S. JAI
GURAH
Yang Tak Sempat Dikubur
BAGIAN 1 (Bersambung)
(Sebagian fragmen Novel ini pernah dimuat harian sore Surabaya Post pada edisi Pebruari hingga Mei 2005 dibawah judul Tak Sempat Dikubur)
DAFTAR ISI
SINOPSIS
PROLOG
CATARAN DARI SEORANG YANG SAKIT JIWA ()
SATU
OKTOBER 1983 ()
DUA
SEPTEMBER 1984 ()
TIGA
DUNIA YANG BERBATASAN TIPIS ()
EMPAT
SESUDAH SEPULUH TAHUN KEMUDIAN ()
LIMA
KISAH SEBUAH CIUMAN ()
ENAM
MATAHARI SUBUH DI BULAN APRIL 1994 ()
TUJUH
SIMPANG SOCIETET ()
DELAPAN
INSPIRASI ()
SEMBILAN
OMONG KOSONG ()
SEPULUH
IDEOLOGI LELAKI ()
SEBELAS
SCIENCE, FICTION ()
EPILOG
FANTASI EROS DARI BALIK JERUJI ()
SINOPSIS
SESUATU kekuatan telah sanggup menyalakan kembali api cinta Biru Langit pada kehidupan. Lelaki itu telah selamat dari amukan masa silam yang getir, juga deraan nasib hitam menghitam. Otaknya yang ideot, derita akibat terbunuhnya sang ayah oleh peristiwa penembakan misterius, lalu tak lama menyusul kematian ibunya, lambat laut sirna.
Dia mulai jatuh cinta pada kehidupan.
Lantas, kehidupan pula yang menyeretnya kepada pergulatan batin yang rumit ketika cinta yang lain merenggutnya—seorang wanita telanjur mencintainya dengan kasih sayang, uang dan nama besar—mnyebabkan Biru Langit berada pada persimpangan, pemberhentian, sekaligus telikungan jalan.
Wanita itu puteri seorang profesor bedah plastik yang keblinger pada ilmu politik. Disiplin ilmunya belakangan diketahui jadi penyebab keluarganya justru tak manusiawi. Cinta sama sekali mendapat arti yang lain—kekuasaan lelaki dan tanggungjawab yang amat terbatas terjemahannya.
Di situlah sebagai perempuan korban perkosaan, Sulistyorini, wanita itu mengalami kebimbangan. Di satu sisi ia ingin disentuh hatinya oleh laki-laki sebagaimana keadaannya, di sisi lain oleh sang ilmuwan dipandang sebagai wanita yang tanpa cela. Menurutnya, wanita tetaplah wanita, apapun keadaannya. Sementara sang ibunda karena mendapati persoalan yang demikian komplek menyebabkan dirinya mengakui kelemahannya. Ia cukupkan diri berada di bawah kekuasaan lelaki, kekayaan dan juga nama besar. Ia nyaris tanpa suara.
Peristiwa paling dahsyat terjadi pada novel berlatar pembredelan tiga media besar ini, saat perdebatan Biru Langit dengan sang profesor menyangkut masalah kepribadian serta tanggungjawab kepada seorang anak. Biru Langit yang diilhami sepucuk surat seorang kawannya, Pam tak juga mampu menyentuh lubuk terdalam sang profesor. Sang profesor dengan analisis keilmuannya yang mendarah daging juga tak sanggup menyentuh nurani puteri serta istrinya. Juga pada Biru Langit.
Pam adalah seorang atheis yang dihilangkan penguasa dan hanya melalui surat yang tertuju pada ibunyalah, Biru Langit mendapat inspirasi banyak hal. Bagaimana seorang atheis bisa mengungkapkan perasaannya pada ibunya demikian memikat, lebih dari ungkapan pujian pada Tuhannya.
Lantas bagaimana mereka semua hidup? Ya, mereka berjalan sendiri-sendiri. Hidup mereka, cinta mereka seperti berbicara sendiri-sendiri, memaknai apapun maknanya. Mereka hanya saling membersihkan diri saja (gurah) dan kalaupun terlibat dalam satu simpul, banyak hal yang justru menimbulkan tanya.
Ya, bagi mereka cinta adalah hidup itu sendiri, pahit getir, ambisi, gairah, ingatan, luka, muslihat, bahkan petaka. Namun di luar itu semua, ada cinta yang tak tahu menahu, tak peduli bahkan abai, atau mungkin menolak dimengerti dengan suntuk sekalipun harus diterjemahkan dengan puisi atau fiksi. []
PROLOG:
CATATAN SEORANG YANG SAKIT JIWA
BERBULAN-BULAN aku ingin pulang ke rumah—seperti ceritamu saat berkendara melintas di jalan aspal dalam hitungan jam, dan tiba di pelataran rumah, diserbu anak istri, dihidangi jajan dan kopi. Bertahun-tahun aku kepingin jenak berumah, berdebat dengan istri dan anak yang pintar bukan cuma karena sekolah, ngaji—persis kisahmu yang mengutip buku-buku dan kitab suci.
Kamu bisa pulang karena memang punya rumah. Aku tidak bisa.
Kukabarkan padamu aku masih di jalanan, terusir dari tempat kediaman yang sungguh bukan untukku. Dan aspal, batu serta tanah yang pernah kamu lalui terkadang masih kulewati juga. Hingga aku bisa beritakan pengalaman, perjalanan ini tentang bagaimana bau, aroma dan barangkali rasa di luar rumah itu kepadamu. Mungkinkah juga kukisahkan ingatan kita semasa masih bersama-sama?
Sebab itu aku angkat topi buatmu. Biarpun kau telah berumah dan aku tidak, namun hidung, kuping, mata, hati dan matahati kita sama-sama tidak buta atas begitu banyaknya perstiwa pembunuhan, korupsi yang terpelihara—kebusukan yang tercium dan menusuk sampai nyerinya terasa di sunsum tulang, lebih busuk dari bangkai yang tak suntuk dikuburkan dengan bagian kaki, tangan kepala atau bahkan perutnya yang menyembul ke udara, sebelum dihirup juga kebusukannya oleh anak istrimu. Itupun lebih busuk dari bangkai yang memang belum dikuburkan. Terlebih karena begitu banyaknya hingga tak sempat lagi untuk menguburnya.
Sempit. Dan kubayangkan kini waktu sudah lagi tak ada yang punya.
Hanya orang sakit jiwalah yang bisa selamat, sebab dia akan mencuri waktu dan justru penyiksaan padanya, ia yakini sebagai pil pahit penyembuh sakitnya. Aku sejak muda tumbuh sebagai anak yang lahir kurang pintar jikapun tak berarti idiot. Kemiskinan yang mendera orangtuaku menjadi biang dan belajar adalah suatu kebiasaan tersulit. Otakku sulit terisi, tak ada memori. Sampai suatu ketika sebuah peristiwa merubah segalanya: melihat orang tak bersalah tewas dibunuh, menjadi saksi perempuan yang mati karena tidak kuat menahan penderitaan. Ingatan peristiwa itu membuatku tak mudah abai melupakan setiap peristiwa yang nyata-nyata hidup. Kegetiran hidup, lebih banyak kutanggung dari usiaku sesungguhnya, dalam tidur pun kegetiran itu hadir pula di mimpi-mimpi.
Aku menjelma seorang yang sakit jiwa dan pendendam.
Bisakah engkau mencari jawab bila terseret jauh dan lebih tahu banyak perihal kebusukan lainnya di sini? Sayangnya, sama sekali tak ada yang bisa kita kerjakan kecuali cuma membaui kebusukan-kebusukan yang terjadi di negeri ini. Bisakah mencari jawab apa hendak dilakukan? Bukankah penyakit jiwaku sanggup kian menghebat tanpa perlu membunuhku, di saat-saat puncak kegetiran lantaran kesulitan untuk hidup di usia yang betul-betul butuh rasa aman untuk itu?
Faktanya, aku tetap kesulitan dalam hal pekerjaan, pendidikan dan rumah yang lapang tempat anak-anak kelak hidup yang betul-betul hidup di tengah keluarga. Lalu kubayangkan ada sisi jalan kecil yang lempang untuk kembali mengolah alam, menggarap tanah dan menanam pohon kehidupan. Bukankah alam adalah ibu terbaik manusia di bumi, yang melahirkan, menumbuhkan, mendewasakan dan mnghidupkannya? Namun betapa bayanganku itu begitu suram dan lebih gamblang menyaksikan pohon-pohon itu pun mati sebelum tumbuh dan tumbang.
Pesanku belikan anakmu layang-layang dan jangan beri sebilah pedang.[]
SATU
OKTOBER 1983
Satu
AYAHNYA tewas ditembak orang tak dikenal pada bulan Oktober saat Biru Langit berusia sepuluh tahun. Ibunya mati mendadak di kebun belakang rumah, beberapa minggu berikutnya. Kematian itu sungguh aneh di raut bocah kelas lima sekolah dasar itu, lantaran waktu itu baru kali pertama dia melihat mayat manusia seperti binatang. Terbungkus karung goni dan terlihat dari kejauhan meringkuk seperti kuda. Kuda yang sudah tak meringkik lagi, seperti tatkala masih hidup.
Memang itu bukan tubuh rusak pertama yang dilihatnya.
Sejak Biru Langit, jatuh dari meja setinggi lebih dari satu meter dan tertelungkup di lantai separuh semen, separuhnya tanah hingga kepala bagian belakangnya tumbuh membesar, mayat ayahnya dan tentu saja kemudian jasad ibunya yang menyadarkan ada yang salah dengan bagian penting dari tubuhnya itu. Ada yang keliru dengan kehidupannya. Ada yang terhambat dengan perkembangan jiwa dan sudah barang tentu sel-sel dalam otaknya.
Selepas itu, Biru Langit tumbuh sebagai anak yang kurang pintar jikapun tak berarti idiot. Kemiskinan orangtuanya, memperarah kondisi Biru Langit. Dia pun berkembang sebagai pribadi yang kurang pergaulan. Belajar adalah suatu kebiasaan yang sulit baginya di dunia ini. Otaknya sulit terisi, tak ada memori yang bisa diingatnya. Di sekolah Biru Langit harus diberi keyakinan dengan menyuntikkan semangat dengan cara umurnya ditambah satu tahun, agar kawan-kawan sekelasnya memaksa dirinya tahu paling berumur di kelasnya, sehingga wajar bila diantara empat atau lima puluh kawannya, dia terpilih jadi ketua kelas.
Sebelum ayahnya mati, otaknya seperti sama sekali tak berisi. Setiap tiba di sekolah mangga sebesar kepalan tangan seharga duapuluh lima rupiah lebih dulu menyumbat tempurung kepalanya ketimbang pelajaran berhitung, apalagi mengarang. Dan kali pertama yang dilakukan Biru Langit bila mendapat kesempatan maju di depan kelas dan kemudian dia terhambat untuk itu adalah menangis sejadi-jadinya. Menangis adalah respon paling cerdas dari Biru Langit.
Dengan menangis, dia tahu orang pertama yang disibukkan adalah gurunya, kemudian kawan-kawan yang lebih dulu dicap sehat dan waras. Lantas ayah dan ibu yang jauh lebih siap melayani bakat mendendam Biru Langit dari pada seorang guru—yang dia ketahui kemudian lahir dari seorang priyayi kampung penuh kepura-puraan, ramah banyak senyum. Itulah sebab kepada Biru Langit, kebanyakan guru di sekolah itu lebih suka menunjukkan taring giginya dengan melempar penggosok, penggaris atau apa saja di dekatnya daripada senyumnya. Sebab itu pula betapa Biru Langit amat sulit untuk menghafal, pahlawan tanpa tanda jasa, dalam mata pelajaran kesenian.
Hanya itu ingatan yang masuk ke memori otak Biru Langit. Ada satu-dua peristiwa tapi alangkah baiknya, bila itu dihapus saja dari ingatan dia—judi kecil-kecilan, main rogoh kelamin perempuan. Kebiasaan ini, dia dapat akibat di depan halaman sekolah, seorang laki-laki dewasa menggelar judi rolling untuk anak-anak. Pemuda-pemuda kampung yang senang menggoda perempuan gila untuk membuka roknya, berakibat rasa ingin tahu Biru Langit pada setiap kelamin perempuan—padahal ketika kali pertama, dia saksikan isi rok perempuan gila itu, tak dia lihat apapun kecuali daging bengkak yang basah dan sedikit bernanah. Di saat seperti itu, biasanya Biru Langit dikemplang pelipisnya dengan salah seorang pemuda itu dan dikatai ‘heh.heh..anak kecil kepingin tahu tempik juga.’ Itu kali kedua Biru Langit dapat kosakata, tempik, setelah di sekolah dia baca, dari salah sebuah sajak Chairil Anwar, yang sudah barangtentu ia tak hafal: setan bertempik!. Segala perbuatannya ini, dialakukan jauh dari kesadaran. Seperti halnya ketika dia selalu menangis tatkala dimandikan ibunya, tapi bila ibu atau perempuan tetangga yang mandi, cepat-cepat Biru Langit mencari tempat untuk mengintip.
Siapa sangka, mengintip adalah pelajaran terhebat dari sekian bagian hidup Biru Langit di usia mudanya, ketika mungkin dibanding kawan-kawannya semasa masih duduk di bangku sekolah dasar. Di situ ada dorongan naluri untuk lebih tahu dan segala daya upaya dengan penuh kesadaran dia kemukakan, membujuk, argumen, sampai memberontak bila seseorang memergokinya sebelum kemudian melarang.
Biru Langit jadi tahu waktu.
Sebelum ayahnya mati seperti binatang, Biru Langit terbiasa melihat mayat manusia terbungkus karung di kerubuti orang seperti semut, waktu di pinggiran jalan persis depan Pak Lurah. Biru Langit tahu juga seonggok laki-laki mati dipinggir pasar, sebelum dikubur dimandikan terlebih dulu di kali dan pada saat itu Biru Langit dengan mata telanjang tahu mayat itu tanpa kelamin dan perempuan-perempuan yang tahu sebagaian menutup hidung dan mulut, sebagian yang lain menjerit-jerit yang lengkingan jeritnya mirip suara kucing atau anjing yang dikebiri. Biru Langit tahu juga mayat lain ditemukan didudukkan di parit seperti hendak menghisap rokok, dengan separuh kepala bagian belakangnya ternyata sudah lenyap hancur seperti daging semangka.
Biru Langit tahu karena sederet peristiwa itu terjadi di sebuah kampung kecil yang dihuni lebih banyak binatangnya ketimbang manusianya. Sampai dia sendiri ragu, seorang binatang atau seekor manusia atau sama sekali bukan keduanya. Mana yang benar dan siapa yang melakukan semua ini, binatangkah, manusiakah atau seonggok daging seperti halnya juga dengan dirinya. Biru Langit memegangi sekumpulan daging di tubuhnya, dan mecengkeram batok kepalanya yang benjol di bagian belakangnya.
Setiap pertanyaan ketika itu tak sebutir pun yang terjawab karena Biru Langit juga tak punya ingatan apa-apa.
Dua
SUATU sore di pertengahan bulan Oktober 1983, ayah Biru Langit dikuburkan tanpa sebuah upacara laiknya di sekolah pada saat pagi hari pendidikan atau kebangkitan nasional, terlebih seperti hari kesaktian Pancasila. Apalagi dengan iringan salto seperti matinya tentara, tidak sama sekali. Ayahnya yang buruh tani itu dibenamkan di perut bumi hanya seperti pada saat menimbuni sawahnya dengan pupuk kompos sisa binatang dan tahi orang. Sedikit diiringi potongan-potongan doa yang tak sempurna dari sisa segelintir orang di kampung itu. Sampai bongkahan tanah-tanah di kuburan itu tak bisa menelan batang tubuh ayah Biru Langit dengan ikhlas. Begitu banyak orang mati di situ yang berbaring, jauh lebih banyak dari orang kampung apalagi pelayat jasad ayah Biru Langit.
Dibayangkanya ranting-ranting akasia tempat burung-burung gagak itu mangakak, jadi benalu yang mengisap serat-serat daging ayah Biru Langit yang kokoh, seperti serat-serat tanah liat sebelum dibakar menjadi batubata. Digambarkannya, ayahnya berbaring sendirian di gelapnya tanah kuburan itu, tanpa lampu, tanpa angin, tanpa rokok, tanpa kopi, tanpa makanan camilan. Sambutan dan doa akhir pemuka kampung sedikitpun tak masuk di telinga Biru Langit. Apalagi karena tak ada yang mengerti sepatah kata pun isi doa-doa itu…
Apa yang pernah ibunda diceritakan pada Biru Langit, tentang surat dari langit, perihal orang tua yang tak pernah merasa tua, soal perempuan hamil bayi yang tak juga lahir bayinya biarpun telah jauh lewat masa-masa untuk itu, dan sekian banyak cerita lain yang bagi Biru Langit aneh betul, bagi ibunya tidak. Ibunya tak pernah mengutarakan ini sungguh-sungguh, sekadar cerita, mimpi, dongeng atau kabar burung. Lebih gampangnya sebut sajalah, dongeng yang biasa diperdengarkannya kerapkali Biru Langit hendak tidur. Begini:
Dari arah barat seorang perempuan berjalan gontai. Kulit tubuhnya bersinar. Di punggungnya seperti menggendong rembulan. Sendirian perempuan itu berjalan. Tubuhnya dibebat pakaian lusuh namun masih terkesan dari bahan yang amat mahal.. Perempuan itu terus berjalan tanpa peduli kiri-kanan. Menyusul kemudian di belakangnya, berbaris arak-arakan penduduk kampung yang menyemut. Beberapa orang penduduk melirik tajam pada ibu. Sedikit diantaranya melempar salam.
“Kenapa ibu tidak berada di tengah arak-arakan penduduk kampung?”
Biru Langit menyela kisah ibunya, tapi tak terjawab.
Perempuan penuh misteri itu menggendong seperangkat canting. Di biarkannya orang-orang membuntuti dirinya. Ada yang bermaksud membantu meringankan beban perempuan itu seperti membantu tuannya.. Aneh, tidak bisa, karena semua niat baik ditolaknya. Senyum perempuan dengan wajahnya senantiasa bersih seperti baru saja turun dari kereta berkuda dari sebuah negeri masa lalu yang diburu pangeran yang hendak meminangnya. Perempuan itu terus berjalan…
Biru Langit lupa berapa kali ibu cerita hal yang sama. Sebelum ditembak, ayahnya cerita hal serupa yang isinya sama. Tetangga pernah juga. sebagaimana yang melintasi umur ayah, cerita itu sebagai tanda dirinya hampir mua. Ibu juga nyaris menua, menyusul ayah. Wajar bila Biru Langit tak punya cukup keberanian meninggalkan jauh-jauh keduanya. Biru Langit terlampau lancang seringkali melintaskan jalan pikiran kematian ibu dan ayahnya. Terlebih pada ayahnya yang nyaris sering mendekam di sal rumah sakit. Saban kali berhadapan muka dengannya, Biru Langit berpikir: tidak berapa lama pasti dia berhadapan dengan malaikat maut. Lagi, sikap ayahnya yang miskin bicara, kiranya begitu pula perasaan Biru Langit bila menghadapi tubuh kaku mati ayahnya. Setan! Biru Langit jadi rindu betul ajal ayahnya…
Sebab itu ketika ayahnya mati ditembak dengan lubang peluru di jidatnya, Biru Langit tak pernah menangis. Sampai ketika jasad ayahnya dibenamkan di perut bumi, setetes pun airmata Biru Langit tak jatuh berkalang tanah. Biru Langit yang berdiri persis di kuburan ayahnya hanya melihat raut wajah orang kampung, tetangga, keluarga sanak saudara, kakak dan tentu saja ibundanya. Yang muncul di benaknya cuma keraguan kecil apakah diam-diam dirinya sudah terjangkit sakit jiwa. Biru Langit mencurigai tubuhya sendiri terserang neuritis—sesuatu yang sungguh bukan main-main selaku benih dendam.
Rasa itu bukan mustahil menimpa pada ibunya, bila bocah Biru Langit saja sudah ragu dirinya manusia atau bukan. Ibunya sedang di ambang senja dan menua. Setiap memasak di petang hari (ibu biasanya masak dua kali sehari, pagi dan petang), sambil omong panjang, ngurus anak-anak ayam, atau suara perkakas dapur yang sampai di kuping Biru Langit sepertinya dibantingnya keras-keras, lalu daun pintu yang dia tabrak seenaknya. Kacau! Usia senja ibu mustinya dilintasinya dengan enak, nyaman, duduk-duduk di samping pintu. Tak jauh di muka pintu ada burung-burung putih. Panjang umur. Persis kebiasaan nenek dulu sebelum meninggal saat ibu masih seumur Biru Langit di rumah itu juga, di depan pintu itu juga. Betapa menyenangkan hati Biru Langit melihat keseharian ibunya duduk-duduk bersandar pintu jati gagah itu.
Keadaan sekarang sama sekali lain.
Pikiran lancang Biru Langit menelanjangi ibunya. Terhadap mimpi ibunya bertemu perempuan berwajah anggun, kadangkala di kepala Biru Langit sembunyi pikiran bahwa ibunya rindu jumpa Ratu Adil yang mengentaskan dari lumpur kemiskinan keluarganya. Atau ibunya rindu muda belia kembali. Ibunya sendiri tak pernah sudi disebut dirinya tua. Namun tetap saja Biru Langit melihat ibunya di dapur tak ubahnya tubuh ibu itu yang duduk di tungku panas. Hitam. Kerdil dan tentu saja, lucu. Acapkali diputuskannya hubungan ibunya ketika petang hari, ketika ia ngoceh dan bagai panci duduk di tungku. “Sudahlah ibu, mengasolah.” Lantas ibunya tersinggung.
Begini. Sebenarnya, Biru Langit khawatir bila ibunya sungguh-sungguh rindu muda seperti mbakyu penjual jamu gendong. Berpenampilan kain lengkap wanita desa dengan rambut digelung tusuk konde berhias mawar, bibir berhias gincu merah, tipis, terkadang tebal membara. Ketika sadar zaman telah berubah bagaimana bila ibunya berganti penampilan degan mengenakan baju model kota, celana jins ketat? Bila ibunya seperti itu, lantas bagaimana dengan ayahnya? Tentu Biru Langit cepat-cepat memberi saran pada keduanya untuk datang ke paranormal.
Ya, Biru Langit ingat sekarang. Mereka punya seorang paranormal bekas priyayi pensiunan Kolonel Angkatan Laut yang pernah lama bertugas di Timor Timur. Kepadanya ayah Biru Lagit sering menolak untuk datang lantaran takut. Ibunya justru melakukan sebaliknya, meminta untuk senantiasa datang. “Biar hidupmu adem-ayem-tentrem. Seperti tumbuhan hidup manusia harus diberi pagar supaya terang jalan, jernih pikiran dan ragamu tidak terganggu. Ragamu, raga manusia, banyak yang mengincar, karena itu mintalah sesuatu. Apa saja,” tutur ibunya. Kemudian dikisahkannya bagaimana ibunya saat subuh melempar sebentuk benda kecil terbungkus kertas koran dilipat-lipat dari bekas Kolonel itu ke tengah tegalan. Ibunya begitu bersemangat meyakinkan Biru Langit pensiunan Kolonel bekas priyayi itu telah dikenalnya dengan baik. Biru Langit jauh sebelum itu, telah percaya. Jadi, percuma! Banyak hal sebetulnya antara Biru Langit dan ibunya yang sia-sia. Biru Langit mengangguk. Ingatan di subuh itu masih segar. Ini dilakukannya maksud Biru Langit biar ibunya tak lagi melanjutkan kisahnya. Lagi-lagi Biru Langit mengalah. Lalu ibunya kembali melanjutkan ceritanya.
“Kalau tidak? Kita tidak nyaman di rumah, mengayomi tanah tegal sepetak.”
Ketika itu, ibunya tidak mempersoalkan luas tanah tegal untuknya saat pembagian hak waris tinggalan kakek-nenek dua tahun sebelumnya. Cuma ibunya tidak setuju cara kakaknya , paman Somad membagi tinggalan itu pada adik-adiknya, termasuk ibunya Biru Langit. Minta petunjuk Pak Modin Haji Lukman pun, dianggap salah. Masak, tegal dibagi lima bagian membujur. Paman Somad dapat dua bagian, sisanya ibu Biru Langit, dua adiknya masing-masing satu bagian. Itu namanya mulut besar. Perut besar. Tamak. Dengan berbagai upaya sekembali dari pensiunan Kolonel bekas priyayi, lewat pintu-pintu kantor desa, tangan-tangan kecamatan, mereka sama-sama dibuat malu, ibunya menegaskan maksudnya. Berhasil. Tanah tegal dibagi empat dan masing-masing mendapat satu bagian. Kabarnya, sebagian tanah telah dibeli Paman Somad ketika adik-adiknya belum lahir. Itu saja ditukar beberapa karung gabah. Edan. Dasar berperut besar. Lucunya setelah peristiwa itu, Paman Somad datang juga ke pensiunan Kolonel bekas priyayi. Tapi ibunya Biru Langit yakin seyakin-yakinnya mana yang benar dan yang salah, serakah dan tidak.
“Semua yang di kampung ini saudara,” ucapnya.
Senja. Usai beberapa lama menetap, perempuan dengan seperangkat canting ke arah timur pergi seolah hendak menjemput matahari esok pagi. Orang-orang kampung terpukau. Tiada tanya. Tiada yang tahu menuju kemana. Kasihan, ia bangun rumah dan berhari-hari ia lakukan pekerjaan membatik tapi semua itu ia tinggalkan. Begitulah terus perempuan itu berjalan. Tiba-tiba ia lenyap di kerumunan bambu di pojok ladang di arah timur. Semenjak itu sepanjang jalan dimana perempuan itu lewat, tanah-tanah jadi subur dan orang-orang kian rajin, giat dan akrab.
Biru Langit terkejut seperti dihantam benda keras. Ketika mendatangi pensiunan Kolonel bekas priyayi seperti disarankan ibunya, di salah satu bilik kecil miliknya yang menghadap kolam dengan ditumbuhi enceng gondok, Biru Langit sadar seperti hidup di tengah kampung yang penghuninya telah menjadi fosil-fosil, serasa hidup di zaman batu. Mundur ratusan tahun lamanya, kampung tempat sekarang dia tinggal, adalah kampung perlawanan—tempat priyayi-priyayi dari zaman sekarang yang dilarang masuk ke situ. Tidak ada camat. Tak ada Bupati. Tak ada perwira. Tak ada Menteri. Tak ada priyayi berdasi. Tak ada penggusuran. Tak ada pembangunan.
Kenapa dongeng pensiunan Kolonel bekas priyayi itu sama persis milik ibu Biru Langit? Biru Langit gelisah. Dipikirannya orang itu lebih tahu persoalan dia jauh sebelum Biru Langit tiba. Biru Langit heran cuma untuk meyakinkan semua tuduhan otaknya untuk ibunya sama sekali meleset. Justru pertanyaan-pertanyaan mengganggu kegelisahan Biru Langit untuk segera hendak pulang, menemui ibunya.
“Ibumu betul. Saya bisa omong-omong dengan perempuan yang dimaksud ibumu, setiap saat. Saya memang priyayi, pensiunan perwira. Tapi saya lahir dan besar di kampung ibumu. Saya tidak seperti priyayi lain yang dilarang masuk di kampungmu. Kapan saja saya bisa lihat perempuan cantik. Kapan saja saya bisa tahu orang-orang kampung baik yang telah tiada maupun yang masih hidup. Semuanya baik pada saya. Saya hormat, menghargai dan menjaga mereka. Juga kepadamu, ngger.”
Sekembalinya, Biru Langit dibekali bungkusan kertas kecil, bubuk garam, minyak wangi. Dimintanya bila setiba di rumah, agar Biru Langit membungkusnya dengan plastik kemudian kain.
“Bawalah kemana kamu pergi. Jangan simpan di saku celana. Tidak sopan,” begitu petuahnya.
Semua jadi tidak penting bagi Biru Langit. Biru Langit harus pulang. Otak, mata, jantung dan jiwanya sudah penuh dengan sosok ibunya. Dia melompat pagar sebelum membawa pikiran bahwa dirinya barangkali telah tiada dan hidup di alam purba, bertetangga dengan fosil-fosil.
“Ibu aku tidak peduli kau masih hidup atau sudah mati.” knangnya.
Tiga
BIRU LANGIT tak peduli kau masih hidup atau sudah mati…
Biru Langit masih berdiri persis di sisi lahat ayahnya hanya melihat raut wajah orang kampung, tetangga, keluarga sanak saudara, kakak dan tentu saja ibundanya. Agak lama dia pandangi wajah ibunya.
Setelah itu usai, semuanya pergi tanpa seorang pun yang tinggal. Udara sore mengalir ke setiap rimbunan pohon di tempat itu. Pohon-pohon akasia dan kembang di situ berbisik-bisik. Orang bilang, bila pada saat begini sehabis tujuh langkah sepeninggalan pelayat, si mayat dibangunkan dua malaikat dan disitu banyak sekali peristiwa terjadi. Jika seorangpun tinggal mendengarkan dialog-dialog sang malaikat itu , maka dia akan mendadak gila. Sehabis itu, Biru Langit tanpa tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Pergelangan tangannya, buru-buru ditarik oleh seseorang yang dia sendiri tak sempat memperhatikan, sebelah tangannya lagi dicengkeram kuat-kuat orang lain lagi, nyaris berbeda arah. Manusia ataukah malaikat ia juga tak peduli.
Gerombolan pelayat yang cepat berpencar, dengan langkah-langkah kaki yang menerbangan debu-debu, rumput ilalang tajam giliran menenggalamkan sosok tubuh bocah itu. Barangkali seusai tujuh langkah pula, lantas Biru Langit menoleh kembali ke belakang. Sungguh banyak peristiwa telah terjadi di balik debu dan ilalang tajam itu. Cerita, kesunyian, bisikan, teriakan, tarian merasuki ke dalam jiwa Biru Langit, serasa membangkitkan dia sebagai manusia setengah malaikat.
Ingatan Biru Langit terhadap mayat ayahnya yang mati dengan lubang peluru di kepalanya menjadikan bocah itu tak lagi gampang melupakan setiap inci peristiwa.
Angin yang mengguyur para pelawat itu desisnya tenggelam oleh suara-suara yang sepintas lalu mirip dengungan lebah. Di barisan belakang langkahnya agak berat dan suasana begitu kaku. Seorang perempuan berpakaian hitam dengan baju kuno menggelandang laju jalan Biru Langit. Itulah Surat, ibunya Biru Langit dan orangtua dari kelima saudara-saudaranya. Surat juga adalah ibu yang baru saja mengisi jiwa Biru Langit atas kemauan sendiri selama pembacaan doa dan sambutan, ketika jasad ayahnya dibenamkan dalam kubur. Kini digandengnya anaknya, Biru Langit dan dibiarkannya pikiran keduanya berjalan sendiri-sendiri.
Empat
MEREKA orang-orang kampung petang itu langsung menginap di rumah Surat. Sebagai tanda belasungkawa, biarpun tanpa rumah Surat tanpa kamar. Lebih tepatnya, malam nanti malam pertama dari tujuh hari tujuh malam keluarga Surat berkabung. Sebab itu, warga yang kebanyakan tetangga dan kerabat dekat bersiap untuk tidak tidur selama melewati malam-malam itu. Seperti kebiasaan bila di kampung itu ada yang meninggal, sebagian orang kampung mengantongi ceki, remi atau papan catur untuk mengusir kantuk. Tuan rumah selamatan kecil-kecilan dan yang amat penting adalah menyiapkan rokok murahan dan kopi tubruk untuk mereka.
Kematian suaminya yang mendadak sudah merupakan pukulan berat bagi Surat. Sebab itu, ia sama sekali tak mengurusi segala kesibukan seperti itu. Justru waktunya banyak dihabiskan di dalam kamar. Bila penderitaannya itu dirasanya terlalu berat, ia pun menangis karena itu dianggap jalan keluarnya. Dengan menggengam kain-kain berukuran besar untuk mengusap airmatanya, Surat nampak memutar-mutar permukaan kain itu karena sepertinya tak cukup untuk menghapuskannya. Kedua matanya, lebih menyerupai bengkak daripada terlihat bekas tangis. Itu karena ujung-ujung kain yang terlalu tebal yang menyentuh matanya.
Biru Langit banyak tahu pemandangan itu semua tapi laiknya seorang bocah kecil, ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Matanya yang selalu berkata-kata. Sering muncul pula kesedihan di situ bukan karena di tinggal mati ayahnya, tapi karena menyaksikan betapa ibunya diliputi kesedihan sepanjang waktu. Bila ada kesempatan ia bertanya, kepada kakaknya ia ajukan apa yang mengganjal di hatinya. “Mengapa ibu menangis terus di kamar sejak pulang dari kuburan dan belum juga diam, apa ingin ayah tahu ibu tidak siap ditinggal mati?” Sepertinya Biru Langit lebih banyak protes menyaksikan di sana-sini banyak kemuraman. Siapapun yang diajaknya bicara tak bisa memberi jawab lantaran ia juga punya pertanyaan serupa.
Malam makin dingin. Rumah tua dengan pintu dan jendela berukuran besar yang terbuka itu kian jadi arus deras arah angin dari penjuru sawah, ladang dan sungai. Kolam ikan yang sudah hijau berlumut akibat hampir sebulan airnya tak diganti, bau busuknya ikut merunyak ke tiap ruangan. Orang-orang tak acuh dan tetap memainkan kartu-kartu di tangannya. Mereka juga tak pedulikan nyamuk-nyamuk yang terbang mengancam, karena bisa diusirnya dengan asap rokok setiap kali habis disedot.
Bila malam bertambah malam, dapur-dapur dengan perkakasnya yang kotor sudah ditinggal perempuan-perempuan. Mereka duduk-duduk atau sekadar menangkupkan badannya di tikar pandan. Ayam-ayam dan kucing sudah terlebih dulu tiada kabar. Sesekali lonceng siskamling dipukul beberapa kali pengganti waktu. Kecipak ikan di kolam kotor kadang-kadang juga unjuk kebolehan, mempertontonkan keberadaannya yang masih terjaga.
Pada malam itu, Biru Langit badannya ditangkupkan ke lantai setengah ditekuk. Persis di pojok ruangan terjepit tembok di bawah saka dan blandar kayu jati, tanpa selimut tanpa sarung. Biru Langit belum juga tidur. Biru Langit belum juga sanggup memejamkan matanya, dan setiap seseorang membanting kartu-kartu permainannya ia memperkuat kedipan matanya. Bila mereka setengah berteriak, maka nafas Biru Langit bertambah berat dengan detak jantung yang menguat. Matanya tak terpejam, jiwanya pun tak juga padam. Sebaliknya justru Biru Langit sedang sibuk. Otaknya bekerja keras biarpun badannya lemas. Sepertinya di situ ada sesuatu yang berlari-lari, melompat-lompat, hidup, menyebar tanpa sepengetahuan Biru Langit. Ya, ada sesuatu yang bekerja di bagian penting dari tubuhnya. Biru Langit sepertinya serasa banyak mengigau.
Ketika tanpa sadar Biru Langit menjadi seorang yang cukup pintar dan sungguh sibuk luar dalam, malam itu, di tengah igauan itu, dia mendengar banyak sekali peristiwa.
Lima
“NASIB malang memang sedang terjadi pada ayah Biru Langit.”
Suara itu datang dari kelompok bermain catur. Setiap kelompok bermain ada saja yang dibicarakan. Terkadang antar kelompok bermain saling sahut pembicaraan.
“Kasihan,” yang diajak bicara menyahut asal kena.
“Siapa yang kamu kasihani?”
“Ya, jelas yang mati.”
“Tidak. Saya pikir-pikir lebih malang lagi keluarga yang ditinggalkannya. Sama sekali saya tak melihat kesiapan di wajah keluarga yang ditinggalkan,” Orang memegang kartu remi menyahut.
“Ayah Biru Langit itu orang baik-baik.”
“Itu pertanda, siapapun orang macam kita bisa bernasib seperti itu. Kapan saja bisa jadi sasaran peluru laknat itu. Dalam kesempatan bagaimanapun, salah atau benar jadi tidak penting,” kata yang lainnya lagi.
“Ya, saya jadi sedikit mengerti.”
“Ini buktinya.”
“Dia orang baik-baik, tapi peluru itu tak pernah mau mengerti siapa korbannya.”
“Kamu cerita soal peluru atau ayahnya Biru Langit?”
“Maksud saya, kok peluru itu nggak mau tahu mana kepala orang biasa, orang baik-baik, kepala maling, perampok..”
“Pembunuh..koruptor…begitu?”
“Andaikata bisa begitu. Jadinya peluru itu lebih pintar dari kepala kamu sendiri bukan?”
“Kepalaku? Kenapa bukan kepala desa atau kepala negara?”
“Skaq!!! Modar kamu!”
Suasana pecah. Mendadak seorang pecatur mengagetkan semuanya. Bidak catur dengan sisa anak-anaknya dirobohkan. Suaranya berderak. Kembali permainan digelar.
Yang bermain kartu tetap asyik membanting-banting kartunya.
“Biadab sungguh itu yang nembak.”
“Lebih biadab lagi yang beri perintah.”
“Dua-duanya sama biadabnya.”
“Kalau tidak ada yang perintah?”
“Salah tembak?”
Orang-orang itu berhenti bicara karena merasa menemui jalan buntu. Buntu lantaran tak seorangpun berani menjamin kebenaran ceritanya, tak satupun berani memberi kepastian jawaban atas pertanyaannya. Memang tak jelas siapa yang beri perintah dan yang diperintah. Mereka cuma tahu siapa yang punya peluru.
“Ya, kenyataannya memang salah tembak. Mustahil orang sebaik ayah Biru Langit itu orang yang harus ditembak.”
“Tidak ada yang mustahil di negeri ini? Apalagi cuma orang mati.”
“Lalu apa?”
“Ya. Lalu apa?” giliran saling banyak tanya.
“Giliran siapa sekarang?”
“Kamu.”
Orang yang ditunjuk cepat membanting kartu. Dia membanting kartu delapan hati.
“Mampus aku” desah kawan disebelahnya.
“Apakah ayah Biru Langit punya musuh?”
“Rasanya tidak.”
“Ini yang perlu ditanya pada istri atau anaknya.”
“Sudah saya tanya. Memang tidak punya.”
“Kalau begitu, jelas dia korban target setoran saja.”
“Apa maksud kamu?”
“Ah, saya cuma ngomong saja.”
“Jangan curang kamu. Sudah melangkah nggak boleh pindah lagi.”
“Hh!! Jangan kalau ribut di luar.”
“Ini Kang. Sudah langkah kuda, masih mengancam dua benteng saya.”
Ketika hari menjelang dini hari, kesunyian malah kian terpecahkan. Dua orang bermain catur itu paling sibuk menghancurkan waktu. Sama-sama seorang kuli tebang tebu. Diam-diam keduanya bertaruh upah untuk beberapa hari pekerjaannya.
“Ngomong-ngomong kalian kok ngurus orang yang sudah mati? Kenapa nggak ngurus yang ditinggalkannya yang setengah mati ini, ha?”
“Sstt..jangan kamu suruh saya menikahi ibunya Biru Langit.”
“Jaga bicara kamu! Ini tempat orang kesusahan,” seorang bertampang serius tapi tetap saja lucu.
“Ngurusi anak-istri saya sendiri saja susahnya setengah hidup.”
“Setengah hidup? Ini istilah baru.”
“Tidak di sini, tidak di sana memang tempat orang kesusahan, Kang.”
“Tapi kita lumayan bisa punya hati senang, setidaknya untuk malam ini. Jangan contoh orang itu.”
Bicara begitu dia menuding ke arah laki-laki bersandar di pintu. Laki-laki itu sejak sore tak banyak bicara. Dia lebih banyak menghabiskan belasan batang rokok dan dua tiga cangkir kopi ukuran besar.
“Apa yang kamu pikir, anak Bung.”
“Aku tak habis pikir bagaimana orang sebaik ayah Biru Langit ditembak orang misterius. Dia sembahyang dan hampir keseluruhan waktunya untuk kerja dan cari makan. Apa saja pekerjannya dia kerjakan, kuli bangunan, berkebun, buruh ke sawah, menukang, buat batu-bata. Itu semua masih hasilnya kurang untuk makan istri dan anak-anak. Kapan lagi waktu untuk cari lawan?” Laki-laki itu nampak sekali berusaha untuk membebani arti setiap katanya.
“Kamu belum jawab pertanyaan saya, Bung. Apa yang kamu pikirkan?”
“Aku pengangguran. Aku lebih punya alasan untuk dibunuh. Mengapa Tuhan memilih menembak mati ayah Biru Langit ketimbang saya.”
Dia berkata seolah-olah sudah sepenuh hati—sesuatu yang justru dianggap lucu oleh orang-orang yang kurang tahu tentang misteri peluru, perintah pembunuhan, musuh apalagi alasan Tuhan.
“Bila kamu berdoa pada Tuhan, titip nasib kami semua. Kami tahu Bung yang menganggur lebih khusyuk daripada kami.”
Selebihnya, ada sesuatu yang tak tertahankan meledak dalam diri laki-laki itu. Barangkali karena tersinggung, mungkin juga karena haru. Atau karena ini baginya pengalaman pertama bercokol dengan orang-orang kasar, orang-orang banyak mengumbar bicara. Emosi itu dia sendiri yang tangkal, ia sendiri yang sabarkan dengan mencoba membujuknya. Kemudian agar isak tangis dan airmata itu tak juga tumpah, ia sedikit berpaling dan menguap. Cepat ia usap mukanya dengan ujung kain sarung dilipat di lehernya.
“Ceritakan bagaimana, ayah Biru Langit mati!”
“Kemarin sore dia masih belum selesaikan pekerjaannya membakar batu-bata, di ladang. Malam saat menunggu tungku tiga laki-laki misterius menggiringnya. Pagi sudah dalam karung goni…”
Itu kalimat terakhir yang didengar Biru Langit.
Enam
WAKTU ayah Biru Langit masih hidup, Surat sekeluarga biarpun dengan enam orang anaknya bisa hidup cukup di tengah masyarakat yang biarlah orang kota katai gemah ripah loh jinawi.1) Tinggal di dekat dengan jalan-jalan besar yang sudah lebar, lampu-lampu sudah menyala berbinar-binar. Sungguh beruntung. Apalagi di pinggir jalan besar ada sebuah pabrik gula cukup megah peninggalan Balanda. Artinya, penduduk sekitar kampung bisa memanfaatkannya untuk menjadi buruh kerja. Bila menjelang buka giling ramainya bukan main. Orang berbondong-bondong menonton royalan2) menyongsong kerja besar pabrik. Menonton acara-acara pasar malam yang tersebar di emplasemen pabrik. Sebelum seminggu kemudian giling tebu yang biasanya enam atau tujuh bulan dalam setahun dimulai.
Tak mengherankan bila penduduk kampung yang bisa bergaul dengan pabrik cukup makmur. Murah sandang pangan karena memang mereka karyawan dan buruh pabrik. Perempuan-perempuan yang berjualan di pintu pabrik laku keras dagangannya. Termasuk sering kali ayah Biru Langit pun kerja di tempat ini. Bahkan boleh dikata keluarga ini sedikit lebih istimewa dari mereka para tetangga yang kurang bisa kerja sama dengan pabrik. Terlebih lagi, di antara saudara-saudara Biru Langit, Kang Pithut sedang menekuni budidaya ikan lele. Tak seorang pun selain kakak Biru Langit itu. Ketika ayahnya masih hidup Kang Pithut sempat berhasil gemilang dan cukup dikenal sampai pelosok kampung karena lelenya itu. Laiknya, orang usaha, Kang Pithut pun jatuh bangun.
Sama seperti Biru Langit dan saudara-saudaranya, Kang Pithut Lele dilahirkan di sebuah desa di lereng bukit Kelud. Ayahnya yang juga ayah Biru Langit, dulunya seorang pedagang gula kelapa. Sepanjang lereng gunung hingga ke kota, sudah biasa memakai rombong sepeda. Waktu itu sebelum akhirnya pindah ke selatan kota Kediri, saat Biru Langit belum satu tahun, ayah Biru Langit cukup kaya dibanding tetangga waktu itu. Sepeda adalah barang mahal ketika itu. Apalagi, tak cuma punya satu saja. Setelah lebih duapuluh tahun merantau, akhirnya ayah Biru Langit bekerja serabutan seperti sekarang sampai sebelum meninggal. Itu pilihannya setelah jatuh pailit dan boyongan, pindah tempat. Termasuk lima orang kakak. Jadi enam. Sedang Biru Langit nomor paling wahid.
Pithut bukan nama sebenarnya. Lebih tepatnya adalah nama panggilannya. Sebelum itu kakak tertua Biru Langit punya nama Supadi. Artinya, padi yang bagus. Itu pun bukan pula nama kecil dia. Ibu Surat penah bercerita semasa kecil Kang Pithut sering menangis, sering sakit. Waktu dibawa ke seorang paranormal hanya disuruh berganti nama saja. Dan ajaib sekali dengan tombo teko loro lunga,3) dan setelah diganti nama Supadi, tidak pesakitan lagi. Bahkan setelah tumbuh dewasa, lebih sregep, ulet dan ubet dari anggota keluarga yang lain. Persis tokoh pewayangan Bima. Manusia luar biasa, berkemauan baja, tegas tindakan dan kuat pendirian. Nama lahirnya dulu Sulimen. Kemudian sering kepleset Sulithut. Untuk lebih gampangnya orang memakai That.. Thit.. Thut. Sampai sekarang.
Suatu ketika pernah saat bersama royalan buka giling, bersama pula dengan puncak keberhasilan Kang Pithut membudidayakan ikan lele. Untuk menunjukkan kesuksesannya, lantas ayahnya syukuran dan mengundang dalang nanggap wayang purwa.4) Tentu saja dengan dana secukupnya. Kendati waktunya bertubrukan dengan royalan, namun wayang tidak akan berkurang kemeriahannya. Bukankah acara semacam begitu ada penontonnya sendiri, ada penggemarnya sendiri?
Di depan rumah, orang-orang menonton genjrang-genjrengnya 5) pagelaran. Di belakang, para tonggo teparo 6) tak habis-habisnya menyalami, memberi selamat pada kakak tertua Biru Langit itu. Lebih dari itu ada yang sampai berpelukan. Tidak pria tidak wanita. Ya Allah Gusti, pasti mereka mengetahui rencana Kang Pithut yang hendak membeli truk diesel itu. Mau membeli truk untuk usaha barunya, yakni usaha bongkar muat tebu ke penggilingan dan meninggalkan usaha yang lama. Menurut perhitungan yang sudah njlimet 7) , untungnya amat besar. Dihitung kembali, cukup besar pula biarpun truknya itu dibeli dengan kreditan. Dengan sejumlah uang muka hasil utangan dan angsuran harian.
Pokoknya kredit dan angsuran wajib yang sehari lima ribu rupiah itu dapat diatasi. Sudah dihitung pula bunganya. Dan bila dihitung dalam jangka waktu dua tahun saja truk itu sudah milik Kang Pithut sepenuhnya. Bisa dibayangkan jika giling nanti mampu memuat tujuh sampai sepuluh angkutan tebu sehari semalam, dan tiap angkutan ada jasa tiga ribu, sudah jelas ada duapuluh hingga tiga puluh ribu ada di tangan. Perhitungan yang cermat dari seorang Kang Pithut yang ulet.
“Waduh Ngger 8) , selamat yo putuku 9) .”
“Selamat, Nak Pithut.”
“Selamat, Le. Kamu itu lho sebenarnya cocok jadi pengusaha. Budhe musti ngomong ke Emakmu. Kamu ulet bakat jadi orang kaya.”
“Maturnuwun 10) , Budhe. Maturnuwun.”
Saking ramai dan gembiranya, sampai-sampai suara gamelan dan para pengrawit 11) di halaman rumah itu kalah. Terdengar sama-sama. Benar memang, kalau pun kedengaran, Biru Langit sudah tak bisa menikmati dan menangkap omongan dalang. Ribut dengan orang-orang tua yang menganggap Kang Pithut itu cucunya, keponakannya, anaknya. Kang Pithut pun akhirnya hanya tersenyum menunjukkan keramahannya. Kadang-kadang saja kalau ada yang berucap lebih panjang dan bernada menarik hati, dia hanya maturnuwun-maturnuwun saja.
Paklek Prawira ada juga. Tapi terlihat waktu itu duduk tenang sambil bas-bus menikmati rokok klobot 12) seperti cerobongnya sepoor pabrik. Ia enggan berdiri bersalaman karena berjubelnya orang. Baru mengisi kekosongan setelah cukup tenang. Ia ditarik oleh Bulek Yunani. Lantas tergopoh-gopoh oleh sarung yang nyrimpet 13) sana-sini.
“Thut.. Thut.. Ini Paklekmu mau kasih selamat.”
“Oh, inggih Bulek.”
“Kamu itu lho, Ngger, mau beli trek itu apa sudah ada yang nyopir. Sekarang ini banyak orang. Sopirnya musti hati-hati. Awas kalau nabrak kucing. Apalagi nabrak orang.”
“Ya, sambil menyewa sopir sambil belajar, Paklek. Nanti kalau sudah bisa, saya sendiri yang pegang.”
“Dasar kamu bocah ulet, ubet, bisa saja menjawab.” Paklek berucap demikian sembari menonjok ringan lengan Kang Pithut. Lalu secara tak sadar pun Kang Pithut memegangi lengannya, bersentuhan dengan kepalan tangan Paklek.
Memang Kang Pithut seorang yang ulet bekerja. Menapaki usaha budidayanya sedikit demi sedikit. Merangkak dari bawah lebih atas dan lebih atas lagi. Ini prinsip dia. Juga dari pengusaha lele sampai mampu membeli truk kemudian babat 14) baru lagi jadi pengangkut tebu, adalah salah satu tapak kakinya. Biru Langit sebagai adiknya turut bangga. Dia teringat bagaimana dulu Kang Pithut memulai membudidaya. Mula-mula sekitar enam tahun lalu Kang Pithut mulai dengan beternak ikan seperti ikan kaliko, ikan emas, mujair, gurami yang harganya tak seberapa. Sampai memperluas koen-koen 15) , kolam ikan berpuluh-puluh jumlahnya. Sampai pula pasaran ikan-ikan itu anjlog dan diganti dengan peternakan lele. Dari lele lokal hingga lele dumbo dicobanya. Dari hanya melakukan pembibitan sampai membesarkan bibit dicobanya pula. Dari hanya mengayun pompa air sampai pada membeli diesel air adalah tahap-tahap keberhasilannya. Padahal yang namanya usaha semacam itu kan untung-untungan. Bila berhasil lancar, sebulan sekali bisa ngunduh 16) tujuh atau delapan kuintal. Kalau harga perkilo dumbo seribu enamratus dan perkilo lokal duaribu limaratus rupiah, tinggal menghitung saja hasilnya. Sepertiga dari hasil penjualan disisihkan untuk pelet, makanannya. Ini hitungan di atas kertas, soal nasib ada yang lain, itu hitungan lain lagi. Itu jika nasib Kang Pithut lagi wajar saja. Kalau lagi jeblog 17) tak kalah hebat kerugiannya. Berkeranjang ikan harus terdampar. Ada saja datang setiap tahun. Penyakitlah, jamurlah, mbediding 18) lah yang membuat ikan-ikan pada klenger.19) Kalau sudah demikian, mau apa lagi? Ya, yang klenger untuk para tetangga. Sedang yang mampus dibuang. Maka tidak mengherankan jika Kang Pithut mampu membeli sebuah truk bila dihitung keuntungannya tiap panen yang begitu besar. Meski tak berarti menganggap remeh kegigihan Kang Pithut.
