Jumat, 26 September 2008

kliping

Nasib Perda KTR-KTM
Oleh: S.Jai *

MASA kerja Pansus Dewan Surabaya membedah Raperda Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (KTR-KTM) berakhir 2 Agustus lalu. Banyak masyarakat kecewa dan tak sedikit yang bersorak gembira, meski boleh jadi ada yang hanya bisa berempati menyaksikan pekerjaan itu terbengkalai.
Tidak hanya terjadi di masyarakat, LSM, kalangan akademisi saja, tetapi pro-kontra wajar pula bila terjadi di dewan dan pemerintahan. Sesuatu yang lumrah sebetulnya. Namun bagi yang amat berkepentingan dengan pembahasan masalah itu, tentu diliputi banyak kegelisahan, was-was dan di-kerubuti pelbagai pertanyaaan.
Terpenting, bagaimana kelanjutan nasib Raperda pertama di Indonesia sebagai pionir untuk melindungi hak-hak masyarakat dari bahaya asap rokok itu?
Sembari mencemaskan kinerja pansus yang ternyata dibentuk sejak lebih setahun lalu itu, utamanya kalangan LSM lantas mendorong kembali agar masa kerja pansus diperpanjang hingga dua bulan ke depan. Pertimbangannya, mengingat pentingnya Raperda itu mendesak untuk segera bisa perdakan dan disosialisasikan.
Belakangan, terlepas dari pro-kontra yang masih menggurita di kalangan dewan, isu mutakhir yang tercium adalah bakal repotnya membentuk lembaga kontrol yang independen bila Raperda disahkan. Alasannya, sudah menjadi rahasia umum hingga kini jumlah perda-perda yang berlaku menggunung tapi pelaksanaannya tak efektif. Tidak ada lembaga yang mengawal pelaksanaan peraturan, minimnya sosialisasi, pelaksanaannya yang tidak serius, dan masyarakat sering abai karena kurang peduli detail pasal-pasal perda yang berlaku. Hasilnya cuma termakan oleh waktu. Ditilik dari esensi masalahnya, isu itu bisa jadi terlalu apriori dengan masyarakat kota ini. Meski amat penting dicermati sebagai kepekaan naluri yang berwawasan jauh ke depan.
Ada beberapa alasan masyarakat, terutama jaringan LSM perlu kembali mendorong pembahasan tuntas Raperda KTR-KTM. Secara normatif Raperda itu kepanjangan tangan PP 19 Tahun 2003 tentang Pangamanan Rokok Bagi Kesehatan. Utamanya pasal 25 yang menentukan tujuh tempat kawasan tanpa rokok: tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah dan angkutan umum.
Pertimbangan lain, diyakini dan dipercaya Raperda KTR-KTM bakal sanggup mengurangi bahaya yang ditimbulkan asap rokok bagi kesehatan masyarakat. Laksmi Wulandari, Spesialis Paru RSUD Dr Soetomo memberi ilustrasi, pada 2006 sebesar 90 persen pasien paru memiliki riwayat merokok. Dari 17.982 pasien 1.771 paru-parunya molor, 760 kanker paru dan 7286 penderita tubercolusis.
Kendati boleh dibilang terlambat, akan tetapi bukan ekspresi sikap, bila banyak kalangan masyarakat mendesak pimpinan DPRD Kota Surabaya agar kembali memperpanjang masa kerja Pansus KTR-KTM. Sudah barang tentu juga diingatkan agar mendorong kinerja anggotanya untuk membuahkan hasil yang sesuai aspirasi masyarakat.
Amat rasional manakala kelompok masyarakat, LSM, akademisi yang peduli dan sadar pentingnya pelbagai aspek tinjauan pengetahuan kesehatan, sosial, agama, psikologi, kemudian menghendaki Perda ini mulus. Kendati masuk akal pula semangatnya terdorong karena keterbatasan daya tawar jika harus memberlakukan norma itu pada publik. Toh sebatas apapun yang terakhir ini tetap dilakukan—setidaknya terhadap lingkungan sekitarnya.
Banyak pelajaran bisa dipetik dari situasi mandeg seperti ini. Setidaknya, bisa kembali dicari subtansi dari diberlakukannya suatu perda. Apalagi perda ini sarat dengan sentuhan norma yang berlaku di masyarakat, atau tepatnya “tradisi” tertentu yang amat sensitif disoal, bahkan oleh kelompok masyarakat itu sendiri. Khususnya bagi masyarakat perokok.
