Sukses Pendidikan Sesat Pikir:
ORANG MISKIN BAKAR DUIT Rp 23 TRILIUN
Sardiyoko*
ADA ketidakseimbangan informasi yang diperoleh masyarakat terhadap persoalan rokok. Di satu sisi informasi yang berhubungan dengan ajakan untuk merokok begitu mudah diakses, bahkan seringkali ditampilkan dalam bentuk yang hiperbola untuk menarik perokok-perokok pemula agar menjadi perokok aktif. Di sisi lain, informasi tentang akibat yang ditimbulkan dari merokok sangat sulit untuk didapat bahkan cenderung untuk ditutup-tutupi.
Ketimpangan akses informasi ini menurut penulis dibangun secara struktural dengan melibatkan elemen-elemen pembuat kebijakan dengan tujuan komersial yang melupakan aspek kemanusiaan.
Lihat saja Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Pasal 46 (3). Dalam huruf b disebutkan bahwa siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif. Sedang di huruf c disebut tidak diperbolehkan mempromosikan rokok dengan memperagakan wujud rokok. Dalam artian pada huruf c ini, iklan rokok masih diperbolehkan asal tidak memperagakan wujudnya. Padahal rokok mengandung zat adiktif, yang jika mengacu pada huruf b tidak boleh diiklankan.
Menurut penulis pasal ini sepertinya dibuat untuk membangun anggapan bahwa rokok tidak mengandung zat adiktif sehingga aman untuk dikonsumsi. Terlebih lagi dalam bab penjelasan tidak ada penjelasan tentang zat adiktif dan contoh-contohnya.
Jika mengacu pada Undang-undang No23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, yang disebut zat adiktif adalah bahan yang dalam penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis. Sedang salah satu bahan yang terkandung dalam rokok adalah nikotin sintesisnya bersifat adiktif dan dapat mengakibatkan ketergantungan. Dalam artian rokok dapat digolongkan bahan yang mengandung zat adiktif.
Tindakan tegas juga tidak pernah dilakukan oleh pemerintah terhadap iklan-iklan rokok yang menyesatkan. Seperti misalnya, iklan rokok yang menyatakan memiliki kadar Tar rendah sehingga aman untuk dikonsumsi. Padahal serendah apapun kadar Tar yang terkandung dalam rokok akan berbahaya bagi kesehatan. Karena Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat kersinogenik.
Di samping itu, perusahaan rokok tidak pernah mencantumkan dalam produknya tentang apa saja kandungan zat kimia yang ada dalam produknya. Tar hanyalah salah satu zat kimia yang ada dalam rokok, lalu bagaimana dengan zat-zat kimia lainnya yang terkandung dalam rokok yang jumlahnya mencapai empat ribu jenis?
Pembuatan isi undang-undang yang saling bertentangan sebagai bentuk kamuflase persoalan serta pembiaran penyesatan pemikiran inilah yang penulis sebut diatas sebagai sebuah kesengajaan secara struktural untuk tujuan tertentu dengan mengorbankan mereka yang tidak mengetahui atau dibuat tidak tahu.
***
SEBAGAI salah satu konsumen dan produsen rokok terbesar di dunia, seharusnya pengaturan terhadap penjualan rokok di Indonesia lebih diperketat. Perlindungan terhadap perokok pasif dan mereka yang berpotensi merokok seharusnya menjadi perhatian yang lebih serius dari pemerintah. Namun kenyataannya, hingga saat ini Indonesia satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FTCT).
Ketidakmauan pemerintah meratifikasi FTCT ini juga sebagai bentuk kesengajaan secara struktural untuk tujuan tertentu dengan mengorbankan mereka yang tidak tahu. Karena jika Indonesia meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau ini, maka akan terikat secara hukum dalam hal peningkatan cukai rokok, pengaturan komprehensif iklan, promosi, sponsor rokok, serta penyelundupan. Yang pada dasarnya akan lebih melindungi mereka yang bukan perokok dan perokok pasif.
Rendahnya cukai rokok di Indonesia dan ditunjang murahnya biaya produksi menyebabkan harga rokok yang sangat murah. Ketika harga rokok bisa terjangkau oleh semua kalangan termasuk yang paling miskin pun, maka jumlah perokok akan sangat besar begitu pula jumlah penderita penyakit yang disebabkan oleh rokok.