Suatu ketika, saat goro-goro sang dalang sedang menuju akhir. Sebelum subuh pasti pertunjukan ini usai. Kemudian rumah kembali sepi. Dan pagi ini dilanjutkan dengan rencana menjemput truk yang mau datang. Tapi dilakukannya setelah menonton upacara penggilingan boneka di pabrik. Upacara yang dimaksudkan untuk menghindari korban kecelakaan kerja selama giling tebu berlangsung. Sekaligus menandai akhir dari segala royalan. Bagi Kang Pithut Lele, upacara itu sekaligus menunjukkan dirinya yang memiliki truk baru. Memulai bidang usaha baru. Masih ditambah metri 20) oleh ibu Surat. Masih ditambah lagi jenang sengkolo bubur putih bubur merah. Tujuannya agar diberi berkah dan selamat oleh Gusti Pangeran pada yang akan menjalankan truk. Waktu itu batang tbu di tegal-tegal sudah lebih dulu mulai ditebangnya. Semua jenis tebu yang telah tua, tidak peduli tebu ijo, tebu abang, tebu manggis atau campuran lebih dulu disikat habis yang randemennya 21) dihitung sesampai di pintupabrik. Baru kemudian tebu rakyat bertruk-truk diangkut ke emplasemen. Dibongkar, ditimbang dipindah ke lori-lori 22) untuk lantas dihancurkan. Sampai jadilah gula. Kang Pithut yang masih tetap dipanggil Pithut Lele mengawali usahanya dengan melepas truk dan sopinya. Roda truk disiramnya segar-segar dengan air kembang. Biru Langit melihat sendiri, oleh orang-orang, truk yang masih gagah itu diperiksa satu persatu onderdilnya, gerobaknya. Biru Langit tahu ini hanya basa-basi saja. Sebab diantara kami tak satu pun tahu banyak soal mesin. Lha wong mempunyai mesin cuma diesel air. Itu saja kalau rewel orang lain yang disuruh memperbaiki, kok uthak-athik mesinnya truk. Senang melihatnya. Ayah dan ibunya memberi salam selamat pada Kang Pithut dan sopir barunya.
“Hati-hati, pir. Ingat kamu, trek juraganmu itu baru lho.”
“Inggih, Pak, Buk,” jawab sopir itu.
Truk pun melaju siap ditimbuni tebu.
Kang Pithut tetap tinggal di rumah bersama adik-adik yang pada berkumpul. Tak ada pembicaraan lagi. Semua diam membiarkan pikiran masing-masing. Pikiran Biru Langit pun mengembara. Demikian pula Bapak, Emak dan Kang Pithut membiarkan pikiran masing-masing pergi jauh. Suasana sementara tenang. Tiada sadar bibir-bibir kami menyungging senyum. Diiringi desah nafas dalam-dalam.
“Biasanya, kendaraan angkut kan ada Pe-Te-nya, Le. Lha kamu tentukan Pe-Te-mu itu apa? Ini terserah kamu, Ngger.”
Kang Pithut yang mendapat pertanyaan Ayah tampak cengengas-cengenges seperti anak kecil saja.
“Sudah saya persiapkan sejak awal bahwa Pe-Te saya ini PT Seger Waras, Ayah, Ibu. Biar kita semua jadi seger dan waras.”
“Oh, ha..ha.. Bapak kira Pe-Te-nya nama pacarmu itu, Kholimah.”
Semua tertawa sembari mengangguk-anggukkan kepala. Lalu kembali diam. Hening.
Dua hari kemudian, masih membekas sekali kegembiraan keluarga itu. Keluarga banyak berdatangan, juga tetangga banyak pula yang menggandeng anak-anaknya. Setelah bersalaman merasa cukup, buru-buru anak-anak mereka disuruh bermain di luar. Barangkali takut minta mainan yang macam-macam. Seluruh keluarga nampaknya mulai cemas ktika dari sopir sedikitpun tak ada kabar. Mungkinkah truk itu rusak? Pikiran bergelanjut di benak masing-masing. Heran.
“Bapak pernah ngomong sama kamu, Thut. Membeli trek memang resiko besar, lain dengan memiliki diesel air. Belum lagi ngurus surat-suratnya.”
Kelihatannya kecemasan Kang Pithut tidak sebesar anggota keluarga yang lain. Hanya saja, ia sekian lamanya tercenung.
“Biarlah, Pak. Itu sudah biasa dalam usaha. Kita tunggu saja kabar dari sopir. Ada yang lebih penting dari itu. Kalau nanti usaha ini belum berhasil dan saya sudah kawin dengan Kholimah, saya akan beli trek lebih banyak.”
Kang Pithut mengharapkan benar adik-adik mengikuti jejaknya. Paling tidak ia ingin sosok Bima pada keluarga tak cuma satu. Terkesan dari pandangan matanya ketika berucap demikian.
Tak lama kemudian datang pula sopir.
“Bapak, Ibu, Mas Pithut, nuwunsewu, maaf. Saya terlambat datang.”
“Kenapa, pir? Sudah berapa kali angkut?”
“Wah, antri di pabrik puanjaaaanggg sekali, Mas Pithut. Saya hanya bisa dua kali angkut sehari semalam. Bukan tujuh atau sepuluh. Lagian jasanya cuma duaribu limaratus rupiah tiap angkut. Kata mereka trek kita ini kecil dan isinya tak pernah penuh.”
Saat itu terus saja sopir nerocos. Kang Pithut kembali tercenung lebih dalam. Mana cukup uang sebesar itu untuk angsuran kredit. Belum lagi gaji sopir. Siapapun bakal tahu apa yang ada di benaknya. Biru Langit juga tahu jika tidak mampu membayar angsuran, truk itu akan ditarik kembali tanpa pengembalian uang muka. “Tempat bongkar-timbang pabrik hanya satu, Mas Pithut. Sedang trek-nya berpuluh-puluh. Ya, terpaksa antri panjang.” Suara sopir itu kedengaran parau dan tertahan-tahan. “Saya minta berhenti jadi sopir. Saya mau kawin saja.”
“Yang sabar ya. Le. Ini cobaan bagimu. Yang tawakal,” kata ibu Surat ketika melihat wajah Kang Pithut tampak murung.
“Saya mohon maaf, Pak, Buk, dan semua saja. Saya harus mengawini Kholimah segera,” ujar sopir lagi.
Jegler!!! Nampak raut muka Kang Pithut pucat pasi. Hatinya seperti diiris-iris. Tak bisa dibayangkan betapa hancur jiwanya. Padahal banyak yang tahu apa yang sudah dilakukan selama ini dimaksudkan bukanlah untuk dirinya sendiri. Mendadak Kang Pithut menginginkan suatu hal yang sudah dua puluh tahun lebih ia tinggalkan. Ia ingin menangis. Menangis juga jalan yang dianggap menyelesaikan masalah. Setidaknya untuk beberapa saat saja.
Setelah sekian lama waktu berjalan, Kang Pithut menikah. Bukan dengan perempuan Kholimah. Pada waktu itu sungguh keluarga besar, dan masih sebelum sepeninggalan ayah Biru Langit. Keluarga besar itu betul-betul terasa waktu pesta pernikahan Kang Pithut, putra tertua mereka. Mereka berkumpul dan bukan main riuhnya handaitaulan, anak-anak dari keluarga ibu Surat maupun suaminya. Masih teringat jelas peristiwa itu karena Biru Lagit sempat dibuat repot dengan meminjamkan dasi buat Kang Pithut, sejam sebelum akad nikah. Sampai sekarang dasi itu belum kembali dan pasti sudah lenyap karena peristiwanya berbulan-bulan yang silam. Kecuali itu, masih pula teringat baginya, rasanya semenjak itu semua sudah merasa dewasa di hadapan ayah-ibu. Tentu saja juga pada Biru Langit, suatu kebahagiaan tersendiri .
Tujuh
RUMAH besar keluarga Prawira dan Yunani yang tanpa anak betul-betul sunyi. Rumah besar itu begitu berpondasi tinggi, sudah barang tentu jikapun banjir datang, tak bakalan satu milipun air bisa menyentuh lantai rumah. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga. Halamannya yang begitu luas terbuka menghadap sawah-sawah luas pasti tiupan angin bebas terbang dengan cuma menghantam cemara dan palm di kanan kiri pintu rumah.
Pada malam itu terjadi beberapa jam sebelum pernikahan Kang Pithut. Sebelum kedua penghuni rumah besar itu tidur berselimut kain wol tebal yang lebarnya nyaris seluas langit-langit kamarnya. Kamar agak temaram, tetapi ruang tamu tetap terang agar terkesan banyak dihuni orang. Dengan hanya mengenakan kaos oblong Prawira mencoba untuk berbagi kebahagiaan dengan istrinya, Yunani atas hari bahagia keponakannya. Istrinya masih berpakaian rapi dan memang belum berniat untuk tidur. Cara seperti itu sudah biasa dipakai Prawira untuk agar suasana tak selalu beku. Tetangga sering pakai ilmu otak-atik gathuk menyebut kebiasaan Prawira ini upaya untuk menghibur diri. Namun karena jadi kebiasaan maka kadang-kadang juga jadi suatu lelucon. Uniknya, ketika hal itu pernah ditanyakan orang kepadanya, Prawira mengatakan, “Menghibur diri adalah satu-satunya pilihan agar di rumahnya yang sepi itu ada teriakan dan tawa, pekikan dan sorak-sorai atau celotehan.” Sesuatu yang masuk akal, karena di lain kesempatan kepada yang menanyakan masalah itu berikutnya, pilihan lain adalah cerita-cerita menyeramkan, menakutkan tentang kematian, hantu, pembunuhan, perampokan. “Satu-satunya cerita yang tak perlu saling kami ceritakan adalah pengalaman harta rumah kami dirampok orang. Kami sama-sama diikat dan nyaris dibunuh dengan kelewang. Kami tak pernah saling cerita karena saking ketakutannya,” katanya suatu ketika.
“Sebentar. Bagaimana cerita truk itu selanjutnya, sih?” Yunani bicara ringan.
“Itu yang mau aku katakan. Dengan pernikahan ini, cerita perihal nasib truk itu berarti sudah bukan suatu yang menarik selain memang karena suatu nasib buruk, “ jawab Prawira.
“Biarpun bernasib buruk, bukan berarti tidak menarik, bukan?” istrinya masih mendesak.
“Bagi aku tidak, entah buat orang lain.”
“Apa bedanya?”
“Bicara nasib buruk, menurut aku hanya ada dua kemungkinan untuk bisa diceritakan, yakni menumbuhkan rasa kasihan atau menyegarkan sebuah lelucon. Rasa kasihan itu pasti bukan hal yang menarik dan itu sudah dijawab sendiri oleh Kang Pithut dengan pernikahannya. Setidaknya, dia tak perlu terlampau hebat untuk dikasihani. Masih begitu banyak orang yang perlu dikasihani. Bukankah kasihan itu lebih soal nasib jiwa seseorang atau makluk di bumi ini? Sekalipun orang kaya, bukan musti tak perlu dikasihani. Sebaliknya, orang miskin tidak sedikit ternyata yang lebih mengagumkan,” silat lidah Prawira berputar-putar.
“Bicaramu, bukan seperti suamiku seminggu yang lalu.”
“Ini yang perlu aku ceritakan pada orang banyak.”
“Ada apa dengan kamu ini?”
“Ya, sejak banyak orang mati tidak wajar, sejak banyak kebusukan yang ditutup-tutupi banyak yang terjadi padaku. Apa-apa ada dalam dadaku ini.”
“Juga setelah kamu kena skrening dicap orang komunis? Ini lelucon atau apa?”
“Terserah. Yang jelas aku tidak butuh rasa kasihan.”
“Baik. Anggap saja ini lelucon. Kamu belum ceritakan soal lelucon tadi.”
“Lelucon itu karna ada orang yang harus ditertawakan bukan dikasihani,” ujar Prawira. “Orang menganggap lucu sesuatu, lalu tertawa karena sesuatu itu diarendahkan martabatnya. Dan orang yang direndahkan itu hanya sesekali waktu saja terjadi, dia bisa membangkitkan dirinya di lain waktu. Ini suatu lelucon yang membuat kita tertawa, “ lanjutnya
“Masalahnya banyak orang tertawa juga ketika melihat suatu yang harusnya dikasihani.”
“Ini kesalahan besar, memprihatinkan dan justru orang-orang seperti itu yang harus dikasihani.”
“Aku kurang mengerti.”
“Begini. Pelawak yang berhasil adalah yang bisa merendahkan dirinya dengan lelucon. Itu namanya pelawak yang cerdas. Banyak pelawak yang tak mampu merendahkan dirinya, biarpun dengan penampilan fisik yang rendah martabatnya. Kasihan sekali orang seperti ini, sudah tak bisa melucu, buruk rupa, berantakan, dan persis bukan manusia.” papar laki-laki bersemangat itu.
“Anehnya, yang seperti itu masih juga ditertawakan orang.”
“Itulah maksudku. Tertawa orang yang begini ini yang aku kasihani.”
“Jadi menurut kamu tertawa itu ada ukurannya?”
“Jelas. Tertawa yang menyehatkan, tertawa yang menyegarkan dan tertawa yang mencerahkan.”
“Coba berikan aku contoh.”
“Tekek kamu!”
Perempuan istri Prawira itu lalu tertawa keras.
“Kalau tawamu ini, kamu menghina aku.”
“Ada lagi?”
“Maksudku biar orang tertawa itu sekarang hati-hati. Kalau sembarangan tertawa ia bisa dicap karena menghina, karena kasihan pada orang, karna emosi, karena memang lucu, atau karena memang sudah setengah gila.”
Lagi Yunani tertawa. Lebih keras. Suaminya cuma berhenti bicara sejenak.
“Ketawamu tidak lucu. Tapi kamu berbakat untuk banyak tertawa. Lalu kamu ajak setiap orang yang kamu jumpai itu tertawa. Bisa kamu bayangkan bila orang seluruh negeri ini tertawa karena terpikat oleh tawamu. Tanpa perlu tahu alasannya,” tegasnya.
“Sial. Aku bisa dianggap gila sungguh.”
“Tapi kalau berhasil, kamu pasti diperhitungkan jadi orang terwaras sedunia.”
“Omonganmu benar tapi kurang ajar.”
Giliran Prawira yang tertawa, kali ini betul-betul meledak sampai nafasnya tersengal-sengal.
“Lucu. Omonganmu itu baru lucu.”
“Hh! Orang gila juga bisa omong seperti ini.”
“Huah! Ini lebih lucu lagi. Jadi kamu menyebut dirimu setengah gila. Memang kenyataannya orang yang aneh-aneh itu sering dianggap gila dan orang gila malah dianggap lucu.”
“Ya, yang percaya omongan itu sebetulnya yang gila.”
Keduanya lantas betul-betul tertawa. Tidak ada yang melarang, tidak ada yang mengganggu dan berhenti dengan sendirinya ketika perutnya sudah terasa makin kaku. Justru tubuh keduanya pasang suami istri hampir berkepala lima itu lemah terkulai. Beralaskan selimut wol tebal selebar langit-langit kamar.
Keluarga Prawira dan Yunani memang tinggal dua orang. Kendati tak pernah punya anak, sebetulnya keluarga itu pernah punya anak angkat yang diadobsi dari salah seorang saudara Prawira. Yunani adalah saudara dari garis ayah Biru Langit. Perempuan ini tak memiliki keistimwaan apapun, kecuali agak pelit dan kebiasaannya gampang menangis. Lain halnya dengan Prawira. Dia laki-laki yang hebat dalam banyak hal. Hebat pengalaman dan petualangan hidupnya. Jiwanya sudah betul-betul matang dengan berbagai tempaan hidup. Sampai seperti sekarang. Hidupnya begitu banyak rasa asam garam dalam tubuhnya.
Prawira sungguh perkerja yang sibuk dan istrinya wanita yang seperti diceritakan itu. Sehingga wajar kemudian satu-satunya anak angkat keluarga itu lantas memilih keluar dari rumah setelah lebih duapuluh tahun di dalamnya. Waktu duapuluh tahun bukanlah waktu yang pendek. Wajar jika karena kesibukan masing-masing, semua baru dipertemukan kembali pada hari lebaran. Selain itu tidak lagi. Jadi lebaran itu hari yang amat istimewa. Tidak mungkin ditinggalkan. Bagi keluarga itu selain lebaran, hari teristimwa adalah upacara pernikahan. Awal mula perpisahan keluarga itu dengan anak angkatnya persis setelah hari pernikahan. Waktu menikahkan anak angkatnya, sering terucap impiannya seandainya punya anak banyak tentu betapa sering menggelar upacara pernikahan. Waktu itu suasana memang menyentuh melihat acara pernikahan anak satu-satunya, anak angkat lagi. Begitu menyentuhnya seperti menghadapi orang yang sudah sekian tahun lamanya baru sembuh dari sakit. Lagipula, airmata tangis dari Yunani malah mrmbuat sesuatu yang menyentuh jadi hal yang memilukan.
“Agak beda ya, pernikahan Pithut dengan anak kita, Pak?” Yunani mulai membuka kenangan lamanya.
“Sama. Pithut menikah itu resepsi pertama keluarga Yu Surat dan suaminya. Pernikahan anak kita juga resepsi kita yang pertama.”
“Beda!” Yunani brsikukuh.
“Maksudmu, beda karena Pithut anak orang miskin dan kita kaya?”
“Tidak hanya itu. Pithut menikah sudah berumur dan memperoleh gadis yang amat muda. Tapi anak kita, menikah usia muda tapi dapat janda kaya.”
“Itu usul kamu bukan?”
“Bukan karena itu saja. Sepanjang usia tua Pithut semua tahu dialah yang paling banyak menyusahkan orangtua. Terutama Yu Surat.”
“Tapi Pithut itu anak kandungnya. Anakmu itu bukan.”
Prawira seperti asal bicara. Hebatnya, istrinya tidak tersinggung.
“Jujur saya diam-diam saya kagum ada keponakanku itu., dialah yang punya keberanian tinggi untuk memilih hidup yang kukira sebetulnya punya resiko besar. Menikah dan tentu saja untuk punya anak kelak. Saya percaya omongan Yu Surat dulu keberanian Pithut sudah nampak pada masa dia masih anak-anak. Tumbuh dewasa dia pasti jadi pekerja keras. Sayang ibunya. Soal ini tentu hanya Yu Surat yang tahu bagaimanapun perlakuannya. Ayahnya sendiri tidak pernah menghadapi persoalan seperti yang dihadapi Yu Surat. Itu perbedaannya Yu Surat dengan suaminya. Orang itu orang yang terlampau dihormati. Tidak pernah Pithut membantah atau main bentak. Lain jika kepada ibunya. Ya kan, Pak? Pak?”
Laki-laki suaminya itu sudah nyaris mendengkur.
Delapan
SEMENJAK pernikahan Kang Pithut, seolah semuanya menemukan jalan terang. Segala kenangan pahit serasa terhapus dalam sehari.
Biru Langit masih ingat, bagaimana perabotan ibunya hancur oleh kapak Kang Pithut. Bagaimana padi di sawah ludes dijual tengkulak tanpa sepengetahuan ibunya. Suatu ketika ibunya kepergok pernah nyaris menenggak racun serangga karena ulah Kang Pithut itu. Itu semua cerita lama yang lenyap oleh peluk dan cium orangtua pada Kang Pithut. Tiada yang tahu sungguh bagaimana perasaan orangtua itu dan Kang Pithut, karena memang tiada yang betul-betul tahu apa yang terjadi.
Masih jelas teringat di benak Biru Langit, beberapa bulan sebelum ayahnya mati, dan beberapa minggu setelah menikah dan semenjak kepergiannya ke Malaysia dia tidak pernah kembali. Hanya beberapa lembar surat dan wesel-wesel yang dia kirim buat mertuanya, tidak buat ibu. Alasannya, Kang Pithut memang tak sanggup untuk membuat surat kecuali ucapan-ucapan salam, kecuali oleh karena ibunya yang tak tahu baca tulis. Surat tahu betul itu mengapa bisa sampai terjadi seperti ini. Namun saat itu yang dipikirkan perempuan itu, satu kali saja kiriman uang tak pernah jatuh ke tangannya. Itu yang membuat Surat curiga. Lagipula sudah sekian bulan lamanya. Bila perempuan itu memuntahkan marah, siapa saja bakal kena, tidak kecil tidak pula dewasa. Biru Langit bisa bayangkan andaikata tak seorangpun—selain ayah yang di sebelahnya. Ayah akan menanggapinya dengan lelucon-lelucon, satu hal yang paling dibenci ibunya dan satu yang tak hilang dari kehidupan ayahnya. Rumah dengan sepasang orangtua itu jadi riuh membicarakan anak di rantau.
Waktu berlalu dan itu sudah berjalan sepanjang bulan sampai ayahnya mati di suatu hari. Belum juga lebaran. Pasti tahun ini lebaran tidak bakal ada yang istimewa—satu bagian hidup orang kampung yang tiada gantinya. Tak ada surat, wesel apalagi bila tak ada kartu ucapan. Jikapun orang seberang itu mengirim ucapan, barangtentu menambah kesedihan lantaran sang ayah tak sempat membaca sendiri selembar kertas itu. Betapa kecewa si anak bila kelak tiba di negeri sendiri begitu tahu sekian kartu ucapannya tak terbaca oleh ayahnya yang sudah jadi mayat karena ibunya yang buta aksara. Tiada yang tahu bagaimana perasaan sesungguhnya orangtua itu terhadap anak-anaknya. Barangkali hanya kenangan masa kecil anak-anaknya yang menghiasi hidupnya—terakhir dia cium pipi Kang Pithut sebelum pergi ke Malaysia untuk cari duit lebih lebar ketimbang berharap dari hasil lele di kampung. Didoakannya anaknya sampai Kang Pithut bisa membangun rumah, membeli sapi, dan membiarkan orangtua menggarap hasil sepetak sawah warisan, dan buruh tani di tegal orang.
Surat pernah menangis dan sepeningglan suamiya rasa-rasanya ia telah menangis paling panjang selama hidupnya Biru Langit berkali-kali memergoki ibunya itu menyembunyikan airmatanya. Bukan karena telah ditinggal mati suaminya saja, trtapi airmata Surat lebih banyak untuk meratapi anak hilangnya di negeri rantauan.. Menyaksikan itu semua Biru Langit makin iba pada ibunya, seperti juga setiap orang kampung kasihan pada Surat. Semenjak itu Biru Langit seperti dihidupkan lagi untuk mencintai ibunya dan mengutuk saudaranya itu. Orang bilang jarak antar kota tak mengubah rasa cinta, bagi Biru Langit tidak benar. Cinta ibunya tanpa kabar. Jika ibunya hendak menyiapkan kebutuhan dia sendiri pergi ke pasar. Tak perlu menunggu uluran tangan dan kiriman saudara, apalagi orang lain. Sampai betul-betul biasa di mata ibunya. Setidaknya ia tak pernah mengeluh di hadapan Biru Langit meskipun Biru Langit kerap kali menangkap kepedihan ibunya. Di saat bgitu, Biru Langit menghibur ibuya dengan kata-kata apa saja. Semisal rasa kasih sayang biarpun sedikit tetap ada pada Kang Pithut pada ibunya, biarpun dahulu bila Surat marah sering mengatai anaknya durhaka. Atau Biru Langit brjanji akan menunjukkan kasih itu sepenuh hatinya pada Surat. Biasanya, kemudian Surat mengatakan Biru Langit punya perhatian yang tak pernah dimiliki saudara-saudara lainnya. Mereka saling sibuk dengan urusannya sendiri dengan keluarga dan anak-anaknya sendiri. Sampai tak pernah menyempatkan diri untuk menjenguk ayah dan ibunya. Baru tahu rasa begitu ditinggal mati ayahnya. Semua berdatangan. Dengan berbagai alasan ibunya tak pernah kirim kabar, kesulitan angkutan atau memang tak sanggup menyisakan uang untuk pulang. Jauh lebih bisa diterima alasan Kang Pithut yang di Malaysia kerena jauh dan memang sedang cari uang. Suatu ketika karna suaminya yang juga kakak kandung Yunani itu sudah dikubur, Surat bermaksud membereskan semua tanggungan dengan sisa simpanan uang yang ada. Termasuk Surat brniat mengembalian dasi yang dipinjamkan oleh keluarga Prawira dan Yunani.
“Ini bukan Bagi Surat ini bukan sekadar masalah utang. Ada alasan saya memang harus cepat mengembalikan harta yang bukan hak keluarga saya, Mbak Yu,” Surat nampak hati-hati bercakap.
Sesungguhnya, baik Prawira maupun Yunani paham maksud Surat. Tak lain untuk membersihkan jiwanya sedikit-demi sedikit dari segala hal buruk perihal suami dan anaknya yang hilang. Satu lagi alasan, semampang Surat masih bisa mengerjakan. Namun sebagai orang biasa dan orang Jawa Yunani malah tersinggung. Dia menolak dan dirinya tak bermaksud agar Surat berbuat seperti itu. “Saya sudah melupakan urusan dasi,” jawab Yunani singkat. Surat giliran diam dan nampaknya ganti ia yang tersinggung. Tapi tak bisa berkata-kata. Dia merasa sangat terganggu dengan pertemuan itu, nampak dari gelagat tubuhnya yang rikuh. Setelah berbasa-basi minta maaf, justru Surat ketika pulang masih dibekali buah kurma oleh Prawira, buah kesukaan siapa saja. Lalu sejumlah nasihat juga diberikan padanya.
Surat makin tak bisa berkata-kata dan lebih menyerupai pesakitan saja, kebiasaan setiap keluarga yang jatuh miskin.
Sembilan
“LEMBARAN daun kopi bisa diramu jadi minuman segar oleh ayahmu,” kenang Surat tentang suaminya. “Caranya dicelup di air masak, diseduh persis teh, harum sekali jadinya.”
Surat berbicara pada Biru Langit dalam suasana yang sebenarnya kurang enak. Masih dalam kesedihan ibunya dan seharusnya Biru Langit banyak waktu untuk menghibur perempuan itu. Sebaliknya, malah Biru Langit diajak ibunya menyusuri ladang-ladang masa lalu ayahnya. Begitu perhatiannya, Biru Langit pada ibunya sebesar pula pada ayahnya. Sampai suatu ketika teman sekolah wanitanya yang mendatanginya dan mengajaknya bicara soal pelajaran ia acuhkan.
Biru Langit sungguh mengabaikan sekolah. Terbukti beberapa hari sepninggalan ayahnya, ia tak masuk kelas, tanpa surat tanpa keterangan. Ini kebiasaan buruknya, semenjak ia punya kebernian melakukan itu—seingatnya kali pertama punya kebiasaan buruk itu tatkala menonton pertandingan tinju antara Mohammad Ali lawan Larry Holmes di TV ketika masih kelas dua—lebih tiga tahun lalu dari waktu itu.
Perempuan kawan sekolahnya itu bernama Kuning, dia adik salah seorang bekas maling ayam yang sudah insyaf lalu menikah dan hidup lumayan senang dengan anak-anaknya. Inilah wanita pertama yang mengenalkan Biru Langit suka akan perempuan. Lantaran waktu itu, ia bermaksud pinjam buku pelajaran dan sempat mngatakan sesuatu kata pada Biru Langit. “Tangan kamu halus sekali.” Ini kata pertama tentang keindahan yang tumbuh dalam tubuhnya. Soal buku pelajaran, Biru Langit tak pedulikan. Masa lalu ayahnya tentang daun kopi dan minuman segar, seperti diceritakan ibunya jauh lebih memikat hati Biru Langit. Bagi Biru Langit memang terlampau istimewa karena kepintaran ibunya mengisahkan kebiasaannya yang mengeja kemauan ayahnya. Membayangkan kemauan ayahnya bila pohon kopi itu tak berdaun lagi selembarpun., apalagi bila batang rantingnya sekalipun telah kering berkerak dan berulat.
“Ibu cuma ingin ceritakan betapa pekerjaan ayahmu terlalu berat. Wajar saja kemudian pilih berkutat dengan daun kopi. Kamu harus mengerti. Anak harus tahu cinta ayah pada pekerjaannya,” ujar Surat.
“Bukan tak peduli kalau Biru Langit cuma sekadar tahu. Sudah cukup membuat ayah senang, Ibu.” Jawab Biru Langit.
Lebih dari itu dikatakannya, sering Biru Langit menawar apa mau ayahnya. Disiraminya dengan air pohon-pohon kopi itu hampir tiap sore bila tak didahului ayahnya. Biru Langit tahu dengan begitu harapan ayahnya segar kembali. Sesegar akar-akar pohon kopi.
Diceritakannya bila waktu luang dan ketika melihat potongan rambut ayahnya yang sudah acak-acakan, Surat menawarkan jasa potong rambut. Biasanya tanpa menunggu jawaban, ibu itu langsung menyambar tawaranya sendiri dengan memerintah Biru Langit. “Pinjamlah gunting, ambil pisau cukur.” Udara kering tanpa tawar-menawar kedua.
“Begitulah, sejak kali pertama ibu pangkas rambut ayah, perut ibu mual jika melihat rambut ayahmu tak rapi. Dua pekan sekali ibu bersihkan rambut ayah. Ibu lebih suka ayahmu punya bekas bibir gunting dan goresan pisau cukur,” berkata begitu Surat senyum tipis, seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
Biru Langit tidak tertawa. Sebaliknya, ia malah tegang.
“Ayahmu bersinar sepuluh tahun lebih muda, bila rambutnya ibu pangkas pendek-pendek nyaris setengah senti dari kulit kepalaku,” lanjut Surat tanpa bisa menyembunyikan kepiluan.
Sore itu panas. Di bawah pepohonan yang kering tak beraturan dan kotor, pelataran yang berserakan, Surat mengairi pohon kopi yang kulitnya sudah berkerak. Biru Langit yang tidak jauh dari pohon kopi itu, memphatikan tanah di sekelilingnya. Dia mencoba mencermati dan menemukan bekas-bekas rambut ayahnya yang telah mendua warna. Dan memang masih membekas, putih dan setengahnya lagi agak kecoklat-coklatan. Dibayangkannya dari petak garis-garis kulit kepala ayahnya, bagaimana ketika ibunya mengkalkulasi tahi lalat—kebiasaan ibunya yang mengukur mana yang terhebat. Lantas ibu itu mengisahkan bagaimana bila bibir guntingya meloncat, meliuk tak bisa tenang. Rambut suaminya berlubang-lubang karena tersaruk-saruk. Kubangan-kubangan tertimbun kubangan baru. Betapa kasih sang istri itu ditebar pada bibir gunting mengalir lewat gayuhan tangannya. Rasa sayang ayahnya berdiam dan menancap kokoh persis kemandirian pohon kopi. Cuma kepercayaan diri menjawab itu. Cuma saling mengamati irama keteguhan diri masing-masing.
“Biasanya, ibu akan peringatkan ayahmu tenang, karna mulut gunting bisa mencuil telinga. Ibu permainkan paras rambut ayah. Ayah permainkan akar rambut dongklak tebu,” tutur Surat.
“Memang ayah suka segala pekerjaan. Ayah selalu jungkir balik mencari kesibukan.,“ pikir Biru Langit.
Tak semua makluk suka kerja keras, tapi bagi ayah Biru Langit kerja seperti musik merdu. Dia suka di keluangan waktu menguji temuan-temuannya yang aneh-aneh. Meracik sayur dari rumput atau kulit buah. Merakit pompa air dari batang bambu. Memasang roda karet atau kayu. Dan juga.menyeduh daun kopi.
Lagi-lagi dibayangkannya hamparan padang ilalang dengan rumah kecil di pemandangan kulit kepala ayah lantaran cerita ibunya. Halaman rumah itu menyembul panjang. Latar belakangnya belum disapu. Ilalangnya tinggi rendah dan naik-turun. Rumputnya seperti bulu-bulu permadani yang bopeng. Wajah bulan juga bopeng, berlembah. Raut muka ayah seperti kayu terbakar. Kulit tubuh ayah seperti wajah: hangus legam. Di saat itu masih menurut cerita ibunya, ayah surat tiba-tiba bertanya pada dirinya sendiri, “Berapa ton batang tebu terbuang. Jadi arang. Terbakar habis di pintu tungku. “ Maksud suaminya ia melempar tanya pada batin sendiri. Aneh suaranya. Mengotak-atik khilaf sendiri. “Ruas ini mengantongi banyak sekali air. Lebih banyak dari ruas-ruas lain. Satu batang tebu musnah limabelas sampai duapuluh senti.” Laki-laki itu menurut kisah ibu Biru Langit menuding. “Sepuluh batang lebih satu gerombol. Hitung berapa gerombol satu gulutan tegal. Berapa gulut seperempat bahu.23) ” Dia mendelik. Dia perlu energi besar mengupas itu. Tak segampang menghancurkan gelas kaca. Tak semudah menguliti buah strawberry. Suaminya itu mencorat-coret diri di tanah. Dia mengoreksi kesalahan diri. Menemukan lubang jalan keluar sendiri.
Biru Langit seperti kura-kura dalam bubu. “Ayah, cinta macam apa lagi kau wariskan anakmu,” pikirnya.
Masih tringat bagaimana ayahnya sibuk mencoret kekhilafan dari garis-garis otaknya. Bagaimana memperlebar total bobot tebu di emplasemen timbangan pabrik gula. Tntu dia tahu hasil panen tak semelimpah palawija. Ini bukan jalan keluar terbaik. Di situ ada pintu besi terkalung rantai. Eksperimen ayah Biru Langit yang asing memberkahi kuntungan tersendiri. Ayah yakin kputusan cemerlangnya. Setidaknya mencegat keluhan ptugas pabrik tbu, tanah sepetak saja bikin susah. “Ya, Tebang sampai akar,” ayahnya montarkan kalimat kputusan yang sudah diduga Biru Langit. Mata laki-laki itu blingsatan. Pikirannya tak pernah istirahat. Goyang terus kepala dan tangan ayah. Gunting dan suri di tangan ibunya ikut ribut. Keras-keras didorongnya. Surat trus mnekan kulit kepala dengan suri dan bibir gunting. Potongan rambut suaminya itu mendadak seperti wajah bulan. Berlembah.
“Biarpun begitu wajah ayahmu tetap bersinar., segar dan terang benderang. Kesegaran itu, yang paling ibu suka. Ibu hargai kerja keras ayah. Kaki dibuat kepala. Kepala dibuat kaki. Angkat kepala di pagi hari, pulang petang hari. Kadang ditambah angkat tangan di malam hari, sehabis isya’. Kadang-kadang kekaguman ibu berubah jadi iba. Untuksiapa ayahmu banting tubuh? Ibu? Ayahmu sendiri? Tidak. Ayah tarik nafas keluar nafas untuk untuk keluarganya, kamu, ibu, kakakmu. Lain tidak. Sekarang tinggal kita yang tersisa, Nak. Bisakah ibu menggantikan ayahmu, seperti bagaimana dia hidup selama ini?”
Surat tak kuasa menahan airmata yang mengalir degan sendirinya. Tubuhnya takluk oleh kesedihan. Kekuasaan untuk itu begitu hebat mengalahkan jiwa seorang ibu yang betapapun nasibnya terpuruk, dia tetap ibu, orang paling hebat di permukaan bumi ini.
“Mengasolah, Ibu,” pikir Biru Langit. “Apakah engkau menunggu suatu kuasa yang pasti mampu menghentikanmu? Menghentikan hidupmu? Engkau makluk berhati. Manusia. Saya belajar kemanusiaan dari anda.24) Saya mencintai diri dari engkau. Maafkan kekurangajaran anakmu. Karna ayah tak pernah sanggup mencintai diri sendiri. Kepada anak-anak ia tebar jaring-jaring kasih.” Biru Langit dan juga ibunya, terus saja berbicara seperti ia dalam mimpi dan tak punya kuasa untuk menghentikannya. Betapa tipis jarak antara impian dan di dunia nyata.
Ketika ibunya menggores luka kecil di telinga suaminya, laki-laki itu malah bicara pada Biru Langit, bukan soal bagaimana lukanya. Ini terjadi beberapa hari sebelum ia mati.
“Engkau ada pekerjaan?”
“Tidak ayah.”
“Engkau jagalah ibumu. Jangan sakiti ibumu. Jangan kau goresi luka. Jangan ada setitik darah. Siapa lagi kecuali kau. Cuma tanah sepetak. Genggamlah… jangan kau habiskan nantinya. Junjunglah tinggi-tinggi mbahmu perempuan. Ia susah payah, babat alas, jumpalitan untuk anak cucu. Engkau angkat makna tanah leluhur dan kehormatan. Sampai titik…” Kalimat itu meluncur cepat dari kecerahan langit. Menyibak deras silhuet, halimun. Sinar mata meredup, sejenak hanyut dalam halusinasi. Laki-laki itu mengantarkan perasaan Biru Langit, perasaan akan kehilangan. Beban sarat terjatuh di pundak anakknya. Tulang punggungnya hendak terlepas. Ini pertanda yang tolol. Otak Biru Langit yang sarat, terseret, tegang dan kemudian pasrah. “Yang kawin, biarlah. Ia punya tali yang menjerat. Istri, anak, mertua. Begitu ia harus kawin dengan mertua, anak-anak, saudara.”25) Menyebut yang di pulau seberang lautan, nada ayah tegang tapi juga sedih. Kesedihan itu tergambar di wajah ayahnya seperti orang yang takut gila. Seperti orang yang takut setan-setan paranoid berkeliaran di mana-mana. Laki-laki itu butuh injeksi segar di sini. Tapi di pulau seberang, segumpal darah dagingnya tanpa kabar. Berbulan-bulan darah dagingnya itu tinggalkan keluarga tepat waktu saat keluarga betul-betul terjepit. “Berdoalah selalu dalam lindungan yang Kuasa,” mata ayah sembab berkaca. Biru Langit tak sanggup menahan.
“Jangan bikin malu darah merah di tubuh keluarga,” Surat menimpali, makin nyalinya Biru Langit runtuh seketika.
Ayah Biru Langit menjejali gagasan yang memberati anaknya. Harusnya buat orang lain tumpah ruah pada Biru Langit. “Jangan lupa,” ayah tidak kuasa memenggal emosi. Ayah tak peduli tanggapan siapa saja. “Yang mewariskan si mati bukan harta belaka.” 26)
“Ayah..”
“Tapi juga utang.”
“Ongeschik..”27) Surat ikut tersinggung.
Bila petir melecut cambuk, tntu malaikat bertamu. Dirasakan laki-laki ayah Biru Langit itu keterlaluan. Dasar makluk dari belantara kalabendu. Anda mau mati? (Biru Langit makin kurang ajar). Dia mengeja firasat itu. Anak itu nyaris bersorak, berteriak. Setiap gerak-gerik ayahnya dia baca. Keaneha-keanehan, permintaan. Membuat Biru Langit lebih cinta.
“Pailit. Ayahmu akhirnya bangkrupt. Petani rugi besar. Buruh bertambah. Bobot tebu mati ,“ perempuan itu masih asyik dengan kenangan-kenangannya.
Ide cemerlang ayah melesat. Sayangnya, itu muncul saat dirasainya waktu yang memanjang seperti rel kereta. Jadilah beban itu sempurna, jatuh semenjak saudara tertua Biru Langit hengkang ke Sabah, negeri tetangga. Segala materi yang mungkin terjual, dijualnya. Saudara saya pergi dengan uang itu. Tidak penting ia balik atau tidak.
Sepuluh
RUMAH sepi. Kenyataan yang ditawarkan ayahnya tak seperti yang terinjak Biru Langt. Lebih berat. Lebih hitam. Lebih rumit dan pahit. Tidak habisnya Biru Langit bakar semangat hidup dirinya sendiri dan juga ibunya. Dia lecut gairah kelenjar hidupnya. Biru Langit hidup serasa dengan lari dan terus berlari dari laut satu ke ujung laut yang lain.28) Itu satu-satunya prasaan yang tersisa yang dimiliki. Bukankah itu pula yang diturunkah ayahnya pada Biru Langit? “Oh, keagungan. Darah dan cinta sang ratu Wilhelmmina, mengalir. Oh, kemegahan. Atas nama Saijah dan Adinda, di sepanjang waktu saya, membuka daun jendela, mengatur timpuh duduk ibu di hari pagi, dan memberi air pohon kopi di secercah sore hari.” Ini pelajaran sekolah terbaik yang masih membekas di tubuh Biru Langit. Pelajaran paling tidak mengesankan baginya adalah ketika harus menghitung bulu-bulu burung garuda berkalung lambang negara sampai ia begitu percaya ada burung bergambar di dadanya bintang, pohon beringin, padi kapas dan sebagainya dengan bulu masing-masing berjumlah 17,8,45.
Pohon kopi itu sudah kian bersemi. Tentu ayah Biru Langit girang menikmati. Untuk kali pertama dalam rute sejarah, Biru Langit menulis pesan kepada yang terhormat saudaranya di seberang lautan. Dengan gaya bahasa yang terbaik dan termulus yang ia dapat dari bacaan terbagus di sekolahnya, Biru Langit menggarisbawahi warna merah dan tebal-tbal di bagian terpenting suratnya:
Kepada yang diseberang lautan,
Ayah telah pulang. Ayah pergi melucuti segala yang dimiliki dan yang membungkus tubuhnya. Pikirannya, keagungannya, cintanya dan sekian tugas serta keburukannya. Ayah seorang raja tapi juga manusia biasa. Ayah seorang tuan tapi juga jongos bagi dirinya. Semua saya terima tanpa syarat dengan lapang dada. Meskipun pada suatu saat di suatu waktu seperti ayah sekarang saya betul-betul mencintai diri sendiri.
Tidak cukup itu. Ayah juga mewariskan jaminan—yang harus saya bereskan—semua barang, rumah dan tanah sampai detik ini tak sanggup saya tuntaskan. Saya dan ibu hidup dari jaminan itu. Kelak di suatu waktu pada suatu saat seperti sekarang, saya sendiri akan jadi jaminan hidup. Segala menyebar saling menguasai. Saya dan semua yang membungkusnya dikuasai orang di luar saya. Seperti juga saya berhak pada segala yang dikenakan orang lain baik yang saya kenal maupun tidak.
Kepada yang diseberang lautan,
Cuma engkau makluk yang sanggup mencintai diri sendiri dengan sungguh-sungguh. Anak hilang yang tidak pernah menjenguk budi orangtua. Alamat dan batang hidungnya membusuk ditelan putaran matahari. Jasadnya pergi ke bulan. Saya angkat topi buat engkau.. Begitulah, segala yang diwariskan ayah saya. Juga aib. Sungguh saya mewarisi malu ini: Saudara anak hilang dan yang tenteram di negeri orang. Jaga diri baik-baik
Kediri, 10 Mei 1983
(BIRU LANGIT)
Surat itu ditulis dengan segenap perasaan mendalam. Begitu dalam hingga tak terpikirkan bilamana tak sampai di tangan atau terlebih lagi karena ada kabar yang terjatuh di lautan.
Sebelas
SUATU hari masih di bulan Oktober tahun 1983 warga kampung kembali dikejutkan oleh berita kematian. Kali ini menimpa seorang bandar 29) judi dan tukang adu jago, bernama Senen. Kematiannya juga misterius. Karena Senen bukan orang baik, akibat kematiannya warga akhirnya mengait-ngaitkan dengan kejadian supranatural. Bahkan beberapa orang yakin Senen mati bukan mati sembarangan.
Cerita itu berlangsung lama, sampai mayatnya sudah dikuburkan. Entah lelucon atau bukan, meskipun semua tahu ada kuburan baru tempat berbaring jisim 30) Senen. Sulit dipercaya, tak satupun tetangganya sempat melayat mendiang Senen. Kuburan baru itu muncul begitu saja dengan timbunan tanah yang terkesan dikerjakan tergesa-gesa. Nampaknya warga mulai tahu dan curiga begitu banyak cerita orang mati yang diculik, dicegat di tengah perjalanan dan tanpa ada kabar dimana rimba mayatnya.
“Begitu, ya kalau bandar itu mati?” kata seorang warga kampung.
“Benar Pak Genot, bukankah si Alim, botoh 31) jago yang dulu itu matinya juga mengerikan? Masih ingat? Satu jam sebelum mati mulutnya penuh busa. Terus klurak-kluruk 32) persis jago. Matinya seperti jago sedang njalu itu yang mengerikan,” sergah warga lainnya.
Nada-nada pergunjingan setiap penduduk menunjukkan kegembiraannya dan benar memang cerita orang mati satu ini jadi suatu lelucon. Sesekali saja mereka ketakutan dan akhirnya terbiasa warga dicekam ulah para penembak misterius yang melempar pindhang-pindhang 33) di pinggir jalan, di tebing kali atau di rumah keluarga korban. Yang lain sebarkan kabar pada anak-anaknya, ada pencari tumbal sedang mencari mata termasuk anak-anak sekolah. Katanya, mata itu lantas dibuat cendol. Kesemuanya membuat tumbuh suburnya cerita-cerita mistik dan mitos roh-roh halus.
Kegembiraan tergambar di setiap wajah warga desa. Bagaimanapun juga, Senen lelaki yang selalu tenang itu termasuk biadab. Bandar klothok 34) dan botoh jago itu rajin menebar penyakit. Setiap malam ia kelayapan ke rumah tetangga mengganggu istri orang. Dandanan selalu rapi, rambut klimis hanya untuk merogoh saku teman. Bermodal perawakan tegas dan gaya bicaranya seperti anak muda, ia mengisap darah sesamanya. Tetapi mengapa tubuhnya yang segar itu tiba-tiba modar. Namun ia juga manusia dan tetap manusia.
“Ya. Dia itu tetap manusia dan berperikemanusiaan yang harus dibela.”
“Dibela? Dibela apanya? Lha wong sudah jelas bejat. Lagian Pak Senen kan sudah mati.”
“Justru ini karena Senen sudah mati. Selama masih hidup sudah ada aparat yang mengawasi, kan?”
“Iya kalau Senen sudah mati, jika tidak?”
“ Lha wong tak seorang pun melihat kematiannya. Mungkin bandar klothok itu tertangkap. Bayangkan jika tertangkap. Pasti dihukum mati tanpa secuil pun pertimbangan keringanan. Mungkin pula sudah di-petrus lantas dibuang pindhangnya di selokan desa lain.”
“Lho, bagaimana, sih? Bukankah dia sudah mati dan ada kuburannya?”
Dari pembicaraan orang kampung tampak ada keganjilan atas kematian mantan kamitua desa itu. Memang mereka tidak tahu betul sampai Senen jadi mantan pamong—jabatan yang umumnya dipegang seumur hidup. Kamitua yang ini didapatnya gadungan asal tunjuk akibat kekosongan jabatan. Lalu keduanya sadar mengungkit itu semua sudah tidak penting. Lagipula orang kampung itu tidak bermaksud mengadili Senen. Sekarang bagaimana memberi kejelasan kematian bandar itu. Masalahnya, pamong atau bkas pamong tak sdikit yang jadi incaran orang lantaran banyak daftar orang mati yang konon konon akhir-akhir ini atas sepengetahuannya. Sebagian pamong juga diduga ikut menyusun daftar calon korban.
“Jangan-jangan lelaki itu dibunuh seseorang lantas disembunyikan. Siapa tahu yang terbaring di kuburan itu cuma gedebug pisang.”
“Lantas, a pa perlu memberi tahu polisi?”
“Stop. Jangan dulu. Nanti keburu urusan duit. Kita menyakinkan penduduk bahwa bandar Senen belum mati. Bilang saja yang dikubur itu gedebug pisang. Dan hanya ada satu jalan membuktikan. Sekalian kita tahu sebab apa jika dalam kuburan itu benar jisim Senen. Kau tahu cara itu?” pemuda bernama Yondi balik bertanya pada Kampar, pemuda kampung itu.
“Membongkar kuburan itu? Jangan gila kau,. Karuan saja membongkar jisim Selasa kliwon. Tapi ini buat apa?”
Kampar tercenung. Perlahan seluruh permukaan kulitnya mruntus oleh pori-porinya yang menutup. Bulu-bulu rambutnya berdiri. Tubuh dalamnya dingin. Ia mengkirik terbayang jisim Senen yang lembek mirip permen karet. Di bagian sana-sini, perut, muka dikerumuni ulat. Ditambah bau busuk menusuk. Rongga-rongan mata, muka, hidung, mulut penuh semut. Ada yang lupa terbayang, di benaknya. Bagaimana pertama kali ia membuka kafan dan melihat raut muka Pak Senen. Tersenyum mungkin Pak Senen, jika tidak menganga.
“Aku tidak sudi, Yon. Lebih baik kita pikirkan mengapa sampai Senen jadi korban petrus. Kanapa tidak diseret ke pangadilan untuk dihukum tembak?”
“Lagak bicaramu kok yakin betul Senen itu dipetrus,” ujar Yondi. “Jika benar di-petrus, jelas aparat keamanan main hakim sendiri. Tidak puas dengan kerja pengadilan ngolor-ngolor waktu, meringankan hukuman terhukum. Pokoknya aparat itu tidak puas,” tambahnya lagi.
“Lalu pamong desa sendiri bagaimana?” celetuk Kampar.
“Bagaimana apanya? Sampai kini masih tetap bungkam. Aku curiga. Bisa saja pamong itu berkomplot menyingkirkan Pak Senen. Tapi mustinya tidak dengan cara seperti itu.”
“Huss!! Hati-hati bicaramu, didengar orang.”
Suasana hening. Pasti ada yang tidak beres. Yondi sungguh tidak keberatan bandar Senen ditangkap, dikurung atau dipancung asal dengan prosedur yang benar. Ini soal kemanusiaan. Yondi melihat air kali yang teratur mengalir, puncak-puncak cemara yang bergoyang mengarah. Ini menyuarakan keserasian yang tak mau diusik ketenangannya.
“Mungkin kau benar, Kampar. Bandar itu dihabisi. Kau ingat bandar Kamat? Meski sepulang haji, tetap diciduk. Samin? Sudah jelas jadi pengusaha batako dan tidak mungkin rasanya mengulangi perbuatannya, disikat juga. Si Barot, selangkah lagi jadi juragan sapi tahu-tahu pindhangnya di tengah pasar tanpa kelamin. Sapari kepalanya hancur di pinggir sawah ditembus peluru tanpa jarak tanpa suara. Kesemua itu aku yakin atas petunjuk dan restu pamong di sini.”
“Bisa saja pembunuh itu beranggapan satu-satunya jalan bertaubat adalah di depan Tuhan,” kelihatannya Kampar membuat sepele persoalan ini. Nampak dari cara ia batuk-batuk saat menyebut nama Tuhan.
“Lho Yon!!” suara Kampar kembai serius sembari menunjuk ke arah pertigaan jalan. “Itu kan Sunu,” lanjutnya.
“Pandangan dua pemuda itu terarah pada Sunu, lelaki kribo tanpa bapak. Ia cukup dikenal sebagai mitra Senen. Anak itu berkeliaran dengan sendirinya. Ia selalu luput dari incaran polisi karena masih hijau. Dibawa sekalipun berapa jam sesudahnya kembali selamat main tekpo 35) bersama teman lainnya. Ia tidak tahu banyak, namun lengketnya sama Senen itu yang membuat penasaran orang. Apa besar dia mau jadi botoh? Bila di sisi bandar Senen, Sunu hanya berteriak-teriak, “ndol, nem, lu, apit!” Jika terlalu keras Senen harus membungkam mulut Sunu. Takut ketahuan polisi. Dengan polisi? Beberapa kali komplotannya kepergok. Setelah itu aman. Apalagi cuma satu-dua polisi. Pokok ada uang tutup mulut atau bagi hasil menyingkir sudah. Sekali pernah gerombolan sabung ayam digerebek dua truk petugas di tengah perkebunan tebuu yang kering. Tapi sepuluh menit sebelumnya Senen meninggalkan tempat, alasannya sederhana, kebelet kencing. Dan lolos. Yang lain kocar-kacir di tengah tebu berhasil diringkus petugas. Bahkan seorang diantaranya nyaris terbunuh oleh sebutir peluru. Astaga!
