Senin, 27 Oktober 2008

simpati atas RACUN TEMBAKAU

MEDIUM
Siti Nurjanah*

Jendela
Tak selalu mudah memahami alur ataupun pesan sebuah karya sastra atau seni. Tidak jarang, karya sastra (seni) sarat dengan pengandaian atau pencitraan nilai atau pesan absurd nan agung dan inspiratif (sublime). Meski tak sedikit pula karya-karya “sastra” yang terpaksa tampak seolah-olah agung. Karena itu, beberapa karya sastra di Indonesia sering menimbulkan kesan angkuh, dimana ruang gerak sastra terbatas pada lingkungan sastrawan dan tercerai dari masyarakat luas. Sebuah karya sastra (seni) yang agung mampu menyulut inspirasi atau mengkondisikan seseorang berkontemplasi mengasah naluri-naluri keluhuran. Sastra (seni) juga mampu membangkitkan gairah seseorang untuk memperjuangan kebenaran. Mulai dari masa kanak-kanak hingga kini, perjalanan spiritual saya pun banyak terinspirasi dengan berbagai jenis karya sastra maupun seni, mulai dari seni pentas (ludruk, ketoprak, tari tradisional-modern, teater), karya-karya klasik, hingga musik.
Jumlah tawaran penjembatanan antara karya sastra (seni) dengan audience tidak sebanding dengan luasnya fenomena kesendirian sastra (seni) di tengah-tengah kehidupan riil. Sendi kehidupan sastra dan seni adalah ikatan yang terjadi antara sastra dengan individu (keluarga). Keterbatasan audience dalam ruang lingkup karya sastra (seni) agung, membuat kelangsungan sastra dan seni terengah-engah di tengah-tengah terpaan budaya komersial yang telah mengikis habis mutu dunia sastra (seni) kita. Para ayah dan ibu-ibu muda masa kini, luluh lantak diterkam budaya komersil yang hanya melahirkan nilai-nilai instan. Simak saja, berapa anak-anak yang lahir di tahun 2000an yang namanya dipilih oleh orang tua karena terinspirasi tokoh-tokoh sinetron? Tidak sedikit jumlahnya! Tontonan komersil seperti inilah yang membuat beberapa sastrawan merasa perlu dengan tegas menarik garis antara sastra (seni) dengan produk komersil--populer semata. Hanya saja, jembatan penghubung bagi keduanya perlu dibangun agar tidak mendorong audience latah, mereka yang terpaksa manggut-manggut karena khawatir dicap tidak intelek atau dangkal; atau dunia sastra (seni) Indonesia yang hidup tapi setengah mati karena sepi peminat di pasar.

Monolog dan relevansinya
Sebuah karya sastra (seni) bermutu tidak jarang mampu melampaui masanya, misalnya saja pesan dekonstruksi moralitas di Madame Bovari karya Gustave Flaubert, atau pesan dekontruksi kelas sosial di Jane Eyre karya Charlotte Brontë. Demikian pula dengan monolog On the Harmful Effects of Tobacco, karya Anton Chekhov. Kala itu, tradisi sastra dan seni terpusat pada kehidupan kalangan elit. Karakter-karakter dalam karya Checkov cenderung populis, dan ia pun menuai banyak cemoohan ketika memasarkan karya-karyanya karena dianggap pinggiran, terlalu transparan, menimbulkan efek kurang indah.
Sebelum lebih jauh membahas tentang monolog, terlebih dulu saya jelaskan konsep monolog. Monolog dalam karya sastra mengacu pada aksi ceramah, celotehan, atau puisi yang ditampilkan secara terus menerus oleh satu tokoh. Tokoh tersebut memuntahkan isi hatinya, kegundahanya dengan keras-keras dan secara langsung kepada pendengar. Karakter dalam monolog biasanya menyoal masalah yang secara langsung ia konfrontasikan pada hadirin. Biasanya secara tidak sadar, ia mengungkapkan perilakunya sendiri. Karakter dalam monolog mengkombinasikan beberapa teknik penyampaian, mulai dari pengulangan kalimat hingga ungkapan pertimbangan-pertimbangan pikiranan untuk menciptakan efek-efek dramatik yang diharapkan memicu kompleksitas pemaknaan.
Ketika karya sastra (seni) ditawarkan kepada audience, pemaknaan bukan lagi milik penulis atau kreator. Efek dan pemaknaan karya sastra pun bisa menjadi lebih pribadi, bergantung pada ketajaman dan kedekatan audience dengan konteks karya tersebut. Meski begitu saya ingin menyediakan jembatan yang pengadopsiannya, sama sekali tidak mengikat, berupa tawaran pelita semata. Satu pokok pikiran yang ingin saya catat dalam pembacaan naskah ini adalah aspek adiksi (ketergantugan) yang diderita oleh tokoh Pak Harman. Kepatuhan Pak Harman terhadap sang istri yang membuat Pak Harman “terpaksa” berdiri di podium untuk berbicara masalah rokok, masalah yang sama sekali tidak menarik minatnya, selain karena ia juga seorang perokok. Ketergantungan Pak Harman terhadap istrinya, bak ketergantungannya pada nikotin. Pak Harman tak berdaya. Tak berdaya melawan kemauan sang istri yang tiran. Oak Harman tak memiliki daya melakukan sinkronisasi antara kemauan hati dan tubuhnya. Meski tertekan, tetap saja Pak Harman menyeret kakinya menuju podium untuk bicara masalah rokok. Karena didorong oleh keterpaksaan, dari seluruh monolognya, tak sepatah pun ia bicara tentang dampak rokok.

