SASTRA MILENIAL DAN POSTHUMANISME
S. Jai
Pengantar Redaksi Majalah Suluk DK Jatim Edisi 18 (Agustus 2020)
DALAM sebuah kisah, seorang lelaki tiba-tiba mendapati dirinya terbangun dari tidur sebagai tokoh game komputer The Age of Desire dalam simulasi cinta Renjana Release 5. Lelaki itu Sukra, mantan pembunuh bayaran yang tobat saat hendak menjagal seorang penari balet, lelaki itu memergoki tubuh indah sang penari yang sedang telanjang di bak mandi. Seketika kekejamannya luntur seperti busa. Lalu meletupkan birahi hasrat cinta.
“Tubuh,” kata penari itu “Harus dicinta. Sekarang pulanglah
kamu. Jangan membunuh orang lagi. Aku memberkatimu.”
Semenjak itu Sukra memilih menjadi seniman tubuh. Suatu
ketika bertelanjang menunggang vespa. Pada saat lain berkelana di plaza. Sukra
menghidupkan manekin-manekin. Sukra meniup seruling gaib. Namun, tentara
memberangus Sukra karena telanjang adalah jahanam. Sedang seruling lelaki itu
terus terdengar dan membangunkan setiap orang untuk menari dan telanjang.
Kisah itu ditulis Sony Karsono ketika berumur 23/24 tahun, dan
dipublikasikan Kompas 14 April 1996. Sony adalah generasi yang lahir tahun
1970-an. Dengan kata lain, Sony lahir
sepuluh tahun sebelum generasi milenial, namun boleh dikata ia mengalami proses
kreatif dan menulis di era milenial—ketika kepercayaan akan diri dan teknologi
betul-betul telah menjadi realitasnya, ruh dari cerpen-cerpennya; televisi, komputer,
game, internet, cyberspace.
Pada satu sisi ia mengulik tentang kemanusiaan, dan pada sisi
lainnya menguar perihal teknologi. Dua hal yang bisa bersinergi pun bisa
bersitegang. Sebagaimana kita tahu sinergi dan ketegangan padanya masih menjadi
perbincangan yang hangat sejak abad-abad belakangan.
Sastra sebagaimana sejarah manusia melibatkan diri di
dalamnya.
Atas dasar hal demikian, maka lamat-lamat bisa terjawab apa
hubungan teks sastra dan konteks?
Bagaimana sastra disebut menyuarakan manusia dan zamannya? Boleh jadi ini pertanyaan abadi sastra yang pernah, sedang
dan akan terus diikhtiarkan jawabannya. Betapa sastra berpusar pada
manusia—kemanusiaan—humanisme.
Tak terkecuali bila hendak menimbang dan menelisik sastra
milenial—pengarang, karya, estetika, teori, kritik, sejarah. Perihal kaum milenial, tentu cukup rumit,
meski seringkali penyederhanaannya
berupa generasi yang terlahir kurun 90-an hingga 2000-an dengan penanda
salah satunya; era kecanggihan teknologi internet, gadget, digital. Suatu
generasi yang pendek kata tunduk pada penguasaan teknologi komunikasi, media
digital. Ada sejumlah karakteristik lain tentu saja, semisal perihal aspek
politik ekonomi di sebalik itu semua.
Penyederhanaan
lainnya; generasi melinial-digital adalah masyarakat komunikatif. Yaitu,
masyarakat yang memiliki semangat, kesadaran dan tradisi untuk terus mencari,
menemukan dan menciptakan pengetahuan, atas dasar komunikasi
yang baik dengan memanfaatkan teknologi komunikasi.
***
KETEGANGAN, krisis; menjadi ruh sastra. Termasuk ketegangan dengan
dirinya sendiri—kemanusiaan, humanisme—sebagai suatu keadaan pasca-humanisme.
Konon Rusia-Soviet (Eropa Timur) lah yang memiliki
pengalaman paling matang dalam hal ini dibandingkan Amerika atau Eropa Barat.
