TAK ADA PAHLAWAN SAAT PANDEMI
(Perihal Sampar, Novel Albert Camus)
Oleh S. Jai*
KEMATIAN anak-anak dalam fiksi berlatar pandemi membetot perhatian khusus pengarang. Semestinya demikian pula dalam dunia nyata. Entah mengapa di negeri kita, wabah kali ini tak terdengar di sebalik ribuan/puluhan/ratusan ribu korban yang meloncengkan kematian anak-anak.
Pandemi kolera,
dalam novel Gabriel Garcia Marquez Love
in The Time of Cholera, misalnya, dikisahkan gadis America Vicuna mati
menenggak racun setelah nilai sekolah menengahnya jeblog. Barangkali karena tak
terurus. Tapi ternyata, penyebab lain aksi bunuh dirinya; diam-diam ia menyukai
Florentino Ariza seorang kakek wali pengasuhnya yang lebih sibuk mengurusi
Fermina Daza—janda tua yang dicintainya sejak dalam kenangan—ketimbang dirinya.
Kematian gadis sekolah menengah itu membuat kakek itu meringkuk dalam
kesakitan, sampai ia mengakui pada dirinya betapa ia mencintai gadis itu.1)
Dalam novel Sampar, Albert Camus (terjemahan NH
Dini) anak laki-laki Jaksa Othon akhirnya tewas dalam percobaan serum Dokter
Castel. Matinya anak malang itu seakan menjadi buhul kepelikan perbincangan
perihal moral-agama-tuhan, absurditas, ketiadaan, cinta, takdir, kebenaran,
kebahagiaan, penderitaan, pemberontakan dan sudah barangtentu kematian itu
sendiri.
Agama dan Kematian Anak-Anak
Kegagalan
serum Dokter Castel yang disuntikkan dalam percobaan Dokter Bernard Rieux dan
yang mengakibatkan (?) kematian anak lelaki Jaksa Othon sontak diprotes Pastur
Romo Paneloux, setelah pasien itu hanya terulur waktu kematiannya. “Kalau dia
memang harus mati, mengapa penderitaannya diperpanjang,” katanya,2)
Mendengar
protes yang sekadar bergema itu, Dokter Rieux menjawab dengan satu-satunya sisa
perasaannya; pemberontakan. Mengapa
pemberontakan dan bukan cinta? Karena Dokter Rieux menolak cinta yang
disarankan agamawan itu untuk mencintai sesuatu yang tidak dimengerti. Cinta
yang dimaksud adalah takdir. Secara gamblang Dokter Rieux mengatakan; “Bayangan
saya mengenai cinta tidak seperti itu. Dan saya menolak sampai akhir hidup saya
mencintai takdir yang menyiksa anak-anak.”3)
Anak-anak, dalam metamorphosis kehendaknya
Nietzsche—orang yang dikagumi Albert Camus—adalah metafora dari “manusia unggul”;
manusia yang berani secara aktif mengiyakan semuanya, mencintai nasib.4)
Dengan kata
lain dalam kontek pandemi memungkinkan bahwa kematian anak-anak tak lain adalah
suatu kematian manusia. Dalam arti tertentu; mengabaikan kematian anak-anak tak
memiliki arti apapun sepanjang tak abai dalam kematian manusia umumnya.
Barangkali tak adanya detil kematian anak dalam masa pandemik kali ini, tak
lain dalam pengertian ini. Nah, di sini dalam arti tertentu silakan abaikan
pula pada istilah pandemi atau endemi.
Kematian
“anak-anak” dalam Sampar nyatanya
mengubah pandangan agama Romo Paneloux. Semula pastur itu memantaskan
kemalangan wabah sampar untuk menyerang musuh-musuh Tuhan.5) Semula
pastur itu memastikan membawa kebenaran dan perintah, termasuk untuk tidak
saling menasihati. Semula pastur itu
mengumandangkan rasa cinta pada-Nya dengan kata-kata menenangkan. “Hari ini
kebenaran adalah perintah”6) sekalipun sesungguhnya pastur ini
sekaligus memperkenalkan absurditas
sebagai suatu hal kontradiksi—melarang memberi nasihat dengan nasihat, cinta
pada kengerian pandemi, termasuk korban sebagai musuh tuhan.
