Senin, 25 Agustus 2008

Catatan Tercecer

Dunia Bayang-bayang “ALIBI”
yang Berusaha Menggerogoti
Keluarga Sehari-hari


Oleh Adi Setijowati*


“ALIBI” meminjam idiom wayang untuk merepresentasikan dunia bayang-bayang alibi yang selalu dipakai manusia/ kelompok/masyarakat untuk mempertahankan “sesuatu”. Persoalan yang dipotret “Alibi” sangat banyak dan cenderung sarat persoalan. Persoalan yang diusung antara lain korupsi, penggusuran, fenomena budaya kejahatan yang amat dekat dengan realita sekaligus sulit dijangkau terutama bila dilihat dari sudut pandang keluarga yang tidak punya akses langsung dengan kekuasaan..
Lelaki yang berbicara dengan dirinya sendiri dihadapan penonton menyebut dirinya seorang intelektual,kepala keluarga ,bercitra bersih dan berusaha mensterilkan keluarga dari pengaruh pikiran luar termasuk korupsi, korban penggusuran dan digambarkan menjadi seseorang yang menyerahkan berkas pledoi yang membela dirinya sendiri bersih sekaligus melaporkan atasanya di pengadilan dan menyerahkan bukti-bukti korupsi. Anak mantan pelacur. Kuatkah ia melawan arus deras di luar dirinya itu?
Semua permasalahan yang dialami lelaki itu menurut persepsi saya bermuara dari seorang tokoh yang memilih hidup miskin dengan jalan menolak korupsi, digambarkan rumahnya akan dirobohkan bulldozer ( dalam waktu dekat akan digusur). Tentu saja hal tersebut menimbulkan kecemasan tersendiri padahal di satu sisi dia sudah merasa mempunyai ideology pribadi yang mantab antara lain adalah meneguhi sikap anti korupsi dalam tafsirannya sendiri meski konsekuensinya harus hidup miskin. Kecemasan-kecemasan pikiran ini tampaknya yang menjadi sasaran garap si penulis dalam karya Alibi ini.
Sebagai sebuah monolog “Alibi” merupakan sebuah karya yang amat panjang. Panjangnya monolog menuntut kecerdasan dan enersi pemainnya apalagi lanturan-lanturan pikiran yang dipakai didasarkan pada masalah sehari-hari kita yang sering kita bincangkan pada level “kata-kata” dekat dengan realita dalam arti masalah-masalah yang diangkat tidak begitu saja gampang dipecahkan dan solusi yang memuaskan semua pihak hampir dapat dikatakan tidak ada. Hal tersebut tentusaja berpengaruh pada uraian-uraian pikiran yang terasa berat namun dapat dinikmati.
Dalam beberapa hal masalah korupsi yang diusung terkesan datangnya begitu tiba-tiba begitu juga pembuktian terbalik masalah korupsi, dibuat terpatah-patah mungkin untuk mencari gambaran bahwa pikiran manusia sangat tak terbatas bahkan seperti persoalan kita sehari-hari yang tak mampu kita pecahkan. Betapa absurdnya kehidupan kesadaran lelaki itu. Kadang ia ingin lepas dari semua persoalan yang mengimbas dirinya tapi bunuh diri bukan pilihannya.Dalam keadaan seperti itu oleh penulisnya Jai justru dimanfaatkan untuk memindahkan suara hiruk pikuk di dunia luar yang diharapkan dapat membuat dan memberi kesan kuat dalam monolog ini. Lihat dalam pilihan diksinya PINTU, SEPATU, KURSI, BOLA KERTAS-KERTAS . Kadang dia berbicara mewakili diri sendiri kadang mengatasnamakan Rakyat yang menghadapi koruptor. Peminjaman idiom wayang tampaknya dimanfaatkan untuk memudahkan penjelajahan jiwa tokoh.
Monolog “Alibi” ini berusaha mengangkat antara lain ideologi “malu tapi bangga” yang belum umum di masyarakat. Malu karena sang lelaki ini sekolahnya tinggi sampai ibunya miskin membiayai sekolahnya akan tetapi tetapi sebagai anak ia tetap jatuh dalam kemiskinan karena sengaja memilih hidup miskin; akantetapi ia bangga pada dirinya sendiri karena ia bisa berbeda dengan lingkungannya yang dianggapnya korup. Sesuatu yang kecil yang idealnya memang senantiasa diupayakan menurut penulisnya harus dimulai dari keluarga inti.Ada pengharapan lebih jauh mengapa penulis monolog ini memilih wacana dari keluarga inti. Dimungkinkan pengaruhnya akan terasa meluas dari keluarga kekelompok orang, masyarakat bahkan dalam tataran nation. Meski kadang diakuinya (Si Lelaki) ada tarikan-tarikan sesuatu yang menggiurkan laksana seorang gadis memamerkan tubuh dan wajahnya didepan lubang kunci pintunya akan tetapi gambaran itu langsung berubah menjadi wajah keprihatinan ibunya yang sudah tua yang digambarkan datang malam-malam.
Suasana ironis berusaha dibangun lewat uraian-uraian yang cukup panjang dibantu dengan perangkat tata panggung dan idiom wayang yang tampaknya senantiasa difokuskan untuk mengangkat kesiasiaan manusia dalam pertarungan hidupnya melawan sesuatu di luar yang dimauinya. Setidaknya “Alibi” ini menunjukkan pada kita dalam kesia-siaan ada seonggok keteguhan.
Representasi yang dibentangkan dalam “Alibi” mengarah pada dualisme komplementer dalam jatidiri manusia dan kemanusiaan yang dapat ditemukan dalam jati diri lelaki itu. Tunjuklah beberapa hal seperti ini: dalam kemiskinan ada kekayaan batin, dalam kekayaan ada kemiskinan batin; didalam godaan terdapat pencerahan; dalam pencerahan jiwa terdapat godaan dunia; dalam kejahatan ada kejujuran.
Tampaknya Jai penulis monolog ini berusaha menggerogoti pikiran kita sehari-hari secara perlahan namun pasti bahwa setidaknya ada maknanya kita hidup berkeluarga dengan memperjuangkan sesuatu yang belum tentu mendapat dukungan sekitar /lingkungannya tapi setidaknya dari keluarga ini kita telah berani mengambil resiko pilihan hidup sekalipun pahit.
Monolog karya Jai menuntut ketekunan menyimak sekaligus respon dalam panggung agar kita tidak kehilangan tempat berpijak karena monolog ini memakan waktu lama dalam pementasannya. Banyak renungan akan terbawa setelah menonton pementasan monolog ini. Selamat menonton dan selamat bergulat dengan lanturan pikiran khas Jai ini

* Staf pengajar di Fakultas Sastra Universitas Airlangga