Minggu, 23 Agustus 2020

SASTRA MILENIAL  DAN  POSTHUMANISME

S. Jai

Pengantar Redaksi Majalah Suluk DK Jatim Edisi 18 (Agustus 2020)

 

DALAM sebuah kisah, seorang lelaki tiba-tiba mendapati dirinya terbangun dari tidur sebagai tokoh game komputer The Age of Desire dalam simulasi cinta Renjana Release 5.  Lelaki itu Sukra, mantan pembunuh bayaran yang tobat saat hendak menjagal seorang penari balet, lelaki itu memergoki tubuh indah sang penari yang sedang telanjang di bak mandi. Seketika kekejamannya luntur seperti busa. Lalu meletupkan birahi hasrat cinta.


“Tubuh,” kata penari itu “Harus dicinta. Sekarang pulanglah kamu. Jangan membunuh orang lagi. Aku memberkatimu.”

Semenjak itu Sukra memilih menjadi seniman tubuh. Suatu ketika bertelanjang menunggang vespa. Pada saat lain berkelana di plaza. Sukra menghidupkan manekin-manekin. Sukra meniup seruling gaib. Namun, tentara memberangus Sukra karena telanjang adalah jahanam. Sedang seruling lelaki itu terus terdengar dan membangunkan setiap orang untuk menari dan telanjang.

Kisah itu ditulis Sony Karsono ketika berumur 23/24 tahun, dan dipublikasikan Kompas 14 April 1996.  Sony adalah generasi yang lahir tahun 1970-an.  Dengan kata lain, Sony lahir sepuluh tahun sebelum generasi milenial, namun boleh dikata ia mengalami proses kreatif dan menulis di era milenial—ketika kepercayaan akan diri dan teknologi betul-betul telah menjadi realitasnya, ruh dari cerpen-cerpennya; televisi, komputer, game, internet, cyberspace.

Pada satu sisi ia mengulik tentang kemanusiaan, dan pada sisi lainnya menguar perihal teknologi. Dua hal yang bisa bersinergi pun bisa bersitegang. Sebagaimana kita tahu sinergi dan ketegangan padanya masih menjadi perbincangan yang hangat sejak abad-abad belakangan.

Sastra sebagaimana sejarah manusia melibatkan diri di dalamnya.

Atas dasar hal demikian, maka lamat-lamat bisa terjawab apa hubungan teks sastra dan konteks?  Bagaimana sastra disebut menyuarakan manusia dan zamannya?   Boleh jadi ini  pertanyaan abadi sastra yang pernah, sedang dan akan terus diikhtiarkan jawabannya. Betapa sastra berpusar pada manusia—kemanusiaan—humanisme.

Tak terkecuali bila hendak menimbang dan menelisik sastra milenial—pengarang, karya, estetika, teori, kritik, sejarah.  Perihal kaum milenial, tentu cukup rumit, meski seringkali penyederhanaannya  berupa generasi yang terlahir kurun 90-an hingga 2000-an dengan penanda salah satunya; era kecanggihan teknologi internet, gadget, digital. Suatu generasi yang pendek kata tunduk pada penguasaan teknologi komunikasi, media digital. Ada sejumlah karakteristik lain tentu saja, semisal perihal aspek politik ekonomi di sebalik itu semua.

Penyederhanaan lainnya; generasi melinial-digital adalah masyarakat komunikatif. Yaitu, masyarakat yang memiliki semangat, kesadaran dan tradisi untuk terus mencari, menemukan dan menciptakan pengetahuan, atas dasar komunikasi yang baik dengan memanfaatkan teknologi komunikasi.

 

***

 

KETEGANGAN, krisis; menjadi ruh sastra. Termasuk ketegangan dengan dirinya sendiri—kemanusiaan, humanisme—sebagai suatu keadaan pasca-humanisme.

