Rabu, 09 Desember 2009

cerpen


-->
S L U M
Cerpen S. Jai
(Dimuat Bersambung di Harian Sore Surabaya Post, 4, 11,
18, 25 Oktober 2009)



PAGI hari di halaman belakang sebuah rumah kontrakan. Separuh matahari mengintip di balik salah sebuah bangunan. Tertahan tiang-tiang jemuran. Lantas cahayanya lepas.
Terdengar kokok ayam jantan. Suara kecipak air dari bak di bibir sumur. Perempuan Kunti membilas pakaian. Siaran radio. Berita aksi demo menolak kenaikan BBM.

Suara perempuan Kunti menggergaji ranti kayu, memecahkan siaran berita radio. Tubuh Kunti melintas lalu bersimpuh menyalakan api di tungku. Api membara. Gelomban siaran berita radio digeser musik hiburan. Mengalun sepotong lagu dangdut.

Kunti bersijingkat.

“Jangan diganti, Kunyuk!”



KENCING

TIBA di tempat tersembunyi di ujung gang, seperti biasa bocah lelaki itu girang. Dia bersimpuh di tanah.
Digaulinya, semut-semut yang keluar masuk lorong hingga berbaris rancak di dinding bangunan tua. Didekatinya, moncong mulut semut, didengarkannya, bisik dan sungut-sungut yang bertubrukkan. Begitu ramai hiruk-pikuk dan gelisah.

Belum lagi, tak jauh dari tempat bocah itu bersimpuh ada angkrang, kecoa, tikus atau anjing.
Bila dirasa bisa mendengar berontak kemarahan, kegaduhan sekawanan semut, bocah itu merogoh sebentuk cangkir bekas yang dia simpan di balik rerumputan.

Bocah itu berdiri dan cepat dibukanya resleting celana pendeknya. Lalu mengencingi setiap baris binatang-binatang malang itu. Sebagian dari sisa kencingnya, ia tampung di cangkir bekas itu. Sebelum akhirnya, ia lempar untuk mengusir anjing kudisan milik tetangga—ketika kencingnya masih sanggup melindungi bebek-bebek peliharaannya dari gangguan binatang nakal.

Kebiasaan ini sering terbawa hingga dalam mimpi yang berlebihan. Bila tidur malam, bocah lelaki itu kencing di sembarang kesempatan.

Kesukaannya kencing di pinggir jalan membuat bocah lelaki itu dikasihani banyak orang. Makin dirinya berani terbuka perihal kebiasaannya itu, banyak orang makin iba padanya


LAKI-LAKI
BUKAN BAPAK

SEPULANG sekolah. Lebih pagi dari hari biasa. Masih mengenakan pakaian seragam, dengan sepatu yang belepotan lumpur, Alif Lam bermaksud menyantap makanan di meja makan. Namun tanpa seizin ibunya, tak mungkin keberaniannya muncul. Karena itu, dia menunggu.

Lagi-lagi ketidakpedulian ibunya, menggugah keingintahuannya. Alif Lam mencuri waktu untuk melihat ibunya di kamar. Dibukanya kamarnya yang tanpa daun pintu itu. Jemari Alif menarik korden kain tipis, begitu hati-hati.

Betapa terkejut bercampur takut, ketika Alif melihat sesuatu yang sama sekali belum pernah disaksikannya. Dia melihat dua tubuh, ibunda dan seorang lagi laki-laki yang bukan bapaknya bersetubuh. Dilihatnya laki-laki yang bukan bapaknya itu tidur telungkup bugil di atas tubuh ibundanya yang dengan sorot mata tajamnya terus mengawasi ke lubang ngangga korden pintu.

Di tangan kanan ibunya, masih nikmat menggenggam benda sebentuk gergaji. Seperti ada bagian tubuh dari laki-laki bukan bapaknya itu yang hendak dibenamkan ke dalam rongga-rongga tubuh ibunya. Sebaliknya, seperti baru saja ada sebentuk benda yang baru saja dibenamkan di leher laki-laki bukan bapaknya itu.

Kamar cukup gelap, tidak ada sinar matahari, karena itu tidak jelas adakah genangan darah mengalir atau mengering di atas kain sprei.

Cepat Alif Lam menutup korden dan menahan nafas. Sorot mata tajam ibunya mendesaknya agar dia cepat meninggalkan tempat. Alif bergegas melompat. Keringatnya yang sebesar biji-biji kacang hijau mendadak muncul dan berjatuhan di lantai.

