DILEMA FATWA HARAM MEROKOK
Oleh: S.Jai *
Asap rokok menggoda selera
Pun semerbak kesturi tertandingi,
Pahitnya manis terasa
Aneh, pahit kok manis rasanya
(Sidi Abdul-Ghani al-Nabulsi ra)
JANJI Majelis Ulama Indonesia (MUI) ditepati memfatwakan haram rokok akhir Januari ini. Meski sudah diduga gebalau debat fatwa haram rokok bakal kembali mengemuka—lebih dari sekadar peruntukkan haram bagi anak-anak, ibu hamil dan berlaku di tempat umum. Bagi penyokong fatwa, boleh berlaku pesan biar lambat asal selamat asal jangan alon-alon kelakon. Bagi yang berat hati fatwa haram, setidaknya bisa melempar sinyal “tanda seru,” utamanya terkait dampak sosial dan ancaman jatuhnya smbol-simbul ulama.
Pendapat pertama, harus jujur diakui, MUI memang tertinggal dibanding Malaysia, Brunei Darusalam, dan kebanyakan negara-negara di Timur Tengah yang lebih dulu tegas mengeluarkan fatwa haram merokok. Asumsinya, tibalah saatnya MUI mengharumkan citra agar tak melulu pegang trade mark kuda tunggangan pemerintah demi kepentingan yang sama sekali bukan wilayahnya. MUI tak bisa mungkir dari pengalaman sejarah di bawah cengkeraman kuasa politik pemerintah dalam banyak hal. Bahkan sebagai kuda tunggangan, tak jarang justru menumbuhkan sentimen antar umat beragama maupun antar penganut agama. Lagi-lagi pemerintahlah yang sanggup berkompromi untuk meredam gejolak akibat dari itu. Taruhlah utamanya pelbagai fatwa haram menjadi tarik-menarik padahal seringkali lepas dari esensi soal keagamaannya.
Di satu sisi MUI berperan, tapi di sisi lain agama menjadi sebuah inspirasi, bukan sesuatu inspirasi politik kekuasaan. Sialnya, banyak sekali yang disodorkan pada MUI adalah menu makanan sehari-hari masalah berat menyangkut pola hidup umat beragama. Maka beralasan bila fatwanya menjadi sangat potensial untuk dimainkan. Taruhlah terkait gaya konsumerisme masyarakat akan kebutuhan pokok yang sangat rentan. Misalnya produk makanan dan minuman. Masih ingat ketika kandungan bactocytone yang diduga dirangsang dengan minyak babi dalam produk bumbu masak disoal oleh KH Abdurrahman Wahid? Ini sekadar contoh yang mengusik MUI untuk ditarik-tarik ke wilayah kepentingan tertentu pundi-pundi kekuasaan.
Mempertimbangkan fatwa haram rokok tak cuma bermula kurang efektifnya perangkat kerja Perda-Perda larangan merokok. Fatwa haram merokok tentu lebih dari menguliti sekadar problem kesehatan, moral, agama, sosial atau bukan mustahil masalah politik. Fokus lain pada hak anak-anak, bagi para penyokong fatwa haram, anak-anak memang wilayah yang amat menghipnotis kesadaran kita untuk terlibat baik secara emosional, rasional maupun kultural. Apalagi LSM-LSM yang berkompeten pada anak, membaca peluang ini meski tampaknya hal itu hanyalah semacam pintu pembuka ke masalah yang lebih subtansial, yaitu bahaya merokok bagi kesehatan manusia. Tentu saja demi kesehatan dari generasi ke generasi.
Point penting bagi MUI, desakan itu atas nama kesehatan seluruh lapisan masyarakat. Kesehatan adalah kebutuhan primer yang tak bisa ditawar. Dari sisi kesehatan, jaminan itu harus didapat manusia sejak bayi, wanita hamil, masyarakat umum baik perokok maupun yang anti rokok, atau perokok pasif. Terlepas dari kenyataan bila sementara waktu fatwa haram MUI diberlakukan tapi perokok masih juga menghisap 4000 zat berracun dari asap rokok, itu soal lain. Sudah barang tentu bila hal itu berlangsung, adalah menjadi tanggung jawab MUI sebagai lembaga para ulama menggunakan “pedangnya” atas nama etika atau moralitas. Sudah pasti di samping masyarakat juga punya hukum yang sama.