Yondi membawa Sunu ke pojok jalan, di bawah pohon trembesi untuk menghindari keramaian orang.
“Jadi Senen itu betul-betul mati?”
“Benar, Kang. Saya sempat ngintip sama Kang Sarmin, Pak Senen dikubur tengah malam dengan ambulan. Orangnya serem-serem, Kang.”
Kemudian Sunu bercerita singkat bagaimana suatu malam di belakang sekolah dua orang petugas membekuk Senen. Dan juga membawa serta Sunu. Lainnya sengaja dibiarkan meloloskan diri. Sepanjang jalan, tak habisnya mereka menyeret, menendang, meninju dan menyiksa Senen. Beberapa bagian tubuhnya luka memar dan setiap jengkal luka itu bertambah. Kulitnya seperti lubang tanah becek tatkala hujan. Darah tak segan merembes. Polisi nampaknya lupa bahwa tenaganya masih terlalu muda dan cukup terlatih. Sementara Pak Senen dengan balungan tuanya tak bisa berbuat banyak. Bergerak pun sulit. Sunu tahu segalanya. Dua orang bersenjata lupa titik batas, hingga Senen tewas di tangannya. Malam itu juga tubuh Senen yang sudah tak bernyawa dibawa ke dokter.
“Sunu disuruh bungkam dan diancam, Kang,” kata Sunu memelas.
Pemuda itu tak menggubris.
“Kau ikut aku, Kampar, sekarang juga.”
“Kemana?”
“Kantor polisi.”
Benar ternyata. Yondi dan Kampar melaporkan kejadian itu ke kantor polisi, ini peristiwa pembunuhan menurutnya. Dan pihak kepolisian merasa tidak tahu menahu tentang kasus itu sebab tak seorang pun warga melaporkannya. Dia brharap dngan laporan itu terbongkarlah kasus pembunuhan itu. Diduga pelakunya dua orang oknum polisi dengan melibatkan seorang dokter dan seorang sopir ambulannya. Dia juga brharap ada rencana pembongkaran jenazah bandar Senen untuk di-outopsi kembali sebagai barang bukti. Hanya dengan itu hati Yondi dan Kampar girang untuk tahu misteri pmbunuhan di kampungnya. Mereka mulai menduga-duga hukuman yang patut terhadap tiap oknum pembunuh.
“Hukuman mati setimpal dengan perbuatannya? Penjara seumur hidup? Duapuluh tahun? “
“Bagaimana bila itu dilakukan petugas?”
“Mungkin srtidak-tidaknya cuma dibebastugaskan.”
“Ya, seperti kita tidak tahu saja.”
“Kenyataannya orang seperti kita memang benar tidak tahu.”
Belakangan rencana pembongkaran jenazah batal dilaksanakan karena persoalan biaya. Waktu Yondi mengusut perihal itu, aparat meminta menganggap selesai kasus ini. Semua laporan telah diterima dan sudah diambil tindakan. Tinggal menyusun laporan hasilnya dan polisi meminta mempercayakan tugas-tugas itu kepadanya. Selesai.
“Belum. Belum selesai. Mustinya secepat mungkin pelaku itu diseret ke pengadilan. Aku sudah cek ke tempat kepolisian dan rumah sakit kecamatan. Tak seorangpun polisi atau dokter yang dicopot dari jabatannya. Sampai di sini letak ketidakberesannya. Edan!” Yondi mengumpat tajam.
“Lantas apa maumu?” Kampar kelihatan jengkel.
“Aku akan bongkar sendiri kuburan itu tanpa biaya.”
“Jangan ikut gila, Yon. Tak usah jadi pahlawan. Senen itu bandar, botoh. Apa kamu mau jadi pahlawannya botoh, ha?”
Yondi matanya merah berkaca. Ada terselip sedikit rasa curiga pada Kampar yang mentang-mentang kakaknya seorang prajurtt polisi. Segera ia pergi. Sedang di benak Kampar tidak jelas benar apa yang baru saja keluar dari mulut Yondi itu serius atau sekadar main-main karena kejengkelannya. Kembali Kampar terbayang wajah jisim bandar Senen tatkala pertama kali ia buka kafannya, jika benar kemauan Yondi demikian. Belum sempat Yondi mengungkit lagi persoalan pembongkaran kuburan mendadak muncul kabar kematian Sunu. Anak itu tewas oleh benda keras yang meremukkan bagian belakang kepalanya. Onggokan mayatnya di dalam karung goni dan ditemukan tepat di halaman depan rumah lurah desa itu.
“Entahlah ini lelucon ataukah bukan apa-apa,” Pikir Biru Langit yang mendengar kabar itu semua.[]
DUA
SEPTEMBER 1984
Satu
BULAN Oktober dan Nopember 1983, adalah bulan paling menggetarkan.
Waktu itu koran terus memberitakan tewasnya seorang petinju bernama Joni Mangi yang diduga ditembak orang tak dikenal di Malang. Tak lain ia juga korban salah tangkap sebelum akhirnya juga dibunuh. Peter A Rohi salah seorang jurnalis dari koran Suara Indonesia, melukiskan bagaimana selama bulan-bulan itu memburu orang-orang salah sasaran peluru laknat. Berita demi berita terbaca di ruang-ruang kantor, meja-meja rumah tangga, tidak di kota saja tapi juga di pelosok-pelosok kampung.
Dia ingin mengetahui bahwa seorang bernama Dahayu yang sudah dipetrus masih dijaga empat aparat tentara.Tempatnya itu di desa Sumber Wulu, Lumajang Selatan. Dan juga atas berita Pak Kartidjo pemilik perkebunan kopi di kota itu yang mnghadap MPR karena perkebunannya dijadikan tempat pembuangan glangsingan mayat korban petrus. Naluri jurnalisnya menarik untuk cepat melakukan invetigasi. Sesampai di sana, di tempat kejadian, ia langsung dihadang oleh petugas, dinterogasi, dan akhirnya digiring ke koramil ditanyai sangkut paut dengan petrus. Lantas dihadapkan pada komandan Kodim. Dia berkelit ingin menginap bersama di rumah teman. Atas suruhan kodim lantas ia diperintahkan untuk pulang. Bukan dengan kata-kata tapi dengan todongan pistol di perut jurnalis itu. Dia pun dipulangkan paksa.
Satu hari kemudian wartawan dari koran itu dikirimi dua kepala orang tak dikenal dibungkus tas kresek di ruang kerja kantor koran itu. Suasana kantor jadi kacau. Keluarganya pun jadi galau. Anak-anak wartawan itu tak ada yang berani bersekolah. Tidak hanya satu dua koran, jurnalis itu dan kawan-kawan yang punya nyali serupa terus tak sampai hati membiarkan banyaknya kasus salah tangkap dan salah tembak. Lagipula, Jawa Timur menurut koran-koran itu, tempat dengan jumlah paling besar kasus salah sasaran. Koran-koran terus membritakan bagaimana melalui narasumber seorang sopirnya, sorang pengacara dari Kosgoro diculik dan setelah itu tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Koran-koran yang melansir begitu banyak korban yang dilempar di sungai dan jurang-jurang.
Meskipun sama sekali tak sorangpun dari keluarga korban yang menuntut, koran-koran berani menuding yang melakukan penembakan tak lain adalah pasukan elit Soeharto. Sebab itu, merekalah yang diminta bertanggungjawab terhadap tragedi itu bila ada keluarga korban yang menuntut. Tulisan jurnalis itu berharap masyarakat akan menuntut karena ia jelaskan hal itu adalah operasi intelejen terhadap mayoritas rakyat kecil yang menjadi sasaran terutama kaum bromocorah atau yang dianggap itu. Koran menyebut pula penculikan itu sebetulnya memiliki jaringan internasional sehingga mudah terangkat di pentas dunia. Seorang tua bekas tentara Belanda yang tertinggal di negeri ini bernama HJC Princen berani bicara blak-blakan. Dia bicara lantang tentang pentingnya perlindungan bagi warga negara. “Kalau memang aparat di sini tidak bisa melindungi warganya, apa perlu didatangkan dari luar negeri,” katanya seperti dilansir koran itu.
Usaha Princen itu tidak pernah membuahkan hasil.
Dalam suatu laporannya, jurnalis itu menulis: “Saya menangkap, operasi petrus itu benarnya hanya shock thrapy yang ditujukan terhadap penggoyang-penggoyang Soeharto. Di lain sisi, partai politik terbesar ketika itu ketakutan terhadap organisasinya untuk memenangkan dengan mutlak dalam pemilu. Sehingga mengambil jalan pintas dengan tangan intelejensi dan bekerja untuk kekuasaan bukan untuk rakyat. Yang jelas Soeharto selaku penguasa tertinggi menyalahgunakan kekuasaaannya untuk memenuhi ambisinya. Tahun 1983 sejak pertengahan April setelah Soeharto dipilih sebagai presiden terjadilah petrus besar-besaran itu di mana-mana, karena shock thrapy yang berhasil gemilang. Sebenarnya, awalnya ketakutan partai politik itu tadi. Waktu itu bagi aparat dimanfaatkan ketika ada konflik, semua orang bisa mengambil seenak perutnya. Contohnya di Malang, orang baik-baik dibunuh di halaman rumah. Kejadian petrus ini sendiri ditangani oleh pasukan elit yang berasal dari Timtim, sehingga kalau ngomong pelanggaran HAM Pidana, pancasila, hukum perang, menjadi biasa membunuh orang. Princen sendiri pada akhirnya tetap membela orang-orang yang dipetrus. Sampai sekarang usaha saya untuk ingin menyusun korespondensi identifikasi korban petrus belum berhasil. Satu orangpun tak ada yang mengirimkan data-datanya.”
Dua
BIRU langit membaca headline surat kabar berjudul “Petrus Ditangani oleh Pasukan elit dari Timor Timur,” itu juga setelah disodori Prawira untuk juga dibacakan pada ibunya. Biarpun Surat setengah hati mendengarkan anaknya mengeja kata demi kata isi berita itu, nampak dari sorot matanya penuh harap bila bicara perihal nasib mendiang suaminya. Berkali-kali Surat membetulkan tempat duduknya. Ia lebih kelihatan gesit di banding hari-hari biasanya. Ini pertanda hari ini Surat jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Bahkan lebih baik dari setelah beberapa minggu terakhir sepninggalan suaminya. Surat duduk dalam keteduhan beranda kendati banyak kaleng-kaleng bekas minyak tanah, botol-botol kosong dan beberapa alat pertanian di situ, kelambu kotor dan lusuh nyaris runtuh di rambutnya yang acak. Pakaian-pakaian bersawah ayahnya yang teronggok di dekatnya belum juga pindah tempat. Surat mencermati kata demi kata dan bila ada maksud yang belum ditangkap artinya, ia tanyakan pada anaknya yang memang pintar membaca itu.
“Terus apa maksud Prawira, anakku. Kalau isi koran itu ibu sudah mengerti.”
“Pak Lik Prawira bermaksud agar kita menuntut.”
“Pada siapa kita menuntut?”
Biru Langit menunduk dan mencari-cari sumber berita menyebutkan soal pertanyaan ibunya itu.
“Menuntut pada yang harus bertanggungjawab.”
“Siapa yang tanggungjawab?”
Lagi Biru Langit nampak mencari sesuatu di lembar koran itu. Entah sungguh-sungguh ataukah sekadar mencari kesibukan.
“Tentara. Pemerintah dan Presiden.”
Surat berhenti bicara dan malah dia yang ganti mencari-cari kesibukan. Ia melompat dari ambin yang ia duduki dan tanpa sadar kakinya menginjak onggokan pakaian kotor mendiang suaminya. Niat semula untuk bicara pada Biru Langit, ia tangguhkan. Dibungkukannya badannya lantas dibereskannya onggokan pakaian itu satu persatu. Dicarinya tempat yang tinggi kemudian disampirkannya barang itu di sebuah gala dari bambu. Kemudian dengan nada yang ringan dan tidak jelas Surat mengatakan sesuatu ungkapan yang persis dengan anaknya. Ya, kiranya ketakutan bercampur malu, lalu kekuatiran yang berlebihan berbaur dengan kemalasan lebih banyak mengerumuni hidup setiap keluarga korban, termasuk keluarga Surat.
Surat yang paling merasakan penderitaan itu. Sudah barangtentu Biru Langit, selaku anak-anak yang dtinggalkan korban juga mengalami kepedihan berikutnya. Suatu kejadian sepele bukti jiwa sakit ibunya pernah dirasai Biru Langit. Betapa ibunya itu sudah tidak bisa menghargai orang. Ketika Biru Langit tiba-tiba tersinggung sewaktu Surat melarangnya untuk dekat-dekat dengan Nariman, laki-laki pembuat patung barong di kampung. Padahal Biru Langit sudah menyakinkan ibunya, bahwa Nariman manusia juga. Bukan setan seperti yang sering digambarkannya. “Saya menaruh hormat pada Pak Nariman,” begitu Biru Langit berkata. Biru Langit bersikeras mau belajar membuat patung pada laki-laki mengagumkan itu, siapa tahu kelak di kemudian hari dirinya benar menjadi seniman. Lagipula cuma Narimanlah satu-satunya seniman sejati di kampung ini, seniman yang tetap memilih hidupnya miskin.
“Kamu anak kecil tahu apa. Tubuh Nariman itu sudah penuh mantra dan setan. Coba kamu pikir, siapa orangtua yang anaknya boleh berteman dengan setan, ha!” bentak ibunya yang membuat Biru Langit pertama kali tersinggung, perasaan yang tak pernah muncul ketika ayahnya masih hidup.
“Ada apa ini ibu? Biru Langit bukan anak kecil lagi. Saya mau belajar membuat patung kok tidak boleh. Saya tidak punya niat jahat,” merasa benar Biru Langit bersikukuh, membujuk dan melawan pendapat ibunya.
“Tidak bisa. Titik.” Surat lebih ganas lagi.
Waktu Biru Langit pakansi melihat tari barong, ketika itu juga dia berniat meraba lebih dekat topeng berkapala naga itu. Dia tertarik dengan sorot mata topeng kayu itu. Ketika itu memang baru saja dimainkan oleh penari Nariman. Kemudian guru tari Biru Langit di sekolah menangkap rasa simpati Biru Langit. Lantas dia pun dikenalkan dengan Nariman hingga akrab. Sampai Biru Langit tahu betul Nariman sungguh penari mumpuni, sekaligus seniman topeng barong. Rombongan jaranan dia sudah berkeliling sepanjang kota, desa, kampung, unjuk kebolehan menari barong. “Sungguh menakjubkan,” pikir Biru Langit saat itu, “Sayang jika kelak tidak ada lagi manusia seperti nariman.” Tetapi ketika kemauan itu sampai di telinga ibunya, justru dia berang. Itu yang membuat Biru Langit hancur hatinya dan terbawa-bawa. Guru sekolah mengatakan, antara guru dan orangtua mestinya mendorong bakat, kemauan dan kemampuan anak didiknya. Dimana Biru Langit salah?
Diceritakannya kejadian itu pada Prawira, orang yang tanpa sadar menjadi pengganti ayah Biru Langit. Tanpa diceritakannya dengan mendalam, Prawira yang bijak dan berpengalaman itu segera tahu permasalahannya. “Barong itu memang sering terbawa dalam mimpi ibumu,” ujar Prawira. “Karena itu menakutkan. Barong yang diwujudkan dengan kepala ular raksasa simbol ancaman hidup.” lanjut Prawira. Keterangan Prawira sedikit menyenangkan hati Biru Langit. Bagai siraman air segar, sekaligus mencemaskan perihal keadaan jiwa ibunya. “Dulu tari-tarian itu upacara religi. Karena itu benar jika dibumbui mantra-mantra yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Tetapi tidak musti berhubungan dengan setan, jin dan makluk halus lain. Sekali lagi ini cuma simbol, Biru Langit,” papar Prawira lebih gamblang. Ketika Prawira mendengar pengaduan Biru Langit yang sungguh-sungguh mau belajar pada penari Nariman, sebenarnya dia tersentuh sekali hatinya. Itu menandakan semangat hidup Biru Langit yang tinggi.
“Hati dan jiwa anak itu sebetulnya mengalir seperti sungai kecil di belakang rumah. Bening,” ucap Prawira untuk meluluhkan hati Surat.
Tiga
MUSIM kemarau telah datang sekian lama memanjang.
Perihal pahit getirnya menjalani kehidupan keluarga bagi Surat seringkali memang tak perlu ditampilkan dengan sepenuh kejujuran. Sama seperti dilakukan orang-orang yang merasa dirinya buruh tani atau mereka yang pantas pula disebut para tuan tanah di kampung itu. Rumah berderet mirip sebuah kamp pengungsi atau daerah transmigran tidak juga pernah mendorong ibu Surat dan para buruh serta tuan tanah untuk lebih berbuat jujur. Rumah-rumah di kampung itu banyak yang hampir roboh dengan sudut kemiringan lebih dari duapuluh derajat. Kandang yang lain bahkan lebih dari angka kemiringan itu. Jelas ada kesenjangan ketika rumah sebelah kiri atau kanan mereka dihuni oleh tuan tanah. Akan tetapi kiranya pun para tuan tanah tidak juga terlalu berbangga. Bahwa atap-atap rumah, pot bunga, dinding, lantai, meja kursi dan bahkan lemari pakaian tak luput dari debu. Kekeringan dan angin membawa debu lantas sampai menempel di kain dalam lemari lalu kain yang sama melekat di tubuh-tubuh penduduk kampung. Nasib mereka sama. Sedikit yang menyempatkan diri memperlihatkan kelebihannya. Sedikit yang menonjolkan tingkat perbedaan, kesenjangan sosialnya. Surat dan yang lain pun menghendaki sesuatu yang sama yakni sejenis bertapa di kediaman masing-masing dengan berdiam diri mengurangi interaksi sesamanya. Bagi Surat rasanya di tmpat ini matahari terbit dari arah utara saja. Kemudian bergeser pelan membuntuti tanah sawah yang pecah-pecah, bopeng olehnya sendiri. Sementara tikus sawah berlarian di lorong-lorong tanah di sela-sela bopeng tanpa padi sebatang pun mencari perlindungan. Sebuah pemandangan yang luar biasa kering sepanjang kemarau. Ya, kemarau tahun ini memang cukup panjang sehingga sawah Surat yang tinggal seperempat bahu tak pula bisa dikerjakan. Seperti petani yang lain. Rupanya Surat lebih beruntung dari mrka, yang tak menggarap tanahnya yang luar biasa berbahu-bahu.
“Baiklah, aku katakan sejujurnya padamu, Bu Surat,” demikian sorang ptani pmilik tanah menutup pembicaraan dengan buruh taninya itu. “Sepanjang tahun berapa kerugianku jika mau dihitung? Berapa luas sawahku yang hanya bisa kutanami padi dan panen dua kali setahun, setelah itu mangkrak? Lantas, berapa kerugianku jika mustinya tiap ganti musim bisa kutanami lombok, jagung, atau semangka? Belum lagi tikus-tikus sialan itu menyerang sebelum panen. Ah, tapi Bu Surat, aku tak pernah menghitung semua itu.”
“Orang-orang seperti kita ini memang malas mengolah tanah sepanjang musim kemarau. Sedang kita tak pernah menyadari kemalasan itu,” kata Surat.
“Anda tak jujur, Bu Surat,” orang itu sembari beranjak dari kursi dan menikmati rokok Siong berbau kemenyan jenis rokok harum yang jadi pilihan hampir semua lelaki dewasa di tanah tadah hujan itu. “Wong Anda sendiri dengan enaknya tidur tanpa dosa, merasa cukup makan dan sudah beruntung panenan tak diserbu tikus.”
“Itu sudah lama terjadi, ktika suamiku masih hidup, Pak,” Jawab Bu Surat.
Pasti petani-petani kampung itu masih ingat betul tahun 1982 lalu ribuan tikus dan pagebluk yang menyerbu dan meludeskan padi hampir dipanen. Bahkan sempat menjarah rumah-rumah penduduk dan tak bisa dikendalikan. Orang-orang kampung, anak-anak sekolah, dikerahkan menghalau binatang itu. Menutup setiap lubang persembunyian dan membakarinya beramai-ramai, atau cuma melemparinya dengan batu. Namun mustahil hasilnya. Kembali tikus-tikus itu menggasak dengan liarnya tanpa dosa, meski di kulit tubuhnya terlihat putih-bersih tidak nampak menjijikkan. Suatu gambaran keadaan yang mencapai puncak dari selama sekian tahun menjalani pergantian musim yang selalu meresahkan. Situasi yang selalu sulit diatasi oleh karena kesenjangan terlalu tinggi antara luas tanah sawah dengan jumlah tenaga penduduk yang tersedia. Sehingga tidak mengherankan jika musim penggarap sawah tiba banyak didatangkan buruh-buruh tani dari luar kota kabupaten.
Berbondong-bondong mereka yang dari luar kota bersama-sama petani melakukan sebuah upacara ritual yang begitu dinantinya sepanjang kemarau: bercocok tanam. Dengan olobiskuntulbaris, menarik bajak mengairi sawah, meramu benih. Tidak ketinggalan pula petani pemilik sawah yang menurunkan para buruh menikmati upacara yang paling ritual bagi mereka, yakni menuai padi, bawon menurut tradisi mereka. Lalu apa yang terjadi ketika musim mereka kembali berganti kekeringan? Buruh-buruh tani balik lagi ke tmpat asal masing-masing. Lantas pemuda-pemuda kampung bertambah resah dan sebagian terseret bermigrasi ke kota, berkarya dan karyawan di kawasan-kawasan industri. Terlihat lebih praktis meninggalkan kampung sendiri yang lengang dan berdebu. “Sebab itu aku berani bayar mahal pada kalian buruh-buruh tani yang mau kerja untukku,” ujar seorang petani yang lebih menyerupai tuan tanah ketimbang seorang petani itu.
“Dan persoalan kita, persoalanku sekarang bukan kapan mulai turun menggarap sawah, tapi bagaimana mencari buruh yang mau mengerjakan tanahku dengan bayaran murah. Hanya kamu yang sudi berkubang lumpur. Itupun karena kamu kubedakan dengan buruh tani yang lain,” kata Bu Surat sedikit berang. Mungkin juga tersinggung.
“Jangan begitu, Bu Surat.”
“Maksud saya begini, ” kata Surat sambil memperbaiki duduknya, hampir menyentuh kopinya sendiri. Ia bermaksud membujuk tuan tanah itu. “Agar panenan kita tidak berhenti sepanjang tahun apakah ada niatan petani di sini menanam lombok atau tomat. Jika persoalannya memang kekurangan air, kita bisa menanam pipa-pipa air dan membeli satu diesel air. Untuk yang ini saya bisa hubungkan dengan teman dekat. Pasti bisa diusahakan. Saya kira tidak banyak memakan biaya. Apalagi tanaman yang ini kan agak bertahan hidup meski udara agak panas.”
Sengaja Surat menggunakan ‘kita’ untuk mmbicarakan dirinya yang tentunya membuat tuan tanah itu terhenyak. Sebuah kata yang baginya banyak menimbulkan sekian persepsi antara kawan dan lawan. Seolah terjadi persekongkolan. Kalaupun itu sebuah persekongkolan, sejak kapan seorang buruh tani atau petani kecil bersekongkol dengan tuan tanah? Untungnya, kecurigaan tuan tanah itu cepat dibuangnya sebab Surat pun bukan buruh yang betul-betul buruh. Jelek-jelek seperempat bahu ada menjadi miliknya. Dua kali setahun menghasilkan uang. Dan bisa hidup. Bila panen tak gagal.
“Ya, kemudian biar kamu bisa bekerja kembali padaku, begitu bukan? Apa kamu bisa mengolah tanahku yang sekarang setengah membatu hampir sepuluh bahu itu dengan sendiri atau tiga-empat orang saja? Aku tunggu kesanggupanmu. Jika ya, sekarang juga aku pasang pipa air yang kau maksudkan itu.”
Surat diam. Membaca sinar mata tuan tanah itu. Sepertinya Surat kembali tersinggung. Barangkali dikiranya hendak turut campur urusan orang lain atau bahkan memerasnya. Sebab dengan begitu berarti tuan tanah harus membayar upah mingguan seperti biasa padanya. Sesungguhnya semua itu tidak terjadi dan kemungkinan-kemungkinan itu tidak bakal terjadi pula. Bahwa Surat menghendaki berubah. Bahwa kemalasan di musim kering harus disikapi. Surat betul tidak jujur bahwa beberapa tahun kemalasan menghinggapinya, meninabobokannya dan baru kini ia sadari. Ini bukan kemalasan bagi seorang tuan tanah. Entah apa namanya. Namun kenapa tidak banyak belajar dari tikus-tikus sawah yang saban musim panen datang menyerbu entah dari mana. Mirip jenis penyakit kulit yang kian mewabah. Surat makin mengerti orang tidak akan mengira di balik rumah-rumah yang hampir roboh itu tersimpan ribuan uang. Atau di gudang-gudang, tobong, lumbung padi masih penuh berisi gabah yang artinya uang juga. Belum lagi sebagian besar gabah mereka yang masih di tangan para tengkulak. Kemudian para petani tidak pernah mempersoalkan berapa uang untuk benih, pupuk atau kebutuhan lain untuk musim yang mendatang. Tidak pernah terganggu oleh upeti yang mesti diserahkan ke kantor desa. Bisa jadi ini sudah berupa mitos. “Dengan beginilah, Surat, Tuhan menyuruh kita untuk menikmati musim kemarau.” biasanya pula kalimat klise demikianlah yang di luar dugaan mengagetkan Surat. Ah, bukan persoalan kalau itu bagi para tuan tanah karena memang kemarau bukan persoalan. Dan untuk menjelaskannya petani atau tuan tanah seperti Paklek Kurmen selalu berucap begini: Yang wajar-wajar saja dan jangan banyak tingkah... Entah, yang ke berapa sudah lurah hendak mengaspal jalan yang sampai sekarang masih tetap berbatu dan berdebu. Lurah yang sama berturut-turut hendak pasang listrik sudah dua tahun lebih masih betul-betul berupa tiang. Maksudnya baik, agar tiap andong yang membawa penunmpang berjalan lancar. Tapi bagi stiap buruh tani atau petani kecil sudah barangtentu jawaban tadi mengejutkan, lantaran dirinya tak memiliki persiapan macam itu. Ketika ia sibuk menyiksa dirinya dengan membandingkan para petani kecil, begitu mencapai puncak rasa sakit itu, Surat sedikit terobati karena terbukti sudah berapa kali pun lurah kampung dicopot dan ganti yang baru, kiranya persoalan aspal dan tiang listrik sulit diterima. “Dasar orang tidak jujur semua di kampung ini, “ pikir Surat. Namun demikian dalam hati Surat tetap membenarkan bagi penduduk yang dibutuhkan adalah ketenangan dan kepasrahan, bukan jalan lurus yang halus apalagi mulus. Sedangkan kondisi ini masih diinginkan sampai sekarang. Artinya, barangkali kehadiran lurah sedikit diacuhkan jikapun tidak diomongkan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Yang diinginkan penduduk kampung tadah hujan adalah ketenangan dan diam. Diam seperti batu yang tertancap rapi di jalanan makadam dan terlindas roda andong atau gerobak. Batu yang pada akhirnya bisa tergenang air bila di musim penghujan.
“Tapi jangan kuatir, Bu Surat. Dua atau tiga hari lagi kita bisa segera turun ke sawah dan Anda bisa menggarap lagi tanahku dan tanah Anda sendiri. Anda lihat sendiri kemarin gerimis sudah rata. Angin sudah berubah kencang. Hawa bertambah panas. Cuaca yang mengantukkan mulai lenyap. Tunggu sajalah dengan sabar. Warna hitam di atas kita itu akan jatuh,” tuan tanah itu berkata seperti layaknya majikan pada buruhnya tetapi juga layaknya teman yang selalu memberi pilihan-pilihan.
Surat kelihatan berpikir sejenak, kemudian seolah ada senyum ramah. Surat menarik kursinya hendak mendekati meja. “Begini, Pak ini sebetulnya tidak perlu saya omongkan. Sebab kurang baik jika persoalannya kita sadari sehingga ada kesan sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.” Kembali Surat tersenyum tetapi kini di matanya nampak lebih serius. Lagi-lagi Surat mencoba membujuk tuan tanah itu “Bukankah saya dengar Anda kepingin mencalonkan diri menjadi lurah di sini? Saya punya pikiran, barangkali dengan apa yang saya usulkan tadi bapak lebih dipercaya penduduk. Lantas, tentu bapak memilih gambar padi sebagai simbol karena itu pula yang lebih unggul jadi diwanti-wanti penduduk.”
Mendengar itu tuan tanah malah tertawa meledak. Hampir saja mukanya mencium bibir meja. Tak tahulah apa yang begitu membuatnya terpingkal-pingkal. Membuat Surat terus tercenung ketika tawa tuan tanah itu tak terputus juga. Surat hendak meninggalkan ruang. Sehingga sadar bahwa apa yang hendak dilakukan tidak banyak mengadakan perubahan. Tuan tanah itu memiliki kesadaran yang sama, kiranya. Tidak ada sesuatu yang berubah. Sebagai orang yang belajar bijak ia tidak akan berusaha kembali pada: bercocok tanam adalah sesuatu yang sakral, dengan pejalan-pejalan kaki, menuai padi dengan cara serba tradisional, tetapi akan terus dibaca dan dipelajari hal-hal yang menyebabkan situasinya seperti ini, mulai sekarang. Para petani pun tahu sebentar lagi musim hujan turun. Banjir selalu datang seperti tahun-tahun yang lalu. Tidak bisa tidak. Kemudian seperti jamur, tikus-tikus sawah yang bersih-bersih keluar sarang. Lantas, sebagian berkeliaran sampai ke halaman rumah-rumah. Surat makin percaya yang dibutuhkan orang kampung ketenangan dan kepasrahan, bukan jalan lurus yang halus apalagi mulus. Yang diinginkan penduduk kampung ketenangan dan diam. Diam seperti batu yang tertancap rapi di jalanan makadam dan terlindas roda andong atau gerobak. Batu yang pada akhirnya bisa tergenang air bila di musim penghujan.
Tanpa punya kinginan untuk menjadi batu, seluruh isi hati Surat serasa kian membatu saja. Menggelinding ke sana kemari tanpa arah. Hilang di telan bencana alam.
Empat
BETUL-BETUL Surat diseret arus kepahitan hidup tanpa ujung. Sungguh-sungguh tinggal segenggam batu saja tubuhnya. Kesulitan membuatnya bisa melakukan apa saja. Di mata Biru Langit petaka itu menghebat ketika ibunya menjual sewek satu-satunya. Biru Langit merasakan tiap malam seperti di neraka. Biru Langit belum pernah menjumpai neraka. Namun inilah ungkapan yang lebih tepat baginya. Sebab baru kali ini dia benar-benar merasa sebuah siksaan yang terlalu dalam. Hampir tiap malam dia tidak bisa tidur sama sekali. Apalagi bangunan rumah yang berdekatan dengan rel kereta, membuat klisikan tidurnya makin hebat, tatkala kereta melintas. Menggetarkan dan menggoyangkan dinding-dinding rumah. Seolah suara gemuruh lok dan gerbong-gerbong tu hendak membelah rumah tempat saya berbaring. Semua ini sungguh terasa belakangan ini. Sejak sewek itu tidak menemani Biru Langit lagi. Padahal dulu tidak demikian. Entahlah, seperti terbius ketika tidur berselimut sewek itu. Angler 36) rasanya. Sepanjang malam tak terusik sedikitpun kendati kuda besi seliweran. Benda yang dia maksud adalah jarit. 37) Tetapi terlalu istimewa jika disebut demikian. Istilah itu digunakan bila benda yang dimaksud masih baru, masih tampak gres. Atau setidaknya masih kelihatan bagus. Setelah beberapa bulan berlalu, emak menyebutnya dengan jarik. Barangkali ini memang salah pendengaran, hingga di kupingpun barang itu kedengaran lusuh.
Sejak usia kanak-kanak, ketika tidur, ibu Surat selalu menutupi tubuhnya dengan sewek itu. Kebiasaan ini lantas selanjutnya ttap dia pakai sampai sblum ayahnya meninggal. Biarpun ayahnya sendiri karna ksibukannya tidak begitu peduli dengan Biru Langit soal spl bgituan, barang itu ttap dikanakannya pada Biru Langit. Kalau pun peduli kiranya kepedulian itu tidak sampai pada hal-hal semacam demikian. Akhirnya, saya harus dipaksa memahami ayahnya soal ini, itu smata-mata karna ksibukan ayahnya dan sudah ditangani ibunya. Smula barang-barang olh Surat hanya diatur sana, di atur sini. Almari digeser kiri. Meja kursi diputar-putar. Dipan dipindah tempat. Trnyata sejak itu pula Surat mulai mngmpulkan satu persatu dan dijualnya ke tukang loak. Sebagian juga ke tetangga. Ada bupet, perkakas dapur, pakaian, perhiasan. Ia habiskan. Hanya dalam waktu kurang dari sminggu barang-barang perkakas rumah sudah sepi. Nampak suasana jadi lebih sederhana, menguasai arsitektur rumah yang menyerupai surau: serotong 38) kecil. Perabot dapur tinggal beberapa saja. Tika almari, bupet tidak lagi diperlukan. Yang ada tinggal ambin tua yang memang tak laku jika dijual dan pakaian sadanya. Ini yang membuat Biru Langit berpikir lebih panjang. Jangan-jangan wanita itu berusaha untuk putus asa. Begitulah, semua barang peninggalan mendiang suaminya telah habis dan hanya selembar sewek yang tersisa—benda yang digenggam erat Biru Langit agar tidak jatuh ke tangan ttangga atau tukang loak Saban malam saja, dipakainya untuk selimut tidur. Sebagaimana kebiasaan sjak dulu digunakannya. Pernah suatu kali digunakan untuk kenduri oleh ayahnya dan di bagian belakang-tengah terkena jenang abang.39) Sampai di rumah ia didiamkan Surat. Baru kemudian Biru Langit tahu. Bukan lantaran jenang abang-nya, tapi karena kurang pantas jika digunakan hal semacam ini. Kecurigaan Biru Langit kian besar saat ibunya mulai turun tangan bicara soal kain itu. Ia berusaha membujuk Biru Langit agar menyerahkan sewek itu padanya untuk disimpan. Katanya, “Buat apa kain jelek itu kalau nanti bisa membuat ibu tringat mendiang ayahmu?”
Mula-mula Biru Langit menggeleng namun akhirnya luluh juga.
Sebenarnya, bagi anak itu sewek bukan sekadar kain jelek, lusuh. Tapi ada keistimewaan baginya dan memang ia tidak pernah dapat menceritakan apa sebenarnya keistimewaan itu. Yang jelas itu sudah dirasainya milik dia sendiri pemberian Surat untuknya. Betapa Biru Langit benar-benar menghormati ibunya tiga kali saya menghormati bapak. Biru Langit lahir dari rahim Surat. Digendongnya dan hanya gendongan Surat yang membuat Biru Langit tenang ketika minta ditetek. Lantas, Surat pula yang rajin menunggui dia jika sedang sakit, sedang menangis. Kalau Biru Langit terlampau lama bermain, Surat juga merasa kebingungan. Akhirnya, berusaha mencarinya. Ketika diselimuti sewek oleh ibunya itu, perasaan Biru Langit sama seperti saat digendongannya. Biru Langit tidak tahu apakah ibunya memperlakukan sama terhadap kesemua saudara-saudaranya. Entah lelucon atau seriuskah waktu itu, sesuatu telah diucapkan Surat pada Biru Langit. “Kelihatannya, ibu nanti tidak akan bisa meninggalkan apa-apa buatmu. kecuali sewek yang saban malam kamu pakai tidur itu. Dengan sewek itu ibu berharap sekali kamu tidak serakah dan tetap tinggal di rumah ini. Gunakan sewek ini sampai betul-betul tidak berguna bagimu dan jangan iri dan jangan pula mniru saudara-saudaramu yang telah berhasil mengarungi hidup.” Biru Langit masih ingat betul kata emak waktu itu pada saya. Ketika itu sebetulnya Biru Langit kurang enak juga dengan kalimat-kalimat ibunya. Seperti ucapan orang yang hendak pergi merantau begitu jauh. Atau seperti berucap kepada seseorang yang akan menguasai peninggalannya. “Kalau kamu menggunakannya terus menerus dengan baik, sewek ini suatu saat akan paling berguna buatmu.” Masih membekas ujarnya Surat padanya kala itu. Lalu Biru Langit merasakan pula kebenaran ucapannya. Yaitu ketika ayahnya berselisih dengan seseorang dan perselisihan makin hebat. Seseorang itu lantas dengan bantuan dukun berbuat buruk terhadap Biru Langit. Biru Langit dibuatnya sakit. Sakit yang teramat aneh. Kulitnya dibuatnya hitam dan penuh jerawat. Batuk-batuk saja sepanjang hari. Terkadang pula batuk darah. Kemudian untuk menyembuhkannya, ayah minta bantuan pula pada seorang dukun. Sebuah syarat yang aneh, ayah diminta menyelimuti tubuh saya ketika tidur dengan sewek itu. Apa yang terjadi selanjutnya? Paginya batuk darah Biru Langit semakin gencar dan di sela-sela gumpalan darah keluar sekeping beling.40) Setelah itu sembuh total. Sebab itulah Biru Langit cuma memiliki keyakinan yang mantap pada sewek itu sedang keyakinan itu sulit sekali diungkapkan. Karena itu pula anak itu betul-betul terpukul dengan perubahan sikap ibunya yang telah menghancurkan keyakinannya sendiri ketika hendak menyerahkan sewek itu pada tukang loak yang setahu dia seperti luak 41) itu. Seperti setiap hari melihat mangsa yang berkeliaran, ia bertambah garang. Apa saja dia makan.
Biru Langit memahami ibunya yang terguncang setelah kematian ayahnya. Apalagi ayahnya belum terlalu tua untuk ukuran orang mati pada umumnya. Tanggungjawab keluarga jadi tidak seimbang dan harus dipegang dan diambil alih ibunya. Belum lagi harus mengurus rumah tua itu. Membersihkannya dari sarang tikus dan laba-laba. Kemudian memasak dan alasan lain juga yang membuat perasaan bapak terbebani. Namun soal kain lusuh yang terjual itu, amat sulit dipahami Biru Langit. Dia juga jadi sulit mengambil sikap, sulit memahami dirinya sndiri. Biru Langit tidak bisa membayangkan, sepanjang malam bagaimana sulitnya tidur tanpa selimut sewek. Dia juga tidak bisa bayangkan bagaimana hidup ibunya sesudah ini. Kenapa anak itu tidak pernah mengerti pilihan ibunya yang menghancurkan keyakinan Biru Langit, anak kesayangannya? Apakah tidak prnah brpikir bila anaknya nanti sulit bisa tidur selamanya, bisa dngan gampang mmilih jalan hidup dngan mengikuti arah kereta yang saban hari melintas di samping rumah, pergi entah kemana? Biru Langit menunggu waktu, sambil menunggu kabar ibunya, benarkah ibunya melanjutkan niatnya menjual semua peninggalan mendiang ayahnya. Jika benar, sebentar lagi tentu rumah ini akan dijualnya sebab bangunan ini pun peninggalan ayahnya.
Lima
SURAT tak dijumpai di rumah.
Ketakutan Biru Langit terhadap ibunya, jangan-jangan ibunya kini tengah berputus asa kian menghebat. Terpaksa Biru Langit berjalan keluar dan tanpa tujuan. Semula ia menduga ibunya pergi ke pasar, atau sengaja sembunyi dari para penagih utang. Atau pergi ke kali belakang rumah untuk mencuci tikar pandan.
Disusulnya juga ke sana, namun tak dijumpainya ibunya itu. Tempat itu sepi tetapi lebih elok dari ladang ilalang depan rumah yang terik. Biru Langit berjalan lurus di pinggir parit. Di situ ada pematang yang di kanan kirinya ditumbuhi semak-semak dan agak jauh dari tempat itu ada rimbunan tumbuhan jarak dengan biji-biji yang kering.
Di situ biasanya Surat mengambil jalan pintas bila bepergian kemanapun maunya. Barangkali agar tak dijumpainya tetagga, atau mungkin karna memilih jalan yang rindang biarpun itu setapak. Atau memang tanpa tujuan apa-apa, sekalipun ia mengikuti dorongan nalurinya. Di jalanan itu hanya dua tiga orang saja yang berpapasan, mereka yang punya maksud serupa. Beberapa puluh meter dari jalanan itu, hanya sapi-sapi, kambing atau kerbau yang dicincang. Itupun amat jarang ditunggui sang penggembala. Perasaan Biru Langit bertambah tertekan. Kepalanya menunduk sejenak. Dicoba diterka-terkanya keberadaan ibunya…
Enam
DIAM-DIAM pagi ini Surat berkendara oplet menuju Kota. Surat punya rencana sesuatu. Dan itu disampaikannya pada paranormal pensiunan Kolonel bekas priyayi. Sendirian. Pembicaraan hanya empat mata tanpa seorang pun tahu isinya. Kecuali Tuhan.
Sementara sepanjang hari, Biru Langit tetap saja menerka-nerka…
“Satu-satunya kinginan saya sampai hanyalah untuk mati,” Surat kisahkan itu pada pensiunan Kolonel bekas priyayi.
“Itu yang membuatmu lain dari orang lain pada umumnya,” jawab Kolonel.
Sungguh masuk akal bila kematian bagi Surat kini bukan lagi pengalaman konkrit yang menyuramkan. Kepahitan hidup telah membuatnya seperti itu. Kematian dihadapinya dengan tegar. Bukankah setiap saat dia sudah sibuk dengan dirinya sendiri untuk mati. Segalanya. Jiwanya. Bagi Surat mati bukan soal sudah waktu saatnya atau belum. Bukankah dia sudah tidak memiliki nafsu lagi untuk hidup dan bergabung dengan dunia?
“Kenapa? Apakah karena anak-anakmu sudah mulai menghitung-hitung warisan? Ataukah kamu sendiri minta diri utuk cepat mati meninggalkan bumi. Meniggalkan semua sisa harta milikmu? Ataukah kamu berpikir anak-anakmu kasihan penderitaanmu lalu mereka menyuruhmu cepat untuk mati saja.” Kolonel itu membolak-balik isi hati dan pikiran Surat.
“Mungkin salah satu diantaranya. Selain itu, saya merasa memang sudah saatnya melepas hubungannya dengan mereka. Seperti suamiku dulu meninggalkan anak-anaknya pula.”
“Kamu adalah orang kedua yang datang kemari surat. Sebelum kamu, tuan tanah Toisah datang dengan masalah yang sama. Dia punya tanah sawah empat setngah bahu, kemudian lima ekor kerbau sapi dan sebuah rumah. Anak-anaknya merebutkan itu dan itu alasan dia ingin mati.”
“Saya tidak punya alasan untuk itu kalau aku mati harus dengan menunggu jadi tuan tanah, aku lebih susah lagi untuk mati. Kasihan Toisah, apakah anak-anak tidak tahu hal hidup yang satu itu tabu diungkapkan. Bicara warisan ketika pemiliknya masih ada bisa disebut durhaka, satu hal yang paling naif di dunia ini.”
“Tidak. Toisah berpikiran lain dan anak-anaknya juga berpikiran lain. Toisah menerimanya itu bukan hal tabu. Bukan pula durhaka. Diantara merekapun tidak pernah berbicara masalah hukum karma.” Kolonel itu nampaknya berupaya untuk mengalihkan pembicaraan dari Surat pada Toisah. Perihal beginian nampaknya ia cukup mahir. Pendidikan filsafat di univrsitas dan karir militer serta pengalaman perang di Timor Timur tak menyusahkannya untuk berbuat seperti itu. “Tidak hanya itu. Dalam hidup Toisah dan anak-anaknya kerap kali dihiasi pertengkaran, antara Toisah dengan anak-anaknya maupun diantara anak-anak sendiri. Sepasar saja tak ada pergolakan semacam itu, kering rasanya hidup ini. Begitu jalan pikiran keluarga Toisah.” Lanjut Kolonel itu terus menggiring jalan pikiran Surat.
“Sama. Kesepian yang membuat saya ingin mati segera, Pak” tandas Surat.
Kolonel itu mendadak merasa kurang berhasil mempengaruhi jalan pikiran Surat untuk menghindarkan diri dari keinginannya untuk mati. Sebaliknya, terkesan ia justru melempangkan jalannya dengan menunjukkan kunci-kunci jawabannya persis mengisi teka-teki silang—hobi si Biru Langit untuk meluaskan cakrawala pengtahuannya. Bahkan Surat menceritakan bagaimana anaknya, Biru Langit memyelidiki kemauannya untuk mati itu. Ketika di suatu malam Biru Langit dia datang mengecek dirinya Surat tak berubah, tampak masih segar bugar. Matanya jelalatan. “Kamu datang bermaksud melihat aku sudah mati atau belum, bukan?” begitu Surat mengecilkan nyali anaknya ketika itu. “Mengapa ibu punya pikiran begitu?” Biru Langit berkelit. Surat tidak segera menjawab. Dia hanya menggeleng kepala beberapa kali . Belum sempat memenuhi pertanyaan Biru Langit, anaknya itu menambah lagi beberapa pertanyaan. “Apakah ibu putus asa? Dan tidak betah melihat saban hari kita kurang makan? Lalu malu pada tetangga?” Surat hanya tertawa nggakak. Suaranya memekik. Memecahkan kesunyian malam. Mengalahkan suara angin yang mirip lebah bersarang di telinga. “Kamu masih terlalu kecil untuk mengtahui semua ini,” giliran ibunya yang berkelilit.
“Jadi anakmu, Biru Langit sudah tahu kamu kepingin mati?” Kolonel itu mengesankan terkesima.
“Kukira. Biarpun kataku tadi Biru Langit memang terlampau kecil untuk mengetahui jalan pikiran ibunya. Kalaupun tahu tentu ia terkesan punya alasan lain. Karena saya sudah tualah, putus asalah, firasatlah. Sesungguhnya saya tidak ingin seperti itu. Lebih tidak ingin lagi bila Biru Langit tidak tahu apa-apa. Nggobloki kayak anak yang baru ayan. Kenyataannya, dia sudah cukup dewasa. Sangat dewasa semenjak tahu ayahnya mati dibunuh orang,” Surat sama sekali tak mengesankan cemas atau kuatir. Bahkan sesudah itu ia tak ingat lagi bagaimana raksi anaknya, Biru Lagit.
Sebihnya kolonel itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak percuma rupanya perempuan itu bicara dengan Biru Langit. Kiranya hebat benar anak itu telah tahu bagaimana ibunya muncul kbraniannya untuk mati, bagaimana Surat brkhndak menghadapi kematian dan akal sehatnya mengatakan tidak takut untuk mati. Lantas apa pendapat anak itu tentang akal sehat. Kolonel itu makin tahu bagaimana orang yang berpikir perlu mati saat ini. Kolonel itu juga berpikir betapa tersiksanya manusia yang tidak pula diberi mati. Kalaupun sekarang kelihatan gelisah hingga ada kesan takut, itu bukanlah sesungguhnya. Namun bayangan akan kematian sudah cukup membuatnya ketakutan. Diam-diam dalam jiwa kolonel itu telah berkecamuk tentang kematian. Justru menurut Kolonel itu, memikirkan kematiannya itu yang menakutkan. Dalam hati ia hanya bicara pada si anak Biru Langit. “Kamu belum pernah merasa mendrita, sengsara atau nikmatnya hidup, Nak. Nanti-nanti jika kau berada di salah satu dari itu, kamu akan mengambil sikap. Sekarang kamu masih hidup saja dan mengalir, punya prinsip hidup. Dan kamu tidak mengtahui sungguh jiwa ibumu yang telah sengsara.”
“Lantas apa yang membuat kamu ingin mati? Benarkah karena sengsarakah? Atau itu ucapan naluri kamu yang sudah waktunya untuk mati?” Kolonel itu seperti menginterogasi calon korbannya.
Untuk pertanyaan yang ini Surat harus benar-benar menyiapkan jawaban yang mantap.
Waktu sudah menunjukkan tidak lagi pagi. Suasana kosong sejenak. Setelah dirasa cukup, diapun menjawab, “Karena saya tidak mau dipenjara. Karena satu hal pokok yang ada pada hidup ini ingin bebas. Artinya jiwa ini ingin keluar dari kungkungan tubuh. Dan jiwa saya tidak mau tersekap. Tidak mau terkubur.”
Kolonel itu sedikit sekali memahami apa yang telah diucapkan Surat. Justru pikiran Kolonel mengatakan itu alasan belaka bagi seorang yang hendak mati dengan berbagai dalih. Atau barangkali Surat itu yang tidak sadar alias dalam kadaan mabuk? Selama ini yang ia tahu orang seolah selalu menghndari kematian. Seolah tidak rela benar jika dirinya mati. Jika sakit tubuh sebagai tanda karena jarang orang mati dengan sakit jiwa sebagai tanda, orang selalu sibuk untuk berobat ke dokter. Untuk mengtahui sebagian tubuh mana yang sudah tidak tahan menyangga hidup. Kemudian jika sang dokter sudah mundur dan angkat tangan, baru keluarganya pasrah. Dan benar juga akhirnya: si sakit trus mati. Hujan tangis yang mengiringi. Bukan hanya si mati saja yang tidak rela. Melainkan yang ditinggalpun tidak iklas dia mati. Demikianlah. Namun malam ini apa yang diketahui Kolonel benar-benar lain. Malam bergerak terus. Sementara bulan bergeser derajat demi derajat. Diantara angin dingin dan diantara ketidakmengertiannya, kolonel itu berusaha terus mengungkap misteri Surat, sesuatu yang sama sekali belum pernah dihadapi ketika jadi mahasiwa maupun waktu di dinas ketentaraaan.
“Sekian lamanya saya digencet ke pinggir. Saya pun menyendiri dan menemukan hidup dengan dirinya itu sendiri, bebas kemana harus berjalan dan bagaimana dia bergerak. Saya sendiri yang menentukan aliran arus hidup keluarga saya. Termasuk hal mati. Tapi sekarang saya mulai ragu, Pak. Karena itu saya datang kepada Bapak. Pagi ini saya harus menemukan keyakinan dan kepastian. Sebab hanya dengan keyakinan dan kepastian soal mati saya akan merasakan kebahagiaan. Bahagia hidup setelah mati di dunia ini,” Surat berkeluh kesah begitu mendalam dan sepenuh hati.
“Keraguan apalagi itu, Surat?” Kolonel itu sepertinya harus bicara begitu.
“Ada dua hal yang membentuk segala makluk yang hidup. Termasuk manusia. Yaitu jiwa dan tubuh. Lantas jika saya mati akan kemanakah jiwa saya? Apakah turut binasa bersama tubuh saya? Dan jiwa itu tidak hidup lagi ? Ataukah sebaliknya jiwa ini akan terus hidup kendati tubuh saya mati, bagaimana pun cara dan apapun jalannya saya nanti mati?”