Bocah itu berlari kuat melempar sepatu dan tasnya. Menyusul kemudian seragamnya. Sialnya, dia tak sadarkan diri begitu melempar seragamnya, ternyata di dapatinya dirinya sudah jauh di luar rumah.
Sepasang seragam satu-satunya itu terbang melayang sebelum akhirnya jatuh terjerembab di sungai busuk berbau sampah dan kotoran manusia di seberang jalan. Tidak ada seekorpun ikan disana, karena telah mati sejak lama. Air kali yang hitam sehitam bekas-bekas luka di kulitnya cepat melumat seragamnya. Bercampur plastik-plastik bungkus shampo, kaleng bekas, kawat gawat, dedaunan membusuk, gelas pecah dan karet-karet ban menyumbat aliran. Serasa di kerongkongan.
Nasib kerongkongan bocah Alif Lam memang sedang gawat.

JATUH
DI TUBIR JURANG

SEMENJAK memergoki ibunya dan laki-laki bukan bapaknya yang menumpuk, bocah itu harus menanggung beban didiamkan ibunya. Satu-satunya cara untuk menarik perhatian kembali mereka, Alif Lam jadi anarkis dengan banyak menangis sehebat-hebatnya.

Di kamar perempuan ibunya itu, terbukti memang tak setetes pun darah diajumpai. Sprei dan tempat tidur masih teratur rapi dengan bantal dan guling di tempatnya. Justru laki-laki yang mestinya di mata anak itu bisa terbunuh oleh gergaji ibunya, tergelatak segar biasa dengan nafas liar.

Begitu bangun, biarpun masih dengan mata terpejam, dia sanggup memukul tubuh anak itu hingga terjengkang. Sepotong tempe goreng kering untuk membujuk Alif Lam terjatuh di tanah berpasir karena diacuhkan anaknya itu. Laki-laki bukan bapaknya itu kian berang. Alif ditendangnya sampai bibirnya mencium dinding berjurang. Untuk kali pertama anaknya itu melihat darah keluar dari lubang hidungnya, setelah bekas-bekas luka menghitam di kulit tubuhnya.

Giliran laki-laki itu yang acuh. Di luar dugaan, dengan wajah berapi, jari telunjuknya tajam diarahkan persis di depan hidung Alif Lam. Meledak dari moncong mulut laki-laki yang bukan bapaknya itu.
“Ingat, jangan sekali-kali ganggu saya!”

Anak itu diam. Tidak mengangguk. Tidak juga menggeleng.

“Ini urusan laki-laki. Kamu masih kecil tahu apa? Ngerti?”

Bocah itu menangis sejadi-jadinya. Kepalanya dipenuhi wajah-wajah dan benda-benda keras. Lama tangisnya tidak berhenti. Setelah reda, di pojok sempit otaknya terselip bayangan ibunya—ancaman yang kali pertama ia dengar. Kunti, perempuan ibunya itu masuk tak terkendali dalam benak Alif Lam akibat secuil ancaman serupa yang entah sadar atau tidak dia kagumi ibunya—kekaguman seorang anak tanpa ucapan terimakasih saja.

Bagi Alif Lam lebih dari sekadar tahu, ibunya adalah seorang ibu yang dinamis, perempuan yang ruang geraknya demikian leluasa, dia juga istri yang tak pernah tidur. Begitu dinamisnya, seolah-olah tak ada yang berhenti dalam tubuhnya seperti halnya semesta dengan ruh hidupnya yang tak pernah mati. Inilah ruh hidup dari seorang satria yang setia, seonggok daging manusia pembela kebenaran dan keadilan yang dipilih Tuhan untuk mewakili di dunia. Dia berdiam dalam keheningan keluarga dan yang dikirimkan untuk Alif Lam agar mengasihi anak-anak dengan mulut dan dada terbuka.


BERKAWAN DENGAN BIR DAN PENYAIR

TAK satu pun gang di daerah pinggiran yang miskin ini, tak dikenalnya. Semenjak syair-syair tajamnya yang selalu diabacakan itu gagal, dia pilih berjalan menyusuri kemiskinan adalah jalan hidupnya.
Tubuhnya akrab dengan alam, sorot matanya masih tajam lebih tajam dari syair-syairnya. Begitulah dia selalu hadir bersemangat. Sebotol sisa bir masih di tangannya.

Lebih bersemangat di saat belajar bersahabat dengan imajinasi anak-anak.

“Satu dari bapakmu yang mengecewakan ibumu. Bapakmu tumbuh jadi manusia yang menahan diri, dan puncaknya ia jadi penidur saban hari-harinya.”

“Menahan diri?”

“Ya. Bukankah bila Tuhan sebentar saja menahan diri, pasti dunia berhenti berputar dan semesta kacau dibuatnya? Karena itu Tuhan tak pernah menahan diri untuk bertindak, mencipta, menjaga, mengatur dan membunuh sepanjang masa? Betul-betul Tuhan tak pernah kehilangan momen.”

“Jadi ibu tak suka orang yang menahan diri?”

“Lebih dari itu. Sebagai seorang ibu, ibumu juga benci setiap manusia yang mengumbar nalar tanpa menajamkan hati. Kamu tahu apa yang terjadi bila ini dibiarkan terus hidup? Bila bumi dipimpin orang-orang yang curang. Kecurangan akan menjadi penduduknya.”

