Teror Terkendali
“Asap Bertuan”
Surya, Wednesday, 20 August 2008
SANG ayah merokok dengan sigaret mahal tapi anak cucu tulang iganya bergelombang karena mengidap gizi buruk. PEREMPUAN itu duduk di warung. Di dekatnya pasutri bercanda dengan balitanya. Lalu kepada si balita, wanita itu minta izin merokok. Bayi lucu usia lima tahunan itu mengiyakan. Fatalnya, orangtua balita itu diam saja. Inilah potret masyarakat kita. Perempuan itu berbakat jadi pecundang dan orangtua malas berperkara, meski bahaya mengancam keluarganya.
Boleh jadi sebagian kalangan beranggapan merokok masalah sederhana: ekonomi. Meski tak berarti merokok itu problem sepele untuk cukup dimengerti. Semisal saat kebutuhan gizi anak belum lunas, anehnya merokok serasa vakansi rohani orangtua. Tiada seorangpun yang bukan perokok diizinkan menikmati.
Belakangan masyarakat yang peduli, dapat pelajaran gratis benang ruwet itu dari alotnya pembahasan Raperda Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (KTR-KTM) di Dewan Surabaya. Bagi yang kurang peduli bolehlah berfantasi sejenak masuk ke ruang psikologi keluarga atau tetangga kita. Bukankah tak seorang pun diantara kita abai dengan keluarga sendiri, jikapun biasa cuek dengan tetangga?
Daya hipnotis iklan lebih banyak bekerja di luar ruang tamu keluarga. Gaya hidup konsumerisme kukuh menyeret masyarakat ke luar rumah selaku anak kandung zaman. Pulang rumah mereka punya orangtua baru yang bawel yaitu televisi. Apa kata televisi ia turuti. Hasrat merokok pun lengkap sudah--dukungan iklan dan “nasehat” orangtua untuk merokok dari hasil keringat sendiri.
Bagaimana dengan yang tak berumah, juga yang tak berpenghasilan cukup dibelanjakan rokok? Jawabnya cuma dua: Mendengar cerita nikmatnya aroma rokok dari orang lain. Atau menganggu orang lain demi meraih nikmat dengan merampas hak orang lain yaitu bersedia bertindak apa saja demi rokok. Termasuk menuruti 'bisikan' menjahati orang lain.
Kejadian yang terlampau biasa. Yang luar biasa, kita, juga anak-anak kita tidak menyadari hadirnya teror yang berwajah manis namun bengis: iklan-iklan di TV. Iklan TV lebih jadi idola daripada orangtua sendiri. Bahkan iklan menjadi jalan masuk “surga” bagi keluarga yang kering pengetahuan, apalagi yang melarat dari orientasi keseimbangan hidup--aman, nyaman jasmani maupun rohani, utamanya kebutuhan hidup sehat luar dalam.
Walhasil, kerapkali terjadi distorsi. Kesadaran palsu subur. Kemiskinan disulap, seolah tidak ada. Sang ayah merokok dengan sigaret mahal tapi anak cucu tulang iganya bergelombang karena mengidap gizi buruk.
Tapi jangan dikira, hanya masyarakat yang jadi korban teror. Kecuali bagi orang yang “sakit jiwa” melawan arus tak mau jadi korban sihir iklan.
Termasuk yang mendamba hidup sehat--diri, keluarga dan lingkungannya untuk tetap tidak merokok. Setidaknya yang melawan perokok, menolak sebagai perokok pasif, yang ternyata lebih berbahaya bagi kesehatan.
Penyelenggara pemerintahan pun setali tiga uang. Mereka korban termakan teror iklan terkendali. Iklan perusahaan yang merekrut orang-orang profesional di bidangnya. Jurus mabuk dimainkan, hingga merasuk, mengakar ruang paling dalam samudera bawah sadar manusia.
Apalagi hanya anak-anak muda yang kurang makan pengetahuan. Sangat gampang mengendalikan bawah sadar mereka, juga pikiran dan emosi jiwa golongan yang tengah bergolak (mencari jati diri?). Dimainkanlah sistem pengendali maut jargon iklan, gambar berteknologi canggih melampaui konten ruang bawah sadar kita.