Kini, dalam
kesempatan khotbah lainnya, Paneloux menandaskan bahwa agama pada masa pandemi
tidak bisa sama seperti agama di waktu normal.7) Setidaknya ia
mengubah perihal cinta dan kebencian pada Tuhan dengan takdir kengeriannya
sebagai sebuah pertanyaan, termasuk memberi arti baru kepasrahan sebagai
kerendahan hati secara sukarela. Paneloux setuju penderitaan seorang anak
sangat menghina jiwa dan hati.
“Kita harus
menerima takdir yang mengerikan yaitu kematian anak-anak, karena kita harus
memilih membenci Tuhan atau mencintainya. Siapa yang berani memilih
kebenciannya?”8)
Pertanyaan
pastur ini adalah satu cara baginya mempertahankan kepercayaan pada Tuhan—Dia
yang mengharapkan kepasrahan pribadi yang mutlak dan peniadaan kepentingan diri.9)
Juga pada cinta, kebencian, termasuk penderitaan dan kematian. Sesuatu hal yang
tidak mungkin dimengerti tapi kita hanya bisa menghendaki. Inilah yang disebut pastur itu dengan
kepercayaan—sesuatu yang tak diragukannya sampai sepeninggallanya dalam kasus yang
meragukan, apakah terpapar sampar ataukah karena suatu hal lain.
Absurditas dan Pemberontakan
Sekalipun
banyak dibicarakan, bahwa Sampar
menggambarkan suasana “perang” di sebuah kota dalam pendudukan NAZI, pada
prinsipnya Sampar adalah novel
realis. Atau setidaknya ditulis dengan teknik realis dalam kronik, yang oleh
Camus sendiri ditolak sebagai tulisan filsafat—eksistensialisme.
Teknik yang
dimaksud bisa dicermati salah satunya dengan “pengakuan” dalam penutup
novelnya; “Dan dalam kronik itu, Rieux
hanya menggunakan teks yang telah sampai di tangannya secara kebetulan karena
diberikan oleh orang lain atau karena kematian kawan, misalnya Tarrou.”10)
Pengakuan lainnya, bagaimana penulis menjaga objektivitas—realitas dengan
ikhtiar “tidak mengingkari kenyataan, dan lebih-lebih untuk tidak mengingkari
diri sendiri, penulis berusaha bercerita dengan objektif.11)
Dalam hal
ini, pandangan dunia Camus sangat jelas terekam dalam buku The Rebel (Pemberontak, Bentang: 2000). “Satu-satunya kebenaran
adalah dunia ‘yang sedih dan menderita.’ Dunia ini adalah satu-satunya yang
memiliki sifat ketuhanan.12) “Saya
percaya ketiadaan (nothing) dan bahwa
segala sesuatu itu adalah absurd, tetapi saya tidak menyangsikan validitas,
keabsahan dari pengumuman saya, dan saya setidaknya percaya pada protes-protes
saya. Bukti pertama dan satu-satunya yang saya dapat dari istilah-istilah
pengalaman yang absurd adalah pemberontakan.”13)
Dengan kata
lain, absurditasnya justru sudah inhern dengan pandangannya karena bersetia
pada realisme—bersetia pada buminya sendiri karena bersetuju dengan ‘kematian
tuhan’-nya’ Nietzsche. Bahkan pandangan
dunia seni Camus, juga Nietzsche sudah mengandung absurditas (kontradiksi dalam
dirinya) itu sendiri. “Seni adalah
aktivitas pengagungan dan sekaligus pengingkaran,” kata Camus. “Tak ada seniman
yang dapat menerima kenyataan,” kata Nietzsche.14) Seni memungkinkan
manusia menanggungkan hidup yang penuh penderitaan ini dengan penerimaan yang
penuh suka cita.15)
Kamus
Filsafat Lorens Bagus memastikan absurd yang berarti dasar “tidak enak
didengar” “tidak berperasaan” “tidak masuk akal,” mengacu kehidupan yang tidak
berarti, tidak konsisten, tidak mempunyai struktur. Meski demikian absurd mempunyai nilai, bermakna tapi tidak benar
atau salah yang dalam bahasa Inggris kerab diartikan nonsense. Lorens Bagus mengartikan absurd sebagai kemustahilan
untuk mencari jawaban pada yang transenden.
