Pledoi Bagi Kejahatan
Catatan Bagi Alibi Karya Bang Jai
Listiyono Santoso
Tiada makluk yang susah dimengerti di dunia ini selain manusia. Semakin kita berusaha mengerti tentang manusia, semakin tidak jelas pengetahuan kita tentangnya. Tidak berlebihan bila Gabriel Marcel menyebut manusia dengan (‘homme problematique, 1955). Manusia yang problematik atau Marfin Buber mengatakan dengan Das problem des menschen (1948) manusia sebagai problem. Kekhasan dan keunikan manusia mengukuhkannya menjadi makhluk yang problematik sekaligus menjadi problem.
Realitas kemanusaiant elah membuat ruang yang namanya dunia begitu disesaki dengan berbagai tindakan manusia yang selalu bertolak belakang. Membahayakan sekaligus mengharukan. Kebaikan selalu juga diertai dengan kejahatan, dst,dst. Luar biasanya, manusia juga mempunya kemmpuan untuk dapat melakukan rasionalisasi atau perbuatan-perbuatan yang irasional. Membuat “aksi-aksi” atas kejahatan-kejahatan yang dilakukannya. Alibi sesungguhnya sebuah rasionalisasi atas kejahatan. Bagaimana manusia tiap kali disibukkan untuk menyusun sebuah pembelaan agar kejahatan yang dilakukan nampak sebagai sesuatu yang manusiawi.
Menariknya waktu ini terjadi secara terus-menerus dalam dunia manusiawi. Kontinyuitas paradok ini membuat berbagai bentuk aroma kemanusiaan menjadi suatu tradisi. Menjadi satu kebudayaan. Artinya, berbagai bentuk tindakan penyimpangan—pada akhirnya—akan menjadi kebiasaan, sekaligus akan selalu menemukan logika pembenarannya. Kejahatan—korupsi mulanya akan menjadi kebiasaan tindakan manusia. Kejahatan membentuk dirinya menjadi tradisi. Ironisnya ia telah disepakati menjadi kebudayaan umat manusia.
Realitas ini tampaknya yang sengaja hendak dihadirkan dalam pementasan teater naskah S.Jai yang berjudul Alibi. Bang Jai—begitu saya berusaha memanggil penulisnya—berusaha menghadirkan realitas paradoks kemanusiaan tersebut. Sebuah realitas, betapa kejahatan apapun bentuknya sudah dengan sendirinya inherent dengan rasionalitas yang membenarkannya. Tiada kejahatan yang tidak dengan sendirinya melahirkan pembenaran. Bang Jai dengan cukup menarik kritik dan tugas menghadirkan suatu fakta kejahatan adalah suatu kebudayaan.
Naskah Alibi adalah naskah drama wacana—istilah yang sengaja saya hadirkan. Naskah (drama) wacana dalam benak saya adalah naskah yang banyak melibatkan dialektika ide dalam dialog-dialog di dalamnya. Andaikata orang tidak melihat pementasannya atau hanya membaca naskah ini saja, maka persepsi kita akan memahaminya sebagai sebuah orasi (kebudayaan) ketimbang dialog antara tokoh biasanya dialog ditampilkan dengan kalimat pendek-pendek. Maksudnya agar tidak ada dominasi tokoh. Tetapi dalam naskah Alibi, dialog tokoh berkembang menjadi semacam orasi. Itulah sebabnya penyebutan sebagi naskah (drama) wacana karena tampilah dialognya penuh dengan perluasan argumentasi atau penataan kalimat yang masih pada hampir wilayah dalam realitas panjangnya dialog yang dominan mengadakan naskah drama alibi cenderung untuk bermain-main kata. Minimal bermain-main dengan simbolisasi. Implikasinya, mengharuskan naskah drama ini tidak berbeda jauh dengan orasi ilmiah yang berisi pergulatan ulang ide-ide penulisnya.
Menariknya sebagai pergulatan wacana, naskah itu adalah ungkapan satire, ungkapan sindiran (kritik) atas berkembangnya perilaku anomaly dari “kebudayaan” manusia. Alibi menghadirkan wajah “pendosa” yang tidak memiliki Shame Culture (rasa malu) sekaligus Quilt Culture (rasa bersalah) dalam melakukan kejahatan. Alibi berkeinginan menghadirkan fakta bahwa dunia kemanusiaan kita sekarang ini ya seperti ini wajahnya. Ketika orang sudah tidak malu lagi berbuat “dosa”. Ketika orang sedemikian bangga melakukan kejahatan. Manusia menjadi steril dari penyesalan karena kejahatan adalah kebiasaan hidup sehari-hari sebagai kebiasaan kejahatan adalah fenomena khas kemanusiaan. Karena itu kejahatan tidak perlu lagi ditutup-tutupi. Alibi berusaha mengatakan bahwa tiada lagi kejahatan yang bertopeng. Tiada lagi perlu menyembunyikan kejahatan. Semuanya transparan.