Apa yang dilakukan oleh MUI se-Sumatera mengasah pedang adalah tindakan aktif yang produktif ibarat menyongsong suatu peperangan. Tidak hanya menunggu campur tangan pihak yang berkuasa dan berkepentingan, seolah-olah bukan pekerjaannya. Seakan-akan masyarakat tidak membutuhkan fatwa ulama-ulama yang duduk di meja MUI ini. MUI ada bukan untuk apa adanya. Tapi adanya yaitu untuk apa, dan jawabnya ada di pikiran, hati, dan ulama-ulama. Bahwa tak lain dan tak bukan demi tegaknya syariat agama dan demi kemaslahatan umat.
Perihal Kajian Agama
Mungkin bukan masalah kajian agama yang menyebabkan MUI belum atau tidak mengeluarkan fatwa yang benar-benar tegas mengharamkan orang merokok. Kecurigaan itu sah terutama bila dilayangkan oleh pendukung fatwa haram merokok. Sebaliknya, wajar pula bila kasak-kusuk datang dari pembela tradisi merokok sejak leluhur mereka. Apalagi bila menyoal bahwa tidak ada dalil-dalil ayat Al Quran atau Hadist yang terang-terangan mengharamkan rokok.
Boleh jadi mereka yang disebut belakangan ini, bakal menggugat MUI dengan busur panah yang tak kalah tajamnya, bila fatwa haram ancang-ancang diberlakukan. Namun terlepas dari itu, bagi MUI sebetulnya tidak sulit untuk mengkaji masalah tersebut dari sisi agama Islam karena lembaga itu semata-mata keberadaanya adalah untuk berhubungan dengan umat.
Pendeknya dari sisi kajian agama, Al Quran dan Hadist atau pendapat-pendapat ulama besar dunia Islam tidak menjadi penghambat niatan MUI jika hendak mengharamkan merokok. Ahli tafsir mereka cendekiawan-cendekiawan yang mumpuni. Semisal bagaimana menafsirkan ayat dalam Al Quran, “…Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” Al Baqarah 195. Atau dalil “Dan (Rosul) itu menghalalkan yang baik-baik dan mengharamkan segala yang buruk” (Al-A’rof 157).
Kecurigaan justru mengarah pada wilayah psikologis antara punya keberanian berpendapat ataukah takut oleh sebab suatu kabut yang menutup mata, hati dan pikiran. Memang negeri ini telah terlampau sering memanfaatkan agama atau lembaga-lembaga berbasis agama untuk bersikap dalam suasana samun hidup segan mati tak mau. Tarik menarik di belakang meja, menyebabkan ruang psikologis ulama-ulama yang di MUI digumuli kepentingan nyleneh. Fatalnya, ulama juga sudah terlalu lama belajar dalam suasana demikian sepanjang sejarah hubungan Islam dengan negara di negeri kita.
Kemungkinannya hanya dua: Kompromi atau dicap pembawa masalah dan bukan pemecah batu masalah. Berani karena berpendapat atau takluk atas nama demi kesejahteraan orang-orang berpeci. Hal itu belumlah cukup, karena MUI juga harus berhadapan dengan umat dan bukan mustahil masalah yang timbul tak kalah lebih peliknya. Keamanan boleh jadi menjadi taruhannya. Konflik horizontal bernuansa sentimen agama yang memang telah dilempar di jerami kering, bakal memuncak. Masih banyak sederet teror yang lebih dari cukup membuat diri kita juga ulama-ulama kemudian menjadi phobia. Semisal, sebagian besar industri-industri rokok milik orang Tionghoa, apa yang terjadi kemudian bila aksi bakar massa umat Islam pada pabrik-pabrik mereka jika fatwa haram benar-benar dikeluarkan. Demo buruh, pengangguran, kemiskinan.