“Ibu tidak pernah terlalu jauh bicara seperti itu.”

“Itu hanya karena kamu tak pernah mendengarnya, bukan?”

Bocah itu diam dengan mata yang tajam, penuh sesak pertanyaan.

“Tapi kamu mulai biasa dengan bicara ibumu, Nak. Tentang bapakmu, atau agar jangan seorang pun boleh mengganggu keluargamu.”

Laki-laki bermata tajam setajam syair itu mengisahkan. Kunti, perempuan ibu bocah itu berbicara bukan lagi sebagai ibu atau sepotong manusia, tetapi seorang ksatria. Laiknya seorang ksatria, setiap orang bakal dibuat percaya, apa yang terjadi padanya, bila semakin tumbuh rambutnya yang putih, semakin pula Kunti berbicara dan bertindak sebagai seorang ksatria. Ksatria bagi keluarga dan anak-anaknya.
Lucunya, Kunti bukanlah ksatria yang memilih pedang samurai, keris, golok, atau tombak untuk jadi nyawa keduanya, tetapi sepotong gergaji menjadi bagian dari sisa-sisa hidupnya yang nyaris putus asa.
Lebih dari sekali Kunti menyelamatkan nyawa suaminya. Dasar suaminya seorang yang tak tahu diri untuk berucap terimakasih (semisal cukup dengan membuka mata biarpun setengah mati sulitnya) tak juga pernah dialakukan.

Ketika asyik duduk di bantalan rel kereta api, suaminya pernah tertidur beberapa waktu lamanya sampai badan kereta yang meliuk seperti ular raksasa itu mulutnya terbuka nyaris menyambar daging dan tulangnya. Pernah juga di emperan rumahnya tidur suaminya dibuyarkan Kunti beberapa saat sebelum truk besar bermuatan besi beton mampir dan hampir meremukkannya. Pada saat seperti itu Kunti seringkali tampil melebihi seorang manusia, melebihi seorang ksatria yang menjaga keluarganya.

“Lalu apa? Siapa dia?” (bersambung)




SEPOTONG RAHASIA

RANJANG kusut. Dua tubuh laki-perempuan tergolek diam. Nafasnya kacau, badannya meringkuk seperti mengendusi bau busuk. Tinggal kaki-kakinya bergerak mencari kain-kain kumal yang semula terlempar. Kebingungan seperti kehilangan celana dalam dan juga kutang.

“Dulunya suami aku seorang yang penuh gairah.”

“Gairah, Kunti?”

“Ya.”

“Kenapa sampai Alif sebegini besar, belum juga ada adik baru di rahimmu?”

“Ah, kamu. Polos sekali pertanyaanmu. Adik baru. Rahim.”

Diam-diam hati perempuan Kunti amat terpukul.

“Mustinya, ini juga yang harus aku sampaikan pada suamiku. Terus terang sama sepertimu.”

“Aku tahu ada masalah besar, pada diri kamu dan suamimu sampai seperti sekarang, Kunti?”

“Tidak sepenuhnya kamu tahu. Ini akibat suamiku banyak menahan diri.”

“Menyiksa diri maksud kamu?”

“Nggak ada bedanya, memang.”

“Terus.”

“Perasaan aku ada yang hilang.”

“Perasaan?”

“Sudahlah, berkali-kali aku katakan padamu, kamu tidak akan mengerti perasaan perempuan, ibu, istri dari suami seperti itu.”

“Ayolah. Jangan kamu sembunyikan sesuatu.”

“Seperti penyair, suamiku seorang yang luar biasa menghidupkan kata. Setiap kali merayu sebelum tidur, perasaan aku tak bisa digambarkan karena bila hendak bersenggama dibisikkannya sesuatu ke telinga aku. Kamu tahu apa itu?”

Seperti ada yang menghentikan hidup lelaki itu. Otaknya serasa tak berfungsi dan jaringan syaraf yang asing berdenyut di bawah perutnya. Pelan-pelan dia menggeleng.

“Gergaji. Seperti ini.”

Kunti menarik benda itu dari balik kain di atas bufet. Laki-laki itu cepat melompat. Tertawa ngakak. Kunti bangkit cekikikan. Tak peduli bila segalanya tak berarti.

“Betul. Dia sebut beberapa kali.”

Keduanya masih cekikikan. Tanpa baju tanpa celana.

“Kadang-kadang dia juga minta aku duduk di atas kompor”

“Untuk apa?”

“Seperti juga aku, dia ternyata suka sesuatu yang panas.”

Kunti dan lelaki itu makin hebat tertawa. Tidak peduli tetangga. Seperti halnya lelaki itu, sama sekali perempuan Kunti tak menahan diri. Sebelum akhirnya, sama-sama membeku. Serasa syaraf otaknya dihantam sebentuk benda penuh gerigi dan karatan. Persis gergaji.