***
Sampar dibuka
dengan diskripsi sebuah kota yang sangat modern, namun tanpa dugaan—kota yang
tanpa keindahan, tumbuhan maupun jiwa. Tak ada gairah. Tak ada kekacauan. Lalu Dokter
Rieux mengawalinya dengan perpisahan dan dugaan. Perpisahan dengan istrinya
yang sedang sakit dan dugaan keanehan yang akan berlalu, dan segalanya akan
lebih baik sekembalinya sang istri dari berobat. Di peristiwa lain, Cottard,
seorang yang diburu polisi, melakukan percobaan bunuh diri karena disebut-sebut
berputus asa lantaran mengalami kesedihan batin. Aksi Cottard gagal karena
terpergok Josep Grand—seorang yang terobsesi menjadi pengarang. Di hadapan
Dokter Rieux dan Grand, Cottard mengaku hanya bingung, dan kemudian berjanji
tak mengulangi lagi.
Sosok Jean
Tarrou tampil misterius tanpa dijelaskan asal-usul dan dalam rangka apa berada
di kota itu, kecuali tinggal di hotel besar tengah kota dan kemudian menjadi
kawan Rieux. Tarrou seorang pencatat kronik periode. Catatan pertamanya dia
melukiskan secara terperinci mengenai dua singa perunggu di Balai Kota. Ini
mengingatkan fase Singa dalam metamorphosis Nietzsche—kehendak yang menolak
segala bentuk beban dan nilai moral. Salah satu catatan penting Tarrou yang
bisa dikutip disini: “Pertanyaan: bagaimana caranya kalau tidak mau kehilangan
waktu? Jawab: dengan sepenuhnya sadar selama waktu itu berlangsung.”16)
Setelah
tikus-tikus (dan kemudian manusia) banyak yang mati, perkataan sampar mulai terbit bersamaan dengan
kebimbangan dan keterkejutan. “Sampar dan perang selalu menyergap manusia tanpa
persiapan. Terbelah antara kekhawatiran dan kepercayaannya.17) Dalam
situasi penduduk kota yang demikian, perasaan, nasib, kebebasan, cinta, juga
masa depan diperbincangkan. Sekalipun penduduk masih mengira memiliki kebebasan
di masa lockdown, Dokter Rieux hanya
memastikan satu hal: dia bekerja setiap harinya. Bahwa tak seorang pun akan
bisa bebas selama masih ada bencana.18)
Dalam lockdown, penduduk senasib sepenanggungan.
Perasaan yang sangat pribadi, misalkan perpisahan dengan yang dicinta, sekonyong-konyong
menjadi perasaan seluruh penduduk.19) Perpisahan tiba-tiba dialami
orang yang tidak siap.20) Mereka dilarang berkoresponden untuk mencegah
penularan, jaringan telpon diputus. Sampar adalah penjara yang menyebabkan
perasaan kelembutan manusia menjadi lebih kuat daripada rasa takut pada
kematian kematian penuh siksaan.21) Perasaan yang mendasari
hidup—kesenangan kesenangan sederhana—kini mempunyai bentuk baru dan berubah
total. Penderitaan jadi dua kali—penderitaan itu sendiri dan penderitaan pada
kenangan mereka yang tak ada.22)
Penduduk tidak
sabar dengan hidup di masa sekarang, menjadi musuh masa lalu, dan tidak
mempunyai masa depan.23) Hidup hanya pada waktu sekarang, sendiri
menghadapi takdir.24) Demikian halnya dengan Dokter Rieux, ia gugup.
Namun mengurangi kegugupan dengan mempertahankan kegigihannya bekerja. Dalam
keadaan kelelahan, Rieux sadar diri terhadap rasa kasihan. Bahwa rasa kasihan
itu melelahkan apabila tidak ada gunanya. Sebab itulah dia gembira, dan untuk
melawan dunia abstrak dirinya harus menyerupainya,25) dengan
mengendalikan diri. Hanya orang gila yang kehilangan akal yang tak bisa
mengendalikan diri.26) Salah seorang yang cerdas menghadapi situasi
demikian adalah Rambert—pria yang terjebak di kota itu saat mencari istrinya. Dengan kegigihan dan
kemahirannya, ia senantiasa gembira dalam situasi yang disebut ‘selalu berusaha
untuk melarikan diri.’