Secara teoritis peraturan dibuat dengan tujuan membangun tatanan norma yang lebih bagus dari keadaan sebelumnya. Sebuah upaya yang meski siapapun bertanggungjawab atas hal itu, namun ketika berhadapan dengan kepentingan pemerintah, tak sedikit pihak yang kemudian berat untuk mengamininya. Seberapa pun besar usaha pemerintah top down effect, apalagi ketika kepercayaan terhadap pemerintah itu menurun, akan bergerak ke wilayah politik. Buah masalahnya seringkali menjadi mentah.
Indikasinya, dalam sebuah peraturan barangkali bisa dilihat pada kualitas sanksi atau ancaman hukumannya. Raperda KTR-KTM ini dibuat dengan semangat membangun norma “menghimbau” yang tentu berbeda dengan bentuk peraturan yang sifatnya “melarang.” Keberbedaan ini sering terlihat dari ancaman sanksi yang ditetapkan dalam peraturan tersebut. Secara politik, pemerintah disahkan memberlakukan Perda normatif seperti ini, dan tentu juga mempertimbangkan sanksi bagi pelanggarnya atas nama kepentingan publik, orang banyak. Bukan demi sekelompok masyarakat, golongan, komunitas, partai, atau kepentingan tertentu—apalagi yang beraroma SARA.
Tentu saja pengertian politik disini, politik yang ideal, profesional dan demokratis. Bukan politik dalam pengertian kompromi, taktik strategi, (deal dagang sapi) demi mencapai tujuan kelompok tertentu. Tanpa pijakan yang kuat dalam cara berpikir politik seperti ini, para penyelenggara pemerintahan legislatif, eksekutif, dan yudikatif tentu akan shock atau bahkan enjoy, dihadapkan pada sejumlah kepentingan. Taruhlah dalam kontek ini antara kepentingan perokok dengan bukan perokok, pengusaha dengan penguasa.
Jadi penyelenggara pemerintahan harus menawarkan seperangkat pertimbangan yang bertanggungjawab, rasional dan profesional dalam menggodok Raperda normatif ini. Mengingat penyelenggara pemerintahan bukanlah satu-satunya yang bertanggungjawab atas kelangsungan hidup subur sebuah norma di masyarakat.
Bahkan kalau mau jujur, sebagai organisme yang hidup, masyarakat memiliki kepekaan sendiri tentang haknya, kebebasannya, tanggungjawabnya. Norma di pelbagai komunitas masyarakat itu barangkali berbeda-beda, namun dari perbedaan itu masing-masing memiliki kesanggupan yang tinggi untuk memperjuangkan kebebasannya. Termasuk dalam masalah dampak sosial dan kesehatan akibat rokok. Ada persoalan pelik dan komplek yang terjadi bila sense of ethic masyarakat anjlog.
Apabila peran masing-masing, masyarakat dan penyelenggara pemerintahan sepaham, barangkali yang terjadi ibarat pacuan kuda di gelanggang terbuka. Saling berlomba untuk melindungi hak-hak publik dari pelbagai pintu. Bukan hanya dalam hal kualitas, kuantitas, tapi juga siapa yang dahulu dialah yang dapat. Semisal wilayah bebas rokok seperti kawasan rumah sakit, sekolah, tempat ibadah semestinya sudah mutlak dan tak bisa ditawar. Namun untuk wilayah lain seperti lembaga pemerintah, perkantoran, mall, restoran, hotel bahkan perumahan, atau dalam etika-etika profesi tertentu bisa merebut untuk lebih dulu memberlakukan semacam kawasan tanpa rokok atau kawasan terbatas rokok dengan sanksi sosial atau hukuman yang beragam bisa diterapkan.
Marilah kita melihat sisi positif Raperda KTR-KTM dalam menciptakan harmoni. Meski bukan satu-satunya yang berperan, tapi penyelenggara negara legislatif, eksekutif dan yudikatif sangat penting mengukuhkan norma-norma masyarakat. Sebagai perumus, pelaksana dan pengawas peraturan-peraturan.
Artinya, bila negara yang telanjur diberi amanah membangun kualitas hidup yang lebih baik tak menggunakan sebaik mungkin—apalagi cenderung mengabaikannya—maka hak masyarakat untuk membangun “negara” lain di dalam negara ini silakan cepat diambil. Jika seluruh perangkat telah tersedia, lantas tentu bisa diprediksi siapa yang ngunduh puji dan panen caci. Siapa takut?[]

Kompas, 26 Agustus 2008
*) Penulis adalah pengarang, anggota tim advokasi Center for Religious and Community Studies (CRCS) Surabaya.