Jumat, 26 September 2008

kliping

Menggugat Dana Bagi Hasil Tembakau
Oleh: S. Jai

ORANG TUA yang bijak akan berpesan kepada anaknya, "Jadilah orang yang punya pilihan dan berani berkata tidak." Bung Karno meradang, "Mana dadamu, ini dadaku!" Penyair Sutardji Calzoum Bachri berkata, "Beri aku puncak untuk mulai lagi berpijak." Masih banyak petuah tokoh-tokoh besar yang bisa dibariskan demi memupuk sikap hidup yang spektakuler.

Ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan, atas nama pemerintah, membagi dana bagi hasil (DBH) tembakau Rp 200 miliar ke lima daerah penghasil tembakau, dia mengangkat dagu. Barangkali dia lupa bahwa dirinya tidak sedang berusaha menyentuh kehidupan rakyat kecil dengan uang itu.

Bahkan, dia sendiri yang meneken Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.07/2008 tentang Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau. Sebuah peraturan yang tegas-tegas menunjukkan komitmennya pada "perolehan cukai rokok yang lebih besar dari tahun ke tahun."

Sepintas memang tidak ada yang salah dengan cara sang menteri menumpuk pundi-pundi uang negara. Namun, bisa diduga sang menteri berikut stafnya kurang memahami bahasa Indonesia dengan baik. Atau, bukan mustahil pula peraturan menteri itu justru menunjukkan mereka terlampau cerdas berbahasa Indonesia, sehingga ada kesengajaan membiaskan artinya.

Tengok saja kata "Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau." Rasa bahasa dari kata itu sangat mungkin sebetulnya terkait sasaran masyarakat kecil sebagai penyeimbang dari nilai cukai rokok yang mencapai triliunan rupiah, yang diterima pemerintah dari pabrik-pabrik rokok di seluruh Indonesia. Data 2006 menunjukkan, angka cukai rokok mencapai Rp 37 triliun dan pada 2007 menjadi Rp 43,8 triliun. Tapi, bayangkan bila dari perolehan upeti sebesar itu negara perlu mengeluarkan Rp 167 triliun untuk menangani penyakit yang ditimbulkan rokok. Fatalnya, sebagian besar korban pabrik rokok dialami masyarakat miskin.

Informasi lain, hasil survei Komisi Nasional Penanggulangan Masalah Merokok menyatakan bahwa biaya kesehatan yang terkait masalah rokok mencapai Rp 14,5 triliun. Bahkan, data Indonesia Tobacco Control Network menyebut biaya kesehatan terkait rokok mencapai Rp 81 triliun. Berarti, pemasukan yang diperoleh negara dari cukai rokok tidak sebanding dengan biaya kesehatan yang ditanggung warga dan pemerintah.

Itu sekadar gambaran. Kenyataannya, tahun ini, sesuai penyampaian Menteri Keuangan, Jawa Timur memperoleh dana bagi hasil (dana alokasi cukai hasil tembakau) Rp 135,849 miliar. Terhadap uang itu, sangat mungkin mereka yang mempertimbangkan rasa kemanusiaan terhadap masyarakat kecil lantas "membelot", meski itu berarti mereka mungkin kemudian dikategorikan koruptor alias menyalahgunakan aliran dana. Sebab, aliran dana tidak sesuai Peraturan Menteri dan UU No 39 Tahun 2007 pasal 66A (1), bahwa bagian hasil cukai dan hasil tembakau dipergunakan untuk ongkos lima jenis kegiatan. Yakni, peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri rokok, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberangusan cukai palsu.

Hampir menjadi rahasia umum bahwa aliran deras dana-dana tersebut semakin ke hilir semakin tersedot. Seperti diketahui, 30 persen dana diberikan kepada pemerintah provinsi, 40 persen kepada daerah penghasil, dan 30 persen dibagikan kepada seluruh kabupaten atau kota di Jawa Timur, yang tentu saja bukan daerah penghasil.

Yang terakhir ini, barangkali, bakal mengunduh soal tersendiri karena menyimpang dari ketentuan. Ke mana kemudian arus dana itu mengalir bila tidak terkait masalah tembakau? Atau, bisa pula hal ini ibarat sebuah keajaiban yang diterima daerah yang bersangkutan sebagai "keuntungan yang tak terduga." Tentu menjadi luar biasa bila, pada praktiknya, dana ini sanggup menyentuh langsung warga miskin. Meski, ini masalah klasik, lebih banyak yang kurang percaya daripada yang percaya.

Yang memprihatinkan adalah ketika dana-dana itu mengalir ke daerah-daerah penghasil tembakau dan pemerintah, yang terkait dengan cukai dan sebagainya. Memprihatinkan karena, di antara kelima jenis kegiatan yang dibiayai dari dana alokasi cukai tersebut, tidak satu pun yang menyebutkan untuk kegiatan perawatan kesehatan bagi penderita sakit yang disebabkan oleh rokok. Padahal, secara pertimbangan rasa kemanusiaan, sepantasnyalah dana cukai itu semacam "jasa-jasa baik" (kalau bukan "penebus dosa") perusahaan rokok yang mengisap kesehatan konsumennya hingga titik paling menderita.

