Antara
Pengukuhan dan Gugatan atas Mitos
Judul :
Bukan Kutukan Hujan
Penulis : M Anshor Sja’roni
Penerbit : Pagan Press
Cetakan : Pertama, Nopember
2014
Tebal :
110 halaman
ISBN
: 978-602-71603-1-6
MULA pertama yang terbit di benak pembaca acap kali membaca ‘cerpen-cerpen
pendek’ laiknya karya M Anshor Sja’roni ini, tentu adalah cerpen koran. Hampir
keseluruhan yang ada di buku ini memang sudah tayang di koran dari tahun 1995 hingga
2010. Sebagai sastra koran ada kaidah
jurnalisme di samping selera penjaga gawang rubrik media itu. Wajarlah bila
mereka punya perbedaan visi dan misi oleh karena koran-koran mereka juga tak
sama dalam pangsa pasar atau kebijakan redaksional, atau bahkan di luar
ketentuan itu semua, dan pendeknya berikut segala tetek mbengek lainnya.
Dari
sisi ini, yang menarik cerpen-cerpen dalam buku ini ternyata tayang di banyak
koran yang berbeda. Dan bagi yang nyemplung
dan bergiat dengan sastra koran, ternyata untuk dimuat di koran tertentu agar
menerima honor yang layak tidaklah segampang membalik tangan. Sudah bisa dibayangkan apa kira-kira
pergulatan penulis buku kumpulan cerpen ini dari balik cerpen-cerpennya.
Bila
tak berkeberatan menengok angka tahun dalam cerpen-cerpen di buku ini, saya
sendiri mengingat bahwa peristiwa-peristiwa di koran masih sering sebatas
peristiwa jurnalistik sebagai suatu berita sehingga penulis sastra koran
dituntut punya pandangan untuk melampuainya. Ini suatu hal bahwa ruang dan
waktu ternyata memiliki peristiwa dan maknanya sendiri, karena betapa sekarang
peristiwa juga berita-berita di koran seringkali malah melampaui dunia fiksi
kita. Dulu kita sering takjub dengan
kenyataan fiksi. Sebaliknya, kini dunia nyata justru jauh menawarkan kenyataan
yang melampaui fiksi.
Membaca cerpen-cerpen dalam buku ini, ada teks
dan konteks yang seakan berkelindan dengan ruang dan waktu penciptaan di
dalamnya. Kemungkinan-kemungkinan bisa dibuka dari rangka bangun ‘sesuatu dunia
yang diciptakan dan dibayangkan’ oleh M Anshor Sja’roni ini.
Kebetulan
saya pernah mengenal penulis buku ini ketika dalam komunitas seni teater Puska
di Fisip Unair. Saya cukup tahu intensitas
anak muda gondrong pada waktu itu yang ternyata tidak hanya bergelut dan
bergulat dengan kata dalam cerpen atau puisi untuk dimuat di media. Lebih dari
itu, mahasiswa sosiologi ini juga melisankannya. Bahkan juga membaca,
melisankan, menuturkan, dan mempertontonkan naskah-naskah drama modern
Indonesia maupun barat. Meski dengan
strategi, teknik, bahasa serta kedisiplinan yang berbeda dengan penulisan
puisi, atau pertunjukkan drama, setidaknya cerpen-cerpen dalam buku ini
ditulisnya dalam tradisi seperti itu. Termasuk juga barangkali waktu
kepenulisannya berebut dengan jam-jam konsentrasinya dalam kuliah teori-teori
sosiologi.
Dengan
kata lain, buku ini lebih dari sekadar tetenger adanya masa lalu—bahwa dunia
sastra tak bisa menghapus eksistensi M Anshor Sja’roni. Akan tetapi ada proses yang dengan demikian
menerbitkan buku kumpulan cerpen tak semata bermakna dokumentasi, melainkan
juga representasi dan history (atau his story) Sejarah sastra sudah hadir dengan atau tanpa
kumpulan cerpen ini. Namun sejarah
sastra juga sejarah kepenulisan serta proses kreatif M Anshor Sja’roni menjadi lebih kaya berkat terbitnya
buku ini.
