Rabu, 12 Agustus 2009

kliping

Racun Tembakau,
Kompleksitas Konflik Sang Penganjur

Surabaya Post, Sabtu, 8 Agustus 2009 | 21:18 WIB





Masalah rokok dan bahaya asap rokok bisa jadi adalah pemantik dari segala problema kehidupan, problem kejiwaan manusia-manusia modern.

Setidaknya itulah yang bisa dilihat pada pementasan teater yang merupakan puncak acara dari acara yang bertajuk Forum Interaktif Pemerintah, Masyarakat, dan Media: Menilik Sosialisasi Perda No. 5 Tahun 2008.

Dalam acara yang diselenggarakan di Auditorium RRI tersebut, memang menampilkan kompleksitas konflik yang dilatgar belakangi oleh rokok dan asapnya. Menurut S. Jai selaku sutradara sekaligus aktor dalam pementasan tersebut, permalahan utama yang diusungnya adalah bahwa estetika realisme primitif yang pada dasarnya berangkat dari hasrat “bermain” lebih merupakan naluri dasar insting manusia di hadapan kenyataan hidup yang kian miskin dari slogan “hidup yang benar-benar hidup.” Hal ini seperti pangaminan atas penggalian hasrat demi tujuan “gaib”, seperti halnya dilakukan para shaman dahulu, membersihkan diri dari stereotip hidup sehari-hari, sekalipun itu mengakar di ingatan.

Bagi S. Jai, gagasan inilah yang mendasari suatu pendapat bahwa ketika teater adalah sebuah peristiwa sederhana, namun kata-kata membuatnya tersiksa, yang artinya hal itu akan memenjara jiwa dan tubuh aktor dalam realitasnya.

Oleh karena itulah, manusia, sebenarnya bertindak sebagai seorang ilmuwan, intelektual dan juga sebagai manusia yang bertanggungjawab demi keilmuannya dan demi meringankan beban kemanusiaan. Semacam peneguhan sikap metafisis dan jiwa seseorang untuk menyampaikan kegairahan hidup bahwa di tubuhnya terhampar ruang dan waktu yang terdesak untuk dihadirkan dalam suasana realitas masa kini.

Realisme, sebagai pilihan kepanjangan gagasan artistik memang memungkinkan untuk pengembangan pilihan bentuk testimoni yang memang sarat dengan wilayah kelisanan. Biasanya, baik dalam bidang hukum maupun politik yang memang paling sering menggunakan istilah ini pun, sebenarnya punya pemaknaan yang sama.

Sementara dalam perluasan maknanya, testimoni tersebut penting untuk menjernihkan pikiran, hati, dan emosi sebagai semacam jalan pencerahan atau pengakuan dosa dan lain-lain. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Sebangun dengan pernyataan Carl Gustav Jung, salah seorang tokoh psikologi analitik, yang mengungkapkan bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri. Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan.

Oleh karena itu, setidaknya melalui pementasan monolog yang bertajuk Racun Tembakau, segala problema ini coba disingkap. Tidak hanya disingkap, tapi juga kemudian dipersoalkan lebih jauh, khususnya mengenai batas-batas dari pelbagai konflik kejiwaan itu.

Konflik-konflik kejiwaan yang coba diungkap dalam pementasan tersebut adalah konflik-konflik antara lelaki-perempuan, masalah pribadi dan keilmuan, masalah hilangnya kepribadian, juga mengenai masalah akan ingatan, baik tentang masa lalu, masa kini, dan masa akan datang.

Melalui tokoh Harman, memang masalah rokok dan bahaya asap rokok seperti menjadi pemantik dari segala problema itu. Akan tetapi, oleh S.Jai, , masalah rokok serta bahaya asap rokok dianggapnya tidak mustahil malah menjadi semacam ruang yang luang, apalagi bagi orang seperti Harman, yang memiliki kompleksitas masalah kejiwaan yang akut.

Harman, seorang suami dan pria berumur, tampil dengan cambang panjang, pakaian parlente dan berdasi. Tentu saja, sebagai seorang pria, terlebih lagi sebagai suami, Harman merasa tertekan dengan tingkah polah istrinya yang ternyata hanya mengatasnamakan sosial dan amal untuk kepentingan dirinya sendiri. Lebih jauh, dirinya yang seorang perokok merasa dilematis ketika harus menyampaikan pidato di depan umum tentang bahaya rokok.

Intinya, S. Jai hanya ingin menyampaikan bahwa sebagai Harman adalah manusia. Sebagai manusia Harman jelas mendamba kebebasan dan hidup yang bersih serupa kertas putih. Barangkali dia hanya sekadar tokoh penganjur yang jujur, tapi tidak pada dirinya sendiri. ”Demikianlah, tampaknya menjadi penganjur adalah kepribadian paling mutakhir manusia masa kini untuk selamat meski hal itu bukanlah hidup yang sebenar-benarnya bagi dia. Hidup yang serba palsu,” ujarnya.(a3)