Senin, 27 Oktober 2008

Lagi, atas nama RACUN TEMBAKAU

MENAFIKAN KATA MENGOBARKAN LAKU:
USAHA MEMBACA TEATER REALISME-PRIMITF S. JAI
Oleh: Indra Tjahyadi*)

Dalam pengantarnya untuk pertunjukan Racun Tembakau, S. Jai, sang sutradara, menyatakan bahwa “dalam teater kata-kata menyiksa dan memenjarakan tubuh dan jiwa aktor dalam realitas… kepercayaan bahwa kata dapat membebaskan tubuh dan jiwa adalah suatu kesia-siaan.”
Dari pernyataan S. Jai tersebut muncul satu pertanyaan besar dalam benak saya: mengapa dalam teater kata-kata menyiksa dan memenjarakan tubuh dan jiwa aktor dalam realitas? Dan mengapa pula kepercayaan bahwa kata dapat membebaskan tubuh dan jiwa adalah suatu kesia-siaan?
Kiranya, ada baik bagi saya dalam usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya kembali dulu pada pemahaman teater paling dasar: teater sebagai sebuah seni laku (act). Sebagai seni laku, persoalan teater adalah persoalan melakukan. Dalam artian, bahwa tantangan terbesar seni ini adalah bagaimana suatu hal mampu untuk dilakukan atau dilakonkan. Media komunikasi teater adalah gerak dan aktivitas aktor selama pertunjukkan berlangsung.
Tidak seperti pada seni sastra, dalam teater bahasa dipahami sebagai gerak yang menimbulkan makna. Dalam teater, tanda bukanlah deretan huruf-huruf atau fonem-fonem yang membentuk satu bunyi ujar, melainkan suatu keadaan spiritual yang diartikulasikan, baik secara ritmis atau non ritmis, dalam sebuah gerakan.
Gerakan menjadi hal yang penting bagi seni teater. Saking pentingnya, sampai-sampai seorang Grotowski pernah menyarankan konsep total act bagi teater. Dalam benak Grotowski, sebuah pertunjukan teater akan dapat terjadi bila aktor mampu melakukan penyerahan total secara jiwa-raga terhadap laku. Lagi-lagi laku menjadi hal yang penting dalam seni teater di sini. Tanpa laku sebuah pertunjukan seni teater tidak akan berjalan.
Realitas teater adalah realitas yang tercipta dari gerakan-gerakan tindak laku secara total dari para aktor/ pemeran, dan bukannya naskah pertunjukan teater. Bagi seni teater, naskah, meskipun penting, akan tetapi ia tak lebih dari himpunan referen yang belum tertandai dan termaknakan. Dalam teater, naskah bukanlah realitas. Ia adalah metarealitas atau sesuatu yang menunggu sesuatu yang dapat menjadikannya sebuah realitas. Tantangan setiap kru sebuah pertunjukan teater adalah bagaimana naskah metarealitas tersebut menjadi sebuah realitas, sekumpulan tanda-tanda yang termaknakan.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa realitas adalah tanda yang telah termaknai. Dunia adalah hutan lambang (Kriapur). Untuk dapat memahaminya lambang-lambang tersebut perlulah diberi makna. Adanya makna memungkinkan kita, manusia, untuk mengenali dunia, mengenali realitas. Maka, tantangan terbesar bagi aktor dan seluruh kru pertunjukan teater, bagaimana mengubah naskah yang merupakan metarealitas tersebut menjadi realitas, menjadi tanda-tanda yang termaknakan. Jalannya hanya satu: laku!
Teater yang terlalu sesak dengan kata-kata justru mengungkung laku. Kata-kata memenjarakan totalitas laku. Keberadaan kata membuat laku tak berjalan maksimal, akhirnya tanda-tanda tak tercipta, makna tak tercipta, dan realitas tak terbentuk. Untuk sampai pada perenggutan kata-kata, dan meleburkannya menjadi laku, perlu diadakannya penelusuran kembali ke dalam insting paling dasar dari manusia.
Primitivisme menjadi semacam jalan keluar. Dunia primitif adalah dunia yang gegap-gempita dengan laku. Dalam dunia primitif segala rasa, hasrat, harapan, mimpi, fantasi berusaha diejawantahkan dan dikomunikasikan lewat tindak laku. Dalam dunia primitif setiap gerak adalah tanda bermakna.
Dengan mengambil pemahaman primitivisme, seorang aktor/ pemeran akan berlaku sesuai dengan insting purbaninya dalam menciptakan tanda menyampaikan makna. Ia melepaskan dirinya untuk lebur kembali ke dalam hal-hal yang paling naluriah dari dirinya sebagai manusia, sehingga tanda akan tercipta secara alamiah dan makna hadir dalam daya naluri manusia.
Kiranya hal ini yang ingin disampaikan oleh S. Jai lewat konsep teaternya Realisme-Primitif: mengembalikan realitas pada tataran kebutuhan yang paling instingtif dari manusia, dan bukannya hanya sekumpulan citraan dari sebuah kerja produksi fabrikasi seperti yang kita kenal saat ini. Dan untuk kembali ke dalam kebebasan kita harus melepaskan diri dari kata, kembali pada laku. Laku yang berawal dan berdasar pada naluri purbani manusia, sebuah primitivitas!

*) penulis adalah mantan sutradara Teater Gapus FIB Unair.