Bukan Semata Dokumentasi
Tiba-tiba
saya teringat dengan ungkapan salah seorang guru Dalai Lama ke 14 dan film Kundun, yang berujar, “Dia itu sangat
modern seperti dia di masa lalu.” Saya
juga teringat ucapan Wangari Muta Maathai—pejuang lingkungan peraih nobel
perdamaian itu,” Masa depan adalah hari ini.”
Pendeknya, ini sekadar penegasan bahwa buku ini bukan semata
dokumentasi, melainkan sejarah itu sendiri—sejarah sastra maupun sejarah proses
kreatif M Anshor Sja’roni. Sebagai
sejarah, juga proses kreatif berikut ledakan-ledakannya; struktur-struktur yang
teks sejak gagasan, teknik, bahasa prosaik, plot dengan segenap daya empatinya,
ideologi hingga pesan moral di dalamnya terbuka untuk diperbincangkan.
Sepintas
dari sisi gagasan ide-ide kreatifnya, misalkan, cerita-cerita dalam buku ini
seakan mengelompok setidaknya empat rumpun. Sejumlah cerita memperlihatkan
gagasan tarsir sosial atas kenyataan seperti ditunjukkan Cerita Kanib, Warung Jamiah, Janda Nina. Cerita Kanib bicara tentang
pelecehan seksual, PHK, kisah
tragis pengangguran atau PRT ditawari jadi prt. Cerpen Warung Jamiah cerita tentang keluarga korban bencana lumpur yang
terus didera nasib—suaminya di malaysia, istrinya terancam menutup warung. Cerpen
Janda Nina dengan sudut pandang yang
unik. Mula-mula dengan sudut pandang aku—mungkin tokoh Badat. Lalu saya Nina,
janda yang kemudian kerja sebagai pembantu di kota. Kemudian saya—Badat lagi.
Nina lagi dst. Cerita tentang keluarga yang saling selingkuh. Sampai kemudian
terbongkar juga Ani, putri tunggal Nina mengenalkan Pak Seno sebagai calon
suaminya, yang tak lain kekasih gelap ibunya.
Beberapa
cerita lain seperti dalam Kemarau Hati, Perempuan yang Salat di Tengah Malam,
banyak mengekplorasi gagasan intuitif. Kemarau Hati, kisah tokoh aku yang ingin
memiliki anak dari istrinya yang sedang sakit jantung dan hasrat untuk bercinta
dengan perempuan lain soraya. Perempuan
yang Salat di Tengah Malam. Kisah istri yang menyimpan rahasia aib dirinya
pada suaminya. Ia korban perkosaan. Dan selalu gagal bila hendak bercinta. Saban
malam ia mendoakan kebahagiaan hidup keluarganya. Sementara gagasan perseptif yang liris menguar dari cerpen Bukan Kutukan Hujan, kisah cinta di
musim hujan. Semua peristiwa dikisahkan berkait dengan musim hujan. Anehnya,
segala itu berbentuk tragedi. Walau banyak yang menyakini hujan telah mengutuk
keluarga itu, tapi Akila kemudian membina cinta dengan kekasihnya tetaplah
memuja hujan. Sampai suaminya tewas oleh pohon tumbang akibat hujan badai,
Akila tetap tak percaya hujan telah mengutuknya. Juga dalam Cinta dan Gagak Putih puitis, hasrat seorang lelaki pada perempuan
kekasihnya. Ia juga perlihatkan kekuasaan.
Ledakan-ledakan
gagasan yang imajinatif banyak muncrat dari cerpen Selongsong Peluru, kisah cinta yang sangat imajis dengan
Liwat—saksi kunci pembunuhan pejabat--yang menghadiahi liontin dari peluru
untuk pacarnya. Lalu Barindah, kisah
tragis pelacur 16 tahun. Bapaknya mucikari. Ibunya menjual diri. Bapaknya mati
dibunuh kawannya. Lalu pelacur belia itu membalas dendam pada keduanya—bapak
dan ibunya. Termasuk di dalamnya, Manusia
Setan kisah pengikut garis keras, tapi kemudian tersadar oleh karena hampir
jadi korban dari suara-suara yang mengaku malaikat.