“Sekarang,” Kunti meledakkan dendam, gairah, nafsu, obsesi dan sekumpulan lagi perasaan. “Kamu bisakah bayangkan bila sejak lebih sepuluh tahun lalu bisikan itu tak lagi ada. Bila sejak lebih sepuluh tahun lalu, setiap kali melakukannya, hanya dalam hitungan menit suami aku lalu tertidur mendengkur, telungkup di atas tubuh aku?”

Kunti menghunjamkan perasaannya.

Di kepala lelaki itu, seperti ada bagian tubuh suami Kunti yang hendak dibenamkan habis ke dalam rongga tubuh Kunti. Bersamaan itu, seperti baru saja ada sebentuk benda tajam bergerigi habis dibenamkan di leher dia sendiri. Pembunuhan adalah kosa kata yang berdiam di benak lelaki itu.
Sayangnya, kamar gelap, tidak ada sinar matahari sore, karena itu tidak jelas adakah genangan darah mengalir atau mengering di atas sprei.


PETANG, DALAM SUATU AMARAH

PINTU rumah kontrakan Kunti meledak. Petang itu berbarengan dengan tubuhnya yang terbang tak terkendali, membelah daun pintu. Dengan rambutnya yang tergerai bebas, mengenakan selendang berkeliaran, tubuh Kunti tenggelam dalam sukmanya yang liar. Tubuhnya nyaris lupa bila sedang menggenggam sebilah gergaji.

Di pekarangan itu berkumpul penduduk kampung. Tanpa suara. Mematung dengan sorot mata berkaca-kaca namun nyaris tanpa makna.

“Aku peringatkan kalian, jangan coba ganggu keluargaku! Segala yang terjadi di keluargaku tak seorang pun boleh ikut campur—sekalipun itu tentara. Jangankan untuk menghadapi kalian, mulutku ini bisa pula melebihi kilatan petir. Kalau kalian punya nyali menyebutku perempuan jalang, aku nggak ragu-ragu memperlakukan dagingmu seperti daging anjing. Jangan remehkan aku. Aku katai seperti ini karena aku hanya ingin membalas cara kalian yang melihat keluargaku lebih rendah dari anjing. Apa kamu kira keluargaku makan daging anjing? Aku peringatkan kepada kamu, sayangilah nyawamu. Kamu lihat apa yang kubawa? Kalian mau kurebus daging kalian dengan bumbu kaldu lalu kuhidangkan pada anjing, hueeh? Jawab!”

Kunti mempertontonkan gigi-gigi gergaji setajam taring macan. Demikian akrab tangannya menggenggam. Dia meringis bermaksud memperkenalkan senyum dan gerakan seorang pembunuh berdarah dingin.

“Kalian perlu tahu, sekali saja sorot mataku tak pernah tergelincir dari ujung tiap gigi gergaji yang tajam karatan ini. Itu karena mata-mata jemari tanganku ini tak pernah ada yang menandingi biarpun oleh mata buta seekor kelelawar. Ya, mata jemari ini telah bertahun-tahun terlatih ketangkasannya, tak silau oleh mentari, tak rabun oleh kabut malam dan tak lekang dimakan zaman. Biarpun mata jemari yang telah menumbangkan ratusan pohon di ujung gigi-gigi gergaji tetapi tak pernah sejenak saja lupa mana anyir getah pohon dan amis darah manusia.”

Sepenggal calon korban nyata-nyata lari tunggang langgang membayangkan kengerian. Persis seekor nyamuk sial berhadapan muka dengan pemburu mengokang sebilah tebah.

“Kalau aku mau, jangan dikira aku tidak bisa menghapus matahari. Dengan tanganku ini aku bisa,” perempuan Kunti makin sulit mengendalikan diri.

“Apalagi cuma mengganti tubuh suami yang tamat riwayat. Apalagi cuma mengambil alih peran kepala rumah tangga dari tangan pria yang hitam kulitnya oleh bekas koreng. Enteng!! Kalian tahu jelek-jelek perempuan seperti Kunti ini oleh yang maha hidup dibekali hati dan perasaan tajam. Aku bisa menangis seperti perermpuan lain, tapi tangisku ini seperti jarum-jarum hujan dihempaskan dari langit dan yang ditaburkan ke tengah laut. Jangankan sebatang tubuh manusia atau binatang. Sepercik bayangan hitam atau suara saja, yang terbukti mengganggu, aku tak segan cepat membunuhnya. Kalian bisa pilih, sekali lagi ada yang mengusik manusia Kunti dari kehidupannya di bumi, gergaji ini akan kubenamkan di batang leher kalian. Sebelum kemudian tanganku yang giras ini memotong satu persatu daging tubuh dan mengumpulkan penis kalian untuk campuran sayur rawon dan pelengkap rempeyek kering.

