Sabtu, 14 Februari 2009

Drama



U P E T I
N A S K A H    D R A M A
S. Jai



PARA TOKOH

Tokoh-Tokoh Utama:
Nyonya Mendut
Fajar Abdi, jurnalis
Marzuki, aktivis LSM
Man Sapar, Suami Mendut
Walikota

Tokoh-Tokoh Pembantu:
Juru Kamera
Pengusaha
Mening, putri Mendut
Penjaga
Warga Kampung


  
SINOPSIS

KETIKA kesejahteraan warga kampung yang sebagian besar sebagai buruh pabrik tak juga kunjung membaik, protes pun terjadi.  Peristiwa itu mengusik Walikota yang merasa bertanggungjawab atas gebalau peliknya masalah ekonomi antara penduduk kampung, pemerintah dan juga pengusaha. Masalahnya warga merasa hidupnya hanya dihisap saja.
Man Sapar sudah mencium gelagat pemerintah dan pengusaha itu dalam hal itu, namun ia keburu menemui ajal saat sebelum perlawanannya disebarkan pada penduduk kampung.  Lantas, Mendutlah—sang istri, yang kemudian sanggup melakukan perlawanan atas dorongan jurnalis, Fajar Abdi.  Mendut mengobarkan perlawanan moral dan bukan pemberontakan fisik.  Mendut melawan dengan panji meruntuhkan perbuatan dosa dengan keyakinan dan ketetapan hati.  
Masalah mental, moral, ekonomi keluarga, negara, juga para pemangku kepentingan yang berusaha mengambil peran menyebabkan soal menjadi komplek dan pelik. Bagi Nyonya Mendut, ia tahu hal itu bukanlah cara terbaik mempertahankan hidup, tetapi ia menyakini akan mewariskan keyakinan dan harga dirinya pada satu-satunya, puterinya—Mening. Bahwa ada bagian dari hidup yang tak begitu saja bisa diserahkan pada kekuasaan, sekalipun nyawa menjadi taruhannya.


   
BABAK SATU


Bagian Satu

Pagi hari.  Ruang kantor pemerintahan.  Foto presiden.  Peta besar. Meja besar. Rapat dengan beberapa orang. Sebagian gondrong seperti preman. Nadanya keras. Membicarakan proyek besar. Suaranya meledak, menyerupai perintah untuk menyingkirkan seseorang.

WALIKOTA: (berdiri) Kalian hanya becus ngurus surat perceraian, apa? Buang-buang waktu ngomong dengan kalian. Gunakan otak kalian untuk…apa: menipu.

SESEORANG: Ya..menipu, Tuan.

WALIKOTA: Terus kenapa temanmu itu manggut-manggut saja.

SESEORANG: Maaf dia memang bisu tuli, Tuan.

WALIKOTA:   Diamput. Kamu gunakan juga otakmu untuk menipu saya?

SESEORANG: Ampun Tuan!!.

WALIKOTA:  Tapi boleh juga otakmu. Hanya saja, benar-benar pikirkan dimana dan kapan kamu perlu pasang orang bisu tuli..hmmm..

Selanjutnya bicara proyek lagi. Tiba-tiba, pintu dihantam keras dan masuk seorang jurnalis.

FAJAR ABDI:  (memaksa masuk) Sekarang, Bapak, tidak bisa tidak musti bicara sama saya. Salah sendiri pasang orang bisu depan pintu!  Boleh saya ikut nimbrung bicara soal proyek dengan rekan-rekan anda?  Berapa banyak tender yang menjadi bagian anda?

WALIKOTA: (mendekati sang jurnalis) Anda mau yang mana?

FAJAR ABDI: Ups..jangan mulai bicara itu. Saya takut, tidak bisa menolak karena ini tidak berurusan dengan saya saja.

Sang Walikota terdengar banyak bicara. Entah apa yang dibicarakan. Seperti keluhan atau usaha untuk membujuk.

FAJAR ABDI: Jangan banyak bicara pak. Bapak hanya perlu katakan ya atau tidak. Saya bersyukur ini titik terang berita saya. Saya tidak akan tertipu lagi. Saya sudah siapkan strategi untuk mengungkap kebohongan bapak. Sebentar lagi  penduduk kampung juga bakal mengerti bahwa di balik ribuan buruh perempuan yang ambrol dari gerbang pabrik rokok itu,  mereka segera tahu banyak.

WALIKOTA: Ya..apa lagi maumu.

FAJAR ABDI: Jangan berkelit Tuan Walikota, saya sudah menjalin kontak dengan kawan-kawan wartawan di Surabaya maupun Jakarta untuk berita besar ini, kebohongan ini.  Saya juga sedang upayakan memperoleh akses masuk ke Kantor Bea dan Cukai berikut rumus-rumus kemudahan mengakses informasinya.  Karena saya tahu, sebagaimana watak pejabat birokrat seperti bapak, lebih banyak yang nggak mau ngomong ketimbang yang bersedia. Yang saya mau hanya bertemu dan melihat orang seperti bapak mengangguk atau berdiam diri.

WALIKOTA: Terus.

FAJAR ABDI: Teruskan rapat anda Tuan. Mulai sekarang Tuan boleh tidur tidak nyenyak.

Di pojok ruangan tertentu, tak jauh dari tempat rapat,  jurnalis Fajar Abdi memencet telepon genggam.

FAJAR ABDI: Hallo, bisa bicara dengan kepala pusat kesehatan masyarakat?

SESEORANG (suara-suara):  Ya..saya sendiri?

FAJAR ABDI: Apakah bapak menerima duit dari Tuan Pejabat?

SESEORANG (suara-suara):  Duit?

FAJAR ABDI: Ya..duit dari hasil bagi perusahaan-perusahaan rokok.

SESEORANG (suara-suara): Tidak.

FAJAR ABDI:  Ah..yang benar.

SESEORANG (suara-suara):  Sumpah.

FAJAR ABDI:  Terima maupun tidak. Bagi saya sama saja lho.

SESEORANG (suara-suara):  Sumpah tidak terima.

Klik

Lampu fade out
Lampu fade in

Siang. Sekelompok warga mendatangi pejabat Walikota. Membawa poster, sepanduk dan yel-yel. Hingar bingar. Mereka menuntut hak atas uang rakyat yang tak jelas peruntukannya. Salah seorang diantara mereka Man Sapar dan istrinya Mendut.

SESEORANG:  Kami datang untuk menuntut kejelasan, bapak-bapak. Menuntut transplantasi!

SESEORANG: Transparansi!!!

SESEORANG: Yah..transparansi dana bagi hasil cukai tembakau.

SESEORANG: Kalau memang itu hak kami, berikan sebagaimana mestinya. Tapi kalau bukan hak kami, jauhkan dari urusan ini.  Jauhkan!!!

WALIKOTA: Ya..ya...nanti tinggal saya beri fotokopi datanya, untuk kalian. Tarno...perbanyak data tadi, berikan pada mereka.

Pejabat itu hendak masuk dan acuh tak acuh. Tentu saja, warga makin garang mengumpulkan keberanian berbicara lebih lantang dengan pengeras. Bahkan seorang diantaranya berani menerobos masuk dan menggelandang pejabat tersebut.

MAN SAPAR:  Kami ingin berdialog.

WALIKOTA:  Silakan.

MAN SAPAR:  Mengapa warga tidak dilibatkan soal bagi duit hasil cukai itu?

WALIKOTA:  Anda boleh mengusulkan. Boleh. Tahu aturannya, bukan?

Tiba-tiba suasana pecah oleh beberapa preman sewaan pajabat.  Berbadan kekar siap dengan pentungan.  Teriakan dan bicara kasar saling bertubrukan, antara warga dan pejabat.  Sambil sesekali pejabat itu tampak ikut  pura-pura menenangkan situasi.

WALIKOTA:  Saudara-saudara, saya bekerja bukan atas kemauan saya sendiri. Ingat itu. Karena itu anda sekalian juga jangan sak karepe dewek!  Saya bekerja atas perintah pemerintah pusat dan berdasarkan aturan perundangan—tepatnya keputusan menteri. Soal usulan mulai sekarang boleh-boleh saja. Silakan, ayo siapa berani bicara?

MAN SAPAR:  Berapa dapat duit dari pusat untuk warga? Dan mana warga nggak terima sepeserpun.
WALIKOTA:   Memang kita dapat dana, tetapi duit itu baru keluar kalau ada usulan kegiatan. Usulan itu ke menteri keuangan. Jadi kalau ada input silakan. Kalau nggak ada ya, saya yang bikin sendiri tahu?

MAN SAPAR:  Kita? Yang benar saja!  Kalau usul dibolehkan, mengapa nggak dikabarkan. Mengapa nggak ada otonomi?

WALIKOTA:  Dana bagi hasil cukai tembakau ini nggak ada ada otonominya. Sudah diatur untuk keperluan ini dan itu oleh pusat. Bahkan kalau tidak sesuai nanti kita harus mengembalikan dana itu. Ya, alasannya tidak ada kegiatan lagi. Seperti contohnya, pemberdayaan petani tembakau. Di kota ini tidak ada lahan tembakau, ya akhirnya dana untuk itu dikembalikan. Kalau dipakai lainnya kita kena sanksi BPK, KPK, saudara-saudara.

MAN SAPAR:  Bapak jangan pura-pura bodoh. Anda jadi pejabat supaya meringankan rakyat, bukan malah membodohi rakyat.

WALIKOTA:  Maksud anda apa?

MAN SAPAR:  Anda yang terima dana, kenapa anda juga yang bingung. Pejabat bingung itu jelas karena kebingungannya sendiri, to?  Karena tidak berpihak pada orang-orang seperti kami. Anda bingung membagi jatah tender  proyek dari dana itu, supaya kecipratan dan nggak diprotes kawan-kawan sendiri?

WALIKOTA:  Hei,  hati-hati kamu ngomong!

MAN SAPAR:  Bapak tersinggung? Kalau tersinggung, berarti kemungkinannya hanya dua: bapak pura-pura bodoh atau memang bodoh beneran. Kalau tidak, bagaimana bisa terjadi, anda bingung terima duit, tapi kami juga tidak merasa mendapat apa-apa selain yang namanya penderitaan. Istri-istri kami dihisap pabrik, suami-suami dihisap penyakit dan kami sama-sama dihisap oleh pejabat atas nama negara.

WALIKOTA:  Apalagi bila duit itu akhirnya terpaksa harus ada yang kembali ke pusat, jelas itu karena kebodohan anda saja.

SESEORANG (sinis)Ha…baru sekarang saya dengar. Warga lebih pintar dari pejabatnya. Baru sekarang.

SESEORANG:  Nggak usah berdebat soal pintar dan bodoh, sekarang jawab pertanyaan kami,  dari dana besar itu ada nggak yang dikembalikan ke pemerintah pusat?

WALIKOTA:  Ya, ada. Ini nyata. Sekitar 10 persen.

SESEORANG:  Huu.......hu.....hu....

Suasana makin kacau karena para preman yang mengamankan pejabat itu, diperintahkan seseorang untuk bertindak kasar.  Terjadi keributan yang berakhir dengan terdesaknya warga dan terusirnya aktifitas protes warga itu ke sisi luar panggung.

Sementara itu, giliran sang jurnalis Fajar Abdi malah mendesak pejabat hingga sudut panggung yang lain. Jurnalis mengorek informasi lebih dalam.  Tanpa bisa mengelak si pejabat pun melayani pertanyaan jurnalis, tentu saja dengan menyiapkan sejumlah gelagat birokrat—manis, nyinyir dan penuh basa-basi.

FAJAR ABDI:  Jadi benar soal dana itu jumlah besarnya ditentukan dari pusat, Pak?

WALIKOTA:  Jadi menurutmu, pejabat memang berbakat untuk berbohong? Begini,  duit itu digunakan untuk apa juga sudah ditentukan, seperti menanggulangi penyakit akibat merokok. Impoten, mandul, kanker, jantung, ibu hamil dan lain sebagainya. Pokoknya terkait dengan itu. Sekitar 60 persen untuk beli alat diagnosa ISPA, obat-obatan dansebagainya. Pertanyaannya kalau sudah beli, masak tahun ini mau beli lagi?  Karena perintah dari pusat tidak berubah dan tidak ada otonomi. Mestinya lebih baik dananya untuk kesejahteraan masyarakat. Bisa masalah kesehatan, masalah infrastruktur dan macam-macam.

FAJAR ABDI: Tapi sebagian dana kok malah balik untuk kepentingan pabrik-pabrik rokok?

WALIKOTA:  Betul. Ini namanya ambivalen. Yang satu kita menghambat orang merokok, yang satu lagi kita menggunakan dana bagi hasil cukai tembakau untuk memerangi membuat perusahaan rokok makin jaya.

FAJAR ABDI:  Anda ini pejabat pemerintah, kok malah mengkritik pemerintah. Yang benar saja!

WALIKOTA:  Karena memang banyak yang tidak berpihak pada kesejahteraan.  Coba anda pikir, menteri pemerintah mengeluarkan aturan khusus untuk pengusaha pabrik rokok minimal yang luas lahannya 200 meterpersegi.  Padahal berapa banyak di daerah sini cuma industri rumahan, berapa ratus industri di negara ini bisa gulung tikar.  Tapi warga sepertinya tidak mau mengerti, saya sudah menawarkan bagaimana kalau misalnya dibangun pusat pabrik rokok? Bisa diterima nggak? Anda bisa bayangkan kalau puluhan pabrik ditutup, berarti ratusan karyawan mengganggur.  Jujur saja, secara pribadi menurut saya lebih baik dana bagi hasil itu mestinya langsung diperuntukkan demi kesejahteraan warga.  Karena memang, anggaran daerah yang dikucurkan untuk belanja dan biaya memang kurang. Untuk membiayai infrastruktur Kota, selain untuk  kesehatan penduduk, pendidikan, ekonomi itu saja kurang.  Nah, kalau duit hasil cukai yang lebih 40 miliar itu ngga dibatasi aturan, kan bisa membantu kesejahteraan, untuk menggerakkan roda ekonomi kota. Atau untuk meningkatkan mutu pendidikan. Saya heran lho, ini aturan kok akhirnya kembali terkait dengan rokok. Orang miskin yang belum dapat BLT saja masih dua kali lipat jumlahnya dari yang terima duit BLT. Untuk menjamin kesehatan mereka ini, kekurangan dana. Apalagi duit untuk kesehatan penyakit berat dan harus ditindaklanjuti. Termasuk bagi penderita sakit akibat merokok.