Kalau mau jujur pemirsa TV, korban iklan di jalan-jalan pun sedang mendapat vitamin yang merangsang imaji, perasaan, intuisi, persepsi dan daya juang interpretasi di tubuhnya. Sayang bila kemudian hanya untuk jatuh ke kubangan lebih dalam.
Begitulah tergantung dari spirit dan kekebalan jiwa sehat kita menghadapi iklan dan pelbagai teror di luar rumah. Jangan biarkan ada virus yang masuk di tubuh kita, jiwa kita. Apalagi, kalau ada pikiran orang lain yang menyerobot masuk dan kita telah tahu mereka berniat jahat pada kita. Fatalnya, kondisi psikis kita makin dibuat pelik dan runyam ketika ada kompromi.
Pemerintah jadi rendah daya tawarnya sebagai pihak yang di satu sisi menjadi korban teror pengusaha dan di sisi lain harus jadi penjamin terlindungi hak-hak warganya untuk bebas dari teror. Teror telah akrab bahkan menundukkan diri, meski ada yang jadi bebuyutannya karena anti asap rokok.
Simak saja ketika iklan rokok total dilarang di media elektronik (PP 81 Th 1999) tapi ditebang dua presiden yang tidak merokok Gus Dur dan Megawati. Belakangan, dratf UU Pengendalian Dampak Produk Tembakau juga mental di parlemen. Buntutnya, pemerintah pun bermuka dua. Artinya di sisi yang kedua, menjadi bagian dari teror itu sendiri. Setidaknya, itu bukti bahwa tak bisa lepas dari belitan akar di sisi yang pertama--menjadi korban teror perusahaan rokok.
Andai pemerintah punya nyali memainkan ruang psikis, setidaknya pemerintah sanggup bereksperimen dan yakin bahwa melarang sama sekali iklan di jalan maupun di TV, hal itu tidak berdampak yang berarti pada upeti-upeti perusahaan rokok. Atau dengan menaikkan cukai rokok sehingga melambungkan harga sebatang rokok.
Eksperimen-eksperimen itu membutuhkan keberanian. Sayangnya, ciut nyali begitu dapat upeti cukai tahun 2006 saja Rp 37 triliun, enam persen dari total pendapatan pemerintah.
Cara sederhana, dengan masuk dapur logika pasar yang tidak bernalar itu. Rokok itu seperti narkoba, tanpa iklan pun pecandu tetap memburunya. Ibarat lagu Rhoma Irama, tahun 1980-an tanpa ada diiklankan pun laris seperti kacang goreng pada massanya--termasuk bajakannya.
Boleh jadi iklan-iklan itu hanya bersaing di kalangan rival sesama perusahaan rokok dan itu bukanlah urusan pemerintah. Mungkin benar menaikkan cukai rokok bakal menurunnya konsumen rokok, tapi bukan mustahil justru mensuburkan industri kecil pembuat rokok.
Justru rule of law-nya ada pada pemerintah bagaimana mengendalikannya. Seberapa peka merespon prediksi WHO bahwa 2020 rokok akan menyebabkan kematian penduduk dunia 8,4 juta jiwa pertahun. Hampir 50 persen terjadi di wilayah asia.
Berikutnya, momok pemerintah ancaman meningkatnya pengangguran bila peraturan terkait industri rokok diperketat. Mungkin ya mungkin juga tidak. Sinyalemen sosiolog Imam B Prasodjo itu hanya untuk menakut-nakuti pemerintah dan masyarakat. Pengalaman negara lain tidak ada perusahaan rokok yang bangkrut karena peredaran rokok dibatasi.
Mungkin benar. Mungkin juga salah. Dua hal yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Namun ada satu hal paling krusial terjadi di situ--mengapa para buruh pabrik rokok begitu dinistakan, dikambinghitamkan. Banyak yang telah tahu jawabnya, tapi tak punya nyali untuk menguraikan.
Sebetulnya, agamalah yang diharapkan berperan penting dan efektif menangkal pelbagai teror psikologis tersebut. Sayang, harapan itu entah mengapa di negeri ini menjadi sedemikian sensitifnya.
S Jai
Pengarang, Bekerja Pada Center for Religious and Community Studies (CRCS) Surabaya