkau tentu tak punya kebanggaan lain dan hidup di negeri miskin seperti ini. Tetapi apa lacur? Lalu bagaimana dengan kehormatan? Apakah kita jadi semakin terhormat dengan keadaan kita seperti ini? Jujur saja aku tak bisa menjawab pertanyaanku sendiri seperti ini. Barangkali engkau pun mulai kesulitan tentang hal ini. Tapi baiklah ceritakan kepadaku bila kau punya keberanian untuk mengusik perihal kehormatan. Seperti halnya akan kulakukan untukmu…”

Keping-keping masa silam berderak di benak Raksu. Ia hidupkan kembali ingatan sekuat tenaga bila itu masih tersisa. Hari hari menjadi waktu yang amat panjang, seolah tanpa istirahat mengejarnya. Ia kenang sepanjang waktu berjuang demi sepotong kehormatan tapi tak pernah menang bahkan di hadapan istri dan anak-anaknya.

Raksu tak pernah menganugerahi hidup dengan segenap cinta yang sederhana, yang layak, dengan rumah, sekolah, vitamin, mainan apalagi hiburan mobil dan tetek mbengek kesederhanaan kata. Tak pernah dan ia gagal untuk itu. Ia terlampau terbiasa hidup dalam kerumitan langkah yang sesungguhnya sangat riskan dari eksperimen kehormatannya dan cinta, jikapun tak sulit dirinya terjatuh, tertelungkup berbantal kehormatan dan cintanya sendiri.

Raksu mengaku dirinya tak lagi menggenggam kehormatan seperti semasa masih bersama istrinya, anak-anaknya dulu. Dia menyerah kalah. Tekadnya yang dulu untuk bertarung berbalik menjadi bertaruh. Semangat berjuangnya justru membuahkan kebimbangan. Lalu Raksu pun merasa telah banyak kehilangan, harga diri, umur, kesempatan, masa depan dan akhirnya kehormatan.

Dirasakanya, tiada bencana paling kejam selain keadaan seperti ini. Tiada malapetaka paling runyam kecuali hari ini, yang bisa meruntuhkan tembok dinding jiwanya sebagai makhluk Tuhan paling sempurna menyerupai laut, bila tak tenggelam ke dasar terdalam dan berbalik menyumpahi tuhan akibat terjatuh ke lubang yang serendah-rendahnya, sehina-hinanya.

“Segalanya berpulang pada diri kita istriku. Seperti halnya kegigihanmu, kekerasan hatimu, keteguhanmu, mungkin keras kepalamu, dendamu yang tak gampang kutekuk. Segalanya bergantung kita bagaimana memaknainya. Tapi ketahuilah diam-diam telah tumbuh dalam diriku perasaan bersalah bahwa kau telah sepenuhnya tak mempercayaiku, apalagi untuk tunduk kepada suamimu. Disinilah pula mulai tumbuh dalam diriku perasaan bahwa aku telah kehilangan niat baik diriku sendiri sebagaimana pernah kuucapkan di depan penghulu waktu kita menikah dahulu. Juga tentang anak-anak, masa depannya, kebersamaannya. Barangkali yang kita butuhkan hanyalah komitmen baru, meski aku sadar itu sulit di dapat. Karena itu berarti saling menambatkan kepercayaan. Engkau lebih percaya kepada ibumu dan aku lebih percaya pada ibuku. Tapi itu tak mengapa, karena seorang ibu tetaplah seorang ibu bagi anak-anaknya sampai kapanpun dan di manapun. Ia adalah ruh hidup. Ia adalah kecantikan, keindahan. Ia adalah ibu bagi bumi bahkan semesta ini. Dan yang tak bisa kita pungkiri ia adalah makhluk setengah malaikat bagi kita anaknya pada hari ini. Sebab itu berbahagialah engkau yang kemudian benar-benar menjadi ibu bagi anak-anak kita, bagi bumi dan semesta ini. Atau setidaknya kini engkau tengah menempuh pelajaran baru dari ini semua? Semoga ini bukan karena keinginanku untuk mendinginkan suasana, menyegarkan batin dan membersihkan jiwa…”

Betapa Raksu makin dihantui ruang dan waktu. Penyesalannya makin dalam dan kejatuhannya kian menjeram lantaran ia berbulan-bulan terpisah dari istri dan anak-anaknya. Hari-harinya ia habiskan pencariannya tentang arti keluarga, pernikahan dan kehormatan. Hasilnya, memang segalanya baginya kiant telah terkikis habis. Rencana-rencananya yang tersusun pun kandas. Ia justru merasa sendiri, mempribadi dan melompat-lompat dalam kediriannya. Tapi itu bukan tarian melainkan dentuman-dentuman sulur-sulur otot, desir darahnya, serta gejolak hatinya.