Demikianlah, maka naskah Alibi mempresentasikan sebuah dunia yang nihilis. Dunia yang dijejali dengan absurditas nilai. Manusia melakukan kekerasan atas yang lain dengan penuh penghayatan. Membunuh sesama dengan tertawa-tawa. Melakukan korupsi tanpa sembunyi-sembunyi. Itulah dunia nihilis yang sengaja Bang Jai hadirkan dalam naskah Alibi. Sebuah naskah yang meski agak-agak berbelit-belit—sehingga mungkin akan sangat monoton—tapi sarat dengan kritik sosial yang tajam. Melalui Alibi, Bang Jai seolah ingin mengatakan bahwa zaman kita sekarang ini ditandai dengan keadaan terancamnya kemanusiaan, hilangnya kemuliaan, keterasingan, jenuh dan tanpa arti. Dia dengan sengaja memperlihatkan perasaan absurditas, kebosanan, kemuakan dan ketiadaartian. Ini mirip dengan apa yang disinyalir oleh Emmanuel Levinas dalam Totalitas dan Tak Berhingga—yang secara mengharukan melukiskan sudat-sifat paradoks dunia sekarang yang tidak manusiawi dan tidak bermoral lagi. Dalam segenap absurditas, kata-kata dan gambaran-gambaran yang tadinya menyelubungi kenyataan dihancurkan dan terbersitlah realitas menurut seluruh kepalsuannya. Kedoknya tersingkap. Namun yang palign buruk bukanlah kekerasan-kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena dalam dunia absurditas memaksa manusia memainkan peran-peran dimana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan mengkianati keterlibatannya. Di lain pihak, banyak orang yang memperlakukan culture omission (budaya pembiaran). Sebuah budaya yang membiarkan terjadinya berbagai tindakan kejahatan secara terus menerus, tanpa ada kemauan untuk menghentikannya. Manusia sudah acuh terhadap segenap anomaly dalam realitas sosial.
Dunia seperti itulah yang secara menarik muncul dalam Alibi. Dunia manusia yang tidak ada lagi pemisahan kebaikan dan kejahatan, karena keduanya adalah inherent satu sama lain. Dunia kejahatan tidak lagi dipahami secara negative atu anomalis. Kejahatan—seperti korupsi—adalah kebutuhan, bahkan menjadi basic need. Kejahatan menjadi realitas sehari-hari. Dimana-mana ditemukan tindakan anomaly tersebut, baik secara individual maupun berjamaah.
Dalam konteks ini, menjadi jelaslah bahwa di masyarakat yang tidak mencela dan tidak menganggap bahwa tindakan kejahatan (korupsi, misalnya) adalah sesuatu yang mestinya diharamkan dan harus dituntut secara hukum, maka pastilah tindakan itu akan merajalela. Kekerasan massal, misalnya, bukan lagi dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, karena sudah menjadi kebiasaan dalam interaksi manusia. Dan manusia pun tidak perlu lagi mencari-cara alasan pembenar karena setiap tindakan jahat sudah dengan sendirinya menyertakan sejumlah alibi untuk merasionalisasikannya. Memang beginilah dunia kemanusiaan kita sekarang ini.
Naskah Alibi disadari adalah bagian dari sebuah kritik. Kritik atas realitas ‘kemunafikan’ atau justru bukan lagi sebagai kemunafikan (karena sudah tidak lagi disembunyikan), melainkan semakin transparannya tindakan kejahatan yang dilakukan manusia. Sekali lagi, naskah ini—meski terkesan seperti orasi kebudayaan yang sifatnya monolog, ketimbang sebuah dialog—sudah berhasil melakukan kritik sosial atas konstruksi sosial yang ada. Bang Jai—penulisnya—berusaha menghadirkan dunia non fisik/dunia realitas ke dalam suatu bentuk karya sastra. Dunia sastra selalu terkait engan dunia imajiner. Dalam dunia imajiner apapun bisa dihadirkan dan diciptakan. Sesuatu yang sulit untuk dilakukan oleh dunia lainnya, dunia sastra sanggup memerankannya. Ketika politik dan hukum tidak sanggup memberikan kritik atas tindakan kejahatan, maka dunia sastra justru menghadirkannya. Luar biasanya, hanya dunia sastra yang berani menghadirkan suatu fakta bahwa kejahatan telah menjadi kebudayaan umat manusia. Kebudayaan telah menjadi realitas sehari-hari yang tidak bisa kita pungkiri. Yang bisa kita lakukan adalah ‘membiarkan’ setiap tindakan tersebut.
*Listiyono Santoso, peneliti K3M Fakultas Sastra Universitas Airlangga dan bukan sastrawan.