“Ah, tentu kalian mengira perempuan Kunti ini kesurupan. Terserah kalian karena aku sendiri juga tidak pernah mengerti mengapa terjadi seperti ini bahkan setiap hari hingga bertahun-tahun. Seperti kalian juga yang sama-sama punya anak, aku sedikit beruntung bisa bercermin pada diri putraku. Aku selami jiwanya dan aku rasuki otaknya. Aku bisa melihat bagaimana perempuan ibunya ini masuk tak terkendali dalam bagian tubuh Alif Lam, putraku. Entah sadar atau tidak dia kagumi ibunya—kekaguman sorang anak tentu tanpa ucapan terimakasih. Aku terus bercermin dari hari ke hari, dari pagi, siang, petang maupun malam hari. Bahwa bagi Alif Lam, putraku, seperti juga kemauanku sejak melahirkannya, lebih dari sekadar tahu, ibunya adalah sorang ibu yang dinamis, perempuan yang ruang gerakknya demikian leluasa, sekaligus istri yang tak pernah tidur. Begitu dinamisnya, seolah-olah tak ada yang berhenti dalam tubuhku ini seperti halnya semesta dengan ruh hidupku yang tak pernah mati. Inilha ruh hidup dari seorang ksatria yang setia, seonggok daging manusia pembela kebenaran dan keadilan yang dipilih Tuhan untuk mewakili dunia. Dia Berdiri dalam keheningan keluarga dan yang dikirimkan untuk Alif Lam agar mengasihi anak-anak dengan mulut dan dada terbuka.

“Apakah ada yang masih meragukan perempuan Kunti ini kesurupan atau tidak? Di luar rumah saja, orang seperti kalian boleh kesulitan menentukan kebenaran dan keadilan. Di luar sana masih banyak perempuan atau lelaki yang kebingungan mencari arti bagaimana ksatria itu bekerja, hidup dan menghidupi dirinya. Tapi itu semua tidak terjadi dalam rumahku ini. Di tempat ini segalanya itu jadi gamblang, tak perlu diperdebatkan. Kedatangan kalian kemari memang mengganggu aku, tapi aku juga harus berterimakasih kepada kalian karena sudi membuka pagar rumahku meskipun tanpa permisi. Sekarang pulanglah. Hari sudah malam. Malam adalah waktu yang tepat untuk kesempatan mencari jawab siapa sebenarnya di antara kalian semua yang kesurupan. Wajar kalau terjadi ada ayam-ayam kalian yang sulit mencari pintu masuk untuk pulang ke kandang, karena itu perlu diselamatkan. Tapi kalau ini terjadi pada manusia macam kita dan kesulitan mencari jalan pulang untuk bis selamat sampai di rumah, itu berarti malapetaka. Pulanglah! Kalau kalian tetap ngotot mau mencampuri kehidupan pribadi dan keluargaku, apa boleh buat. Kalau kalian memaksaku untuk memberi tahu pintu keluar masuk kehidupanku, datanglah bila aku punya waktu senggang dan akan kutunjukkan, di sini!”
Kunti memegangi kuat-kuat vulva vaginanya. Musik dangdut dari tape recorder di pasang keras-keras.


ANAK, TETAPLAH SEORANG ANAK

“IBU masih muda. Gergaji di tangan itu membuat ibu dianggap bukan lagi manusia. Mengapa ibu nggak buang gergaji itu. Untuk apa ini semua?”

Cuma Alif Lam berani mengusik ibunda Kunti dari kehidupan gergaji itu.

“Kamu nggak ngerti bagaimana jadi seorang perempuan seperti ibu. Kamu nggak akan pernah mengerti perasaan seorang istri sampai lebih percaya kepada gergaji daripada kepada suaminya sendiri.”

Di hadapan anaknya, perempuan Kunti berhati selembut salju (di kampung kumuh ini tak pernah dia jumpai salju).

“Kalau ibu diam, terang saja nggak akan pernah aku mengerti?”

“Apa mau kamu sekarang, Nak?”

“Ceritakan kepadaku, tentang gergaji itu?”

Diceritakannya pada anaknya asal muasal gergaji itu.

“Gergaji ini membuat ibu sulit bisa tidur.”

“Kok bisa begitu, Ibu?”

“Karena ibu nggak bisa tinggalkan gergaji ini nganggur di tempatnya. Ibu harus kerja, kerja dan terus kerja. Ibu percaya gergaji ini sahabat ibu yang sanggup ibu pergunakan untuk apa saja, memotong apa saja.”

“Ibu tidak tersiksa?”

“Hanya orang sehat yang tidak punya siksaan. Sepanjang hidup ibu, ini penyakit yang amat menyiksa.”

“Jujurlah Ibu, ada apa sebenarnya?”

“Tanyakan itu pada bapakmu. Sebelum dewasa, kamu harus tahu ini. Rahasia apapun telah ibu buka di luar rumah, tapi ibu nggak ingin anaknya sendiri telat mengetahui isi rumahnya.”

