SEAKAN MENGUAK SISI GELAP MASUKNYA ISLAM
DI TANAH JAWA
http://www.lingkarberita.com/
KONON dalam ramalan Sabdo Palon dan Noyo Genggong dikisahkan; sebelum berpisah dengan junjungannya raja Majapahit Prabu Brawijaya, Sabdo Palon mengingatkan, kelak ajaran Budha bangkit dari tidurnya yang lebih 500 tahun lamanya. Kedatangannya kembali itu akan ditandai dengan takdir gelegarnya Merapi dan mengalirkan lahar yang tak sedap ke arah barat daya
Kisah itu mengemuka disela istirah dari lelah psikis dan fisik Sang Prabu dalam pengejaran tentara Demak dibawah Raden Patah. Saat di Blambangan, di pinggir sebuah mata air, Sang Prabu yang pikirannya gelap dan menyendiri bermaksud mengajak dua abdi dalemnya, Sabdo Palon dan Noyo Genggong masuk Islam.
Kontan ketika itulah, Sabdo Palon dan Noyo Genggong yang mengaku telah berumur 2000 tahun menegaskan diri menolak ajakan Sang Prabu. “Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Jika hamba tidur sampai 200 tahun, selama hamba tidur selalu ada perang saudara, saling bunuh sesama bangsa sendiri,” tandasnya.
Suntuk
Mitos ini mengingatkan saya pada seorang teman dari Madura yang mengaku suntuk membaca novel sayaTanha, lalu berpesan pada saya yang saya tangkap bernada seakan-akan novel ini menggali nilai-nilai budhisme. Lalu kembali saya baca-baca, buku, internet. Ujungnya, saya pikir, biarlah itu pikiran pembaca kendati tentu saja timbul pikiran reka-reka di otak saya, apa kiranya penyebab pembaca berpikir demikian.
Barangkali saja, tafsir kawan di Madura itu didorong anggapan bahwa ada pandangan dunia ataukah motif tertentu di kepala saya, seakan novel ini menegaskan diri pada pembaca, waktu 500 tahun dalam ramalan dua abdi dalem sebagai itu telah tiba pada masa kini. Merapi pun berlipat kali telah menumpahkan laharnya. Bahkan mungkin lebih jauh lagi, bahwa sisi gelap perihal masuknya Islam di tanah Jawa seakan dipersoalkan kembali melalui ruang hidup yang berbeda, meski masih berkutat dalam sublimasi spirit yang sama. Terlebih, ruang hidup yang saya pindahkan pada novel ini tidak secara jelas dan tegas menyangkut problem geografis dan etnografis di wilayah tertentu, seakan sengaja menciptakan misteri bagi pembaca. Terhadap hal ini, saya pikir, ya inilah sastra.
Sisi gelap perihal masuknya Islam di tanah Jawa seakan dipersoalkan kembali melalui ruang hidup yang berbeda, meski masih berkutat dalam kecamuk spirit yang sama. Terlebih, ruang hidup yang dipindahkan pengarang novel ini tidak menyangkut problem geografis dan etnografis yang timbul daripadanya.
Perempuan Bali
Cerita bermula dari takdir Mak Kaji Idayu Kiyati yang telah Islam, janda tua berdarah Bali itu menapaktilasi kembali hidupnya setelah jatuh miskin. Tokoh ini membawa ingatan pembaca bagaimana dahulu para petinggi, empu dan rakyat Majapahit hijrah ke Bali akibat desakan kekuasaan Islam.
Lalu seorang putrinya, Lastri Srigati yang tak tahu asal-usul darahnya, tergenang dalam belitan yang juga menyeret tiga keturunannya. Srigati, dinikahkan paksa oleh Mak Kaji dengan Matjain, pria pemuja leluhurnya dan mengaku keturunan Sunan Bonang serta punya hubungan khusus dengan trah raja Majapahit, Brawijaya VI.
Meski demikian saya tidak bermaksud menampilkan novel ini aroma nostalgia kejayaan masa silam. Biarpun tokoh-tokohnya bergelut dengan kemiskinan. Nuansa Kediri yang tampil di satu sisi musti membetot tafsir pembaca pada kekuasaan Prabu Airlangga dan anak turunnya pada masanya. Pada sisi lain, tampak jelas hal itu diusung bukan semata-mata atas nama kekayaan dan kekuasaan. Sebaliknya, bersetting sosial kemiskinan sebuah keluarga di dusun kecil ini justru demi melukiskan secara mendalam detil-detil jalan hidup mereka yang harus ditempuh dalam menggempur mitos yang bersulur padanya, dan menanam mitos baru, mencoba rancang bangun harapan baru di suatu masa depan.
Panji
Mitos yang dimaksud tak lain adalah Cerita Panji.
Dalam buku Konservasi Budaya Panji (2009), saya sempat menyinggung gagasan karya. Bahwa, Tanha memang diambil dari kosakata Budhisme yang berpegang pada teologi “alam itu abadi tetapi jahat,” dan tanha adalah adalah keinginan atau kecenderungan untuk senantiasa berubah, dan penderitaan (dukkha) membentuk esensinya.
Pada tahapan ketika Tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan, maka sebetulnya novel ini berbicara spirit yang lebih esensial, teologis sekaligus filosofis. Yaitu ajaran Tantra dalam spirit budhisme maupun hinduisme.
Dua agama yang belakangan memang getol memadukan ajaran Siva dan Budha dan mengerucut pada masyarakat agama di Bali (dan bahkan termasuk Jainisme di India). Keakraban Buddha kadang-kadang disamakan dengan Visnu, di tempat lain Buddha disamakan dengan Brahma, atau Visnu disejajarkan kedudukannya dengan Śiva, bagaikan keakraban “dua abdi dalem.”
