
Mempertanyakan ALIBI
Oleh Zeus NUman Anggara
SEDIKIT berbeda dengan pementasan-pementasan yang pernah dipertontonkan di Surabaya, kali ini datang naskah monolog Alibi yang penonton diajak untuk menyiapkan apresiasi tanpa harus berkerut kening. Lakon ini mengusung persoalan jati diri manusia di tengah konflik-konflik kepentingan yang menggerus kesadaran masyarakat modern. Perkara korupsi, rumah tangga, agama dan sebagainya di lontarkan dengan cara riang nan menggemaskan.
Mementaskan monolog dengan naskah padat bukanlah pekerjaan mudah bagi aktor yang hampa visi akan keaktoran. Tuntutan untuk mengolah intonasi, gestur, penjiwaan teks yang terus terfokuskan pada satu orang dia atas panggung jelas hanya bisa dipercayakan pada aktor nekat. Menguasai naskah dibedakan dengan menghapal laporan atau tulisan yang ditujukan untuk dibaca. Naskah drama sepenuhnya ditulis demi pementasan yang pada akhirnya akan menentukan nasib naskah itu sendiri. Alur dan kerangka lakon lebih mirip partiturdengan kemungkinan penafsiran musik dimana bagian pembuka, pertengahan dan akhir disusun sedemikian rupa sehingga penampil mampu merasakan getaran-getaran secara langsung pada notasi-notasi yang mengalir. Aktor disini mengambil peran seorang musisi yang keluwesan dan ketangkasannya dipersanding-bandingkan dengan naskah, yang kemudian diambil kesimpulan apakah nilai dari performa sebanding dengan naskah. Salah satu dari keduanya, naskah atau penggarap (aktor, sutradara, dan sekalian awak panggung), saling mengangkat atau menjatuhkan.
Tidak ada hukum pasti akan naskah monolog yang ideal. Satu kesempatan dalam menilai naskah semacam ini: apakah terdapat ruang gerak untuk trauma bagi aktor? Naskah monolog menjadi khotbah atau katekismus apabila teks-teks didalamnya ditulis uintuk mengendalikan momon-momen subyektif aktor. Kata dalam drama tidak selentur nada dalam musik. Kata dalam drama memiliki analogi dengan fenomena-fenomena tekstual an sich , terlebih apabila aktor terpaku pada naskah-naskah beku. Bahkan reportoar juga tidak dapat disamakan dengan drama meski keduanya di permukaan memiliki kemiripan. Ini mengingat bahasa dalam keaktoran memantul kedalam personalitas bukan berhenti pada wicara. Rampatan-rampatan fakultas mental menuntut keterlibatan yang lebih krusial, sehingga naskah-nasakah dengan kepedulian rendah pada persoalan ‘ada bagi dirinya’ (l‘etre pour soi) seorang individu cenderung mentah apabila dipentaskan. Naskah yang miskin pengertian tentang jalinan kesadaran dan ketidaksadaran dalam eksistensi manusia menjadi artifisial karena berhenti pada keputusan-keputusan melumpuhkan: manusia yang difenisikan.
Mengalami panggung adalah memproyeksikan tubuh ke ujung-ujung persoalan dari sebuah tema pementasan dalam temporalitas yang kongkrit dan manifestatif. Tubuh tidak dapat tidak merupakan media utama seorang aktor. Tubuh mengundang persepsi audiens lewat bukan sekedar mesin yang bergerak sesuai hukum sebab akaibat. Dinamisasi tubuh merupakan akumulasi kehendak dan dipahami sebagai modus fenomenologis dibanding sebagai konsistensi fungsional. Artinya; tidak ada yang identik, tidak ada generalisasi, sepenuhnya menolak peniruan. Tidak ada aktor yang dapat mengkonsepsikan aktingnya dengan definitif kecuali sekedar gambaran hubungan samar-samar antara adegan dengan kelahiran baru manusia. Seiring pernyataan Artaud: “Saya mesti memiliki aktor-aktor yantg merupakan awal dari semua keberadaan, dengan kata lain, yang diatas panggung tidak takut akan sensasi sentuhan sebuah pisau dan amuk-ronta - yang mutlak nyata bagi mereka- dari sebuah kelahiran yang diinginkan ( a supposed birth). Tentu saja ungkapan diatas tidak ditujukan untuk pertunjukan akrobat, melainkan kepenuhan mental saat tubuh merupakan logika kehendak.
Pentas monmolog mirip lubang kecil yang dari sana diharapkan audiens dapat mengintip lanskap luas pikiran. Aktor memerankan ketunggalannya, mengoreksi kembali ingatan, ketakutan, maupun ilusi-ilusi biografis. Mempersoalkan ingatan sama saja dengan membuat persetujuan atau pengingkaran. Keduanya adalah kejadian yang yang berputar-putar dalam karakter Lelaki pada naskah S. Ja’i ini. Ketakutan yang diidap sang tokoh dapat dilihat kembali sebagai keterjeratan individu dalam reduksi-reduksi kolektif yang mendefinisikan pikiran dan tubuhnya melalui representasi diri yang tercerai berai. Pada suatau saat ia menjadi orang kantoran yang disiplin, di saat lain menjadi santri kurang ajar.