Konon Rusia-Soviet (Eropa Timur) lah yang memiliki pengalaman paling matang dalam hal ini dibandingkan Amerika atau Eropa Barat. Rusia memiliki puncak-puncak krisis bukan saja pada doktrin humanisme tetapi juga manusia sebagai pusatnya (sejarah uni soviet, siklus penuh revolusi sejarah, pembusukan kekaisaran, keruntuhan masyarakat). Budaya Rusia telah berhadapan dengan posthumanisme selama abad 19-20 (visi anti individualisme Dostoyevksy tentang keselamatan kolektif). 

Kondisi posthumanisme di negeri kita mengingatkan pada gagasan “Sastra Kontekstual” yang dimotori Ariel Heryanto dan Arief Budiman di tahun 1980-an. Boleh dibilang inilah gejolak terbesar sebuah perdebatan yang menyoal dominasi estetika tertentu pengabdian pada kemanusiaan. Tak ada rumusan yang bulat memang pasca perdebatan tersebut sebagaimana pencapaian rumusan estetika Giorgio Agamben (Posthumanisme kritis) yang radikal melawan estetika. Yang mengajak kembali menjadi “anak kecil,” di depan karya seni karena estetika semata memiskinkan-mengosongkan pengalaman.

Agamben merumuskan perlawanan terhadap estetika dan  meneguhkan seni dalam pengertian ritme. Ritme tak lain struktur dalam pengertian yang lain—setidaknya yang tak populer. Bukan struktur dalam komponen-benda-fisik, melainkan struktur dalam arti jeda temporal—keterkejutan. Yaitu patahan pengalaman ketika menikmati karya seni sebelum dikonstruksi wacana estetika—yang cenderung atas dasar itung-itungan komponen buatan “ahli selera.”

Kata kuncinya, pemiskinan pengalaman seni yang didorong oleh keterasingan manusia. Dan seni, juga sastra sebagai “sesuatu” yang menjawab keterasingan itu dengan caranya sejak pengalaman perbudakan manusia, bahkan tragedi pemusnahan—perang dan sejenisnya. “Sesuatu” lah—lengkapnya sesuatu di luar manusia yang di era kontemporer kini menjadi pusat perhatian filsafat setelah yang silam pada Alam, Tuhan dan manusia itu sendiri. “Sesuatu” yang dimaksud diantaranya;  “Ada”, “Sistem”, “Bahasa”, “Struktur”, dan sebagainya. 

Begitulah kita menjadi karib dengan permainan bahasa (Wittgenstein), wacana, episteme (Foucault), mitos, konotasi, metabahasa (Roland Barthes) Juga dekonstruksi, penundaan makna (Derrida).

Kata-kata Derrida “tak ada sesuatu pun di luar teks” mengandung pengertian tak ada sesuatu pun di luar proses pembedaan-penundaan; tak ada makna yang hadir secara paripurna.  Ini kalimat yang nyambung dengan Ferdinand Saussure, “..dalam bahasa hanya ada perbedaan-perbedaan dimana identitas kata dibentuk oleh dari melakukan perbedaan-perbedaan di dalamnya.” Terhubung pula dengan kalimat Murakami; tidak ada kalimat yang sempurna, sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.”

Inilah sasmita yang dipegang kukuh para penganut mazhab paska strukturalisme—mereka yang tidak puas, menolak atau yang meradikalkan dengan anti padanya baik struktur fisik maupun metafisiknya.  Kiat Sukses Hancur Lebur novel Martin Suryajaya, misalnya, atau buku-buku puisi Afrizal Malna terang memperlihatkan akrobat struktur fisik tersebut. Sementara dalam struktur metafisiknya sebagaimana karya sastra umumnya tentu butuh pembacaan mendalam (Baca pula pendapat Ribut Wijoto atas beberapa penulis muda Jawa Timur—Sastra Milenial Kita).