FAJAR ABDI:  Terus anda maunya bagaimana?

WALIKOTA: Ya...soal duit hasil cukai rokok itu, gak usahlah dibedakan ini itu.  Semua dari pusat, jadi semuanya jadikan satu yang jadi bagian kota. Beres. Ngapain susah-susah itu duit dibedakan karena dari cukai rokok.

FAJAR ABDI:  Anda sudah sampaikan usul itu?

WALIKOTA: Berkali-kali. Kalau aturannya belum dicabut, daerah pesimis menjalankan program.  Masak yang terima duit sedikit gak bingung, tapi yang dapat puluhan miliar kebingungan. Mau bikin kebijakan, takut diperiksa komisi korupsi, mau bikin proyek fisik tidak bisa selesai karena duit turun akhir tahun. Kalu puluhan miliar untuk proyek non fisik semua, gak habis, sosialisasi, kunjungan kerja, studi banding, gak bakal habis.

Hari berlalu.

Musik.
Lampu fade out
Lampu fade in


Bagian Dua

Sore hari. Di balik sebuah pabrik, tampak geliat warga kampung. Melakukan aktivitas keseharian.  Berjualan di pasar dadakan. Menjemur kasur.  Menarik becak. Menjaga warung. Pemilik parkir sepeda. Sopir angkutan. Mereka semua menyandarkan keseharian hidup pada aktivitas pabrik. Persisnya pada buruh-buruh wanita di pabrik rokok itu. Saat kedatangan di pagi hari, mengaso di siang hari dan kepulangan di sore hari.

SESEORANG:  Kapan-kapan bagaimana kalau pasar kita dipindah, Kang?

SESEORANG:  Oh..itu namanya direlokasi yu…Yo, gak papa. Kalau yang merelokasi pihak pabrik gak masalah. Kita pasti dijamin dapat tempat enak dan masih di lingkungan pabrik.

SESEORANG:  Ya.ya..pengalaman pedagang yang lain memang begitu. Dapat tempat lebih baik.

SESEORANG:  Kita ini beruntung lho. Sudah diizinkan berjualan di sini.

SESEORANG:  Ya..ya..coba kalau yang merelokasi pejabat pemerintah. Wah, dijamin amburadul  Ora malah bernasib baik, tapi malah kleleran.

SESEORANG:  Dapat THR lagi.

SESEORANG:  Yo. Tapi enak yang punya rumah dekat pabrik.

SESEORANG:  Alah..beda sedikit. Kita yang agak jauh dapat 50 ribu. Yang mepet pabrik terima 100 ribu. Beda sedikit to?

Beberapa orang buruh wanita keluar gerbang. Berbelanja. Mengobrol. Setelah itu sepi lagi.

SESEORANG:  Ada yang terima barang nggak?

SESEORANG:  Sekarang sudah nggak ada. Ya diganti duit itu.

SESEORANG:  Terus duit-duit cukai itu piye?

SESEORANG:  Cukai? Ora ngerti aku. Rego tempe aku ngerti.

SESEORANG:  Sampean kang. Dengar nggak duit-duit cukai itu?

SESEORANG:  Oh...sego pecel aku ngerti.

SESEORANG:  Tupai? Itu bajing, bos.

SESEORANG:  Ya..ya..aku ngerti. Mungkin aku ngerti. Mungkin maksudnya kapan hari itu ibu-ibu dan warga kampung kan diberi kursus gratis. Ada kursus kursus menjahit, kursus setir mobil, bengkel las. Siapa yang mau kursus dibiayai pabrik. Biaya itu, mungkin namanya cukai.

SESEORANG:  Serius banget. Kok yakin lek keliru jawabanmu. Tapi itu menarik karena sebelumnya nggak pernah kudengar.

SESEORANG:  Memang tahun-tahun sebelumnya kesempatan itu tidak diperoleh warga.

SESEORANG:  Ah itu rezekinya yang muda-muda. Kita yang tua-tua sudah cukup dan bersyukur merasa seperti pegawai negeri. Kerja hari senin sampai Jumat. Sabtu dan Ahad libur. Iya, to?

SESEORANG: Ya iyalah..Aku juga pernah muda. Dulu dan sekarang sama saja. Sebelum buka warung seperti ini, tigapuluh tahun lalu saya kerja di pabrik rokok ini.  Satu-satunya alasan aku ingin keluar ya karena kepingin buka warung. Soalnya tigapuluh tahun lalu, buka warung dengan jadi buruh pabrik enak buka warung. Lain dulu lain sekarang. Mungkin ada yang sama tapi ada yang beda. Dulu dan sekarang upahnya tetap sedikit. Tapi buruh pabrik sekarang yang bisa diharapkan hanya THRnya saja.  Buruh biasa bisa terima sampai 4 jutaan.

Tidak jauh dari tempat itu, tiga buruh perempuan, saat mengaso, terlihat membicarakan sesuatu. Tentang sebuah malapetaka yang dialami temannya. Ancaman yang juga bisa terjadi atas hidup mereka.

SESEORANG:  Hati-hati lho...sekarang banyak operasi.

SESEORANG:  Operasi apa? Bagaimana?

SESEORANG:  Nggak tahu. Nggak jelas. Karena itu kita harus serba hati-hati.

SESEORANG:  Operasi dari polisi? Atau operasi orang-orang pabrik?

SESEORANG:  Nggak jelas. Bisa dua-duanya. Dua-duanya bisa bikin kita mati kutu kan.

SESEORANG:  Ssttt...itu dua hari lalu. Si Rukmini ketangkep polisi.

SESEORANG:  Oohh...itu pasti urusan usahanya ilegal. Bukan polisi. Tapi aparat. Yah..kadang-kadang sih polisi ikut juga sih

SESEORANG:  Rukmini?

SESEORANG:  Ya..buruh pabrik yang punya usaha rokok Srikandi itu lho.

SESEORANG:  Lha iya...itu berarti urusan pabrik dan rokoknya ilegal. Ya...masuk penjaralah, kalau gak bisa nebus.

SESEORANG:  Padahal dulu sudah kuingatkan.

SESEORANG: Maksudmu?

SESEORANG:  Maksudku, pernah kuingatkan Rukmini bisa berurusan dengan polisi dan orang pabrik.

SESEORANG:  Maksudku, sekarang aku giliran mengingatkan kamu. Kamu bikin usaha rokok linting bisa berurusan dengan pabrik juga, selain dengan polisi. Kita ini buruh pabrik, tapi di rumah malah bikin produksi barang yang sama dengan pabrik.

SESEORANG:  Ya..gimana lagi. Penghasilan kita nggak cukup. Kalau nggak disambi dengan usaha di rumah tentu nggak dapat tambahan. Lagi pula hanya ini yang kita bisa.

SESEORANG:  Ngertilah. Resikonya itu lho. Kalau ketahuan mandor pabrik, terang kita dikeluarkan dengan tidak hormat.

SESEORANG:  Aku sendiri juga nggak ngerti. Kenapa kita masih juga berbuat, padahal telah tahu akibatnya. Pihak pabrik pun berkali-kali menyampaikan ancaman.

SESEORANG:  Orang miskin pasti selalu nggak bisa jawab, neng.

Tak jauh dari tempat mereka berbincang, terlihat dua orang pria terlibat transaksi hitam. Secara sembunyi-sembunyi, dua orang tersebut terlihat menyerahkan sebungkus plastik hitam barang ilegal. Disaksikan oleh jurnalis Fajar Abdi, yang segera secara diam-diam mendekati keduanya dan disambut dengan rasa takut luar biasa. Tentu saja, sang jurnalis diduganya mandor pabrik atau petugas negara.

FAJAR ABDI:  Jangan takut, jangan takut. Saya orang biasa.

Saling melirik reaksi seseorang yang mendadak nongol dari daun jendela.

SESEORANG:   Ini hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri kok mas. Ini bukan jual beli. Saya hanya titip untuk kebutuhan warga saja.

FAJAR ABDI:  Buat saya nggak informasi itu tidak penting, Pak. Yang penting, mengapa tidak ingin bikin usaha yang lebih besar?

SESEORANG:  Kami orang miskin, tentu saja untuk mengembangkan usaha seperti itu, kepingin sih kepingin. Tetapi terbentur  masalah modal.

FAJAR ABDI:  Tapi bapak tahu ini ilegal dan berbahaya.

SESEORANG:  Ya tahulah.  Masak nggak tahu. Orang seperti saya, juga tahu jadi sasaran tembak saja. Bapak wartawan ya.

FAJAR ABDI:  Ya. Tapi tidak sedang bekerja.

SESEORANG:  Apa sampeyan sampai hati memberitakan ini di koran?

Suara mereka tenggelam oleh teriakan sopir-sopir yang menawarkan jasa angkot pulang.



Bagian Tiga


Di panggung berbincang dua aktivis LSM yang diterjunkan khusus dari Surabaya. Terlihat mengamati kesibukan warga, buruh pabrik, dan memandang aktivitas pabrik besar yang berdiri kukuh itu. Seorang diantaranya sibuk memotret, bergaya layaknya jurnalis. Mereka seperti pelancong yang melintas berkendara becak.

MARZUKI:  Biasa saja kawan. Jangan sekali-kali tunjukkan gelagat asli kita. Bahwa kita orang LSM. Kita hanya jalan-jalan bukan? Menikmati panorama keindahan kota. Ha..ha..

JURU KAMERA:  Ya..ya..kita nikmati pelesir kita. Sejak melihat orang mati, wanita cantik sampai keindahan suatu kemiskinan.

MARZUKI:  Tadi sudah kita lihat kuburan leluhur orang kuat di puncak tebing gunung Klotok, kampung miskin, dan sekarang tiba saatnya wajah kota berikut kemiskinan di  lipatannya.

JURU KAMERA:  Huh..seperti penyair saja lagakmu.

MARZUKI:   Oya..soal wanita cantik ini, aku pernah mendengar cerita. Konon, kota ini dikenal berpenduduk wanita-wanita cantik. Wanita cantik ini bukan cerita bohong, tapi ada foklornya, ada cerita rakyatnya yang dituturkan dari mulut ke mulut. Ada mitos yang membuat masyarakat punya punya pemahaman tentang kecantikan itu. Begitu banyak masyarakat kota ini maupun luar kota yang  memang percaya bahwa gadis-gadisnya itu memang cantik. Mitosnya yang terkenal yaitu cerita Panji. Karena dalam cerita Panji banyak wanita yang di mitoskan. Diantaranya Dewi Anggraini perempuan yang kemudian bersinar dan ruhnya pergi ke bulan. Sinar dari Dewi Anggraini ini kemudian menjelma pada seseorang gadis lain yang kemudian diperistri oleh Raden Panji. Nama Candrakirana. Itu pengertianya serupa dengan ruh wanita yang cantik. Jadi masuk akal bila warga kota ini kemudian percaya gadis-gadisnya adalah gadis-gadis yang cantik. Tapi persoalannya ada fakta lain tentang kecantikan yang sudah meluntur. Kini yang terkenal dan  melekat pada warga Kediri adalah sebagai kota dengan penduduk perempuan yang bekerja di pabrik paling besar. Pabriknya paling besar, jumlah karyawan perempuan juga terbesar. Jumlahnya sekitar 40.000. Lebih besar dari pada karyawan di pabrik di dekat Surabaya 30.000.

JURU KAMERA:  Terus, dari penjelasanmu itu, lantas mungkinkah ada fenomena-fenomena baru yang menggantikan kecantikan gadis-gadisnya? Akankah kecantikan itu di tempat ini musti diberi makna baru?

MARZUKI:  Ah, bicaramu masih seperti LSM saja.

JURU KAMERA:  He..he..gabungan LSM dan penyair.

MARZUKI:  Tapi kita memang orang LSM. Lantas apa rencanamu?

JURU KAMERA:  Cari perempuan cantik.

MARZUKI:  Hus!

JURU KAMERA:  Maksudku cari pintu masuk!

MARZUKI:  Sama saja. Pintu masuk dan perempuan.

JURU KAMERA:  Maksudku, pintu masuk lobi, bosss...supaya skenario awal kita mencari misteri hubungan masyarakat miskin, buruh pabrik, pengusaha dan pemerintah bisa terpecahkan.

MARZUKI:  Hebat juga bicaramu, kayak LSM sungguhan.

JURU KAMERA:  Yang penting bisa masuk pabrik terlebih dulu. Tujuannya untuk mengetahui situasinya di dalam karena  dengan bangunan pabrik sebegitu megahnya, pagarnya sedemikian tinggi, tembok-temboknya menjulang, gerbang-gerbangnya sedemikian berat, sebagai masyarakat tentu perlu untuk sekadar tahu isi di balik tembok itu. Baru kemudian mencari tahu, pendapat-pendapat orang penting di dalam Pabrik.  Dengan bisa bertemu, kita bisa coba korek-korek informasi terkait isu rokok di luar, seminal pada masalah regulasinya, atau implementasinya terkait bidang cukai dan sebagainya. Asumsinya, karena kita yakin ada misterinya dari hubungan antara orang-orang pabrik dengan pemerintah.

MARZUKI:  Itulah pentingnya kita punya keyakinan. Bukan hanya penyair yang boleh punya keyakinan.