Cukup lama dialog Surat dan Kolonel itu terhenti. Kolonel itu tidak pula memberi tanggapan. Suasana diisi oleh suara-suara orang yang pulang dari pasar atau bunyi-bunyian pedagang keliling yang menjajakan barang daganganya. Baru kemudian Kolonel itu melihat bebrapa butir air mata yang bergulir dari pelupuk mata Surat. Disusul dua pasang isak tangis. Surat menangis. Kolonel itu menyaksikannya bahwa itu jiwa Surat yang menangis. Jiwanya yang minta dikasihani. Jiwanya yang berontak pada tubuh Surat. Sehingga beberapa bagian tubuhnya kalah. Kulitnya memerah tegang. Aliran darahnya cepat dan airmatanya jatuh bergulir. Melihat perempuan menangis, Kolonel itu ingat kejadian saat dinas di Timor Timor. Dia pun tak kuasa menahan airmatanya juga.
“Bapak mengkaisiani saya?”
“Tidak. Saya hanya teringat sesuatu. Waktu itu, saya melihat satu konvoi mobil truk datang dari Viququ, penuh dengan orang yang miskin dan sengsara. Mereka akan dibuang ke pulau Atauro. Di dalam mobil-mobil truk itu, orang bisa melihat juga bahwa ada orang-orang tua yang sudah tidak mungkin lagi bekerja, anak-anak dan orang sakit…Waktu saya pergi k Baguia, saya melihat konvoi truk yang lain, melintas di depan Gereja Baucau. Konvoi ini datang dari Viququ dan membawa orang dari Uato-Lari, Ossu, Lacluta, dan juga orang dari Viququ, dari kawasan Baucau. Mobil-mobil itu pergi ke arah Laga, karena di Laga itulah orang akan ditempatkan dalam kapal-kapal boat seperti binatang dan dibuang…Ketika saya kembali dari Uato-Carabau, dan lewat dekat Laga, saya melihat lautan manusia di bawah pohon dan rumah-rumah reot, dijaga oleh hansip dan orang Indonesia lainnya, menunggu untuk dibuang,”42) kenang Kolonel itu.
“Apa hubunganya dengan saya?”
“Tidak ada. Saya hanya ingin ceritakan, punya masa lalu.”
“Saya datang kemari untuk minta petunjuk”
Kolonel itu sedikit paham tentang Surat, kesedihan dan kematian. Ia temenung. Diam-diam ia kagum pada perempuan itu. Meski aneh, Surat betul-betul bersahaja. Penderitaan dan kelakar, lelucon dengan keluarganya sama sekali tak ia pungikiri dari hidup. Tetapi dia tahu akal pikirannya tentang urusan tubuh dan jiwanya. Dan sekarang akal dia sedang menggerak-gerakkan jiwanya. Memikirkan nasib jiwanya.
Kolonel itu mendadak dikejutkan oleh pikiran Surat.
“Saya akan mengambil sikap dan sebenarnya sikap itu sudah keyakinan saya sejak awal. Saya akan mengakhiri hidup ini. Setelah terlalu lama menunggu tidak mati-mati pula.”
“Surat akan bunuh diri?”
“Ya, hanya dengan bunuh diri jiwa saya akan tertolong dan tetap hidup. Sedang tubuh sudah tidak terpakai lagi. Dengan begitu saya akan bebas menentukan jalan hidup yang baru. Bebas memilih bentuk hidup yang baru. Lain dengan kematian yang biasanya. Tubuh tidak akan berfungsi sebab bersama-sama jiwanya yang juga telah mati. Tidak akan pernah ada hidup lagi. Selamanya,” semangat Surat terpancar juga di sorot matanya.
“Manusia tidak boleh membunuh dirinya. Sebab bunuh diri sama artinya dengan menentang kehendak untuk hidup,” justru Kolonel itu agak ragu dengan suaranya sendiri.
Surat diam lagi. Ia termenung sesaat. Betul juga kolonel, pikirnya. Manusia tidak boleh bunuh diri. Sebab manusia memang tidak berhak untuk membunuh dirinya sendiri. Manusia tidak berhak melenyapkan dirinya dari dunia ini. Manusia ada di dunia ini dengan sendirinya. Artinya, sudah beruntunglah ia sampai di dunia ini dalam bentuk manusia. Kemudian kenapa harus melenyapkan diri?
“Apa sebaiknya saya dibunuh saja? Pinjamkan pistol kolonel tinggal suruh orang untuk membunuhku.”
“Itu ide gila, Surat,” sergah kolonel. “Apa bedanya dengan mati bunuh diri. Sama-sama mati. Sama saja dengan kematian yang dikehendaki oleh yang menaruh kita di dunia ini. Sama seperti kematian orang-orang karena perang, pembunuhan atau kecelakaan.”
“Beda.
“Dimana bedanya?”
“Saya kemari tidak untuk silat lidah. Saya kemari hanya mohon restu. Permisi…”
Tujuh
DI RUMAH, Biru Langit menutup buku Sejarah Mati Ketawa Cara Para Pemikir yang baru saja dibacanya. Pikiran Biru Langit terus jumpalitan kesana-kemari.
“Itukah jalan menuju kebebasan. Gila,” Biru Langit dengan geramnya, sambil mencari jalan keluar dari kamar. “Hidup ini mulia. Mengapa bersedih begitu lama. Tidak. Tuhan tidak mengajarkan mati tertawa dengan cara begitu.”
Hari sudah menjelang petang. Dia juga jungkir balik dihadapkan putus asa ibunya yang sejak pagi pergi entah kemana.
“Kenapa kamu tetap santai-santai di situ? Cepat mandi dan ganti pakaian! Hari sudah menjelang malam,” mendadak, ia dikagetkan suara ibunya yang tak diduga-duga.
Sebetulnya Biru Langit ingin menjawab pertanyaan itu dengan balik bertanya. Dia juga ingin katakan akan senantiasa menjaga agar ibunya tidak mencoba melakukan bunuh diri. Tapi terus saja Surat menyerang dengan kata-kata yang entah apa artinya. “Cepat pergi! Kamu sudah bukan apa-apaku lagi di sini. Kau bukan anakku. Kau adalah orang lain. Kau tidak berhak melarangku atau menyuruhku untuk mati.”
Biru Langit pun segera pergi. Mandi dengan air segar dan membasahi seluruh tubuhnya dari ujung rambut hingga pangkal kaki.
Delapan
KOTORAN bekas rumah laba-laba di kamar seperti lumut yang hidup tumbuh di dasar kolam. Pagi hari itu bersamaan dengan kokok ayam jantan, malas bangun biarpun kelaminnya serasa mendesak untuk menyemburkan air seni. Ia masih menghitung berapa tenaga harus dikeluarkan untuk membersihkan kotoran itu.
Di luar orang kampung sudah mulai beraktivitas.
Biru Langit masih pula sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia mulai menduga apa kalimat ibunya bila mengtahui dirinya telah bangun dari tidur. Barangkali ia akan bertanya, “Jam berapa berangkat sekolah?” Lalu akan dijawabnya dengan, “Saya malas ke sekolah.” Bila ibunya masih juga bersikukuh untuk membentak dengan kasar ucapannya itu, dirinya akan mengatakan, “Sekolah tidak mengajari saya untuk menghadapi pahitnya kehidupan. Seperti ibu yang tak pernah makan sekolahan bisa juga hidup sampai tua.” Jika masih juga Surat tak mau menerima alasannya, Biru Langit akan pertegas, “Sekolah tidak membuat keluarga kita jadi hidup lebih baik.” Itu memastikan Surat akan tersinggung berat.
Jalanan makin riuh dengan suara-suara lonceng kalung sapi, perempuan-perempuan pergi ke pasar. Yang paling keras terdengar adalah sandal-sandal yang berantukan dengan tumit kaki-kaki mereka. Biru Langit amat teraganggu itu semua. Cepat ia melompat dan membuka daun jendela. Begitu cepatnya, terasa salah satu ujung jarinya trtusuk suatu bnda tajam, sprti duri sisa ikan asin yang menepel di salah satu kayu bingkai jendela.
Di luar kamar tak terdengar sedikitpun desis suara Surat.
Seperti biasa Biru Langit menerjang ke belakang berdiri mengangkang di dekat kolam. Lalu menyemburkan isi badannya ke air kolam yang menghitam persis comberan. Yang tidak biasa adalah masih juga belum terdengar desah nafas, jejak atau bekas-bekas ibunya.
Sesuatu telah terjadi tatkala Biru Langit membalikkan badannya. Anak itu menjumpai Surat, ibunya, perempuan dengan seonggok penderitaan itu sudah tak bernyawa lagi. Apalagi dengan melihat caranya yang mengerikan. Surat telah menggantung diri.
Biru Langit tak terkejut. Sedikitpun dia juga tak takut.
Surat mati menggantung diri dengan stagen di lehernya. Lidahnya menjulur. Matanya putih terbuka. Dan sebagian hidupnya sudah penuh dirubung semut.
Waktu sekarang. Tak seorang pun tahu bagaimana Surat mengakhiri hidupnya. Tidak juga orang kampung. Biru Langit hanya takjub dengan cara ibunya mengakhiri hidupnya.
Biru Langit membolak-balik pikirannya.
Sembilan
BNIGNO Aquino tokoh Philipina yang sepulang dari pengasingannya ditembak tengkorak kepalanya, sejak September lalu masih diperbincangkan di radio-radio asing berbahasa Indonesia—yang siarannya bisa ditangkap di sini.
Halaman-halaman koran juga sudah pasti membritakannya.
Berita-berita yang tak disiarkan TV dalam negri ini, bahkan melukiskan bagaimana bebrapa sosok seperti Adnan Buyung, Yap Thian Hien kalang kabut mengumpulkan ahli hukum se Asia Tenggara tergerak oleh karena banyaknya laporan pembunuhan di luar hukum di sejumlah negara itu. Termasuk Indonesia. Korban yang disebut-sebut di berita-berita itu sudah mencapai 2000 jiwa.
Memang itu terjadi di belahan dunia lain, tapi bayang-bayang peristiwanya tercium juga di kampung dan Prawira orang yang tidak pernah melewatkan semua itu. Baginya, orang yang tahu sedikit soal politik, setiap hari seperti menyantap sarapan pagi.
Pada waktu inilah, hari pertama Biru Langit menjadi anak asuh keluarga itu. Gelombang-gelombang udara yang menyebarkan bau busuk kematian tercium juga oleh Biru Langit. Begitu amisnya sisa darah dan daging mentah yang tercium seperti tak pernah hilang dari ujung hidung anak itu. Dimana-mana. Serasa lubang hidung itu cuma untuk keperluan itu. Begitu biasanya, seperti menghirup udara dan menarik nafas dalam-dalam.
Demikianlah, cara Prawira yang sudah setengah tua menikmati sarapan paginya. Seperti Biru Langit yang menghirup udara. Sedari pagi keduanya hanya tampak di beranda dan duduk-duduk saja. Begitu akrabnya paman dan keponakannya itu sampai dibiarkannya pikirannya berjalan sendiri-sendiri. Penderitaan bagi Prawira telah akrab semenjak dia dicap komunis dan dikeluarkan dari tempat dia bekerja pasca peristiwa Gestok tahun 1965. Seperti halnya, Biru Langit telah akrab kepedihan yang diwariskan ayah dan kematian ibunya.
Di rumah itu semua sama-sama tahu. Demikian pula dengan Yunani, istri Prawira yang amat dibenci Biru Langit oleh sebab pelitnya setengah mati itu. entah mungkin lantaran ingin berbasa-basi Yunani bicara perihal rencana sekolah Biru Langit yang tahun depan harus bersiap-siap ke jenjang sekolah menengah di kecamatan Ngadiluwih. Dalam hati, Biru Langit hanya membatin bukankah satu tahun itu waktu yang cukup lama, bila sehari saja duduk di tempat tinggal barunya ini suatu siksaan baginya? Yunani memaksa Biru Langit dan suaminya untuk bicara sekolah-sekolah yang pernah dimasuki anak pungutnya yang pertama. Dia katakan, semua sekolah favorit, terbaik dan termahal. Istri Prawira juga bicara soal biaya dan jurusan-jurusan sekolah terbaik—barangkali juga ia bicara untuk Biru Langit kelak di kemudian hari.
Suaminya, kurang menanggapi omongan Yunani dan Biru Langit masih takut-setengah pasang aksi kurang suka dengan penampilan nyonya rumah yang di pelipis kanan kirinya ditempeli koyok dan irisan jeruk purut. Pagi itu sangat kaku. Suasana hanya diisi celotehan wanita itu yang di sana-sini diselai bunyi batuk. Betapa Biru Langit perasaannya, matanya, hidung dan kupingnya serasa diaduk-aduk. Kata orang bunyi houuek yang bukan batuk saja adalah sesuatu yang memuakkan. Tapi perempuan ini sungguh-sungguh batuk. Apalagi bercampur bau busuk petai, sisa kristalan kopi secangkir, lalap dedaunan gembrot, asap rokok. Tidak saja dari gaung suaranya yang memantul, sungguh tak terbayang bagaimana yang muak menjadi memualkan. Batuk yang menjadikan kerongkongan turut kering dan gatal, perut melilit-lilit kendati apa yang ada pada Biru Langit sekadar di telinga. Sekadar terganggu pendengarannya dari si tua penyebar batuk kering.
Malam hari. Batuk kering si tua Yunani memang tak tahu diri. Tidak peduli satu setengah jam melebihi tengah malam masih saja beraksi. Meraung-raung. Terkadang menyentak keras, memaksa riak keluar dari tenggorokan dan mulutnya. Lantas karna merasa tersedak, tersumbat, tertekan dia akan menambah keras smburan udara dari dalam. Dan lagi-lagi bunyi batuk itu meledak. Kemudian segumpal riak putih kekuning-kuningan terlempar dan beradu dengan lantai. Disusul dengus nafasnya yang tidak karu-karuan. “Dasar si tua tidak tahu diri. Sudah tua peot masih saja menyimpan batuk,” Biru Langit gram. Tiga botol sirup obat batuk, dua kaleng pil pereda batuk tak disentuhnya. Tidak jauh dari itu pun ada dokter jaga puskesmas. Memang si tua itu tak pernah bergaul dengan obat, suntikan dan sejenisnya. Bayangkan bila Biru Langit datang dan diasuh di tempat sial ini cuma menikmati batuk, hal yang paling menjijikkan sepanjang hidupnya. Ini terpaksa karena kebaikan hati Prawira untuk tinggal bersamanya, bukan karna istrinya. “Jika saja ayah ibu tidak meninggalkannya sendiri,” Biru Langit trus sibuk brpikir sndiri. “Tntu malam ini tak harus berada di rumah yang menyimpan gumpalan riak ini.”
Betapa tersiksa dan Biru Langit tak perlu terus menerus melawan gejolak hati dan perasaannya. Sampai ia malas dan terhanyut arus dan menikmati suasana. Untunglah, saat malam bertambah malam. Suasana sekarang tenang. Kendati begitu, ia tetap yakin lima belas atau sepuluh menit lagi batuk itu akan kembali memaksa gerak rongga-rongga pernafasan perempuan tua itu bergetar. Bahkan semakin cepat dan tegang. Biru Langit tidak tahu benar apakah suaminya, Prawira yang kini terlelap tidur pernah peduli tehadap batuk istrinya itu. Toh, sampai sekarang sulit sekali didiamkan. Sampai keduanya juga saling diam. Biru Langit ingin tahu lebih jauh sebetulnya, tentang kehidupan pamannya yang baru malam ini ia lewati waktunya bersama-sama dalam satu atap rumah. Lalu, tentang perempuan istrinya itu yang bukan tidak mungkin tengah terjangkiti tubercolusis itu. Ah, tetapi bagaimana Biru Langit bisa tahu baru setengah malam ia berada di rumah ini. Dan sekarang satu setengah jam melebihi tengah malam. Tumbuh dalam diri Biru Langit keyakinan bila nanti hari pagi, perempuan itu belum juga terbangun bila tak digoyahkan kamar tidurnya.
Biru Langit nyaris menyesali ketidaktahuannya dengan pasti untuk apa ia berada si rumah ini, kecuali menikmati batuk. Lelaki itu masih dihimpit sisa-sisa kepedihan. Dibayangkannya kembali ketika pertama kali ia melihat perempuan istri pamannya itu, melihat kegarangan. Wajahnya dingin, kaku biarpun sesekali terkadang romantis, atau sentimentil?. Tidak ubahnya Biru Langit hanya melihat gambar hidup yang pnuh misteri. Tak ayal seringkali menghasilkan kekejaman, kengerian, keterasingan dirinya di tengah malam yang berkepanjangan. Serasa lebih panjang dari kepdihannya yang telah lalu. Setiap gerak-gerik perempuan itu mirip sebuah ilustrasi yang terkesan jinak. Artinya, Biru Langit bisa menikmati geraknya yang teatrikal dari garis-garis gambar yang bisa tertangkap mata. Mirip gerakan-gerakan tari. Selalu terarah dan tak pernah lepas kontrol. Andaikata sebuah ilustrasi pecut, bunyinya sekalipun bisa dinikmati. Sungguhkah begitu? Bukankah terkadang gerakan itu kasar, frontal, enerjik, penuh kejutan dan luapan-luapan emosi. Dan lagi penuh imajinasi yang memungkinkan lelaki tua itu melakukan segala hal yang paling mengerikan sekalipun. Suasana luar biasa dahsyat dan ilusionistik di tengah malam ini. Panas, pengap mencekam. Sesekali di kegelapan ruangan terdengar salak anjing. Melolong-lolong seolah Biru Langit merasa dirirnya jadi bayi merah terbuang di tanah lapang. Lantas bunyi deru kereta malam menggetarkan atap dan dinding rumah. Takut roda kereta akan terlepas dan gerbong-gerbong itu meluncur entah apa isinya membelah rumah di situ tempat terbaring Biru Langit. Begitu berlalu dan aman, genderang nyamuk berpuluh-puluh jumlahnya terngiang-ngiang. Bergulir-gulir di tubuhnya yang panas-dingin. Tak satupun sempat diusirnya. Biru Langit kuatir hanya akan menambah ketakutannya.
Benar ternyata lima belas menit kemudian bunyi batuk kembali menderu. Kali ini lebih hebat. Berkali-kali ada usaha prmpuan istri pamannya itu menahan penyaki akan tetapi sia-sia. Dari sini Biru Langit menangkap sebenarnya dia ketakutan dengan penyakitnya. Semakin tertahan gumpalan riak semakin deras meluncur naik ke rongga mulut. Bergumul kemudian meloncat. Sempat pula Biru Langit berpikir sejenak; ada gumpalan darah mungkin keluar dari moncong mulutnya. Biru Langit hampir berteriak. Buru-buru saja tenggorokannya tersumbat. Perutnya mual. Bibirnya terkatup. Ia sendiri merasa hampir memuntahkan sesuatu dari dalam lambungnya. Perut besarnya melilit-lilit. Ia pegangi dan dan tekan-tekan sendiri lehernya. Sementara Biru Langit mnyakinkan pamannya masih terlelap tidur. Biru Langit hampir saja beranjak menuju kamar dalam tempat sumber batuk. Lagi-lagi niatannya terpotong oleh sesuatu yang menjadikannya mengurus dirinya sendiri. Kembali ia berbaring. Biru Langit mendengar si tua menyeret-nyeret alas kakinya ke arah kamar mandi. Batuk itu terus saja menyerang di sela bunyi kecipak air membasuh mukanya tak seberapa jelas. Riak-riak terus terlempar ke lantai.
Suasana tenang kembali pada dua jam melebihi tengah malam. Bunyi panjang alas kaki menyeret-nyeret membuat Biru Langit terhenyak, takjub, terkejut tapi juga takut. seperti sempoyongan, barangkali si tua telah melampaui tahap kritis, pikir Biru Langit. Ini yang menakutkan. Sanggupkah si tua melampaui tahap kritis dengan sukses? Jika tidak, pasti si tua sebentar lagi tak bertahan hidup. Tiba-tiba Biru Langit melihat kembali perempuan Yunani itu dalam kegarangannya. Sekilas dalam kegelapan ia melihat perempuan itu menyeret alas kaki dengan pisau panjang di tangan. Biru Langit sempat menangkap kefanatisan. Namun ketakutannya muncul kembali saat si tua garang menuju padanya. “Gila! Mungkin si tua hendak membunuhku,” pikir Biru Langit. Biru Langit bersiap diri melompat jika pisau itu benar hendak dihujamkan padanya. Ia berpura-pura diam dalam ketenangan. Sedangkan si tua tampak terombang-ambing emosi dan pikirannya di antara dua tubuh tergolek ringan. Setelah dirasa cukup dan meyakinkan, lantas si tua betul menghujamkan dua tikaman pisau panjang itu. bersamaan dengan desahan dari dalam yang teramat kuat.
Sepuluh
PAGI harinya, Biru Langit bangun sebagaimana hari-hari biasa. Tak terjadi apa-apa dan sebaliknya dia tampak sehat.
Prawira lebih dulu bangun dan di meja terhidang kopi hangat, menunggu koran sarapan pagi. Di lantai semut-semut banyak berkerumun mengitari dan menikmati sesuatu. Bukan tetesan darah tapi gumpalan riak-riak karena lantai memang belum disapu oleh nyonya rumah.
Dibayangkannya kembali oleh Biru Langit, dirinya tak hanya sehari saja tinggal bersama,. Berbulan-bulan. Bahkan bertahun-tahun. Barangkali sampai tua. Mungkin juga tidak. Dia mencoba mengenali tempat-tempat, ruang-ruang di situ. Mana tempat yang kotor, lorong gelap dan juga batas-batas tembok tetangga.
Sesuatu yang baru telah ia rasakan di dadanya. Dia yang tak setidaknya hingga sekarang tak pernah putus asa, serasa mendapat suntikan darah segar, melihat tempat kotor seperti gudang, air comberan, bengkel—tak semua rumah orang kaya seperti surga. Kecemasan akan kemiskinan telah membuatnya berpendapat begitu. Kadang-kadang pendapat yang telah merasuki darah dagingnya itu, lantas diam-diam tumbuh menjadi ketakutannya pada setiap orang kaya. Terhadap bangunan rumah yang angkuh, seperti rumah pamannya ini pun ketakutan itu biasa muncul. Rumah yang persis di pojok sudut tekungan jalan, sehingga dari kedua arah bisa melihatnya bangunan itu, tertawa, senyum, angkuh atau berdiri dengan kesombongannya. Di depannya, terhampar rawa-rawa luas dengan burung-burung bangau istirahat di rerimbunan mencari makan, memperluas cakrawala pandang. Anak-anak di luar seperti di gelandangan saja. Di depan rawa-rawa kotor, mereka bermain kereta-keretaan di atas debu sisa residu dari pabrik.
Biru Langit bisa tinggal di keluarga itu karena kebaikan hati Prawira, pamannya.
Tidak tahulah, apakah ini suatu keuntungan atau bukan. Dia hanya berani tanyakan itu pada Prawira. Kenapa Prawira berbuat begitu baik terhadap keluarganya dan ternyata memang ini bukan yang pertama, kedua atau ketiga. “Sejak bertahun-tahun lalu,” kata Prawira. Lantas yang diceritakannya bermula dari kisah seekor sapi milik Surat. “Sudah puluhan tahun, semula ketika harta yang dihitung dari nilai jual seekor sapi milik ibumu dianggap raib, tiba-tiba muncul kembali. Dan tentunya dilihat dari nilai rupiah sekarang.” Biru Langit masih ingat bagaimana terjadi ketika itu. Sapi itu memang hampir terlupakan. Berapa harganya ketika kurang duapuluh tahun lalu tidaklah penting bagi ibu. Karena bagaimanapun itu mengharapkan sesuatu yang mustahil. Syukurlah ibu sendiri menyadarinya. Sapi itu betul-betul raib. Hanya suatu ketika saja bila perlu ibu menceritakan perihal sapi pada anak-anaknya. Bahwa ia pernah memelihara sapi. Kepada anak-anaknya pun jarang sekali ia ceritakan ssungguhnya. Takut kalau-kalau anaknya menganggap itu seperti mengharapkan bulan jatuh. Takut disebutnya mengenang harta milik masa lalu dan menyesali ketidakberdayaannya yang sekarang. Dan kejadiannya memang betul demikian. Sapi itu satu-satunya yang menujukkan ayah ibu Biru Langit dulu yang kelebihan. Bersama suaminya. Anak-anaknya, kata ibunya, hanya bisa tersinggung. Lantas darah tinggi suaminya kumat lagi. Hanya karena perihal sapi itu yang sepertinya tidak ikhlas lepas dari tangan Surat dan suaminya. Biru Langit dan saudara-saudara lainnya pun menangkap begitu, tapi bagaimana lagi sapi itu raib betul. Pemiliknya raib juga. Dari sini ikhlas atau tidak menjadi hal yang tidak penting. Itu mereka sadari hingga hampir duapuluh tahun.
“Sebenarnya ibumu tidak membiarkan sapinya dibawa orang yang pada akhirnya raib tanpa sepengetahuannya. Ayahmu juga tak diam jika akhirnya ia tahu sapinya dipinjam orang yang hendak raib,” kenang Prawira.
“Kata ibu sapinya saat itu tidaklah penting jika dibanding masa sekarang—betapapun sulitnya mengenang seekor sapi,” sela Biru Langit.
“Ibumu tidak akan tahu semua sebab-musababnya. Juga ayahmu. Hanya memaklumi hilangnya seekor sapi yang ketika itu hampir meninggalkan anak. Keduanya juga lupa siapa pertama kali meminjamkan sapi itu pada Ngali—lelaki yang masih punya hubungan darah dengan ibumu,” lanjut Prawira.
Memang dari sini terlihat Surat sendirilah sebagai cikal bakal sapi ini jadi urusan. Lalu seringkali terjadi saling tuduh persoalan sepele semacam begini dngan suaminya saat masih hidup. Andaikata si Ngali masih hidup, tntu ia sudah di ujung tanduk hidupnya. Surat tak pernah peduli hubungan darah Ngali dengannya. Laki-laki itu sudah mengantongi uang seekor sapi dan calon anaknya. Andaikata saat ini ia muncul, segera akan berurusan dengan polisi. Setidaknya pamong desa di sini. Biar mengumbar rasa malu, begitu kerapkali pikir Marsitun. Tapi semua itu tidaklah mungkin.
“Kukatakan pada ibumu, Apa di dunia ini yang tidak mungkin? Manusia mati memang tak bisa hidup lagi. Apalagi sapi. Tuhan berkehendak begitu. Tuhan juga berkehendak Ngali meninggalkan seorang anak. Sekarang sudah besar, perempuan, cantik, bersuami pegawai yang dandanannya selalu rapi. Sebagian tanahnya juga tinggalan bapaknya. Tetapi jangan lupa, yang ditinggalkan si mati bukan cuma harta kekayaannya, juga utangnya. Bahkan pula aib keluarga,” Prawiro mengenang ucapannya ketika kali pertama mengurus sapi Surat.
Prawiro berkata begitu pada Surat karena sungguh ia tahu. Sebagai saudara suaminya, Prawira tahu bagaimana transaksi sapi ketika itu. Hanya sebelum ini ia lupa sama sekali sebab memang tak punya urusan dengan itu. “Sapi itu barang mahal kalau dianggap mahal. Murah jika dihitung murah. Dan ini bukan soal mahal atau murah. Di manapun tempatnya, di dunia maupun di akhirat yang namanya utang itu harus dibayar. Anak-cucu yang punya kewajiban untuk itu jika ditinggali utang. Ngali itu tinggalannya cukup. Kewajiban anaknya itu bukan tanggungannya sendiri. Jika ia lupa, yang tua-tua punya kewajiban mengingatkan,” tandas Prawira.
Kisah Prawira ini membuat Biru Langit sedikit tahu, pamannya seorang yang bersahaja.
“Aku pikir beruntunglah akhirnya paman mengingatkan,”
Waktu itu anak-anak Surat semakin bertambah tidak betah. Menjadi gampang tersinggung. Andaikata kelima anaknya mampu patungan membeli seekor sapi. Ah, kalau demikian jangan-jangan Surat sedang gila dengan sapi. Tapi semenjak lama rasa-rasanya ia tidak sedang membutuhkan sapi seekor pun dari anaknya. Surat tahu bagaimana hidup anak-anaknya. Yang merasa rendah diri, tersinggung, cepat marah. Surat tak pernah pula berkhayal hendak memiliki sapi lagi. Kendati udara bulan ini menyejukkan hidup setiap rojokoyo.
“Satu-satunya jalan, ibumu berharap ada orang yang membuka utang piutang ini. Atas dasar apa yang seringkali diutarakannya. Mudah-mudahan pintu itu menganga. Dan terbuka hatinya bagi keluarga Ngali. Surat mulai punya keyakinan untuk itu. Sebab setiap orang punya kewajiban untuk menjunjung tinggi nama baik keluarga. Apalagi Ngali laki-laki tanpa dosa yang semasa hidupnya taat dan di ujung kematiannya tubuhnya dirusak oleh segerombolan orang ktika ggr Gstok puluhan tahun lalu. Jasadnya dibuang entah kemana. Kasihan. Ibumu juga kasihan. Sama halnya dengan perasaan ayahmu. Anak-anak sprti kamu paling-paling kasihan sebatas tidak pernah tahu hidup bersama mendiang Ngali. Stiap malam ibumu hanya bergelut dengan rasa kasihan. Kalau tidak? Dimana ia harus menyimpan rasa kasihannya? Dimana dirinya tepat menempatkan perasaan itu menjelang malam ini. Makin dimakan waktu, rasa kasihan pada mendiang Ngali, makin membebani perjalanan kematiannya saudaranya itu dengan utang. Ataukah ibumu kasihan menagih utang karena dia perlu untuk itu? Sama saja baginya. Baginya utang tetap utang. Jika mau jujur saya kira suara hati ibumu yang akan keluar, ia butuh uang. Dengan begitu ia berharap dapat uang.”
Sudah keterlaluan Surat harus berucap demikian dalam hatinya: “Setiap malam, mustinya terbukalah hati makluk-makluk Tuhan. Sedang dalam sebulan saja ada tigapuluh malam. Ya, Tuhan apakah Kau buat anak mendiang Ngali itu sungguh lupa? Aku memaklumi jika Kau lupakan ia. Seharusnya dialah yang berpikir tentang aku yang miskin ini. Bukan aku yang memikirkannya. Harusnya dialah yang tergerak hatinya membayar tinggalan utang. Bukan aku yang Kau paksa memintanya kembali. Sehingga aku berprasangka lain. Sampai setiap malam aku juga berpikir apa yang pertama kali dapat kulakukan esok paginya. Semuanya agar aku tak jatuh pada prasangka buruk-Mu. Demikian malam ini aku berpikir dan besok pagi kuserahkan segalanya pada-Mu. Kenapa tidak Kau buat Marsitun dan keluarganya lupa sekalian sehingga tidak sedemikian takut menghadapi kuasa-Mu.” Ini prnah trjadi di suatu malam yang kian kelam dengan jengkerik dan udara dingin. Pada waktu Prawira masih dalam mata hati Surat terlelap tidur di usia stngah tuanya. Sama halnya anak-anak mendiang Ngali. Dalam mata hati Surat ia memejamkan mata dengan selimut kehangatan. Demikian juga suaminya, kelima anaknya. Lalu Suratpun pun segera menyusul turut memejamkan mata. Tidur. Entahlah apa yang tengah terjadi semenjak malam memeluknya. Barangkali cuma mendiang Ngali yang tak juga jnak dalam tidur. Atau ia tengah bangun di antara tidur panjangnya? Tak satupun orang tahu.
“Kesokan harinya,” knang Prawira, “Harapan ibumu segala persoalan menjadi terang. Ia merasa seolah hatinya mencair. Ibumu pasrah. Ia serahan segala sesuatunya padaku. Hebatnya dia percaya akan kebenaran di pihaknya. Tetapi, ia pun yakin semuanya benar dan keyakinan itu tidaklah akan sama-sama dipertahankan. Ada kebersamaan. Mencari kebenaran bersama, kesepakatan bersama karena ada yang harus dijaga. Yakni kekeluargaan. Tidak ada yang lebih tidak patut dari kerenggangan hubungan keluarga. Satru itu saru. Semua tahu itu. Lagipula ibmu sadar meski dirinya perlu sekali, uang bukan hal yang penting bagi anak-anak mendiang Ngali. Taruhlah sapi dan calon anaknya itu duaratus ribu. Ibumu pun tidak bisa berbuat banyak dengan sejumlah itu. Apakah lantas mampu mendudukan anak-anaknya jadi pegawai dngan jumlah uang itu? Kiranya tidak. Tiga-empat bulan tentu lenyaplah duaratus ribu. Uang mmang bukan hal penting. Hitung-hitung beramal baik sesama anggota keluarga sendiri. Ibumu terus berdoa satu hal hidup ini diindahkan. Ibumu tahu warisan seringkali jadi biang ketidakberesan. Dirinya tidak ingin begitu. Ia siap mengalah barang sedikit. Apa salahnya berbuat demikian. Sekali lagi demi menjaga nama baik hubungan keluarga. Kendati dengan dalih menjunjung tinggi leluhur keluarga, ibumu tidak melibatkan anak-anak dan ayahmu. Cukup dirinya sajalah. Karena itu ia sempat mengkuatirkan sumbangsih dari aku, Pakdmu. Tentu bisa jadi persoalan lain yang tidak kalah ruwetnya dari sekadar mencari kesepakatan nilai uang yang hendak diganti. Atau kesepakatan dalam bentuk apa nilai sebesar itu hendak diwujudkan. Hak waris itu urusan si mati dan yang ditinggalkan. Lain tidak. Ya, sumbangsihku tidak tanpa pamrih. Lantas apakah aku dikiranya berharap dapat kecipratan? Bukan berarti begitu. Ini mungkin karna ibumu ingin dituakan, karena telah melaksanakan sebagian kewajibannya. Untunglah dia lalu mafhum. Di sini ibumu merasa dirinya tidak jujur. Acapkali dalam situasi begini ia merasa seolah hatinya mencair. Pikirannya tidak. Di benaknya masih bergumpalan. Nyaris cuma tidur saja maunya.”
Prawira tunjukkan bagaimana dia sungguh-sungguh akan memenuhi janjinya.
“Saya panggil ibumu. Maksudku biar dia bicara langsung dengan anak mendiang Ngali. Ibumu menyusuri jalan belakang kebun. Kira-kira sepuluh menit jalan kaki. Pintu rumah itu agak menjorok ke dalam dari pagar. Surat berjanji tidak bakal menyiksa diri di rumah itu. Saya sendirian sudah ke tempat itu membicarakan hal yang sama. Jadi tentu bicara cepat soal sapi itu. Dan lekas ibumu bisa pulang. Saya prhatikan jari jemari ibumu ingin lekas terima uang ribuan. Dia sudah bosan seharian jualan daun pisang. Ia mau dagang yang lain. Sebelum ini, ibumu sudah mendengar bakal terima kurang lebih duaratus ribu rupiah. Bisa kamu banyangkan berapa hari dia harus tunggu jumlah itu bila dari ayahmu. Dia utarakan kabar itu biasa-biasa, harapannya dengan biasa-biasa, pasti jadi kenyataan. Tentu ibumu bakal ternganga dibuatnya. Oleh karena itu aku lebih banyak diam. Biarlah itu urusan yang berkepentingan. Yang penting ia sudah memberi jalan lempang. Entahlah, siapa tahu dalam hati Prawira merasa telah memperjuangkan setengah mati hak kakak dan keponakanku, meski dengan keringat yang tak deras mengucur. Sekaligus dalam hatiku berbicara. Berbicara dalam bahasa batin tentang alam setelah alam manusia. Tentang akhirat. Bahwa manusia mati bagaimanapun masih layak berhubungan dengan mereka yang masih hidup, sebagaimana di dunia boleh berjanji, saling menolong. Ya, begitulah kiranya.”
Selebihnya Biru Langit tahu siapa yang akan diceritakan Prawira, seperti pernah didengar dari ibunya. Yakni tentang istri Prawira, Yunani. Lantas Prawira ceritakan bagaimana anak mendiang Ngali bicara dengan Surat. Surat nampak tidak terlalu akrab. Memang jarang ia bertandang ke rumah itu. Apalagi tanpa urusan penting. Justru dengan Prawira terlihat baik sekali. Tentu bukan karena keduanya sudah saling ngobrol. Dan aneh sekali di mata hati Surat, anak perempuan mendiang Ngali ini tak terlalu cantik. Boleh dibilang sewot. Kalau ukuran kecantikan itu warna kulitnya yang putih, diakui memang. Perempuan itu terus bicara. Surat kurang peduli. “Saya betul-betul minta maaf,” kata perempuan itu lembut. “Pakde Prawira juga begitu. Kok tidak dari dulunya mengingatkan. Biar tak jadi masalah seperti ini,” katanya. Surat kelihatan malu. “Kenapa berkata begitu? Mestinya kita sama-sama beruntung. Tuhan mengingatkan kita,” bgitu Prawira mnanggapi. Mendengar jawaban Prawira, hati Surat terasa diguyur air dingin. Sejuk. Surat menarik nafas dalam. Di pojok hatinya yang lain ada harapan besar. Dibuangnya pikiran bahwa ia sedang mengemis. Rasa malu disimpannya baik-baik. Surat keasyikan. Hampir saja telinganya tak sudi mendengarkan apapun kecuali perihal uang. Surat berprasangka, begitu pentingkah pilihan uang duaratus ribu? Kurang sedikit juga tidak apa? Lalu seberapa penting si suami bagi perempuan cantik hingga Surat harus bersusah payah duduk di tempat itu. Suruh saja Prawira bawa uang itu, bukankah sudah selesai? “Saya sudah bicarakan dengan suami saya,” kata perempuan itu. “Ia setuju. Utang harus dibayar. Tetapi suami saya mau menggantinya dengan sewa tanah empat tahun. Tanah belakang langgar itu. Katanya lagi daripada tidak sama sekali.”
Prawira gambarkan bagaimana raksi Surat mndngar itu. “Daripada tidak sama sekali? Bgitu katanya. Ya, kenapa jauh berbeda dengan hitung-hitung beramal baik dengan keluarga sendiri? Tanah itu tidak bisa ditanami. Tanah itu penuh pasir dan batu kali. Tahun ini cuma duapuluh ribu dari hasil tebu. Lalu berapa untuk empat tahun? Ibumu pilih tidak sama sekali. Ibumu tak sudi menyiksa diri. Ibumu mau melompat saja dari kursi. Lekas keluar. Belum juga kesampaian maksudnya, mendadak ribuan kunang-kunang bersarang di rongga matanya. Perempuan itu masih memaksakan diri. Di luar ia hampir jatuh. Ada yang lain di pelupuk matanya. Ketika kutanya sehabis pingsan, apa kata ibumu?”
“Apa, Pakde?”
“Dia hanya melihat beberapa ekor sapi putih bersih.”
Tapi dalam hati Prawira curiga, jangan-jangan istrinyalah, Yunani yang mrmaksakan kehendaknya untuk itu.
Sebelas
DI MUKA rumah ada gudang dan toko milik Prawira yang dijaga laki-laki beberapa tahun lebih tua dari Biru Langit. Namanya, Bari. Entah siapa lengkapnya. Dia juga tinggal di situ. Sering juga dia harus menjaga gudang dan tokonya untuk Prawira dan istrinya.
Biru Langit masih mengenakan pakaian yang sejak pertama kali datang. Dengan pakaian dril kusam milik ayahnya, topi hitam yang hilang lakan beludrunya. Sepatu kumal pengganti sandal. Masih tersisa rasa canggung, sebagaimana kali pertama kaki menyetuh ubin bangunan yang persis museum tua, rasanya seperti anak-anak ayam berjingkrak di rumah majikan. Tentu saja tanpa dosa. Seperti pula kisah-kisah legenda rakyat laki-laki pribumi yang menawarkan jasa pada Tuan, Biru Langit datang dengan mengantongi kemauan untuk membantu kerja. Sama-sama rendah hati tanpa sedikitpun terlintas pikiran tentang rendah diri. Tentu ini khas anak muda. Orang tua boleh tidak suka. Beruntung sekali ketika penjaga gudang itu membawa pertanyaan perihal itu. “Orang muda dulu kiranya punya prilaku seperti aku, baju yang kupakai baju ayahku.” Jika kalimat itu diteruskan tentu Biru Langit akan lebih kurang ajar. Misalnya begini: Paling kamu bekerja juga karena kebaikan bapak kamu!
Syukurlah, dipegangnya batok kepalanya, masih utuh. Cuma pikirannya yang tumbuh. Di hadapan pnjaga gudang itu, Biru Langit salaman gaya Jawa. Topi nyaris lupa dicabut. Untuk sementara pikirannya berpindah pada nasib sepatu di luar teras. Padahal gerimis. Lima menit lagi dia tahu apa yang diperbuat atas nasib sepatu kulit coklat tua bekas pengganti sandal itu. Tiba-tiba dari luar laki-laki panjaga gudang yang dari tadi terus memandanginya itu, terusik. “Sepatu!” Biru Langit tentu tahu apa yang dibenak laki-laki itu selama terus memandangi dirinya. Kasihan. Sedangkan Biru Langit cemas. Mencemaskan baju, sepatu, topi. Lantas kembali aku dihadapannya, siap dinikmati lagi. Dia punya istri yang seagama. Dua-duanya masih punya orangtua. Tapi tidak pernah bermasalah. Justru yang menjadi masalah adalah bagaimana bisa dia itu bekerja di gudang milik Prawira, pamannya.
“Ya, bagaimana bisa?” tanya Biru Langit.
Laki-laki ini nampaknya keras kepala karena tidak segera menjawab pertanyaan Biru Langit. Ini terbukti ketika dia menginginkan Biru Langit mendengar awal mula pernikahannya.
“Kami menikah dengan upacara yang mewah tanpa kehadiran orangtua. Cukup beberapa orang saksi dan mengundang beberapa orang santri. Jika mau jujur sungguh tidak ada hal yang istimewa. Bahkan bagiku suatu lelucon. Sering aku ngakak dalam kesedihan. Lihat, Mak! Anakmu bergelimang dengan pesta. Sedang istriku yang sejak itu kupanggil dengan Seruling makin rajin menciumiku dari belakang. Dia berani, karena dua tahun jauh lebih tua. Sungguh, tidak ada yang istimewa hingga aku dianggap Dewa. Bagi istrku dunia ini begitu indah tanpa cacat. Padahal, sehari-harinya aku hanya mengoleksi barang-barang milik bapak dalam kopor. Terakhir, sepatu kulit yang dulu dipakai menghadiri upacara-upacara hari koarpri di kecamatan oleh ibu. Karena ibu bekas tukang sapu, kecuali di andang sepeda terselip sapu tidak ketinggalan topi. Melajulah sepeda Jawa buntut! Kring! Kring! Sepatu itu pula yang kuberikan pada istriku, dan aku katakan padanya, ini sudah kubeli bertahun-tahun lalu hanya untuk calon istriku kelak. Kamulah orangnya sekarang, begitu kataku.”
Selama ngobrol itu, laki-laki yang ternyata menarik simpati Biru Langit itu, menulisi dalam buku catatannya, barang-barang isi gudang dengan lincah. Nampak ia cukup berpengalaman dalam urusan pekerjaannya. Sebetulnya, laki-laki ini lebih berperawakan sebagai majikan daripada Yunani. Orangnya lucu, hatinya terbuka dan sepertinya ia punya pandangan setiap manusia di hadapan Tuhan itu sama. Tidak ada orang miskin-kaya, buruh-majikan, nyonya rumah dan tukang masak. Tiba-tiba dari arah tembok samping terdengar suara istri Prawira, entah apa yang dibicarakan perempuan itu. Bari asal bicara saja, “Jangan Asem? Panggang Cumi-Cumi? Gule Kambing? Cap Jay? Sop Ayam? Aku nggak dengar!” Lantas dia tertawa. Biru Langit mendadak ikut tertawa. Itulah rasanya kali pertama anak itu tertawa sepanjang waktu dalam ingatannya. Suara dari tape recorder dengan kaset-kaset dangdut terbaru tiga hari tiga malam belum juga istirahat. Sekali-sekali lagu cinta penyanyi legendaris Elvis Presley Love Me Tender diputar-putar ulang sampai ringsek. Bari tidak pernah peduli dia dengarkan sendiri ataukah tidak, yang penting dia putar kaset-kaset itu.
Kisah aksi peluk cium tengkuk dan cuping telinga suami-istri berlanjut lagi.
“Justru makin lama aku makin tidak merasa apa-apa. Tangan Seruling yang hitam kekar bagiku terkesan kelembutan yang dipaksa. Sebagai putri seorang petani penggarap, ia terlampau kasar. Persis ibunya. Begitulah, sampai bulan madu pertama kami pun, aku masih disibukkan oleh pikiran-pikiran yang berbeda sekali dengan istriku. Dalam otakku, aku menginginkan sesuatu hal kekerasan. Dunia bagiku adalah sesuatu yang keras, kejam dan kasar. Sedang istriku memilih kelembutan. Kelembutan anak petani kaya yang tiap hari bergumul dengan lumpur dan berjemur di terik matahari. Aku tambah ngakak ingat petuah ibu mertua dulu jauh hari sebelum kami menikah: jodoh tidak harus sama! Kami bulan madu dengan sisa wesel oma Seruling lma puluh gulden dari negeri Belanda. Sehabis dipotong segala macam di Bank, kurang lebih tinggallah enampuluh ribu rupiah. Kami mengunjungi sebuah museum sejarah di Solo. Bukan pilihanku tapi pilihan Seruling. Kukira ini semua tahu. Aku tidak terbiasa menghadapi pilihan-pilihan. Alasannya dulu oma kerap pula pergi ke tempat ini. Katanya baru kali ini Seruling bisa menikmati keindahan museum ketika bersama aku. Aku cuma tersenyum. Aku sendiri tidak tahu apa-apa kecuali heran dan berdecak kagum. Saban kali ke tempat itu, oma Seruling pasti mencoba memukul gamelan ini. Aku tahu dari kata Seruling. Padahal seperangkat gamelan itu sudah berserakan dan penuh debu. Bule itu kurang ajar juga, pikirku. Sudah tahu di pinggir balkon ditulis ‘dilarang memukul gamelan, masih juga nylandit. Aku belum pernah kenal oma Seruling. Kupikir tentu seperti ibu Seruling, pekerja keras dan asal tukang perintah. Seruling membawaku melihat jung, perahu cadik berkepala naga. Lampu-lampu gelap dan dupa sesaji membuatku bergidik. Lalu Seruling menggandengku mendekati cupu lonjong, lemari jam besar peninggalan Kanjeng Sinuwun Paku Buwono. Habis itu aku lupa. Yang kuingat, aku selalu diperlukannya seperti sebuah boneka mainan. Di tempat umum, sering aku diciuminya di entah bagian mana saja, asal kena dan aku diletakkannya di tempat yang tinggi-tinggi. Nyaris seperti benda antik di museum yang ditaruh di kaca showcase. Seruling jarang sekali cerita perihal bapak-ibu. Barangkali ia takut dirinya kucurigai merendahkan aku. Tapi mungkin juga Seruling takut kepergok bahwa ia sebetulnya tidak sanggup hidup sendiri. Seruling hidup dan bisa berbuat apa saja lantaran bapak ibunya—seorang petani penggarap, pekerja keras.”
“Kamu belum jawab pertanyaanku, Bari.”
“Tunggu dulu,” jawabnya.
Sesudah mengatur letak satu karung gabah kering, kembali Bari bercerita.
“Di tempat itu pula, dulunya pertama kali ia bilang, ‘Aku mencintaimu, Sayang. Itu sebabnya kamu kubawa kemari.”
“Lalu? Hanya itu saja?” bagian ini nampaknya menarik hati Biru Langit.
“Oh, tidak. Di situ lama kami berdiri di muka cupu lonjong. Bahkan seringkali mengganggu pengunjung lain. Lantas mereka mengalah. Lenyap begitu saja. Seorang bocah kecil menubruk lututku. Tenang, orangtuanya. Usai meminta maaf lantas amblas. Sudah itu, Suruling mengatakan keinginannya—Aku ingin kamu bekerja keras seperti bapak, membantu menggarap sawah, sampai umurku yang ke duapuluh enam, cuma engkau yang sudi jadi suamiku. Aku perawan tua, Sayang. Seruling makin erat menggenggam tanganku. Itu yang aku suka. Kalimat-kalimatnya selalu betul dan jujur kemudian selalu dibuntuti tawa cekikikan yang seolah menganggap itu semua main-main. Kupikir Seruling perempuan yang kupacari dengan tidak sengaja yang rendah hati pula dan menempatkan aku suaminya, sungguh-sungguh tiang besar. Hebat bukan?”
Selama dipacari gadis Seruling itu, Bari juga katakan dia melupakanku sejenak perihal sepeda bapaknya yang sudah lama dipakainya untuk jualan tembakau keliling. Sesekali bapak mengenakan baju korpri, tapi habis pensiun tak jarang digunakannya untuk penutup kain tidur. Dunia apa ini sebetulnya! Terasa sekali makin penuh sesak basa-basi lama. “Aku demikian benci mertuaku yang semenjak dulu memandang bajuku, serbet bekas. Tapi di hadapan putrinya musti kukatakan: Aku menaruh hormat pada ibu-bapak orangtua yang pintar mendidik anak hingga betul-betul jadi orang. Ini semata-mata untuk membalas kebanggaannya terhadap aku kemudian seperti sekarang kukawini putrinya dan memberlakukan aku bagai seorang Raja. Ini saja aku curi pendapatnya dari Seruling. Berulang kali dia berujar: Raja harus bekerja keras. Ketika kutanya dari mana Seruling mempelajari kata-kata itu, katanya dia belajar dari oma. Kata yang juga diajarkan oma pada ibu Seruling—perempuan bukan Jawa yang kubenci, kendatipun sebetulnya hatinya bersih. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa memperistri Seruling. Kupikir betul juga oma. Museum itu peninggalan orang-orang yang suka bekerja keras. Selain itu aku pikir juga betapa mbuletnya asal-usul raja itu.”
Di benak Biru Langit pada waktu Bari mengatakan, “Orang yang bekerja keras buahnya kehormatan,” dia seperti kalimatnya sendiri dan sepertinya di bukan anak menantu seorang petani. Dugaan Biru Langit salah karena itu juga untaian kata dari perempuan Seruling yang lebih sebagai putri seorang sinyo Belanda. “Tapi bayangkan jika seruling berujar begini: Jika setiap kali suamiku pulang kerja, dari ladang mengayun cangkul, aku akan memijitnya dengan sedikit balsem, kubuatkan suamiku wedang jahe biar tubuhnya hangat lalu aku akan tidur di dekatnya. Apa pendapat kamu?” justru Biru Langit kena sasaran. Dia harus jawab pertanyaan yang kurang dia mengerti betul itu.
“Sungguh, ini bukanlah sebuah negeri impian,” lanjutnya. “Sering dalam suasana hening Seruling menanyakan pendapatku tentang cinta. Lalu aku jawab dengan sesuatu yan amat kabur. Sebetulnya aku bisa menjawabnya dengan sesuatu yang lebih gamblang. Misalnya, kerja. Tapi aku takut perempuanku tersinggung. Mertuaku sendiri kerap kudengar tanpa pertanyaan semacam itu kadang-kadang main tendang pintu, perabot-perabot dapur ringsek terbanting. Kalau istriku mendesak, kujawab dengan tawa cekikikan dan main-main. Kukatakan padanya bahwa cinta adalah bahasa-bahasa tubuh, ciuman, saling gosok, saling tindih dan saling ringsek. Bukankah bahasa-bahasa tubuh semacam itulah yang sesungguhnya memberatkan kami untuk saling berpisah? Begitu sederhana.
“Apakah aku masih lama menunggu pertanyaanku kamu jawab?” watak asli Biru Langit mulai muncul. Dia nampak tidak sabar.
