Oleh S. JAI*)
SUU—perempuan kurus yang jejuluk si anggrek baja itu—begitu tampak menyusut kecil tatkala luruh dari kesedihan dan meringkuk di lantai rumah besarnya yang dirangkul danau luas.
Perempuan itu begitu terpukul, lalu tenggelam dalam kegetiran mahaduka setelah mendengar kabar dari nyala radio transistor miliknya: kabar tentang kematian suaminya—pria yang telah memberinya dua putra dari rahim Suu.
Adegan yang boleh dikata paling menyentuh dari keseluruhan film The Lady (2011) arahan sutradara Luc Besson seakan hendak memperlihatkan betapa cinta yang begitu mendalam pada akhirnya juga telah menghukum manusia—ia kehilangan sesuatu yang dicintai, akan tetapi tak akan pernah kehilangan cinta itu sendiri, hidup ini.
Suu—perempuan yang digambarkan sebagai aktivis prodemokrasi Aung San Suu Kyi—telah banyak mengalami peristiwa percobaan penghilangan cinta itu dari hidupnya, dan tidak pernah berhasil lenyap sepenuhnya.
Mula-mula film ini dibuka dengan adegan masa kanak-kanak Suu dalam pangkuan sang ayah, Jenderal Aung San. Sang ayah yang tokoh kemerdekaan Myanmar tersebut terlihat menyematkan sekuntum anggrek. Lantas Suu ditinggalkan sang ayah sendirian. Itulah pertemuan terakhir Suu dengan ayahnya, sebelum ayahnya dibunuh oleh rival politiknya pada 1947, persis enam bulan sebelum kemerdekaan Myanmar dari koloni Inggris.
Ketika suasana kejiwaan Suu nyaris luluh lantak karena suami tercintanya menderita kanker ganas, Suu justru memperlihatkan sisi cinta yang lain. Ia menolak tawaran pemerintah junta militer Myanmar agar Suu menemui suaminya. Suu yakin itu hanyalah alibi untuk semata-mata mengusir dirinya dari negeri itu, menjauhkan dari para pendukungnya dan melarangnya masuk kembali ke tanah kelahirannya. Sebab itu pada saat kehilangan suaminya, Suu menghukum diri atas nama sesuatu cinta yang lebih luas. Cinta pada keyakinannya akan idealisme perjuangan, tanah air dan semata rasa kemanusiaan para pengikutnya.
Meski demikian The Lady lebih merupakan drama cinta seorang aktivis prodemokrasi dengan profesor Kajian budaya Tibet, ketimbang kisah perjuangan perempuan dalam merebut kemerdekaan dari pemerintah junta militer. Cinta dalam kehidupan Suu yang diperankan Michelle Yeoh mengalami sublimasi justru oleh karena dorongan keterlibatan Suu dalam gebalau permasalahan politik di negerinya. Meski ada kesan pula, ia meluaskan cinta dan kasih sayang pada keluarga, suami (Mikey) dan kedua anaknya (Alex dan Kim) dengan memperjuangkan demokrasi di Myanmar—negeri yang dikendalikan penguasa yang menceraiberaikan keluarganya.
***
DIKISAHKAN, Suu yang semula tinggal di Inggris—negeri asal Mikey, yang menikahi doktor ilmu budaya Oriental dan Afrika dari Universitas London ini—pada 1988 pulang ke negerinya lantaran ibundanya sakit parah. Mikey yang diperankan David Thewlis dikenal Suu saat masih belajar di Universitas Oxford. Keduanya menikah tahun 1972 dan menetap di Inggris.
Kepulangannya ke tanah air bersamaan dengan maraknya demonstrasi mahasiswa menentang pemerintahan junta militer. Banyak jatuh korban dalam aksi unjuk rasa ini karena tentara memakai kekerasan untuk mengatasinya. Mereka menembaki para demontran dengan peluru tajam.
Suu Kyi menyaksikan itu semua di depan matanya. Peristiwa tersebut menggugah hatinya untuk terjun langsung ke politik. Mulailah ia menggalang dukungan dan menyebarkan ide-ide demokrasi tanpa kekerasan ke seluruh penjuru Myanmar. Dia meniru Gandhi, melawan penguasa diktator tanpa kekerasan. Junta militer di bawah Jenderal Than Shwe semakin represif. Suu Kyi menjadi lawan politiknya yang paling berbahaya. Dengan segala cara dia berupaya menghentikan perlawanan wanita hebat itu. Tak cukup hanya menjadikannya tahanan rumah, Suu Kyi juga dijauhkan dari suami dan anak-anaknya. Tetapi, Suu Kyi bergeming. Dia tahu, dia lebih dibutuhkan oleh rakyat dan negaranya. Dengan tabah, dia menjalani semua penderitaan itu.
