Jumat, 26 September 2008

kliping

Jawa Pos Senin, 11 Agustus 2008

Antara Rokok, Etika, dan Psikopat
S. Jai, Anggota Tim Advokasi Center for Religious and Community Studies Surabaya

---

Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (Raperda KTR-KTM) di DPRD Surabaya belum menuju titik terang, bahkan cenderung alot. Banyak tarik ulur tanpa landasan riil, meski telah berjalan satu tahun lebih.

Bila tarik ulur itu berkepanjangan, makin banyak kalangan yang dibuat waswas, terutama masyarakat yang memimpikan perlindungan dari para perokok. Mereka semakin tidak mengenal etika.

Padahal, bila Raperda KTR-KTM digedok, prestasi justru akan dipetik para anggota dewan. Itu berarti mereka telah menunjukkan komitmen dalam memegang amanat rakyat karena telah mengeluarkan perda yang pro-wong cilik.

Sejumlah peraturan, seperti yang diterapkan di Jakarta dan Bogor, memang sedikit banyak telah menunjukkan kepedulian terhadap perilaku para perokok. Tapi, peraturan tersebut masih setengah hati. Perda-perda itu masih masuk kategori lex-generalis, menumpang di Peraturan Pengendalian Pencemaran Udara atau Ketertiban Umum.

Sementara itu, perda yang saat ini digodok anggota dewan Surabaya masuk kategori lex-specialist, perda yang khusus mengatur KTR-KTM.

Ada aspek rumit, unik, dan menarik pada Raperda KTR-KTM tersebut, yaitu masalah etika. Itu salah satu alasan mengapa terkadang persoalan merokok terkesan peka dan melibatkan hampir semua elemen masyarakat. Mari kita berfantasi menyambut Perda KTR-KTM dengan mengedepankan soal etika dan pentingnya menghormati hak hidup sehat orang lain di tempat umum.

Akhir-akhir ini, istilah psikopat kembali populer setelah terkuaknya aksi jagal manusia Very Idam Heryansyah alias Ryan. Gangguan kejiwaan akut selalu dimaknai dalam pengertian negatif. Padahal, pengertian dalam psikologi, filsafat, sosial tak mesti demikian. Artinya, penjagal orang atau bunuh diri bukanlah satu-satunya indikasi. Setiap perilaku yang berbau nyeleneh atau menyimpang bisa disebut psikopat, bahkan mungkin dimaknai secara positif.

Atas dasar itu, baik pula bila kita mengadopsi psikopat demi semangat untuk berbicara masalah etika terhadap masyarakat perokok. Tak ada salahnya, penyokong Perda KTR-KTM diandaikan mereka yang antisosial, setidaknya bagi lingkungan pecandu rokok.

Global Youth Tobacco Survey membeber data, 78,2 persen dari total perokok adalah remaja. Di negeri ini, mitos rokok dalam pola pikir anak-anak muda adalah satu ekspresi tunggal tentang kejantanan, kegagahan, atau gaya hidup. Mitos yang secara sepihak gencar dilancarkan pabrik rokok melalui iklan-iklan mereka yang dengan gemilang berhasil menjungkirbalikkan kebenaran mengenai akibat kebiasaan merokok.

Bagi remaja, kebiasaan merokok memenuhi hasrat cepat menjadi lebih dewasa dari umurnya atau keinginan cepat tua atau tepatnya penuaan dini. Merokok dapat mempercepat usaha penuaan dini. Terjadi free radical pada saat aktivitas merokok, yaitu pemaksaan masuknya zat-zat asing yang tidak dibutuhkan oleh jaringan tubuh. Dalam catatan WHO dan berbagai jurnal media lain, terdapat 4.000 racun kimia berbahaya dalam asap rokok.

Memang, tidak semua perokok luluh-lantak organ-organnya akibat asap beracun itu. Sebab, setiap tubuh memiliki latar belakang kekebalan yang berbeda. Tetapi, setidaknya, tak satu pun data ilmiah, baik dari instansi medis maupun pabrik rokok, yang dapat membuktikan seseorang akan bisa tampil lebih cantik, lebih tampan, atau lebih sukses karena kebiasaan merokok.