 

***

 “SETIAP humanisme tetaplah suatu metafisika,”  kata lain ontoteologi dari Heidegger.  Dan nyatanya penolakan pada humanisme masih berjibaku pada hal-hal metafisis, walau diakui oleh Derrida, doktrin humanisme sebagai suatu problem.

Dalam seni kontemporer (kondisi posthumanisme digambarkan dalam pelbagai bidang fiksi ilmiah, futurologi, seni kontemporer dan filsafat) yang berpusat pada pembahasan di luar manusia cukup banyak ditemukan di sejumlah karya sastra, juga film. Karya-karya fantasi Julies Verne, Binatangisme—George Orwell, juga 1984, menyebut beberapa saja. Tak terkecuali yang dicontohkan dalam awal pembuka tulisan ini, umumnya,  membahas pertanyaan etika dan keadilan, komunikasi bahasa dan trans-spesies, sistem sosial, dan aspirasi intelektual antar-disiplin ilmu.

Kemanusiaan versus mesin cerdas, salah satunya. Termasuk di dalamnya teknologi, persepsi visual dan representasi digital. Sehingga dengan demikian manusia dan kemanusiaan mengalami dekonstruksi—penundaan penundaan pemaknaan, pemahaman realitas dan juga konteks. Sudah barangtentu implikasinya sangat luas dalam kesadaran, bahasa, komunikasi, psikologi, kreativitas dan lain sebagainya etika, estetika, objektivitas, subjektivitas.  

Secara ekstrim Royyan Julian (lihat tulisan Sastra Indonesia Angkatan Inteligensia Artifisial) mempertimbangkan kemungkinan peran besar teknologi kecerdasan buatan yang melampaui kapasitas intelektual, fisik, dan psikologis manusia, untuk mencapai "masa depan pasca manusia" yang kemudian menjadi ideologi angkatan sastra. Masa depan manusia menurutnya sudah berlalu ketika  filsuf Jerman abad ke-19, Friedrich Nietzsche, sukses membunuh Tuhan. Ketika teknologi telah mampu berautomutasi secara masif, tragedi selanjutnya giliran menimpa tuannya alias sang pencipta—manusia.

Royyan menimbang dengan bersandar pada penganut Darwinisme, Yuval Noah Harari dari buku terkenalnya (Homo Deus). Katanya, risalah kebahagiaan, kesehatan, dan keabadian Harari tak lain adalah teori algoritma tubuh manusia. Sebagaimana Revolusi Teknologi (informasi), manusia mengembangkan algoritma komputer dengan meniru mekanisme algoritma manusia. Sebagaimana Revolusi Digital menciptakan inteligensia artifisial yang bahkan melampaui kecerdasan manusia.

Singkatnya, di masa depan semua profesi akan disapu bersih oleh inteligensia artifisial, termasuk kerja-kerja seniman. Tak terkecuali sastra.  Dengan kata lain, era virtual akan mempercepat perkembangan estetika baru yang cepat saji, instan, banal, robotik, yang dilakukan oleh mesin cerdas alias perangkat inteligensia artifisial. Teknologi yang melampaui dunia luar dalam diri manusia.

Inilah tak lain yang juga tengah dipersoalkan Agamben dalam ritme alias struktur. Ia menolak estetika struktur dalam pengertian gestalt—kumpulan atom, seperti struktur bilangan aritmatika. Bahwa estetika bukan tentang komponen, atom bentuk dan atom isi. Melainkan ritme, jeda. Struktur temporal-eksistensial. Primordial. Asali. Seni sebagai poiesis. Bukan kekosongan pengalaman, melainkan gerak keluar dari asal-usul eksistensial yang paling mendasar.