Sayang, Menteri Keuangan telanjur mengangkat dagu ketika berniat menggelontorkan Rp 200 miliar dana itu. Ada semacam rasa bangga ketika hal itu menyebabkan pemerintah daerah, terutama daerah-daerah penghasil tembakau dan produsen rokok, tidak punya pilihan kecuali melayani industri rokok. Pilihannya hanya satu, membuat industri-industri besar rokok bersimaharajalela di daerahnya dan pemerintah menjadi silau dengan upeti besar yang sebetulnya, dari sisi kesehatan, jelas-jelas menggerogoti jasad masyarakat.

Hebatnya, masyarakat telanjur punya slogan yang ditelan pemerintah, "Uang bukan masalah dibandingkan kesehatan." Sialnya, slogan itu benar-benar terjadi dan bukan sebagai antisipasi. Hasilnya, kesehatan masyarakat keropos karena merokok, tapi uang juga banyak keluar dari kantong.

Lihat saja fakta dari Laksmi Wulandari, dokter spesialis paru RSU dr Soetomo, bahwa 54 persen pasien Poliklinik Paru RSU dr Soetomo menderita berbagai penyakit paru karena merokok. Pada 2006 tercatat 17.982 pasien datang ke Poliklinik Paru, hampir 90 persen memiliki riwayat merokok. Setiap tahun, sekitar Rp 7,5 miliar dikeluarkan rumah sakit ini untuk pengobatan pasien kanker paru stadium terminal yang disebabkan oleh rokok. Ini hanya data di RSU dr Soetomo, belum rumah sakit dan puskesmas lain di Jawa Timur yang jumlahnya ratusan.

Atas dasar itu, bila daerah bukan penghasil tembakau atau rokok memperoleh dana, mengapa daerah penghasil tak punya nyali untuk menggugat dana-dana itu agar mengalir bukan untuk kepentingan konglomerasi rokok dan pemberantasan cukai palsu? Memiliki pilihan nyali untuk menggugat ini penting bila tak ingin keadaannya kelak lebih runyam. Intinya, kesiapan mengembangkan spirit hidup masyarakat kecil yang lebih positif, sehat, dan kreatif.

Bayangkan, dengan keadaan yang lebih runyam, korupsi merajalela, terlepas dari tujuan baik atau buruk. Terlebih lagi bila kelak Rancangan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang digodok pemerintah pusat bisa mulus. Betapa persentase dua persen dana bagi hasil seperti yang sekarang diterima daerah kemudian bisa mencapai 25 persen dari nominal total cukai yang dihasilkan daerah. Hal itu bukan mustahil terjadi dalam waktu dekat.

Pertanyaannya, apakah lantas UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bisa cukup anggun bagi masyarakat miskin? Atau malah sebaliknya, justru berpeluang bersikap angkuh? Dua-duanya bergantung tidak saja pada rasa manusianya, tapi juga kepastian peraturan perundangan yang diberlakukan. Pejabat-pejabat pemerintah tidak bisa seenaknya yakin membela dan memperjuangkan masyarakat kecil yang miskin, bila kemudian hukum malah menyebut hal itu sebagai korupsi. Apalagi bila sebaliknya, aturan perundangannya telah melindungi masyarakat kecil, tapi pejabatnya yang terlalu cerdas berhasil menyiasati.

Yang terakhir ini, sepertinya, telah menjadi keahlian sebagian besar pejabat kita. Menjadi raja-raja kecil di daerah justru ditunjang peraturan perundangan yang mengandung bias makna. Kepada mereka, perlu disodori kenyataan tanpa sayap seperti ini. Masyarakat keluarga miskin merupakan konsumen rokok terbesar (73,8 persen), di samping remaja (78,2 persen). Survei Indonesia Forum on Parlianmentarians for Population and Development (IFPPD), di antara 19 juta keluarga miskin di Indonesia, 12 juta ayah keluarga miskin adalah perokok. Jika sehari rata-rata 10 batang rokok diisap, berarti mereka membelanjakan Rp 23 triliun per tahun untuk rokok.

Jika tak hendak terus menjadi bulan-bulanan industri rokok dan pemerintah karena tak punya pilihan, silakan menggugat aturan cukai untuk cukai. Kepada siapa? Entahlah. Tapi, setidaknya angin surga telah ditebar dari pusat. Ketua Pansus RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Harry Azhar Aziz melempar dua opsi. Pertama, daerah diberi kewenangan menaikkan 25 persen cukai rokok. Kedua, mendongkrak pajak melalui harga di tingkat pengecer toko atau supermarket dengan persentase yang sama. (soe)


Jawa Pos Selasa, 16 September 2008



Anggota Tim Advokasi pada Center for Religious and Community Studies (CRCS) Surabaya