“Begitulah. Tubuhku kian hari malah bertambah kurus. Lain sekali dengan tubuh dan perut Seruling. Semakin anakku mendekati lahir, tubuhku makin kurus kering. Ibu mertua dan bapak berharap betul anak Seruling laki-laki. Sama juga dengan istriku. Sedang aku tidak berharap apa-apa. Akhirnya anak kami lahir perempuan. Aneh, semenjak itu ibu mertua sedikit berubah lunak. Barangkali ia cukup mengerti sikapku saat aku diam ketika yang lain ribut berharap anakku lahir laki-laki. Entah mengapa sejak punya anak, aku terus teringat bocah kecil yang menubruk lututku di museum setahun lalu, lantas kupelototi ibunya. Aku tahu jika anakku lahir laki-laki, kelak besar bakal didaftar ke dinas tentara. Dua adik Seruling sudah lebih dulu. Cuma mau memburu kehormatan. Kini bayangkan jika aku sendirian di museum tua ini. Betapa tubuhku karatan dan penuh debu. Segala pikiran segera kubuang karena aku teringat hal lain jauh sebelumaku bulan madu di museum. Ini sering kuutarakan pada istriku—Seruling, aku ingin melahirkan anak-anakku lewat rahimmu. Akh, basa-basi apa lagi ini. Sungguh ini bukan sebuah negeri impian. Semenjak anakku lahir dan ibu mertua berubah, aku gampang sekali tersinggung.”
“Bari! Bari!” suara datang seperti dari dua arah.
“Kamu masih belum jawab?” Biru Langit mendesak.
Perempuan Yunani, asal sumber suara itu terus tak bergeming. Bari panik karena suara itu seperti lengking tangis bayi yang khas, yang mengingatkannya pada anaknya. Jantungya agaknya berdetak keras. Tepat saat itu kabel televisi dan tape recorder begitu saja dia cabut. Padahal jaringan televisi milik pemerintah tengah menayangkan nukilan film tentang dua budak pelarian Afrika yang diburu pasukan bayaran bersenjata dan menunggang kuda. Bayangan laki-laki itu sepertinya sedang berhadapan dengan dua sersan tentara berseragam. Bari kelimpungan. Dikupingnya, serasa ada sebuah pukulan tajam.
“Aku sendiri tidak tahu apakah Seruling masih istriku atau bukan?”
“Lho, kamu merasa jadi suaminya apa, nggak?” Biru Langit berniat bantu pecahkan masalah.
“Kamu tahu, aku ini sesungguhnya cuma jongos Seruling, ibu dan bapaknya. Aku pesuruh!” Dia menunjukkan kegeraman.
“Pak! Ini bagaimana pesuruhmu ini, mau melawan. Dipanggil nggak nyahut-nyahut!” Yunani nyaris teriak dan membusungkan dada. Untung waktu itu, suaminya tak juga nongol. Jika tidak, tentu masalah tidak kalah ruwet dengan soal laki-laki macam begini. “Mertuamu cari kamu karena kamu nggak ngurus surat cerai istrimu. Apa kamu nggak punya duit, ha?”
Bari diam saja dan cuma memandangi Biru Langit.
“Kamu juga!” giliran Yunani melototi Biru Langit. “Ngobrol dengan Bari. Jangan dicontoh itu anak. Dasar anak tak tahu diuntung! Istrinya juga. Harusnya bersyukur. Sudah perawan tua…!”
Entah setelah itu bicara apa. Dia baru berhenti sehabis Biru Langit sudah tak mendengar apa-apa. Lantas dia nylonong pergi. Pintu kamar Bari dibanting. Bruugg!! Rupanya sisa tumit sandal menyumbat lubang pintu. Bari membanting diri, menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Menimbulkan bunyi reot ranjang kayu. Barangkali ini disengaja. Seperti tidak tahu saja watak Bari. Banyak melucu.
“Kasihan, Raja yang malang,” pikir Biru Langit.
Raja yang pemberani memperistri putri Seruling, putri yang membuat ciut nyali setiap lelaki yang mau mendekati dia. Ngilu melihat kuku yang tajam mencengkeram nasib. Biru Langit terus membolak-balik pikirannya. Lucu memang dan sungguh ini bukanlah sebuah negeri impian.
“Kang Bari!” giliran suara Seruling yang di kuping Bari.
Tidak cuma di kuping laki-laki itu. Biru Langit mendengar pula. Ini fakta. Biru Langit mendengar suara istrinya. Terlihat istrinya menampakkan gigi-giginya yang utuh dan putih. Ketika melongok keluar jendela, bagi Bari semuanya tetap seperti dulu. Tidak berubah. Masih terdengar suara mertuanya—Suruh suamimu ke ladang. Laki-laki seperti perempuan saja.!
“Bagaimana apakah aku masih perlu jawab pertanyaanmu?”
“Ya, aku sudah tahu semua?” jawab Biru Langit.
“Apa itu?” Bari memancing.
“Apakah aku perlu ceritakan kembali kisahmu itu?”
Kemudian, dua-duanya tertawa meledak.
Duabelas
GUDANG dan toko depan rumah besarnya, itu pertanda keluarga Prawira telah gagah mengarungi bahtera. Gudang tempat menyimpan hasil bumi tanah tegal dan sawah tak pernah sepi dari isi. Toko yang menjual perkakas rumah, peralatan dapur, sembako dan keperluan lainnya lebih dari cukup untuk menggantikan pekerjaannya yang telah hilang bertahun-tahun lalu—dia sendiri menyebutnya ini musibah yang anehnya tak ia ketahui ujung pangkalnya. Sebab itu kepada siapa saja, Prawira selalu murah memberi nasehat agar berhati-hati dalam setiap kerja. Dan dia pun tak segan-segan mencontohkan dirinya. “Musibah itu datang tak pernah diundang,” katanya. Musibah pula yang bagi Prawira tak pernah bisa dihapuskan dari garis-garis hidupnya.
“Waktu itu aku baru duapuluh nam tahun ktika masih bekerja sebagai juru tulis di pabrik gula Presil, Jengkol. Namun karena pekerjaanku tak di lapangan, orang tentu menyangka umurku baru sembilanbelas atau duapuluh tahun. Pada waktu geger Gestok, tak seorangpun karyawan yang berani pulang dan meninggalkan pabrik. Termasuk aku. Untuk makan pun, tak berani. Apalagi rumahku yang dulu dibatasi jalanan beraspal kecil yang orang tahu sebelah timur jalan sudah telanjur di cap desa BTI 43) terutama oleh orang-orang santri dan tentara,” tutur Prawira.
“Jadi memang benar Pakde orang PKI?” Biru Langit terperanjat karena apa yang dia tahu tentang PKI adalah setan yang membangkang perintah Tuhan.
“Aku memang tinggal di kampungnya orang PKI dan aku tidak tahu menahu PKI. Yang aku tahu bagaimana cara-cara mereka nyrobot tanah orang. Aku tahu sendiri itu di Jengkol,” Ujar Prawira.
“Bagaimana, Pakde?”
“Kejam. Benar-benar cara komunis. Menguasai tanah-tanah perkebunan dan membunuh yang melawan. Tidak ada alasan bagiku untuk ikut-ikut dengan mereka.”
“Lantas? Dipaksa?”
“Tidak. Justru aku jadi korban. Beberapa bulan berikutnya, pecahlah geger Gestok. Banyak orang yang mereka anggap komunis dibunuhi oleh alap-alap samber nyowo. Orang-orang bringas dengan ikat sarung di pinggang, ikat kepala dan sebilah pedang mengndarai truk meraung-raung dengan di pojok-pojok kampung, menangkapi ke rumah-rumah penduduk. Hampir sepertiga laki-laki di timur jalan itu hilang setelah beberapa kali truk itu berhenti di pojok jalan kampung. Mereka dikumpulkan di suatu tempat sebelum akhirnya setiap malam dihilangkan, dibunuhi seperti kambing.”
“Dimana Pakde saat terjadi itu?”
“Pakde di dalam pabrik. Lima hari lima malam lamanya, tidak makan.”
“Bagaimana Pakde tahu?”
“Budemu yang cerita. Karena Bude masih sempat pergi ke pasar sesudahnya. Pedagang pasar di situ katanya hilang 40 orang tanpa kabar.”
“Jadi Pakde sungguh-sungguh tidak tahu?”
“Ya. Bahkan Budemu lah orang yang menyembunyikan adiknya di dalam gudang. Sampai pucat juga karna tak doyan makan. Itu terjadi sehari sesudah tentara menyerbu. Itu belum cukup karena orang-orang membawa pedang itu masih minta sumbangan perempuan-perempuan dua ceret kopi tiap malam, juga nasi bungkusan.”
“Pada saat Pakde nggak doyan makan?”
“Ya. Begitulah kenyataannya. Setelah waktu berganti, bisa keluar dari pabrik dan setelah pimpinan pabrik pun diganti beberapa bulan kemudian, Pakde sudah dipulangkan karena pekerjaan sudah diisi orang. Begitulah aku akhirnya pindah ke sini dengan sedikit sisa pesangon. Bisa hidup setelah membeli sawah dan bisa hidup. Ada ratusan karyawan yang diperlakukan seperti aku. Untungnya, sebelum meninggalkan pabrik aku sempat memasukkan orang-orang yang masih saudara dekatku. Sekarang mereka masih bekerja dan bisa makan dari hasil pekerjaannya maupun uang pensiunannya,” kenang Prawira.
“Menjelang petang, beberapa orang pulang dari sawah dan makan di belakang rumah, siapa mereka Pakde?”
“Buruh tani. Mereka sama seperti kita orang-orang yang terbuang. Mereka aku pekerjakan untuk menggarap sawah di sini.”
“Orang-orang terbuang? Apa sebabnya?”
“Itu tidak penting untuk diperdebatkan. Tapi bila waktu mereka senggang bicaralah sendiri pada mereka. Asal tahu saja, orang-orang itu sulit untuk bicara, karna penderitaan telah mengajarkannya begitu?” tegas Prawira.
Waktu petang tiba. Bulan sabit menyisir rambut pohon-pohon. Matanya persis parang. Mengancam. Lolong anjing, kakak gagak. Antara gelap dan terang. Semenjak banyak cerita saudaranya saudaranya dibunuh, sungai licin yang mengalirkan air bening di hadapannya srasa kadang-kadang berubah menggiring darah. Bongkahan batu seperti potongan bangkai-bangkai busuk. Antara senja dan malam. Bulan bertengger dan trlihat airmatanya jatuh di tulang lipatan daun-daun. “Di situlah di gubuk kecil berdinding kayu. Kutemukan saudara Abahku yang hilang, di sini. Ketika ada revolusi penyerobotan tanah. Jelas sudah! Kutemukan juga anjing galak, gagak,” tutur buruh tani yang mngaku brnama Katam itu.
Biru Langit juga mlihat bulan sabit di kebun karet mungkin sama dengan di kampung, di kebun tebu, kebun teh. Kali kecil yang mengalirkan air bening kejatuhan cahaya bulan persis genangan darah campur pasir, abu dan debu. Anjing-anjing terus menyalak. Burung-burung gagak tetap mengakak. Katam tersinggung ketika Biru Langit mengatai bulan sabit seperti itu. Sebagai orang yang sinting, usai menghardik Biru Langit, Katam lama terdiam. Barangkali dia kecewa. Menyesal? Tidak sampai hati? Dia cuma melihat kiri-kanan, ilalang, tanggul, batu-bata yang ditumbuhi kumis kucing kering. Remang-remang. Dia cuek Biru Langit ganti kecewa. Laki-laki itu kembali terdiam. Walaupun bicara seperti bicara sendiri atau entah bicara dengan siapa aku tidak tahu. Dhemit? Peri? Siluman? Persetan! Ya, setan
“Semula aku tak mau pulang. Begitu kutemukan kubur saudaraku yang hilang.”
Berhati dingin juga laki-laki itu. Tapi cengeng. Biru Langit terus membujuk dia untuk cerita tentang kuburan massal itu. Masih diseroboti lolong anjing. Biru Langit cerita pula hikmah saudara bagi hidup. Hidup menjelang di usia senja. Laki-laki itu sama sekali tidak respek. Istilah usia senja, tua, kesediahan, terkesan dibuat-buat. Dia tidak tersentuh. Laki-laki itu sudah kebal dengan urusan manusia, basa-basi, bahkan saudara. Barangkali kepala telah lama batu!
“Begtulah bapakku tidak hormat pada saudara. Sudah aku tunjukkan tempat kuburnya, masih juga tidak mau kirim doa.”
“Karena itu Anda tinggal di sana?” kalimat Biru Langit meluncur enteng tanpa arti.
“Ya. Dulu dia dikubur massal di kebun karet sebelah jembatan.” Katam mencari tempat untuk jadi sasaran.
Remang-remang Katam melirik ke arah bulan sabit sering dia kenal ketika terganggu daun-daun karet yang bergoyang. Biarpun tetap omong besar. Tapi bolehlah, cuma karena itu dia memilih tetap tinggal di kebun karet. Di benak Biru Langit sudah jadi kampung siluman. Bulan sabit amat lambat merayap. Malam seperti tidak bergeser. Cuma suara-suara amat banyak, rumit dan membingungkan. Tak bisa dihitung jumlahnya. Jauh lebih ngeri mendengar suara-suara daripada cerita atau melihat susuatu benda. Laki-laki itu terus memuji-muji aku, melambungkan aku mendekati bulan sabit.
“Suatu ktika mendadak rumah kayu tmpat saya tinggal serasa dilempari kelereng.”
“Siapa!!!”
“Ada tamu. Tetangga. Ya, orang-orang itu. Orang-orang yang kehilangan kaki, tangan, perutnya robek, kepalanya berdarah. Kerjanya meringis, menahan perih. Tak pernah dijenguk, tak pernah dikirimi doa keluarganya.”
“Terus?”
“Anhnya, mereka semua baik-baik. Aku sering bertemu mereka, juga saudara kandung bapakku. Sekali waktu aku datang mengambarkan banjir segera datang di kampung ini. Sesuatu yang masuk akal sebetulnya, di kebun karet lereng Kelud itu, ada kali yang melintas di kampung ini. Ternyata benar. Tapi orang-orang sudah telanjur mencap aku bermulut besar,“ begitu kata Katam.
“Bagaimana dengan kuburan massal itu?”
“Tak seorang pun yang percaya. Cuma aku yang tetap kirim doa. Sampai aku pindah kemari justru aku dianggab orang gila.”
Diceritakannya, kali terakhir dia ke sana, hendak mengirim doa ke mendiang saudara ayahnya tempat itu sudah penuh sampah dan baunya entah sampai di hidungnya perlahan-lahan berubah amis darah. Doa dan kembang bercampur sampah terbang ke arah bulan sabit. Dari ujungnya terus-menerus meneteskan air mata. Jatuh di lipatan tulang punggung daun-daun di kebun karet, meresap lewat celah-celah di tubuh pohon karet.
“Aku pilih disebut otak karet, ketimbang dianggap orang gila.”
“Oh,ya?”
Tigabelas
BERIKUT ini kisah buruh tani, Kang Cecep anak seorang algojo pembunuh massa, sesudah peristiwa Kanigoro 44) seperti dituturkan kepada Biru Langit:
“Siapa nama bapakmu?” Biru Langit terpancing
“Matkur,” Jawabnya. “Waktu itu, bapakku cuma disuruh. Yang menyuruh santri-santri. Bila menjelang malam bapakku harus ikut patroli. Tahu patroli apa itu?” kenang Kang Cecep.
“Ya.”
“Patroli menculik orang-orang yang rumahnya sudah ditandai sebelumnya. Mereka dikumpulkan dan lalu dibunuh di suatu tempat tersmbunyi dan kuburnya tiada yang mengetahui sampai sekarang. Bapak pernah ceritakan itu, dia tak pernah peduli rumah siapa itu yang sudah diberi tanda. Tidak peduli orang itu orang komunis betul atau cuma ikut-ikutan latihan baris di jalanan desa. Di kelak kemudian hari dia tahu ternyata banyak yang korban salah bunuh. Kamu tahu apa yang terjadi dengan bapakku?”
“Kenapa, Kang?”
“Karena saudaranya sendiri juga diabunuh.”
“Lalu”
“Bebrapa bulan sesudah peristiwa itu, bapak linglung selama hidupnya. Linglung karena tak seorangpun kemudian berani bicara padanya, padahal dia sungguh ingin bicara apa adanya, bahwa Abah Matkur hanya orang suruhan,” ujar Kang Cecep mengenang kisah bapaknya.
Bulan Oktober hawa dingin dan langit redup. Kampung ini seperti diselimuti nasib buruk yang banyak membuat Kang Cecep merenung, mengenang masa paling berkesan dengan Abahnya yang telah mati suri. Sesuatu pekerjaan yang tak begitu sulit karena nyata-nyata hidup Abahnya hanya sepenggal saja sebelum ia linglung.
Ketika masih di usia yang amat muda, berbekal uang hasil jualan kerbau milik Abah Matkur, Kang Cecep terjebak di ‘kamar gas’ terdampar di pinggiran kota, lalu jualan bakwan, punya anak, punya istri dan punya rumah kecil yang diabangun sehabis kontrak sepetak kamar sempit bersebelahan kali kecil sarang sampah dan nyamuk. Jatuh bangun. Lumrah! Kemudian jatuh sungguhan. Pailit. Lantas pulang kampung, roboh di dengkul mertua. Bentrok. Lalu Kang Cecep menceraikan istrinya tanpa surat resmi. Sekujur tubuh anaknya yang telantar penuh koreng, dikerubuti lalat berkaki serabut, menyaruk dengan tarian yang fantastik Luar biasa. Kerbau itu tak akan pulang balik. Dulu Abahnya tidak ikhlas betul. Kerbau sengaja dibawa kabur dan dilelang.
“Aku pernah terdampar di pinggir kota nyamuk dan jualan bakwan. Ini dosa besar orang-orang pendahuluku, ibu-bapak tidak mendekte untuk saling tahu sejarah saudara sanak famili kami. Jika sungguh mendesak, menyesak, baru kami dipaksa tahu diri. Akibatnya, sering muncul dugaan-dugaan yang terkadang didorong pikiran-pikiran buruk cuma untuk melindungi diri dari hal yang lebih busuk. Persetan dengan itu,” kisahnya.
“Kulihat garis lengkung telapak tangan Kang Cecep hitam gelap,” Biru Langit memancing suatu pembicaraan.
“Aku cuma ingin ceritakan padamu. Aku tahu betul kamu buta tukang bakso.”
Kalimat Kang Cecep terpotong diserobot bunyi gelas-gelas beradu es batu, direbut suara iklan dari radio transistor bekas. Biru Langit dipersilakan minum. Selebihnya dia takut justru bakal menyinggung perasaannya. Biru Langit tahu laki-laki dengan garis hidup yang hitam legam cepat naik darah. Muntap. Dia laki-laki, dalam hal begini laki-lakilah yang cepat sekali tersinggung. Biru Langit juga tahu setiap pedagang harus punya daya tarik tersendiri untuk sanggup menyedot sorot mata-telinga calon pembeli. Di jalan banyak memberikan contoh pedagang asongan, penjual es krim, bakwan, krupuk, minyak srimpi, obat kuat, jamu pegalinu gendong, obat racun tikus. Waktuku demikian hebat tersedot untuk Kang Cecep. Siang, malam, pagi dan sore. Suatu ketika pernah diakatakan punya tenggorokan yang persis mesin pabrik—jika tak diberi oli, kering, serak, seret! Siang yang pengap Kang Cecep digiring untuk bicara soal ‘keanehan’ dia selama jualan bakwan. Kang Cecep tidak tersinggung. Justu lelaki itu mengoreksi kalimat-kalimat salah Biru Langit tentang apa yang dikatakan orang lain tntang dia. Hanya saja Kang Cecep tidak banyak bicara. Sepertinya ada sesuatu yang sengaja disembunyikannya. Untuk itu, Kang Cecep lebih berhati-hati. Dia tahu betul Biru Langit tengah memancing di air keruh. Siang yang pengap tidak berhasil membuat Kang Cecep berang. “Berkah memang selalu berpihak pada Kang Cecep. Tapi tidak untuk seterusnya,” begitu katanya. Biru Langit pura-pura sungguh buta hal sebenarnya yang melindas remukkan Kang Cecep. Siang yang pengap masih tidak berhasil membuat Kang Cecep naik pitam. Biru Langit juga tidak terlampau dungu untuk tahu bahwa: “Rombong selalu pulang kosong tanpa isi,” kata orang.
Bayang-bayang tetangga sering muncul berkelebat. Kabar burung mau tak mau mendesak otak Biru Langit tidak kalah garang di luar jangkauan kehendaknya. Kembali naluri pedagang merasuk. Dihitung dengan angka-angka. Di tempat hiburan, digambarkan Kang Cecep memasang harga seenak udel. Sehabis dikumpulkan dari berbagai dugaan, akhirnya Biru Langit punya simpulkan: Betul. Aku memang tidak berupaya menanyakan langsung perihal ini. Kang cecep ceita sendiri dan Biru Langit kian membumbung tinggi hati. Dugaannya selalu tepat. Laki-laki seperti Kang Cecep memang siap menjalani hidup apapun. Biru Langit melangit, merasa kenal betul dengan lelaki bekas tukang bakwan. Dengan gampang dia bisa menyimpulkan dari orang-orang yang dikenal, tetangga atau dari buku-buku. Dia leluasa mengotak-atik sendiri segala hal tentang Kang Cecep sampai jauh di luar batas. Sampai dia lupa telah dipertemukan dalam suasana yang amat terpaksa dan sama-sama membuat kami terpukul bingung: Sama-sama jadi orang terbuang dan kini di rumah keluarga Prawira.
“Aku kepalang basah kuyup nekad menduga dengan tingkat kekurangajaran yang memuncak: Jika daging bakwan Kang Cecep dicampur aduk daging anjing dan tikus? Bagaimana?” pikir Biru Langit.
Itu baru dugaan. Ingat bakwan, selalu yang ada di pikiran Biru Langit kedua binatang mengendus di tempat sampah busuk dan got-got pesing itu. Dia tidak suka bakwan. Kang Cecep menyita rasa kasihan Biru Langit. Seperti dia sendiri mengasihani Abah Matkur, bapaknya. Sebentar saja diatinggal, karpet alas kasur penuh tahi, air kencing diabetes millitus dan masuk angin. Disebut pakai kata asing, penyakit itu makin seperti hantu kematian. Aku miskin rasa kasih itu. Tapi untuk bisa terus hidup, anggap sajalah een rimpeltje in de oceaan, ini riak kecil di tengah keluasan samudra. Betapa sepele. Kerbau tidak akan kembali sendirian. Umur orang? Nasib orang? Tentu tidak. Kini menyiksa sungguh. Abah Matkur jatuh meluncur ke bawah. Miskin dan jompo. Melilit, menyesak di batang tubuh kerempeng. Abah Matkur dikirim ke T4, sanatorium tempat penampungan orang tua jompo dan telantar di rumah sakit Dr. Soetomo. Ditolak. Saat dikirim ke Yayasan Bakti Luhur, Malang ditampiknya pula. Alasannya, stroke telah menggerogot dan mematikan seperoh tubuh Abah Matkur. Cuma Kang Cecep yang sanggup ngurus Abah Matkur. Tidak kesepuluh anaknya yang lain. Tak ada bekas Kang Cecep membawa kabur kerbau.
“Abah Matkur jompo! Abah Matkur Jompo! Tidak tersimpan sisa kekuatan untuk meletupkan kembali kebengisan. Abah Matkur jompo tak sanggup melihat. Malas salaman pakai tangan, pakai kaki saja. Kepulanganku di rumah disambut dengan kaki. Tidur tidak sanggup membujur, bersijingkat, menggerakkan kaki dan tangan, pakai sandal lalu berjalan ke kamar mandi. Tidak! Terlukis seperti masa silam yang menangis,” kluh Kang Cecep.
Dicritakannya, bagaimana beban Abah Matkur jompo jatuh di pundak Kang Cecep. Tanpa kata-kata. Tanpa kalimat. Tanpa ocehan. Dia angkut saja tubuh ringkih Abah Matkur jika buang hajat, kencing manis. Segala kerja Kang Cecep ditinggalkan dari tukang kayu, tukang batu, tukang bor, tukang bubut, hingga bengkel mesin. Bukan kebetulan sebab memang bukan suatu kebetulan dari kesepuluh saudaranya cuma Kang Cecep yang sanggup meraup tubuh Abah Matkur. Abah Matkur meringkuk, lunglai di pundak Kang Cecep persis kain kumal bekas gombal. Tak ada benci, dendam. Cuma mata Abah Matkur sembab terpejam rapat. Sisa energi tersedot lewat ujung jari mencengkeram kuat di tubuh Kang Cecep. Tak satupun kata meloncat dari mulut Abah Matkur. Dengan kerongkongan yang tengah lupa bagaimana dulu kata-kata kasar meluncur deras bercampur bau busuk liur soal kerbau. Kerbau itu pergi nyasar ke surga ataukah neraka atau nyanggrok di tenggorokan, tidak ada keterangan untuk itu. Amblas.
Otak dan hidung Biru Langit terus penuh sesak bau daging anjing dan tikus campur bulu ketiak. Menyusul, mengejutkan: tetangga punya pikiran sama. Kang Cecep membetulkan. Sudah diduga sejak lama. Persis. Kang Cecep menerima apa adanya. Pasrah. Tidak berniat merubahnya menjelma impian-impian tentang tempat yang enak untuk mati. Kira-kira tempat mati mana yang lebih nyaman kecuali di tengah keluarga?
“Sering kubantu menyakinkan apakah betul Abah Matkur masih hidup. Kupegang bulu mata kiri kanan, denyut jantung di pergelangan. Jika pikiran burukku tentang mati Abah muncul, inggatan tikus yang mati di rombong bakwan, menyerbu,” Kang Cecep betul-betul tercenung.
Biru Langit hanyut oleh perasaan mendalam Kang Cecep. Begitu hebatnya dia ceritakan nasib buruk bapaknya. Dibayangkannya, Abah Matkur, kenapa tidak pilih mati di rumah besar istana kesebelas putra-putranya? Ilusiku jatuh di sorot mata Abah Matkur. Dunia apa-apaan ini! Sekian jumlah anaknya tak satupun sanggup menegakkan istana untuk abah Matkur.
“Tak apa,” sesuatu kekuatan telah membangunkan Kang Cecep.
“Memang sudah berlalu, Kang. Dewa nasib baik tak mau bertamu dan duduk. Yang penting, bertahun sepanjang Abah Matkur jompo, tidak ada dendam,” Biru Langit mncoba mndinginkan pikiran.
Bgitulah. Tuhan juga tidak marah pada Kang Cecep, laki-laki yang entah bagian mana dari struktur tubuhnya yang kecil dan mempengaruhi seluruh jiwanya tersusun dari enzim-enzim, serabut-serabut daging kerbau, anjing dan tikus.
Cerita selesai. Selebihnya banyak orang mencap omong kosong. Untunglah banyak orang tidak suka omong. Juga Kang Cecep. Sudah lama Abah Matkur, seperti sejumlah orang tua umumnya, terserang alzhaimer, pikun. Tak satupun orang atau peristiwa yang pernah terlintas dapat ditangkap dan diingatnya. Di kamar gelap bercampur sisa makanan basi , bau obat, Abah Matkur teriak, ngoceh dan ngomel pesis seng. Apa yang dapat diucapkan, disambar saja. Kian hari, Kang Cecep mulai meragukan diri. Sepertinya penyakit yang sama tengah mendarah daging merasuki batang tubuhnya. Begitulah di hari ini, dia dilupakan.45) Entah di bagian mana. Terutama yang berkaitan dengan kerbau, anjing dan tikus.
Empatbelas
“LIMA sampai sepuluh orang setiap harinya dipekerjakan Prawira untuk menggarap tanah sawahnya. Mereka pekerja keras yang jauh dari kehidupan sebenarnya, keluarga bahkan dirinya sendiri. Tapi mereka sungguh-sungguh bekerja. Tanpa pamrih. Tanpa merasa ditekan. Suka-suka dan suka rela,” tutur Prawira.
“Benar begitu, Pakde?” Biru Langit menyela.
“Buktinya, sekalipun mereka tak pernah protes soal makan, soal upah.”
“Hebat, ya?”
“Sebetulnya memang hebat. Begitu banyaknya jalan hidup yang suram baginyalah yang membuatnya seorang yang hebat. Tangguh. Menjadi buruh di sini seperti itu jelas jalan bagus untuk keluarga Pakde, bagaimana menurutmu?” lanjut Prawira.
“Menurut saya, Pakde juga hebat. Mengumpulkan dan mempekerjakan orang-orang yang sesungguhnya sudah tidak patut disebut hidup. Tapi mereka betah.”
“Kamu tahu apa sebab?”
“Tahu Pakde. Karna Pakde sudah membuka jalan dan menjadi panutan bagi orang-orang itu. Bukankah begitu?” giliran Biru Langit meminta sokongan.
“Aku ingin orang-orang seperti itu jadi manusia. Bukan menjadi setan yang menganggu manusia. Selama ini orang-orang seperti ini lebih dianggap setan daripada manusia.”
“Tidak pernah jadi setan, Pakde.”
“Juga tidak akan!” tandas Pakde.
“Pakde lihat, kamu cukup banyak omong. Ah, kamu ngerti aku tak cuma bicara soal orang-orang itu?”
Biru Langit menggeleng ringan. Pandangannya kosong.
“Pakde juga bicarakan tentang kamu!”
Biru Langit mendongak heran, tapi tidak kaget. Dalam hatinya bicara, Prawira seorang yang keras, tangguh dan percaya diri. Dibayangkannya, bagaimana dia bisa meniupkan kembali ruh hidup orang-orang yang sebelumnya tak pernah punya arti itu. Menjadikan orang yang semula tak bisa bicara jadi lantang bersuara, yang semula banyak omong jadi tukang memicingkan jidat kepala, yang semula pemurung jadi kurang ajar. Bahkan yang semula jadi penurut hingga jadi berontak. Pastilah kini segala yang ada di benak Biru Langit ini sama sekali tak menceritakan dirinya sendiri.
Di saat bicara begitu seorang buruh masuk dan langsung berbicara pada Prawira. Buruh itu meminta sesuatu karena sedang merasa kurang enak badan.
“Badanku panas dingin, jangan-jangan mau kena tipus ini, Kang. Masih menyimpan jamu-jamu? Atau ibu masih ada?”
“Pergilah ke dokter, mukamu pucat sekali,” tegas Prawira.
Orang itu berpamitan setelah Prawira merogoh saku dan membarikan sejumlah uang. Begitu balik badan, orang itu berpapasan dengan buruh-buruh lainnya yang sepulang dari sawah untuk mengambil jatah makan dan upah akhir bulan.
Hari mulai gelap. Apa yang dibicarakan Prawira tentang buruh-buruh taninya membuat Biru Langit banyak berpikir. Begitu keras berpikir, membuat Biru Langit sama sekali tak terusik perihal Yunani, istri Prawira. Orang itu masih menurut Prawira masih pantas jadi perempuan saja, tidak sebagai ibu apalagi seorang pemimpin.
“Semoga tidurmu nyenyak dan bangun kesiangan saja, Yunani,” pikir Biru Langit.
Limabelas
MENDUNG tebal pagi setengah siang itu menutup sepanjang jalan yang meliuk di sebuah desa. Awan gelap dan pengap. Namun hari-hari sekolah Biru Langit tetap lebih cerah, secerah seragam putih merahnya. Ya, selalu cerah, biarpun awan tersaput mendung tebal, namun Biru Langit seperti kawan-kawan lainnya tiada hiraukan semua itu. Sesuatu yang baru diam-diam telah hidup di dalam diri Biru Langit—sebuah kekurangajaran yang diajarkan Bari, anak muda yang gampang tersingguh itu. Sepulang sekolah, Biru Langit telah memicu ulah kawan-kawannya segerombolan bocah untuk asyik menggoda sebentuk tubuh laki-laki yang biasanya berseragam bekas pejuang melawati jalan itu dengan puisi dan lagu-lagu perjuangan. Biru Langit yang sudah biasa menggodanya, dia kemukakan dengan cerita-cerita buatannya sendiri untuk pelajaran Mengarang di kelasnya (biarpun karangan-karangannya selalu diprotes guru bahasanya, karena dianggap tidak masuk akal dan sulit dimengerti).
Godaan segerombolan bocah itu jadilah sebuah nyanyian. Lalu anak-anak itu batuk. Cekikikan. Lantas tertawa ngakak dengan memamerkan bibir-bibirnya yang kadang-kadang persis ikan gurami. Laki-laki itu berjalan seenaknya dengan melenggak-lenggokkan tubuhnya. Bahkan dia berjoget mempertontonkan pakaiannya yang kumal (dasar turunan keluarga miskin) sampai celana dalamnya. Rupanya dia balik menggoda, memperdengarkan potongan-potongan syair lagu dari bibirnya yang kering dan memucat. Syair apa saja. Lagu asal kena. Namun mendung itu menutup raut wajah dan perawakan, laki-laki malang itu. Dia terus menari. Anak-anak itu dikagetkan, seorang laki-laki lain yang baik hati dan sabar yang mengusirnya seperti gerombolan ayam atau kambing. “Tidakkah kamu kasihan, Hah!?” Sontak orang baik hati itu menghentikan keasyikan anak-anak.
Laki-laki yang oleh orang kampung dipanggilnya Ciput itu mulai terisak. Kemudian menangislah dia. Sepertinya dipaksa ada menghentikan tariannya. Sebentar diam tepekur. Matanya menatap hampa. Perlahan kabut tebal itu mulai jatuh di wajahnya. Anak-anak tahu isak tangis itu datang dari jiwanya. Luar biasa, laki-laki yang baik hati itu bisa menaklukkan, begitu mudah menyentuh nurani orang, dalam kesempatan bagaimanapun. Bahkan dalam kesempatan yang tak setiap orang bisa menyentuhnya—semacam kegilaan. Biarpun Ciput, tidak dalam suka maupun duka perempuan tua itu tak segan untuk datang menghampiri, mengelus-elus rambut seperti anak sendiri yang tumbuh liar seperti belantara hutan itu. “Kita pulang, Ciput,” terus saja laki-laki baik hati, bahkan lebih baik dari bapaknya itu meminta sampai kedengaran iba.
Ciput tahu cuping telinganya mendengar sebuah ajakan. Lebih tepatnya bujukan. Tapi mendung tebal dan kabut yang lebih menyerupai gerimis kecil telanjur turun di wajahnya. Ini yang membuat hatinya tak begitu mudah dibentuk setelah waktu yang bertahun-tahun lamanya jiwanya berontak. Kini nyaris mencapai anti klimak karena itu hanya pandangan mata Ciput yang menerawang ke tempat yang jauh. Sejumlah pertanyaan bersarang di batok kepalanya. Anak itu ungkapkan segala gejolak jiwanya dengan bahasa yang hanya dipahami keduanya. “Ciput sudah tak punya rumah. Rumah Ciput tlah tmpat berkumpul dan bercanda dulu, telah hilang. Mataku sudah tidak bisa melihat bunga-bunga yang pernah tumbuh di halaman kita. Juga hijaunya daun yang membuat kita damai di sana. Sekarang, semua telah menjadi rumah baru yang hanya memamerkan topeng-topeng di setiap dindingnya. Tak ada celah untuk Ciput bernafas. Sampai membuat aku sesak nafas dan sakit. Sakit! Sakit. Aku benar-benar sakit berada di rumah itu!”
“Bapakmu cemas Ciput...”
“Bapak? Bukan. Dia bukan bapak dan tak pantas menjadi seorang bapak.”
“Bagaimana kamu bicara seperti itu?”
Di mata Ciput, laki-laki bapaknya hanya lelaki pembuat topeng. Tangannya selalu belepotan cat untuk topeng-topeng itu. Entah sudah berapa topeng yang dia selesaikan. Tapi agaknya dia belum juga puas. Padahal, semua ruangan telah bertopeng. Ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dapur, wc, dan halaman rumah kita. Bahkan potret-potret yang terpajang di dinding juga diganti dengan topeng. Ciput tertunduk. Bukan menangis. Justru air matanya sudah tak cukup diajak untuk bisa mempertontonkan tangis. Laki-laki baik hati itu terus membelai rambut hutannya yang acak-acakan. Dengan penuh kasih sayang, digandengnya tangan Ciput dan dibimbingnya dia berjalan. Sebuah pemandangan sebentuk kenangan masa kecil Ciput.
Sayang sekali, matahari tak menyaksikan adegan ini. Matanya tertutup awan hitam dan terhalang gerimis tipis. Keduanya tetap melangkah dan Ciput baru menghentikan langkahnya ketika Merdeka tak mau lagi bergerak persis di muka pekarangan rumah. Di muka tergantung pada pagar pintu, simbol-simbol rumah dari kayu rapuh dan dari batu keropos nyaris runtuh. Ssampai di muka pintu, prmpuan ibunya, kluar dan dia wanti-wanti anaknya. “Ayo, masuk. Ibu sudah memasak makanan untukmu.” Ciput memandang ibunya. Ada yang berkecamuk dalam batinnya. Namun, bibirnya hanya bungkam. Mendadak, matanya berkilat-kilat marah saat mendapati seorang lelaki tua yang berbaju putih polos keluar dari dalam rumah. Lelaki itu menghampirinya, memandanginya dengan seulas senyum yang sulit dimengerti. Tangan lelaki itu hendak memeluknya, tapi segera ditepis dengan kasar oleh Ciput. Dada Ciput turun naik menahan marah. Tanpa diduga tangan Ciput terangkat hendak menampar wajah di hadapannya. Namun, tangan kokoh lelaki itu lebih dulu memegangnya kuat-kuat. Ciput berontak ingin melepaskan diri. Dengan kasar, lelaki itu menyeretnya ke dalam rumah. Tatapan sendu perempuan tua ibunya menyaksikan kejadian itu dan sesekali mengusap sudut matanya.
“Di rumah ini, Ibu selalu diam. Kenapa, Ibu? Kenapa Ibu tidak pernah protes melihat semua tingkah laku laki-laki itu. Apakah Ibu sudah dipaksa memakai topeng buatannya. Sehingga muka Ibu sendiri tak berhak berbicara. Aku memang tidak mengerti tentang hidup. Tapi, apakah setia harus diwujudkan dengan cara seperti itu. Tidak, Ibu. Aku tidak rela membiarkan lelaki itu memperlakukan Ibu dengan seenaknya. Ibu, Aku tahu bagaimana muka lelaki itu yang sebenarnya. Aku pernah memergoki lelaki itu melepas topeng yang selalu dikenakannya, dengan dibantu beberapa wanita muda. Di sana, Ibu. Di tempat yang seharusnya hanya menjadi milik Ibu dan lelaki itu. Betapa mengerikan mukanya, Ibu. Hitam dan penuh bopeng-bopeng. Aku jijik melihatnya. Muka itu semakin mengerikan ketika lelaki itu tahu Aku memergokinya mencurangi kejujuran, keiklasan dan kebijakan pengetahuan Ibu. Dia lalu memaksa Aku memakai salah satu topeng buatannya, agar Aku tidak menceritakan kejadian itu pada Ibu. Aku tidak mau. Sebab Aku sudah berjanji akan menghentikan perbuatannya. Akan kulakukan apa yang bisa saya untuk itu. Jika perlu amuk! Ibu, apakah Aku anak yang durhaka jika mengatakan bahwa laki-laki itu tidak pantas menjadi suami Ibu, juga tak pantas menjadi bapakku?”
Naluri Ciput terus mlampiaskan suara-suara yang entah darimana asalnya. Begitu hebatnya seolah suara itu begitu kuat tanpa sadar terus mengoyang-goyang tubuh Ciput.
“Aku tidak akan membiarkan semua itu terus terjadi. Ini sudah menjadi keinginanku. Tapi ternyata, aku tidak cukup kuat untuk menaklukkan kenyataan. Zaman sudah edan dan laki-laki itu telah ikut edan. Apakah salah jika aku membalas dengan cara edan-edanan? Dengan memakai topengku sendiri? Ibu, apakah ada perbedaan, aku waras ataukah edan-edanan? Keduanya sama-sama membuat aku jatuh malu. Dengan seperti ini, paling tidak bukan hanya aku yang merasakan malu. Tetapi lelaki itu juga. Bukankah begitu, Ibu?”
Perempuan tua ibunya itu terus memanggil nama anaknya. Beberapa tetangga membantunya. Namun Ciput tetap diam di tempatnya. Tubuhnya tidak bergerak lagi. Selebihnya, Ciput hanya bisa mendengar tangis perempuan ibunya itu yang semakin lama waktu semakin surut tapi justru kian menyayat. Di sebelahnya, lampu ublik di ruangan itu semakin kehilangan cahayanya. Sampai akhirnya padam. Ruangan itu sempit dan pengap. Cahaya matahari hanya bisa masuk melalui celah-celah kecil yang kebetulan ada di dinding itu. Di sudut ruangan hanya ada lampu minyak yang apinya mulai redup. Di sampingnya, sesosok tubuh meringkuk lemah dengan kepala terkulai. Matanya tertutup.
Pintu dibuka dari luar. Seorang lelaki yang baik hati itu tadi kluar.
“Siapa dia, Pak?” sesorang kawannya menyela.
“Orang gila?”
“Gila?”
“Ya! Makanya jangan sring digoda, bisa tambah gila dia.”
“Kenapa gila?”
“Minta saja cerita ibumu, dongeng kancil, ande-ande lumut, putri salju atau apa saja. Orang gila dibikin crita. Sudah, jangan lagi rewel. Ayo pulang!”
Setlah itu orang baik hati itu bergerak pergi. Anak-anak bubar. Hanya matanya saja yang memandang ke arah rumah yang hendak ditinggalkannya, meninggalkan sepanjang jalan sekolah. Biru Langit menunduk. Ada sesuatu yang dipikirkan. Dia tetap tak punya bahan untuk diceritakan.
Pelajaran Mengarang Biru Langit tak pernah mendapat nilai lebih dan enam. Guru Bahasanya, sring menjagokan karangan kawan-kawannya yang mencritakan tentang kehidupan orang-orang mapan. Katanya, lebih bisa diterima dan masuk akal mengangkat kehidupan nyata.
“Bukankah cerita aku itu juga sebuah fakta? Dari khidupan nyata?”
“Percuma kamu protes, salah-salah malah dikasih angka lima!”
Enambelas
BARU Biru Langit tahu dari buruh-buruh tani di rumah Prawira, Ciput anak tukang barong Nariman. Dia gila karena biasa dulu membunuh orang. Ruhnya gentayangan. Topng-topng bapaknya telah krasukan dan setiap bapaknya menatah topeng, perasaannya sama seperti saat membunuh orang.
“Kasihan.”
“Tidak ada yang mengkasihani.”
“Laki-laki baik hati itu?”
“Oh, dia memang terlalu baik hati. Karena itu dia jadi juru kunci kuburan. Jangankan orang hidup. Orang matipun dia jaga.”
“Siapa namanya?”
“Cemet.”
“Kalau Ciput?”
“Oh, itu dia juga yang kasih nama. Dia siapa?”
“Ya, Cemet itu.”
“Maksudku, nama aslinya siapa?”
“Lupa aku. Tapi dia bekas Jogoboyo.”
Biru Langit berpikir keras memutar otak. Sepertinya ia telah memiliki bahan untuk ide ceritanya, yang ia yakini bakal mengagetkan kawan-kawan dan terutama guru bahasanya. Bayangkan, bagaimana luar biasanya seorang Jogoboyo kemudian di usia tuanya, dia pilih jalan hidup menjadi penjaga kuburan.
“Ceritakan padaku tentang Juru Kunci bekas Jogoboyo itu, Kang.”
“Dulu Jogoboyo itu punya kehebatan ilmu dan tidak ada yang bisa mengalahkan dalam tiban.46) Selalu menang dan lawannya dibuat tak berdaya. Oh, iya namanya Tiban.”
“Trus? Mengapa Tiban?”
“Itu juga bukan nama, sebenarnya. Tiban ini nama dia setelah menjalani profesi itu puluhan tahun silam hingga sekarang.”
Biru Langit terkesiap lega mendengarnya. Sejalan benar dengan angannya.
Lalu buruh tani itu pun melanjutkan ceritanya bahwa orang ndeso namanya kebanyakan ya ndesit-ndesit. Ada nama Tumpuk, Genah, Tunggak, Cikrak. Lain dengan orang gedhongan ada nama Tjondro, Suryo, Mangun. Tiban adalah nama puluhan tahun silam, karena dulunya adalah petarung tiban, ia sangat gagah, pemberani, lincah. Setiap tiga cambuk mengelupas kulitnya, tiga cambuk pula merobek daging lawan, begitu seterusnya.
Lagi-lagi Biru Langit tercengang mendengarkan tentang Tiban. Sepengetahuannya cambuk petiban terbuat dari lidi aren. Dikumpulkan sebesar pergelangan tangan diikal mirip kepang rambut dan diikat ujung pangkalnya. Betapa hebat petarung yang bertahan setengah sampai satu jam di atas genjot.47) Tak ayal jika dulu lelaki itu diagung-agungkan dan nama Tiban dianugerahkan kepadanya. Biru Langit teringat lagi ceritanya. Sedikitnya setahun sekali petarung tiban berlaga. Biasanya suroan, tahun baru hijrah. Atau apabila ada upacara ritual minta hujan pada yang Kuasa. Yang terakhir ini jarang dilakukan kecuali waktu tertentu saja, misalnya jika rawa sedang kering. Pengunjung penuh sesak ingin menyaksikan jagonya berlaga dan kawedanan itu penuh sesak, bahkan pengunjung dari daerah lain pun berduyun-duyun ingin menyaksikan.
“Dia punya jimat?”
“Jimat? Ah, aku dngar bukan jimat, tetapi pusaka, yang masih tersimpan rapi sampai saat ini, keris, tombak, sekadar penolak bahaya. Jika kuat dicambuki itu memang badan ini diisi dengan mantra,” jawabnya.
“Pantas,” pikir Biru Langit.
Buruh tani itu lantas, juga menceritakan tentang fungsi pusakanya yang menolak bahaya dan mendatangkan keuntungan. Pusaka itu ada yang mbahurekso 48) katanya. Di masa kumpeni Belanda, dia selalu lolos dari kejaran marsose-marsose. Pernah suatu ketika dia diancam hendak dijebloskan ke dalam penjara akibat persoalan kecil saja menganggu waker 49) tebu, atau mencuri mangga dan merusak pot bunga di loji-loji.50) Sampai Jepang berkuasa marsose tak pernah menangkapnya. Juga zaman romusha, ia dibuang ke Kroya bersama temannya, tapi ia bisa kembali ke Kediri sedang temannya, Abas tak pernah kembali. Dia luput dari bayonet ganas serdadu Jepang.
“Jadi bisa menghilang, ya?” tanya Biru Langit.
“Menghilang? Ah, perasaan, tidak. Barangkali nippon-nippon itu saja yang tidak bisa melihat dia. Mnurut crita orang-orang tua, dia juga pernah gerilya mengikuti Pak Dirman sampai di gunung Klotok.”
“Karna itu, lantas dia diprcaya jadi Jogoboyo di kampung ini?”
“Ya, begitulah.”
“Soal juru kunci itu?” lagi tanya Biru Langit.
“Itu ada ceritanya tersendiri setelah Jogoboyo itu tak seorangpun yang bisa menggantikan, sampai tua. Sampai suatu ketika ia berniat menikahkan satu-satunya anak gadisnya, Saidah. Tiban kaget bercampur gembira saat anaknya hendak menikah dengan seorang priyayi.”
“Priyayi?”
“Ya, kamu masih ingat tak seorangpun priyayi berani masuk di kampung ini.”
Semua tahu tentang kepercayaan priyayi dilarang masuk di kampung ini. Terutama abdi pemerintah mulai dari camat bupati sampai yang paling atas. Sebab menurut kepercayaannya seorang priyayi yang masuk ke wilayahnya, cepat atau lambat, akan jatuh dari kedudukannya. Jatuh dari pangkat dan jabatannya. Saya tahu sudah berapa banyak priyayi yang kepati-pati dibuatnya. Kepercayaan mereka, dahulu ada seorang putri pejabat Mataram. Putri Ambarsari. Putri itu telah dijodohkan oleh orangtuanya dengan laki-laki sederajatnya. Ia menolaknya. Dengan alasan berbagai macam namun tetap dipaksanya. Hingga putri tersebut melarikan diri dari pura kerajaan menuju ke suatu tempat. Oleh karena geramnya putri itu lantas membawa ancaman. Siapa pun priyayi yang datang ke tempatnya akan terganggu keselamatannya. Konon tempat itu adalah dusun Pak Majid sekarang.
“Lantas?”
“Siapa yang tidak terkejut dengan gelar itu. Sebutan mulia yang diincar oleh setiap orang. Priyayi itu semua orang sudah tahu. Para yayi. Yakni para adik raja. Atau golongan orang-orang elit. Orang-orang yang bukan kawulo alit.51) Orang ningrat. Sedang orang ningrat ini bermacam-macam. Ada yang memang keturunan asal leluhurnya yang ningrat, ada yang dari orang-orang yang cukup kaya, terpelajar sehingga patut juga disebut kaum ningrat. Bukan tanpa alasan jika tadi Biru Langit itu terkejut alang-kepalang. Ketika dari mndngar crita buruh tani itu, Jogoboyo ngunduh mantu 52) seorang priyayi. Dipikirnya demikian mudahnya menyebut dirinya priyayi. Sementara di zaman sekarang ini sulit-sulitnya mencari seorang priyayi. Apalagi priyayi yang sejati. Priyayi yang berwatak luhur, menghormat orangtua, menghargai yang muda. Priyayi yang bersih, patuh dan membela orang yang banyak. Tetapi dia kurang tahu jika yang dimaksud buruh tani itu priyayi-priyayian.”
“Priyayi-priyayian bagaimana?” Biru Langit pnasaran.
“Jogoboyo itu mestinya tahu. Sekarang ini banyak priyayi yang tindak-tanduknya tidak mriyayeni. Bukan maksudku tidak setuju Jogoboyo itu bermantukan seorang priyayi. Ya, itu tadi barangkali saja di salah dengar. Bukankah beda sedikit priyayi dengan priyadi. Siapa tahu calon menantu Jogoboyo itu Priyadi namanya,” ujar buruh tani itu.
“Biarpun jabatannya itu Jogoboyo,” lanjut buruh itu, “dia adalah keluarga miskin yang patut diangkat. Hanya satu kekayaannya adalah Saidah anak ontang-anting 53) -nya. Sebab itulah, Saidah juga sudah telanjur senang. Kalau bnar dia priyayi. Apa salahnya keduanya dijodohkan. Harapan Jogoboyo itu punya menantu priyayi, nanti dia juga turut jadi priyayi. Lagi pula siapa orang yang mau anaknya disebut perawan tua. Beberapa saat Jogoboyo tampak mengangguk-angguk seraya mengenakkan duduknya. Ya, lelaki itu dulunya bercerita padaku. Sewaktu masih menduda ia pernah melamar seorang gadis dari kalangan bawah. Nah, untuk maksud keinginannya itulah Jogoboyo muda berkedok seorang priyayi. Agar lamarannya mulus diterima calon mertuanya. Namun kejadiannya berlawanan, justru orangtua gadis menolaknya. Alasannya tidak diketahui. Baru diketahui kemudian setelah ia memperistri Lastri. Ibu Saidah sekarang. Bahwa seorang priyayi kurang pantas menikahi gadis yang bukan dari kalangan bangsawan. Nanti akibatnya yang akan menjadi buruk. Akhirnya buru-buru dia harus meninggalkannya. Padahal di antara keduanya sudah saling suka. Waktu itu, aku hanya mengingatkan Jogoboyo itu. Kalau nanti sampean sudah jadi priyayi, bahwa yang namanya priyayi itu sejak zaman kolo bendu 54) zaman sunan, Raden Mas, Gusti Pangeran, sampai sekarang priyayi berdasi sama. Zamannya saja yang berubah. Sedang dasarnya tetap sama yakni bertindak dengan rasa setia serta tindak-tanduk dan watak budi yang luhur. Mereka tidak pernah mengenal yang namanya mo limo 55) Main, madat, maling, madon, dan minum.”