Tradisi Tutur dan Kelisanan
Boleh
jadi, sejumlah cerita memperlihatkan daya tarik pada struktur cerita tutur. Dan
betapa tidak sepenuhnya cerita-cerita di
buku ini memperlihatkan struktur cerpen cerpen modern sebagaimana cerpen-cerpen
Anton Chekhov atau O Henry. Melainkan ada pitutur lisan di dalamnya. Sehingga juru cerita sangat penting. Seperti
dalang. Beruntung M Anshor Sja’roni cukup lihai. Bagi pembaca yang suka dengan
pitutur dia akan bersabar dan tekun mengikuti. Bahkan sangat memikat. Sampai di sini secara ekstrem
cerpen ini sebetulnya penolakan bentuk-bentuk cerpen modern barat. Bukankah kita ini ini punya bentuk khas yaitu
hikayat atau babat
Sejumlah cerpennya
bagaikan dilisankan—dituturkan yang seringkali dalam tradisi sastra kita dalam
babat, dongeng, hikayat, atau cerita rakyat disarati dengan pesan moral.
Sebagaimana laiknya pesan moral senantiasa dilayangkan untuk mengangkat derajat
‘moral’ masyarakatnya. Penulis ini sangat piawai sebagai juru cerita
menyampaikan petuah-petuah justru dalam
persimpangan bahkan paradok antara yang tutur dan yang sastra
modern—dunia cerpen. Derajat seperti ini hanyalah bisa dilakukan oleh juru
cerita yang memiliki energi proses kreatifnya cukup matang. Andaikan seorang dalang, modernitas M Anshor
Sja’roni pada begitu banyaknya carangan-carangan yang dikisahkan, namun wayang
sebagai cermin hidup tetap kaya ajaran. Paradok itu termasuk di dalamnya,
penulis sebagai ‘pusat kekuasaan’ (satu bentuk kekuasaan tertentu—istilah Ben
Anderson) di satu sisi, sementara di sisi lain, pembaca cerita adalah pengarang
sebenarnya yang butuh energi kreatif tak kalah lebih besar daripada penulis
sebagai juru cerita. Kepiawaian M Anshor
Sja’roni adalah kekuasaan dalam membangun ‘komunitas-komunitas yang
dibayangkan.’
Kepiawaian sang juru
cerita juga dalam hal di satu sisi memitoskan pesan atau mengukuhkan
mitos-mitos pesan—katakanlah ideologi
agama tertentu misalnya—akan tetapi di
sisi lain ia membuka ruang-ruang munculnya gugatan, pertanyaan atau bahkan
mematahkannya dengan ruang kosong baru tempat tafsir bisa meluas berkembang.
Kiranya perlu
penelitian lebih mendalam apakah tradisi lisan yang berakar dari banyak kemungkinan--termasuk
di dalamnya teknik wawancara-wawancara yang dilakukan penulis sebelum menulis
cerita, atau pesan-pesan moral yang sangat mungkin mendorong terbentuknya etika
moral baru bagi masyarakat tertentu--memang sebuah upaya eksperimental dari
penulis yang juga sosiolog ini. Saya
hanya memastikan kedekatan sosiologi dan sejarah, menyebabkan karya-karya M
Anshor Sja’roni ini tak lain adalah karya sejarah—tepatnya sejarah
mental—masyarakat keseharian yang sangat penting untuk ditelisik.
Dalam pengertian yang
demikian, kini, terbitnya buku ini menjadi sangat penting dalam menghadirkan
kepengarangan M Anshor Sja’roni dulu dan sekaligus yang akan datang. Kita
tunggu karya-karya selanjutnya. [S.Jai]