Suara Lain Perempuan: Kritik dan Otokritik
Judul : Genduk Dukuh Seti
Penulis : Rohana Handaningrum
Penerbit : Pagan Press
Cetakan : Pertama, Nopember 2014
Tebal : 152 halaman
ISBN : 978-602-71603-3-0
Menulis teks
sastra—suatu iktiar yang sudah
barangtentu sekaligus menghadirkan konteks di dalamnya—adalah sebuah kegiatan
yang sangat personal. Bahkan meski kemudian berkembang sebagai ilmu
pengetahuan, bisa bermula dari masalah yang sangat pribadi yang paling dekat
dengan diri kita—milik kita.
Justru karena
kita tahu, sebuah pengalaman pribadi bukan berarti yang benar-benar pribadi,
atau tidak ada hal yang benar-benar pribadi. Pengalaman, teks pribadi, senantiasa
berjalin kelindan dengan konteks di luar kepribadiannya. Dengan kata lain
banyak teks-teks lain yang turut membentuk teks pengalaman pribadi tersebut.
Semua itu adalah harus dilihat sebagai produk budaya pada kurun waktu tertentu.
Jadi selaku
pribadi, sebenarnya kita bukanlah pribadi yang betul-betul mandiri, melainkan
suatu objek yang tersusun atas
kekuatan-kekuatan di luar diri kita, misalnya kondisi sosial dan kondisi
politik. Dengan kata lain, bila kita menyusun sebuah teks (berbagi pengalaman),
pengalaman kita bukanlah satu-satunya yang sahih. Ada banyak teks lain yang
memiliki konteks dengan teks itu sendiri.
Tersebab itulah
sebagian besar para penulis perempuan menulis tentang persoalan-persoalan
mereka sendiri. Atau setidaknya perihal masalah perempuan—yang dalam sejarah
gerakan perempuan mengemuka sejak penghapusan hambatan-hambatan hukum dalam
kesetaraan gender, hingga isu
pelbagai ketidakadilan dalam hukum, seksualitas, keluarga, tempat kerja, dan
hak-hak reproduksi.
Dalam latar
gagasan ideologis seperti itulah cerita-cerita Rohana Handaningrum itu lahir.
Yakni ketika budaya patriarki di belahan
bumi manapun, nyata-nyata menegaskan di satu sisi sentral laki-laki dan
marginal perempuan, bahkan ternyata punya andil besar dalam (secara radikal)
mempertentangkan tatanan sosio kultural berupa peran,
perilaku, mentalitas, karakteristik perempuan dalam kerangka gender.
Prespektif
Individual
Sebagai suatu
cerita yang kemudian diterbitkan—sebagian diantaranya telah tayang di koran—yang
menarik adalah dengan demikian Rohana menyampaikannya kepada publik. Apalagi
sebagai sebuah karya cerpen yang secara subtansi tentu ia mengangkat
ruang-ruang psikis dan bukan filosofis. Dengan demikian Rohana Handaningrum
sebagai penulis ia tengah meneguhkan diri secara psikis pada wilayah publik.
Betapa ia sedang berjuang merebut wilayah itu, dengan mengenali ruang-ruang
psikis itu guna untuk kemudian digali demi meneguhkan eksistensi diri.
Pendeknya,
cerpen-cerpen Rohana Handaningrum ini berangkat dari prespektif individual
(boleh jadi ia sebagai ibu rumah tangga yang bergelut dan bergulat dengan
wilayah domestik) atau tepatnya eksistensi sebagai suatu proyek pribadi.
Khususnya lagi pribadi-pribadi yang soliter—yang sudi untuk menemukan identitas
dirinya—juga yang marjinal. Artinya, bagi orang yang tidak siap menemukan
identitas diri, dan yang tidak terbuka dalam hal itu tentu menjadi sulit. Tapi
Rohana melakukan hal itu.
Menemukan
identitas diri itu, bisa ditempuh dengan laku: kebebasan, keberanian, kesadaran
dan juga aspirasi. Sementara kita bisa mengamini idiom yang sering kita dengar,
bahwa tak ada satupun laku manusia yang
lebih dramatis dan menyakinkan ketimbang laku kita sendiri. Ini bukanlah bentuk
narsisme, oleh karena kesadaran untuk membuka ruang psikis kita—pada konteks
yang lebih luas—selanjutnya akan menumbuhkan sikap emansipasi: dibukanya ruang
baru bagi rumah kemanusiaan.
Pada titik ini,
dalam berbagi pengalaman, eksistensi dalam pengertian proyek pribadi bisa
dikembangkan ke dalam—menurut Ben Anderson--“Komunitas-Komunitas yang
Dibayangkan.” Atau dalam kata-kata terkenal Pramoedya Ananta Toer: Pengalaman
seseorang bisa menjadi pengalaman suatu bangsa.
Bahwa seseorang dalam menciptakan teks, sebetulnya sedang berimajinasi
dan menciptakan komunitas-komunitas. Semisal berimajinasi tentang keadilan,
kebebasan dalam pengertian emansipasi oleh kelompok-kelompok atau
individu-individu yang terasing dan termarjinalisasi.
Dua perangkat
penting dalam mengekplorasi pengalaman pribadi guna meneguhkan eksistensi
pribadi tersebut adalah ‘ingatan’ dan ‘pengetahuan’. Inilah perlunya saya mengutip kata-kata
terkenal dari Milan Kundera, perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan
melawan kelupaan. Sementara ‘pengetahuan’ langsung sebagai keseluruhan
pengalaman indrawi kita sebagai pribadi sebagai warga-bangsa juga tak kalah
pentingnya—sebagaimana dalam kosa kata Pramoedya di atas.