Perempuan Kunti tak bisa sembunyikan mata tajamnya.

“Ibu tahu sendiri, bapak nggak pernah buka matanya, seperti mata ibu. Bagaimana bisa aku dapat jawaban dari Bapak, Ibu.”

“Begitulah bapakmu. Bukan bapakmu, jika tidak begitu. Dia selalu tidur sepanjang waktu. Satu-satunya alasan bagi dia untuk bisa bangun cuma menyantap makanan.”

“Kalau cuma makan saja, bapak nggak perlu buka mata, Ibu. Mulutnya mengunyah nasi seperti sapi tapi jiwa raganya tidur mendengkur persis babi.”

Kepada anaknya, perempuan Kunti terus ceritakan suaminya yang tertidur tak pernah bangun sampai usianya di ujung senja. Namun begitu, mustahil Kunti mengurusi dapur keluarga tetangga ketika pada setiap yang bertamu ke rumahnya dia ingatkan agar tak coba-coba mencampuri bahtera rumah tangganya.

“Di rumah ibu percaya gergaji. Siapa tahu di luar banyak cerita tentang istri-istri yang bersahabat dengan kapak, parang, cangkul atau pistol.”

“Maafkan Alif, Ibu. Alif belum ngerti maksud Ibu.”

“Ibu tidak akan menyalahkan kamu, Nak.”


PAGI, DALAM SUATU MASALAH

BILA parak pagi tiba, laki-laki suami Kunti menunggui tungku. Setiap Kunti usai memasak, laki suaminya itu sebentar bangun, menyantap makan, lalu kembali mendengkur. Bangun di siang hari, mengisi perut yang kosong, lantas berak terus tidur. Bangun lagi di sore hari, makan, kemudian tidur lagi.

Kejengkelan perempuan Kunti menghebat di saat kelakuannya laki-suaminya masih dengan mata tertutup melempar komentar-komentar tak bermutu sampai membusa di moncong mulutnya. Betapa sakit hati Kunti mendengarnya.

“Hebatnya, apa yang dia lakukan dalam tidur? Sungguh tidur atau bersandiwara? Apa dia mampu terus bermain untuk masa bertahun lamanya semenjak sepuluh tahun silam? Mungkinkah dalam tidur, dia mengeja masa silamnya. Ataukah tidur adalah semacam pil penyembuh sakitnya dalam hidup di dunia yang sebentar ini? Bukankah sesuatu yang mungkin, tidur baginya ibarat perahu yang membuang jangkar ke pinggir pantai, dengan tidur dirinya ingin melucuti pakaiannya yang bernama tanggungjawab itu? Mati surikah?”

“Mana yang betul, Ibu.”

“Semuanya bisa betul. Kamu tahu, tidak ada yang salah dalam hidupnya. Satu-satunya kesalahannya, dia punya mata. Kesalahan kedua, dia punya nyawa. Nyawanya sendiri. Itulah sebabnya, kenapa setiap kali ibu bermaksud membunuh bapakmu selalu gagal. Ibu tak punya hak.”

“Apa maunya, Ibu?”

“Ibu biarkan bapakmu agar mati sendiri di kasur.”

“Nggak berhasil?”

“Nggak.

“Kenapa, Ibu?”

“Justru itu yang membuat ibu sedih.”

“Ibu yakin Bapak itu manusia? Bagaimana kalau Hantu?”

“Di Kampung ini memang banyak hantu. Tapi bapakmu bukan hantu. Buang jauh pikiran kamu itu!”


BILA MALAM BERTAMBAH MALAM

PEKARANGAN lain, keributan terjadi di rumah Rukbi. Jerit setengah tangis bocah perempuan sahabat Alif itu bertubrukkan dengan teriakan bapaknya. Bunyi sepatu sandal yang dilempar persis mengenai daun pintu.

Kegaduhan isak dan jerit tangis berebut nyaring lengking suara adzan isyak di masjid ujung gang.
Rukbi cepat berhamburan keluar. Tanpa sandal. Sebentuk tabungan ia genggam ke luar pintu. Berlari sepanjang gang untuk bertemu di suatu tempat dia membuat janji dengan sahabatnya—Alif Lam.
Sepanjang jalan melelahkan tak ada suara kecuali suara malam dan sisa tangis perempuan kecil Rukbi. Sesampai di tempat yang dituju, pelan-pelan nyaris berbisik memanggil sahabatnya Alif Lam. Menyusul kemudian, bocah itu muncul dari balik tembok bangunan tua.

Disodorkannya sebentuk tabungan itu ke sahabatnya.

“Kenapa nangis?” Alif Lam buka bicara.

“Belilah seragam sekolah dengan ini,” ucap gadis kecil itu.

“Dimarahi ibumu, ya?”

“Bukan. Bapak.”

“Soal ini?”

