SUMBANGAN SASTRA BAGI JURNALISTIK
S. Jai
Sejumlah penulis, sastrawan, pengarang, penyair, mereka sebelumnya adalah jurnalis, wartawan, atau masih aktif melakukan kegiatan jurnalis. Jika menulis adalah perihal yang tak terpisah dari kepribadian, maka sudah barangtentu kegiatan menulis sastra dan menulis jurnalistik setidaknya bagi mereka ibarat koin mata uang. Pada satu sisi menjadi inhern dengan sisi lainnya. Satu aktivitas mempengaruhi atau saling berpengaruh dengan aktivitas lainnya—menulis sastra dan menulis karya jurnalistik.
Sebagaimana kita tahu,
sejumlah karya sastra yang kita kenal; novel, puisi, prosa liris, drama.
Sementara itu bentuk-bentuk tulisan jurnalistik yang mesti kita kenali, secara
umum ada dua hardnews dan softnews. Sedangkan secara khusus bisa
disebut uraian dari dua bentuk tadi; ada Berita (Straight
News, Investigation News, Opinion News), Feature, Opini, Esai, Kolom, Profil, Resensi Buku).
Bahasa Jurnalistik |
Hemat (singkat, padat) dalam kata maupun kalimat |
Jelas (lugas, komunikatif) dalam kata
maupun kalimat |
|
Tulisan Jurnalistik |
Berita (Straight News, Hard News, Soft News,
Investigation News, Opinion News)
Feature
Opini
Esai
Kolom
Resensi Buku
|
FIKSI |
NON FIKSI |
Realitas |
Aktualitas |
Dari imajinasi menjadi nyata |
Menciptakan apa apa yang terjadi |
Apa apa yang dapat terjadi |
Yang benar-benar terjadi |
Dengan memahami secara sederhana batasan-batasan pengertian, ciri dan syarat-syarat pelbagai bentuk tulisan baik sastra maupun jurnalistik, maka tidak sulit mencermati bagaimana dan sejauh mana sastra memberi sumbangsih pada jurnalistik. Yaitu utamanya pada permasalahan ragam bahasa dan gaya. Bermula dari kita cukup tahu bagaimana karya sastra adalah tulisan yang ‘indah,’ kompleks, berbahasa ambigu—kias, kreatif dan subjektif. Yaitu, karya kreatif yang fiktif. Spiritnya ambiguitas dan kompleksitas. Karnaval keragaman suara; permainan yang ramai antar pelbagai bahasa, pelbagai wacana, yang mempersoalkan realitas, memparodikan, menggugat, dan bahkan bermain-main terhadapnya. Ada kemungkinan, kejutan, ketakterdugaan: warna hidup yang tidak menuju pada suatu tujuan tertentu.
Boleh dikata, feature sebagai tulisan ‘sisi lain’ dari berita wataknya adalah
narasi dalam pengertian cerita, pengisahan. Tersebab itu bentuk tulisan
jurnalistik ini lebih dekat dengan cerita pendek ketimbang dengan pakem berita
(eksposisi/pemaparan/5W + 1 H) itu. Tersebab itu sebagai cerita wajar bila feature bersifat menghibur sebagaimana
‘menghibur’ adalah prinsip dasar sastra. Sebagian lain menyebut feature itu tulisan ringan, meski tak
semua feature bisa dikatakan tulisan
ringan. Namun demikian, memang benar adanya feature
seringkali mengutamakan pertimbangan menggali aspek kemanusiaan alias human interest—hal yang seringkali sama-sama
dikatakan sebagian besar orang; apa yang menjadi pengabdian bagi dunia
sastra.