Barangkali apa yang dilakukan Jogoboyo itu bemaksud mendobrak kebiasaan warganya tentang kepercayaan itu. Seperti diceritakan buruh tani itu, pernikahan Saidah dengan sang priyayi itu lancar. Dari lamaran sampai peningsetan. 56) Di peningsetan itu juga tidak lupa nanggap wayang kulit semalam suntuk untuk anak tunggalnya. Pokoknya acara ini dibuat sedikit besar. Sekaligus merayakan dirinya yang akan menjadi orang besar. Masih menurut buruh itu, sampai tepat waktu ijab kabul, Jogoboyo tidak tanggung-tanggung, baik soal biaya maupun tenaga. Menyembelih dua ekor kerbau dan mengerahkan seluruh warga kampung, sanak saudara. Benar-benar yang terjadi akan bukan sekedar pesta pernikahan anaknya, tetapi juga pesta menyambut gelar baru yang bakal disandang Jogoboyo itu—mertua seorang priyayi. Apa terjadi sudah itu? Setelah pernikahan Saidah dengan seorang priyayi itu berakhir dan tentunya Jogoboyo sudah menyandang gelar barunya, paling tidak sebutan yang diberikan oleh tetangga-tetangganya. Tiga hari setelah pernikahan anaknya Jogoboyo itu didatangi sorang tangganya. Namanya Pak Majid.
Kepada Pak Majid, Jogoboyo itu mngatakan, “Rupanya ada yang terlupakan, Pak.”
“Soal apa, Pak Jogoboyo?”
“Ya. Semua yang tetangga katakan dulu itu benar. Menantu saya benar-benar jatuh sebagai priyayi. Pengakuannya sebagai priyayi yang menjadi camat sampai kini tidak terbukti,” kata Jogoboyo itu terbata-bata.
“Lalu?”
“Entahlah, saya kurang tahu mengapa sampai dia punya nama Priyayi. Barangkali karena ibunya dulu pernah punya kekasih priyayi. Lantas saking cintanya ia memberi nama anaknya Priyayi,” di saat seperti itu Jogoboyo masih menunjukkan selera humornya, meski tanpa tawa.
“Ketika mendapati penjelasan Pak Majid siapa yang mendengarnya, menghela nafas panjang, yang lainnya tercenung, menyandarkan tubuhnya di kursi atau mengusap mata sendiri yang tampak berkaca-kaca,” begitu buruh itu mengisahkan. “Memang tidak gampang mencari priyayi. Lebih gampang memuji orang sampai melambung tinggi seperti dihempaskan ke atas. Priyayi yang benar, lambang dari manusia elit di zaman sekarang itu yang mengabdikan keluhurannya pada diri sendiri dan orang lain. Dengan memimpin, memberi petunjuk, dan menuntun warga kampung yang kesulitan. Bagaimana jadi priyayi kalau pada diri sndiri saja sudah main tipu? Aku masih ingat pesan-pesan orangtua. Yang pnting itu menjadi orang yang berwatak luhur, menghormati orangtua, bersih, patuh dan membela orang banyak. Priyayi atau bukan, tidak masalah.”
“Nasib kedua pngantin itu bagaimana akhirnya?” desak Biru Langit.
“Pergi dari rumah karena malu.”
“Jogoboyo?”
“Lebih malu lagi. Terbukti dia tidak bisa menjaga anak sendiri. Akhirnya dia pilih mengundurkan diri.”
“Mengudurkan diri?”
“Ya. Dia jadi juru kunci kuburan.”
“Alasannya?”
“Lebih gambang menjaga orang mati daripada yang hidup. Ya, Cemet itu.”
Biru Langit tak habis bikir dengan alasan yang dikemukakan bekas Jogoboyo itu—lebih gampang menjaga orang mati daripada yang hidup. Berhari-hari dia putar otak untuk direnungkan sebagai bahan untuk menulis cerita, tugas pelajaran Mengarang di sekolahnya.
Sampai waktunya tiba, Biru Langit masih belum menyusun satu kerangka pun untuk karangannya. []
TIGA
DUNIA YANG BERBATASAN TIPIS
SETAHUN kemudian sebuah siaran mengabarkan terjadinya pembunuhan massal terhadap kelompok muslim. Biarpun mulut-mulut orang kampung tak mengerti tragedi itu, namun gelombang-gelombang radio terus menyuarakan. Pembunuhan atau lebih tepatnya pembantaian manusia itu sebetulnya dipicu persoalan sepele.
Dua orang Babinsa, petugas Koramil mengotori sebuah mushola Assa’aah di kawasan Tanjung Priok, dengan masuk ke tempat itu tanpa melepas sepatu serta menyiram poster pengumuman undangan pengajian di tembok mushola dengan air comberan.
Perang mulut terjadi antara orang Babinsa dengan warga muslim, pada 10 September 1984. Dua pengurus Takmir masjid Baitul Makmur, Syarigudin Rambe dan Syafwan Sulaeman mengajak pihak-pihak yang terlibat pertengkara ke tempat RW setempat. Petugas dari Koramil agak sulit diajak kompromi, sehingga massa yang berdatangan di luar tidak sabar, hingga beberapa orang membakar sepeda motor petugas dari Koramil itu. Pada hari itu juga Koramil meminta bantuan Kodim mengirim tentara untuk menciduk empat orang jamaah, termasuk Rambe, Sulaeman, Akhmad Sahi dan seorang lagi yang kemudian dibebaskan, serta Mohammad Noer, salah seorang yang melakukan pembakaran sepeda motor. Penangkapan itu semakin menimbulkan kemarahan masyarakat Islam sekitarnya. Masyarakat Islam sekitar Tanjung Priok meminta bantuan Amir Biki, seorang pengusaha dan tokoh Fosko 66 yang memiliki hubungan dekat dengan seorang perwira tinggi militer yang dikaryakan sebagai Wagub Jakarta ketika itu. Biasanya Amir Biki bisa mengatasi masalah-masalah seperti itu. Tetapi kali ini ia menemui kegagalan. Pada 12 September 1984 diadakan pengajian di jalan Sindang Raya yang memang telah direncanakan sebelum terjadi insiden itu. Banyak mubaliq yang hadir pada waktu itu. Amir Biki sendiri biasanya tidak ikut memberikan ceramah, namun dengan perkembangan terakhir menyangkut penahanan jamaah di situ, kali ini Amir Biki bersedia tampil berbicara bersama mubaliq-mubaliq lain. Giliran Amir Biki berbicara di depan khalayak, dia mengeluarkan ultimatum, jika sampai pukul 23.00 pihak militer tidak membebaskan anggota jemaah yang ditahan, massa akan melakukan unjuk rasa. Sambil menanti batas yang ditetapkan, acara diisi dengan pidato-pidato dari tokoh-tokoh yang hadir. Hingga deadline itu habis, tuntutan tak dipenuhi. Akhirnya massa yang berjumlah sekitar 1.500 orang tersebut mulai bergerak ke Polres dan Kodim. Setelah hampir mendekati kantor-kantor ini, mereka tiba-tiba telah terkepung dari dua jurusan oleh pasukan yang bersenjata berat. Satu kelompok berhadap-hadapan dengan kendaraan-kendaraan berlapis baja dan truk-truk militer. Tentara sudah memblokir rapat dengan memagari jalan sekitarnya. Setelah 10 meter dari barisan tentara, massa sudah menghentikan derap langkahnya. Tiba-tiba terdengar suara aparat keamanan berteriak, “Mundur…!” Serentak pasukan keamanan mundur dua langkah. Terdengarletusan pistol yang segera dikuti tembakan senjata secara beruntun yang langsung diarahkan pada massa. Jenderal LB Murdani beberapa menit setelah insiden pecah telah terlihat di lokasi pembantaian massal, dan langsung mengatur sendiri operasi penjagalan terhadap massa Islam. Terjangan peluru dari segala arah mengakibatkan ratusan orang tersungkur ke tanah. Mereka yang luka-luka yang berusaha menyelamatkan diri ditembaki dan ditusuki dengan sangkur. Tetapi mereka ada yang bisa lolos melarikan diri melalui gang-gang. Kemudian datang dua buah truk besar yang berkecepatan tinggi, penuh dengan tentara kemudian memuntahkan peluru dari senjata mereka ke arah jamaah yang sedang tiarap dan bersembunyi di pinggir jalan raya. Lebih dramatis lagi, truk besar tadi melindas orang-orang yang telah terkapar atau bertiarap. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas truk terdengar cukup jelas oleh para jamaah yang bertiarap di selokan-selokan. Tak lama setelah tembakan-tembakan dihentikan, tentara mulai mengangkuti mayat-mayat dan mereka yang luka ke dalam truk-truk militer yang telah disiapkan. Semua korban diangkut ke rumah sakit milik militer di Jakarta Pusat. Rumah-rumah sakit lain diperintahkan agar tidak menerima mereka yang meloloskan diri dan luka-luka. Tidak lama kemudian datanglah mobil pemadam kebakaran yang menyemprot jalan dengan air untuk membersihkan ceceran darah sehingga bekas-bekas pembantaian tak terlihat.
Tepat dua hari sebelumnya, Prawira jatuh sakit. Persis dekat waktu magrib, tanpa sepengetahuan Biru Langit. Sesuatu yang jauh di luar bayangan Biru Langit akan sesuatu yang menakutkan. Setelah sekian lama waktu, ia telah lupa bagaimana bangga hidup bersama istri Prawira. Namun kenyataan itupun terjadi pula. Ia hidup bersama dengan istri Prawira. Karena itu tak ada yang memikat hati untuk diceritakan—setidaknya untuk saat ini.
“Baru kali ini aku biasa dengarkan berita sendirian,” pikir Biru Langit di muka radio milik Prawira itu. “Rasanya aku tak perlu kuatir dengan apa yang hendak dikatai Yunani, tentang radio ini. Aku hanya mendengar siaran radio ini. Kalaupun itu terjadi, aku bakal katai, Prawira yang mengajari aku untuk tiap pagi mendengarkan siaran berita agar tahu apa yang terjadi sesungguhnya di belahan bumi ini.”
Hebatnya tak sepatah katapun keluar dari mulut Yunani perihal kebiasaan pagi mendengar siaran radio ini. Biru Langit hanya mendegar sepatah da patah kata saja. Itupun perihal suaminya yang sakit sebagaimana Biru Langit ketahui.
“Bapai sakit tipus. Dia sudah dibawa ke Rumah Sakit Tulungredjo, Pare. Pergilah ke sana secepatnya. Kamu bisa naik bis lebih dahulu, aku menyusul nantinya,” ujar Yunani.
Biru Langit berkemas seperlunya. Setelah berpamitan, lantas menghilang.
Prawira, lelaki tua itu memicingkan kelopak mata. Terkejut. Begitu matanya terbuka sadar sesuatu telah terjadi. Meringkuk pasrah di bangsal persis bayi baru lahir rasanya serba baru. Dipandanginya jendela kaca, korden separuh terbuka. Di luar kursi roda melintas cepat. Lelaki seumur dirinya bertengger di atasnya dikemudikan suster. Denyut jantungnya berpacu hebat. Prawira ingat bayi—dia dibangsal juga. Apa beda? Tidak ada! Kini sepi. Tak terdengar di kuping Prawira. Cuma irama air di bak mandi, sandal injak kerikil, sepatu menggerus ubin berpasir. Mata Prawira tertutup rapat tanpa sisa. Kotoran di dua sudut pelupuknya berdenyut-denyut. Kasur empuk tenang seperti sampan tanpa gelombang.
Sehingga Prawira punya dua kendaraan besar—kursi roda dan bangsal yang sanggup menerbangkannya ke mana saja sesukanya. Prawira terus bergoyang-goyang seperti ada deru mesin membakar tubuhnya. Semangat dalam jiwanya jadi kembali berkobar. Prawira kembali seperti bayi baru lahir di bangsal, rasanya. Satu hal yang membuat Prawira jengkel, tiap kali dia memandang lewat gorden yang terbuka. Di kursi roda tidak bayak yang bisa diperbuat Prawira. Kesehatannya sudah cukup membaik. Rupanya bukan kesehatan betul yang mencemaskannya, tapi ketuaannya. Sama saja Prawira tidak dicasp manusia, katanya. Prawira pilih sendirian. Prawira bebas mengendara kereta api entah kemana. Tulit…Tulitt… Tinggal duduk. Melintas. Anak-anak sudi mendekati Prawira. Sekaligus mengurangi rasa sakit komplikasi, sesak nafas, hipertensi. Dia ceritakan apa saja biarpun kepada mereka tetangga, para pekerja yang paling cuma bisa bawa kue, tanya ini-itu, menyelipkan sedikit uang di bawah kasus untuk ongkos jaga. Duduk-duduk di bibir bangsal main kipas kertas. Lalu pulang. Tidak lebih. Bila Prawira menggiring kursi rodanya ke kamar mandi—tempat yang amat pribadi—,kesepiannya amat sempurna. Kadang-kadang ia meragukan istrinya. Prawira menikmati kesunyian tanpa pakaian selembarpun. Sepercik air dilemparkan ke permukaan kulitnya dengan harapan hidup ini kembali bersih. Prawira terkekeh-kekeh lagi mengkasiani ketuaannya.
Cerita Biru Langit tentang berita September berdarah, makin membuat Prawira sungguh-sungguh telah berada di kereta… Biru Langit hadir pula di sana—di suatu stasiun entah berada dimana, karena Prawira yang menempatkan dia.
Malam dingin mulai membalut sudut kota. Dari ruang tunggu stasiun di bawah bangunan angkuh, bulan memberi terang pada malam. Memenangkan perkelahiannya dengan kelip-kelip cahaya lampu. Prawira tampak masih duduk di sana kendati sejak petang stasiun seperti pasar yang bubaran, sepi tinggal sisa penjaja makanan dan beberapa calon penumpang yang meresahkan keterlambatan kereta. Mereka menunggu kereta terakhir dan takut pada kegelapan. Orang-orang gelisah, menggeliat dan terkadang pula teriak histeris. Mereka tidak berkawan baik dengan stasiun. Sebab stasiun justru menunggu malam tiba agar tubuhnya dingin kembali setelah seharian dibakar panas matahari. Sebagian orang meninggalkan bangku-bangku lantas berdiri saja di pintu-pintu.
Berbeda di stasiun ini Prawira teringat pada pasien-pasien saat sebelum meninggal. Yakni ketika penyakit ganasnya bertambah parah dan kecil kemungkinan untuk sembuh. Prawira sering menghibur mereka dengan memberikan wejangan tentang kehidupan dan kematian. Dikatakannya di dunia ini suatu saat manusia akan merasa seperti berada di stasiun. Yaitu saat diujung kematiannya. Seperti menunggu kereka yang akan membawanya ke suatu tempat yang sama sekali baru. Meninggalkan bau-bau keduniawian, melepaskan hubungannya dengan dunia dan perasaan-perasaan berdosanya. Kematian itu adalah pengalaman konkret tetapi sangat menyuramkan. Kemudian mereka para pasien itu nampak mencoba meresapi kalimat-kalimat Prawira.
Bulan terasa merayap meninggalkan waktu demi waktu. Hampir dua jam Prawira di ruang tunggu. Tetap tak ada tanda-tanda kereta hendak masuk meninggalkan kawasan itu. Beberapa pasang rel masih tetap kosong. Hanya satu gerbong saja di tempat itu. Prawira mengamati gerak seekor kucing yang melompat dari bangku ke bangku lain. Kelihatan langkahnya tenang. Tidak gelisah menunggu waktu tiba kereta. Prawira menenangkan diri persis seekor kucing dalam penglihatannya. Prawira teringat kembali pesan kepada orang-orang sebelum mereka mati. Ia pernah mengatakan bahwa setiap orang akan mati. Meskipun semasa hidup hendak mengarungi samudera, menyeberangi benua, menguasai ilmu sebuah karya. Namun semua itu harus dilepaskan ketika mau mati. Harus ditinggalkan seperti naik kereta hendak meninggalkan stasiun menuju kota lain. Ketika itu orang itu nampak belum paham benar maksudnya.
Mereka juga sudah biasa menonton mayat tertelungkup di bawah jembatan, mengapung dengan tubuh melepuh atau menangkup di pinggir trotoar yang tak satupun tangan berani menyentuhnya. Orang-orang memilih tangannya untuk menutup hidung, mulut, dan matanya. Menyaksikan orang hitam meringkuk di tengah jembatan, yang bisa mereka lakukan hanya menengadahkan tangan dan mulut berkomat-kamit menambah doa pejalan. Di antaranya anak kecil dengan kaki dan tangannya yang cacat, menawarkan persahabatan. Digapai tangan itu dan diberinya sekeping uang logam. Di atas jembatan tentu nanti pengemis berdiri tegak bercermin di keruhnya air sebelum menjeburkan dirinya kemudian mati. Pikir Prawira, di tempat itulah stasiun mereka. Tapi siapa yang ingin mati di tempat seperti itu?
Malam makin larut dan bulan bergeser makin cepat. Prawira melirik ke arah lelaki tua di sebelahnya. Dia sedang menyulut sebatang rokok kretek. Lelaki itu merasa dirinya diperhatikan. Kemudian Prawira terkejut saat disodori sebatang. Prawira menolaknya. Sejak saat itu asap rokok bergumpal-gumpal terbang di sekitar ruangan. Terasa menyesakkan. Lalu suasana kembali sepi. Tiba-tiba kesunyian malam dipecahkan oleh suara-suara dalam gerbong kereta. Beberapa pasang mata mencari sumber suara. Begitu pula Prawira dan lelaki tua. Suara benda-benda keras menghantam dinding pintu dan kaca gerbong.
“Kurang! Berapa janjimu kau bayar aku? Laki-laki macam apa kau ini. Kau permainkan aku lalu campakkan tanpa pedulikan aku.”
“Aku sudah cukup beri kesenangan padamu!” bentak laki-laki di tempat yang sama. “Pergi!!!”
Kembali suara benda-benda keras menari di gerbong bersama seorang lelaki yang terbang menghilang melompat dari pintu, meninggalkan isak tangis memilukan. Sebagian yang di stasiun kembali duduk. Sebagian lagi bergerombol dan berbaris-baris.
Di kursi ruang tunggu Prawira terkulai. Mungkin penat setelah menunggu berjam-jam. Tak ayal, Prawira terbayang kereta yang datang.
Stasiun sedang digetarkan oleh datangnya kereta. Suaranya berderak menggema. Prawira terperanjat. Lalu perlahan ia melangkah meninggalkan bangku mendekati pintu kereta. Keringat mengucur deras, dadanya terasa sesak kemudian tubuhnya melambung tinggi ringan tanpa beban, melenggang-lenggang, seperti kertas yang diterbangkan dari pesawat, jatuh terayun-ayun.
Di dalam gerbong orang-orang berkain putih. Raut mukanya pucat dengan bau wewangian yang menusuk. Gerbong penuh beraneka warna dan tanda kabung kertas yang tergantung, kendi-kendi segar. Orang-orang dalam kereta membisu. Sedikitpun tak ada keramahan menyambut kedatangan Prawira. Semua tetap acuh kepada sesama dan kepada Tuhannya. Saat itulah Prawira bertemu banyak orang. Juga orang bertubuh melepuh dan anak kecil menggenggam sekeping logam di gerbong yang sama. Masih terbayang ketika ditemuinya di jembatan.
Pengumuman dari pengeras suara terdengar. Tanda keberangkatan kereta terakhir. Prawira bersiap-siap. Ia kini benar-benar berada di perbatasan. Baru setelah kereta melaju dan merasakan tubuhnya bergoyang-goyang, Prawira yakin meninggalkan stasiun. Perasaannya sama seperti yang diceritakan pada kawan-kawan sebelumnya. Diiringi isak tangis buruh-buruh dan istrinya, Prawira melambaikan tangan pada orang-orang. Juga pada lelaki tua yang ternyata tidak mengikuti arah kereta. Prawira meninggalkan kota menuju padang tak bertepi, menyelam dasar lautan, meninggalkan stasiun. Prawira tak mampu mendengar suara orang-orang di sekitarnynya sedang membaca tahlil.
Di stasiun ini semua tahu arah kereta terakhir. Hanya barangkali lelaki tua itu belum mendapatkan tiket menyadari bahwa suatu saat gerbong itupun ditarik oleh kereta yang sama.[]
EMPAT
SESUDAH SEPULUH TAHUN KEMUDIAN
Satu
SESUATU yang amat menarik perhatiannya adalah politik dan perempuan.
Dia melihat politik seperti perempuan dan melihat perempuan biasanya dengan cara politik. Begitu kira-kira. Di Surabaya, Biru Langit kuliah di sosial politik Universitas Airlangga sesudah melalui pergulatan panjang dengan waktu, nasib dan juga sisa-sisa semangatnya untuk hidup. Tiada rencana, tetapi dorongan dari keluarga—Yunani, dan pekerja-pekerjanya, dirasanya jauh lebih berarti dari segala-galanya. Ketika itu, Tuhan juga entah bagaimana ia lupakan begitu saja. Ini adalah masa-masa terbaik dari keluarga itu, sudah cukup baik untuk tidak lagi turut campur soal tetek mbengek urusan sekolah Biru Langit. Sudah selayaknya, Biru Langit ucapkan terimakasih kepada Yunani—perempuan yang teruji lebih sepuluh tahun lamanya ternyata lebih hebat dari suaminya dalam urusan menghidupkan roda ekonomi keluarganya. Betapa tidak, dalam rentang waktu itu, ia bisa urus sekian banyak pekerjaan dan belasan buruh-buruh yang entah bagaimana terus bertambah jumlahnya. Sebelum sepninggalan Biru Langit, di matanya Yunani adalah seorang ibu terbaik yang pernah ia jumpai dalam hidupnya, sekalipun dibanding ibunya sendiri. Hebatnya lagi, masih seperti tradisi suaminya, buruh-buruh itu mereka-mereka yang menurut Yunani orang yang hidupnya setengah-setengah. “Setengah hidup dan setengahnya lagi mati. Orang-orang yang sama sekali tak pernah diberi kepercayaan hidup sedikitpun bahkan untuk dirinya sendiri,” ucapnya suatu ketika. Yunani dengan keteguhan seorang ibu, menjadi pemimpin bagi mereka, setelah sekian tahun lamanya ia merasai bagaimana hidup almarhum suaminya, Prawira. Dalam kehidupannya, nasib suami dan orang-orang dekatnya telah menempuh jalan terpahit sekaligus menjadi orang terhebat ketika saat terhimpit mereka masih punya pilihan. Yakni memutuskan untuk terus hidup biarpun harus dengan cara melawan. Ya, betapa hidup mereka jika tetap ingin survive harus dengan cara melawan. Penyakitnya sedikit terobati dengan banyak bergaul dengan kawan-kawan yang berhaluan kiri demokrat. Dia jadi banyak belajar membaca mana kawan dan lawan, mana pejuang dan pecundang. Kebenciannya pada pribadi-pribadi yang dininabobokan oleh kemapanan makin menghebat, juga kepada perempuan yang jatuh cinta padanya, membuatnya ia tak begitu mudah terpikat kecuali bila dia tempuh dengan jalan politik itu tadi.
Dua
PEREMPUAN yang jatuh cinta pada Biru Langit itu, namanya Sulistyorini—anak rang kaya. Namun bagi kehidupan Biru Langit tatkala berbicara padanya hanya melihat suatu cinta atau nafsu—sesuatu yang ia dapat dua-dua ini dari kuliah politik. Jadi sesungguhnya pun cerita ini baginya juga bicara perihal politik, tidak semata-mata masalah perempuan. Menjadi pelik lantaran diam-diam gadis itu dicintai seorang kawan sekelasnya, Pam. “Edan!” gerutu Biru Langit. “Betapa sesungguhnya ini perang urat syaraf antar dua pemuda.”
Prediksi tentang matanya sendiri yang buta warna, telah tumbang. Dia bisa yakinkan semua yang baru dilihat. Dia betulkan juga apa yang baru disebut, keindahan dan kecantikan si Sulistyorini, perempuan itu. Rambutnya bersih bak kain hitam berkibar. Parasnya yang bersinar seperti kuning keperakan bulan. Jari-jarinya lentik mirip pemain harpa di tepi orkestra—cocok sekali dihiasi cincin ibarat potret gerhana matahari total di koran yang bagian cincinnya bersinar tajam. “Kukira semua ini sama juga dengan mata Pam kecuali jika kuanggap ia cacat mata. Lelaki itu tidak tahu mana perempuan berbibir sumbing dan berbibir buah strawbery. Tapi untuk yang ini kukira Pam betul-betul buta. Bahwa si Sulistyorini—perempuan yang sama-sama kami anggap dewi kecantikan—sekarang tengah di dalam botol. Aku sendiri mulai ragu apakah si Sulistyorini bisa mendengar suara layaknya kuperdengarkan suaranya yang merdu tatkala nyanyi,” gumam Biru Langit.
Udara panas, keras, kotor dan berdebu. Mendung hampir jatuh menolak perginya hawa panas yang tersimpan di perut bumi. Kecil sekali lubang awan. Membuatnya sulit leluasa menikmati spektrum matahari. Tapi bukanlah itu berarti kemauan dia berebut saling berganti? Mudah-mudahan tidak sungguh-sungguh seperti cuaca. Biru Langit suka kemauan keras, dingin seperti batu. Berdua, lewat jalanan aspal hitam berabu alas kaki Biru Langit dan Pam menggedor pintu rumah Sulistyorini. Baru Biru Langit tahu di belakang daun pintu, Pam mengeluarkan sebentuk bunga matahari segar dari balik jaket. “Bagaimana dengan aku? Aku tak sanggup bawa edelweis kemari,” lagi-agi Biru Langit menggumam.
Rambut perempuan itu meliuk hingga keluar menerobos tutup pintu botol. Ujung-ujungnya seolah ditiup sesuatu udara kuat dari dalam perut botol. Dilihatnya kembali segala pemberian Biru Langit, buku-buku, tisue, makanan, strepsils pastiles, coretan-coretan, jadi onggokan di dasar botol. Biru Langit jadi berpikir penjang memberi tanda mata selanjutnya, misalnya edelweise. Di lihatnya juga perempuan itu tidak sedang duduk manis di sudut sofa, tapi ia sedang bertengger di atas meja di samping gelas. Tanpa kepeduliannya terhadap reaksi Pam, didekatinya si Sulistyorini perempuan itu. Dialirkannya suaranya yang lembut ke mulut botol bersentuhan ujung rambut perempuan itu. Segar betul aroma rambut Sulistyorini.
“Kau masih pula percaya bahasa bunga, Dik?” Biru Langit merayu.
Perempuan itu diam teperkur. Barangkali tak begitu dengar bisikannya. Kembali Biru Langit menekan lebih berat suaranya. Sulistyorini sebentar berdiri. Lalu berdiri. Lalu duduk. Berdiri. Duduk. Dia sulit bergerak dalam perut botol. Di mata Biru Langit tubuhnya tiba-tiba mengerut. Badannya menyusut sebesar botol limun. Ia masuk botol sari buah.
“Laki-laki yang menggunakan kekuasaannya akan melakukan itu, memetikkan kau bunga matahari sebesar kepala. Sebelum akhirnya kau juga akan dipetiknya dari: seperti kepastian tanaman pada pancangan kakinya, mengalirkan sari-sari, menebar dan busuk. atau bak meteor, menyisihkan pijar api meski tiada arti pemusnahan di luarnya oleh perusak dalam dirinya. Tubuhnya dipetik, ditaruh di saku belakang celana sebelum akhirnya layu.”
Dilihatnya Sulistyorini kian tersiksa. Perempuan itu terbelit tali sebesar rambut, benci, takut, perih, ketidakpastian. Segalanya mengental dan tumpang tindih dalam botol. Berbaur dengan keindahan yang tak tertulis pada resep-resep dokter spesialis mata. Lelaki Pam nampak lebih tenteram duduk dekat-dekat botol perempuan itu. Cuma terkadang sorot matanya mengancam dan jalang ke arah Biru Langit. Pam kerapkali sudi memaksa diri memutar batang leher, untuk itu. Pam menghisap rokok. Mulut lebarnya nampak hendak menelan seratus batang puntung rokok sehabis menghisap nikotin.
“Kau pasti tersinggung, Pam.”
Biru Langit berkata begitu dingin. Juga siap dengan segala gerakan bisa menyambar botol yang di atasku. Lantas kupecahkan perut botol. Huh….andaikata. Andaikata, dua cowboy bertarung. Jikapun awan hitam tak menjelma hujan, hujan tangis bakal turun di rumah Sulistyorini.
“Aku cuma menanggapi keindahan yang kamu pilih dan kau selipkan pada Sulistyorini,” kata Biru Langit sinis lagi.
“Tidak sanggup aku melukis keindahan dan kecantikan dengan metafora,” ujar Pam.
“Aku tahu dan hafal kau.”
“Tidak. Kamu tidak tahu. Keindahan dan kecantikan jadi palsu bila dijelmakan dengan metafora. Dan itu telah kamu lakukan pada Atun. Bahasa, metafora, kata-kata puitis cuma tiruan. Keindahan, kecantikan Sulistyorini akhirnya jadi nyata lewat itu. Kamu mencetak Sulistyorini seperti kamu bikin roti bakar. Ini yang mau kuomongkan: Kau menghakimi dia, mengerti?”
“Maksudku, aku tahu kau seorang Barthesis.57) ”
Pam diam tercenung.
“Lalu bagaimana dengan bahasa bunga matahari bekas toilet serangga itu, kunyuk?”
Pam diam tercenung lebih dalam.
“Dunia ini tersusun oleh ribuan metafora. Itu kerja besar manusia. Terus menerus tiada henti. Setiap metafora tercipta, menjelmakan tafsiran-tafsiran. Dan itu akan memunculkan metafora baru. Seperti tangga, tak seorang pun sanggup memahami keseluruhan tangga metafora. Apa jadinya dunia tanpa metafora?
“Aku tak ambil pusing dengan omonganmu. Aku tidak tahu apakah aku betul mengerti ataukah tidak. Aku cuma tahu kau bakal jadi pemberontak yang radikal macam Jameson.58) Di lain pihak kau menjelma sosok yang dialiri darah pesimis dan terseretnya Paul Recours. Sungguh pribadi yang terbelah. Kasihan. Jangan naik pitam, chimpansee-ku.”
Biru Langit pulang meninggalkan tanda mata: perempuan itu, seperti ibunya. Ketika di jalan, diajumpai pepohonan, dia tidak menemukan apapun kecuali ranting-ranting yang sudah sarat aturan gila. Dan berguguranlah daun itu. Ada mobil-mobil karyawan, truk, trailer-trailer ever green bergerak, maju masuk gerbang pabrik kehancuran. Beberapa menit lapangan parkir penuh, pabrik meledak, terbakar dan jadilah lautan api tangisan orang.
“Begitu pula aku kepadamu, Sulistyorini, perempuanku. Telah kuubah diriku menjadi seorang Decius. Seorang yang mempersembahkan dirinya pada Tuhan neraka dan memilih kematiannya dalam peperangan. Sebab Decius telah mendapatkan ajaran dalam mimpinya sebab dengan begitu tentara akan menang dalam arti yang sebenarnya. Aku memenangkan meraih keindahan, Sulistyorini.”
Kepada ibunya, dikabarkannya tentang si perempuan dalam perut botol itu dengan apapun caranya. “Sungguh Ibu, aku melihat wajah Ibu, kasih sayang Ibu, kesabaran Ibu pada perempuan dalam botol itu. Anakmu telanjur menikmati segala yang ia punya. Anakmu telanjur melukiskan dan membayangkan semua yang ada padanya, dari ujung ke ujung, Ibu. Begitulah, sampai aku betul-betul yakin bahwa perempuan itu persis Ibu.”
Di antara tumpukan rak botol kecap, botol bir, sambal, saos tomat, sari buah atau botol minyak goreng, kugeledah. Berpuluh-puluh krat, beratus bahkan beribu trade mark botol berserakan kuobrak-abrik. “Sembunyi dimanakah kau para perempuanku? Sayang jika kau terjepit botol-botol rusuh. Seorang green peace yang menjebakmu, menyapu bersih tempat ini.”
“Kau nyengir menyindir aku?”
“Jangan dulu tersinggung, kawan. Justru kau yang semula punya ide ke dokter mata. Makin aku yakin kau yang pertama kali kena rabun senja.”
“Tak usah main olok-olok.”
“Itu artinya kau seperti ayam. Cuma bedanya, kaulah ayam yang buta sepanjang hari.”
“Aku bisa bikin lelucon yang tidak kalah hebat dari kau.”
Berdua, kami lelaki segar, belum punya buntut dan istri setia, sepakat pergi ke dokter spesialis mata jika tidak hendak mencongkel bola mata dengan dua supit kawat jemuran. Tentu saja lelaki berotot segar jadi berat bukan, jika harus pergi di sepanjang jalan seperti mau menjual diri ke perempuan-perempuan? Lalu ke rumah sehat serba putih, antrean panjang, isi daftar hadir, konsultasi dan duduk menguji warna merah, biru (ah betul kan, ternyata belum juga buta warna ini aku?).
“Itu kamu bilang leluconmu? Jadi aku harus turuti saranmu mencongkel mataku lantas kumasukkan dalam amplop tertutup lalu kutulis alamat dan kukirim ke dokter mata? Dan aku tanpa menanti amplop balasan. Ha…ha… Lalu begitu tiba, terus kukenakan lagi mataku yang biru nyaris membusuk, heh…he..”
“Jangan ketawa. Kau sudah seperti anggota masyarakat congomengoloid. Coba lepas kacamatamu yang minus empat setengah itu. Nah, primata congo betul kau.”
“Kau sendiri kayak tebu boleng. Cerminmu lebih tahu itu. Hitam meliuk, korengan dan jangan lupa bibirmu hampir pecah separoh.”
Bak mesin teror atau di kamp conveyor, kepada Pam, Biru angit menjelma Caligula 59) di abad kaca sedang banyak cingcong pada Helicon.
“Ia nampak tersipu ketika kutatap nanar. Ia merah darah, rendah di tepi langit. Lalu ia mulai menyembul. Kian lama kian cepat. Makin lama makin terang. Makin tinggi makin pucat wajahnya. Hingga ia tak ubahnya kolam susu di tengah hutan kelam gemerisik karena bintang. Perlahan, dengan agak malu ia menghampiri, lewat udara malam dan panas. Lembut, ringan tiada tara dan telanjang. Ia langkahi ambang pintu kamarku, meluncur ke dalam ranjangku. Lalu ditungkannya dan akhirnya direndamnya aku dengan senyumnya. Oh, aku cuma inginkan, Helicon.”
Selama hidup tak pernah dia butuh seorang dokter ahli penyakit mata. Sulit pula Biru Langit membawa pulang secarik resep dari dokter yang buka praktek di dalam perut botol. Kinilah saat yang tepat—usai menghitung berapa jumlah dokter ahli penyakit mata yang bertahan buka praktek—untuk membawa diri periksa mata. Atau setidaknya pada cerminlah setiap orang dewasa, anak-anak, perempuan dan lelaki, gembel dan priyayi, saling memicing apakah retina matanya masih cukup baik. Betapa pemandangan terindah saat penuh orang mengotak-atik mata. Lewat celah-celah bibir botol, dia mendengar suara lirih. Sebaris sajak kutawarkan padamu sebutir aspirin, botol-botol kosong.60)
Tiga
PEMUDA Pam adalah seorang sahabat dekat Biru Langit yang asli kalahiran kota Surabaya. Begitu dekatnya nyaris lebih dekat dari saudara, sebelum akhirnya karena begitu dekatnya pula bisa saling serang dalam sebuah perang urat syaraf bersaing memperebutkan seorang perempuan. Begitu dekatnya sampai-sampai tak ada sisa sejengkalpun kisah keduanya yang, lebih-lebih bila itu suatu hal yang lucu, yang dialaminya sama-sama. Belum sebulan dia baru saja kehilangan pacarnya.
Suatu ketika sebelum datang dengan wajah capek, dia, Pam itu sudah membawa keinginan nguping suara lebah berjubelnya orang. Seperti lagu cengeng, mengaum dan garang. Dia juga mengantongi labirin hidung anjing, mengendus bau busuk daging mentah. Dia kadang seperti kucing mencengkiwing ikan asin dari perut pasar, melompat pagar. Lari terbirit, dihadiahi bogem mentah, dihajar pemilik kios ayam potong. Seekor kucing nyanyi lagu sedih. Menyusup di celah cuping lelaki itu dan Si tukang ayam potong sial. Perempuan gembur mengaku gatal, alergi habis menyantap sebaskom ayam potong. Perempuan itu mengadu,mengajukan gugatan Dan pecahlah perang. Parang nyaris melayang. Dugaannya, di balik serat daging ayam, racun bersarang.
“Kalau mata saya sudah hijau bisa mampus betul perempuan itu.”
“Wah, urusan bisa rusuh, Mas.”
“Biar! Laki-laki!!!”
Lelaki matanya melompat-lompat, melotot terjun di toples cendol, mencari moncong mulut-mulut yang mencibir nyanyi lagu sedih. Mulut-mulut suka ikan asin, ikan salem, bumbu masak, beras, kaldu, cabe, kentang, sayur, kopi. Berdengung seru persis seperti lebah. Berebut nyanyian-nyanyian keras nada elangit. Adu mulut bersungut-sungut, teriak caci maki, umpatan, kucing kawin, lenguh pengemis, gembel, pelacur, bajingan, sandal, terompak.
“Jika daun kuping saya merah darah, hidung saya bau bangkai busuk, bisa banjir darah, Mas,” kilah lelaki asing itu.
“Byuh! Anda terlalu banyak nonton TV, Gus.”
Laki-laki kasar itu datang kali pertama menggendong bulan tengah malam di bangsal pasar. Persis preman mengais makan. Garang. Obral jual omong besar tapi tak sesen pun uang keluar kocek.
Sebelum pulang dan sore kembali dagang, pasar sepi. Lelaki preman memencet-mencet hidung jelalatan mencari sumber bau busuk bangkai. Entah di tempat mana, di bawah meja atau kursi pedagang sayur, buah melon, limau, daging, es batu. Entah!
“Sampean cari apa, Mas?”
“Banyak! Tapi yang penting saya cari pacar saya.”
“Di pasar ini? Sampai kapan?”
“Sampai ketemu. Sampai kapanpun.”
“Pasar ini mau digusur, dua bulan lagi.”
“Ha!!!”
laki-laki preman gelisah. Tukang potong ayam gelisah. Setan! Pencopet, pencoleng, garong, gali, gelandangan. Pencuri, kucing, anjing, bajingan tidak main-main. Pikiran sadis tukang ayam lumer oleh istri preman. Cepat, tukang potong berubah menjadi preman, lelaki yang sehari itu saja dia kenal, itupun berwajah aspal, kusut, meriang. Senyum dan irama siul dia sedih pahit, getir.
“Sebentar, Gus. Siapa nama pacar Anda? Barangkali saya bisa membantu.”
“Namanya Ninik Sumini. Dia penyanyi dangdut.”
Laki-laki preman pulang. Sore kembali. Malam pulang. pagi muncul lagi mengenakan raut wajah dan sorot mata telinga dan bau daging busuk di lubang hidung. Sementara berita pasar mau digusur menyusup menusuk kuping. Blauran, Bubutan, Babadan, Bungkul Merah, Wonokromo, Wonosari, Anom. Orang-orang ribut. Di pasar pelosok yang tersembunyi sampai beratap kardus bekas, tikar pandan campur lumpur, ribut, bagi laki-laki preman, biasa. Aman-aman saja. Segerombolan pedagang berembug protes menggelar kain hitam meneriakkan lagu sedih dan cengeng, menari memukul tambur bagai irama peredam bom kesabaran. Biar orang-orang tersentuh, tergerak, tercabik-cabik jantungnya. Tidak beku seperti jantung ikan laut bersisik, kulit mengkilat tajam gemerlapan tapi matanya sayu dan tubuhnya kaku. “Bukan berarti agar jantung dan hati kita selalu luluh di depan juragan-juragan berbaju dril coklat itu,” ujar pemilik toko kain di depan loudspeaker mungil. Lelaki preman muncul lagi. Biar selamat utuh dari setan yang masuk cuping telinganya soal penggusuran, nasib dan garis hitam penderitaan, dia pura-pura gila. Cuek. Persis tokoh tragis dalam Hamletnya Shakespeare. Jalan biar lempang. Aman. Dari nganga mulut lelaki preman menyusuri sepanjang lorong asongan berhamburan pernik-pernik partitur lagu sedih tanpa kecapi, gambus atau harmonika.
“Kasihku, di mana kau. Di mana kau. Datanglah. Sayangku, dimana kau. Di mana kekasihku. Datanglah diman…”
“Minggat, he! Wong Edan!”
Sisa-sisa jagung bakar, kaleng-kaleng kosong melayang dan kentang boleng tepat mendarat di punggungnya. Laki-laki preman pergi. Cuek! Bertubrukan betis bencong dengan lenggok kasar, muka bemo moncong bibir tebal, main serobot caci-makian.
“Ohh..Laki-laki nggak normal! Main sikat rezeki orang!” Giginya nyangkut tersenyum manis amat manis. “Permisi, Bu, Pak, Mas dan…” Lantas nyanyi sumbang.
tidakkah kau tahu
betapa hatiku oh rindu
tidakkah kau ngerti
betapa cintaku oh suci
janganlah bimbang jangan kau ragu
cintaku hanya…
“Pergiiii!!! Asu!”
“Wong Gendeng!”
Bagi laki-laki preman pacar adalah lagu. Kemana saja musik itu akan dia kejar. Ke ujung pasar sekalipun. Nihil suara itu tidak jauh dari rongga hatinya. Dekat tapi jauh. Jauh tapi amat dekatnya di dimensi segala ruangan, sudut, tempat terbuka. Udara bersih jadi syair masuk ke bilik paru-paru menggetarkan denyut jantung lelaki preman. Setajam pisau tukang potong ayam mengancam sasaran. Braakk!! Tidak meleset. Penyanyi dangdut akan terus singgah di hati lelaki preman. Sampai kapanpun. Sampai bumi ini terlihat seperti pasar malam di tengah sawah sekalipun.
“Ninik, aku mencintaimu, mencintai suaramu, mencintai bekas-bekasmu, mencintai orang-orang yang kau cintai, mencintai tempat-tempat yang pernah kau singgahi dengan penuh cinta. Hanya Kau yang Kupilih. Tunjukkan tempat kuburnya jika sudah kau matikan ia, Tuhan…”
Lelaki preman itu pun menangis. Suara, igau dan sesengguk dia, melesat nyaris hilang. Kembali bau busuk menusuk. Laki-laki itu diserbu rasa takut. Dia sibuk peuli hidungnya mengendus. Bau bangkai tikus? Ikan laut? Sisa daging? Atau manusia? Laki? Perempuan? Jangan-jangan…Huh!!! Lelaki preman cepat lebih tangkas. Parade kerumunan lalat beterbangan dengan ganas, menggaruk sisa makanan di bak sampah melompat ke bak daging kambing, daging sapi segar, daging manusia. Secuil tersangkut di kaki serabut semut turut tersaji di meja makan dekat jamban. Cck..Cck..Cck..Daging ayam, kambing, sapi busuk penuh lalat dan ulat, dipamah habis. Gila! Lelaki preman mengaku memergoki orang melahap daging busuk, bangkai ayam dicomot saja dari empang kali. Lalu nyam-nyam-nyam. Tinggal sisa di pinggir bibir, bulu dan tulang rangka.
“Anda memang kebanyakan nonton TV.”
“Sering sebelum TV menyala bau busuk bangkai menusuk hidung sampai kedalam-dalamnya. Anehnya, begitu TV hidup bangkai itu benar-benar tidak jauh dari tempat duduk saya.”
“Tidak aneh.”
“Ya. Tidak.”
“Hah! Siapa sebenarnya nama pacarmu, kunyuk!”
“Ninik Sumini! Ah, sampean bisa menggantinya siapa saja: Titik Sandora. Evi Tamala. Nurhalimah. Anis Marsela. Puri Rahayu. Inne Chintya. Rhoma Irama. Hamdam. Mansyur. Basofi…”
“Diancuk! Dasar preman sableng. Saya serius.”
“Saya main-main. Pacarku penyanyi dangdut. Tidak pernah saya kenal betul kecuali lewat pita kaset, dan TV tetangga yang cuma punya dua warna hitam dan putih. Jelas!”
“???”
Lelaki preman roboh lagi. Ini kali tanpa setetes pun airmata. Wajahnya merah darah. Ada dendam kepahitan. Suaranya berat. Merintih. Hatinya gelap.
“Saya seriusssss…!”
Udara pasar makin keruh. Isu campur basil-basil sisa kotoran lalat hijau diterbangkan angin kering. Pasar tempat sarang bau bacin campur aduk bau parfum dan gincu wanita, sisa sengak mention, drum, jenever, Bir hitam, KTI. Gelisah, gundah, nasib, harapan, kecewa, hancur turun dicurahkan persis hujan dari langit. Bila terik datang, menguaplah. Sakit itu pula terbanglah seperti kapal-kapal kertas. Bagi lelaki preman segalanya lagu. Syair. Terbanglah…Terbanglah…terbanglah sampai jauh. Lupakanlah…Lupakanlah sampai pasar ini terkoyak ambruk, takkan kembali syair lagumu. Ia cuma kata. Sialan!
“Suara pacarmu pasti sungguh hebat.”
“Kalau tidak, saya tidak akan mengejarnya sampai di sini. Di TV pacarku pernah membuat ulah orang sakit jantung. Lalu tewas. Atau meremukkan TV cuma oleh sebab gelagat dia. Sampai saya dirasuki bakteri penyakit seperti ini. Tapi yang lain asal ngaco saja. Dangdut! Dangdut! Joget! Joget! Hebat bukan?” Lelaki preman bergaya executive.
“Tampangnya jika laki, pasti istrimu persis HM Damsyik si leher kalkun Datuk Maringgihnya Siti Nurbaya itu.”
“Oh, suka juga nonton TV?”
“Ya. 14 in hitam putih.”
Semenjak patok-patok dipasang di pinggir pasar, orang makin sesak nafas, membebek buta di senja hari. Pasar mau dibangun tertib atas Master Plan, Rencana Tata Kota. Tidak bisa tidak. Cepat atau lambat. Merdeka atau mati, hengkang. Oncat! Pasar hendak dibuat pagar kawat berduri. Kawat-kawat dipegang tangan kekar bertopi baja. Juragan-juragan berbaju dril coklat muda di belakang meja menggenggam handphone, cappucino, Coffee Beer, mengunyah rumsteak. Sejenak lagi kebiasaan orang mengumbar dan menguapkan bau bacin mulut tentang dongeng apa saja, lagu apa saja akan terkubur buldoser-buldoser yang berpikiran daging manusia dan daging-daging manusia berwatak segarang buldoser.
Di pintu keluar biasa mangkal tukang ojek, penarik becak, lelaki preman mendengar irama lagu sedih. Tangis orang sseperti bayi ditengah malam panjang, melolong, mengundang kasih. Di sebelahnya papan besar bertuliskan: Dilarang Berjualan di Sini. 50 m kanan dan kiri bertanda panah. Irama lelaki preman berubah garang. Kedengaran gendangnya dipukul asal kena. Ribut. Adu hentakan kardus-kardus bekas, kotak kue, papan atau tiang listrik asal dipukul. Yang penting bunyi. Pedagang, pembeli bisa main lempar batu, tendang botol-botol kosong, kaleng minyak. Pokoknya riuh berbaur basil-basil influensa dan jantung koroner. Seseorang mengaku berguru pada Ki Geram entah dari mana mengacungkan pedang. Rupanya dia tahu juga sulit merubah kebiasaan jika pasar dipagari kawat berduri. Dia tahu pula soal restribusi, setoran, upeti, sewa, salam tempel, pungli ponten. Hah! Sumpek! Sumpek itu akhirnya dibawa turun ke jalan. Buntu tanpa jalan.
Kabar pasar kawat berduri tercium juga dihidung lelaki preman. Dia ngamuk. Mengaum. Menyerang apa saja. Berguling-guling di jalan. Teriak-teriak. Habis itu nyanyi lagu apa saja. Tiba-tiba nyanyiannya menusuk sekali. Orang mulai tidak menganggapnya gila. Cepat perhatian orang-orang di jalan membawa kain, spanduk, kerudung hitam tersedot ke lelaki preman. Lalu es batu. Menyusul kemudian dibiarkan pikirannya dingin. Biar hatinya landau. “Saya sudah kehilangan istri saya. Sekarang saya kehilangan nyanyian-nyanyian dia. Kehilangan lagu-lagu yang jujur seperti lebah. Kemana lagi saya harus mencari. Saya capek!”
Lantas lelaki preman itu sendiri. Sepi. Orang-orang sudah kembali meninggalkan dia. Sibuk. Bingung. Takut. Sebagian orang memilih mata pencaharian baru. Sebagian yang lain kesruh mengurus soal surat pindah, surat keterangan, ngurus sertifikat tanah, ganti rugi. Ruwet! Lelaki preman dengan suara yang amat kecil mencium orang ngomong Rp. 750 ribu per 100 m2 sampai 40 meja. Lewat saja. Dia cuek. Samar-samar dari jauh tetapi amat dekat, lagu Hanya Kau yang Kupilih Basofi di tengah kebun the tersadap menyusup di celah kuping lelaki preman. Jantungnya kambuh. Lindu rasanya bertubi-tubi. Dinding jantung lelaki preman retak.
“Saya lihat di TV kawat berduri dipakai menjerat tubuh manusia. Dan buldoser menari-nari di atas tubuh orang.”
Lelaki preman ingat nyanyian. Kembali ingat seekor kucing mencuri ikan laut, ingat pisau tukang ayam. Lalu lalat-lalat yang melompat ke bak sampah, menari-nari di daging busuk.
“Bau bangkai tidak jauh dari tempat duduk ini. Hati-hati!”
Lelaki preman menyebut namanya Randu, atau boleh siapa saja Lazuardy, Barep, Andi Sudirman, Zivago. Lelaki preman mekin telantar mencari istri dan nyanyian. Bersama pasar yang terbakar dari empat arah, lelaki preman mati karena sakit jantung.
Diamput! Itu cerita picisan, biarpun Pam dikira preman tapi sama sekali tak ada bau penderitaan, apalagi semangat perlawanan, tidak punya pijakan, tak ada spirit untuk melahirkan suatu yang bermakna bagi hidup, yang dia ceritakan cuma pacar dan lagu-lagu dangdut yang dinyanyikan penyanyi-penyanyi yang sering muncul di TV, tak ada kepedihan di situ seperti pengalaman Biru Langit yang telah disumpalkan di kuping Pam, sama-sama tentang kehidupan orang pasar, di sebuah pinggiran kota, di Kremil—komplek pelacuran pinggir kali kumuh. Di situ pasar malam dan ludruk murahan sedang digelar.