Malam hari. Di rumah Mendut. Musik melayu lamat-lamat terdengar.  Lampu ruangan tamu rumah juga meredup. Di rumah itu Mendut sedang melinting rokok dengan alat sederhana. Di sampingnya ada putrinya, Mening yang senantiasa menemaninya. Keduanya terus tampak sibuk bekerja. Kini ia sedang menerima tamunya, sang jurnalis Fajar Abdi

FAJAR ABDI:  Selamat malam Nyonya Mendut.  Sesuatu takdir menyebabkan saya harus bertamu dan bertemu dengan anda. Ya..sesuatu yang saya kira lebih dari sekadar karena anda ditakdirkan punya nama Mendut.  Karena itu tak perlu kiranya saya ceritakan bagaimana mulanya sampai saya dipertemukan anda pada malam hari ini. Nyonya Mendut,  terus terang beberapa peristiwa belakangan yang terjadi telah menyulut naluri saya, menginspirasi saya dan maafkanlah kedatangan saya kali ini sudah saya pikirkan betul jikapun menurut anda pada akhirnya hanyalah sungguh untuk kepentingan saya.  Namun, rasanya saya akan menampik hidup saya sendiri jika benar seperti itu.  Jadi percayalah saya tidak sedang sendiri, Nyonya Mendut.  Jujur saja saya akui, pengetahuan sayalah yang belakangan ini membuat saya terinspirasi dengan masalah tembakau, cukai, nasib buruh miskin seperti anda dan sebagainya.  Karena itu, bagi saya pertemuan saya dengan Anda, sebetulnya serasa antara mimpi dan kenyataan. Mulanya, saya juga terinspirasi ketika kembali mengingat mitos Roro Mendut. Cerita tentang tembakau yang mengilhami banyak orang—orang biasa, pengusaha maupun penguasa. Saya telah menangkap spirit Roro Mendut ini juga berlansung di sini. Bahwa Roro Mendut ini perempuan hebat, meskipun dia dicap sebagai budak. Menjadi budak karena pada masa kekuasaan mataram Islam Sultan Agung sekitar tahun 1600an, Mataram sedang gencar-gencarnya melakukan perluasan wilayah atau melakukan penaklukan daerah-daerah. Termasuk di pesisir pantai utara. Di daerah Pati, tempat si Roro Mendut itu hidup di pantai  utara. Nah bukti penaklukan itu, si Sultan Agung memerintahkan Tumenggung Wiroguno untuk memboyong si Roro Mendut. Bukti dari penaklukan itu. Nah, yang menarik adalah pribadi Roro Mendut. Karena Roro Mendut menjadi sosok yang sangat kuat. Dia di Mataram melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan Sultan Agung maupun Tumenggung Wiroguno. Karena dia punya kekasih dari Pati juga, bernama Pronocitro yang menyusul atau membuntuti Roro Mendut sehingga kisah cinta Roro Mendut dan Pronocitro ini sangat mengganggu privasi atau kehormatan Tumenggung Wiroguno. Yang menginspirasi saya adalah sikap Roro Mendut sewaktu diusir oleh Tumenggung Wiroguno dari istana. Kemandiriannya, menjadi sangat penting disitu. Kemandirian jiwa Roro Mendut. Pada waktu diusir mucul ide-ide kreatif Roro Mendut untuk menjual rokok klobot, yang dia jual kepada masyarakat dengan servis rokoknya dilumat dengan bibir gadis itu alias disedot lebih dulu. Hasilnya laris luar biasa dan karena laris luar biasa, maka kekuasaan Sultan Agung pun meminta upeti dari Roro Mendut dari kegiatan jual beli rokok itu. Upeti inilah yang saya tafsirkan dengan bahasa saya sendiri untuk pengertian cukai pada masa sekarang. Ini masalah kekuasaan. Sebagaimana, dulu KH Agus Salim berdebat dengan diplomat Inggris, bahwa tembakau juga yang menyebabkan bangsa barat berlomba menguasai negeri ini. Menurut saya ini adalah bahasa lain dari kekuasaan. Sehingga kian gamblang bahwa masalah upeti, masalah cukai ini asumsinya  tidak lepas dari tradisi hisap-menghisap dan kekuasaan. Ada penguasa yang namanya negara, ada perusahaan rokok, terus kemudian ada buruh, ada masyarakat kecil, dan semuanya terlibat dalam gurita urusan pajak dosa itu. Nyonya Mendut, saya kira, bukan pula sekadar takdir yang menyebabkan saya perlu katakan pada anda, bahwa, mungkin mustahil untuk memisahkan apakah para pelangganya yang semuanya lelaki tersihir dengan kecantikan Roro Mendut atau tersihir karena jilatan lidah Roro Mendut disetiap batang rokok yang dijualnya. Roro Mendut adalah fakta sejarah yang menegaskan bahwa rokok adalah produksi tanpa modal, hanya membutuhkan image dan sugesti akan mengemukkan pundi-pundi bagi siapa pun yang memproduksinya. Akan tetapi karena besarnya kebutuhan mempertahankan atau menciptakan image tertentu yang selalu semu, produksi rokok selalu memerlukan penguasa untuk melindungi imaji tersebut. Begitu pula yang terjadi  saat ini, melalui iklan dan sikap apriori pemerintah, image yang mengada-ada tetap menjadi kekuatan utama produksi rokok. Rokok adalah produksi yang sama sekali tidak membawa sisi manfaat bagi rakyat, tetapi mendatangkan keuntungan yang tiada tara justru bagi mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam proses produksinya, diantaranya penguasa pemilik. Sementara mereka yang terlibat secara langsung mulai dari petani tembakau dan buruh pabrik rokok hanya menerima ampasnya. Dengan segala peraturan dan retorikanya, penguasa seringkali bertingkah sebagai hansip bagi image rokok atau pabrik rokok. Kisah Roro Mendut adalah bukti sejarah bahwa kekuatan kapital tembakau yang dari masa ke masa selalu digunakan membeli kebebasan maupun penawar ketidakadilan.

NYONYA MENDUT:  Lantas, apa yang tuan harapkan dari keluarga miskin seperti saya, dengan suami yang sakit-sakitan dan anak gadis bau kencur seperti ini?

FAJAR ABDI:  Sekadar rasa ingin tahu, Nyonya.  Mata anda terbuka, lalu hati anda melawan. Apa sebenarnya yang membuat orang miskin seperti anda seolah punya pilihan.

NYONYA MENDUT:  Hanya itu?

FAJAR ABDI:  Tidak Nyonya. Saya juga ingin membuktikan bahwa saya tidak sedang sendiri. Begitu juga anda tidak sendiri pula.

NYONYA MENDUT:  Saya tidak tahu ini pilihan atau bukan bagi saya. Seperti halnya kemiskinan keluarga kami ini takdir ataukah bukan. Yang jelas, ini soal harga diri di depan gadis kecil di samping saya ini, anak saya, buah hati saya.

FAJAR ABDI:  Saya sudah menduga Nyonya, anda tidak akan pernah merasa sendiri.

NYONYA MENDUT:  Karena saya tidak memiliki apapun yang saya berikan pada puteri saya Tuan. Kecuali hati dan harga diri.


Lampu fade out
Lampu fade in


Nyonya Mendut masih setia duduk tenang, ditemani putri kesayangannya.

NYONYA MENDUT:  Apa lagi yang perlu saya jawab, Tuan Jurnalis?

FAJAR ABDI:  Saya sekadar membawa kabar, Nyonya. Yang mungkin mengejutkan anda. Karena tugas saya hanyalah membawa kabar. Semoga kabar saya sanggup membangkitkan lagi semangat anda untuk menceritakan perihal hidup lebih banyak.

NYONYA MENDUT:  Jangan berputar-putar. Katakanlah. Kabarkanlah.

FAJAR ABDI:  Laki-laki seperti saya, mungkin akan terpukul di depan sosok perempuan perkasa seperti anda, Nyonya Mendut.

NYONYA MENDUT:  Ah, jangan berlebihan.

FAJAR ABDI:  Tidak. Sejujurnya saya katakan,  hari-hari ini telah saya ketahui bahwa anda adalah perempuan pilihan zaman.  Zaman terus berubah, tetapi perempuan seperti Nyonya Mendut kukuh pada apa yang tersimpan dalam hati. Perubahan zaman juga yang pada akhirnya memilih Nyonya untuk tidak cukup melawan dalam hati.  Percayalah Nyonya, Anda telah dipilih untuk berbicara, berteriak, melawan setiap yang mengancam menggerus hak-hak hidup orang-orang kecil seperti anda melampaui kekuatan hati, Nyonya.

NYONYA MENDUT:  Ungkapan anda sungguh membuat diri saya ketakutan, Tuan.

FAJAR ABDI:  Itu manusiawi, Nyonya.

NYONYA MENDUT:   Seperti saya katakan, saya hanya orang biasa, miskin, kecuali kekuatan diri dan ketetapan hati untuk mengenalkan buah hati saya ini pada kenyataan hidup. Ini yang membuat saya tidak pernah takut, oleh karena ketakutan saya telah dirampas oleh takdir dan nasib buruk yang menimpa keluarga orang-orang seperti kami. Jadi apa yang saya takutkan, saya tidak punya apa-apa: harta, kebahagiaan.  Satu-satunya ketakutan yang saya punya adalah justru yang menumbuhkan nyali saya, tuan. Ketakutan yang menyebabkan pamrih saya harus saya timbun di lubuk jiwa puteri saya ini.

FAJAR ABDI:  Maafkan saya, Nyonya bila mana saya kurang bisa menangkap keseluruhan suara hati Anda. Bilamana oleh karena saya seorang pria. Inilah yang hendak saya kabarkan, bahwa telah dipilih takdir menyimpan kekuatan dari segala kekuatan itu.

NYONYA MENDUT:  Lagi-lagi ungkapanmu menyebabkan saya ketakutan. Saya sekedar bicara pada diri saya sendiri, keluarga dan anak kesayangan saya. Hanya itu. Tidak lebih dan tidak kurang, Tuan.

FAJAR ABDI:  Justru itulah kekuatan besar dalam diri anda Nyonya. Keyakinan.  Sekecil apapun keyakinan, akan berlayar di samudra kehidupan yang luas.  Masyarakat, negara bahkan semesta ini.

NYONYA MENDUT:  Jangan lagi beri saya ungkapan yang membuat saya takut dan tidak mengerti tuan. Katakan apa lagi yang perlu saya jawab?

FAJAR ABDI:  Baiklah. Sekali lagi saya katakan, saya hanya membawa kabar. Selebihnya pertanyaan atau pernyataan saya sesungguhnya hanyalah untuk diri saya pribadi sebagai seorang pria yang mengagumi kekuatan perempuan seperti anda.  Sejujurnya saya terus bertanya, makluk apakah sebetulnya yang tumbuh di hati anda Nyonya Mendut, sehigga sedemikian punya keberanian menyongsong raksasa zaman rakus ini.  Profesi saya menyebabkan saya cukup tahu apa yang terjadi di luar diri anda—buruh, pabrik dan negara.  Saya mendengar baru-baru ini pabrik tempat anda bekerja telah menetapkan kebijakan baru yang merugikan karyawan, terutama  karyawan dengan sistem borongan di bagian linting seperti anda. Pendapatan buruh  perhari tergantung dari jumlah batang rokok yang dihasilkan, dengan alasan perbaikan kualitas. Catatan saya, perbaikan kualitas berdampak pada lamanya proses pembuatan rokok sehingga jumlah batang rokok yang dihasilkan menurun. Sementara mengenai hubungan Pabrik dengan karyawan sebelum diberlakukan kebijakan baru, sebetulnya dianggap sangat baik. Setiap karyawan yang sakit untuk biaya pengobatan ditanggung oleh manajemen, sekalipun di rumah sakit swasta. Lebih dari itu tidak hanya karyawan yang ditanggung. Anggota keluarganya pun jika sedang sakit atau berobat juga ditanggung pabrik biaya kesehatannya. Jika karyawan yang bersangkutan tidak bisa melanjutkan bekerja, manajemen pabrik menawari anggota keluarga lainnya untuk bekerja sebagai pengganti. Benarkah, oleh sebab itu banyak buruh membangkang dengan membuat usaha sampingan yang ilegal di rumah-rumah mereka? Termasuk anda?

NYONYA MENDUT:  Anda sudah mendengar, apa lagi yang perlu saya ceritakan?

FAJAR ABDI:  Nyonya Mendut, saya minta anda tak perlu menutupi lagi sesuatu pun. Anda sekarang sudah menjadi ikon atas nama takdir yang anda buat sendiri maupun yang melintasi hidup anda, Nyonya.

NYONYA MENDUT:  Saya tidak bisa melihat dan merasakan apa-apa kecuali yang terjadi atas diri saya dan keluarga saya sendiri. Anda lebih pintar dari saya dalam hal ini, pikiran dan mata pena anda lebih tajam dari amarah yang berdiam di hati saya, tuan.

FAJAR ABDI:  Ya..saya mengerti. Ini hanya untuk diri saya sendiri.

NYONYA MENDUT:  Saya bekerja borongan di pabrik sejak tigapuluh tahun lalu, bukanlah pilihan saya. Tapi saya bekerja untuk sesuatu hidup yang lebih baik. Sekarang keadaan berbalik terjadi pada keluarga saya dan tentu saja juga pada keluarga kawan-kawan saya. Manajemen pabrik benar-benar menekan karyawan. Kontrol ketat. Semula garapan bisa 2000 sekarang paling banter cuma 1500 batang tiap hari. Waktunya habis untuk berhati-hati memperbaiki rokok. Seperti saya ini mandiri linting sendiri, potong sendiri dapatnya sejumlah itu. Kalau yang berpasangan dengan tukang potong bisa 3000 atau 4000 batang perhari. Saban 1000 batang ongkos yang saya terima 18.000 karena giling dan potong sendiri. Lek sing giling saja tiap 1000 batang dapat ongkos 12000 dan tukang potongnya 6000. Kalau giling saja bisa mencapai 4000 batang perhari tinggal mengalikan 12000 kali empat, jadinya 48.000. Sekarang pabrik terus kontrol untuk mendapatkan rokok unggulan. Dulu seperti saya bisa sampai 2500 perhari. Sekarang pulang lebih sore dari yang dulu-dulu karena harus dengan hasil yang bagus lintingan rokoknya. Tapi itu tidak hanya bagian giling saja. Bagian pengepresan juga diperlakukan sama harus siku betul tidak boleh seperti dulu-dulu. Karyawan yang dibawah standar diperingatkan sampai tiga kali. Kalau tidak berubah istilahnya disekolahkan lagi, perlu diberi pelajaran lagi agar kemampuannya sama dengan rekan-rekannya. Ada satu hal yang perlu tuan ketahui, meski tak bisa pula tuan rasakan.  Entah mengapa para buruh perempuan seperti kami juga punya rasa takut. Kami ditakut-takuti dengan berbagai macam berita soal nasib teman-teman kami di dalam pabrik. Kami ditakut-takuti dengan suara siaran pengeras suara yang tiba-tiba menyalak dengan ancaman-ancaman. Tuan boleh menduga kenapa kami takut, tak lain karena buruh-buruh itu orang miskin yang takut kehilangan pekerjaan, takut kehilangan mata pencarian terlebih bila suami-suami lebih sering menganggur ketimbang bekerja.

FAJAR ABDI:  Tapi setidaknya saat ini, ketakutan itu sudah tak terlihat lagi dari sorot mata anda Nyonya Mendut.

NYONYA MENDUT:  Karena orang seperti anda telah melihat batas-batas itu.

FAJAR ABDI:  Itulah yang saya maksudkan, kita tidak benar-benar sendiri, Nyonya.  Anda telah ditakdirkan untuk membuat orang-orang miskin itu tahu batas-batas dalam dirinya. Juga harga dirinya.

NYONYA MENDUT:  Kenapa tuan bicarakan itu lagi?

FAJAR ABDI:  Hanya untuk saya sendiri.

NYONYA MENDUT:  Ketakutan itu ada batas. Sebagaimana kesabaran juga berbatas. Batas-batas yang lain yaitu antara mimpi dan kenyataan, Tuan.  Orang-orang seperti kami lebih banyak bermimpi karena terus dicekoki mimpi, ketimbang bertindak atas dasar kenyataan.  Untuk benar-benar tahu batas mimpi dan kenyataan, tidak harus jadi orang besar, tidak harus sekolah tinggi, dan tidak harus hafal ajaran agama.  Hanya butuh keberanian saja.  Keberanian untuk menghadapi kenyataan hidup, tuan.  Saya lebih tahu kenyataan hidup saya sendiri, ketimbang anda. Karena itu saya sudi menjawab pertanyaan dan menerima anda di rumah saya.  Kenyataan hidup saya sangat pahit, tuan. Miskin, menderita, dihina, dihisap. Sampai kami menjadi ragu apakah sebetulnya saya, keluarga saya, rekan-rekan saya ini manusia atau bukan.  Bahkan saya maklum untuk sejenak tak pedulikan apakah saya perempuan atau bukan. Tapi saya tidak bisa lupa diri bahwa saya seorang ibu dari anak saya. Kenyataan tuan, yang menyebabkan saya menyakini punya harga diri. Saya kira ini lebih mengesankan ketimbang apa yang berkali-kali anda sebut dengan takdir itu tadi. Kadang-kadang saya melupakan takdir saya, tapi tak pernah abai dengan keyakinan saya di depan anak saya.

FAJAR ABDI:  Saya merinding mendengar penuturan anda, Nyonya.  Saya telah datang kepada seorang perempuan perkasa, tapi anda tak pedulikan diri selaku seorang perempuan pun. Saya tidak bisa mengukur kedalaman kata anda, kecuali mengingatkan pada diri saya bahwa saya pun datang di dunia ini tidak dengan sendirinya—melainkan melalui seorang ibu seperti anda.

NYONYA MENDUT:  Itulah, barangkali seorang perempuan bisa hina atau dihinakan, tapi itu tak pernah terjadi pada seorang ibu pun.

FAJAR ABDI:   Baiklah. Saya hanya ingin tahu kenyataan anda yang lain. Anda sudah bekerja, kenapa juga masih mbalelo dengan membuat pekerjaan di rumah?

NYONYA MENDUT:  Ada yang mengajari! Ada yang menyebabkan saya berbuat demikian. Ada yang membuat saya tak punya pilihan lain kecuali berbuat demikian. Kamu orang pintar pasti tahu jawabnya. Dahulu buruh pabrik seperti saya dapat jatah rokok-rokok apkiran dan boleh dibawa pulang. Bisa saya jual dan dapat uang. Sekarang tidak lagi. Karena kuatir dijual atau buat campuran rokok lain untuk dijual, dan sekarang diganti uang tambahan.

FAJAR ABDI:   Berapa duit?

NYONYA MENDUT:  Untuk karyawan harian itu satu paknya diganti empat ribu sekian. Tapi saya setiap sepuluh batang tigaribu.

FAJAR ABDI:  Kapan dibayarkan?

NYONYA MENDUT:  Tapi saya belum pernah terima. Kabarnya bulan ini.  Hanya sudah disiarkan akan diganti duit total. Itulah cara-cara untuk menarik simpati. Pasti ada konsekuensinya. Buktinya, kami diminta untuk pulang jam lima sore.  Kalau berangkat kerja subuh dan pulang dari pabrik sehabis magrib, itu berarti kami lebih buruk dari nasib kerbau dan sapi. Tapi kami bukan orang bodo. Kami menolak dan pilih sembunyi-sembunyi kerjakan pekerjaan rumah buat rokok di rumah. Itu semula cara termudah untuk tidak turun jalan. Karena dulu pernah ratusan ada yang protes  di bagian filter, terus dirumahkan. Katanya setelah dirumahkan mau dipanggil lagi, tapi kenyataannya sampai sekarang tidak pernah. Semenjak itu tak pernah lagi ada aksi demo. Tapi seperti saya katakan, setiap mimpi, juga kenyataan selalu ada batasnya, Tuan. Jadi anda sudah tahu mengapa saya melakukan ini semua?

FAJAR ABDI:  Sedikit tahu, Nyonya.

NYONYA MENDUT:  Karena bertahun-tahun kami tetap miskin dan omong kosong dengan kesejahteraan. Yang terjadi adalah penghisapan atas kami, atas tenaga, pikiran, waktu, jiwa dan seluruh hidup kami. Sampai  saya harus mencari dan menemukan diri soal batas-batas yang lain. Batas antara uang dan harga diri, justru pada saat saya berkubang dengan kemiskinan.  Uang mungkin masalah besar dan mungkin juga bukan masalah berarti. Demikian pula dengan harga diri, barangkali tidak sulit untuk diperjuangkan meskipun orang lain mungkin terus merebutnya. Tapi saya kira kalau mau jujur tidak satupun diantara kita ini yang tidak ingin menemukan batas-batas keduanya.  Ini soal hati nurani.  Kenapa sampai kini masih banyak orang tak peduli titik temu keduanya? Jawabnya karena makin banyak orang yang hilang kejujurannya. Saya tidak menggurui, namun seperti juga anda, ini hanyalah tentang diri saya sendiri, pergulatan hidup saya dan keluarga saya. Hanya diri saya sendiri yang bisa menjamin hidup saya sekeluarga. Hidup yang sebenar-benarnya hidup, tuan.

FAJAR ABDI:  Lebih dari itu, Nyonya. Hari-hari belakangan ini, anda dan keluarga anda telah menginspirasi begitu banyak orang lain, kawan, tetangga, penduduk kampung dan entah siapa lagi.

NYONYA MENDUT:  Itu soal lain. Soal lain yang perlu saya jaga. Karena itu janganlah bosan untuk berpesan agar saling menjaga diri baik-baik.   Jaminan hidup kita sendiri yang perlu dijaga, sedangkan jaminan hidup apapun yang datang dari orang lain, perusahaan, juga negara tidak pernah tulus dan patut untuk kita curiga.  Bisa jadi, itu bagian tubuh yang lain yang telah diambil dari kita.  Di pabrik banyak sekali jaminan untuk buruh-buruh seperti saya, entah digunakan ataukah tidak.  Ada jaminan kesehatan, klinik, rumah sakit, obat bagi buruh dan soal biaya berapa pun biayanya ditanggung pabrik. Karyawan tidak tahu menahu. Pokoknya masuk rumah sakit dibiayai pabrik. Kalau suami atau istrinya masuk rumah sakit juga dibayari pabrik, termasuk anak-anaknya. Semua sudah ada yang mengurus seolah seperti siluman di belakang kita dalam bentuk kertas-kertas administrasi.  Terus terang saya kesulitan mengerti, otak saya tidak mampu mencerna yang demikian. Yang saya mengerti seolah-olah kedamaian hidup ini bisa ditukar hanya dengan jaminan reparasi pada urusan tubuh saja.  Sementara di balik ini, saya tidak lebih baik dari sapi.  Ya..terkadang pikiran saya pun berkata dalam keadaan sakitlah jaminan hidup saya mengembalikan saya sebagai manusia.  Sudah ada setan yang mengatur demikian, Tuan. Saya tidak bisa mengusir setan itu sendirian.  Tidak bisa. Tidak bisa. Setan itu sudah lama mengganggu keluarga saya. Sudah laammmaaaa.. (Nyonya Mendut mendadak menangis).

FAJAR ABDI:  Maafkan saya Nyonya. Saya tidak bermaksud meruntuhkan hati anda.

NYONYA MENDUT:  Tidak mengapa (sambil membersihkan bulir airmatanya). Justru itulah sebabnya saya senang berbincang dengan orang pintar seperti anda. Siapa tahu....siapa tahu....meskipun simpati pun sudah cukup.

FAJAR ABDI:  Sekali lagi maaf bila saya tak sanggup membantu. Seperti juga anda, saya juga orang biasa, Nyonya.

NYONYA MENDUT:  Ya...semoga sejarah bisa berubah, justru oleh orang-orang biasa, Tuan.

FAJAR ABDI:  Semoga...semoga....

Jurnalis itu menatap tajam sesuatu. Mungkin ragu, tapi barangkali ada yang bergolak dalam batinnya. Sekeluar dari rumah Nyonya Mendut,  jurnalis itu merencanakan sesuatu.  Di luar, ia melongok seseorang dari mulut jendela rumahnya.  Kemudian dengan suara berbisik, keduanya terlihat pembicaraan singkat yang penting.

FAJAR ABDI:  Satu bungkus berapa?

SESEORANG:  Seribu limaratus.

FAJAR ABDI:  Isi?

SESEORANG:  empatbelas. Saya nggak jual rokok pada orang sembarangan lho.

FAJAR ABDI:  Hei..saya orang biasa. Saudaranya tetangga sebelah. Alatnya itu darimana Mbak?

SESEORANG:  Beli!

FAJAR ABDI:  Ini persis seperti alat di pabrik?

SESEORANG:  Ini lebih bagus. Kalau pabrik itu dari kayu. Sekarang namanya teflon.

FAJAR ABDI:  Berapa sih kalau beli alat untuk buat rokok?

SESEORANG:  Berapa ya, di toko sekitar 10 ribu.

FAJAR ABDI:  Saya beli rokoknya 10 ribu. Sekalian alatnya saya tawar 25 ribu. Boleh ya? Sudah cukup banyak kan.

Seseorang di lubang jendela itu terdiam sejenak. Tanpa pikir panjang segera menyerahkan barang-barang pesanan orang yang baru dikenalnya itu. Lantas, Sang Jurnalis itupun menyusul lenyap di kegelapan.

Lampu fade out
Lampu fade in

Pagi. Di sebuah pabrik kecil—mungkin lebih tepatnya industri rumahan—milik  seorang pengusaha muda.  Beberapa buruh perempuan bekerja melinting rokok, membungkus, mencampur bahan mentah. Yang lain sibuk mengangkuti vahan-bahan lain. Pengusaha itu nampak berbicara dengan beberapa orang kru film—tampaknya ini kru lain yang sebetulnya kepanjangan tangan dari orang-orang LSM.  Seorang diantaranya membawa kamera dan tengah melobi untuk direkam gambarnya.

JURU KAMERA:  Tuan, percayalah. Anda tidak sendiri. Pekerjaan saya ini sudah saya lakukan di Jombang, Nganjuk. Bahkan Malang. Kini giliran Kediri Kota dan Kabupaten. Ini nanti akan saya laporkan ke Gubernur, dan untuk kebaikan industria anda. Bagaimana?

Pengusaha itu masih diam. Bahkan sepertinya curiga.

JURU KAMERA:  Tuan mungkin telah tahu, kota ini telah menerima dana lebih dari Rp 41 miliar dari  bagi hasil cukai tembakau. Saya yakin tuan tahu karena sebagai pengusaha, pasti banyak bergaul dengan birokrat pemerintah, anggota dewan, aparat dan sebagainya. Pasti tuan juga mendengar suara-suara dana itu, inilah tugas kami untuk mencocokkan angkanya dan bagaimana sebaiknya kebijakan pemerintah—termasuk pada kepentingan usaha kecil seperti tuan.  Oya, informasi sementara dana itu sebagian besar mengalir untuk Dinas Kesehatan—padahal mestinya mengalir juga untuk industria-industri kecil seperti milik tuan. Tapi kenyataannya, di Puskesmas-puskesmas banyak yang tidak tahu menahu dengan dana itu. Ada apa ini? Ya…saya mengertilah mengapa mereka takut dan menolak waktu ditanya soal itu, padahal mereka mungkin tahu apa yang terjadi.

Pengusaha itu tampaknya makin curiga.
Sementara petugas kamera seakan tidak mempedulikan pembicaraan, ia tidak sabar untuk terus memburu gambar.  Mengambil gambar kesana-kemari. Utamanya lingkungan pabrik, dan sudah barang tentu aktivitas buruh-buruh perempuan.

JURU KAMERA:  Oya, siapa nama Tuan?

PENGUSAHA:  Mawardi (menjawab dingin)

JURU KAMERA:  Percayalah sama saya, Tuan Mawardi. Anda berjuang. Saya juga berjuang.

PENGUSAHA:  Saya kira itu omong kosong semua!.  Saya malah curiga, sebab menjelang pemilu seperti ini, jangan-jangan nanti saya hanya dijual untuk kepentingan partai tertentu. Mendompleng nama saya.

JURU KAMERA:   Potong jari saya, bila terjadi seperti itu, Tuan!

PENGUSAHA:  Sekarang apa mau anda?

JURU KAMERA:  Pemerintah baru saja menaikkan cukai rata-rata 7 persen. Usaha anda terpengaruh?

PENGUSAHA:  Jelas. Biaya produksi terpengaruh. Penurunan penjualan mesti ada. Bulan-bulan ini terasa agak banyak penurunan sekitar 30 sampai 40 persen. Nanti kalau sudah berjalan berapa bulan insyaallah bisa berjalan bagus. Masalahnya bulan Pebruari pembelian pita cukai naik semua filter maupun kretek. Kretek sebetulnya naik gak begitu banyak tapi bagi pengusaha kecil seperti saya agak berat.

JURU KAMERA:  Atas kenaikan itu sendiri bagaimana menurut anda? Mungkin terhadap pelayanannya?

PENGUSAHA:  Saya sendiri tidak bisa ngomong masalah ini. Saya sendiri mikir pabrik saya sudah pusing. Saya bicara juga percuma. Asal pabrik saya lancar dan bisa untuk kelangsungan ekonomi stabil sudah senang. Dulu ada masalah penundaan pembayaran, sekarang tidak ada. Jatuh tempo pembayaran cukai itu tiga bulan sekarang tidak ada penundaan misalnya ambil Januari bayar Maret. Saya bingung dengan perubahan itu karena membantu keuangan. Saya dengar Malang bisa, tapi Kediri tidak bisa. Saya tanyakan ke Pabean Kediri katanya masalah penundaan menggunakan jaminan bank. Masak sampai sekarang belum ada keputusan?

JURU KAMERA:  Peraturan usaha kecil rokok sekarang makin diperketat, menurut anda?

PENGUSAHA:  Ya. Ada peraturan tidak boleh dibawan 200 meter persegi. Itu peraturan kepabeanan memang seperti itu. Pabrik kecil-kecil banyak yang berbuat ceroboh, tidak sesuai aturan. Mungkin banyak yang seperti itu tapi ada juga yang tidak. Sebetulnya peraturan itu harus dijalankan. Saya juga bekerja di bawah kepabeanan harus mengikuti aturan. Tidak semau saya sendiri. Sekarang ini main birokrasi secara terselubung, KKN juga seperti itu. Kalau dulu terang-terangan di atas meja sekarang di bawah meja. Sekarang kebalikannya. Sampai hari ini memang masalah cukai ini Kediri ketat sekali. Untuk tipe madya Kediri, Kudus dan Malang ketat pengawasannya.

JURU KAMERA:  Apakah bagi pengusaha kecil dipersulit untuk kelangsungan usahanya?

PENGUSAHA:   Sebenarnya tidak. Semua itu kalau bertanya ke pihak yang bersangkutan diberi kemudahan. Saya dulu langsung dan tidak ada masalah. Saya tidak pernah dipersulit mengurus segala sesuatunya.  Cuma orang-orang yang sulit-sulit itu mungkin dia ragu-ragu tanya pada orang, atau tanya pada orang yang tidak benar sehingga dimanfaatkan. Kalau tanya pada orang yang benar langsung diarahkan dan semua kantor terbuka.

JURU KAMERA:  Dana bagi hasil tembakau menyentuh usaha kecil seperti milik anda?

PENGUSAHA:  Saya memang dengar ada dana itu. Untuk tahun ini katanya untuk sosialisasi saja, spanduk di desa-desa, pokoknya sosialisasi masalah rokok, cukai. Dinas kapan hari mengadakan pelatihan managemen, pelatihan tentang rokok, pelatihan macam-macam. Duitnya habis untuk begituan. Saya tidak dilibatkan meski dalam arti kata peserta pelatihan, dua kali studi banding keluar daerah Lamongan dan Pasuruan dan dananya dari perimbangan daerah bagi hasil cukai tembakau. Saya tidak pernah diajak. Yang diajak mungkin yang belum berkembang atau kurang berkembang supaya meniru cara distribusinya, manajemennya. Tapi pabrik-pabrik besar itu apa mungkin terbuka? Seperti punya saya saja setengah terbuka setengah tertutup. Studi banding itu bagaimana ya? Semua pabrik terutama masalah trik-trik pemasaran itu dari pabrik. Jadi saya kira itu acaranya ada tapi tidak memenuhi sasaran.

JURU KAMERA:  Bagaimana kalau ada kebijakan cukai terus dinaikkan?

PENGUSAHA:  Sudah dinaikkan. Apa pertimbangannya dinaikkan lagi? Bagaimana aturannya? Saya bingung. Yang jelas ada wacana seperti nantinya industri rokok besar maupun kecil cukainya sama.Cuma kapan 20 atau 15 tahun lagi belum jelas. Kalau sampai industri rokok mati atau dimatikan jelas pendapatan pemerintah akan hilang. Tahun lalu saja 44 triliun dan tahun ini targetnya 48 triliun. Pemerintah jelas eman. Di satu sisi pemerintah bagaikan buah simalakama. Ada tekanan dunia internasional, misalnya harganya harus mal. Ada perjanjian internasional yang kita belum tandatangan. Menurut saya pemerintah tidak usah ikut cambur luar negeri, yang penting rakyat makmur. Masalahnya kalau tidak ikut luar negeri terus dikucilkan, pemerintah diembargo. Gak usah takut diembargo. Embargo tak semudah itu. Yang penting masyarakat kita makmur.

JURU KAMERA:  Jadi sampai sekarang tidak ada yang menghambat usaha anda?

PENGUSAHA:  Sejauh ini belum ada. Justru yang menghambat pasar. Hari ini pasar lesu.

JURU KAMERA:  Kalau cukai naik untuk menghapus rokok ilegal bagaimana?

PENGUSAHA:  Sekarang Gudang Garam menghapus rokok jatah. Itu pertimbangannya dari aspirasi usaha rokok kecil. Kenapa, karena rokok jatah ternyata dijual bebas dan itu tidak boleh. Rokok untuk karyawan, untuk istana, untuk tamu sekarang tidak ada. Itu peraturan baru tahun 2009 ini.

JURU KAMERA:  Cukai rokok anda sendiri bagaimana?

PENGUSAHA:  Saya sekarang tidak pakai personan. Tapi perbatang 40 rupiah. Kalau persenan itu dulu. Semua langsung batangan dan lebih mahal dibanding persenan. Satu pak isi 12 kali 40 ketemu 480 rupiah ditambah PPn. Yang membedakan rokok kecil dan rokok besar itu Ppnnya.  Rokok usaha kecil tanpa PPn tapi rokok besar kalau cukainya melebihi 600 juta otomatis pakai PPn. Kenaikan-kenaikan seperti ini dari semula 30 menjadi 40 perbatang merepotkan pengusaha kecil. Apalagi masalah di satu sisi pemerintah memberantas rokok-rokok ilegal, di lain sisi menaikkan cukai. Rokok ilegal tetap sulit diberantas kalau cukai terus naik-naik seperti itu. Walaupun skalane kecil tapi saya yakin tetap ada rokok ilegal. Apalagi kalau petugas sudah lengah, ya bakal membludak lagi. Bahkan rokok-rokok illegal yang lama bisa bermunculan lagi. Logikanya, daripada membeli rokok katakana 2500 mending beli yang 1500 atau 2000 yang penting bisa merokok.

JURU KAMERA:  Selama ini apakah ada yang menawarkan jalan pintas atau memanfaatkan usaha anda untuk kepentingan pribadi?

PENGUSAHAMasalah ini sekarang saya hati-hati sekali. Saya takut sekali menempuh aturan main yang gak benar karena masa ini masa berkembang dan saya tidak ingin jatuh. Eman.  Biarkan mereka yang mau jalan pintas yang penting kami dari pabrik rokok KN gak pernah macam-macam. Kalau kesandung masalah malah repot. Dulu pernah ada oknum-oknum yang menekan, tapi sekarang saya sudah tahu aturan main akhirnya mereka gak berani lagi.


Setelah itu, fade in teriakan, guyonan dan canda buruh-buruh perempuan itu tanpa beban. Dan yang sudah pasti terdengar selain itu adalah keluhan gaji yang kurang, atau gaji yang belum mereka terima, tetapi tanpa bisa berutang.


Bagian Empat

Dalam remang cahaya lampu, jurnalis berkelebat. Tapi kemudian diikuti para pembuat film dan aktivis LSM. Tampaknya terjadi dialog yang alot diantara mereka.

FAJAR ABDI:  Pokoknya tidak bisa.

MARZUKI:  Saya bertanggung jawab Bung. Kamera saya ini hanyalah prespektif saja, untuk saya berbicara yang lebih luas. Jadi tidak ada tokoh dan penokohan. Apalagi sampai pembunuhan karakter. Tidak ada.  Hanyalah sudut pandang dan saya minta bantuan bung untuk memberi jalan meskipun sembunyi-sembunyi.

FAJAR ABDI:  Saya tidak mengerti, maksud anda.

MARZUKI :  Saya hanya minta izin bisa merekam narasumber-narasumber anda. Hanya itu. Hanya restu dari anda.

FAJAR ABDI:  Lho, ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya. Segala yang saya tahu hanya untuk diri saya. Kok anda menumpang untuk pekerjaan anda sendiri? Yang benar saja! Tidak bisa.

MARZUKI:  Tetapi informasi anda, apa yang anda ketahui, itu semua bisa menyingkap sesuatu yang lebih besar. Apalagi anda seorang wartawan.

FAJAR ABDI:  Hei..jangan bawa-bawa profesi saya.

MARZUKI:  Hmmm bukankan kita bisa bekerja sama?  Bukan mustahil anda bisa jadi orang penting kelak, bung. Karena anda memang orang penting, bukan?


Jurnalis itu cepat pergi.

MARZUKI (kepada rekannya, juru kamera):  Jangan cemas. Masih banyak cara bisa kita tempuh!

Lampu black out.

Menjelang Petang. Rumah keluarga Mendut.  Sepi karena tidak tampak Mendut maupun putrinya. Juga Man Sapar. Tiba-tiba ada seseorang berteriak-teriak, memanggil penghuni rumah itu. Ada sesuatu hal penting hendak disampaikan.

SESEORANG:  Yu..yu..Yu Mendut!  Yu Mendut! Kang Sapar!  Dimana ini orang?

Yang dipanggil tak juga kunjung muncul. Lalu seseorang yang membawa selebaran itu melompat masuk dan melempar kertas di tangannya. Namun begitu hendak berbalik,  Mendut muncul.

NYONYA MENDUT:   Hei..ada apa ini? Apa ini?

SESEORANG:  Yu Mendut belum dengar. Tadi siang ada selebaran dari pabrik. Isinya daftar orang-orang yang dirumahkan.  Dirumahkan itu tak pikir dibuatkan rumah, tapi setelah tak baca-baca kok nadanya disuruh istirahat dari pekerjaan, Yu.

NYONYA MENDUT:  Dipecat!

SESEORANG:  Tapi semuanya karyawan laki-laki.

NYONYA MENDUT:  Mungkin yang perempuan belum. Lho ini sepertinya semuanya yang ikut demo dirumahkan.
SESEORANG:  Makanya tadi siang banyak karyawan rasan-rasan. Takut saja, karena semua bagian diubek-ubek. Ditanyai siapa saja yang ikut protes.

NYONYA MENDUT:  Ya tadi aku juga dengar. Tapi kupikir mau dipanggil untuk diajak dialog.

SESEORANG:  Lha ini Yu Mendut, ini suamimu juga ada di daftar yang dirumahkan. Dipecat!

Mendut mencermati daftar nama-nama karyawan yang dipecat. Matanya jatuh lama pada nama Suaminya: Man Sapar. Lantas seseorang pembawa kabar itu pun pergi tanpa terdengar sepatah kata pun bagi Mendut. Sampai muncul suaminya itu dari balik daun pintu rumah.

MAN SAPAR:  Saya sudah tahu. Jangan cemas, kuatir atau takut, Jeng.

NYONYA MENDUT:  Bagaimana nggak kuatir...

MAN SAPAR:  Saya bisa menjaga diri. Maksudmu..di depan Mening, to?

NYONYA MENDUT:  Kang Sapar harus bisa menjelaskan..sampai benar-benar suatu saat tahu..siapa bapak dan maknya.

MAN SAPAR:  Aku berjanji, jeng.

NYONYA MENDUT:  Tidak hanya itu. Bukan cuma janji.  Kang Sapar harus tetap bekerja, untuk menjadi nakhoda keluarga.

MAN SAPAR:  Sudah kupikirkan itu. Justru sekarang yang mengganggu pikiranku adalah ketenanganmu, Jeng.  Pasti orang-orang pabrik tidak berhenti menteror keluarga buruh-buruhnya.  Sekarang suami-suami mereka yang dikorbankan, padahal sebetulnya hal ini hanya untuk menggerogoti semangat buruh-buruh perempuan sepertimu, Jeng.  Mereka sedang menunggu reaksimu.  Sebentar lagi sesuatu yang lain pasti terjadi. Bagaimana menurutmu, Jeng?

NYONYA MENDUT:  Sudah kurasakan saat ini, Kang Sapar. Karena itu kuceritakan padamu soal kegelisahanku, kegelisahan seorang perempuan dan mungkin kegelisahan puluhan ribu perempuan lain di pabrik ini.

MAN SAPAR:  Lantas apa rencanamu sekarang?

NYONYA MENDUT:  Nasi sudah jadi bubur. Tidak ada rencana lain, kecuali mendidik dengan baik, satu-satunya anak perempuan kita, Mening.

MAN SAPAR:  Ya..nasi sudah menjadi bubur.  Tapi kita manusia jangan pernah menjadi setan.

NYONYA MENDUT:  Harusnya aku yang tanya, apa rencanamu? Kemana hendak kau bawa perahu keluarga ini?

MAN SAPAR:  Beternak ikan. Gurami, mujair, lele. Di belakang rumah.  Selain itu, aku mau kumpulkan tiga empat orang untuk buka usaha pengeboran air tanah untuk rumah tangga atau sawah.  Sudah kusiapkan peralatan, meskipun patungan dan sudah kuhitung keuntungan.  Karena itu jangan kuatirkan lagi soal itu. Percayalah pada Kang Sapar.

NYONYA MENDUT:  Aku percaya.

MAN SAPAR:  Sudah kuhitung lele bisa panen tiga bulan sekali setelah dipotong biaya beli pakan ikan.  Gurami mungkin agak lama butuh setahun atau dua tahun untuk panen, tapi soal makanan bisa cari sendiri tanpa biaya beli makanan dari toko.  Sementara usaha pemboran air tanah bisa terima 200 ribu untuk rumahan dan 400 ribu untuk sawah. Bisa bayangkan kalau dalam sehari dapat order 3 atau 4 kali saja. Tentu akan lebih ramai manakala musim kemarau seperti sekarang, bukan.

NYONYA MENDUT:  Aku percaya itu. Tapi aku mengkuatirkan kesehatanmu. Apalagi untuk pekerjaan seberat itu, Kang Sapar.

MAN SAPAR:   Soal itu, jawabnya hanya ada pada doa dan takdir. Itu kalau kamu tidak bermaksud mengendorkan semangatku lho.  Rencanaku ini pun kan sebetulnya terinspirasi dari ngebor kamu tho.

NYONYA MENDUT:  Wow...dasar wong gendheng!

MAN SAPAR:  Aku serius...ini namanya belajar hidup dari sumber kehidupan, Jeng. Air, tanah, api, udara, nafsu...

NYONYA MENDUT:  Avatar, mabuk kui!

MAN SAPAR:  Yang bener, Avatar watuk!

(Kang Sapar tertawa ngakak, berbaur suara batuknya yang njegil. Sebagaimana rokoknya yang juga tak terhenti). 

BABAK DUA

Bagian Satu

Suatu pagi.  Ruang kantor pemerintahan.  Sang Walikota tampak gelisah. Bicaranya rendah, seperti hendak menyembunyikan kegundahannya sendiri. Sedang terlibat pembicaraan penting dengan anggota LSM

MARZUKI:  Tuan Walikota, kita semua sudah paham daerah anda sebagai penyetor upeti cukai  terbesar—karena memiliki beberapa pabrik rokok megah. Tentu saja, wajar kalau akhirnya terima bagian terbesar pula dibanding daerah lain. Dari pusat 1,2 triliun ke seluruh negeri, kota ini hampir dapat 50 miliar.  Itu sudah rahasia umum. Akan tetapi, meskipun di atas kertas sesuai aturan kementrian dan undang-undang sudah jelas peruntukannya, tapi bagi masyarakat tetaplah menjadi misteri dan rahasia tersembunyi. Nah, tentu anda setuju kalau di dalamnya banyak mengandung soal, tuan Walikota. Apalagi tahun ini jumlah yang anda terima meningkat berlipat dibanding tahu sebelumnya. Tentu anda setuju bilamana saya katakan, wajar bila  kemudian menjadi masalah besar bagi orang yang punya respek dengan masalah alokasi dana setengah dosa itu, Tuan Walikota.  Di atas kertas, kami tahu duit itu untuk perbaikan kualitas tembakau, pemberantasan cukai ilegal, sosialisasi kesehatan dampak merokok dan sebagainya.  Tapi tampaknya itu juga menjadi persoalan tersendiri karena, daerah-daerah ada yang bukan penghasil tembakau, akan tetapi juga menerima dana bagi hasil tembakau. Terus terang kami menghendaki kejelasan, Tuan Walikota. Terlebih lagi banyaknya aturan perundangan yang saling tumpang tindih, tentu menimbulkan masalah baru.  Mungkin anda telah dipaksa dengan undang-undang itu. Akan tetapi bila daerah-daerah ternyata tidak jadi penghasil apapun, tapi terima duit juga, sudah pasti ini satu masalah. Sementara di daerah lain justru ada perbedaan.  Tentu tuan Walikota ingat bagaimana Gubernur NTB mengajukan gugatan ke MK karena daerahnya termasuk penghasil terbesar tembakau, tetapi tidak mendapatkan pembagian dana cukai.  Tuan Walikota, saya perlu mencontohkan lain. Di Kediri, Malang bersikukuh menggunakan duit bagian cukainya untuk kesehatan, sosialisasi dampak merokok, terus pendirian klinik-klinik kesehatan. Padahal justru dalam aturannya hal itu termasuk item kecil saja. Ada apa sebenarnya dengan masalah ini?  Mendengar sinyalemen seperti itu, saya berpikir, dana cukai itu sangat inspiratif bagi orang biasa, bagi pengusaha, bagi pejabat daerah, bagi pejabat pusat. Artinya inspiratif termasuk di dalamnya sangat mungkin untuk diselewengkan. Sangat mungkin apalagi dengan regulasi yang sangat silang sengkarut atau kalang-kabut atau entah mana yang benarseperti itu.

WALIKOTA:  Saya benar-benar tidak mengerti maksud Anda.

MARZUKI:  Secara logika teori duit sebetulnya hak perokok karena itu dibayar oleh perokok.  Di sisi lain, istilah cukai sendiri secara filosofis sudah sangat kabur. Bahwa di satu sisi cukai sebagai pajak dosa ketika itu diberlakukan pada barang yang mustinya dilarang penggunaannya. Bagaimanapun, uang cukai itu dibayar pembeli rokok sebagaimana secara teori dibebankan kepadanya dan bukan dibayar oleh pabrik rokok. Sampai di sini sudah betul. Terjemahnya bisa berupa perusahaan rokok hanya menyetor ke negara saja, tapi duitnya itu duit perokok. Memang masuk akal apabila disederhanakan lagi, bahwa duit ini harus dikembalikan pada perokok, dalam hal ini salah satu contohnya misalnya ketika perokok mengalami gangguan kesehatan. Terapannya, biaya itu pengobatan ditanggung dari duit itu. Akan tetapi persoalan berikutnya, kian komplek, pada saat dana itu sangat inspiratif  bagi banyak pihak, utamanya pejabat pemerintah. Oleh sebab itu, tuan Walikota jangan tersinggung apabila masyarakat seperti kami menjadi curiga terhadap aparat pemerintah seperti bapak.

WALIKOTA:  Kedengarannya, anda lebih paham dari saya?
                                                                                          
MARZUKI:  Tidak mungkin itu terjadi, tuan Walikota. Yang sangat mungkin terjadi, anda sangat piawai mempraktekkan teori akting, seperti pemain drama. Oleh karena itu, boleh dikata masalah cukai itu bukan persis pada angkanya sekian miliar. Akan tetapi lebih pada terkait dengan regulasinya. Dalam arti regulasi yang kalang kabut itu pada akhirnya berdampak pada peluang orang-orang yang terinspirasi oleh cukai untuk bermain-main. Salah satu indikasinya terlihat daerah-daerah yang tidak memperjelas peruntukan dana itu. Saya kira hal ini perlu dikaji, mengingat jika pun untuk kesehatan secara lebih besar, dari sisi regulasinya timpang. Suatu misal, tentu saja Dirjen Bea dan Cukai bisa menuntut lebih bahwa dana itu juga harus diperuntukkan membasi cukai ilegal. Kurang lebih seperti itu. Terus kemudian, peningkatan kualitas bahan baku,  otomatis departemen yang juga menghendaki dana yang sama, utamanya terkait jumlahnya. Jadi problemnya banyak sekali benturan di tingkat implementasi regulasinya. Memang, banyak sekali yang lebih berwenang soal regulasi ini. Itu persoalan pertama, saya rasa persoalan berikutnya lebih banyak lagi.

WALIKOTA:  Tolong, bisa anda sederhanakan apa maksud anda sebenarnya. Dari tadi anda bicara soal duit.

MARZUKI:  Begini, tuan Walikota. Ini adalah tamasya keilmuan saya. Saya kira perlu banyak hal untuk diketahui. Bila asumsinya betul bahwa penggunaan dana cukai ini tidak jelas, maka setidaknya harus ada upaya penyadaran kepada orang-orang yang terlibat, orang-orang yang punya respek dengan masalah cukai. Utamanya adalah masyarakat, dan lebih fokus lagi utamanya perokok. Bahwa dana itu adalah menjadi haknya. Sejauh ini banyak yang tidak mengerti dan perlu diberi pengertian. Bahwa cukai itu permasalahan yang sangat komplek. Banyak yang dirugikan, banyak yang diuntungkan. Bagi masyarakat bawah, warga miskin sebagaimana menjadi rahasia umum, lebih banyak dirugikan. Tempat ini jadi pilihan perjalanan saya, karena kekhasannya. Yang pertama sebagai penyumbang terbesar. Kedua, jumlah buruh di pabrik rokok tertinggi diantara sekian pabrik korok yang ada di negeri ini. Bayangkan, ada sekitar 41.000 buruh. Sedangkan mengenai kemiskinan saya kira tak layak disebut kekhasan mengingat dimana-mana pun kemiskinan tetap aktual.  Ssssttttt...dan saya tidak datang sendiri, Tuan Walikota. Saya bersama tim pembuat film dokumenter untuk merekam setiap jengkal dari gebalau masalah ini. Saya pilih tuan Walikota sebagai salah satu sumbernya, orang penting yang harus tampil, bicara dan memberi pencerahan. Suara, gambar dan juga pesan-pesan penting anda akan dipancarkan ke seluruh dunia nantinya.  Anda akan dikenal ke penjuru dunia, Tuan Walikota. Ke penjuru dunia. Anda akan bicara pada dunia tentang nikotin, lingkungan, ekonomi, buruh dan sebagainya. Bagaimana tuan Walikota?

WALIKOTA:  Ooooooh.....saya musti bayar anda dengan uang?

MARZUKI:  Hmmme....tuan Walikota jangan selugu itu Tuan. Masa dengan tembakau? Ha..ha.ha...!!!

WALIKOTA:  Sudah cukupkah bicara anda?


Bagian Dua

Dalam hitungan waktu yang sudah diperhitungkan betul, tiba-tiba dua kru film masuk panggung. Nampak sekali kecanggihan aktivis LSM itu mensetting suasana.

JURU KAMERA (kepada Marzuki):  Apa pendapat anda, Mas? Saya dengan susah payah sudah mendapatkan gambar hidden camera dari petugas Kepala Bea Cukai.  Tidak hanya itu, bahkan saya berhasil menarik simpatinya. Lalu dia perintahkan anak buahnya untuk mengantar kami yang minta gambar-gambar pita cukai dan rokok ilegal di gudang. Kami pun di antar dua anak buahnya dalam satu mobil. Dari situlah, menurut saya, gambar terbaik dari keadaan gudang rokok dan cukai ilegal telah tertangkap kamera, dan statemen kepala bea cukai telah didapat. Sampai di sini menurut saya telah sangat layak sebagai bahan film dokumenter. Saya tidak akan bercerita banyak tentang sulitnya menembus aparat intelejen, penyidik di Bea Cukai. Tapi saya bisa memperoleh gambar, juga merekam secara rahasia bagaimana pihak penyidik kebingungan dengan tugasnya, mengintip kegiatan ilegal dan membeli alat kegiatan ilegal itu, atau beradu mulut dengan orang-orang yang merasa terancam.  itu semua berusaha kami tampilkan faktanya tanpa terlepas dari permasalahamenyangkut regulasi--rokok ilegal--cukai ilegal. Sepulang dari tempat ini, kita bisa langsung kembali ke Surabaya dengan bis paling mahal dan nyaman.

MARZUKI:  Bagaimana, Tuan Walikota? Apakah anda belum juga timbul nyali untuk mengambil kesempatan emas anda di depan kamera kami?

Melihat gelagat Tuan Walikota yang telah takluk, cepat anggota Kru film mengarahkan kamera. Sang Walikota bicara tanpa pertanyaan.

WALIKOTA:  Begini:  Masalah cukai ini secara filosofis regulasinya sudah bermasalah. Karena itu implementasinya pun menimbulkan masalah di lapangan. Masalah-masalah di lapangan, karena secara substansi duit cukai ini bukan duit pajak—bukan duit pemerintah. Artinya itu adalah duit dari konsumen sehingga  tentu saja yang paling berpotensi untuk mempersoalkan adalah masyarakat. Dengan bahasa lain, kalau mau jujur, duit cukai itu duitnya masyarakat. Hanya persoalannya masyarakat yang mana? Itu wilayah tafsirnya yang bisa dibawa kemana-mana. Boleh jadi masyarakat perokok atau masyarakat yang menerima resiko asap rokok atau menjadi korban dari asap rokok. Bisa jadi seperti itu karena memang cukai dibayar oleh perokok. Atau bisa jadi masyarakat dalam pengertian yang lebih luas. Jadi mungkin masyarakat miskin. Nah, kalau diterapkan betul sesuai regulasi, maka tidak ada masalah, daerah tinggal mengalokasikan sesuai itemnya dan itu sepenuhnya tanggungjawab pemerintah. Tetapi di lapangan, banyak yang mempersoalkan atas nama kepentingan daerah. Kami kesulitan karena tidak punya nyali untuk untuk menerjemahkan lain. Pemerintah daerah tidak berani untuk menggunakan alokasi dana itu selain dari kepentingan formal. Kalau secara terapannya di lapangan itu mungkin itu agak ada kemungkinan lain, penyiasatan dan sebagainya. Terus terang ini kegelisahan kami, terbentur regulasi. Karena itu, masyarakatlah yang mustinya berperan melakukan pendidikan yang sifatnya alternatif demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Persoalannya, fakta di lapangan itu tidak terjadi.  Yang terjadi adalah, penyadaran di masyarakat bawah tidak terjadi. Saya tidak tahu persis persoalannya, mengapa masyarakat tidak tahu perihal cukai. Itu persoalan mendasar. Kalau cukai saja tidak tahu, bagaimana bisa memulai sebuah penyadaran atau pendidikan kepada masyarakat bahwa masyarakat miskin sebenarnya berhak atas itu. Tentu ini sangat ironis bila cukainya tertinggi terus tingkat persoalannya juga sangat tinggi dari hulu maupun hilir. Persoalan yang menyangkut sisi regulasinya maupun masyarakatnya.  Masyarakat banyak yang tidak tahu karena lebih konsentrasi pada kehidupan sehari-hari dan tetap miskin. Dugaan saya mungkin juga bukan hanya masyarakat yang tidak tahu, melainkan pejabat-pejabat juga banyak yang tidak tahu perihal cukai.

MARZUKI:  Saya lebih yakin, lebih banyak pejabat yang pura-pura tidak tahu, tuan Walikota.

WALIKOTA:  Saya tidak bicara ngawur, Bung.

MARZUKI:  Saya juga punya data, tuan! Di daerah tetangga kita, santer menjadi perhatian public, beberapa waktu lalu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengingatkan Pemerintah Daerah yang seharusnya membagi dana hanya kepada pengusaha kecil di sekitar pabrik rokok,  kenyataannya diberikan kepada pengusaha UKM di seluruh kelurahan di Kota Malang. Untuk program penyuluhan bagi karyawan perusahaan rokok, petugas hanya datang meminta tandatangan. Desakan untuk agar dipakai untuk membangun rumah sakit bagi korban gangguan rokok, pun luput. Masih di daerah tetangga kita yang lain, Kejaksaan Negeri mengincar sejumlah pejabat Pemerintah Daerah karena diduga menyalahgunakan dana miliaran. Sejumlah pejabat tersebut, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora), Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), dan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Kediri. Pemeriksaan terkait dengan data penerima dana bagi hasil cukai 2009 pada sepuluh Satuan Kerja, termasuk di dalamnya Kantor Lingkungan Hidup, Satpol PP, Dinkoperindag, Bagian Ekonomi Pemerintah Kabupaten.

WALIKOTA:  Hei, bung!  Jangan pernah anda menakut-nakuti saya.  Saya punya harapan, punya keinginan dan kemauan. Tetapi apa artinya itu kalau keinginan saya tidak bisa merubah banyak dari keadaan ini?  Jujur saja, saya ingin kalau dana yang anda sebut-sebut itu konsisten untuk menangani penyakit akibat merokok atau diperuntukkan kepada warga miskin seharusnyalah perlu dijelaskan sedetil mungkin dalam aturan.  Ini semua terjadi karena sangat ambivalen antara garis besar yang berkaitan dengan Dinas Kesehatan dan kepentingan terselubung Industri Rokok.

MARZUKI:  Saya tidak menakut-nakuti, tuan. Tapi takut itu perasaan anda.