Nah, buhul atau simpul pada segi kemanusiaan
serta bahasa dan gaya pada kedua tulisan sastra dan feature inilah yang sukses melesakkan spiritnya ke dalam sukma
bentuk tulisan feature sehingga menjadi
lebih kaya, mendalam, abadi, dan tentu saja bermutu. Pada praktiknya, penulis feature bisa leluasa mengembangkan ke
berbagai ranah dalam kerja jurnalistiknya. Selain dalam rangka mengebor sukma
atas nama kemanusian dalam setiap kali tulisan-tulisan jurnalistik featurenya, penulis bisa masuk ke ranah
sejarah tanpa terbebani sebagai tulisan sejarah. Bahkan penulis feature bisa memasuki sejarah dengan
cara lain, yakni melalui penceritaan, sejarah sebagai narasi, sebagai sekadar
cerita. Jurnalis juga bisa membuat tulisan jurnalistik berupa biografi yang
lebih menarik, mengundang empati, dan mengangkat pergulatan kemanusiaan tokoh
yang ditulisnya. Bisa pula dalam rangka memprofil sosok-sosok yang memikat dan
menarik pikirannya, sepakterjangnya, pergulatannya, mimpinya dalam
kesehariannya di dunia ini. Demikian pula manakala membuat catatan perjalanan
atau petualangan lain yang indah, asyik, hidup, penuh semangat dan gairah hidup.
Begitulah, betapa pentingnya feature karena tak cuma sebagai ‘sisi lain’ dari berita, melainkan karena betapa hampir seluruh potensi sastra bisa disumbangkan padanya. Seluruh potensi sastra yang dimaksudkan adalah; selain termaktub dalam bahaya dan gaya, namun juga intuisi (insting), interpretasi (tafsir), persepsi (keyakinan), bahkan imajinasi (abstraksi gagasan, obsesi, ide). Sebagian besar orang barangkali ragu melibatkan imajinasi dalam tulisan feature. Akan tetapi sepanjang imaji yang terkait gagasan, obsesi, ide bisa dijelaskan sebagai suatu kenyataan feature maka feature menjadi lebih indah. Sejumlah feature berhasil demikian tanpa harus mengartikan imajinasi sebagai fantasi dan mimpi.
CONTOH LEAD (PEMBUKAAN) |
Berita:
Bandar narkoba jaringan internasional, Malaysia-Indonesia, tewas
tertembak petugas BNN di Pantai Bidari, Aceh Timur, Aceh, ketika berupaya
melarikan diri. Bandar narkoba itu bekerja sama dengan sipir Lapas Langsa. (Kompas) |
Opini: Pendidikan adalah proses pemberdayaan yang
bernilai tambah, yang memampukan individu untuk lebih berkarya mencapai
tingkat kehidupan yang lebih baik. Dengan pemahaman tersebut, masa depan
individu sangat ditentukan oleh pendidikan yang ditempuhnya. (Satryo Soemantri Brodjonegoro) |
Feature: Nyala dian itu tiba-tiba tak tampak oleh
matanya. Padahal sore harinya ia masih bermain kejar-kejaran bersama
teman-temannya. Dalam kebingungan ia
meraba ke sana kemari. Ayahnya segera
menggendongnya keluar. Pelataran
sedang terang bulan. Ayahnya menyuruh ia menatap bulan. Namun, matanya hanya merasakan
kegelapan. Ia sudah buta! Itulah kisah Mbok Tukinem ketika ia masih
berusia sebelas tahun….. (Sindhunata) |
Cerpen: Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua
itu tentunya hanya dongeng.
“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya. Namun, ia memang berpendapat bahwa jika
seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar ”Bagaimana mungkin doanya sampai jika
kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu
maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara
Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?” (Seno
Gumira Ajidarma) |
Esai: Kartasura, menjelang
pertengahan abad ke-17. Sebuah iring-iringan pengantin bangsawan
lewat sore itu. Tapi bila para wanita
yang menonton di tepi jalan pada berbisik atau mendesah, itu bukanlah karena
keindahan prosesi. Sesuatu yang lain memukau mereka: di depan iringan itu, di
atas kuda yang ranggi, seorang pemuda tegak rupawan… Syahdan. Diantara penonton itu
diam-diam menyelinap putra mahkota, Pangeran Adipati Anom. (Goenawan
Mohamad) Petruk duduk
termenung. Dihadapannya terbentang sebuah dataran. Dulu dataran itu adalah hutan lebat dan ada
singanya. Kini hutan itu gundul dan
singanya musnah. Pikiran petruk
melayang ke mana-mana. Ia tertawa,
mengenang kisahnya ketika ia menjadi raja di Kerajaan Lojitenggara. Waktu Petruk menjadi
raja, banyak orang menertawakannya. (Sindhunata) |
Hal
yang serupa juga terjadi pada jenis esai. Percepatan perkembangan esai yang
disupport oleh spirit sastra melalui bahasa, gaya serta hampir seluruh potensi
sastra padanya, menyebabkan sebagian orang tak ragu mengkategorikan esai
sebagai tulisan sastra ketimbang tulisan jurnalistik. Tak terkecuali peran
imajinasi dalam esai sebagaimana serupa pada feature di atas. Meski
demikian tak sedikit yang ragu atau keberatan melibatkan imajinasi dalam esai
sehingga tetap bersikukuh mengkategorikan esai sebagai tulisan jurnalistik.