“Ya. Tapi ini duitku bukan duit bapak.”

“Kamu kerja?”

Gadis itu mengangguk. Entah benar atau tidak.

“Kamu seperti ibuku. Bekerja. Tapi ibuku tidak pernah menangis.”

“Apa kerja ibumu?”

“Ibu nggak pernah cerita. Kamu?”

Gadis itu diam. Tersenyum.

“Bantu ibumu jualan, ya?”

Gadis itu mengangguk. Dia usap wajah dan air mukanya. Lalu dirangkulnya Alif untuk beranjak pergi.

“Besok cepatlah beli seragam, agar tak dimarahi ibumu.”

“Aku bisa sekolah lagi. Bisa belajar mengarang lagi di sana.”

Menghilang.

“Jangan nangis lagi, ya.”

“Ya. Aku janji.”

“Main ke rumah sebentar, ya?”

“Biar kamu nggak dimarahi, ya?”

Makin menghilang.


SEKS RASA SIRUP JERUK SEGAR

LAKI-LAKI menyelinap ke dapur Kunti. Derit pintu kayu dan derak papan terinjak mengagetkan perempuan Kunti yang sedang menggoreng ikan asin dan tempe kering sisa diendus kucing.
Dari arah belakang, memunggungi daun pintu laki-laki itu langsung membekap kasar perempuan Kunti.

“Suamimu?”

“Ngorok! Mau apa lagi kemari, ha?”

“Ssstt.. Nggraji!!!”

“Utang kemarin belum kamu bayar. Jangan coba macam-macam!”

Sesuatu membuat Kunti bertindak lebih kasar.

“He! Aku kemari juga mau bayar utang, sialan.”

Sejenak Kunti biarkan tubuhnya diperlakukan bukan seperti perempuan biasa. Utang membuat nyali perempuannya cuma setengah badan. Sedikit ia mendongak ke rak bambu. Nampak tangannya merogoh sirup jeruk segar dalam bungkus plastik, gelas dan kemudian sedotan bekas. Dibukanya plastik itu dan seduhnya sirup biarpun dengan air dingin.

Laki-laki itu kian ganas menyerang sekalipun berdiri dekat api panggang.

Kunti pelan-pelan menyedot minuman rasa sirup jeruk segar. Tangan kanannya riang memegang segelas air dingin dan segar. Sebelah kirinya, menggenggam sebentuk batangan yang hangat, kenyal dan terjepit sumpek mencari lubang sempit yang terhimpit.

Dua pasang mata mengintip dari balik sisa pintu yang terbuka. Bocah. Dua pasang mata milik Alif Lam dan Rukbi yang mencari jawab pekerjaan Kunti. Di benaknya sama-sama tumbuh perintah Tuhan untuk tidak boleh menyaksikan persetubuhan. Sesuatu telah memaksa keduanya. Dari punggung kedua pasang persetubuhan, tak ada pilihan lain kedua bocah menunggu untuk sama-sama melihat dada.
Dengan sesak nafas yang tertahan, kedua bocah—yang terbiasa mendengar mulut mendesah atau mengintip dua tubuh yang menumpuk—itu sabar menanti.

Benar Kunti dan laki-laki itu saling berputar menukar posisi badan. Mendadak Rukbi terhenyak. Cepat dia balik badan dan ambil langkah seribu. Disusul kemudian Alif Lam.

“Siapa itu?” bisik laki-laki

“Anakku.”

“Ah, persetan.”

Cuilan tempe sisa kucing mengering di penggorengan.

DALAM pelarian itu, kembali Alif Lam kehilangan. Sebentuk tabungan yang dia genggam jatuh tergelincir dan berguling-guling sebelum akhirnya terjun ke rahang sungai. Dilahap sampah-sampah busuk. Kalap.
Kali ini bocah itu tak peduli. Dia terus mengejar sahabatnya, Rukbi yang melupakan janjinya untuk tidak lagi menangis.

Kian mendekat, persis di punggungnya ditariknya kuat-kuat kemeja gadis cilik itu. Dia terjatuh. Demikian pula dengan Alif Lam. Berguling-guling di tanah. Bertubrukkan masih dengan sedu-sedan tangis yang liar. Keduanya duduk berpelukkan kasar laiknya tidak seperti anak-anak. Untuk beberapa saat, tidak jelas karena tidak ada penjelasan apapun…

Selama itu, Alif Lam memandangi teliti seonggok tubuh tua tidak jauh dari tempatnya. Matanya. Rambut putihnya. Keriput kulit mukanya, tangannya, dadanya. Ia nikmati sebagai benda yang rusak tak berguna.

Entahlah, lantas bocah lelaki itu mencari sesuatu yang sama sekali tak ia temukan. Jalan. Sekolah. Gedung Tinggi. Langit. Bulan. Bintang.

“Kamu masih teman aku, Alif?”

Mengangguk.