Sementara itu
Tarrou terus mencatat dalam kesaksiannya. Diantaranya; Di waktu kita terkena
kemalangan, kita membiasakan diri pada kebenaran, yaitu kesepian.27)
Terhadap ibunda Dokter Rieux catatan kesaksiannya; Pandang yang begitu penuh
kebaikan hati tentu lebih kuat dari penyakit sampar.28) Tarrou, yang
kemudian menjadi sahabat Dokter Rieux, memutuskan menjadi sukarelawan dengan
membentuk regu yang terjun di kancah wabah. Konon alasan yang mendorongnya tak
lain adalah tindakan susila—pengertian.29) Mereka (para sukarelawan)
menjadi agak yakin bahwa dengan adanya sampar, mereka harus bertindak
seperlunya guna melawannya.30) Dibandingkan para moralis yang
menganggap segala sesuatu percuma di hadapan bencana, kesimpulan Dokter Rieux,
Tarrou; berjuang dengan cara begini atau begitu dan jangan bertekuk lutut.31)
Dalam kesaksian Tarrou, terungkap pula rasa senangnya pada Romo Paneloux yang
lebih baik dari khotbahnya. Artinya, pastur itupun lantas melibatkan diri
bersama mereka.
Albert Camus,
sang pengarang novel ini, lahir 7 November di Mondovi (Aljazair) di tengah
kemiskinan. Ia ditinggal mati ayahnya dalam sebuah pertempuran kira-kira
setahun sejak kelahirannya. Menapaki dunia sastra melalui jurnalistik dan kali
pertama menerbitkan kumpulan cerita kepahitan hidup L’Envers et’l ‘Endroit tahun 1937. Kemudian berturut-turut karyanya
yang terkenal Le Mythe de Sisyphe
(esai, 1942), L ‘Etranger (novel,
1942), La Peste (novel, 1947), La Chute (novel, 1956). Karya dramanya
yang juga sangat terkenal; Caligula.
Tahun 1957 Camus meraih Nadiah Nobel. Camus meninggal 4 Januari 1960 dalam
sebuah kecelakaan mobil.
***
Sebagaimana
pengakuan Camus, bahwa dalam pengalaman absurd, derita itu bersifat individual.
Tetapi saat pemberontakan mulai, penderitaan dilihat sebagai sesuatu
penyelamatan kolekstif.32) Dengan kata lain perasaan yang aneh-aneh
dibagi-bagi pada semua orang. Penyakit yang dialami seseorang menjadi wabah
massal.
Wabah sampar
adalah penjara. Wabah sampar adalah hukuman mati. Jika suatu hukuman mati massal
membatasi kondisi manusia, maka pemberontakan—dalam suatu pengertian—adalah
paham atau pengertian yang kontemporer.
Pada saat yang sama ketika ia menolak kemungkinan kematiannya, maka
pemberontak itu menolak untuk mengakui kekuatan yang memaksa dia untuk hidup
dalam kondisi seperti itu. Oleh sebab
itu pemberontak metafisik secara definitif bukanlah seorang ateis, seperti
dipikirkan orang selama ini, tetapi tak dapat disangkal bahwa memang ia adalah
seorang pengutuk Tuhan. Cukup sederhana
memang, pertama ia mengutuk atas nama keteraturan, mencela Tuhan sebagai ayah
kematian dan sebagai kejahatan tertinggi.33)
Pendek kata,
pengagum Nietzsche ini bukanlah (karena dirinya membantah) seorang ateis. Seperti
halnya Nietzsche yang sesunguhnya bukan antituhan, melainkan menggugat atas
tidak berperannya kepercayaan pada Tuhan atas kehidupan manusia (Tuhan ada
tetapi itu dahulu). Camus mengakui merumuskan filsafat pemberontakan, dari semula konstruksi filsafat tentang
pemberontakan pendahulunya (Nietzsche), memproklamirkan diri sebagai pengutuk
Tuhan.