Pada satu sisi di aras definisi, pengertian dan bentuk barangkali hal ini menjadi masalah. Akan tetapi pada tahap perkembangan, proses dan tentu saja terkait isi dalam esai, boleh jadi perdebatan demikian tidaklah sungguh-sungguh menjadi soal. Tergantung pada kepribadian, minat, juga kemampuan, serta pandangan dunia penulisnya. Bahwa semangat esai adalah tulisan yang memuat hal-hal yang surprise, kejutan. Nah di sinilah titik temu antara sastra dan esai. Utamanya cerpen dan mungkin puisi-naratif. Kekuatan esai bukan terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran-pikiran dan gagasan. Esai tidak berpretensi mengajukan satu pemikiran yang kokoh dan keras, melainkan suatu obrolan yang cerdas dan memikat.
NO |
FILSAFAT |
ILMU |
ESAI |
1 |
Diskursus |
Analisa |
Dialog |
2 |
Bekerja
dengan otak |
Mengolah
pengamatan |
Bercanda
dengan imajinasinya. Bermain dalam tulisan. |
3 |
Mencapai
kecanggihan spekulatif |
Berjuang
menuju kesempurnaan deskriptif |
Memamerkan
ketangkasan ekspresif |
4 |
Mengundang
reflektif |
Mengharuskan
pengujian |
Menggedor
impresi |
5 |
Mencapai
kematangan orang dewasa |
Mempertahankan
innocentia masa kanak-kanak |
|
6 |
Tertib
dan disiplin |
Nakal
dan kocak |
|
7 |
Runtut
dan beralur |
Meloncat-loncat
dan jenaka |
|
8 |
Berpedoman
pada rasionalitas manusia |
Berpedoman
pada kebebasan manusia |
|
9 |
Bagus
karena bisa diramalkan |
Mengolah
kebetulan-kebetulan |
|
10 |
Tujuannya
berbakti pada kebenaran |
Penghormatan
pada kegembiraan hidup |
|
11 |
Demi
tujuannya, berjarak dari alam |
Cukup
mengapresiasi dan menikmati alam |
|
12 |
Dokumen
tentang usaha manusia mencapai kebenaran melalui pengetahuan dan pengertian |
Catatan
tentang berbagai kebingungan dan kekeliruan sebagai resiko kemerdekaan |
|
13 |
Kebenaran
dianggap sempura, keberhasilan hanyalah pencapai sementara.