Bandingkan dan cek ulang dengan pendapat Emha Ainun Nadjib tahun 1980 ketika menjadi salah satu penyokong Sastra Kontekstual sebagaimana ditulis Ariel Heryanto. Katanya, seni/sastra adalah; ”suatu gerak kehidupan, pertama-tama di batin, lantas mungkin keluar.” Bandingkan lagi dengan pendapatnya 40 tahun kemudian sebagaimana orasinya dalam 50 Tahun Majalah Sastra Horison, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Selasa, 26 Juli 2016. Katanya, “sastra, suatu semesta nilai yang terus bergerak, yang watak utamanya adalah ‘gerak dan aliran’ yang sesekali jadi padatan sementara, tetapi kemudian selalu dipergoki oleh kemungkinan keindahannya yang baru dan yang lebih baru lagi.”

Dengan kata lain; tidak berubah.

 

***

LANTAS jika tak ada yang berubah, sebagaimana spirit sastra dari zaman ke zaman adalah membongkar tabu, membongkar mitos, dan apabila mitos adalah sebagaimana Barthes katakan, ‘sistem penandaan yang melibatkan ideologi di dalamnya,’ ‘sistem komunikasi dan wacana yang di dalamnya terdapat pesan,’ dan ‘semua hal bisa menjadi mitos, maka pertanyaan yang sahih diajukan adalah; apa yang baru dari perubahan sastra milenial? Apa yang baru apabila Seno Gumira Ajidarma malah menengarai sastra kita masih sibuk pada romantik, estetik, keindahan, baik-buruk, sastra atau bukan, dan hal-hal elementer lainnya—yang mengandung arti, katakan bahwa tantangan sejak revolusi teknologi dari zaman mesin uap, listrik, komputeriasi hingga digital-milenial, tidaklah sama sekali baru?

“Nothing endures but change,” ujar Heracletos filsuf Yunani kuno (540 – 480 SM). Yang baru adalah perubahan itu sendiri. Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.

Bisakah kita menuntut sastra milenial tak sekadar struktur konsep algoritma ataupun aritmatika? Jika perubahan itu mutlak, dapatkah sastra milenial melampaui puncak pencapaian pengetahuan satu-satunya sebagaimana Mohammad Iqbal katakan; pengalaman batin (manusia) dan menyusul kemudian alam dan sejarah? Atau dalam kosakata yang nyaris serupa punya Emha Ainun Nadjib ‘mungkin sastra itu semacam energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya atau sejati, di dalam diri manusia. Sehingga tak mungkin terjadi manusia jika tanpa sastra. Tak mungkin manusia menjadi manusia tanpa sastra?

Pendek kata, bagaimana sebenarnya sastra milenial bekerja meneguhkan diri perubahan adalah peradaban itu sendiri?

SULUK edisi kali ini akan mencoba menelisik kaitan bahasa, sastra, ‘masyarakat komunikatif’ dengan suatu era milenial-digital ini. Ketika semua orang bisa bersastra, semua orang bisa terlibat dalam revolusi ini dan narasi-narasi sastra bisa begitu leluasa ambil bagian.

Sastra butuh karakter profesional dengan etika pengabdi humanisme yang anti klise, anti jargon, dan selalu sanggup masuk pada (ruang kosong) emansipasi; Pandangan dunia sastrawan, produk karya generasi muda, sastra yang mengadaptasi perkembangan iptek.

Lantas, apa jawaban kaum milenial dari sejumlah pertanyaan perihal teks dan konteks, suara zaman?

Sudahkan sastra bekerja secara ideal, sehat, kritis, kreatif sehingga mengukuhkan karakter-karakter profesional di dalamnya?

Sudahkah ruang maya, internet, digital, benar-benar dijadikan ruang diskusi tumbuh kembang sastra yang lebih berkualitas, argumentasi dan kritik?

Ketika momentum era baru milenium ini, butuh warga bangsa yang sehat, generasi yang genuine, kritis, produktif,  sudahkah sastra aktif ambil bagian dalam meruntuhkan jargon-jargon klise yang bertebaran, mitos-mitos di hadapan kita?

Demikianlah kiranya. Selamat membaca.[]

 

 

S. Jai