Perihal
dirinya pengutuk Tuhan ini, tergambar dalam Sampar
melalui tokoh Dokter Rieux;
“Saya berada dalam kegelapan dan berusaha melihat
jelas.34)
Tanpa keluar dari tempat gelap, dokter berkata
bahwa dia sudah menjawab. Seandainya dia percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa,
pastilah dia sudah berhenti mengobati orang-orang dan membiarkan Tuhan
mengerjakannya. Tak seorang pun di dunia yang percaya kepada tuhan demikian
besar… Tak seorang pun pasrah sama sekali. …Maka dari itu dia, Reiux mengira
mengikuti jalan kebenaran dengan berjuang melawan ciptaannya sebagaimana
adanya.35)
Di kemudian hari mereka akan berpikir dan saya
juga. Yang paling wigati adalah menyembuhkan mereka. Saya membela meraka sebisa
saya….36)
Saya muda muak pada takdir.37)
Karena dunia diatur melalui kematian, mungkin lebih
baik bagi Tuhan jika orang tidak percaya kepada-Nya supaya orang berjuang
sekuat tenaga melawan kematian tanpa mengangkat pandang ke langati dimana dia
berada sambil berdiam diri.38)
Kronik dialog
Dokter Rieux dengan tokoh misterius pencatat Tarrou tersebut berakhir penegasan
Rieux: Kesengsaraan yang mengajarkan itu semua. 39)
Memang novel Sampar, sekalipun ditolaknya sebagai
uraian filsafat eksistensialisme—ibu dari ateisme—beraroma pandangan seni
pengarangnya sebagaimana sebutannya sendiri atas novel karya Marcel Proust Time Regained sebagai ‘Dunia Tanpa
Tuhan,’ atau ‘Aspirasi Keabadian Tanpa Tuhan.’ Menurutnya, karya Proust paling
ambisius dan bermakna dari usaha-usaha manusia menentang kondisi kefanaannya. Yaitu, seni bersekutu dengan keindahan dunia
ini dan seisinya yang menentang kekuatan-kekuatan kematian dan kefanaannya.
Demikianlah maka pemberontakannya itu kreatif.40)
Penderitaan, Cinta dan Harapan Manusia
Sekali lagi
wabah adalah penjara, wabah adalah hukuman mati. Di hadapan wabah semuanya
adalah terhukum. Semuanya adalah orang hukuman. Dan barangkali untuk pertama
kalinya, di penjara ada keadilan yang menyeluruh.41) Perasaan paling
menyeluruh ialah perpisahan dan
pengucilan.42) Upaya bunuh diri Cottard pun tak lain dirinya tidak
terima ditahan karena kesalahannya, dipisahkan dari rumahnya, juga dari
kebiasaan-kebiasaannya, dari semua yang dikenalnya.43)
Begitulah
penderitaan paling dalam masa itu adalah pemisahan penduduk dari orang yang
mereka cintai. Kewajibannya ialah
menceritakan perasaan tersebut ketika sampar pada fase gawat. Dan tidaklah bisa diingkari pula bahwa bahkan
penderitaan itu pun tidak lagi mengharukan.44) Sebuah hidup tanpa
kenangan, tanpa harapan, dan mereka mapan di hari sekarang.45)
Demikian
halnya dengan cinta. Rasa cinta terasa berat dan tak bergerak di dalam hati,
mandul seperti kejahatan atau hukuman.
Cinta itu tinggal merupakan satu kesabaran tanpa masa depan. Satu
penungguan yang buntu. (46) Kepasrahan dan kesabarannya sama,
sekaligus tak terbatas dan tanpa harapan.47) Tokoh Rambert merasa malu karena bahagia
sendirian (karena cinta), di saat orang-orang lain tidak turut merasakannya,48)
ketika orang lain berjuang melawan sampar. Bahwa Perjuangan melawan sampar
membuat mereka rawan terhadap sampar--begitulah mereka berjudi dengan
keberuntungan.49)
Terhadap dua
hal ini—cinta dan penderitaan—Camus mengatakan, ‘Kita ingin cinta abadi dan
kita tahu cinta tak abadi. Kita akan lebih baik memahami derita manusia jika
kita tahu bahwa hal itu memang sesuatu yang abadi.50) Sebagaimana
ungkapan sang nabi penderitaan—Nietzsche—“Jika kita gagal mendapatkan kemuliaan
dalam Tuhan,” katanya “Maka kita akan mendapatkannya di manapun; itu harus
ditolak atau diciptakan.” Menolak