Di lain waktu di kepala Biru Langit, pasar malam membludak. Pertunjukan campur aduk. Dagelan, ludruk, orkes. Panggung mau roboh disesaki hiburan, dijejali tawa ngakak. Laki perempuan cekikikan mengunyah kacang. Berpasang mata suram kehilangan energi diserobot asap rokok hingga sunsum urat-urat. Sepet. Ngantuk. Bahu laki perempuan rubuh, takluk, kusut, ambruk dan tumpah. Mendusel sampai remuk. Di pintu orang berjubel keluar dan masuk. Di sebelah kiri pintu banyak orang ngobrol. Di kanan orang joged riang melepas dendam. Bir ditenggak. Irama dihentak. Berbaur gerit kursi lipat beringsut digerat, digesek-gesek, digosok. Gending berselancar, bertalu sejak tengah malam tapi sepi penonton yang meluncurkan segebok rokok. Ada yang mencoba main-main, melempar botol-botol plastik. Menghantam dengkul pelawak lucu, botak, berkumis sebelah, celana komprang dan kaos sepatu merah menyala, celana kulot bergambar kalajengking sebesar buah pisang tepat di bagian depan.
“Mau bir hitam?” sesorang bernama Bawong menawarkan pada Biru Langit.
“Tidak, terimakasih.”
“Joget?”
“Terimakasih, saya capek.”
“Ineks?”
“Ohh…”
“Ada penyanyi cantik, aku kenalkan.”
“Nah, ini baru siippp!!!”
Biru Langit pasang aksi. Dia melihat dengan mata telanjang ke atas. Purnama sedang bersih. Penuh bintang. Dia dikenalkan Lailly, penyanyi yang dibon orkes dangdut yang bersama grup ludruk keliling. Tapi sial, nampaknya dia menyesal setengah mati baru mencuri pandang di atas punggung panggung. Akibatnya, dia jadi buta wanita cantik. Jadinya, Biru Langit harus mengulang-ulang kata; cantik, cantik, cantik. Byuh, tak satupun perempuan yang melebihi purnama. Huh, sombong benar. Awalnya dia pegang tangan Lailly, dia buang muka ke arah kiri. Jatuh pada laki-laki hitam bibir tebal kusam tengah berjongkok. Tahu apa yang dialakukan? Dia usrek dengan perempuan. Cih! Main pegang, mendusel tenggelam. Semua tak peduli semua yang tenggelam. Justru berpasang mata tajam mengancamnya.
“Hehhh!” Lailly membentak Biru Langit sampai terjungkal. Malu dia. Dia terkesiap, terkejud betul, kaki dan paha pemain bola terbuka disingkap-singkap angin menjambaki muramnya. Muka lesung penumbuk padi. Tangan potongan bambu. Itulah perempuan Lailly. Biru Langit tidak berusaha menarik perhatian Lailly. Lailly seperti perempuan jalang lain yang sepanjang dongeng-dongeng dan diceritakan sahabatnya di warung-warung kopi. Menantang dan merangsang. Biru Langit merasa berdosa pada purnama yang bisa saja diisi dengan gambar-gambar suci. Katanya, pada mulanya perempuan macam Lailly akan bermanja-manja, manis, sebelum akhirnya kejam mengancam. Tapi dia itu penyanyi! Uhh…penyanyi model apa suara saja serak mirip seng bekas drum aspal!
Pikiran bertarung dan bertaruh. Oh, nasib penyanyi orkes dangdut dibon grup ludruk murahan kembang kempis di komplek pelacuran kesenian? Apa-apaan ini! Penyanyi night club, hotel, café shop saja kerja serabutan, main sabit dan main serabutan, main cabut dan main serabut, kok. Biru Langit tidak sanggup lagi menantang purnama. Mengumbar dosa. Dia cuma bisa memakan lampu-lampu panggung. Sampailah Biru Langit di ujung belati terhunus nyali kejalangan Lailly. Biru Langit dipelototi.
“Mas, Anda di sini tidak usah banyak tingkah. Aku bisa panggil bodyguard untuk meremukkan perut sampean! Jangan menghina aku, Mas.”
Biru Langit cukup tahu perempuan ini tidak main-main. Dia lirik di sudut seng berdiri bergerombol orang sangar, hitam, penuh tato, celana berhias rantai, tangan penuh batu akik.
“Wong!!! Bawong!!!” Biru Langit teriak memekik sampai urat leher menyembul. Justru sama sekali tak menarik perhatian. Penyanyi kedua orkes telah turun dan ludruk murahan berlanjut.
“Jangan sok suci. Mau apa datang ke sini, ha?!!”
“Itu urusanku.”
“Ya, aku memang nggak punya urusan.” Lailly dia seret masuk bilik istirahat para awak ludruk. Persis ponten umum. Biru Langit dibiarkan di luar. Selama dia digoda perempuan-perempuan jalang belasan tahun seperti mobil baru yang melintas pulang balik. Biru Langit teringat perempuan-perempuan setengah waras yang digodanya waktu di kampung. Dia juga ingat nasi pecel lele di meja makan. Jika dia lapar musti disantapnya habis sampai tuntas, sampai tandas.
Kembali hiburannya dia sempatkan menatap rembulan purnama yang persis wajah perempuan-perempuan di kampung dulu, semenjak ia diperkenalkan oleh Bari. Perempuan yang cantik seperti bintang-bintang bermain-main di terang cahaya. Lailly menyanyi. Buruh-buruh kasar, pedagang, pasar kuli-kuli pabrik melepas dendam di rumput halaman panggung. Wajah lesung Lailly dihantam sorot lampu hologen, meliuk-liuk. Di sela-sela suara yang melengking seperti lolong anjing, seperti di sela rambut-rambut ketiak, dua badut menjambaki rambutnya kemudian punggungnya, bokong, sampai senggol sedikit da bukit susu kiri kanan. Biru Langit lebih suka terganggu ribut-ribut orang nyaris beradu otot, siulan mencari lawan, teriakan caci maki, pedagang mencari pandang dari dinding-dinding sesek yang mau ambrol, daripada liuk penuh dosa tubuh dibebat plastik transparan. Astaghfirullahaladzim! Lailly terus memaksa, mencekoki, menekan ke cuping stiap telinga dengan syair-syair lagu sedih yang dibuat-buat. Nampak sekali beda dengan omongannya yang kasar, jago berantem. Bisa jadi memang orang yang sanggup melantunkan bait-bait kesedihan itu orang yang jauh dari penderitaan, karena orang menderita cuma tahu bunyi mesin pabrik atau perintah-perintah kasar. Hasilnya cuma mendendam, melacurkan diri di panggung orkes dangdut dan pentas ludruk para bencong.
Pukul tiga orkes turun. Bawong muncul dari balik bilik panggung. Mata Biru Langit terus tertuju resleting celana dia. Di sebelahnya, sebut saja mucikari juragan ludruk. Biru Langit bisa dengar dari nafasnya senin-kemis, sama ludruk yang kembang-kempis. Badut ludruk tadi juga menyebut juragannya mucikari Broto. Jadi klop. Mucikari. Mucikari. Mucikari. Sehabis membetulkan resleting celananya, Bawong cuap-cuap asal muncrat bicara soal kesenian tradisional dan permasalahan tanpa metode pendekatan dan landasan teori yang memadai langsung saja mencoba menawarkan bargaining power. Menyusul kemudian kesimpulan. Bagi Biru Langit masuk telinga kiri keluar lubang kanan. Blong!
“Jadi begini juragan Broto, saya datang kemari mencari bibit-bibit pemain baru terutama untuk peran wanita. Zaman dulu, zaman stambul, dardanella, besutan memang wanita dipingit tidak boleh jadi pemain ludruk. Sehingga untuk peran wanita diganti laki-laki. Sekarang banyak wanita cantik-cantik. Tahu kan maksud saya juragan, karena penonton kita juga berkembang status sosial dan ekonominya.”
“Juga moralnya? Tidak bisa, Pak. Pemain-pemain sudah saya bayar tetap dan mereka sudah bertahun-tahun ikut grup ini.”
“Kalau honor mereka saya tambah dua ribu tiap malam?”
“Pak Bawong jangan mempermainkan saya. Tadi bapak maunya membantu saya, kok malah pamer kenaikan honor pemain. Kalau mau bantu belikan saja material, kostum…”
“Nanti juragan dapat persen. Juragan harus sudi berkorban. Ludruk ini jihad juragan.”
“Tidak bisa!”
“Saya kontrak saja Lailly beberapa malam.”
“Pak Bawong, tolong, Pak. Cuma Lailly primadona paling lincah goyang dan merdunya. Kalau Pak Bawong bawa, saya akan kepaten obor.”
Biru Langit nyaris hengkang, meloncat mendengar basa-basi dibuat serius ini. Sampai ludruk bubar pukul empat. Bawong dan juragan Broto masih bersitegang berkutat masalah basa-basi. Lailly sendiri kabur dibawa laki-laki lain. Entah kemana. Ini semua dunia basa-basi, orkes, ludruk, penonton, juga laki-laki perempuan.
“Lailly! Lailly!” Juragan Broto mengejar perempuan itu.
Merasa diburu Lailly berkelit dibalik laki-laki barunya. Terjadi tarik menarik yang hebat. Lailly meronta.
“Mau kemana kamu?!” Pak Broto kian berang. Hampir main tangan. “Diamput!!”
“Kemana saja, Pak. Asal tidak dilempar-lempar seperti lemper. Saya sudah capek jadi boneka mainan. Dibeli sana. Dibeli sini!”
“Jangan jauh-jauh. Jaga diri baik-baik.”
“Apa peduli juragan? Ini calon suami saya,” Lailly lantang menyeret laki-laki itu.
Huh! Dia ngece Biru Langit. Biru Langit sempatkan menikmati siraman cahaya purnama. Biru Langit ini basa-basi pula. Tapi mudah-mudahan tidak. Biru Langit masih menyisakan belas kasihan. Awak kena virus ebola! Oh, Biru Langitu telanjur dosa mencap ini main-main. Tidak bisa tidak. Jadi ya begitulah, mudah-mudahan ini basa-basi, main-main.
Juragan Broto kusut beringsut. Dia terjungkal hati. Tersinggung. Mukanya persis dihantam sandal atau plastik bungkus minuman. Hening. Hanya bungkus kacang beterbangan menempel pada seperangkat gamelan bercampur debu yang sama sekali belum dibersihkan dari tempatnya. Untuk besok malam.
“Aku tidak suka perempuan macam Lailly. Aku sungguh suka penari remo, namanya…ee..ee ckk..ckk.”
Biru Langit mendelik tapi aku tidak berpikir serius. Sama. Bawong tidak peduli omongan terutama ke bulan!
“Tadi mau kau bawa kemana katamu?’
“Ke bulan!”
“Ya, barangkali Utami eh..Utomo juga hendak kubawa ke sana. Siapa tahu itu tempat yang nyaman atau siapa tahu di sana ada permainan yang lebih dahsyat lagi.”
Malam berikutnya Biru Langit datang sendiri tanpa kawan ke barak penuh dongeng itu. Tentu saja bulan cuil tinggal sepotong. Tidak lagi dia bisa leluasa menyapa bintang-bintang yang bermain di emplasemen bulan sebagaimana diceritakan Pak Amang Rachman Zubair lewat lukisan alamnya. Awan pun seringkali datang berbuih persis ombak memecah.
“Mau bir? Atau ineks?”
“Tidak, terimakasih.”
“Wanita cantik?”
“Ha??!”
“Namaku Rusma.”
“Rusma siapa?”
Lalu bulan tertutup awan. Langit gelap.
Empat
BERSAMA Pam cerita perempuan atau bencong seperti biasa begitu gampang terlupakan biarpun setiap kali perang urat syaraf itu belum akan pernah usai, setidaknya untuk waktu-waktu sekarang ini. Di sisi lain, darah muda kami masih menggelora, ya darah laki-laki yang butuh perempuan buat apa saja. Namun darah yang tersirap di tubuh laki-laki macam Biru Langit dan Pam telah lama dialiri sebentuk dendam atau apa saja tentang kemiskinan, penderitaan, masa lalu yang suram. Sebab itu, yang tak begitu gampang dan mungkin tak kan pernah terlupakan adalah ketika Pam pula yang memperkenalkan Biru Langit pada anak-anak muda kiri di univrsitas. Begitu kirinya, sampai-sampai mereka seperti berandalan dan bukan tampang seorang pemikir jempolan. Anak-anak muda kreatif yang hadir dalam sebuah diskusi “Rekonstruksi Bisu.” Di situ dia diperkenalkan dengan jago-jago berdebat seperti Anom Astika, mahasiswa Politik yang abadi anak Bali yang tak pernah diizinkan menyelesaikan studinya di Airlangga. Herman anak muda berkaca mata tebal yang sesungguhnya intelektualnya biasa-biasa namun bila bicara ia meledak-ledak, menyerupai petir, kemudian banyak anak-anak muda bersemangat.
“Banyak mereka yang hadir dari pergerakan sosialis Solidaritas Mahasiswa Jakarta, Jakker, SMID, PPBI, 61) ” bisik Pam disela-sela saat mengikuti diskusi mereka.
“Siapa mereka-mereka itu, bicaranya begitu berani,” seperti biasa, Biru Langit selalu tampil menyelidik.
Pam nampak mengangguk atau sedikit tersenyum, menggerakkan tangannya sedikit pada kawan-kawan yang ia kenal, agar tak dicurigai orang-orang yang hadir dan kebanyakan belum juga ia kenal, “Kendengarannya mereka-mereka dari Front Pemuda Nasional dan Gerakan Demokrasi Nasinal,” Pam terus mencoba memberikan informasi pada Biru Langit sebisanya, biarkan sedikit sibuk dengan dirinya sendiri, “Kamu tahu Front Pemuda Nasinal diantara kawan-kawan pergerakan telah dicap Leninis dan Gerakan Demokrasi Nasional lebih Maois. Cikal bakalnya sejak delapan tahun lalu, diskusi-diskusi yang dibuat secara sembunyi-sembunyi Persatuan Pemuda Nasinal,” imbuh Pam.
“Rupanya, mereka itu anak-anak muda berbau komunis?”
“Bukan. Maksudku bukan semuanya anak-anak muda komunis, apalagi jika yang kamu maksud itu yang PKI. Saya tahu dari keterangan-keterangan mereka, ada faksi PSI Sjahrir, faksi Tan Malaka, dan tentu saja faksi PKI.”
“Dari bicaranya, aku tahu nampaknya itu tidak cukup penting bagi mereka,yang penting bagi mereka adalah revolusionernya,” bisik Biru Langit
“Ya, anak-anak muda itupun tahu sejarah. Tahu bagaimana sejarah masuknya komunis di Indonesia saat dibawa Snevliet dulu. Dulu juga tidak pernah secara terang mengatakan komunis tapi social democratik. Seperti dulu Snevliet, pada tahun 1914 dia juga sosial demokrat.”
“Artinya dalam perjalanannya memungkinkan bagi mereka untuk menjadi komunis?” celetuk Biru Langit.
“Sekarang ini memang bukan komunis tapi selangkah lagi bisa, bukan tidak mungkin hanya menunggu waktu saja untuk melangkah.”
“Apa itu penting bagimu, komunis atau bukan?”
“Ya, tidak sih!”
“Seberapa penting jangan anggap komunis atau memang komunis, karena kenyataannya memang bukan berarti mereka-mereka dari bicaranya bukan penganut Marxis, mereka dapat diartikan kira-kira dalam artian penganut sosial demokrat dan populisme. Semacam kiri baru, saya kira mereka bukan komunisme tapi kiri.”
“Ya,” tandas Biru Langit sekaligus menyakinkan dirinya sendiri, “Sepatutnya tidak usah terlalu phobi dengan Marxisme. Marxisme dan Leninisme sudah lewat. Di Jerman saja pusat besar komunisme sendiri buku-buku Marxis dan komunisme sudah tidak ada. Saya kira memang harus ada yang kiri, karena bila tidak ada yang kiri itu lemah, betul begitu, kawan?”
“Kukira, ya! Tapi sebelum kita sendiri berdebat alahkah baiknya kita cermati anak-anak muda itu brsilat lidah, oke?”
“Aku tahu jalan pikiranmu, kamu hanya mencoba mencari kesamaan pikiran dengan aku, agar sama-sama bisa mendekati Sulistyorini bukan?” Biru Langit menggoda Pam.
“Hah, kau! Hendak lari kemana kau bicara!”
“Ketahuilah Sulistyorini tak suka politik, jadi percuma pacaran dengan orang-orang seperti kita, setuju kawan?”
“Jangan dulu kita bicara itu!” Pam berkelit.
“Ayolah, bicara!”
“Jangan, kataku!”
“Siapa yang bicara itu?”
“Arindra, orang SMID, tahu SMID?”
“Ya..ya!”
Perdebatan benar-benar terhenti, seperti peserta diskusi lainnya, Pam dan Biru Langit sama-sama mencermati bicara Arindra, seorang anak muda yang nampak pendiam, tenang dan suaranya kurang jernih berargumen, kata-katanya begitu lamban namun sekaligus menunjukkan benar-benar keluar dari pintu jalan pikirannya.
“Saya lebih percaya pada pernyataan Bung Karno dalam buku-buku. Bahwa gerakan tigapuluh September terjadi karena kebodohan pemimpin-pemimpin PKI, kepicikan pikiran-pikiran tentara dan kegiatan-kegiatan subversif dari agen-agen luar negeri. Tetapi dengan penuh tanggungjawab Bung Karno masih percaya kerusuhan pembrontakan oleh segerombolan orang sipil yang didukung militer itu percikan revolusi. Padahal itu semua jelas berarti menggerogoti kekuasaan Bung Karno. Perwira-perwira yang sekolah di AS tidak hanya belajar perang, tapi juga politik kekuasaan, punya kepentingan. Terutama para jenderal tahun 60-an. Soeharto juga dan Indonesia ketika itu masuk dalam jaringan politik domino komunis, komunis Cina, sosialis Rusia, Komunis Vietnam sampai Indonesia yang jelas menakutkan Amerika Serikat. Kecuali itu Amerika Serikat juga ketakutan dengan Bung Karno dan berupaya melenyapkan. Soekarno memang membahayakan Amerika Serikat. Dia bisa menggalang negara-negara terbelakang dengan new emerging forces-nya itu dan di Indonesia sendiri Manipol Usdek yang menyiapkan sosialisme, tumbuh dan hidup di sini. Ini kan cikal bakal perang besar antara blok barat dan blok timur, kapitalis dan sosialis. Indonesia dan Soekarno dipersiapkan untuk perang besar itu, waktu itu. Sosialisme itu pernah berkembang subur di sini juga komunis. Syahrir, Hatta, Soekarno itu orang sosialis dan sebetulnya Indonesia cocok dengan itu. Itu sampai sekarang sah saja. Tetapi keduanya beda. Sosialisme itu gagasan pemikiran masyarakat yang besar, dan dalam sejarah perkembangan pemikiran memang didominiasi oleh negara-negara Eropa timur, Soviet dan Cina untuk membendung kapitalime seperti saya sebut itu. Sedangkan komunisme itu memang bagian dari sosialsme, tetapi sudah melihat kontek sosial, budaya dan sejrah sebuah negara. Contohnya komunisme Cina ang mengembangkan Soialisme Marx, Lenin dan pemikiran ekonomi karakyatan Mao Zedong. Jadi tidak benar itu teman-teman PRD punya hubungan khusus dengan komunisme apalagi pewaris PKI yang merebut kekuasaan dengan paksa. Jika ada orang ngomong begitu berarti masih memakai truf lama. Teman-teman lebih memahaminya sebagai gerakan dengan ideologi sosialisme yang sifatnya lebih responsif terhadap gejala-gejala sosial, kebetulan akibat kuatnya desakan kapitalis. Di antara sosialisme desa yang diterapkan komunis Cina dan sosilisme kota milik Soviet, PKI condong ke sosialis Soviet, meskipun pada akhirnya membelot ke Cina. Kendati sebagian besar penduduk Indonesia petani, PKI lebih memilih cara Soviet, karena PKI menghadapi peran kota-kota, khususnya di Jawa, kapitalis-kapitalis yang perlu digeser. Itu tindakan konkret selama perang dingin.”
“Intrupsi!” seseorang menyela,” maaf saya mohon bicaranya dipersingkat saja…”
“Ssstt,,, siapa itu, Pam?” bisik Biru Langit.
“Anak teater, aku sendiri tak sebrapa kenal.”
“…Orang-orang pergerakan hampir semua tahu itu, silakan persoalannya dipersingkat saja,” lanjut anak teater itu.
“Baiklah, persoalanku, makin banyak saja orang ketakutan dengan komunisme. Menurut saya semakin banyak orang ketakutan, maka orang-orang seperti kita ini makin besar kemungkinan untuk jadi PKI betul, bagaimana ini?” Mungkin karena tersinggung bicara Arindra mendadak lebih lancar dan lantang.
Ketajaman bicara Arindra dan persoalannya yang betul-betul baru, membuat suasana kosong sejenak. Anak-anak muda itu sama-sama berpikir, tidak tahu siapa yang angkat bicara untuk turut memecahkan persoalan yang diajukan Arindra, hingga kemudian seserang, memberanikan untuk menjawabnya—sudah barangtentu jauh dari persoalan sebenarnya, apalagi harus dengan membolak-balik membaca kembali makalah yang telah dibuatnya panjang lebar.
“Begini memang lebih tepatnya komunisme tidak prenah mati. Secara ideologis komunime itu dimana saja, termasuk di Indonsia bisa muncul kembali. Ini mengingat di sini saja, sistem pemerintahan ala komunis memang belum pernah terwujud. Tetapi dalam prakteknya akibat desakan dari luar maupun kelemahan sebuah konsep sistem pemerintahan, akibatya lebih dari yang direncanakan oleh komunisme. Baiklah, saya akan melihat pada tubuh Golkar saja sebagai kekuatan kekaryaan dan politik. Karena golongan ini yang pada akhirnya menguasahi pemerintahan dan menggunakan kunci birokrasi, setelah PKI gagal merebut kekuasaan. Munculnya Golkar itu melampaui cara-cara yang dikembangan komunis. Pemerintahannya tidak mempunyai visi secara jelas kecuali sebagai respon untuk memperjuangkan kelas ekonomi. Di sini politik birokrasi sebagai alat untuk tujuan ekonomi. Juga pembangunan kultural yang sering disebut-sebut ternyata tidak pernah terbukti sedikit pun. Contohnya kultur Jawa. Golkar, orde baru, Soehato terlampau sering menyebut-nyebut kultur Jawa sampai ruangan-ruangan, kursi pintu harus dinamai istilah Jawa. Yang betul adalah pemerintah masih menggunakan cara kekuasaan Jawa dalam merebut pemegang kekuasaan. Raja-raja Jawa yang dulu menggunakan mitos sabdo pandito ratu, manunggaling kawula lan gusti masih dipakai untuk legitimasi pemrintah sekarang. Caranya dengan menciptakan kondisi chaos sebelum menguasai daerah atau negara. Ini motif merebut kekuasaan kelas sosial yang dilakukan oleh kelas menengah atau bawah pada masa dulu. Hal yang sama persis dilakukan oleh hampir kebanyakan penguasa di Jawa bertahun-tahun lalu dan berkali-kali dalam sejarah Indonesia. Sistem politik birokrasi ini pernah berkembang masa pemerintahan Hindia Belanda, khususnya dalam hal kebijaksanaan perdagangan, ekonomi dan tentu saja politik. Waktu itu juga di-counter oleh organisasi sosial yang sebagian lari tidak sabar mengarah pada kepentingan komunis. Organisasi sosial yang terjebak pada perjunagan kelas di masa pemerintahan Belanda akhrinya berkembang menjadi komunisme dengan merusak, menteror sendi-sendi perekonomian kelas penguasa ekonomi. Mereka hanya memperjuangkan struktur kelas bawah untuk merebut kedudukan kelas atas. Dan sekarang cara-cara itu dipraktekkan pemerintahan orde baru tanpa perbedaan. Bahkan sebetulnya cara-cara komunis itu jauh lebih baik ideologi maupun tujuan-tujuan praktisnya. Ini terlepas dari PKI yang tidak menyukai dmeokrasi dan bebuntut perebutan kekuasaan secara paksa. Komunisme di tingkat bawah menguasai betul lapangan kelas petani dan buruh sedangkan Golkar tidak. Meskipun perolehan basis massanya meniru komunis, misalnya dengan masing-masing anggota mengkader lima orang sampai tingkat bawah dan sebagainya. Dalam hal demokratisasi juga begitu. Demokrasi yang digembargemborkan oleh pemerintah itu sendiri sebetulnya juga bersama-sama memelihara apa yang disebut manajemen konflik yang cenderung menjadikan pemerintah bersifat otoritarian, totaliterisme. Semua gerakan yang lawan kemapanan tidak peduli ekstrim kanan, ekstrim kiri akan dihabiskan. Tidak peduli bahaya laten komunis atau sebetulnya bukan komunis diklaim komunis karena untuk menghabisi. Ini senjata ampuh yang turut melegitimasi pemerintah dan ini pembunuhan ideologi yang berkembang di masyarakat…”
Diskusi masih amat panjang, namun dari satu pesan penting ini, sudah bukan suatu persoalan yang menarik untuk diikuti, pembicaraan cenderung tidak fokus, dan seperti biasa di setiap acara diskusi yang bicara adalah mereka yang memang jago untuk itu.
“Sudah lama kamu bergaul dengan mereka, Pam?”
“Lumayan,”
“Tapi mengapa pikiran sosial demokratmu itu tidak kamu tunjukkan padaku?”
“Jadi kita mulai berdebat sekarang?” Pam rupanya menantang.
“Soal yang mana?” kembali dimentahkan Biru Langit.
“Diamput kamu!”
“Kenapa tidak kita teruskan soal si Sulistyorini tadi? Sampai dimana kamu bicara tadi?”
“Baik!” Pam kedengarannya emosi. “Ya, tadi kamu bilang Sulistyorini tak suka politik, lantas?”
“Untuk apa dia suka kamu?”
“Atas dasar apa pua dia pacaran sama kamu?”
“Dia mahasiswi politik!”
“Ah, itu masalah lain.”
Lima
ANAK-ANAK muda kiri atau yang sudah telanjur berbau kekiri-kirian, melihat politikus seperti pepatah guru kencing berdiri, murid mengencingi guru—jadi politikus-politikus tak jauh dari cerita tentang kencing itu.
“Bumi ini dihuni lebih dari lima miliar nyawa manusia. Sebagai insan manusia ciptaan Tuhan jumlah miliaran itu semuanya kencing dengan rupa-rupa warna, bau dan mungkin rasa. Bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa, kakek-nenek, laki-perempuan, presiden, menteri, hakim, jaksa, tentara, politikus, profesional, buruh, petani, mahasiswa, demonstran. Tanpa menggeluh, bumi ini terpaksa menjadi ponten umum bagi mereka dan dia harus rela menyediakan dirinya untuk ribuan kubik liter air kencing Tapi lain ceritanya kalau bicara tentang kencing binatang, atau manusia yang sedang menghuni ruang angkasa di stasiun MIR. Seperti halnya, lain pula bila cerita tentang politikus. Ada ratusan ribu politikus (mengingatkan pada ungkapan ‘ingin kaya mendadak? jadilah politikus’) yang kencing di bumi. Yang terbayang di benak setiap orang, politikus-politikus ini digaji dan makan dari uang rakyat atau uang siapa saja yang mengatasnamakan rakyat. Biarpun ternyata masalah gaji dan tetek mbengek asal-usulnya betul-betul bukan menjadi masalah, karena memang tak pernah dicoba dipermasalahkan! Kecuali itu tidak ada. Apalagi mustahil jika ada sebatang hidung yang pernah melintaskan sejenak angan-angan bagaimana para politikus ini kencing,” demikian kata-kata mereka.
Mereka menyebut politikus Bintang Sakti, seorang sesepuh pialang politik di sekitar komplek Balai Pemuda. Namun bagi Bintang Sakti, justru dari miliaran orang di bumi yang semuanya butuh makan itu, rasa-rasanya hanya dirinyalah satu-satunya politikus yang memiliki kebiasaan aneh: kencing di pinggir jalan. Jalanan mana saja di kota-kota besar di seluruh pelosok negeri ini sudah dia kencingi. Jakarta, Aceh, Pontianak, Ujung Pandang, Mataram, Biak. Bahkan jalan-jalan besar di negara-negara yang sempat dia kunjungi rupanya juga bernasib sial harus dia kencingi pula. Australia, Malaysia, Amerika, Cina, Singapura, Thailand dan tidak lama lagi, negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis dipastikan juga bakal dia kencingi. Tiada seorangpun reporter yang berhasil mewawancarainya karena begitu tape recorder atau microfon TV menyala, politikus gaek itu harus cepat-cepat mohon diri untuk kencing. Maka diapun cepat menyambar tasnya dan lari lewat pintu belakang kantornya langsung melompat pintu pagar dan melirik jalan sebelum akhirnya kencing. Suka kencing di pinggir jalan, bukanlah penyakit baginya. Sebaliknya, justru ini yang jauh lebih menganggu dari penyakitnya sendiri, kencing manis. Dulu semasa kecil ketika masih berada di pedalaman kampung di pelosok kota Ponorogo, politikus Bintang Sakti memang pernah mengidap ‘semacam’ penyakit ngompol yang amat berlebihan. Dan itu terbawa hingga usia remaja. Bila tidur malam, Bintang Sakti bisa ngompol tiga hingga empat kali. Remaja seusianya sudah tidak sama sekali mengalami hal itu. Kerena itu iapun dibuat malu oleh kawan sebaya, demikian juga dengan ibu dan bapaknya. Dia lebih beruntung dari anak-anak sebayanya yang kesulitan menangis. Meski karena alasan yang berbeda, keduanya harus sama-sama diperiksakan ke dokter. Kata dokter, menginjak dewasa akan hilang dengan sendirinya. Betul. Semenjak SMA, kebiasaan buruknya ngompol di sembarang tempat tiga hingga empat kali itupun sirna. Analisa yang tepat dari seorang dokter specialis yang akurat.
Menjadi politikus baginya bukanlah pekerjaan berat. Sebaliknya, adalah sebuah profesi yang sifatnya rekreatif karena dengan begitu, dia bisa berbicara banyak (maksudnya banyak ragam) sebanyak suara yang dipanggul di punggungnya. Juga menjadi politikus membuatnya bisa memilih kawan banyak dan bukan asal orang yang suka membebek. Soal banyak dan bebek menjadi cerita tersendiri bagi politikus Bintang Sakti. Bebek bukanlah contoh baik buat seorang politikus. Tapi seekor banyak dengan leher yang jenjang, mata awasnya, keberaniannya menggoda, otaknya yang menonjol, lantang, bisa menjadi panutan. Sebuah filsafat yang sederhana yang tidak setiap politikus punya kepekaan untuk itu. Sekalipun dari politikus asal kampung sekaliber dia. Dia tak pernah belajar pada negarawan besar semacam Jefferson, Rossevelt, Soekarno, Syahrir, Khomeini atau Mao. Apalagi belajar kepada Plato hingga Kertanagara. Tidak sama sekali. Anehnya, berbicara tentang moral, tentang korupsi, rakyat, demokrasi, pemerintahan, seni, agama Bintang Sakti tidak kalah (tidak mau mengalah?)dengan mereka yang dijuluki politikus kota. Yang terakhir ini kadang-kadang diucapkan dengan sebutan politikus sekolahan. Satu hal yang memberatkan Bintang Sakti, menjadi politikus baginya sebetulnya adalah berjuang melawan kencing. Kenapa? Karena kesukaannya kencing di pinggir jalan itu sudah dialaminya selama beberapa tahun terakhir semenjak dirinya menjadi politikus. Masih jelas dalam ingatannya, bagaimana terakhir kali calon politikus Bintang Sakti tidur pulas di masjid berselimut sarung, tanpa ngompol tanpa keinginan kencing di pinggir jalan. Ini kebiasaan calon politikus Bintang Sakti dari remaja hingga separuh abad hidupnya. Semenjak menjadi politikus dan kesukaannya kencing di pinggir jalan itu, masjid bukanlah tempat yang nyaman untuk mengendap-endap siap kencing di bawah pohon pinggir jalan. Akibat kesukaannya yang aneh itu santri-santri yang rajin sembahyang di masjid banyak yang merasa kehilangan ‘orang penting’ di kelompok pengajiannya. Masjid yang tak pernah sepi santri sembahyang, semenjak Bintang Sakti jadi orang politik mendadak sepi mampring, senyap, terutama bila malam hari. Seorang saja tak ada yang sembahyang malam, apalagi ngaji khatam. Yang paling perasa dalam hal ini adalah kyai dan imam masjid Ibnu Hadjar. Akibat pilihan politik Bintang Sakti diam-diam makin tumbuh dalam dirinya kebenciannya terhadap politik, meski bukan berarti anti tindakan politik. Politik baginya adalah candu dan candu itu perlu dalam hidup. Seperti dirinya menghisap candu rokok dalam-dalam ke setiap lubang jaringan paru-parunya. Mau tidak mau karena politik itu tadi, imam masjid Ibnu Hadjar memutus tali silaturahmi dengan Bintang Sakti. Naluri manusiawi imam Ibnu Hadjar tak menjadikannya membenci politikus Bintang Sakti, tetapi memaksanya untuk hengkang dari masjid dan memberi penyadaran kepada polikus-politikus, termasuk tentu saja Bintang Sakti.
Suatu ketika, sehabis sembahyang dluhur, di masjid sebuah kantor partai politik, imam Ibnu Hadjar bertemu dengan Bintang Sakti. Maksud hati, imam hendak menasehatinya tentang pentingnya jiwa ksatria dan kholifah dalam tubuh setiap manusia termasuk politikus. Politikus adalah bagian penting dari penduduk bumi, lebih penting dari manusia biasa. Alasan kebelet kencing dan jalanan yang jauh membuatnya perjumpaan itu sama sekali tak berarti kecuali perjuangan melawan kencing. Akhirnya, ceramah imam Ibnu Hadjar cukup didengar anak-anak muda yang tidak tahu politik, sonder Bintang Sakti. Anak-anak muda yang juga tak tahu bagaimana politikus hebat Bintang Sakti memiliki kebiasaan buruk kencing di pinggir jalan. Karena ketidaktahuannya masalah-masalah politik, imam Ibnu Hadjar dengan sabar memulai ceramahnya dengan ‘setelah Tuhan, kekuasaan ada pada uang.’ Anak-anak muda suka akan itu. Rencananya, minggu depan imam Hadjar akan berbicara, ‘Tuhan pun berpolitik.’ Bukan tidak mungkin minggu berikutnya, ‘Jangan percayai politikus, percayai diri sendiri.’ Jikapun mendengar ceramah imam masjid, politikus Bambang terang saja akan bertambah sakit, bukan lantaran kecaman profesinya, justru karena beban kencingnya itu makin melilit. Kalau masalah yang ini seperti kebanyakan politikus ulung, kecuali yang epicurist, dia bisa gunakan strategi check and balance, merangkul lawan. Dia akan mengatakan ‘begitu ya begitu, tapi mbok jangan begitu,’ karena sebetulnya politikus Bintang Sakti malu bila harus membuka aib dirinya perihal kencing itu. Hampir dapat diduga, isi ceramah imam masjid itupun sampai pula di telinga politikus Bintang Sakti setelah melewati pintu kanan-kiri.
Baginya, masalah kencing adalah masalah tersendiri. Pekerjaan tetap pekerjaan. Di kantor Dewan, ketika sehari-harinya, anggota banyak yang absent lantaran sakit atau kunjungan kerja, dia jarang hadir sudah pasti dengan alasan kencing itu tadi. Jika pun bekerja untuk setiap macam rapat komisi, rapat Pansus, rapat pleno, badan musyawarah, paripurna, pembahasan setiap rancangan undang-undang politikus Bintang Sakti tak pernah hingga kelar. Kencingnya, memaksa cepat mengambil tindakan meninggalkan ruangan tanpa salam. Di belakang gedung Dewan ada ruas jalan yang amat dia suka untuk membuang kencingnya. Deru mesin krata api di baik pagar menghidupkan kencingnya untuk menyerbu sarang semut atau rama-rama. Dulu, semasa di kampung, di belantara hutan, kencingnya itu mampu mengusir sekawanan rama-rama, barisan angkrang hingga anjing kudisan milik tetangga. Itu dulu ketika kencingnya masih sanggup melindungi bebek-bebek peliharaannya dari gangguan anjing. Begitulah sekarang lain ceritanya, dan ia tak bisa berbohong dengan kencingnya itu, barang cepat atau lambat, ketahuan pula belangnya. Seperti halnya yang lainnya, bukan sesuatu yang aneh, bila tak seorang pun pernah menyoal absent politikus Bintang Sakti dari ruang kerjanya di Parlemen. Para kuli disket tak bisa berbuat banyak, kalau koran tempatnya bekerja nyata-nyata kongkalikong dengan politikus, tak terkecuali Bintang Sakti. Reporter yang ngotot, terbukti bisa betul-betul dibuat miskin. Ingat anak istri? Cepat carilah rasa aman. Idealisme hanya ada di dunia imajiner karena idealis hanya berarti menelantarkan keluarga. Di dunia ini seolah hanya ada tiga pilihan, hidup atau mati atau hidup dengan bergelimangan uang. Daripada sengsara setengah mati lebih baik hidup, daripada hidup sekadarnya, lebih baik hidup bahagia dan sejahtera. Kepada siapapun, jangankan kepada wakil rakyat, tapi kepada rakyat, politikus Bintang Sakti tidak bisa berbohong untuk urusan kencing. Ketidakhadirannya, tak pernah digugat terlebih lantaran ia seorang yang banyak di jalan—ini satu-satunya pelajaran terpenting yang didapat Bintang Sakti selama kencing di jalan—dirinya jadi tahu betul bagaimana orang miskin. Biarpun politikus Bintang Sakti dari kalangan keluarga orang miskin, pengakuannya tentang orang miskin dan kencing di pinggir jalan, sungguh sesuatu yang menarik perhatian politikus bukan saja kawan tetapi juga lawan politiknya. Bintang Sakti sukses besar dengan bisnis ‘orang miskin’-nya itu. Bintang Sakti menjelma seorang penyelamat pada saat Tuhan diam saja melihat banyaknya kemiskinan di mana-mana. Bintang Sakti memberi pekerjaan kepada si miskin yang pengangguran, memberi makan kepada yang lapar, memberi uang dan pengetahuan kepada setiap yang membutuhkan. Itu semua dia ulurkan atas nama kemanusiaan dan Tuhan. “Harta karun yang tak ternilai harganya tidak terletak di mana-mana, tapi di sini,” ujarnya dengan kepalan tangan di letakkan persis di dadanya. Tak seorangpun dari ‘orang miskin’ itu yang paham maksudnya karena mereka tidak berkata-kata. Diam berarti tidak sepaham. Beda dengan paham imam masjid Ibnu Hadjar. Jika tanpa mendengar saja, keduanya sudah berseberangan paham, bagaimana sebaliknya? Bisa diduga, mendengar omongan politikus Bintang Sakti, imam masjid bakal berang tanpa ampun karena sudah berani-beraninya membawa nama Tuhan untuk kepentingan politiknya. “Satu hal yang amat dibenci Tuhan adalah mengkhianatinya,” dalam setiap ceramah imam masjid tak pernah melupakan kata ini. Imam masjid Ibnu Hadjar telanjur memuntahkan geram, ‘jangan percayai politikus!’ Tidak baginya, berarti tidak ada kompromi. Keduanya sama sekali tak pernah bertemu pandang maupun pandangan. Tidak juga dalam masjid. Seniman-seniman yang miskin dipelihara dan karena itu kesenian bisa hidup dan menghidupi. Seni yang radikal dirangkulnya pula dan tidaklah sulit bagi politikus Bintang Sakti. Demikian pula demontran-demonstran yang nakal.
Sebuah koran pernah meniru taktik, strategi dan manuver politikus Bintang Sakti untuk meringankan korban bencana alam. Dengan membuka dompet amal, menarik sumbangan pembaca yang terketuk hatinya. Namun ketahuan menari di atas penderitaan orang, terjadi korup di sana-sini dan politikus Bintang Sakti tampil ke depan, membela yang benar. Dia juga mengusulkan perlunya Parlemen membuat rancangan undang-undang khusus mengatur setiap koran yang membuka dompet sumbangan. Politikus Bintang Sakti melakukan segala cara demi perjuangan kemanusiaan ini. “Silakan korupsi uang negara, uang rakyat dan itu adalah murni kriminal pidana maupun perdata, tetapi menikmati uang korban bencana adalah kejahatan kemanusiaan yang hanya Tuhan tahu hukumannya.” Sebuah kezaliman telah mampu ditumbangkannya dengan perjuangan dan perjuangannya itu seberat melawan kencing. Benarkah?
Andaikata benar Tuhan pun barangkali akan cemburu.
Kesukaannya kencing di pinggir jalan membuat bintang Sakti dikasihani orang. Makin dirinya berani terbuka perihal keanehannya itu, banyak orang makin iba padanya sebagai sosok yang penuh diberkahi kemuliaan, kata orang. Dalam setiap pertemuan warga orang miskin ataupun rapat-rapat Parlemen, tak seorangpun berani memotong pembicaraan politikus Bintang Sakti. Bukan karena aspirasinya yang penting, tetapi lebih karena perasaan kasihan itu tadi. Cuma kencing dia yang demikian berani menyela bicaranya sendiri. Dasar kurang ajar itu kencing! Karena itu, selama dia tidak kencing selalu saja politikus Bintang Sakti diberi kesempatan berbicara terlebih dahulu. Akibatnya, yang sering terjadi adalah kebebasan berpikir dan menyampaikan pikiran yang diterima dari orang lain itu, dia artikan semaunya. Berbicara tanpa paradigma, basis operasional, konsep dan ideologi tertentu. Segalanya benar dan politikus Bambang adalah sosok yang paling universal dan melangit karena suaranya lebih mewakili suara langit. Anehnya, Tuhan tak pernah marah padanya begitu firman-firmannya diacomot semau dia. Kemiskinan sudah menjadi trade mark politik Bintang Sakti, tapi dia sendiri kaya raya, harta karunnya melimpah, simpanannya tak terhitung, selirnya banyak. Penampilannya sederhana lebih menyerupai seniman miskin ketimbang seorang politikus, badannya kekar, rambutnya putih memanjang. Seorang jurnalis pernah memergoki politikus Bintang Sakti keluar masuk ruangan Tuan Presiden dan sejak itu tersiar kabar dia bukan politikus sembarangan. Dia politikus garis depan, orang-orang menyebutnya tim buser, buru sergap yang dalam bahasa sehari-hari sebetulnya seorang anggota tim sukses yang menjamin kesuksesan kelangsungan sebuah kekuasaan. Mesin kekuasan. Laiknya sebuah mesin, dia keras. Tidak banyak kompromi dan tidak segan-segan merusak kanan-kiri. Jika seperti ini yang terjadi, Bintang Sakti lebih menyerupai seorang anggota kelompok intelejen daripada seorang politikus. Di situ uang menjadi taruhannya dan politikus Bintang Sakti bukan hanya keluar masuk ruang Tuan Presiden tetapi juga Gubernur, Bupati. Betapa politik baginya ibarat ruang meja makan di restoran, segala menu tersedia tanpa harus beranjak dari tempatnya. Ada yang mau pesan demokrasi? Kekerasan? Atau jalan ke surga? Wanita? Mayat? “Siapapun pemimpin negeri ini kelak, dia pasti mencari saya,” ucap politikus Bintang Sakti sesumbar suatu ketika.
Sebuah koran berhari-hari mengupas kemesraan hubungan politikus Bambang dengan Tuan Gubernur dan para Bupati lengkap dengan hobi aneh kencing di pinggir jalan politikus itu. Berita BS, politikus kawakan yang hobi kencing di pinggir jalan, menjadi headline. Tanpa ada yang menggerakkan, kantor koran itu pun disatroni orang tak dikenal. Jurnalisnya setiap hari menerima ancaman, begitu bangun pagi sudah lebih pagi sepotong pesan, ‘jaga diri baik-baik.’ Kekerasan menjadi santapan pagi sebelum gosok gigi. Demikian banyak kaki tangan politikus Bintang Sakti yang menjulur menjadi sulur-sulur pohon berbuah segar daging semangka. Kuping-kuping banyak berjalan flamboyan. Mulut-mulut berbaris rapi persis antrean beras jatah makan. Begitu banyak sebentuk bayangan-bayangan hitam yang menjadikan politikus Bintang Sakti tokoh nomor satu di negeri ini tanpa cacat.
“Ah, rasanya makin lama semakin tidak membumi dan betapa politikus Bintang Sakti dimanjakan Tuhan, begitu sulit untuk diungkapkan.”
Berkali-kali gaya kekerasan yang ditempuh politikus Bintang Sakti melalui bodyguard-bodyguard-nya terbukti efektif. Ancaman ‘jaga diri baik-baik’ membuat nyali jurnalis itu ciut juga. Pertemuan negosiasi keduanya dirancang. Pesan-pesan dibuat, lagi-lagi oleh orang yang tidak dikenal. Dialog cukup alot.
“Jangan dikira menjadi manusia seperti saya sama artinya dengan kenikmatan. Sama sekali tidak. Kamu menulis seperti saya ini anak Tuhan.” Bintang Sakti menggugat.
“Saya menulis tidak dengan imajinasi, lima sampai tujuh orang nara sumber sudah saya mintai keterangan,” seperti sudah disiapkan jawab jurnalis.
“Tapi cara Anda menyebut saya inisial BS itu, sama dengan memfonis diri saya kriminal.”
“Saya tidak bermaksud seperti itu.”
“Fakta tulisan Anda tidak bisa dibantah.”
“Saya punya atasan. Sesuai kode etik, itu tanggungjawab atasan saya.”
“Siapa?”
“Anda tahu sendiri, karena saya tahu bapak kenalan baik atasan saya.”
“Omong kosong.”
“Faktanya seperti itu, Pak. Saya tidak cukup bodoh untuk memahami ada apa sebetulnya di balik ini.”
“Ada apa, maksud Anda?”
“Atasan saya punya kepentingan dengan Bapak. Soal uang. Demikian juga dengan Bapak.”
“Ah, sudahlah.”
“Apa mau bapak sekarang?”
“Berita kencing itu sangat mengganggu saya.”
“Itu bukan masalah saya, tapi masalah bapak.”
Beberapa puluh menit kemudian, giliran Kepala Bagian Penerangan Dinas Kepolisian menelepon jurnalis itu menyatakan kekecewaanya atas pemuatan berita kencing politikus Bintang Sakti.
“Saya curiga ini hanyalah masalah anda yang tidak kebagian amplop,” seseorang berpangkat Inspektur Jenderal.
“Hati-hati anda bicara, Pak!”
“Anda seorang Jenderal, tidak pantas bicara seperti itu!”
“Nggak, saya ingin kenalan saja.”
Jurnalis itu tersinggung, telepon dibanting.
“Saya tidak bisa terima tuduhan Anda, Bapak yang terhormat.”
“Berita Anda itu terlalu berlebihan.”
“Oh, ya? Sejak kapan polisi tahu berita bagus?”
“Karena anda tak lebih sedang menulis persoalan pribadi anda dengan Pak Bintang Sakti.”
“Oh, ya?”
“Saya polisi. Dan polisi bicara berarti ada bukti.”
Jurnalis itu terkejut. Ragu-ragu dan tentu saja takut.
“Seorang wanita bernama Mardiana, istri keempat Pak Bintang Sakti itu bekas kekasih anda, betul?”
Jurnalis itu diam.
“Kemudian kekasih anda lebih terpikat lelaki berduit daripada orang setengah-setengah seperti anda, betul?”
Lagi, diam.
“Lantas anda memendam perasaan mendendam berbulan-bulan setelah kekasih anda mengaku, atau lebih tepatnya bekas kekasih anda setelah mengatakan dirinya tidak perawan? Tidak salahkah ini semua, bukan?”
Diam. Diam. Diam berarti sepaham. Membantah percuma.
Sejak itu kebiasaan kencing politikus Bintang Sakti di pinggir jalan menjadi masalah besar. Apalagi semenjak Dinas Kepolisian resmi ikut menangani masalah kencing. Hubungan Dinas itu dengan LSM-LSM lingkungan hidup serta Dinas Pertamanan juga menjadi tidak harmonis. Pencemaran lingkungan akibat kencing di pinggir jalan terus menjadi polemik. Demikian pula hubungan LSM-LSM dengan warga masyarakat miskin kota yang biasanya cukup baik akhir-akhir ini menjadi menegangkan. Ini akibat kontroversi cara kencing ala politikus Bintang Sakti. Sebagian besar warga miskin ada di pihak politikus Bintang Sakti dan menilai LSM hanya pintar menjual isu-isu saja. Selain karena warga sudah biasa menerima kucuran dana dari politikus Bintang Sakti, juga karena cara kencing ala politikus itu lebih diakrabinya ketimbang cara LSM bekerja. “LSM bekerja ada pamrih tapi tidak bagi politikus Bintang Sakti,” begitu kata mereka.
Uniknya, sejak masalah kencingnya menjadi hebat, justru politikus Bintang Sakti lenyap dari peredaran untuk waktu yang lama. Mungkin menghilang, mungkin sedang tertimpa kemalangan. Kemunculannya yang biasanya mendadak serba cepat berubah setiap hari, pagi, siang, sore, malam bahkan setiap jam ia bisa siap ganti di bandara, stasiun, terminal, kini daftarnya sama sekali sulit dilacak sedang di kota atau negara mana. Sampai suatu ketika di suatu waktu, setelah begitu lamanya, politikus Bintang Sakti muncul kmbai di Surabaya, tepatnya di Balai Pemuda. Sebuah tempat yang lain dari biasanya, karena di tempat ini dia ‘sekadar mampir untuk kencing,’ katanya. Di jalanan ini mustahil politikus Bintang Sakti kencing di pinggir jalan yang padat anak-anak muda, cewek ABG, lonthe, orang hilir mudik, pengangguran dan yang pasti seniman. Lalu, apa yang terjadi? Sudahkah dia afkir dari politik? Di tempat yang nyaman di tengah kota ini dia bisa tidur semaunya. Ada masjid, warung murah dan kiranya bisa cukup waktu untuk istirahat. Namun tidak demikian yang terjadi. Esoknya, dia sudah merencanakan untuk terbang ke Jerman dan Perancis. Dan tiket sudah dipesan. “Saya ingin kencing di pinggiran jalan-jalan di sana. Jerman, Perancis. Belum pernah terbayang sebelumnya.”
Seorang kawan yang brsama dia, prnah crita saat psawat yang membawa politikus Bintang Sakti sudah terbang jauh meninggalkan landasan. Selama dalam perjalanan ke Jerman dan Perancis, politikus Bintang Sakti menekan-nekan perutnya. Kenapa lama sekali? Kencing di sini, mustahil bisa nikmat, katanya. Tak ada semut, rama-rama atau anjing di toilet pesawat ini, apalagi…ach! Pantas saja, di bumi Indonesia, Surabaya, Balai Pemuda banyak semut mati. Banyak orang resah karena di pojok sana-sini, di setiap sudut bau pesing seperti jarum menusuk lubang hidung, mennyisakan sengak alkohol 10 persen, 20 persen, 40 persen.
Enam
AKHIR September 1993 sebuah tragedi terjadi—empat petani Nipah ditembak mati tentara.