***
PELURU demikian murah. Tapi harga nyawa penentang pemerintah ternyata jauh lebih murah. Suu demikian “anti peluru” tubuhnya gemetar setiap kali menyaksikan darah atau mendengar letupan peluru. Karena peluru juga yang telah membunuh ayahnya. Ia juga menyaksikan penembakan mahasiswa. Perburuan tentara ke rumah sakit dan penembakan mematikan ke awak medic. Ia juga tak menduga dan menutup telinganya saat tentara menghamburkan peluru ke arah pendukung Suu yang bermaksud memberikan semangat padanya.
Sebagai seorang yang pernah tinggal lama di India saat mengikuti ibundanya sebagai duta besar di negara itu, Suu begitu mengagumi tokoh Mahatma Gandi yang anti kekerasan. Setidaknya hal itu ditunjukkan Suu yang meminta pendukungnya menyembunyikan pistol saat tentara menggerebek rumah kediaman Suu.
Sikap “anti peluru” Suu bukan berarti dirinya takut pada peluru. Pengalaman pahit getir perjuangan sejak leluhurnya membuatnya tetap punya keyakinan bahwa harga peluru boleh murah. Namun demikian kebebasan, harga diri serta hak-hak menentukan nasib sendiri oleh rakyat Myanmar tidak bisa dinilai dengan sesuatu harga pun. Pendeknya, kemerdekaan adalah harga mati!
Suatu ketika, kampanye partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Suu digagalkan tentara. Pendukungnya harus mundur di bawah todongan senjata laras panjang. Sebaliknya, Suu dengan sorot mata lebih tajam dari laras pistol perwira pimpinan pasukan itu, perempuan itu bernyali terus mendekati moncong pistol. Tak ada sebutir peluru pun yang keluar dari larasnya.
Inilah aspek filmis yang paling menarik dari sisi keteguhan, keyakinan dan keberanian Suu dalam memperjuangkan hak-hak sipil di negeri itu. Walaupun pada akhirnya sebutir peluru memakan korban perwira tentara itu sendiri dari tangan Jenderal Than Shwe—seorang penguasa yang digambarkan selain otoriter juga membutuhkan legitimasi kuasa pada seorang paranormal. Nasib tragis sang paranormal pun juga berakhir di ujung peluru, ketika sang jenderal tak membaca dengan baik sasmita dari sang mistikus tersebut. Betapa peluru hanyalah kepanjangan tangan watak otoritarian dan cenderung merendahkan martabat mistik.
***
DENGAN segala cara pemerintah junta militer hendak meruntuhkan nyali, moral dan spirit cinta Suu. Yang paling tragis adalah ketika dijauhkan dari keluarga. Sebagai seorang perempuan, seorang ibu, tentu hal seperti ini bukanlah penderitaan yang biasa.
Segala saluran telpon bahkan dijalur Suu di kedutaan besar Inggris bisa diputus sepihak setiap kali berbicara dengan Mikey atau anak-anaknya. Untuk memperoleh visa kunjungan, Mikey harus menunggu tanpa batasan waktu yang jelas, atau penolakan tanpa alasan jelas pula. Bahkan saat Mikey di bandara tanah air Suu, langsung diasingkan oleh tentara. Belum lagi anak-anak mereka (Alex dan Kim) yang ditolak kewarganegaraannya oleh pemerintah junta militer. Jelaslah itu semua adalah upaya untuk menjauhkan Suu dari kehidupan keluarganya.
Suu sendiri dikurung dalam tahanan rumah selama 13 tahun hanya ditemani seorang pembantu perempuan. Teman lain yang sangat penting bagi keberadaan Suu dalam tahanan rumahnya adalah sebuah piano tua dan radio transistor. Suu senantiasa memainkan musik pada piano tersebut manakala jiwanya berada dalam kesunyian yang tak tersentuh. Ia menerbangkan nada-nada musik piano itu ke halaman rumah dan tentara yang berjaga turut mencoba mengenalinya. Sedangkan radio satu-satunya yang bisa membawa kabar peristiwa dunia luar padanya.