Pilihan bentuk
cerita pendek sangat efektif dalam membungkus pesan atau ‘muatan ideologis’
seorang pribadi. Dan kita menjadi tidak perlu alergi pada kata-kata ideologis
oleh karena segala sesuatu sangat potensial dalam hal itu. Bukan manusia yang
menentukan ideologis melainkan sebaliknya. Bahwa kita sejak lahir pun telah
berbaju ideologi. Persoalannya adalah bagaimana hal itu efektif untuk
membebaskan ‘kekuatan’ sudah berurat berakar dalam diri kita.
Melihat
Realitas dengan Realistis
Cerita-cerita
Rohana ini serius dalam arti ia mengajak melihat realitas dengan realistis,
yang paling dekat dengan pengalaman kita sendiri. Ada moralitas, yang membawa
pesan masalah-masalah etis masyarakat pada zamannya. Pendeknya, bagaimana
masalah etika sebagai tanggungjawab intelektual terintegrasi dengan
pengalaman-pengalaman baru seseorang yang paling dekat dengan dirinya. Atau
dalam bahasa Franz Magnis Suseno “Sebagai makluk yang berpikir rasional, dapat
mempertanggung-jawabkan sikap-sikapnya terhadap perngalaman-pengalaman
baru."
Cerpen
Prasangka menyingkap permasalahan tanggungjawab seorang ibu yang besar terhadap
keluarga. Ia pilih meninggalkan karir untuk itu. Sampai Bu Santi, tokoh cerita
ini digambarkan kuatir berlebihan terhadap moralitas anak-anaknya. Demikian
pula cerpen Pemberontakan Sepi, yang mengungkap hasrat perempuan untuk tidak
saja bergelut dengan kepentingan domestik—macak, manak, dan masak.
Cerpen Perawan
Tua, membeberkan mitos dan kepercayaan yang membelit perempuan, bahwa perempuan
yang berani menolak lamaran laki-laki pertama, ia bakal jadi perawan tua seumur
hidupnya. Cerpen Rindu Ibu, melukiskan kerinduan seorang anak yang dibuang
orangtuanya di panti asuhan. Kerinduan pada ibunya adalah gambaran dari
kehormatannya pada perjuangan perempuan untuk generasi penerusnya. Tokoh ini
yakin dirinya dibuang untuk kelangsungan hidupnya.
Cerpen Genduk
Dukuh Seti, menggambarkan dunia batin seorang anak, putri mantan penari tayub.
Disamping kekaguman pada sosok ibu, ada mitos, cerita rakyat, sejarah ditelisik
di sini. Lalu cerpen Ahli Waris memotret dunia batin Kantil, ada misteri, mitos, cerita rakyat dan sejarah
pula di kisah ini.
Dua cerpen yang
agak berbeda dalam kumpulan cerpen ini Calon Pengantin dan Perang dan Damai.
Ada balutan agama pada keduanya, walau pada Perang dan Damai mencoba menelisik
spirit ibu dengan cara berbeda. Cerpen ini menyampaikan pesan semua perempuan
adalah ibu, tapi tidak semua perempuan mau dan mampu dengan segala ketulusan
menjadi ibu bagi anak-anak yang tidak lahir dari rahimnya. Secara ekstrem
digambarkan anak-anak ini berbeda agama. Sedangkan Calon Pengantin,
menceritakan persahabatan tokoh aku, James dan Olive. Olive adalah perempuan
anggota kelompok diskusi komunitas berjenggot yang semua laki-laki.
Secara pribadi
manusia harus bertanggungjawab dan refleksi diri terutama mengenai dirinya
sendiri atau juga perihal orang lain. Tanggungjawab pribadi atas nilai moral
lebih didasari karena manusia berhadapan dengan kebebasan orang lain, juga ketakutan-ketakutannya,
keterbatasan-keterbatasannya terhadap sesama, lingkungan sebagai akibat dari
ketidakmampuannya untuk hidup sendiri.
Inilah modal utama
mengenal diri dan eksistensi dirinya. Karena dengan mengenal diri dan
eksistensinya secara pribadi ia sadar pada masa lalu, hari ini dan hasrat
kemajuan di masa mendatang. Manusia dituntut memberikan penjelasan tentang
keberadaannya, perbuatannya, eksistensinya di hadapan pribadi, masyarakat
maupun pada Tuhannya. Inilah tanggungjawab.
Sebagai sebuah
cerita, cerpen-cerpen Rohana ini tentu punya visi membuka ruang baru.
Setidaknya buat kaum perempuan sendiri, mendorongan perempuan untuk mengembangkan potensi-potensi
dirinya sebagai perempuan, dan menjadi unggul dengan kemampuan dirinya sebagai
seorang perempuan. Yakni kemampuan perempuan untuk menulis “sejarah”-nya
sendiri, “bahasa”-nya sesuai sosio kultur dimana mereka hidup dan berkembang.
Sebagai sebuah cerita, tulisan-tulisan Rohana Handaningrum ini tak sekadar
‘proyek politik yang memperjuangkan suara atau hak milik perempuan.’ Apalagi:
Bukanlah alat mempertentangkan tatanan sosiol kultural dalam latar perbagai
ketidakadilan laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, cerita-cerita Rohana
Handaningrum adalah kemungkinan-kemungkinan ruang kosong, mungkin juga suara
lain utamanya bagi perempuan dalam hal kritik dan
otokritik atas nama kehidupan yang lebih baik dalam pelbagai ranah kenyataan
maupun simbolik, sosial maupun personal.[S.Jai]