merupakan tugas dunia di sekitarnya. Menciptakan adalah tugas manusia unggul (superhuman)
karena dia sendiri bersedia mati. Ia
tahu dalam kenyataannya, bahwa hasil-hasil cipta hanya mungkin terjadi dalam
kesunyian yang ekstrem dan bahwa manusia hanya mau melakukan tugas dirinya yang
mengejutkan ini, jika—dalam keadaan pikiran yang paling sukar—dipaksa
melakukannya atau binasa.51)
Di penghujung
novel, sampar memperlihatkan kelemahannya dalam jumlah korban semakin lama
semakin mengurang. Serum Castel yang sebelum waktu itu selalu gagal, tiba-tiba
mendapatkan kesuksesan. Setiap tindakan penanggulangan yang dilakukan para
dokter yang dulu tidak member hasil sesuatu pun, mendadak sekarang dapat
dipastikan selalu manjur.52) Sesungguhnya sangat sukar disebut
sebagai suatu kemenangan. Yang seharusnya dikatakan ialah, rupanya penyakit
meninggalkan kota sebagaimana dia dulu datang.53) Saat itulah angin
harapan yang berhembus telah menyalakan semangat serta ketidaksabaran mereka,
sehingga mereka tidak bisa mengendalikan diri.54) Catatan Tarrou
pada saat seperti ini: Di waktu siang atau malam, selalu ada satu saat di mana
manusia menjadi pengecut dan hanya terhadap saat itulah dia merasa takut.55)
Pada akhirnya
Dokter Bernard Rieux menerima musibah yang lain, saat istriya kemudian
meninggal. Dia tak mengetahui benar arti pengucilan dan keinginan pertemuan
kembali—sebagaimana perasaan paling menyeluruh ialah perpisahan dan pengucilan. Dia pikir tidak terlalu penting apakah
sesuatu ada artinya atau tidak. Yang harus dilihat hanyalah apakah sesuatu itu
menjawab atau memenuhi harapan manusia.56) Mereka mengerti sekarang,
bahwa kalau memang ada sesuatu yang selalu bisa diinginkan manusia dan yang
kadangkala terlaksana, itu adalah cinta manusia.57)
Camus melalui
catatan Dokter Rieux, di penghujung novel ini menyampaikan bahwa cerita ini
hanyalah satu kesaksian dari apa yang seharusnya dikerjakan, dan tentulah akan
dikerjakan lagi dalam perlawanan langgeng terhadap terror beserta senjata
kegigihannya.58) Rieux juga menjadi orang yang mengatakan secara
sederhana apa yang bisa dipelajari dalam masa-masa bencana: bahwa pada diri
manusia terdapat lebih banyak sifat yang dapat dikagumi dari pada dibenci.59)
Menolak Kepahlawanan, menjadi manusia jujur
Konsekuensi dari
teknik realis dalam kronik, juga pengakuan-pengakuan, kesaksian, juga
catatan-catatan yang diikhtiarkan guna menjaga objektivitasnya, dalam Sampar agak sulit mengidentifikasi
adanya karakter protagonis-antagonis; yang biasanya menjadi titik tolak melabeli
hero atau antihero. Memang guna mendapatkannya,
bisa juga menempuh cara lain dengan menerapkan teori The Adventure of Hero oleh Joseph Campbell. Meski demikian realisme
itu sendiri—yang oleh Camus dijaga dengan tabiat objektivitas, tiadanya
pengingkaran pada kenyataan, maupun diri sendiri, sudah barangtentu manawarkan
antihero di dalamnya, yang inhern dengan pandangan filsafatnya: ketiadaan.
Rupanya tak
cukup dengan itu, Sampar secara
tersurat menggaungkannya. Utamanya melalui tokoh Dokter Rieux, Rambert dan
pencatat kronik Tarrau. Rieux mengaku perannya di masa epidemi bukanlah
menyembuhkan, apalagi menyelamatkan. Dia ada di sana untuk memisahkan pasien
dari khalayak.60)
Dalam kalimat
Rambert:
“Manusia adalah citra. Sebuah citra yang pendek di
waktu dia memalingkan muka dari cinta. Justru kita tidak mampu lagi mencinta.
Kitas seharusnya pasrah, Dokter!
Tunggulah sampai kita mampu mencinta, kemudian seandainya betul-betul
itu tidak mungkin, tunggulah pembebasan yang merata tanpa bermain sebagai pahlawan.