Itu semua belum terjadi. Logika merokok itu haram, dan karena itu pabrik rokok harus dibumihanguskan memang terlampau jauh. Namun, bukan mustahil ini hasil efektif kampanye phobia pada suatu fatwa. Lebih dari sekadar fakta apa yang berkaitan dengan umat, ibarat jerami kering, sonder pola pikir bermasyarakat dan bernegara yang sehat. Jikapun benar itu terjadi, bukankah negara kita punya aparat keamanan yang bekerja untuk itu. Lalu mengapa MUI berpikir tentang pembakaran massa, atau ketertiban demo buruh? Toh mengharamkan rokok bukan berarti tidak ada orang merokok, bukan berarti tak perlu pabrik rokok yang nyatanya luar biasa memberi upeti negara ini. Data tahun 2007 saja mencapai Rp 43 triliun.
Bagi MUI tak perlu berpikir tentang keamanan, bukan berarti tak diizinkan berpikir tentang uang. Apalagi masalah kesehatan, mustinya bagi MUI ini landasan utama mengeluarkan fatwa itu haram. Bayangkan, bila dari perolehan upeti sebesar itu, negara perlu mengeluarkan sejumlah Rp 167 triliun untuk menangani akibat penyakit yang ditimbulkan rokok. Fakta ini akan lebih mengejutkan kalau kita melihat bahwa hampir 70 persen perokok adalah warga miskin yang notabene jaminan kesehatannya menjadi tanggungan negara. Catatan Departemen Kesehatan, 70 persen angka kematian tembakau terjadi di Asia, termasuk negeri tercinta Indonesia. Dari WHO diprediksi 2020 nanti rokok akan menyebabkan kematian penduduk dunia 8,4 juta jiwa pertahun.
Hidup merugi, mengancam jiwa orang lain dan pemborosan lebih dari cukup bagi MUI untuk mengeluarkan fatwa haram. Entahlah, bila ulama-ulama yang duduk di MUI punya logika berpikir yang sulit untuk kita ikuti. Seperti logika pakansi hati dari Kiai Anwar Abbas, Sekretaris MUI sebagaimana dirilis website lembaganya, serupa ini, “Kalau menurut MUI sendiri, hukum dasar merokok itu makruh. Kalau merokok membahayakan maka jadi haram. Tapi kalau dianjurkan dari sisi kedokteran seseorang itu harus merokok, maka itu boleh.”
Kita tentu sama-sama tak ingin keadaan “keragu-raguan hukum” seperti ini berlanjut, membelit mengakar. Lalu, untuk memastikan MUI mengayunkan pedang, mengharamkan rokok, akankah musti menunggu anak kita yang terbaik, putra kesayangan ulama musti mati karena racun asap rokok? Wallahuallam.
Para Penentang
Bagi penganut kedua, telah banyak penjelasan para pengulas yang melihat dampak sosial ekonomi andai MUI mengayun pedang fatwa haram. Dampak sosial sudah pasti, meski bukan berarti membunuh industri rokok atau menggelembungkan angka pengangguran. Termasuk mungkin juga bakal anjlognya cukai rokok yang masuk pundi pemerintah.
Lalu mempertimbangkan secara politis, juga tak kalah lebih gampang. MUI adalah lembaga yang berpotensi untuk dijadikan bulan-bulanan politik pemerintahan kita. Tentu saja tanpa bermaksud meragukan integritas, intelektualitas serta kapabilitas ulama-ulama di dalamnya, sebagai lembaga MUI justru di satu sisi keberadaannya amat sulit. Seringkali, MUI secara kelembagaan sering dimanfaatkan secara politis ketimbang bermanfaat bagi umat. MUI tak bisa mungkir dari pengalaman sejarah di bawah cengkeraman kuasa politik pemerintah.
Bisa jadi pengalaman pahit MUI kemudian membuahkan pelajaran manis. Bahwa MUI bisa bermanfaat bagi umat, atau sekaligus mencuri hati untuk kepentingan lembaga tersebut. Taruhlah utamanya pelbagai fatwa haram menjadi tarik-menarik padahal seringkali lepas dari esensi soal keagamaannya. Taruhannya pun bagi MUI bukanlah masalah ringan. Kiranya, senjata apa sebagai perisai MUI bila segelintir pihak menuding MUI bisa ”main mata” dengan perusahaan rokok terkait bola panas fatwa haram ini?