|
Kebenaran
lebih mirip berkas cahaya yang sangat tergantung pada letak matahari, setiap
pencapaian adalah keberuntungan melalui rahmat |
|
14 |
Penelitian
kritis |
Kesaksian
yang simpatik |
|
15 |
Mempertajam
pengertian |
Menguji
pengetahuan |
Mengundang
intensitas keterlibatan |
16 |
Menyingkirkan
kesalahan dan kontradiksi |
Banyak
kesalahan dapat dimaafkan dan kontradiksi dapat menjadi unsure yang
menyegarkan |
|
17 |
Mendefinisikan
manusia sebagai makluk pencari kebenaran |
Mendefinisikan
manusia sebagai makluk pemburu kebahagiaan |
|
18 |
Berdiri
di atas asas ketegaran pikiran
|
Berdiri
di atas asas keleluasan jiwa |
|
19 |
Tokoh
dalam ilmu dan filsafat adalah manusia yang tahu dan tidak tahu |
Tokoh
dalam esai adalah manusia yang tenang atau gelisah |
|
20 |
|
Jenis
kesusastraan—arti penting untuk perkembangan dan pertumbuhan bahasa |
|
21 |
Bahasa
ditakulukkan, kata-kata dijinakkan untuk menjaga pengertian pengertian yang
sudah disepakati |
|
|
22 |
|
Bahasa
dilepaskan dari kungkungan formalism. Kata-kata dibebaskan dari kewajibannya
menjadi komponen sebuah konsep, dan dibiarkan terbang dan tumbuh dengan
kekuatannya sendiri seperti elang liar atau cempaka yang tumbuh di hutan. |
|
23 |
Menulis
adalah melakukan organisasi dan reorganisasi susunan vas atau bentuk taman. |
Merangkai
kembang liar yang dipetik sediri di lereng bukit atau diambil dari tengah
semak-semak belukar |
|
24 |
|
Esai
adalah kesaksian bahwa bahasa yang diciptakan manusia pada akhirnya akan
hidup sebagai dunia tersendiri. Dengan dinamika yang tak selalu dapat diduga,
apalagi dikuasai. Esai adalah pembebasan bahasa dari penjajahan konseptual |
|
25 |
Bahasa
menghubungkan ide dengan ide dan menjadikannya sebuah konstruksi. |
Bahasa
menghubungkan ide dengan empiri dan menjadikannya sebuah operasi |
Bahasa
menghubungkan ide dengan imaji dan menjadikannya sebuah kanvas lukisan. |
26 |
Memperlakukan
ide sebagai refleksi pikiran tentang pikiran. |
Memperlakukan
ide sebagai refleksi pikiran tentang kenyataan empiris |
Memperlakukan
ide sebagai ekspresi spontanitas subjektif melalui pikiran |
27 |
Bahasa
filsafat mempertanyakan |
Bahasa
ilmu bersifat menjelaskan |
Bahasa
esai bersifat melukiskan. |
28 |
|
Menulis
esai adalah memberikan sapuan warna-warni kepada pikiran dan perasaan |
|
29 |
Menguji
ide berdasarkan rasionalitas |
Menguji
ide berdasarkan objektivitas |
Menguji
ide berdasarkan orisinalitas |
30 |
|
Teks
esai adalah sebuah permainan. Para pembaca atau calon pembaca harus merasa terpikat
untuk turut bermain di sana, tanpa harus berkorban terlalu banyak. |
|
31 |
Konstruksi
memang harus dipelajari |
Sebuah
operasi harus dilaksanakan |
Sebuah
lukisan hadir untuk dinikmati |
32 |
Filsafat
dapat menajamkan akal |
Ilmu
dapat mengatur pengetahuan |
Esai
untuk mempertahankan harapan |
Tentu saja diskusi lebih
lanjut penting untuk menimbang estetika sastra di dalam membaca, memaknai
karya-karya tulisan berbentuk esai untuk selanjutnya guna mengukur seberapa
besar sumbangan sastra pada jurnalistik, pada kontek ini; esai. Semakin tinggi
estetika sastra yang terkandung pada esai, baik kualitas bahasa, ekspresi,
gaya, abstraksi lukisan pikiran penulisnya dan lain sebagainya tentu menjadikan
esai lebih menarik. Tegasnya, dapat dikatakan esai adalah tulisan yang lebih
mengutamakan daya tarik ketimbang pendapat, statement, simpulan dan sejenisnya.
Inilah yang membedakan esai dengan opini. Singkat kata, esai bukanlah
opini—sebagaimana pemahaman umum selama ini.
_______________
Catatan; Tulisan ini
diilhami sejumlah buku-buku karya Ignas Kleden, Budi Darma, Linda Kristanty,
Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Sindhunata, Gorys Keraf,
Pramoedya Ananta Toer, Robert Stanton
Ngimbang, 17 Maret 2020