Harga rokok di Indonesia pada tahun 2007 rata-rata Rp. 9 ribu per pak. Bandingkan dengan di Thailand yang mencapai Rp. 16 ribu per pak, Malaysia Rp. 20 ribu per-pak, atau di Singapura yang mencapai Rp. 69 ribu per pak, harga rokok di Indonesia sangat murah sekali ( Widyastuti Soerojo) `
Masyarakat yang termasuk rumah tangga miskin (RTM) merupakan konsumen rokok terbesar di Indonesia. Data menunjukkan 73,8 persen rumah tangga miskin di perkotaan adalah perokok. Dapat diartikan sebagian besar rumah tangga miskin mengalokasikan penghasilannya untuk membeli rokok.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 menguatkan temuan ini, bahwa konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau menduduki rating kedua (12,43 persen), setelah konsumsi padi-padian (19,30 persen). RTM lebih senang membelanjakan penghasilannya untuk membeli rokok daripada untuk membeli daging atau susu. Dibeberapa keluarga yang anaknya mengalami gisi buruk, sebagian besar orang tuanya adalah perokok.
Menurut survei Indonesia Forum on Parlianmentarians for Population and Development (IFPPD), dari 19 juta keluarga miskin di Indonesia 12 juta ayah dari keluarga miskin ini adalah perokok. Jika sehari rata-rata 10 batang rokok dihisap maka mereka telah membelanjakan Rp 23 triliun pertahunnya untuk rokok.
Lantas kemana larinya uang tersebut? Perlu diketahui 3 dari 6 orang terkaya di Indonesia adalah pemilik pabrik rokok. Jadi Rp 23 triliun yang “dibakar” oleh orang-orang miskin tersebut tanpa mereka sadari, untuk menambah pundi-pundi kekayaan pemilik perusahaan rokok.
Bagiamana dengan pendapatan negara dari cukai rokok? Pada tahun 2007 pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp 43,8 triliun. Sepintas memang terlihat sangat besar. Namun jika kita melihat hasil survei Komisi Nasional Penanggulangan Masalah Merokok yang menyatakan biaya kesehatan yang terkait dengan masalah rokok mencapai Rp 14,5 triliun. Bahkan menurut data Indonesia Tobacco Control Network biaya kesehatan yang terkait dengan rokok mencapai Rp 81 triliun, pemasukan yang diperoleh oleh negara dari cukai rokok tidaklah sebanding dengan biaya kesehatan yang ditanggung warga dan pemerintah.
Jawa Timur pada tahun ini mendapat Dana Alokasi Khusus (DAK) dari cukai rokok mencapai Rp 135 miliar. Dimana seperempatnya diberikan kepada pemerintah propinsi, tiga perempatnya diberikan kepada daerah penghasil, dan seperempatnya dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota yang ada di Jawa timur.
Berdasarkan Undang-undang No.39 tahun 2007 pasal 66a (1) dikatakan bahwa bagian hasil cukai dan hasil tembakau dipergunakan untuk membiayai 5 jenis kegiatan yaitu, peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri rokok, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberantasan peredaran cukai ilegal.
Dari kelima jenis kegiatan yang dibiayai dari dana alokasi cukai tersebut tidak satupun yang menyebutkan untuk kegiatan perawatan kesehatan bagi penderita sakit yang disebabkan oleh rokok. Padahal dana cukai adalah dana “penebus dosa” perusahaan rokok yang telah menyebabkan konsumennya menderita sakit.
Lihat saja penuturan dari Laksmi Wulandari, dokter spesialis paru dari RSU Dr. Soetomo yang dimuat di Kompas 31 Mei 2007, bahwa 54 persen pasien Poliklinik Paru RSU Dr. Soetomo menderita berbagai macam penyakit paru karena merokok. Pada tahun 2006 tercatat 17.982 pasien datang ke Poliklinik Paru dimana hampir 90 persen pasiennya memiliki riwayat merokok.
Setiap tahunnya sekitar 7,5 miliar rumah sakit ini mengeluarkan biaya untuk pengobatan pasien-pasien kanker paru stadium terminal yang disebabkan oleh rokok. Ini hanya data di RSU Dr. Soetomo, belum rumah sakit-rumah sakit dan Puskesmas lain di Jawa Timur yang jumlahnya ratusan.
Lantas yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah kita patut berbangga diri sebagai penyetor dana cukai rokok terbesar namun diperoleh dari mengorbankan “secara sengaja” masyarakatnya? Hati kecil kita yang menjawab.[]
* Penulis adalah Ketua Advokasi dan Perluasan Jaringan CRCS, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Kawasan Tanpa Rokok Surabaya.