“Janji?”

“Janji.”

Rukbi menahan bicaranya. Dia sadar pertanyaan ini jadi tidak penting. Bukankah dirinya juga tak penuhi janji untuk tak lagi menangis?

“Kamu yang ingkar janji.”

“Maaf. Memang sebaiknya anak kecil seperti kita tak boleh berjanji.”

“Apakah kita masih perlu merasa seperti anak kecil?”

Lagi, Rukbi dibuat diam. Diam-diam ia membenarkan ucapan Alif Lam. Diam-diam sesuatu keberanian telah tumbuh dalam diri bocah perempuan itu. Barangkali ia kemudian merasa jadi laki-laki.

“Ya. Tumbuh dewasa saat ini atau nanti sama saja.”

“Mungkin kita dicap nakal. Tapi kita merasa jadi pintar.”

“Kalau aku laki-laki, tentu aku berani kasar pada ibumu seperti bapakku memperlakukan ibumu tadi.”

“Itu bapakmu?”

Dia jawab pertanyaan Alif Lam itu bersamaan dengan tangisnya yang datang kembali. Tangis itu makin menghebat saat Alif Lam melempar Rukbi dan mendorongnya kuat. Mendadak emosi Alif Lam menghebat bukan lantaran tangis itu tapi karena mulai tumbuh benih dendam.

Rupanya, dia betul-betul seperti bukan lagi anak-anak.

Begitu gadis cilik itu roboh. Bocah lelaki itu langsung berani memiting, membekap. Rukbi tak berdaya. Diam tidak ada perasaan mengiba. Diam-diam pula dia belajar sesuatu yang sudah biasa.
Bocah laki-laki itu berani memasukkan jari tangannya ke bagian tubuh gadis cilik itu. Tidak ada perasaan apa-apa, juga iba.

Tak selayaknya keduanya untuk membuat janji.



YANG TUMBUH SAAT SUBUH BERGEMURUH

ADZAN subuh bergemuruh. Bocah lelaki itu mengendap-endap untuk keluar. Diintipnya tubuh bapaknya yang tidur mendengur. Dia tak peduli jikapun sudah mati. Dengan darah atau nanah di tanah. Mengering campur sisa taiyeng.

Di luar pintu, adzan subuh saling menumbuk dengan musik dangdut dari tape recorder murahan. Dia berjalan ke arah sungai mencari tempat seragam dan celengan yang tergelincir di makan sampah.
Di tepian bibir kali, dilihatnya di tempat jauh langit menguning keemasan. Jatuh di permukaan sungai. Dimatanya, sinar itu hidup di sana. Berbiak dan pemandangan yang luar biasa bumi ini kaya.
Didengarnya bunyi kencing laki-laki. Ibu-ibu membuang sampah. Dijumpainya perempuan setengah tua berak digigir kali, menginjak kayu-kayu menyerupai tangga. Dia intip sebentar. Merasa percuma.

“Sudah apa belum.”

“Kamu anak kecil, mau berak di sini saja di samping saya.”

Bocah itu merasa tidak lagi anak-anak.

Dia merasa berdekatan rapat dengan daging perempuan keemasan.
Sebentar kemudian, bocah itu menuruni tangga kali. Perasaannya tidak berubah. Menginjak tisu-tisu kusut, bungkus-bungkus kondom dan plastik-plastik berisi bekas cairan mirip putih telor. Di pinggir kali, tanggannya menari, merogoh, mencari seragam dan celengan persis tak peduli emas-emas mengambang di permukaan kali.

Di belahan sisi yang lain, Rukbi menatap sedih wajah langit kemerahan.
Di balik tempat lain, penyair lamat-lamat menyuarakan syair-syair tajamnya.


Kepada Matahari Subuh yang Akan Menerangi Dunia.

Lebih lima miliar nyawa manusia tlah huni bumi yang menua
kencing dengan rupa-rupa warna, bau dan mungkin rasa
Bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa, kakek-nenek, laki-perempuan, presiden, menteri, hakim, jaksa, tentara, politikus, profesional, buruh, petani, mahasiswa, demonstran
Tanpa keluh, rela dirinya menampung ribuan kubik liter air kencing
menjadi ponten umum bagi mereka
Binatang lain cerita bila bicara, pun manusia penghuni ruang angkasa
Seperti halnya, lain pula bila politikus jadi berita

Bagaimana ia kencing.
melompat pintu pagar dan melirik jalan
satu-satunya pelajaran terpenting selama kencing di jalan
jadi tahu bagaimana orang miskin.

Menjadi politikus sebetulnya adalah berjuang melawan kencing.

Sayang, betapa politik bagi Tuan
ruang meja makan di restoran,
segala menu tersedia tanpa beranjak
pesan demokrasi? Kekerasan? Jalan ke surga? Wanita?
Atau mayat?[]
(Diambil dari master scene film karya S.Jai S L U M)