-->
KONTROL DIRI,
DAN TEATER MONOLOG
Oleh: Indra Tjahyadi*
Dalam teater, merujuk Goenawan Mohammad, keterampilan seorang aktor merupakan hal yang sangat signifikan. Keterampilan dalam memahami, menghayati, dan memainkan peran serta menghidupkan pertunjukkan, untuk menjadikan pertunjukan tersebut menjadi suatu realitas tersendiri yaitu realitas pertunjukan teater, merupakan hal yang signifikan. Terlebih lagi dalam teater monolog.
Teater semodel monolog (ataupun monoplay) merupakan wilayah permainan yang menuntut tantangan tersendiri yang khas dan begitu menantang. Sedikit saja keterampilan sang aktor memperlihatkan kelemahannya, dapatlah dikatakan, habislah sudah pertunjukan tersebut. Penguasaan aktor akan elemen-elemen permainan teater sangatlah mutlak diperlukan dalam stadiumnya yang maksimal, melampaui standard yang ada. Sebab dalam pertunjukan teater semodel monolog, aktor adalah pusat.
Cukupnya keterampilan yang dipunyai seorang aktor dalam memainkan perannya dalam sebuah permainan teater, terlebih lagi teater monolog (atau monoplay), membuat permainan tersebut terkesan hidup dan penuh variasi, juga dapat membuat audiens yang hadir seakan-akan lebur dalam ruang dan waktu yang memang telah dipersiapkan oleh para perancang permainan tersebut. Dengan keterampilan yang cukup, bahkan melampaui standar yang ada, seorang aktor dapat mengubahnya menjadi sebuah realitas di mana tak ada lagi batas sang aktor, sebagai subyek penggulir permainan, dengan penanton, yang sebenarnya hanya menjadi obyek permainan. Dengan cukupnya keterampilan yang dimiliki seorang aktor, penonton atau audiens suatu pertunjukan teater, bahkan dapat merasakan seolah-olah mereka juga bagian dari permainan tersebut. Pendeknya, seorang aktor, dengan keterampilannya yang cukup yang dipunyainya, akan mampu memaksimalkan sebuah permainan yang telah dipersiapkannya.
Memang benar adanya bahwa aktor, dalam sebuah pertunjukan teater semodel monolog (atau monoplay) adalah subyek, pusat dari pertunjukan tersebut. Ia adalah penggerak dan penghidup, bahkan dapat dikatakan pencipta, semesta atas tontonan. Ia bukan hadir sebagai sebuah ornamen, atau sekedar penyampaian pesan. Ia juga menjadi jembatan penghubung antara imajinasi naskah dengan realitas panggung dan juga ruang yang mengitari pertunjukan tersebut.
Tak banyak aktor teater negeri ini yang berhasil memainkan teater semodel teater monolog ini. Di era ini bahkan dapat dikatakan sedikit sekali aktor teater yang mampu memainkan teater monolog (atau monoplay) ini. Untuk sekedar menyebut sejumlah nama, Imam Sholeh (Bandung), Butet Kertaredjasa (Yogya) dan Meimura (Surabaya) adalah nama-nama dari segelintir aktor teater di negri ini, yang oleh banyak pengamat teater, terhitung berhasil memainkan permainan teater semodel ini.
Penguasaan keterampilan bermain saja, tanpa didukung oleh penguasaan kontrol diri dalam bermain, dalam sebuah teater semodel monolog akan percuma saja adanya. Penguasaan permainan dengan kemampuan untuk mengontrol diri di sepanjang permainan, seperti yang pernah dan telah diperlihatkan oleh ketiga nama aktor di atas, merupakan hal yang signifikan pula.
Kemampuan untuk melakukan kontrol diri tersebut diperlukan untuk menjaga agar permainan tidaklah melintasi batas-batas permainan yang telah disepakati. Kontrol diri, selain itu, juga berguna untuk tetap menjaga seorang aktor bermain dalam keadaan sadar. Kelewat tingginya semangat bermain acapkali membuat seorang aktor teater melakukan hal semena-mena terhadap apa yang dimainkannya. Yang pada akhirnya, penghayatan peran yang telah dikerjakannya secara maksimal hanya akan berakhir pada ekstase buta permainan, bahkan efeknya, dapat pula menghilangkan kesinambungan dan karakter peran yang sedang dimainkan.
Mengenai kontrol diri, seorang Stanilavsky pernah berkata bahwa yang paling buruk adalah apabila seorang aktor yang memerankan orang tidur, benar-benar tertidur pulas. Hal ini bisa dipahami, bahwa dalam memerankan sesuatu seorang aktor tetap, seyogyanya, sadar bahwa ia memang sedang bermain, dan bukannya larut serta-merta dalam permainan tersebut. Karena seorang aktor adalah pusat pergerakan permainan tersebut. Seperti yang diperlihatkan oleh F. Azis Manna, dari Teater Keluarga, dalam pertujukkan teater monolog yang berjudul Alibi karya sutradara S. Jai.
Permainan dengan penuh resiko, dengan durasi pertunjukan yang lebih kurang 3 (tiga) jam, tersebut ternyata berhasil dilalui dalam keterampilan dan kontrol diri oleh F. Azis Manna sebagai aktornya. Banyaknya ruang-luang yang dapat mengakibatkan improvisasi brutal dari permainan teater tersebut, tidak membuat F. Azis Manna kehilangan kontrol dirinya. Hal ini diperlihatkannya, salah satunya, pada adegan ketika ia mengajak para penonton untuk menari, berjoget bersamanya.
Adegan semacam itu mengundang resiko yang sangat tinggi dan apabila aktor, dalam kasus ini F. Azis Manna, kehilangan kontrol dirinya, atau kelewat asyik-masyuk dengan permainan dari adegan tersebut, dapat membuat pertunjukan tersebut hadir dengan bentuk wajahnya yang amburadul, kacau sekali. Tetapi, untung saja, F. Azis Manna masih memiliki kontrol dalam permainan tersebut. Sehingga adegan tersebut tidaklah hadir mubazir dan membuyarkan struktur permainan dalam pertunjukan tersebut. Bahkan justru dapat membuat para penontonnya seakan-akan terlibat dalam pertunjukan tersebut.
Atau juga pada adegan di mana ia harus menendang bola, yang entah direncanakan atau tidak, pada akhirnya, adegan tersebut memecahkan kaca jendela di salah satu sisi tempat pertujukan yang digelar di gedung Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Adegan tersebut, dengan hasilnya, mengundang resiko kepanikan yang sangat besar pada diri seorang aktor. Akan tetapi, adegan tersebut, dengan keterampilan bermain dan kontrol diri yang dipunyai, dapat dilewati oleh F. Azis Manna. Bahkan adegan tersebut, yang berakhir dengan pecahnya kaca jendela tersebut, karena didukung oleh keterampilannya dalam memainkan permainan dan kontrol terhadap permainan, membuat adegan tersebut beserta realisasinya seakan-akan memang merupakan bagian dari pertunjukan tersebut.
Pada akhirnya, bersepakat dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Goenawan Mohammad, bahwa masalah seni teater, apa pun bentuknya, adalah bagaimana cara tubuh meletakkan diri di ruang dan waktu dalam menanggapi kehadiran orang lain. Sehingga suatu permainan yang sudah dipersiapkan dapat hadir dalam wilayah pemaknaannya, dan bukan muncul sebagai sebuah fenomena yang ruwet, yang hanya akan membawa publiknya pada ketakpahaman dan kebosanan tontonan.[]
*) Penulis adalah pecinta seni pertunjukan, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga Probolinggo.