Itu sudah cukup bagi saya.”61)
Kepada
Rambert Dokter Rieux menegaskan; “Saya tetap wajib mengatakan kepada anda, dalam
hal ini tidak ada kepahlawanan. Ini adalah kejujuran. Ini memang satu ide, satu
pikiran yang bisa membuat tertawa, tetapi yang meerupakan satu-satunya cara
berperang melawan sampar: kejujuran.62)
Kejujuran
yang dimaksud Rieux, tak lain adalah menjalankan pekerjaannya, yang mana,
keselamatan manusia adalah kata-kata yang terlalu muluk buatnya. Ketika
absurditas Tarrou—tokoh misterius. pencatat kronik yang tak percaya pada
Tuhan—menyampaikan keinginannya untuk menjadi Santo, sementara mustahil seorang
Santo tanpa Tuhan, saat itu Dokter Rieux mengukuhkan diri; “..Saya lebih merasa
senasib dengan mereka yang kalah daripada dengan para Santo. Saya tahu bahwa
saya tidak mempunyai cita rasa untuk kepahlawanan dan ke-Santo-an. Yang menarik
bagi saya adalah menjadi manusia.63)
Pada
akhirnya, di penghujung novel, Camus mengungkap Dokter Rieux lah penulis cerita
“realisme-absurd” ini sebenarnya, yang bersumber diantaranya dari
catatan-catatan Tarrou. Pun Tarrou, orang misterius ini, pada akhirnya
mengungkapkan diri sebagai seorang yang menolak hukuman mati karena memiliki
pengalaman kelam menghadiri sidang ayahnya yang seorang jaksa—memvonis hukuman
mati seorang penjahat. Alasan itu pulalah yang membawa Tarrou masuk dunia
politik.
Dalam
pengakuannya yang panjang lebar, Tarrou berujar;
“Di dunia ini tidak mungkin kita berbuat atau
bergerak tanpa risiko menyebabkan seseorang mati. Ya, saya masih terus malu, saya mengetahui
bahwa kita semua berada dalam keadaan sampar dan saya terlah kehilangan
kedamaian. Waktu ini pun saya masih
mencarinya sambil berusaha mengerti mereka semua, juga berusaha untuk tidak
menjadi musuh siapa pun. Saya hanya tahu
harus mengerjakan apa yang harus dikerjakan supaya tidak menderita sampar lagi.
Dan bahwa hanya itulah satu-satunya yang bisa memberikan harapan kedamaian,
atau kalau tidak kematian yang tenang. Itulah yang dapat meringankan beban
manusia. Kalau tidak menyelamatkan, sekurang-kurangnya membuat penderitaan
mereka sekecil mungkin, dan bahkan kadangkala membuat sedikit kebaikan. Dan
itulah sebabnya mengapa saya memutuskan untuk menolak segalanya yang membunuh
atau membenarkan orang membunuh. Baik secara langsung atau tidak, disertai
alasan-alasan yang baik maupun yang buruk.”64)
Dalam
pengakuan Tarrou, epidemi sama sekali tak mengajarkan apapun padanya, kecuali
harus memerangi dirinya sendiri, betapa bahwa setiap orang menderita sampar
karena tak seorang pun, tidak, tak seorang pun luput darinya…65)
Sialnya,
dalam peperangan menghadapi sampar, Tarrou mengalami kekalahan telak. Dia
meninggal dalam perawatan Rieux. Dari catatan Rieux, ia menduga Tarrou seorang
yang hidup hanya dengan apa yang diketahui dan apa yang diingat tanpa apa yang
diharapkan. Sehingga Rieux tahu Tarrou menyadari betapa mandulnya hidup tanpa
khayalan. Di situlah absurditas hidup Tarrou dalam kontradiksi yang
tercabik-cabik dan dia tak pernah mengenal harapan. Yang tersisa dalam diri
Rieux hanyalah pertanyaan apakah karena hidupnya yang demikian menyebabkannya
menginginkan ke-Santo-an dan mencari kedamaian dengan jalan pengabdian bagi
kemanusiaan—menjadi sukarelawan? Jawaban
realisme-absurd Rieux; begitulah Tarrou seperti kebanyakan orang, telah
menghendaki pertemuan kembali dengan sesuatu yang dia sendiri tidak bisa
memastikan apa, namun kelihatan jelas sebagai satu-satunya tujuan yang
diimpikan. Ketidaktahuan inilah yang menyebabkan hal itu sering disebut
kedamaian.66)
Akhir dari
novel ini, memang kegembiraan. Yaitu kegembiraan yang diingat Dokter Rieux
sebagai sesuatu yang masih tetap terancam. Bahwa basil sampar tidak pernah mati
ataupun menghilang selama-lamanya. Dengan kata lain; teror.