Rusia memiliki puncak-puncak krisis bukan saja pada doktrin humanisme tetapi
juga manusia sebagai pusatnya (sejarah uni soviet, siklus penuh revolusi
sejarah, pembusukan kekaisaran, keruntuhan masyarakat). Budaya Rusia telah
berhadapan dengan posthumanisme selama abad 19-20 (visi anti individualisme
Dostoyevksy tentang keselamatan kolektif).
Kondisi
posthumanisme di negeri kita mengingatkan pada gagasan “Sastra Kontekstual”
yang dimotori Ariel Heryanto dan Arief Budiman di tahun 1980-an. Boleh dibilang
inilah gejolak terbesar sebuah perdebatan yang menyoal dominasi estetika
tertentu pengabdian pada kemanusiaan. Tak ada rumusan yang bulat memang pasca
perdebatan tersebut sebagaimana pencapaian rumusan estetika Giorgio Agamben
(Posthumanisme kritis) yang radikal melawan estetika. Yang mengajak kembali
menjadi “anak kecil,” di depan karya seni karena estetika semata memiskinkan-mengosongkan
pengalaman.
Agamben
merumuskan perlawanan terhadap estetika dan
meneguhkan seni dalam pengertian ritme.
Ritme tak lain struktur dalam pengertian yang lain—setidaknya yang tak populer.
Bukan struktur dalam komponen-benda-fisik, melainkan struktur dalam arti jeda
temporal—keterkejutan. Yaitu patahan pengalaman ketika menikmati karya seni
sebelum dikonstruksi wacana estetika—yang cenderung atas dasar itung-itungan komponen buatan “ahli
selera.”
Kata
kuncinya, pemiskinan pengalaman seni yang didorong oleh keterasingan manusia. Dan
seni, juga sastra sebagai “sesuatu” yang menjawab keterasingan itu dengan
caranya sejak pengalaman perbudakan manusia, bahkan tragedi pemusnahan—perang
dan sejenisnya. “Sesuatu” lah—lengkapnya sesuatu di luar manusia yang di era
kontemporer kini menjadi pusat perhatian filsafat setelah yang silam pada Alam,
Tuhan dan manusia itu sendiri. “Sesuatu” yang dimaksud diantaranya; “Ada”,
“Sistem”, “Bahasa”, “Struktur”, dan sebagainya.
Begitulah kita menjadi karib dengan permainan bahasa (Wittgenstein), wacana, episteme (Foucault), mitos, konotasi, metabahasa (Roland
Barthes) Juga dekonstruksi, penundaan makna
(Derrida).
Kata-kata Derrida “tak ada sesuatu
pun di luar teks” mengandung pengertian tak ada sesuatu pun di luar proses
pembedaan-penundaan; tak ada makna yang hadir secara paripurna. Ini kalimat yang nyambung dengan Ferdinand Saussure, “..dalam
bahasa hanya ada perbedaan-perbedaan dimana identitas kata dibentuk oleh dari
melakukan perbedaan-perbedaan di dalamnya.” Terhubung pula dengan kalimat
Murakami; tidak ada kalimat yang sempurna, sama seperti tidak ada keputusasaan
yang sempurna.”
Inilah
sasmita yang dipegang kukuh para penganut mazhab paska strukturalisme—mereka yang
tidak puas, menolak atau yang meradikalkan dengan anti padanya baik struktur
fisik maupun metafisiknya. Kiat Sukses Hancur Lebur novel Martin
Suryajaya, misalnya, atau buku-buku puisi Afrizal Malna terang memperlihatkan
akrobat struktur fisik tersebut. Sementara dalam struktur metafisiknya sebagaimana
karya sastra umumnya tentu butuh pembacaan mendalam (Baca pula pendapat Ribut
Wijoto atas beberapa penulis muda Jawa Timur—Sastra Milenial Kita).