Sebaliknya, salah satu spesialis kulit dan kelamin Rumah Sakit dr Soetomo, Dr Dwi Murtiastutik SpKK, mengungkap bahwa radikal bebas pada kulit justru jadi mesin perusak sel-sel kulit. Wajah berkerut, kering, bercak-bercak, kasar, kendur, dan memalukan. Seseorang dapat kelihatan sepuluh tahun lebih tua dari umur sebenarnya karena sebuah jalan penuaan dini akibat kebiasaan merokok.

Merokok di tempat umum, terutama di ruang-ruang tertutup, adalah salah satu ekspresi kemerosotan etika. Apalagi banyak perokok yang sering tetap pede dengan aksi merokoknya. Padahal, orang di sekitarnya mengekspresikan penolakan dengan berbagai penanda, mulai menutup hidung sampai terbatuk-batuk. Melihat fakta sosial seperti itu, siapa pun yang punya kerangka pikir, kerja, dan kontrol yang sehat tentu tergugah untuk berempati pada masalah etika bermasyarakat.

Perlu diingat bahwa etika merokok sama sekali bukan upaya pengebirian hak untuk merokok. Tiada pula usaha pemotongan pendapatan usaha industri rokok. Jauh pula dari kegiatan menghasut perokok atau mengklaim kelompok tertentu tak beretika.

Nalar Supel dan Kreatif

Yang sebenarnya terjadi ialah pentingnya kepedulian orang-orang yang bernalar supel, berpikir kreatif, dan bernaluri sense of change yang tinggi. Seandainya saja seluruh anggota legislatif kita para perokok berat, duduk seruang ber-AC dengan pejabat Dinas Kesehatan, sepaham dengan pentingnya Perda KTR dengan menggagas "traktat hitam di atas putih". Kiasan itu melukiskan betapa Perda KTR sebetulnya adalah produk manusia-manusia genius, yang dapat membaca gejala perubahan zaman.

Harapannya, bila kelak kemampuan masyarakat beretika itu pulih, bahkan lebih subur, akan menjadi fondasi moral. Boleh jadi, traktat itu kemudian kian berdebu atau dimakan ngengat. Tak mengapa, asal kemampuan masyarakat beretika telah pulih.

Barangkali, kitalah sang psikopat itu. Namun, psikopat yang lulus disiplin diri dari soal kepentingan pribadi, keluarga, profesional, dan masyarakat yang brilian di zaman modern. Seseorang yang tahu batas bunuh diri dan terus hidup. Menjadi politisi, anggota legislatif bukanlah takdir. Dibutuhkan rencana, disiplin, waktu, pikiran, pengetahuan, dan juga rupiah. Demikian pula menjadi pejabat pemerintah, perlu standar yang lebih dari sekadar biasa.

Disiplin dan rokok adalah soal yang sama sekali berbeda. Artinya, boleh dibedakan atau bebas sepanjang sanggup berkompromi dengan hak orang lain untuk menikmati wilayah umum dan memberi kebebasan orang lain untuk tidak terganggu. Pendeknya, orang-orang pilihan itu ada berkat kualitas pribadi, keluarga, juga masyarakat, bukan rokok.

Spirit itulah yang penting digagas dalam pembahasan Raperda KTR. Disiplin adalah fondasi membangun mental dan spiritual yang juga banyak berakar pada sumber-sumber sakral maupun profan. Agama, salah satunya, kukuh menetapkan disiplin melalui kewajiban puasa.

Betapa damainya kehidupan ini bila dalam keseharian ini, kita memegang prinsip disiplin seperti yang ditetapkan dalam kewajiban berpuasa. Hidup yang niscaya membuka kepekaan indra, intuisi, bahkan roh terhadap gejala fisik maupun metafisik atas masyarakat. Betapa pun terpaksanya puasa itu, atas nama agama, nilai-nilai solidaritas atau prinsip-prinsip mendidik yang terkandung di dalamnya adalah landasan mulia untuk menciptakan harmoni antara dunia sakral dan dunia profan.

Untuk itu, anggaplah bertebarannya pelbagai peringatan Diizinkan Merokok atau Dilarang Merokok, Bebas Merokok atau Bebas dari Rokok, Haram Merokok, atau Makruh Merokok sebagai penunjuk arah nama-nama kembang yang disegarkan di taman yang seharusnya disimak untuk dinikmati dan dijaga. (*)