Meski itu bukan berarti perasaan asing, namun hantu ruang dan waktu demikian hebat merasuki. Raksu tidak tahu berdiri di satu noktah mana dan kapan waktunya, pagi, siang, sore atau malam hari tiada penting baginya. Karena itu hantu ruang dan waktu pula yang membuatnya buta.

Beruntung, nasib telah menjatuhkan pilihan yang tepat: Kembali pada ibunya yang tua renta tetapi mata hatinya bak mutiara sinarnya dengan kesanggupannya menerangi jagad semesta dengan keindahan, cintanya yang harum semerbak dan ditebarkan burung-burung putih dari surga. Raksu terpendam karena tertunduk tak sanggup menatap mata dan raut muka ibunya yang bersih.

“Yang terkasih, istriku. Ini hanyalah soal pilihan. Dan kita sudah sama-sama saling menjatuhkan. Sekarang tentu engkau pun telah merasakan memiliki rumah, meski itu justru untuk kepergianmu selanjutnya. Seperti halnya aku, suamimu. Ruang dan waktu bukanlah segalanya. Kita bisa bersarang di tengahnya, tetapi sekali waktu kita bisa berada jauh di luarnya. Hanya saja apapun yang terjadi, anak-anak kita harus tetap hidup, sekalipun kelak tak sesempurna keinginan kita. Tapi percayalah, mereka akan hidup sebaik-baik dirinya hidup di semesta ini sebagaimana terjadi pada diri kita dan diajarkan ibu kita hari-hari ini. Perpisahan kita ini, bisa jadi sebuah hukuman, ujian atau bahkan suatu jalan. Akan tetapi bagi anak-anak kita tentulah sangat berbeda artinya dan boleh jadi amat lain. Mungkin belum mengerti, barangkali pula terlampau mengerti, sementara kita justru orangtua yang tak mau mengerti. Aku tak sampai hati bila harus berkata kasihan pada mareka, karena itu sama artinya mengakui kemunafikanku. Berucap maaf sepertinya itu suatu dosa. Barangkali karena itulah tak pernah lagi seulas pun kata itu terucap dari bibirmu. Tapi buatku, inilah misterinya: Kau tak pernah meminta maaf, seperti seringkali kusampaikan itu padamu. Bagiku ini cukup bukti bahwa kaulah seorang pemeluk teguh. Ya, itulah misterimu, bagiku..”

Dalam penutup suratnya, untuk pertama kalinya Raksu tak lagi dirasa perlu menyertakan maaf. Sebaliknya ia menyakinkan istrinya dan tentu saja juga dirinya sendiri. Perpisahannya ini adalah suatu jalan—jalan keluar. Kepulangannya hanyalah langkah barunya untuk kepergiannya kembali entah ke suatu tempat hidup yang lebih baik, seperti terlihat oleh mata anak-anak. Bahwa hidup ini, kepergian ini harus berpegang pada tujuannya dan itu Raksu katakana anak-anak merekalah yang meminjamkan mata dan ibunyalah yang membekali hatinya.

Raksu pertegas dirinya tak sepenuhnya percaya mitos Sysipus yang mendorong batu ke puncak lalu terjatuh dan mendorong lagi berkali-kali. Ia justru percaya dalam hidup ini tiada puncak atau lembah. Satu-satunya puncak adalah kepulangannya ke rumah, ibunya. Juga kepergiannya pun kelak bakal bermuara ke tempat yang sama.

Bulan Juni, mustinya sudah memasuki musim kemarau. Namun cuaca memang sulit ditebak. Hujan masih pula turun, bahkan bahkan makin tak kenal waktu. Siang itu Raksu berkejaran dengan cuaca dan menjatuhkan pilihan suratnya di kirim via kantor pos. Ia begitu takut suratnya tak bisa terbaca bila sampai air hujan menyentuh amplop berikut isi suratnya. Tak mengapa jika itu hanya satu dua tetes air.

Sampai di depan kantor pos, ia bergegas masuk dan mengeluarkan amplop dari saku mantelnya. Perasaan terbebas dan bayangan istrinya yang membaca dengan bersusah payah isi suratnya cepat berkelebat.

Buntutnya, Raksu pun bergegas melempar suratnya ke kotak setelah yakin memasang beberapa perangko tercepat yang pertama kali ada di dunia—stiker lubang piala dunia 2006. Perasaan itu pun segera ia bawa pergi, tanpa menyadari bahwa surat itu sampai kapan pun takkan terbaca oleh istrinya.

Alasannya, karena ia tak pernah mencantumkan alamatnya. Bukan karena lupa melainkan karena memang ia tak tahu dimana keberadaannya.[]



2009 - 2010