***
“SETIAP humanisme
tetaplah suatu metafisika,” kata lain ontoteologi dari Heidegger. Dan nyatanya penolakan pada humanisme masih
berjibaku pada hal-hal metafisis, walau diakui oleh Derrida, doktrin humanisme
sebagai suatu problem.
Dalam seni kontemporer (kondisi posthumanisme digambarkan
dalam pelbagai bidang fiksi ilmiah, futurologi, seni kontemporer dan filsafat) yang
berpusat pada pembahasan di luar manusia cukup banyak ditemukan di sejumlah
karya sastra, juga film. Karya-karya fantasi Julies Verne, Binatangisme—George Orwell, juga 1984, menyebut beberapa saja. Tak terkecuali yang dicontohkan dalam
awal pembuka tulisan ini, umumnya, membahas pertanyaan etika dan keadilan, komunikasi bahasa dan trans-spesies,
sistem sosial, dan aspirasi intelektual antar-disiplin ilmu.
Kemanusiaan
versus mesin cerdas, salah satunya. Termasuk di dalamnya teknologi, persepsi
visual dan representasi digital. Sehingga dengan demikian manusia dan
kemanusiaan mengalami dekonstruksi—penundaan penundaan pemaknaan, pemahaman
realitas dan juga konteks. Sudah barangtentu implikasinya sangat luas dalam
kesadaran, bahasa, komunikasi, psikologi, kreativitas dan lain sebagainya
etika, estetika, objektivitas, subjektivitas.
Secara
ekstrim Royyan Julian (lihat tulisan Sastra
Indonesia Angkatan Inteligensia Artifisial) mempertimbangkan kemungkinan
peran besar teknologi kecerdasan buatan yang melampaui kapasitas intelektual, fisik, dan psikologis manusia,
untuk mencapai "masa depan pasca manusia" yang kemudian menjadi
ideologi angkatan sastra. Masa depan manusia menurutnya sudah berlalu
ketika filsuf Jerman abad ke-19,
Friedrich Nietzsche, sukses membunuh Tuhan. Ketika teknologi telah mampu
berautomutasi secara masif, tragedi selanjutnya giliran menimpa tuannya alias
sang pencipta—manusia.
Royyan
menimbang dengan bersandar pada penganut Darwinisme, Yuval Noah Harari dari
buku terkenalnya (Homo Deus). Katanya,
risalah kebahagiaan, kesehatan, dan keabadian Harari tak lain adalah teori algoritma
tubuh manusia. Sebagaimana Revolusi Teknologi (informasi), manusia
mengembangkan algoritma komputer dengan meniru mekanisme algoritma manusia. Sebagaimana
Revolusi Digital menciptakan inteligensia artifisial yang bahkan melampaui
kecerdasan manusia.
Singkatnya,
di masa depan semua profesi akan disapu bersih oleh inteligensia artifisial,
termasuk kerja-kerja seniman. Tak terkecuali sastra. Dengan kata lain, era virtual akan mempercepat
perkembangan estetika baru yang cepat saji, instan, banal, robotik, yang
dilakukan oleh mesin cerdas alias perangkat inteligensia artifisial. Teknologi
yang melampaui dunia luar dalam diri manusia.
Inilah
tak lain yang juga tengah dipersoalkan Agamben dalam ritme alias struktur. Ia menolak estetika struktur dalam pengertian
gestalt—kumpulan atom, seperti
struktur bilangan aritmatika. Bahwa estetika bukan tentang komponen, atom
bentuk dan atom isi. Melainkan ritme,
jeda. Struktur temporal-eksistensial.
Primordial. Asali. Seni sebagai poiesis.
Bukan kekosongan pengalaman, melainkan gerak keluar dari asal-usul eksistensial
yang paling mendasar.