Banyak celah, banyak peluang yang tidak diketahui umat dan masyarakat sehingga tumbuh kecurigaan seperti itu. Beragam label halal pada bungkus-bungkus makanan instan di supermarket-supermarket, adalah contoh sedemikian rumitnya soal yang harus diurus dan diusut MUI. Terlebih mayoritas penduduk negeri ini Islam, berarti di meja MUI juga tersedia menu makanan sehari-hari menyangkut pola hidup umat beragama. Maka beralasan bila fatwanya menjadi sangat potensial untuk dimainkan.
Memang cukup dimengerti saat kawan-kawan LSM yang mendorong Perda Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (KTR-KTM) segera diloloskan di Surabaya, utamanya alasan kesehatan masyarakat kaum ibu, anak-anak dan para perokok pasif. Namun demikian tatkala, memasuki wilayah fatwa haram MUI, soalnya bukanlah sesederhana memukul paku pada kayu dengan palu. Sebaliknya, jangan sampai membenarkan penilaian desakan fatwa haram merokok ke MUI semacam frustasi terhadap jaminan kesehatan dari pemerintah dengan atau tanpa niatan untuk giliran melempar bola panas ke MUI agar cepat meluas.
Sebagian masyarakat barangkali di satu sisi menuding jalan itu terlampau cepat, mengingat belum optimalnya ”jalan profan” yang ditempuh para penentang rokok ini. Yaitu sebuah jalan yang ditempuh melampaui toleransi umat dan masyakarat, sementara yang lain masih berharap dan percaya bahwa masyarakat masih memiliki sisa-sisa toleransi itu. Toleransi untuk tidak merokok, untuk menghargai perokok, toleransi untuk saling menghargai antara perokok dan bukan perokok, atau toleransi untuk sama-sama ingin bebas dari asap rokok.
Karena itu tentu saja menjadi pertanyaan, apakah fakta-fakta kesehatan seperti yang disinyalir Departeman Kesehatan misalnya, akan jadi point penting bagi MUI ke arah fatwa haram. Sepaham dalam hal ini atara ulama dengan pakar-pakar kesehatan bukan berarti jalan mulus. Tapi sepakat bahwa kesehatan adalah kebutuhan primer yang tak bisa ditawar. Kesepahaman yang lain yang masih bisa ditekuk adalah MUI sebagai lembaga para ulama punya tanggungjawab atas nama etika atau moralitas. Terlepas sahih tidaknya temuan Departemen Kesehatan, merokok itu penyebab penyakit dan penyakit itu pemicu angka kematian. Berikutnya, apakah merokok menyebabkan kematian? Artinya, sekalipun sebagian besar atau sebagian kecil perokok bersikukuh, merokok tidak sama dengan memasukkan penyakit atau berbuat buruk bahkan bunuh diri secara perlahan seperti ditafsirkan bebas dari Al Baqarah 195 dan Al-A’rof 157, bukanlah hal mudah untuk dibuktikan secara medis. Apalagi terang ini dua hal yang dari sisi yang tidak sama. Juga perihal pemborosan bila menggunakan dalil-dalil al kitab, mungkin di zaman sekarang juga bisa disumirkan artinya dari sisi ekonomi seseorang.
Bagi MUI mengupas tuntas dari sisi keagamaannya perihal fatwa haram merokok bukanlah hal yang mudah. Apalagi bila ulama terus dibebani aspek sosial ekonomi bahkan politik akan lebih berat lagi. MUI bakal menghitung angka, tak cuma ayat al kitab sehingga makin menemui kesulitan untuk menegakkan syariat agama dan demi kemaslahatan umat. Data tahun 2007 angka cukai rokok yang diterima pemerintah mencapai Rp 37 triliun. Mungkin juga sebagian gaji ulama dalam MUI diambil dari perolehan itu sehingga menyebabkan bukan masalah kajian agama yang menyebabkan MUI belum atau tidak mengeluarkan fatwa yang benar-benar tegas mengharamkan orang merokok.
Sebaliknya, andai MUI telah mengeluarkan Fatwa Haram Merokok, dan di negeri yang mayoritas umat Islam ini ternyata masih banyak yang merokok, berarti ini terpampang sebuah cermin yang baru. Bahwa negeri ini bukan hanya tiada toleransi tapi nyata-nyata juga semakin besar yang tidak tunduk pada lembaga agama, pada ulama. Bahkan pada agama itu sendiri. []
*) Penulis adalah peneliti pada Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya