Rabu, 12 Agustus 2009

kliping


-->
Surabaya Pagi, 2009-08-06
Menakar Regulasi Hasil Nikotin
Oleh: S. Jai


BELAKANGAN ini banyak peristiwa terkait regulasi tembakau, baik di dalam negeri maupun internasional. Setidaknya semenjak even di Mumbai, India 14th World Conference on Tobacco or Health, (Konferensi Dunia, Tembakau dan Kesehatan) awal maret 2009 lalu. Paling mutakhir adalah Senin (22/6) lalu Presiden Barack Obama menandatangani UU Pencegahan Merokok dalam Keluarga dan Pengendalian Tembakau.

Sementara hari-hari ini, di Tanah Air, hampir tidak ada kejadian istimewa. Kecuali pembelian 85 persen saham PR Bentoel oleh British American Tobacco (BAT) yang memberi penegasan baru perihal ekspansi industri rokok internasional maju ke negara-negara berkembang. Nilai investasi USD 494 juta atau Rp 5 Triliun dari BAT, bukan hal baru setelah sebelumnya kepemilikan PT Sampoerna berpindah ke Philip Morris International dengan nilai total mencapai Rp 48 Triliun.

Hal ini bukti konkret betapa regulasi negara maju atas kuatnya cengkeraman industri rokok semakin ketat. Kesadaran kesehatan yang meningkat, cukai rokok yang kian tinggi, pelarangan dan pembatasan iklan, menyebabkan industri rokok internasional melirik negara-negara berkembang. Indonesia sebagai pasar potensial dengan jumlah perokok terbesar ke-3 di dunia dengan regulasi yang kembang kempis adalah surga bagi industri rokok.

Akuisisi terhadap PR Bentoel lebih dari sekadar bukti hal ini. Sementara itu, negara ini justru kian memprihatinkan. Dari sisi keuntungan misalnya, menyebabkan keuntungan tersedot asing. Sedangkan negara ini hanya kebagian dampak buruk dari gurita besar industri rokok. Fakta-fakta dibawah ini menunjukkan perolehan cukai pemerintah dan dana bagi hasil yang mencerminkan gurita industri rokok.

Hibuk ria yang tak kurang mencemaskan, terjadi di dalam negeri adalah, utamanya di daerah-daerah yaitu kesibukan mengatur jalur alur Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau. Kesibukan itu memang beralasan, mengingat DBH yang jumlahnya untuk tahun ini meningkat berlipat-lipat itu amat inspiratif bagi banyak pihak, masyarakat, pemerintah daerah maupun pusat. Setidaknya selain terkait nominalnya yang besar, juga terkesan dari Departemen Keuangan yang musti mengeluarkan peraturan NOMOR 20/PMK.07/2009 revisi atas peraturan NOMOR 84/PMK.07/2008 .

DBH yang dimaksud sebetulnya adalah pembagian 2 persen dari cukai yang disetor perokok ke negara. Jumlahnya keseluruhan Rp 960 miliar pada tahun anggaran 2009. Dengan kata lain secara filosofi jumlah itu adalah dana bagi hasil dari sin tax atau “pajak dosa” hasil olahan tembakau. Cukai rokok sebagai kepanjangan dari cukai tembakau, karena tembakaulah, atau lebih tepatnya nikotinlah yang menyebabkannya dipaksa kena cukai. Meski sebab lain disebut-sebut lebih dari itu—karena kandungan tar dan ribuan zat racun lainnya.

Pasal Pasal 4 (c) Undang-Undang Cukai No 39 Tahun 2007 secara eksplisit mengatur demikian, meski sonder keterangan nikotin, tar dan ribuan zat beracun lainnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sidang gugatan Gubernur Nusa Tenggara Barat ke majelis Mahkamah Konstitusi atas Pasal 66A ayat (1) UU No 39 Tahun 2007, juga mempertegas. Di depan hakim pada 24 Pebruari 2009 sebagaimana dilansir situs resmi MK, Menkeu menyatakan bahwa cukai hasil tembakau digunakan untuk membatasi frekuensi masyarakat dalam mengkonsumsi tembakau terutama rokok demi kesehatan. Apabila Pasal tersebut dibatalkan oleh MK, maka yang rugi adalah daerah.
Lebih konkret, berdasar Pasal 2 (1) UU No 39 Tahun 2007 Pasal 2 barang yang kena cukai manakala; konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undangundang ini.

Diantara keempatnya, yang paling inspiratif adalah pada ayat 1 (d) khususnya pada idiom “demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang undang.” Mengapa demikian tidak lain, karena betapa penuh tantangan, perdebatan, terbuka bahkan eksperimen bila menyangkut atas nama keadilan dan keseimbangan. Rasanya ini berlaku bagi orang biasa, masyarakat, birokrat, pengusaha maupun penguasa. Terlebih lagi, bila saling berpegang kukuh pada subtansi dan filosofi atas apa yang disebut sin tax.

Masyarakat telah tahu selain tembakau dua yang lain terkena cukai yaitu Etanol dan Alkohol. Tanpa membedakan satu dari ketiganya, sesuai perundangan, penggunaan nikotin harus diatur, dibatasi, dicegah di luar keperluan medis. Cukai dari barang mengandung dua zat kimia ini tak populer. Sekarang yang perlu diketahui dan dipopulerkan juga, tahun 2009 Jawa Timur terbesar menerima Dana Bagi Hasil ”Nikotin” Rp 599,35 miliar. Yang setiap orang kemudian mengerti kompleksitas dan kontroversi persoalannya di balik perolehan cukainya kendati pemerintah pasang badan dengan menerbitkan rupa-rupa regulasi mengamankan.

Terbitan mutakhir Permenkeu NOMOR 20/PMK.07/2009 memberi perintah terbaru kepada pemerintah daerah. Diantaranya, mengubah Pasal 1 (2) dan menambah ayat (3) yang memberi kewenangan Gubernur untuk mengatur dan mengusulkan kepada Menkeu untuk disetujui dalam Permenkeu. Sebelumnya tak ada kewenangan itu. Pasal 3 (1b) ditambah kata mendorong. Mendorong pembudidayaan bahan baku berkadar nikotin rendah. Artinya, perintah untuk memproduksi nikotin meski berkadar rendah diizinkan dikurangi proaktifnya. Tampaknya, ayat ini menjadi sangat penting tafsir dari implementasinya—mengingat eksplisit berurusan dengan zat kimia berbahaya. Tentu segalanya berpulang pada Pemerintah Daerah. Lalu, pada pasal 6 (3) menghapus kata harus yang boleh jadi tidak mengharuskan lagi Gubernur/Bupati/Walikota menyusun, mengadministrasikan, dan memutakhirkan database industri hasil tembakau. Kemudian yang tak kalah spektakuler adalah dihapusnya kata dan/atau dari pasal 7 (1c) yang artinya penetapan kawasan tanpa rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum adalah kewajiban dan bukan pilihan. Pemerintah pusat masih perlu menambah dua ayat yang sebelumnya tak ada, perhatian pada pelatihan buruh industri hasil tembakau dan penguatan ekonomi dan pengentasan kemiskinan masyarakat lingkungan industri hasil tembakau.

Dua ayat tambahan ini, tampaknya paling gamblang bila dilihat dari prespektif azas keadilan dan keseimbangan. Satu sisi menimbang demi mengukuhkan dan mengokohkan industri hasil tembakau, sisi yang lain menakar warga miskin dan pengangguran di sekitar industri—yang sebetulnya sisi yang ini mudah dimengerti tapi susah dicerna bila terkait angka kemiskinan. Betapa kemiskinan sulit untuk tarik dalam skala prioritas. Masyarakat miskin di luar lingkungan industri hasil tembakau, juga tidak lebih sedikit atau lebih banyak. Sekaligus paling gampang dimengerti manakala ada yang menilai dua ayat terakhir ini representasi ambiguitas regulasi di bidang cukai tembakau. Memang ambiguitas tersebut hampir tak masuk akal dilampaui, semenjak terukur dari subtansi dan filosofi cukai sebagai sin tax. Dalam kosakata yang sedikit imajinatif, yang diperlukan pajak dosa hanyalah penebus dosa.

***
Pemerintah berdiri di dua alam dan dikuatkan sendiri ambiguitas itu dengan ”memelihara” kewajiban memberi tebusan. Tanpa harus membuat usaha-usaha kecil hasil tembakau gulung tikar. Bila pemerintah bersikap tegas dalam hal regulasi dan implementasinya, maka semuanya akan menjadi jelas pula. Andai angka 2 persen yang dikembalikan ke daerah secara keseluruhan diperuntukan biaya kesehatan penyakit akibat rokok, juga menuai soal yang tak kalah rumit. Data banyak mengungkap biaya untuk itu jauh lebih besar dibanding keseluruhan perolehan cukai. Apalagi sebatas 2 persen. Sekalipun memakai term logika dasar bahwa dana cukai adalah dana perokok. Term yang lain tentu bisa diperpanjang berkat data lain, semisal 70 persen perokok adalah orang miskin. Artinya, orang miskinlah yang sahih diberi hak atas dana cukai, untuk apapun kepentingannya, tinggal mengatur di atas kertas. Dengan demikian keadilan dan keseimbangan bisa mendapat pengertian yang baru.

Sudah barangtentu tak sesederhana itu. Mengingat sangat inspiratif bagi siapa saja, orang biasa, pejabat, birokrat, pemerintah dan sebagainya. Meski demikian, baru saja ditambahkan bahwa cukai selain inspiratif juga imajinatif.

Dengan demikian, alangkah terlihat jelas silang sengkarut regulasi dan implementasi perihal cukai sejak UU Otonomi Daerah, Undang-Undang Cukai, Permenkeu. Sampai saat ini, angka ambang batas kenaikan cukai 57 persen di Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 dan baru 65 persen pada RUU Pengendalian Dampak Tembakau yang diusulkan DPR. Jauh di bawah Singapurakan 80 persen dan Thailand 75 persen. Harus diakui perdebatan seputar apakah bila cukai naik, negara ikut bangkrut atau tidak, masih menarik. Untuk saat ini, bolehlah perdebatan itu diistirahatkan dan memulai memasuki ruang antara fakta dan imajinasi.
Setidaknya, ada dua pilihan penting yang perlu dicermati dalam hal cukai sebagai sin tax jika bermula dari fakta-fakta di lapangan.

Fakta-fakta di lapangan yang dimaksud tentu tak terlepas dari ambiguitas tersebut di atas. Sebagai contoh, Pemkot Kediri dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeko)menilai regulasi pemerintah pusat sebagaimana Permenkeu Dana Bagi Hasil sesuatu yang tidak masuk akal. Kediri termasuk penyetor cukai dan penerimba DBH cukai terbesar. Dalam sebuah wawancara dengan penulis akhir Pebruari lalu, Ketua Bappeko, Bambang Basuki Hanugrah berpendapat mustinya seluruh DBH yang ada untuk menopang kesejahteraan masyarakat miskin. Sayang, menurutnya alur ke arah itu buntu karena tidak ada otonomi daerah atas cukai. Jalan tengahnya, pihaknya menyusun program dengan mempertimbangkan pengembalian dana ke pusat. Tahun 2008 terpaksa sekitar 10 persen tak terserap. Bahkan seperti dilansir, Jawa Pos 26 Januari 2009 lalu, Bambang mengatakan dana itu untuk mengurusi kos-kos dan jamban di sekitar pabrik rokok. Ia menggugat, apakah untuk 2009 musti mengulang 60 persen DBH untuk kesehatan? Fakta lain dari permenkeu kenaikan cukai rata-rata 7 persen sesuai, Nomor 203/PMK.011/2008, berdampak langsung pada industri rokok kecil. Wawancara penulis dengan Ahmad Mawardi, pemilik PR Kanigoro di Kediri, didapat keterangan, angka penjualan turun mencapai 30 persen.

Lagi-lagi hal itu bukanlah titik akhir dari ujung terjauh masalah cukai. Perdebatan belum akan disudahi, semisal mengenai asumsi bahwa jikapun cukai naik 65 persen (sesuai RUU Dampak Pengendalian Tembakau) dan usaha-usaha kecil kemudian gulung tikar, dan marak industri rokok ilegal, maka itu soal lain. Artinya pemerintah perlu menjelaskan dan berkewajiban membenahi, menangani dampak dari dari penerapan regulasi itu. Bentuknya apa, itu tugas pemerintah.

Dari dua fakta di lapangan tersebut, perlu kembali pada dua pilihan untuk menjawab problem mendasar filosofi cukai sebagai sin tax. Yaitu, pertama, dihapusnya cukai atas nama moral kekuasaan, ataukah menaikkan cukai atas nama keadilan. Menghapus cukai dengan asumsi, karena diproduksi pabrik-pabrik yang ”haram.” Secara ekstrem, bilamana cukai dihapus, konsekuensinya menganggap industri rokok adalah industri yang yang haram. Boleh jadi akan disusul dengan pembubaran industri-industri rokok.

Kedua, pilihan menaikkan cukai setinggi-tingginya. Asumsinya, menaikkan cukai bakal melambungkan pendapatan negara, setidaknya berdasarkan studi dan pengalaman Thailand. Dari cukai 70 menjadi 75 persen menaikkan penerimaan 26,7 miliar Baht menjadi 36,3 miliar Baht pada 2004 (FCTC-IAKMI). Studi Lembaga Demografi UI, 2007 mengkalkulasi bila cukai naik menjadi 62 persen, bakal meningkatkan pendapatan masyarakat Rp 491,6 miliar.
Tentu pertanyaan berikutnya menyusul naiknya pendapatan pemerintah adalah, pentingnya implementasi yang jelas, alat kontrol yang jelas, dari dana bagi hasil yang diperuntukkan demi kepentingan kesejahteraan masyarakat miskin. Menurunnya, angka kemiskinan dengan sendirinya menghapus kegiatan-kegiatan yang ilegal masyarakat, termasuk beredarnya rokok ilegal, pita cukai ilegal dan sebagainya. Dengan kata lain, kenaikan pendapatan negara dari cukai yang tinggi ini bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat miskin. Bukan tanpa jaminan pemerintah bahwa regulasi yang sedemikian itu implementasinya harus jelas.

Pilihan kedualah yang lebih realistis. Lalu, adanya jaminan implementasi regulasilah syarat mutlak. Itu kalau pemerintah tidak mau dikemudian hari dipersepsikan sama dengan bagaimana menyikapi retribusi komplek pelacuran. Bahkan lebih dari itu, pilihan kedualah yang tampaknya sanggup menjawab seluruh gurita persoalan, asumsi dan kecurigaan “hisap-menghisap” cukai rokok sejak hulu hingga hilir. Pendeknya, bila masih ada jalan yang lurus, tak satupun diantara kita yang menghendaki dilahirkan menjadi Robinhood maupun Kusni Kasdut. Antara cerita dan berita buruk.
*) Penulis bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach,pada Center for Religious and Community Studies (CeRCS)Surabaya.