Keakraban yang sama sebagaimana dipancarkan kitab Sotasoma yang secara tidak lengkap dinukil sebagai Bhinneka Tunggal Ika itu. Dalam banyak pendapat, muncul pemikiran telah terjadi distorsi pada idiom sakral ini. Kita tahu Majapahit (1292-1500), juga Kediri dan Singosari adalah puncak-puncak pencapaian tertinggi ajaran Tantra dengan apa yang disebut sinkretisme di samping pada era sebelumnya kerajaan Sriwijaya di Padang Lawas, Sumatra Barat, dan kini pada masyarakat Bali.
Tantra, Mantra, Sastra
Saya musti pertegas bagaimana menimbangTanha sebagai novel yang sangat liris, prosa yang sangat puitis. Tentu bukan suatu hal yang tanpa landasan. Disamping oleh sebab tradisi sastra kita yang memang berawal dari mantra, pengarang sadar betul bahwa pada tantra, mantra, sastra ada satu garis yang bisa ditarik dalam Tanha melalui akar kata tra (dari bahasa sansekerta) yang berarti yang membebaskan—suatu jalan pembebasan spiritual.
Nyatalah novel ini lebih banyak berbicara perihal spiritual ketimbang kemiskinan dimana tokoh-tokohnya hidup, bergelut dan bergulat padanya. Setidaknya sebagaimana terungkap dari nukilan kegelisahan tokoh-tokohnya tentang penderitaan, nasib, takdir, kemiskinan, trauma jiwa. Juga dipicu kegundahan pengarang pada kisah Sidharta yang saya baca dari Hermann Hesse begitu meneror saya selaku raja tega meninggalkan istri dan anaknya, juga kekayaannya dan kemudian memilih pergi ke belantara.
Andai derita karena ditinggalkan itu terjadi pada seorang pria. Andai seorang perempuan, istri, ibu kemudian terpilih atas namanya sebagai “nabi” yang menebar harum bagi jiwa-jiwa manusia di semesta ini.
Puncak dari humbalang pertanyaan yang tak terjawab pasti itu seakan terangkat dalam suatu kondisi sekaligus selaku kredo yang tersebut sebagai suatu pengetahuan mutakhir sang psikopat, sang penyair dan sang pemabuk.
“Engkau janganlah ragu menjadi sumber inspirasi berkat kemurnian jiwa dari pertapaanmu, kesunyianmu, kesendirianmu. Perlihatkanlah, pertontonkanlah dan tunjukkan kini sebagai suatu pengetahuan mutakhir wahai sang psikopat, sang penyair, dan sang pemabuk.” (hal 276)
Satu hal penting yang saya musti lukiskan adalah ketika Maya Durghata Karini mendesak pacarnya, Sohibulkahfi membeber hubungan gelap dengan para kekasihnya, demi kebebasan totalitas cintanya. Sohibulkahfi mengungkap sedahsyat apapun permainan cinta dan tubuh dengan para perempuannya hal itu tak diakhiri dengan persetubuhan. Ini mengingatkan ajaran Tantra pada relief cerita panji di pelbagai situs gunung Penanggungan dan sejumlah candi di Jawa Timur yang sama sekali tak menampilkan adegan persetubuhan. Pada dinding situs, kisah Raden Panji dan Candra Kirana, kekasihnya sebatas percumbuan yang sangat romantis nan indah dilatari kecantikan alam dan seni.
Musti saya akui, saya tak sampai hati melampaui batas tipis ajaran Tantra yang diselewengkan dalam wujud perilaku persetubuhan. Sebagaimana diakui pemikir Dasgupta, hubungan seks dalam Tantra merupakan penyimpangan dari konsep awalnya. Persetubuhan dan Tantra adalah dua hal yang berbeda. Tujuan tertinggi Tantra menurut HB Sarkar adalah tercapainya keadaan sempurna dengan penyatuan antara dua praktek, serta merealisasikan sifat non-dual dari Realitas Tertinggi. Sementara hubungan seks lebih diarahkan untuk mengontol kekuatan alam dan bukan untuk mencapai pembebasan.
Yang dikehendaki dari lelaki-perempuan, pria-wanita adalah penyatuan sempurna. Kedua aspek dari realitas tersebut diwakili oleh Siwa dan Sakti dalam Hindu. Sedangkan dalam Buddha diwakili Prajna dan Upaya. Pada tahap merealisasikan sifat non-dual dari Realitas Tertinggi inilah tampaknya tokoh Maya Durghata Karini berhasil melampaui dengan lebih baik meskipun secara prespektif gender ia memilih meninggalkan kekasihnya, suaminya.
Dialah, Maya Durghata Karini yang kuasa menerjemahkan kosakata Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi Tibetan tantra, “meskipun Tantra mengakui bahwa khayalan seperti keterikatan kepada keinginan adalah sumber dari penderitaan dan oleh karena itu harus diatasi, namun ia juga mengajarkan keahlian untuk menggunakan energi dari khayalan tersebut untuk memperdalam kesadaran kita sehingga menghasilkan kemajuan spiritual.”
Alhasil, cukuplah saya tutup tulisan ini--meski bukan berarti simpulan--, sebagaimana penghujung buku ini, bahwa saya telah menuliskan referensi anarkhisme tokoh-tokoh saya yang minta diri untuk dicuri perhatiannya oleh pembaca, bagaimana seorang individualis yang menawar pemberian Tuhan. Karena hanya dengan demikian ia bisa bercengkerama dengan dirinya juga dengan penguasa mitos dirinya. …Izinkanlah aku memasukimu, merasukimu, wahai jiwa-jiwa yang terlupakan….[]
S. JAI,
Penulis adalah pengarang