Bandingkan
dan cek ulang dengan pendapat Emha Ainun Nadjib tahun 1980 ketika menjadi salah
satu penyokong Sastra Kontekstual sebagaimana ditulis Ariel Heryanto. Katanya,
seni/sastra adalah; ”suatu gerak kehidupan, pertama-tama di batin, lantas
mungkin keluar.” Bandingkan lagi dengan pendapatnya 40 tahun kemudian
sebagaimana orasinya dalam 50 Tahun Majalah Sastra Horison, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Selasa, 26 Juli 2016. Katanya,
“sastra, suatu semesta nilai yang
terus bergerak, yang watak utamanya adalah ‘gerak dan aliran’ yang sesekali
jadi padatan sementara, tetapi kemudian selalu dipergoki oleh kemungkinan
keindahannya yang baru dan yang lebih baru lagi.”
Dengan
kata lain; tidak berubah.
***
LANTAS jika tak ada yang
berubah, sebagaimana spirit sastra dari zaman ke zaman adalah membongkar tabu,
membongkar mitos, dan apabila mitos adalah sebagaimana Barthes katakan, ‘sistem
penandaan yang melibatkan ideologi di dalamnya,’ ‘sistem komunikasi dan wacana
yang di dalamnya terdapat pesan,’ dan ‘semua hal bisa menjadi mitos, maka
pertanyaan yang sahih diajukan adalah; apa yang baru dari perubahan sastra
milenial? Apa yang baru apabila Seno Gumira Ajidarma malah menengarai sastra
kita masih sibuk pada romantik, estetik, keindahan, baik-buruk, sastra atau
bukan, dan hal-hal elementer lainnya—yang mengandung arti, katakan bahwa
tantangan sejak revolusi teknologi dari zaman mesin uap, listrik, komputeriasi
hingga digital-milenial, tidaklah sama sekali baru?
“Nothing
endures but change,”
ujar Heracletos filsuf Yunani kuno (540 – 480 SM). Yang
baru adalah perubahan itu sendiri.
Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.
Bisakah
kita menuntut sastra milenial tak sekadar struktur konsep algoritma ataupun
aritmatika? Jika perubahan itu mutlak, dapatkah sastra milenial melampaui puncak
pencapaian pengetahuan satu-satunya sebagaimana Mohammad Iqbal katakan; pengalaman batin (manusia) dan menyusul
kemudian alam dan sejarah? Atau dalam kosakata yang nyaris
serupa punya Emha Ainun Nadjib ‘mungkin
sastra itu semacam energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya atau sejati, di
dalam diri manusia. Sehingga tak mungkin terjadi manusia jika tanpa sastra. Tak
mungkin manusia menjadi manusia tanpa sastra?
Pendek
kata, bagaimana sebenarnya sastra milenial bekerja meneguhkan diri perubahan
adalah peradaban itu sendiri?
SULUK edisi kali ini akan
mencoba menelisik kaitan bahasa, sastra, ‘masyarakat komunikatif’ dengan suatu
era milenial-digital ini. Ketika semua orang bisa bersastra, semua orang bisa
terlibat dalam revolusi ini dan narasi-narasi sastra bisa begitu leluasa ambil
bagian.
Sastra
butuh karakter profesional dengan etika pengabdi humanisme yang anti klise,
anti jargon, dan selalu sanggup masuk pada (ruang kosong) emansipasi; Pandangan
dunia sastrawan, produk karya generasi muda, sastra yang mengadaptasi
perkembangan iptek.
Lantas,
apa jawaban kaum milenial dari sejumlah pertanyaan perihal teks dan konteks,
suara zaman?
Sudahkan
sastra bekerja secara ideal, sehat, kritis, kreatif sehingga mengukuhkan
karakter-karakter profesional di dalamnya?
Sudahkah
ruang maya, internet, digital, benar-benar dijadikan ruang diskusi tumbuh kembang sastra yang lebih berkualitas,
argumentasi dan kritik?
Ketika
momentum era baru milenium ini, butuh warga bangsa yang sehat, generasi yang
genuine, kritis, produktif, sudahkah
sastra aktif ambil bagian dalam meruntuhkan jargon-jargon klise yang
bertebaran, mitos-mitos di hadapan kita?
Demikianlah
kiranya. Selamat membaca.[]
S. Jai