Wawancara berlangsung dan berakhir dengan suasana yang memanas. Tuan Walikota meninggalkan tempat tanpa permisi. Melesat sonder perasaan nikmat. Kru film dokumenter dan aktivis LSM pun malah sibuk mempersiapkan diri. Merasa telah mendapat angle gambar yang pas, cepat ia segera ambil posisi untuk mengomentari.
Di sudut panggung, mereka take in camera.

MARZUKI:   Jadi filosofi sebuah cukai ternyata belum dipahami banyak orang. Termasuk oleh pejabat pemerintah. Cukai itu secara filosofi universal adalah sintax atau pajak dosa karena cukai dikenakan pada barang yang meniombulkan dampak negatif pada penggunanya. Nah asumsinya  cukai itu instrumen untuk menekan agar penggunaan barang itu tidak mewabah.  Rokok jelas barang yang menimbulkan dampak eksternalitas  bagi masyarakat karena mengandung 4000 racun kimia yang 60 diantaranya menimbulkan bahan karsinogenik.  Rokok itu setara dengan narkoba , alcohol sehingga sama-sama dikenakan cukai untuk menekan agar orang tidak terlalu mudah mengakses barang-barang itu.  Alkohol jelas ada pembatasan ketat. Tapi rokok, beda sekali parlakuan pemerintah.

JURU KAMERA:  Kenapa nggak dinaikkan setinggi-tingginya saja, biar barangnya nggak terbeli?

MARZUKI:  Sudah ada aturannya.  Untuk cukai rokok menurut aturannya maksimal hanya sebesar 57 persen dari harga tapi yang berlaku malah hanya  rata-rata 37 persen. Angka ini kalau diukur  standar internasional masih rendah karena sekarang rata- rata sudah mencapai 60 - 75 persen, bahkan Thailand sudah mencapai 80 persen.

JURU KAMERA:  Lalu kenapa tidak dilakukan pemerintah?

MARZUKI:  Problemnya karena pemerintah selalu ditekan industri rokok dan didemo buruh dan petani tembakau. Ketika cukai rokok dinaikkan asumsi mereka konsumennya akan turun  Padahal dari analisis kami yang dilakukan lembaga-lembaga terkait,  sangat tidak signifikan menurunnya. Karena adiktif, sekalipun harganya tinggi tetap dicari oleh masyarakat. Sebaliknya, secara teknis memang ada instrument yang malah menggiring industri rokok menjadi lebih besar. Di Thailand mudah menaikkan cukai, karena disana ada monopoli negara.  Pada satu titik tertentu memang industri rokok harus dimonopoli biar mudah dikendalikan. Di Indonesia saat ini ada lebih dari 4000 industri rokok tapi yang berperan tidak sampai 10 yang lain industri pinggiran yang notabene bikinan dari industri rokok besar untuk menyaingi produk–produk  yang bawah. Industri rokok sangat terganggu rokok illegal yang menurutnya mengurangi 15 % pangsa pasarnya.  Karena itulah kenapa dana bagi hasil tembakau yang didaerah lebih banyak digunakan untuk dana kampanye pemberantasan rokok illegal.  Lho, inikan kampanye yang nggak nyambung. Seharusnya seluruh dana bagi hasil tembakau itu eksplisit yang dipakai untuk community development, langsung  untuk kepentingan kesehatan.

Bagian Tiga

Petang hari. Di kediaman keluarga Nyonya Mendut. Sang Jurnalis dengan sorot mata yang cemas. Mening memegang kuat pergelangan tangan ibundanya. Di saksikan aktivis LSM yang serba ragu. Juga kru pembuatan film.

FAJAR ABDI:  Saya sudah berpikir seribu kali untuk datang dan menyampaikan kabar ini, Nyonya. Saya berpikir bukan maksud saya menakuti-nakuti anda. Lebih tepatnya ini oleh karena saya mencemaskan keluarga Anda.

NYONYA MENDUT:  Katakan. Jangan ragu. Ceritakanlah, kabar apa yang bisa saya dengar, Tuan.

FAJAR ABDI:  Ah..Nyonya Mendut

NYONYA MENDUT:  Saya malah berterimakasih. Anda bukan saja sahabat, tapi rasanya anda telah menjadi anggota keluarga saya.

FAJAR ABDI:  Justru karena itu, Nyonya.

Sang jurnalis mempertontonkan diri antara gelisah, cemas, simpati dan juga kehancuran diri oleh ketetapan hati yang bersimpuh di hadapan Nyonya Mendut.

NYONYA MENDUT:  Segera katakan, sahabatku.

FAJAR ABDI:  Saya tidak sampai hati mengatakan kalau sebenarnya anda telah masuk di mulut harimau ketika kukuh melawan pabrik rokok, Nyonya. Tak hanya itu, karena sang harimau juga bersekongkol dengan singa.

NYONYA MENDUT:  Jangan berbelit. Katakan. Aku tidak mau kau samakan dengan kelinci.

FAJAR ABDI:  Ini kenyataan yang ada. Coba kita simak. Apabila kita renungkan akan seberapa besar kekuatan pabrik rokok dan daya tawarnya kepada penguasa negeri ini?  Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau di daerah ini, pada tahun 2009 senilai 41 miliar.  Penggunaannya tentu akan menyibukan aparat meskipun spesifik seperti ditegaskan dalam Peraturan Menteri.  Di luar dana kampanye, baik partai politik tingkat lokal maupun nasional maupun berbagai sumbangan sosial yang wajib lainnya, pabrik rokok juga menjadi sapi perahan pemerintah dengan berbagai alasan.
Bukan hanya itu, pemerintah disinyalir sering menakut-nakuti perusahaan rokok dengan alat birokrasinya.  Sinyalemen itu sebagai asap tampaknya memang bukan tanpa api, jika melihat dari data-data yang pernah diungkap media. Saya telusuri dan mendapatkan fakta seperti ini, sebuah koran melansir pada 15 September 2008 PT Gudang Garam menolak permintaan agar memberi THR PNS pada sebanyak 6.800 PNS Pemerintah Kota Kediri. Managemen perusahaan PT GG bersikeras menolak “permintaan” PNS demi alasan kepatutan. Bahwa tidak ada aturan yang mewajibkan PT GG untuk memberi THR kepada karyawan di luar PT GG. Sementara  proposal Pemerintah Kota yang menilai tidak menyalahi aturan atau grafitikasi karena dilakukan bukan dalam kaitan kedinasan. Dalam bahasa halus “Tidak ada salahnya mereka memberi bantuan dalam kerangka sosial. Nilai nominal sempat tercium media tertanggal 25 Oktober 2004 terhadap anggota DPRD Kabupaten dan Kota Kediri yang mengharap THR dari PT GG. Mencuatnya kabar soal harapan permintaan THR ke  PT Gudang Garam membuat para wakil rakyat cenderung diam. Dari informasi yang dikumpulkan media PT Gudang Garam selalu memberikan THR bagi pimpinan DPRD Rp 2,5 juta dan untuk anggota Rp 1,5 juta. Setahun kemudian, tepatnya 30 Agustus 2005 media-media santer memberitakan adanya 4 mobil 50 tahun Konferensi Asia Afrika  hibah PT GG masuk istana negara. Itu terungkap dari penyelidikan kasus dugaan korupsi Setneg, terkait pengadaan puluhan mobil. Waktu itu, bantahan atas pernyataan Ketua Timtastipikor Hendarman Supandji (sekarang Jaksa Agung). Bantahan disampaikan Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Anwar Nasution. Anwar menegaskan bahwa tidak ada anggaran negara untuk membeli mobil KAA. Sebab, puluhan mobil tersebut sumbangan PT Gudang Garam Tbk selaku donatur. Mobil-mobil itu bukan dari (anggaran) keuangan negara," kata Anwar. Menurut Anwar, bantuan PT Gudang Garam itu berstatus hibah kepada lembaga kepresidenan sehingga tak diaudit. Jadi, tidak ada catatan soal potensi kerugian negara. "Semua tercatat. Seperti juga tiga mobi) Mercedes tahan peluru, yang tadinya dinyatakan hilang, sekarang sudah ada," jelasnya. Yang tak kalah penting adalah keberadaan cukai palsu di pasaran. Banyak perusahaan rokok kecil menyisipkan pita cukai palsu karena selain status pabrik yang tidak memiliki ijin, cukai palsu lebih terjangkau bagi banyak pabrik rokok rumahan. Demi mendapatkan label cukai palsu tersebut, beberapa pabrik rokok rumahan mendapatkannya dari pihak tertentu yang melibatkan aparat keamanan. Yang lebih unik lagi, pabrik rokok kecil memiliki kebiasaan menarik kembali pita cukai dari pembeli dengan imbalan. Setiap sepuluh pita cukai yang utuh dari bekas rokok mereka, bisa ditukar dengan sebungkus rokok. Label cukai ini kemudian ditempelkan kembali untuk dilempar kembali ke pasar. Seringkali para pemilik pabrik rokok maupun pemerintah berdalih akan jasa besar pabrik rokok dalam menyediakan lapangan kerja. Bahkan, seringkali mereka memberikan kesan bekerja sebagai pabrik rokok seolah mendapat perlakukan lebih manusiawi daripada pekerja pabrik lainnya. Tentu saja, ini bukan image dan informasi yang keliru, tetapi adalah kebohongan dan pembodohan. Perlakuan, upah, dan beban kerja pekerja pabrik rokok tidak berbeda dengan buruh pabrik lainnya, beban kerja mereka tidak sebanding dengan upah yang diterima.

NYONYA MENDUT:  Tuan, kami tidak pernah menganggap itu semua penting. Yang kami hadapi setiap hari ya pekerjaan kami. Setiap harinya, kami para buruh harus melinting seribu hingga dua ribu lima ratus untuk mendapat hak upah antara Rp.18,000-Rp. 45,000. Jumlah lintingan ini tidak termasuk hasil lintingan yang menurut pengawas di bawah standar pabrik yang tentu saja tidak bisa dihitung. Bukan ini saja, ancaman dan tekanan termasuk keresahan akibat kebijakan pemerintah terkait dengan upaya pemerintah mengontrol produksi rokok juga ditimpakan kepada pekerja. Setahu kami, kawan-kawan buruh linting di Malang malah ada yang dijatah melinting 2.500 batang rokok sehari. Upah untuk setiap 1.000 batang Rp 9.000. Jadi, saban minggu buruh mengantongi upah Rp 135.000 atau Rp 540.000 per bulan. Tuan bisa bayangkan bila jumlah itu masih harus dipotong ongkos transportasi pulang pergi dan biaya makan.

FAJAR ABDI:  Nyonya, kenyataannya ini semua menjadi penting sekarang. Anda telah membuka panorama baru bagi banyak pihak pada suatu zaman, setidaknya bagi orang-orang terdekat anda, sahabat, tetangga, kerabat. Bahwa betapa birokrat, produk perundangan, sistem kekuasaan-politik, dan kemiskinan bergengaman dalam mengambil peran membentuk lingkaran untuk saling menopang, memanfaatkan, dan menghisap. Melenyapkan lingkaran setan ini adalah cita-cita yang hampir mustahil untuk diraih. Namun tidak terlambat bila kita mulai dari sini, mencerahkan diri kita sendiri, keluarga, saudara, teman dan orang-orang yang kita cintai untuk membangun kekuatan menolak dihisap oleh mereka yang lebih kuat dari kita. Masyarakat makin menyakini pembenarannya dari asumsi-asumsinya sendiri. Justru bermula dari ketidakmengertiannya. Bagi masyarakat, fakta seperti ini membenarkan bahwa ternyata bukan saja pabrik alat tercanggih penghisap buruh. Bukan hanya industri rokok penyokong jargon “nikmat dihisap, kuat menghisap.” Ternyata bukan satu-satunya yang paling tepat. Birokrat pemerintah daerah, produk peraturan perundangan, sejarah kekuasaan politik, perekonomian, sosial, kemiskinan dan sebagainya seolah saling mengambil peran yang inhern dalam suatu kegiatan “hisap-menghisap” atau saling menghisap. Pada saat lain dihisap tapi pada kesempatan lain juga menghisap.   Keadaan seperti ini mengingatkan kita pada bagaimana dahulu Raffles menelusuri perdagangan terselubung Opium dalam History of Java. Peredaran yang meluas di seluruh pulau Jawa, dan berdampaknya pada penurunan moral penduduk, perubahan sifat serta menurunnya produktivitas mereka. Lagi pula dalam catatannya, tembakau juga disebut-sebut sebagai salah satu bahan racikan opium yang dimakan dalam bentuk padat atau dihisap sebagai candu. Opium merupakan racun yang daya kerjanya sangat perlahan, yang dijual perusahaan dagang Belanda ke penduduk miskin Jawa untuk mendapat uang. Setiap orang yang pernah kecanduan akan sulit melepaskan diri darinya, dan jika seluruh opium dilarang, maka orang-orang bisa mati karenanya atau menderita berkepanjangan, dan berapa banyak yang bisa diselamatkan di masa depan. Kebanyakan kejahatan, terutama pembunuhan, diakibatkan racun opium. Sampai kini, seolah segalanya telah mentradisi. Juga upacara membunuh 456 perokok meninggal dunia dalam setiap jam akibat rokok. Di sini tercatat rata-rata 427.948 jiwa melayang oleh karenanya.

NYONYA MENDUT:  Mungkin melenyapkan tradisi hisap-menghisap adalah pekerjaan besar. Namun yang mendesak dilakukan adalah memulai dari diri sendiri agar menolak dihisap dan tak perlu menghisap orang lain.

FAJAR ABDI:  Betul, Nyonya. Dan Anda sudah memulai lebih dari sekadar kata-kata. Karena itulah saya mencemaskan Nyonya sekeluarga.

NYONYA MENDUT:  Saya sudah siapkan diri saya. Lahir dan batin. Jangan pernah cemaskan saya, Tuan.

Lampu fade out.
Lampu fade in.

Bagian Empat

Bunyi sirine ambulan meraung-raung.  Nyonya Mendut bergegas keluar. Ia berteriak-teriak memanggil putrinya, Mening.

NYONYA MENDUT:  Mening...Mening!!! Ada apa? Coba kau dengar. Coba kau lihat di luar!!

Mening keluar menyusul  dan langsung mendekap ibunya. Takut. Was-was. Berlanjut kemudian suara kentongan dipukul bertalu.  Mening menghitung pukulan-pukulan itu.

MENING:  Ooh...ada yang meninggal Mak.

Nyonya Mendut bertanya pada seseorang yang hiruk pikuk di depan rumah.

NYONYA MENDUT:  Siapa yang meninggal, Kang?

SESEORANG:  Masrukin, Yu.