Salah satu peluang yang dimiliki pementasan monolog adlah kesempataan untuk mengurai kisah manusia secara tuntas dengan kemasan ‘minimalis’. Semuanya diserahkan kepada seorang aktor untuk mengaktualkan riwayat dan peristiwa melalui dialog dalam, baik sisi rasional atau absurd.
Ada beberapa resiko dalam memainkan naskah monolog. Diantaranya, kemungkinan penonton tidak dapat merasakan muatan naskah ( pesan, alegori, dan strkur) apabila aktor hanya keranjingan untuk menampilkan individualitas dari sisi permukaan. Kecenderungan ini sepintas kelihatan wajar, karena monolog bisa dikatakan sebagai pentahbisan seorang aktor. Yang menjadi masalah, keinginan mengekspresikan diri tanpa melihat kedalaman karakter tokoh yang sebenarnya menjadi substansi monolog dapat terkesampingkan. Jadilah pementasan itu sekedar panggung dengan seorang cerewet diatasnya yang cuma tertarik dengan ocehannya sendiri. Selain itu, musik dan setting jelas merupakan bagian penting sebuah pertunjukan yang akan membangun kosmologi panggung, tidak terkecuali monolog. Mengingat pengertian bahwa fokus utama monolog adalah aktor, dimana akar pertanggung-jawaban kemudian pembetuk mise en scene lainnya dinomor-duakan.
Komentar ini lebih bersifat teknis dan tidak ada hubungannya dengan kesempurnaan pertunjukan. Ini bukan sesuatu yang resmi, hanya untuk memberi sedikit cara pandang tentang presisi. Dan bermain memainkan teater dengan pas berbeda artinya dengan bermain dengan ukuran-ukuran resmi, betapun itu berupa teater realis.
Menonton monolog, apabila tokoh yang muncul seorang anti-hero, audiens akan lebih mampu menangkap substansi pertunjukan. Karena yang terangkat kemudian berupa pertentangan antara moralitas di sisi penonton melawan katarsis dia atas panggung. Kondisi ini memiliki potensi untuk menguat dalam monolog. Penonton mrupakan sejarah yang sifat linear maupun keterputusannya disatukan oleh seorang aktor dalam suatu durasi panggung. Karakter tokoh kepadatannya, secara paradoks, dapat diukur dengan melihat sejauh mana mampu mencairkan geneologi moral dalam dirinya sendiri. Dari sini, efek untuk menenggelamkan sejarah nilai yang dijadikan referensi penonton berlangsung dalam intensitas tinggi dan total. Ini yang menjadikan lebih pentingnya ejekan-ejekan subtil, guyonan cerdas, atau parodi daripada gaya gegap gempita. Ironi bukanlah kritik seperti layaknya propaganda atau pamflet-pamflet, ia merupakan kontradiksi yang direstui stelah merasa diperlukannya revisi kekuatan kehendak yang bercampur dengan perasaan ingin tertawa. Tokoh Lelaki disini merupakan salah satu upaya untuk menjungkirbalikkan nilai-nilai itu dengan tampilannya yang komikal dan tragis.
Kekutan kata bukanlah energi utama dalam pementasan drama. Mengemas naskah menjadi tontonan yang menarik membutuhkan usaha lebih dari sekedar memindahkan barisan huruf-huruf ke vokalisasi. Naskah drama, meski dapat dilihat sebagai naskah baca, disusun untuk dipentaskan. Bukan bermaksud mengidealisasi, tetapi aktor memulai pekerjaannya dengan menginternalisasi struktur heuristik dalam pembacaan seorang aktor, bukan pembaca biasa. Membaca naskah merupakan usaha menangkap ego yang mengendap-endap dibalik kata dan kemudian menggemakan dirinya lewat konstanta psiko-fisik. Konstanta yang mana menjadi arus kesadaran sang tokoh.
Karakter Lelaki dalam naskah Alibi merupakan wujud konversi emosi-emosi yang telah tertahan sampai batas yang dapat ditanggung seseorang. Ia membentuk ruang-ruang pribadinya dengan anarkis, sementara itu kenyataan sosial memiliki aturan mainnya sendiri yang sengat represif. Ia mencari alasan-alasan untuk mengabadikan kekecewaan dan perilaku anti-sosial kesukaannya. Alibi menawarkan parodi realis diwarnai ornamen-ornamen simbolik dan variasi tradisi lokal. Pengemasan multi-perspektif seperti ini sedikit banyak memberi peluang bagi penonton untuk tidak terpaku dalam visualisasi pentas realis. Kejutan-kejutan dijamin muncul karena aktor akan banyak berimprovisasi tanpa harus merusak naskah keseluruhan, dan naskah ini tampaknya mengizinkannya. Dengan iringan musik parodi, yang secara eksplisit disebut demikian dalam naskah, pentas ini dapat menjadi hiburan segar yang penonton tidak perlu meragukan kejahilannya.
Sebagai pementasan alternatif, monolog yang dibesut S. Ja’i ini dapat dijadikan sebagai model pengkoreksian teater realis. Putu Wijaya pernah mengatakan, teater realis di Indonesia datang sebagai penumpang asing yang langsung main kayu, dikontaminasi dan mempengaruhi tradisi-tradisi teater yang ada. Alibi menunjukkan sebaliknya: teater tradisi mempengaruhi teater realis.
*Penulis adalah mahasiswa manula di Universitas Darul Ulum Jombang
Kadang-kadang ikut teater.