Adiksi
Istilah adiksi selalu dalam pengertian negatif. Adiksi adalah gambaran ketidakmampuan seseorang mensinkronkan antara kemauan tubuh dan pikiran, disebabkan kendali zat yang dikonsumsi, bisa berupa obat terlarang, minuman keras, rokok, atau makanan. Kata adiktif hampir tidak pernah dikaitkan dengan rokok. Bahkan dalam bahasa hukum pun, kata adiktif dibuat sangat ambigu. Umumnya, masalah ketergantungan rokok masih dianggap sepele, efek dan dampaknya pun cenderung ditutup-tutupi. Seperti yang ditulis Sardiyoko di artikel berikutnya, Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyiratkan ambiguitas pada makna adiksi dan bagaimana melindungi masyarakat dari produk-produk yang menyebabkan adiksi, termasuk rokok.
Di satu sisi pemerintah melarang promosi rokok karena diakui rokok mengakibatkan adiksi, tetapi di pasal berikutnya menyatakan promosi rokok diperbolehkan dengan cara tertentu. Hampir di seluruh dunia ketiga, industri rokok mendapat perlindungan politik dan perlindungan hukum yang berlapis-lapis, dibanding produksi zat-zat adiktif lainnya, selain narkoba tentunya. Perlindungan terhadap pabrik rokok jauh lebih besar, dibanding pabrik minuman keras. Salah satu dalih klasiknya karena masalah lapangan kerja. Karena sama-sama memiliki dampak adiktif, seandainya pertanian dan produksi opium bisa mendatangkan lapangan kerja yang lebih luas dari pabrik rokok, akankan pemerintah memberikan perlindungan politik dan perlindungan hukum pabrik opium, setara dengan pabrik pabrik rokok? Ketidaksanggupan pemerintah menyediakan lapangan kerja yang layak bagi warga negara menjadi dalih pembenaran atas perlindungan hukum dan politik yang tidak semestinya pada industri rokok. Padahal, industri rokok adalah satu-satunya industri yang memiliki biaya produksi terendah dengan keuntungan yang luar biasa tinggi.
Proses pemulihan dari kebiasaan merokok tidak jarang sama sulitnya dengan usaha untuk berhenti dari mengkonsumsi narkoba. Seseorang yang ingin berhenti merokok, sering merasa sangat menderita secara fisik maupun emosi dalam prosesnya. Ini merupakan salah satu indikasi adiktif, tubuh mengalami penolakan ketika ada upaya untuk mengubah kebiasaan merokok, menimbulkan efek-efek mulai dari sulit berkonsentrasi, rasa asam di mulut, nafsu makan bertambah, hingga ke masalah kegemukan. Tak satu pun data penelitian yang menyatakan rokok tidak adiktif, bahkan banyak perokok yang ingin berhenti merokok. Lalu muncul beberapa anggapan keliru tentang kebiasaan merokok, misalnya dengan merokok, seseorang justru memiliki ketajaman pikir yang lebih prima atau terkesan lebih maskulin (feminin).
Pesan utama monolog ini adalah ketidakberdayaan seseorang ketika dalam keadaan adiktif. Martabat pun rela dipertaruhkan. Adiksi terhadap rokok bisa sebanding dengan ketergantungan seorang suami terhadap istri yang tiran. Monolog ini sekedar penggingat akan kuatnya pengaruh adiksi dalam kehidupan kita sehari-hari. Adiksi terhadap rokok melahirkan keterbatasan, ketidakberdayaan, kemiskinan yang membelenggu tubuh dan pikiran bangsa. Kenyataan akan mudahnya akses anak-anak pada rokok, benar-benar mempertaruhkan masa depan bangsa. Menjerat anak belia dengan adiksi pada zat-zat kimia seperti yang terkandung dalam rokok adalah dosa besar industri rokok terhadap bangsa ini. Melalui iklan-iklannya, industri rokok memanfaatkan kerentanan anak demi menjamin pasar mereka selama dua atau tiga generasi ke depan. Hasilnya, meski nyata dampak buruknya, ratusan juta orang di dunia terus dan terus merokok.[]


* Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Religious and Community Studies (CeRCS)