NYONYA MENDUT:  Masrukin? Masrukin teman kerjanya Kang Sapar?

SESEORANG:  Ya. Kecelakaan. Tertabrak bis. Tubuhnya hancur.

Nyonya Mendut langsung meraih salah sebuah saka penyangga teras rumah. Tubuhnya luruh dan jiwanya luluh lantak. Matanya kosong tanpa bisa menangis. Pikirannya berputar antara tubuh hancur Masrukin dan keseharian suaminya, Man Sapar.

Musik
Lampu fade out
Lampu fade in

Lagi, bunyi sirine ambulan meraung-raung.  Nyonya Mendut bergegas keluar. Ia berteriak-teriak memanggil putrinya, Mening.

NYONYA MENDUT:  Mening...Mening!!! Ada apa? Coba kau dengar. Coba kau lihat di luar!!

Mening keluar menyusul  dan langsung mendekap ibunya. Takut. Was-was. Berlanjut kemudian suara kentongan dipukul bertalu.  Mening menghitung pukulan-pukulan itu.

MENING:  Ooh...ada yang meninggal Mak.

Nyonya Mendut bertanya pada seseorang yang hiruk pikuk di depan rumah.

NYONYA MENDUT:  Siapa yang meninggal, Kang?

SESEORANG:  Belum tahu, Yu.


Bunyi sirine ambulan berhenti. Lantas beberapa orang menemui Nyonya Mendut. Tampak juga jurnalis Fajar Abdi dan aktivis LSM yang menyusul kemudian.

SESEORANG:  Apakah saudara bernama Nyonya Mendut?

Mendut Mengangguk

SESEORANG:  Maaf. Saya harus menyampaikan kabar buruk untuk keluarga nyonya. Saya mohon ada sabar dan kuat menerima berita ini. Suami nyonya meninggal dunia. Dokter rumah sakit mengatakan penyebab kematian suami nyonya karena serangan jantung. Sekali lagi, saya harap anda bersabar dan kuat menerima musibah ini, Nyonya.

Kembali Nyonya Mendut langsung meraih salah sebuah saka penyangga teras rumah. Tubuhnya luruh dan jiwanya luluh lantak. Matanya kosong tanpa bisa menangis. Pikirannya berhenti pada sosok suaminya, Man Sapar.

Nyonya Mendut mengangkat mukanya, melihat kerumuman orang yang membawa masuk jenazah suaminya. Ia bermaksud ingin menikmati raut wajah terakhir Man Sapar. Sesudahnya, dibantu jurnalis Fajar dan tetangga Nyonya Mendut duduk istirah di sudut panggung dengan memeluk kuat-kuat putrinya.

FAJAR ABDI:   Apakah nyonya baik-baik saja?

NYONYA MENDUT:  Rasanya baru tadi pagi dia pamit kerja dengan suara yang sangat berat. Pamit untuk bekerja yang sebetulnya baginya sangatlah berat. Tapi ternyata itu terjadi sudah berlarut-larut, berbulan-bulan sejak Kang Sapar mengidap penyakit yang hanya orang-orang kuat bisa bertahan. Setiap pagi dia tak pernah sudi bila saya sediakan teh untuknya. Ia siapkan sendiri semuanya di sela kesibukannya memberesi perkakas besi peralatan kerjanya. Dibantu Masrukin dan Wiji.  Pada waktu Masrukin mati, dia kuatkan dirinya dengan tetap bekerja, mungkin sambil menghibur diri bahwa semua orang pasti mati. Walaupun kenyataannya tentu saja hal itu makin memberati beban hidupnya. Sebagai istrinya saya tahu meskipun tak terucap dari bibirnya. Mungkin sulit dibayangkan beban hidupnya selepas dari pabrik dipecat tanpa hormat, lantas bekerja selaku tukang pengebor sumur tanah dan tukang pasang pompa atau mesin penyedot air di usianya yang lebih 50 tahun. Lalu kehilangan teman kerja. Sebelum ini, Kang Sapar pernah terserang penyakit jantung gawat dan dirawat di rumah sakit. Salah satu penyebab penyakitnya karena pria itu pecandu rokok. Ia berobat dengan biaya sendiri, artinya biaya dari hasil gotongroyong saudara sekeluarga, artinya tanpa sepeserpun bantuan dari pemerintah, artinya rumah sakit sampai sekarang tetap mencatat sebagai tagihan karena kekurangan saya membayar biaya itu.  Kini ia tak merokok atas anjuran dokter. Kopi pun tidak. Ternyata dia bisa lakukan itu semua dan penyakitnya tak pernah kambuh. Hanya darah tingginya saja yang terkadang mengganggu. Baru hari ini dan rasanya seperti baru kemarin.

Jurnalis Fajar Abdi dan Aktivis LSM hanya bisa terpaku. Sampai kemudian muncul seseorang bernama Wiji, satu-satunya teman kerja Man Sapar yang tersisa.  Dia menangis tersedu dan meratap tepat di depan Nyonya Mendut.

SESEORANG:   Duh Mbak Yu, tolong saya. Saya takut. Setelah Masrukin mati, Kang Sapar meninggal, sebentar lagi saya tentu menunggu giliran. Ampun Gusti, tolong hambamu. Kesalahan apa yang terjadi padaku, hukuman apa jatuh pada orang seperti kami. Tua, miskin, tapi masih juga kau rebut hidupku. Mbak Yu....maafkan saya kalau nanti tiba gilirannya saya.

NYONYA MENDUT:  Kang Wiji ini kenapa? Saya yang kena musibah, kok kamu yang nelongso ra karu-karuan. Apa ngggak malu.

SESEORANG:   Ini kutukan setan, Mbak Yu. Masrukin mati, Kang Sapar, sebentar lagi...ah....Mbak Yu. Saya belum kawin jangan mati dulu Gusti...

NYONYA MENDUT:  Husss....kamu ini kesambet?

SESEORANG:  Ya, Mbak Yu.  Bukan hanya saya. Tapi juga Masrukin dan Kang Sapar.  Kemarin kami bertiga kerja pada orang pinter dari desa sebelah, tapi hasil kerjaan tidak cocok. Tempat yang kami kerjakan memang sulit, singup dan dikenal angker. Orang kampung sudah mengenal orang pinter itu malati. Tak hanya itu tetangga-tetangga mereka berkata orang itu punya peliharaan yang tak segan-segan menganggu siapapun yang mengecawakan tuannya. Apalagi kalau sudah terlanjut makan dari dapur istrinya, terus mengecawakannya. Itu yang terjadi pada Masrukin, Kang Sapar dan tentu sebentar lagi pada saya..ahhh...... Bagaimana ini, Mbak Yu? Orang-orang kampung sudah meramalkan ini bakal terjadi.

NYONYA MENDUT:  Ada-ada saja kamu Kang Wiji! Kalau kamu percaya ya sudah. Mintalah maaf, bila benar merasa bersalah. Bila perlu kembalikan seluruh ongkosnya.

SESEORANG:  Hah...upah kerjanya Mbak Yu? Sudah amblas!

NYONYA MENDUT:  Yang penting temu dia. Sana!

Kang Wiji beranjak. Orang-orang bersiap mengebumikan jenazah Man Sapar. Nyonya mendut belum juga bergeser. Sendiri, di bawah sorot lampu, ia malah menyenandungkan lagu sedih, nyanyian untuk menghibur hatinya sendiri.

Musik
Lampu fade out
Lampu fade in

Di panggung masih terdengar senandung sendu Nyonya Mendut. Makin menyayat, seolah ia menyanyikannya betul-betul dari suara hatinya yang terus dicoba diterbangkan ke langit. Ia mengadukan luka jiwa sekaligus mencari jalan merayu untuk mendapatkan kekuatan dari Kekasihnya.  Ia merasa sangat sendiri malam itu. Sampai kemudian ia panggil putrinya, Mening untuk melengkapi sisa kekuatannya mendapat kekuatan hidup itu.

NYONYA MENDUT: Mening.....

Mening merambat mendekati ibundanya yang disusul usaha ibundanya menyeka dahi dan gerai  rambut putrinya. Lantas dipeluknya Mening.

NYONYA MENDUT: Peganglah tangan ibu. Lihatlah mataku. Rasakan kehangatan kita. Lalu dengarkan ucapan ibunda ya, Nak.
                                         
Mening menuruti permintaan ibundanya. Sayang, ketika sang ibu hendak berujar, tiba-tiba muncul di panggung beberapa orang pria kekar. Tampak disebelahnya jurnalis Fajar Abdi dan aktivis LSM yang terus saja menundukkan muka seakan telah habis keberaniannya bicara.

SESEORANG: Selamat malam, Nyonya Mendut. Maafkan kami bila harus mengganggu ketenangan istirahat anda sekeluarga.  Sekaligus kami turut berbelasungkawa, masih dalam suasana duka. Kami sudah beberapa kali kemari, tapi baru kali ini kesempatan itu kami sampaikan. Maaf, Nyonya.

NYONYA MENDUT: Terimakasih. Siapa anda-anda?

SESEORANG: Sekali lagi kami mohon maaf. Sebetulnya kami tidak sampai hati mengutarakan maksud kedatangan kami dalam suasana duka anda. Tetapi...

Jurnalis Fajar Abdi dan aktivis LSM masih juga tertegun.

SESEORANG: Tetapi kami sedang bertugas. Kami diperintahkan membawa Nyonya malam ini juga ke kantor polisi.

NYONYA MENDUT: Saya ditangkap?

SESEORANG: Hanya untuk menjawab beberapa pertanyaan, Nyonya.

Mendengar kata ‘ditangkap’ jurnalis Fajar Abdi langsung tergerak untuk menekan perasaaan Nyonya Mendut yang dengan sorot mata memerah kian terlihat semangatnya membara.

FAJAR ABDI: Nyonya, maafkan bilamana kata-kata saya kurang sopan karena memang sebetulnya orang seperti anda tidak layak menerima petuah manusia kerdil seperti kami. Nyonya Mendut sangat besar bagi kami. Apa yang terjadi pada hari ini, anda sudah tahu dan rasakan jauh sebelum saya mengagumi ketetapan hati Nyonya. Jadi sejujurnya apa yang terjadi pada anda hari ini  hanyalah makin membuat diri kami kerdil, munafik.   Apalagi bila dengan hanya mengakui bahwa kami sepatutnya memetik pelajaran banyak pada kukuh jiwa Nyonya.

NYONYA MENDUT: Saya tidak mengerti kata-kata tuan.

FAJAR ABDI: Nyonya, Anda pernah sampaikan pada kami perihal takdir. Rupanya pepak sudah bagi saya takdir yang anda maksudkan dan kumengerti. Tapi sama sekali bagi saya tidak akan sanggup memahami seluruh jalan hidup, takdir dan resiko yang anda ambil termasuk harus terjadi pada hari ini. Orang seperti saya hanya mendapatkan kata saja dari anda dan mungkin bisa kubahasakan sendiri. Untuk mendapatkan perbuatan atas kata-kata itu, saya tidak sanggup menjaminkan diri pasti semampu anda. Maafkan kata-kataku ini sangat klise, Nyonya. Bahwa manusia bisa menentukan takdir, sebagaimana tuhan pun punya garis untuk menentukan takdir itu sekehendak hatinya. Kadang-kadang takdir manusia berbeda atau sama dengan takdir tuhan. Akan tetapi apapun yang terjadi, tuhanlah yang paling baik dan tahu yang terbaik untuk umatnya.

NYONYA MENDUT: Saya sedikit mengerti sekarang, Tuan.

Petugas kepolisian itu pun merasa terhormat di hadapan Nyonya Mendut. Karena itu dengan segala kehormatannya dicurahkan pada perempuan itu.

SESEORANG: Kami hanya menjalankan tugas, Nyonya. Kami bisa mengerti, memahami dan merasakan suara hati Nyonya Mendut. Berdasarkan surat tugas kami, Nyonya disangka mencemarkan nama baik tidak saja seseorang, tetapi juga pejabat pemerintah, merugikan perusahaan dan merugikan banyak orang lainnya. Hal itu tidak saja Nyonya lakukan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri melalui media elektronik tertentu.

Aktivis LSM yang semenjak tadi diam tertunduk, kini mengangkat kepalanya dan menjatuhkan pandangan pada lantai persis di depan Nyonya Mendut duduk

PEMBUAT FILM: Ampun beribu ampun, Nyonya. Sungguh ini di luar jangkauan pikiran, perasaan dan kendali saya. Sayalah sebetulnya biang dari penderitaan Nyonya hari ini dan kelak di kemudian hari. Sayalah yang menyebarkan informasi-informasi dari Nyonya ke seluruh dunia. Saya akui gelap mata untuk membuat karya terbaik di dunia. Karena itulah kemudian saya sebar untuk diputar film buatan saya ini ke Eropa, Amerika, Asia dan seantero dunia. Ampun  beribu ampun Nyonya. Saya telah menyengsarakan sedemikian banyak orang dan menyebabkan seorang perempuan terhormat seperti nyonya mengalami penderitaan yang tak mungkin terhapus sepanjang masa. Kutuklah saya. Sumpah serapahilah saya, Nyonya. Sebab bila tidak, ini akan menjadikan penderitaan hidup saya yang bahkan terbawa hingga alam baka.  Ayolah, Nyonya..Ampun beribu ampun....

SESEORANG: Mari, Nyonya. Silakan.”
Nyonya Mendut hanya bisa memandangi putrinya dalam-dalam.

NYONYA MENDUT: Mening.....Putrinya menangis tersedu.   
  
NYONYA MENDUT: Jangan menangis, anakku. Hapuslah airmatamu. Kelak kau bukan saja harus jadi orang, tetapi kau tetap akan menjadi perempuan. Belajarlah, Nak. Belajarlah untuk menjadi dirimu sendiri yang tidak tergoda pada silau dunia.Mening mengangguk.Nyonya Mendut pun dibawa petugas. Di panggung tinggallah Mening dan disampingnya jurnalis Fajar Abdi. Sepeninggalan Nyonya Mendut, jurnalis Fajar dengan nada amat dalam berpesan pada Mening.

FAJAR ABDI: Ibundamu mengingatkanku pada ayahandaku. Hidup ayahku juga telah dihisap pabrik itu. Dia gagal dalam perlawanannya dengan pikirannya. Sementara ibumu telah mampu melawan dengan kekuatan hatinya. Belajarlah pada ibundamu, adikku Mening.

Musik

Lampu blakout         
                                                                                        

TAMAT
                                                                                       
Surabaya, Mei 2010