Dokter Rieux
juga teringat percakapannya dengan Tarrou perihal sesuatu yang tak begitu jelas
pada siapa dan untuk siapa dia berbicara perihal kejahatan sebagai si yang
berhati sempit, hati yang kesepian. Mungkin Tarrou sendiri, barangkali Dokter
Rieux, atau bisa jadi yang lain—yang tak jelas. Bahwa kejahatannya hanya satu,
yaitu hatinya menyetujui nasib yang mematikan orang dewasa dan anak-anak.[]
Ngimbang, 21 Mei 2020
Catatan:
1) Gabriel
Garcia Marquez, 2018, Love in The Time of
Cholera, terjemahan Rosemary Kesauly, Gramedia ; halaman 630.
2) Albert
Camus, 1985, Sampar, terjemahan NH
Dini, Yayasan Obor Indonesia ; halaman
184.
3) Sampar ; 187.
4) Martin
Suryajaya, 2016, Sejarah Estetika, Jakarta: Gang Kabel ; halaman 418.
5) Sampar ; 80.
6) Sampar ; 83
7) Sampar ; 193.
8) Sampar ; 196.
9) Sampar ; 196.
10) Sampar ; 262.
11) Sampar ; 154.
12) Sampar ; 138.
13) Sampar ; 15-16.
14) Albert
Camus, 2000, Pemberontak. Terjemahan
Max Arifin. Yayasan Bentang Budaya
; halaman 468.
15) Sejarah Estetika, halaman 412.
16) Sampar ; 21.
17) Sampar ; 32.
18) Sampar ; 33.
19) Sampar ; 56.
20) Sampar ; 56.
21) Sampar ; 58.
22) Sampar ; 59.
23) Sampar ; 61.
24) Sampar ; 63.
25) Sampar ; 76.
26) Sampar ; 90.
27) Sampar ; 100.
28) Sampar ; 101.
29) Sampar ; 113.
30) Sampar ; 115.
31) Sampar ; 116.
32) Pemberontak, halaman 37.
33) Pemberontak, halaman 41)
34) Sampar,halaman 109.
35) Sampar ; 110.
36) Sampar ; 110.
37) Sampar ; 111.
38) Sampar ; 111.
39) Sampar ; 112.
40) Pemberontak ; 496-497
41) Sampar: 146.
42) Sampar:144)
43) Sampar ;
139.
44) Sampar ; 155.
45) Sampar ; 156.
46) Sampar ; 158.
47) Sampar ; 159.
48) Sampar ; 178.
49) Sampar ; 164.
50) Pemberontak
; 483.
51) Pemberontak
; 133-134.
52) Sampar ;
232.
53) Sampar ;
233.
54) Sampar
; 234.
55) Sampar
; 242.
56) Sampar
; 260.
57) Sampar
; 261.
58) Sampar
; 269.
59) Sampar
; 268.
60) Sampar
; 163.
61) Sampar
; 142.
62) Sampar
; 142.
63) Sampar
; 221)
64) Sampar
; 218-219.
65) Sampar ; 219.
66) Sampar
; 259.
Bahan Bacaan
Bagus,Lorens.
2005. Kamus Filsafat. Jakarta:
Gramedia
Camus, Albert. 1985. Sampar. Terjemahan NH Dini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Camus, Albert. 2000. Pemberontak. Terjemahan Max Arifin. Yogyakarta:Yayasan Bentang
Budaya.
Marquez, Gabriel Garcia, 2018, Love in The Time of Cholera, terjemahan Rosemary Kesauly, Jakarta:
Gramedia
Nietzsche. 2014. Sabda Zarathustra, Cet III. Terjemahan Sudarmaji dan Ahmad Santoso.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Russel Bertrand, 2007. Sejarah Filsafat Barat. Cet
III. Terjemahan Agung Prihantoro, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suryajaya, Martin.
2016. Sejarah Estetika,
Jakarta: Gang Kabel.