Dia menjalani penderitaan itu semua, sementara di belahan bumi yang lain, Mikey memelihara cinta pada keluarga itu dengan membesarkan Alex, Kim dan melakukan lobi-lobi tingkat tinggi di Eropa atas perjuangan Suu pada demokrasi. Sampai suatu ketika pada 1991 panitia hadiah Nobel Perdamaian di Oslo Norwegia mengumumkan penghargaan itu untuk Suu. Dengan besar hati, Mikey meminta salah seorang dari putranya untuk menyampaikan pidato penerimaan hadiah bergengsi di ajang terhormat tersebut, semata-mata mempertimbangkan cinta Suu pada keluarganya.
Tepat pukul 19.00 waktu rumah tahanan Suu, setelah kepanikan mencari baterai cadangan untuk radio transistornya, ia mendengarkan pidato Alex di Oslo dengan kebahagian Suu yang sulit digambarkan. Kebahagian itu pula yang turut ia tumpahkan melalui nada-nada piano yang lamat-lamat mengiringi irama orkestra di acara penganugerahan tersebut.
Buat Suu, hadiah nobel hanyalah sesuatu kekuatan kecil, karena kekuatan terbesar telah ada padanya, juga pada keluarganya—Mikey, Alex dan Kim. Terlebih hadiah nobel tak begitu berdampak pada kebebasan hidup pribadinya, apalagi negaranya. Suu hanya sempat bebas sejenak dari tahanan pada 1995, sesudah itu penjara yang lebih panjang justru musti dijalaninya. Demikian pula dengan pembebasannya pada 2002 yang cuma dinikmati kurang dari setahun, sebelum akhirnya pemerintah menjebloskannya kembali.
Bahkan sampai kemudian terjadi aksi kekerasan di negeri itu lagi pada 2007 yang digerakkan oleh kaum biksu—yang digambarkan berupa cuplikan film dokumenter. Sesuatu yang sebelumnya tak terjadi, pada September itu Suu Kyi diizinkan menemui biksu meski dari balik tembok dan dibawah pengawalan ketat tentara. Inilah pemunculan pertamanya di muka publik sejak penahanannya yang terakhir. Dalam film itu digambarkan Suu melambaikan tangan dan menerbangkan sekuntum anggrek pada para pendukungnya.
***
SATU adegan penting dalam dunia nyata Aung San Suu Kyi—yang menginspirasi film ini—adalah ketika Aung pada Mei 2009 menerima tamu tak diundang masuk setelah menyeberangi danau sekitar rumahnya. Tamu yang belakangan diketahui bernama John Yettaw itu dikabarkan sempat dua hari tinggal bersama Suu Kyi.
Barangkali tak dihadirkannya pada film lantaran peristiwa itu sangat misterius itu dan berpeluang dipolitisasi, meski berkait erat dengan kehidupan pribadi Suu Kyi. Betapa masyarakat internasional waktu itu kembali mencemaskan nasib tokoh pejuang demokrasi tersebut seandainya pemerintah mempolitisasi peristiwa langka itu.
Pada November 2010 Aung San Suu Kyi dibebaskan dari tahanan. Kini Aung San Suu Kyi berusia 63 tahun ketika film The Lady—dibuat dengan banyak sekali dukungan para pengikut Aung San Suu Kyi--beredar di pasaran dan ditonton jutaan orang di belahan bumi.
Alangkah baiknya saya menutup tulisan ini dengan pengakuan Suu Kyi yang dirilis sejumlah media. Bahwa bagi Suu Kyi, terpenjara dalam rumah sendiri karena memperjuangkan demokrasi bagi rakyat Myanmar tak akan pernah disesali. Bahkan ia mengatakan masa penahanannya ini membuat dirinya lebih bisa membuat keputusan dalam sisa hidup guna merepresentasikan kehidupan bagi masyarakat Myanmar.
Aung San Suu Kyi kepada media, juga menegaskan dirinya tidak tertarik menonton film The Lady.
“Tetapi saya sangat menghormati sutradaranya,” ungkapnya. []
*) Penulis adalah Kepala Divisi Pelatihan dan Advokasi WYDII, Surabaya