Awal mula kejadiannya, Rabu,pagi-siang 8 September, Dilakukan pengukuran tanah BPN didampingi kepala desa Planggaran Barat, dua orang polisi dan satu tentara. Sempat terjadi pertikaian kepala desa dengan warga yang keberatan diakukannya pengukuran. Siang sekitar pukul 14, delapan orang polisi mencari Hadri di rumah dan mushala tempat Hadri bisa mengajar ngaji. Polisi sempat melepaskan tembakan ketika melihat Hadri ke ladang, polisi memasuki mushala tanpa melepas sepatu dan kemudian keluar menembaki pengeras suara, akhirnya polisi naik ke atap mushala mengambil pengeras suara. Senin, 20 September di Balai desa Planggaran Timur dilakukan penyuluhan Bupati serta Muspida Sampang. Semula banyak rakyat yang tidak diperbolehkan masuk, tetapi setelah rakyat ramai di luar pagar, Bupati meminta orang yang mengacau segera ditangkap dan dibawa ke dalam. Mereka tidak diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat. Dalam pertemuan itu masyarakat telah menyatakan keberatan untuk menjual tanahnya. Saat itu juga sampai terjadi pemaksaan cap jempol oleh aparat. Dalam pertemuan itu, Bupati menyatakan proyek Waduk Nipah adalah program nasional dan siapapun yang menghalangi akan ditembak. Bupati juga mengatakan bahwa ia sebagai Bupati bisa mengerahkan pasukan untuk menembak penghalang program nasional tersebut. Jumat, 24 September, dilakukan pengukuran lagi pada saat sholat Jumat oleh BPN didampingi Koramil, Kodim 0828 Sampang, Polsek Banyuates dan Polres Sampang tanpa seizin masyrakat pemilik tanah. Masyarakat protes dan membatalkan pengukuran tersebut. Salah seorang aparat sebelum pergi sempat berucap, “Awas! Untuk pengukuran besok jangan ada yang keluar nanti akan ditembak” Hari Sabtu, 25 September, pukul 13 ada ikat kepala janur kuning dan ilalang, beberapa aparat desa didatangi massa pemilik tanah dari Planggaran Timur, juga massa dari Lar-Lar, Tang, Nagasareh, Tapa’an, Menter, Planggaran Barat, berdatangan melihat pengukuran berlangsung, ratusan warga sejak pagi bergerombol di bawah bukit berusaha menghalangi aparat. Pikir mereka bearti tanah mereka juga tinggal nunggu giliran diukur, ada sekitar 200-500 orang massa. Melihat massa bergerak maju kurang lebih 125 meter, aparat mencoba memberikan tembakan peringatan, teriakan-teriakan agar massa berhenti. Di jarak 80-an meter, teriakan peringatan petugas dilayangkan lagi, tapi massa terus merangsek maju karena kuatir pada jarak 5 meter, petugas menembakkan ke arah massa Yang diincar mereka yang diduga dalang unjuk rasa, “Minta hidup! Minta hidup!” Tembakan terus berlangsung, det-det, der-dor, lurus ke arah mereka, peluru berdesingan di sebelah kiri dan kanan mereka. Ketika melihat Bu Mutirah berteriak, lehernya berdarah tertembus peluru, barulah masyarakat petani berlarian menjauh. Tapi peluru aparat keamanan terus mengejar. Mereka melihat Simuki dan Muhammad jatuh mengerang kesakitan Bu Dairah juga jatuh, lambungnya tertembus peluru, tapi ia tak mau merasakannya Bu Dairah bangkit dan terus berlari. Namun naas, ketika baru berlari, jari tunjuk kirinya juga tertembak entah apa yang membuat ibu yang tak kawin ini begitu kuat ia terus berlari dan selamat, tapi Mutirah Perempuan berusia 51 tahun tewas dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Di tengah kepanikan penduduk yang mencoba untuk menyelamatkan diri dari sasaran tembakan aparat keamanan, tiba-tiba tubuhnya yang sudah mulai menua itu tersungkur ke tanah bermandikan darah lehernya tertembus peluru. Mutirah pergi untuk selamanya dengan meninggalkan seorang suami dan tiga orang anak. Khusiyah, anak perempuan Mutirah, sangat terkejut setelah memperoleh kabar bahwa ibunya meninggal tertembak peluru. Khusiyah sendiri sebelumnya tidak tahu ke mana ibunya pergi, mendengar kabar tersebut. Siang itu juga Khusiyah bergegas mendatangi tempat kejadian Niatnya untuk segera membawa pulang jenazah ibu yang sangat dicintainya itu, terpaksa diurungkan, sebab ketika dia sampai di tempat kejadian sudah banyak aparat yang menjaga mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. Aparat keamanan yang berjaga di tempat melarang Kusiyah membawa pulang mayat ibunya. Bahkan mendekat saja tidak diperbolehkan. Aparat keamanan menghalau dan manakut-nakutinya dengan senjata yang diarahkan pada Kusiyah. Dengan rasa duka dan kecewa yang sangat dalam ia pulang meninggalkan mayat ibunya dengan tangan kosong. Di sore harinya menjelang magrib, Kusiyah mencoba kembali mengambil mayat ibunya. Namun hal yang sama ia dapati begitu mendekati, aparat keamanan yang masih tetap ada di lokasi tersebut menghalau dan menakut-nakutinya dengan senjata. Dua kali Kusiyah telah berusaha mengambil jenasah ibunya, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Baru keesokan harinya, pukul satu siang setelah aparat keamanan ditarik dari lokasi tersebut, Kusiyah dengan ditemani oleh kepala desanya, berhasil mengambil jenasah ibunya. Beberapa hari setelah kejadian tersebut, Kusiyah dipanggil untuk diberi santunan dari pemerintah atas kematian ibunya. Kusiyah bersikeras menolak santunan itu “apa uang ini sebagai penebus nyawa ibu saya?” Setelah dibujuk kiai, santunan itu harus ditrima. Pemakaman dan upacara selamatan ibunya juga memerlukan biaya. Bu Mutirah, penduduk desa Lar-Lar, Banyuwates, dari hasil perkawinannya dengan Mokram mereka dikaruniai 5 anak perempuan, 3 orang tinggal di Ketapang, Kalimantan, 2 orang tinggal bersama orang tuanya. Kusiyah anak bungsunya. Kemudian Nindin Bin Musa Bocah 14 tahun ini murid kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah ‘Nurul Ulum’ Dusun Tanah Butak, Tang. Dari penuturan ayahnya, anak pria ini terbiasa mengenakan sarung dan songkok ketika berangkat sekolah Nindin sehari-hari tinggal bersama kelurganya di desa Tang, kcamatan Banyuwates. Dengan mengenakan baju seragam, sarung dan songkok di kepala, Nindin setiap hari masuk sekolah pukul 11.00 dan pulang 16.00. Anak bungsu Pak Musa, 50 tahun yang gemar main layang-layang ini memiliki empat saudara kandung, Misari, Misrati, Misratun dan Sumadi. Selain itu, dia juga memiliki dua orang saudara yang dibawa ibunya Marsitun, yaitu Nurhami dan Asma sebelum kawin dengan ayahnya Nindin adalah anak yang sangat disayang orang tuanya. Kesehariannya dia terbiasa membantu orangtuanya menggembala sapi, mencari rumput dan memetik cabe ketika panen. Pada saat kejadian, Nindin seharusnya masuk sekolah. Ayahnya baru menyadari dan mengkuatirkan anakknya setelah sampai menjelang malam Nindin tidak juga ada di rumah. Ayahnya berusaha mencari tahu kesana kemari. Seorang tetangga menceritakan bahwa siang harinya di tempat kejadian ia sempat melihat korban anak laki-laki mengenakan sarung dan baju lengan panjang hitam Pak Musa semakin kuatir ketika memeriksa pakaian Nindin dengan ciri-ciri tersebut ternyata tidak ada di rumah. Karena itu Pak Musa semakin yakin bahwa korban yang diceritakan tetangganya tersebut adalah Nindin. Namun mayat korban, tidak boleh diambil oleh aparat kemanan. Keesokan harinya baru bisa diambil. Pak Musa menduga Nindin mendatangi aksi kejadian itu karena dia merasa penasaran terhadap kerumunan penduduk. Nindin ikut tewas tertembus peluru pada saat dia berada di antara kerumunan orang tetangga-tetangganya. Nindin tertembak peluru di bagian pinggang kanan tembus pada bagian pinggang kiri. Lantas, Simuki, 24 tahun penduduk asli desa Nagasari yang lama tinggal di Kalimantan Barat, ia bekerja sebagai tenaga harian, bagian matrial PT Aji Ubaya, Wood Working Industry, di tanah Mas Pontianak sejak tahun 1990. Dia kembali ke Madura satu bulan sebelum Insiden Nipah Di Nagasareh. Simuki tinggal bersama ibu, istri dan seorang anaknya yang masih berusia 8 bulan. Menurut keterangan pamannya, Nurminten, Simuki memiliki tanah dengan bukti. Tanah itulah yang akan terkena proyek Waduk Nipah Bahkan, pada saat itu, patok proyek sudah ditancapkan tepat di pagar halaman rumahnya, tanpa sepengetahuannya. Keluarganya semua tidak mengtahui bahwa Simuki juga ada dalam kerumunan massa ketika terjadi insiden Nipah. Di tengah-tengah massa yang lari tunggang langgang, diberitakan bahwa Simuki telah tewas dalam insiden. Ia terkena peluru di bagian dada kiri tembus ke bagian dada kanan. Pada diri Simuki diketemukan uang 204 ribu yang karena itu aparat menganggapnya orang bayaran. Padahal uang itu diperoleh Simuki dari hasil penjualan emas saudaranya yang dihutang untuk suatu keperluan tertentu. Uang itu diambil aparat. Kemudian, Muhammad, 38 tahun penduduk desa Lar-Lar adalah korban tewas yang paling lama merasakan penderitaan. Peluru yang menembus lambung kirinya menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Dia meninggal di RSUD Dr Soetomo Surabaya setelah dipingpong beberapa hari dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain lebih dari 24 jam dia harus menanggung sakit yang luar biasa di rumah sakit ini. Sebelum masuk RSUD Dr Soetomo, sekitar pukul 17.00 dari lokasi kejadian korban dibawa ke RSUD Sampang dengan diantar teman dan ayah angkatnya. Pada saat itu Muhammad memperoleh perawatan darurat hanya oleh perawat. Dokter umum belum ada yang datang. Ketika dokter datang, ternyata para dokter memutuskan untuk mengirim Muhammad ke RSUD Pamekasan. Di sinipun, tidak banyak yang bisa dilakukan dokter. Setelah difoto ronsen, Muhammad dikirim dengan ambulan ke RSUD Dr Soetomo. Sampai di sana, pukul 23.00 pembedahan dilakukan pada pukul 02.00 dini hari. Paginya, Muhammad dipindahkan ruang lain, semua keluarganya masih boleh menjenguk. Tetapi tidak lama kemudian, pada hari itu juga, mereka diberitahu bahwa Muhammad tidak bisa ditemui, sekaipun oleh keluarganya. Sejak itu, rumah sakit ini dijaga ketat aparat. Setelah menjalani pembedahan, esoknya kondisinya mulai membaik. Tetapi ternyata kemudian terjadi kebocoran jahitan pada bekas lukanya. Darah kurang lebih dua liter mengalir lagi dari lambungnya. Tubuh Muhammad kejang-kejang dan darah sering keluar dari bekas lukanya. Akhirnya pada pukul 02.10, Kamis 30 September 1993, Muhammad meninggal dunia. Saat kejadian, Choiriyah, istri Muhammad tidak tahu kemana suaminya pergi. Malam sebelumnya juga tidak ada pembicaraan apapun yaang berkaitan dengan kejadian tersebut. Dia mengaku sangat terkejut ketika diberitahu bahwa suaminya tertembak. Saat itu dia sedang mencuci pakaian bayinya yang masih berusia lima bulan. Ia sangat menyesal karena belum sempat bertemu sejak kepergian suaminya ke tempat kejadian, bahkan pada saat suaminya sedang dalam penderitaan yang luar biasa dia tidak diperbolehkan menemaninya. Dari hasil perkawinannya dengan Muhammad ia dikaruniai 7 anak. Namun yang hidup hanya tiga orang saja, Siti 6 tahun, Maisah 2 tahun dan Fatimah beberapa bulan. Yang paling berat dirasakan saat ini karena anaknya sering menanyakan kemana ayahnya pergi. Di dalam hati ia sering berharap seandainya suaminya bisa dihidupkan kembali dan orang yang membunuh maupun yang menyuruh supaya segera dihukum.
Anehnya, hingga seminggu peristiwa itu terjadi tak satu pun kelompok-kelompok kiri yang bersimpati pada korban, apalagi untuk memperjelas nasib petani-petani yang sesungguhnya kesulitan untuk hidup itu, LSM-LSM tertidur dan kampus-kampus tiarap sebab mungkin juga mampus, beberapa yang menyerukan gerakan moral tak satupun yang turun lapangan, sebab itu yang bisa mereka lakukan tak lebih cuma ucapan belasungkawa dan seruan keprihatinan, namun diam-diam, Ipong, serang seniman telah lebih dulu cepat bergerak mendampingi mereka-mereka para petani dengan karya seninya. Dia telah buat sebuah happing art, suatu seni peristiwa, seni yang ia respon dari tragedi berdarah itu, di tempat dimana peristiwa itu persis terjadi. Dalam sebuah karyanya itu Ipong dengan kelompoknya membuat upacara ritual tanah, sebuah proses pengambilan tanah di salah satu desa yang terancam digusur oleh rencana pembangunan waduk Nipah di Kecamatan Banyuates, Sampang. Upacara ritual tanah dilakukan oleh seorang bertopeng laki tua telungkup di tengah-tengah lingkaran yang ditaburi tepung warna-warni, cermin dari warna kas Madura. Lingkarannya bergaris tengah 5 meter dan tepiannya dibatasi tanah dicangkul selebar 20 cm. Sebuah keranjang yang di dalamnya beras, daun jati terletak di luar tepi lingkaran, berdekatan letaknya, laki itu memakai sarung tanpa baju, nafasnya makin lama makin besar, lalu kapalanya bergerak pelan-pelan ke atas, dan memandang jauh nun di sana. Kemudian dia berdiri, bergerak ke sana kemari, berirama dalam gejolak ruang batin yang terancam dan serba salah menghadapi sebuah pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan nasional. Tak lama kemudian dia mengambil tanah dari berbagai tepian lingkaran, dimasukkan ke dalam keranjang dan dilakukan secara berulang-ulang. Keranjang sudah terisi tanah Nipah, seperempat penuh. Dia mengangkatnya, dilanjutkan berjalan memutari lingkaran bebrapa kali, membangun imajinasi seorang mencari kediaman kemana-mana. Tanah diserahkan kepada seseorang, dengan harapan perjuangannya untuk mendapatkan keadilan diteruskan. Lalu tanah Nipah dibawa oleh yang menerimanya ke DPRD tingkat satu Jatim di Surabaya.
Diam-diam tanpa sepengetahuan kawan-kawan kirinya, Biru Langit mengagumi perjuangan seniman Ipong yang tanpa pamrih, berani dan serius. Seorang yang tak perlu ia ragukan lagi intelektuaitasnya, rasanya Biru Langit tak perlu tahu apakah Ipong orang politik atau bukan, tapi dari statement, wacana, dan tawaran estetika keseniannya nyata-nyata dia peduli terhadap nasib rakyat kecil—ada sesuatu yang harus diperjuangkan yaitu hidup itu sendiri, setiap yang hidup ia harus pertahankan haknya, kebebasannya dari cengkeraman yang mencoba menguasainya, membeli nuraninya. Kekaguman Biru Langit terlebih lantaran Ipong memberikan spirit baru tentang seni peristiwa dan juga istighotsah—upaya untuk menyelamatkan bumi berserta isinya, lebih dari sekadar doa-doa. Cepat ia menarik tangan Pam ke sebuah tempat tersembunyi.
“Coba dengar aku sekarang, karena aku akan tanyakan satu hal penting padamu. Siapa seniman radikal yang kamu tahu, kawan? Sekarang, dan di sini!”
“Si Brewok itu, siapa lagi? Kau punya rencana sesuatu?”
“Bukan. Selain itu?”
“Setahuku tidak ada. Dia benar-benar tak bisa dibeli, kalau saja ada sepuluh orang macam Brewok di kota ini, bakal terjadi pemberontakan,” kata Pam.
“Apa pendapatmu tentang Ipong?”
“Ipong? Siapa dia? Aku baru dengar.”
“Itulah kamu tak pernah tahu dunia luar, dia seniman independen sama seperti si Brewok. Bedanya kamu akan tahu nanti, karena kita akan cari dan kenalan dengannya,” Biru Langit menyakinkan Pam.
“Bagus, dimana dia?”
“Nipah,”
“Nipah?”
“Ya, dia sedang lakukan pendampingan di sana.”
“Kamu tidak main-main? Suasana bisa gawat, kawan”
“Apa yang kita cari selama ini, selain menantang maut? Cepat bersiapah!” perintah Biru Langit.
Anehnya, Pam begitu nurut apa kata Biru Langit, meski tak ada sesuatu ikatan yang kuat jikapun untuk tidak berbuat seperti itu, entah apa yang tumbuh dalam diri Pam dalam waktu yang serba singkat itu. Akankah perihal Sulistyorini dia bawa-bawa dalam masalah ini? Kemudian apa pula yang ada dalam benak Biru Langit hingga nalurinya begitu respek terhadap seniman Ipong tanpa sedikit saja bayang-bayang yang menghalanginya?
“Aku ingatkan padamu, bahwa kita tidak sedang bicara perihal perempuan,” celetuk Pam. “Sebab itu selama perjalanan, biarkan pikiranmu mengembara sesuka hati, termasuk soal perempuan, tapi jangan sepatah katapun itu kamu ucapkan padaku.”
Usai bicara begitu, dalam hati Biru Langit tersenyum juga melihat raut muka Pam yang tak mereaksi barang sedikitpun. Ya, dia diam. Diam bukankah berarti setuju?
“Tahu rasa kamu!”
Dua pemuda itu menyeberangi selat Kamal menumpang kapal feri, dan selama hampir duapuluh menit di atas perairan itu keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Pam masih juga belum menuntaskan rasa herannya terhadap rasa kagum Biru Langit pada seniman Ipong, dan dibenak Pam tetap penuh sesak si Brewok yang radikal itu. Tentang si Brewok itu, bila mendengar namanya saja disebut, orang sudah nyaris muntah. Apalagi perawakannya yang kotor, rambutnya yang gondrong liar, mukanya yang brewok diusianya yang masih terbilang muda, laki-laki itu sudah nampak seorang bapak dengan lima sampai tujuh anaknya. Sesungguhnya ia tak pernah menikah apalagi untuk punya anak karena siapa perempuan yang berani berdekatan dengan dia. Laki-laki saja yang kepingin hidup tenang akan ngeri bila disangkutpautkan dengan si brewok itu. Yah, sebab itu ia hidup dengan nama sebutannya itu—si brewok. Namun kota ini, bahkan negeri ini tak bisa begitu saja menafikkan sosok pemberani dan pendobrak itu. Dia tak begitu pintar, atau mungkin justru karena itu segala keberaniannya berawal. Sungguh ia seorang seniman yang pendobrak dengan setiap gerakan perlawanannya, semenjak tahun sembilan puluhan hingga kini tak pernah suram. Dia begitu percaya diri setiap kali tampil dengan kelompoknya yang hanya segelintir orang saja itu. Betul-betul ia mulai dengan apa yang bisa ia kerjakan dan mampu untuk itu, begitu menyeramkannya pribadinya saat ini sampai ia tak sempat dikenal orang kecuali kengeriannya itu. Namun betul-betul dia manusia yang hidup justru sesudah berkali-kali dia digiring aparat ke ruang tahanan. Dari waktu ke waktu keseniannya yang tiada berisi lain kecuali semangat perlawanan itu membuat si Brewok banyak bergaul dengan kawan-kawan di Jaringan Kesenian Rakyat, bersama Widji Thukul dan kawan-kawan.
“Seberapa hebatkah seniman Ipong sampai ia ganyang kepala batunya si Brewok?” rasa heran Pam masih juga tak surut sampai kapal berlabuh.
Setelah berjam-jam di atas angkutan umum dan sampai di Sampang, melalui petunjuk seorang kiai sepuh, Biru Langit dan Pam bisa temukan seniman Ipong menggelar aksinya. Karena sebelumnya seperti diduga Biru Langit, tentu saja seniman itu minta restu dulu kepada kiai bersurban itu. Perjalanan yang melelahkan anak-anak muda itu serasa mengasikkan begitu naik turun gunung dan sungai kian hebat terjalnya, ladang-ladang dan perkampungan petani. Suatu perjalanan yang sama sekali tak pernah ia kerjakan sebelumnya. Betul-betul perjalanan yang baru, menyaksikan hutan dan ngarai tak terbersit sama sekali teori-teori politik dari para jago berdebat. Mendadak dia merasa sesuatu yang tak ia kenal betul diam-diam telah mengalir dalam diri Biru Langit. Sebuah pengalaman perjalanan hidupnya yang mengembara. Ya persis pengalaman spritual para aulia di padang yang gersang. Biru Langit mendadak merasa menjadi sosok yang melebihi seorang manusia. Mungkin ia menjadi Tuhan kecil, atau barangkali sungguhnya menjad seorang tukang pencerita.
Di matanya, dibayangi proyek-proyek raksasa berdirinya pabrik, orang bergegas salancarkan protes main cabut patok-patok di ladang pertambakan garam. Bau keringat asin dan anyir bangkai ikan, kanal sunyi, sawah kerontang menanggalkan asesoris buatan pabrik-mesin-listrik, sampai tubuh dibebat lumpur basah, makan tanah, hingga mati keramat di atar muka pintu.
Biarpun nalar susah sungguh, serat-serat akal telah tertutup kabut tebal dari pakaian yang terus menerbitkan kecemasan bayang-bayang, keluarga mengaram, kakayaan yang tak runtuh. Kesiasiaan yang menyeret nalar tumpah di sepanjang sejarah tanpa pemberhentian. Katakanlah pasti, semenjak pesakitan. Jadi seonggok daging selama masih hidup, pesakitan itu membawa nasib buruk—berkali-kali mati, tak pernah berguna bagi hidup.
“Nyo’on odik, Nyo’on odik!” 62)
Laiknya rasa cemas dari tubuh tanah lumpur bergetaran isi perut ladang disaksikan kesunyian empat manusia mummi lahir-kembali-hidup-berjalan. Dua laki, ibu tua, seorang anak bau kencur mencegat pakansi para santri, melompati batas parit sempit dengan jemari dingin menekan bekas luka di kulit oleh peluru menggasing di kebun kering bertahun silam di pulau asing ditumbuhi jati. Masih anyir bau darah di semak-semak coklat tua juga lumpur membebat aurat jadi kain yang aromanya menyejukkan, melupakan kecemasan bertahun silam yang lancang mengitari masa lalu moyang-masjid-kubur batu tua. “Orang-orang itu tak bisa mati sungguh, jasadnya membusuk cuma sekali, tetapi hidupnya, tidak” katanya sampai mengakar. Sebentuk clurit, songkok, sarung , segenggam tanah kering yang masih miliknya dipertontonkan ke celah langit yang terbakar teriakan pemberontakan—menghunus dan menikamkan belati ke ulu hati agar daratan kecil ini penuh sesak dihuni sekawanan makluk asing entah dari species mana di pedalaman yang menakjubkan dengan gaya hidup yang jauh dari keluh, kesederhanaan yang sama sekali tak dikenal, dengan bahasa yang sulit ditangkap cuping telinga dan gelombang dan gemuruh laut menelannya dalam-dalam tanpa sisa suara.
Dari sebuah sumur tua tanpa air, lubang-lubangnya meluangkan para kiai membasuh muka dan mengambil wudu dengan tanah, di atasnya, polisi seperti salak anjing penjaga. Tuhan tidak marah, tetapi senyap listrik padam dan jalan lengang tetap jalang, tenang dan nyaman bagai jembatan. Barangkali di sanalah ditemukan kembali saudara yang hilang dan kemudian disambut pakaian lumpur membelit jasadnya, perempuan-perempuan bersuami nampak mengenakan kemben, lumpur kering berbukit, laki-lakinya dari bilik kecil nyaris tak bisa dikenali. Memar oleh pukulan benda sebentuk tongkat bisbal, anak-anaknya yang banyak berhamburan berkeringat lumpur, tetangga dan orang kampung, gadis-gadis mengunyah rujak Perempuan tua menenggelamkan tangan ke balik kutang dan memperlihatkan nomor 070655//11105/0078, laki-laki bernomor 070655/11105/00349, lalu membersihkan, entah bagaimana makluk asing orang kampung menatap dengan sorot mata pembunuh, seonggok sampah, baju santai, kopor, sepatu, sandal plastik dan menutup hidung dengan akar kayu yang dicabut saja dari ketiaknya di ladang yang menyisakan bekas terompak Tak pernah mimpi ditanami sampah sepatu apalagi larutan polusinya sanggup membunuh. Lantas dibuang kemana? Kaki Langit? Bila bidadari teduh sayap-sayapnya lungset dikitari asap cerobong, kemasan instan menguap.
Nyatanya, hanya tempat bagi orang yang bersih, jika cakrawala sudah demikian keruh niscaya rumah yang nyaman, kesunyian setitik lubang di tanah dengan iringan musik sederhana, dan nyanyian bawah tanah semenjak lama menjadi berita biasa kehiangan anggota keluarga. Sampai kampung tak berpenghuni manusia. Nomor-nomor KTP dimusnahkan. Hanya anak-anak mereka nampak bemain salongsong peluru yang sayang tak satupun orang mengabarkan bahwa itu bekas ditembakkan pelornya ke tubuh bapaknya…
Satu-satunya yang dia ingat adalah raut wajah mayat bapaknya yang ditembak orang tak dikenal. Sepuluh tahun lalu.
Seniman Ipong dan kawan-kawan ditemukan masih hidup. Bahkan dengan banyak tawa riang mereka sedang duduk di sebuah warung di sebelah rumah sedang menyantap rujak dengan aroma petis Madura yang kas itu. Di sana-sini terdengar riuh suara krupu. Sepertinya hanya di tempat itu sejenak ia lupakan nasib petani-petani Nipah yang kebingungan biarpun sesungguhnya nyaris serupa dengan adonan sambal di atas coek. Mulut-mulut anak-anak radikal itu tak sempat merasai kepedihan nasib petani Nipah, sebab mereka sendiri harus sibuk mendesas-desiskan bibirkan karena terlalu pedas. Sesuatu yang mengagetkan Pam dan Biru Langit telah terjadi, anak muda ini dibuat tepekur ketika berkenalan dengan seniman Ipong—sosok yang begitu jauh dengan bayangan anak muda itu. Di benak Biru Langit Ipong seorang yang secara fisik menyakinkan, keras dan dingin. Ternyata tubuhnya kecil nyaris ringkih dan membungkuk, hitam. Usianya kurang lebih 40 tahunan. Hanya kepala botak dan gaya bicaranya yang meledak-ledaklah yang mencirikan ia seorang intelektual. Waktu bersama yang lain menikmati rujak, mulut Ipong terus nerocos bicara nasib buruk dan kelucuan-kelucuan yang memprihatinkan dari keadaan kawan-kawan mereka sendiri, lantas ia perkenalkan satu-satu diantara kelompoknya yang lima atau enam orang itu.
“Anda datang, berarti saya dapat dukungan,” tanpa basa-basi Ipong langsung menembakkan kemauannya, “Sayang anda terlambat mengikuti kami, bagaimana proses berkesenian kami di sini, bagaimana terlibat mencari gagasan, menyusun artistic, sampai konsep estetikanya, bagaimana pula improvisasi teknis saat di lapangan, tapi itu tak jadi soal. Semuanya bisa anda pelajari di sini” ia bicara sembari menyerahkan empat sampai lima kertas kerja yang kusam namun tetap tersimpan baik. “Anda-anda seorang intelektual, karena itu kami sangat membutuhkan pikiran-pikiran jernih anda.”
Tak sepenuhnya apa yang dilontarkan seniman Ipong bisa dipahami Biru Langit dan juga Pam. Apalagi untuk menyamakan pengertian. Namun pertemuan itu sendiri sepertinya sudah suatu yang sangat luar biasa bagi mereka-mereka, di suatu tempat yang sangat jarang ada di belahan bumi yang lain—warung rujak.
“Saya kira pikiran jernih itu nomor dua. Keberanian yang pertama,” sergah Biru Langit asal kena.
“Bagi saya bisa ya, bisa tidak. Bisa ya karena omongan anda betul di saat-saat era sekarang ini. Bisa tidak karena bagaimanapun anda adalah seorang intelektual yang dalam kondisi apapun harus berpikir jernih, berpikiran maju dengan paradigma yang terkini. Kukira anda setuju,” papar Ipong.
“Saya sudah ikuti gerakan anda sejak semula, dan konsep-konsep kesenian yang anda tawarkan cukup menjanjikan perubahan. Bukankah begitu, Pam?”
“Ya, apalagi yang kita maui saat ini perubahan,” imbuh Pam yang sejak tadi tak banyak mengeluarkan uneg-unegnya.
“Saya hanya seniman, tapi soal melakukan perubahan tata kehidupan yang dirusak orang-orang yang tidak bertanggungjawab saya punya hak yang sama dengan siapapun manusia di bumi ini, untuk itu. Keberadaan manusia di bumi ini tiada lain untuk menghidupkannya, bukan untuk mnghancurkannya.”
“Uh,, rupanya anda seorang yang religius?” ucap Biru Langit.
“Seorang filusuf juga!” Pam menimpali.
“Ah, jangan begitu menyanjung saya. Saya bisa trsinggung!”
“Maafkan saya, apa yang bisa saya lakukan?” Biru Langit bermaksud mencairkan suasana.
“Setahuku anda memang belum melakukan apa-apa. Jangan trsinggung.”
“Tidak.”
“Lalu? Apa?”
“Bagaimana kalau saya kirim surat tentang masaah ini pada orang-orang penting di negeri ini?”
“Pikiran bagus. Banyak orang penting di negeri ini. Kirimi semua dan pengaruhi agar otak dan hati mereka berputar-putar sebelum berpihak pada petani-petani Nipah yang malang itu. Saya akan bantu siapkan data-data kasus ini, bila perlu lampirkan agar jelas.”
“Saya juga berpikiran demikian,” tandas Biru Langit.
“Siapa yang dituju?” sergah Pam.
“Siapa saja. Eksekutif, presiden, para menteri, legislatif, penegak hukum. Jangan ada sungkan dan anggap mereka semua kawan-kawan kita, yang punya fitrah yang sama di bumi ini, yakni melestarikan kehidupan semesta bukan memusnahkannya,” mata seniman Ipong terus menyala-nyala gambaran semangat hidupnya yang berkobar.
Keesokkan harinya, sepulang dari Nipah seharian penuh Biru Langit mengerjakan surat yang ia janjikan pada seniman Ipong itu. Baru tengah malam ia selesaikan dan telah sempurna menurut ia sendiri. Beberapa buah ia gandakan lengkap dengan lampiran untuk ia kirimkan pada sejumlah orang terpenting di negeri ini. Sebagian yang lain rencananya ia sebarkan kepada orang penting lainnya dan untuk menghemat biaya, surat itu ia kirim ke sebuah koran lokal untuk bersedia menerbitkannya. Demikian bunyi surat yang ditandatangani Biru Langit:
Kepada:
Orang-orang yang Berjiwa Merdeka,
Kawan,
Gerbang lorong waktu seperti asap pekat memaksa intensionalitas tumbuhnya hotline kesadaran. Dus di noktah kecil sisi bumi berdampingan sebentuk organisme masyarakat yang menyakini pengtahuan—kepastian cara pandang atas tempat dia tumbuh-mempertahankan hidup dan beradab—fakta real. Konon digulirkan common sensse, akal sehat dikedapankan. Di belakang, beragam ruwatan turut hidup demi kemulusan cita common sense ada mitos, moral, daya ketahanan fugsinal praktis masing-masing ruh hidup itu. Seolah sebaris agenda, lantas dicatat, diukur, dibebani karaktristik. Nampak patokan perubahan persis kepastian dewa bermain, laiknya seni penyadaran—punya subjektivitas mengkontruksi sosial. Konsekunsi logisnya patut meluangkan kondisi yang disebut Nietzshe adanya seni mencurigai. Semacam dendam bila kuasa rakyat mencapai titik jenuh.
Waktu yang mendesak bagai tekanan sebutir opium getir di tenggorokan. Pun pengalaman bentrokan kesadaran pribumi dan non pribumi, tradisional cacat dan modern yang dalam praktek banyak dipergoki rupa-rupa manipuasi, merebaknya fakta buruk akibat hak peradilan ‘hukum sendiri’ umumnya bukti kesadaran sosial-politik langsung baku hantam dengan masyarakat sipil orientasi bagi retorika langkah maju dan demi rasa aman kolonialisme. Bertahun silam, taruhlah akibat berlakunya UU Agraria de Wall 1870, politik pintu terbuka, gerbang kunci dalam mengkonstruksi mitos baru kolonialisme di negeri ini berikut segala sakramen pencuci yang mengandung mukjizat dan magis berupa harapan utopis bebas dari pederitaan kondisi manusia. Banyak perkebunan dan pabrik-pabrik partikelir didirikan rakyat justru terinjak dan terhisap sebagai kuli —lebih dari sekadar fakta real rakyat dianggap pemalas. Praktek main hukum sendiri pada yang malas berkerja dan yang berusaha melarikan diri seringkali terjadi—vonis atas dasar irrasional.
Kebradaan pengtahuan atas kepercayaan-kepercayaan massa hingga format bentrokan, membawa angin segar laiknya ironi kesadaran baru kekuasaan. Semisal maraknya gugatan atas kesewenangan pribumi dihembuskan orang kulit putih Rob Niewenhys, “apa yang dalam mata orang barat disebut sebagai sewenang-wenang, penyalahgunaan kekuasaan, pemerasan, tidak selalu demikian dalam mata penduduk. “ Sederhananya sebut saja feodalisme—ladang pertambangan emas bagi kolonialisme. Mekanisme reduksi kesadarannya berbentuk penyematan rumbai orang pribumi masuk di altar kelas elit penguasa sejawat pegawai untuk memeras jawa—tidak cuma inspiratif akan suburnya komik cerita silat murahan. Bagi koloni tak ada dewa di rawa-rawa—betapa peradaban dilengkapi sejambak kembang mitasi untuk peluang mendistorsi kebenaran akal sehat, bak rancak tarian di atas bumi Jawa. Pun semu. Tetapi sebentuk dua sisi uang emas, kesadaran akal gemilang mematamatai dunia batin, hidden-god, harkat, nurani.
Kawan Seperjuangan,
Mitos baru berdiri mengakar seperti kubur batu tua. Dirubung seperangkat sakramen tanda modern membaur satu sistem rumit dan tumpang tindih—sepanjang pengalaman sebuah negeri yang berperan bareng poryek rasionaisasi—berujungnya perubahan tingkat kesadaran rakyat hingga daratan kecil, gang-gang kampung, pedalaman-pedalaman. Ini segaris panorama subjetivitas masyarakat terus menerus tanpa henti menjalani transformasi kesadaran individu-sosial. Pendeknya bisa meluncur berwujud wahyu, dipimpin para wali negara, birokrat, agama sekte, suku, kaum intelektual, orang biasa, informasi, pengetahuan, bencana, insiden. Sebutlah kesemuanya semacam pendidikan kesadaran massa termasuk di dalamnya bentrokan-bentrokan kesadaran yang bertentangan, tak jarang bersifat radikal, dibentuk oleh sebab musabab ideologi khusus. Diakui atau tidak fakta menyeret kesadaran-kesadaran massa sangat terlibat dengan sejarah masyarakat-ekonomi, kelas—magis dari aroma sesaji kubur batu.
Bahwa di pelbagai pusaran sistem yang jalin-menjalin menjelang abad milinium ketiga ditemukan manipulasi, proyek penggelapan berkedok kebenaran ekonomis dan politis di sebuah perkampungan kecil, Planggaran Timur dan Barat dipisahkan Kali Nipah. Masih segar di ingatan, Sepetember 1993, di tempat ini 4 petani Nipah bersikukuh untuk hidup dengan layak tetapi gagal—Simuki, Mutirah, Nindin, Muhammad tersungkur jatuh oleh peluru. Waktu tidak dengan mudah mengusir lembaran hitam, kendati dibayangi mimpi-mimpi teknologi industri. Dekat tapi amat jauhnya. Hanya di balik tembok, bersebelahan dengan maraknya kasus kesewenangan, monumen hidup, jauh dari sekadar membela subsistensi hidup—tuntutan kenaikan upah, tunjangan hari raya, perbaikan syarat kerja, jaminan sosial, jam kerja lembur, cuti hamil, cuti haid.
Di pinggiran tempat penampungan bekas jajahan ini, transformasi kesadaran memang tengah terjadi. Sebuah happning art de-kolonisasi. Radikalisasi, perlawanan, gerakan-gerakan protes, serangan keras, teror rusuh, terus diselancarkan. Praktis yang dituju, menggugat kelumpuhan akibat epidemis inheren membanjirnya kesadaran palsu, pasemon. Jelas seni menjalankan kekuasaan di berbagai aras tingkat bawah telah melewati titik jenuh. Tudingan pelaku rusuh bakal ditindak secara konstitusional, tak ;agi menciutkan nyali massa lengkapnya agar dapat diperintah—catatan Foucautl perihal seni menjalankan kekuasaan—rakyat harus diperhitungkan, ditarik pajak, dididik dan tentu saja dikuasai di tempat-tempat yang diatur rumah sekalah, rumah sakit, tempat kerja yang eksistensi akhirnya diwakii dengan cara-cara yag paling sederhana dan kejam oleh penjara dan rumah sakit jiwa, tak cukup menjamin rasa nyaman bahkan fisik. Bukan mukjizat. Tetapi kutukan. Tak manusiawi. Bencana. Tragedi. Betapa dekat musibah yang melumpuhkan kesadaran akan dan yang sah kehendak Illahi Untuk perguatan nalar, massa kampung mustahil menyingkir dari musibah reifikasi ini. Massa tak punya pilihan kecuali satu cara tindakan dekolonisasi. Fakta de-kolonisasi sahih sebagai saudara kandung seni penyadaran. Potensi besar ruang narasi bagi instuisi, intrepretasi, hati nurani, emosi, estitika, religi. Pendkenya, nilai-nilai subjektivitas yang tinggi, perguatan kultural, pendidikan politik yang panjang.
Reifikasi tak prenah menggelisahkan kebutuhan pemikiran baru membrbaskan kemacetan yang diidap rakyat bawah. Rakyat cenderung dibiarkan mengelak di bawah rasa ‘penderitaan.’
Sekali lagi Kawan,
Nyatalah, lebih dari sekadar fakta korup diidap sistem birokratisasi yang menyeret rakyat pada kondisi partisipasi paksa—nafas dan darah sepanjang waktu tiada kepastian nasib, hukum melainkan sudah pada apa yang disebut penjajahan akal sehat dan hegemoni penguasa terhadap nalar daya kritis rakyat, terasing fisik-psikis tertimpa tragedi ‘sejarah manusia bunuh diri.’ Yang hidup sehat yang sanggup bangkit mencopot asesoris kesadaran semu. Sehingga berbagai bentuk kesadaran massa de-kolonisasi nyaris tak bisa diterima nalar, simpang siur oleh karena kian masif terjangkit wabah pembenaran retorika birokrasi yang sesungguhnya justru irrasinal.
Tengoklah sejenak pelbagai pertempuran dekolonisasi yang rumit dari Edward W Said ada imajinasi, keahlian dan kontra keahlian menuntut berbagai cara sampai ke tingkat paling bawah tanpa secuilpun bisa dikesampingkan—bisa jadi justru paling urgen. Artinya rakyat pula yang betul-betul mendesak membutuhkan paradigma pemikiran baru yang sehat. Betapa kesadaran massa yang berbuntut bentrokan, serangan keras, aksi tak mendukung, sarat hasil dari kerja keras akal sehat—mutlak bersifat transformatif. De-kolonisasi yang rumit juga keseluruhan transformasi kesadaran manusia, mungkin benar ditentukan keberadaan sosialnya. Dengan kata lain, konsientisasi, meminjam istilah Paulo Freire, selaku prasyarat pembebasan. Sanggup membebaskan diri dari penindasan sosial dan politis hanya jika mereka pertama-tama membbaskan diri dari apa-apa pikiran yang ditumpangkan oleh penindas.
Kedekatan fakta organisme kecil di kampung yang dilarai musibah sekaligus bencana nalar, menyulitkan suburnya narasi yang jernih. Tak pelak, baik pada altar-altar konstruksi realitas sosial, perlunya menengok wajah masa silam yang mustahil diingkari bahwa tak semua narasi musti mengedepankan nalar. Apalagi yang impasse—mundur. Konon tak fungsionalnya secara manusiawi barisan lama—sebangsa lurah, lkmd, sampai petugas poskamiig sama akutnya koramil kodim, camat, bupati. Sampaiah pada penyederhanaan pola pikir hingga tindakan radikal layaknya musibah, fakta kecil itu membuka proses pendidikan konsientisasi tanpa campur tangan pemikir-pemikir yang sedang dilupakan basis operasional apalagi kasus—tindakan yang sungguh tak masuk akal.
September, 1993
Merdeka!
(BIRU LANGIT)
Kurang lebih lima hari kemudian, kopi surat itu ia sodorkan kepada seniman Ipong. Sambil Biru Langit menunggu hasil komentarnya, Ipong nampak manggut-manggut dan membolak-balik kertas yang ditunjukkan padanya itu. Sepertinya ia tidak membacanya dengan seksama, namun begitulah ia tetap mengangguk-anggukan kepalanya.
“Saya kurang mengerti isinya, tapi saya paham jalan pikiran Anda. Anda benar-benar seorang intelektual yang berisi.”
“Jangan puji saya seperti itu. Saya bisa tersinggung!” giliran Biru Langit tajam menyindir.[]
LIMA
KISAH SEBUAH CIUMAN
Satu
PEREMPUAN Sulistyorini menyaksikan gerak-gerik Biru Langit dari setiap tempat dimana ia bisa. Perihal itu memang Sulistyorini sungguh luar biasa. Sepertinya ia hebat dalam hal kejar mengejar laki-laki. Dalam setiap pertemuan-pertemuan tersembunyi sekalipun, diantara mereka mahasiswa-mahasiswa yang berhaluan kiri, Sulistyorini selalu tahu adakah pemuda bernama Biru Langit. Bisa jadi ia lebih tahu dari intel-intel murahan yang dikirim Kodam. Dia seorang perempuan tapi tidak laiknya kebanyakan perempuan terutama dalam hal mengejar laki-laki. Di tempat indekos Biru Langit seringkali Sulistryorini muncul tiba-tiba atau yang tak kalah lebih sering ia lebih dulu di depan pintu ketimbang Biru Langit. Dalam waktu yang serba cepat Sulistryorini menyatakan cintanya kepada Biru Langit dengan bahasa-bahasa yang sesungguhnya menurut Biru Langit itu sesuatu yang menjijikkan. Mengapa tidak? Itu diaucapkan dalam suatu suasana yang sama sekali tidak nyambung. Dalam suasana yang justru bagi Biru Langit serasa menjadi teror dalam bagian hidupnya. Sebab itu Sulistyorini lebih menyerupai horor dari pada seorang perempuan. Itu bisa terlihat dari ungkapan-ungkapannya tatkala berucap cinta pada Biru Langit. “Aku sudah mencintaimu lebih dari bertahun-tahun lalu, semenjak pertama kali aku melihatmu,” begitu katanya suatu ketika. Sementara yang pernah hidup di benak Biru Langit perihal perempuan adalah saat ia berlari-lari dengan Bari di kampung mengejar wanita gila, Si Cipit. Kemudian atas inisiatif Bari, dimintanya Cipit itu membuka roknya dan memperlihatkan bagian tubuhnya yang tak bercelana. Di saat itu pun Bari tertawa dan Biru Langit tak mengerti apa-apa barang sesenti pun.
Itu kenangan dia tentang perempuan. Mendadak, ia disodori ungkapan cinta dari perempuan Sulistyorini di siang yang pengap, seperti harus menyantap hidangan nasi rawon yang panas di saat debu-debu beterbangan akibat cuaca gerah. Biru Langit tak bisa mengelak, maka diciumnya kuat-kuat Sulistryorini tanpa tahu persis artinya ciuman itu, dingin, hangat ataukah panas. Biru Langit juga tak melupakan sama sekali kawan-kawan dan juga pikiran kirinya. Bahkan lebih hebatnya, ciuman itu banyak mengingatkan pemikir-pemikir seperti Marxis, Hegel, Marcuse, Soekarno seolah-olah gambar itu muncul baris-berbaris di hadapannya. Sesudah barisan itu berlalu, yang muncul kemudian adalah rasa heran, bodoh dan lagi istiqfar. Di luar anjing terus saja menggonggong—sesuatu yang sesungguhnya tak berarti, namun dasar kebodohan Biru Langit, membuatnya mencoba memberi arti lolongan itu.
“Apakah arti ciuman ini, kamu terima cinta aku Biru Langit?” Sulistyorini bersuara masih terasa serupa desahan nafasnya.
Belum ada jawaban dari Biru Langit, sebab ia masih belum serasa sungguh berada di tempat indekosnya. Perjalanannya dengan seniman Ipong di Nipah jauh lebih kuat terkesan ketimbang ciuman yang ditawarkan perempuan itu. Penderitaan petani yang ditembaki dan juga ingatan tentang ayahnya jauh lebih hebat lagi menancap di bagian hidup Biru Langit. Belum lagi cerita tentang Singer, si bekas penjahat yang luput dari petrus dan kini tinggal di Gresikan, yang membuatnya lebih sedih, betapa tidak, sesuatu yang amat beda dengan nasib ayahnya—bukan penjahat tapi harus mengakhiri hidupnya di ujung pelor penembak misterius. Apa lacur dengan sesumbar si Singer itu? “Jika ingin jadi penjahat jangan tanggung-tanggung. Sekalian jadi penjahat yang besar karena akan banyak yang membantu. Tapi kalau jadi penjahat kroco, selain banyak yang mengejek juga sering babak belur,” Sewaktu aktif di dunia hitam di tahun 1980-an tak dapat dihitung, berapa temannya yang diciduk kemudian tak diketahui rimbanya. “Mengingat mereka seperti ditinggal pergi ke suatu kota namun tak pernah berjumpa lagi. Singer pada saat gencar operasi petrus bagi para penjahat, ia merasa punya ide brilian hingga selamat sampai sekarang. Sewaktu gencar dia sengaja bertengkar di lokalisasi Dolly. Ketika ditangkap, di saku jaketnya didapatkan beberapa gram daun ganja. Atas dua tuduhan melakukan keonaran dan menyimpan barang terlarang, mengantarkan lelaki asal Madura itu dijebloskan ke penjara. Karena kalau sudah masuk penjara, maka petugas petrus tidak bisa seenakknya menciduk sasarannya. “Ternyata perhitungan saya benar. Jika saya tidak dijebloskan ke penjara, mungkin sudah jadi bangkai,” ujar Singer suatu ketika mengenang peristiwa yang membuatnya miris itu. Di dalam penjara dengan status tahanan, pada malam hari ia masih bisa keluar untuk mencari uang dan kembali ke penjara menjelang subuh. Sebagian hasilnya diberikan pada para petugas penjara—hal itu sudah menjadi kebiasaan umum bagi tahanan yang berduit. Ketika masa tahanannya habis, tenyata Singer tidak mau keluar karena situasinya belum aman benar. Atas permintaannya pada petugas penjara akhirnya dia diperbolehkan menghuni hotel prodeo itu dengan sejumlah imbalan. Sementara beberapa temannya yang jadi sasaran tembak ketika masa tahanannya habis dengan gembira keluar penjara, beberapa saat kemudian terbetik kabar mereka banyak yang dipetrus. Apalagi sesumbar Singer yang pernah menguasai daerah pelabuhan dan melindungi beberapa pemilik pertokoan besar di seputar Surabaya. “Makanya saat itu kalau mau aman harus berani membuat gara-gara agar ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Kan lebih selamat masuk penjara ketimbang masuk liang lahat.” Kini dia menikmati sisa waktu bersama anak istri, dengan menanggalkan profesi lama yang penah mengantarkan dia menjadi orang yang disegani karena keberaniannya.
“Sudah pernah cium perempuan selain aku, Biru Langit?”
“Belum,”
“Ya, sudah, berarti kamu terima cintaku, bukan?”
“Tunggu dulu, kamu datang dan bicara terlalu cepat, beri aku waktu. Kenapa kamu memilih laki-laki seperti aku?”
“Karena kamu orang baik?”
“Orang baik?”
“Ya, kenapa? Salah?”
“Ceritakan kepadaku, apa dan bagaimana itu orang baik menurut kamu.”
“Kamu adalah gambaran seutuhnya tentang orang baik menurutku. Tapi baiklah karena itu permintaanmu, akan aku jawab. Orang baik adalah orang yang bisa menerima kelebihan dan kekurangan istrinya.”
“Tentang kekayaan bagaimana?”
“Kaya dan miskin itu sama saja.”
Kontan Biru Langit tertawa ngakak. Baru saja ia mendengar sesuatu yang baru pertama kali ini masuk ke cuping teliganya, dari seorang perempuan lagi. Lama ia tertawa, mungkin itu juga tawa paling lama yang selama ini ia dengungkan, dan apalagi tawa di hadapan seorang perempuan yang setahu dia telah mencintainya.
“Apa artinya, tawamu Biru Langit?”
“Jangan tersinggung. Jangan tersinggung kalau aku ganti tanyakan padamu—sudah pernahkam kamu jadi orang miskin?”
“Tidak. Lalu?”
“Itulah kesalahanmu. Tidak pernah jadi miskin, atau belum. Tapi ini tidak penting?”
“Seperti juga halnya kamu tidak pernah kaya, bukan? Jadi sama saja.” Tukas perempuan itu.
“Tidak. Tidak sama. Ini salah satu ketidakcocokan kita,” sergah Biru Langit.
“Apakah harus banyak kecocokan yang diperlukan untuk itu?”
“Setidaknya soal kaya dan miskin itu.”
“Itu pandanganmu karena kamu seorang Marxis, Biru Langit.”
“Sudah sebaiknya kita hentikan omong kosong kaya dan miskin ini,” Biru Langit menunjukkan ketaksabarannya. “Sekarang apa maumu, Sulis.”
“Jadi aku bicara sejak tadi tidak kamu dengarkan? Kita berciuman juga tidak kamu rasakan?”
“Maafkan aku, sungguh aku tidak tahu bagaimana rasanya tadi. Bagaimana kalau kita ulang?”
Keduanya pun kini berciuman lagi. Dari pipi, kemudian bibir. Lebih lama dari ciuman yang pertama.
“Bagaimana rasanya Biru Langit?”
“Aku masih tidak merasakan apa-apa kecuali bau pengap.”
“Sialan.”
“Maksudku, memang kita harus melakukannya berkali-kali.”
“Dasar gila, kamu.”
“Apa yang membuatmu tertarik di politik?” Biru Langit menghunjamkan pertanyaan yang sepertinya tak dikehendaki betul oleh Sulistyorini.
“Aku sih sama sekali tak tertarik.”
“Terus bagaimana bisa kamu kuliah di sini?”
“Aku sendiri tidak tahu, tidak ingat dan tidak peduli. Barangkali karena ayahku yang sering bicara politik, tapi itu aku tak yakin betul. Aku sih semula ingin jadi arsitek.”
“Kudengar ayahmu seorang dokter? Betul?”
“Lebih dari itu, seorang Profesor, Doktor, Dokter Bedah Plastik terkemuka. Lalu kenapa?”
“Ya, maksudku seorang profesor.”
“Ya, tapi apa artinya itu bagiku?”
“Ah, jangan bicara begitu, tidak baik sebagai seorang anak, belum pernah bayangkan punya bapak seorang gali bukan?”
“Betul bukan, kukira kamu orang baik?” potong Sulistryorini.
“Bisa ceritakan tentang ayahmu padaku?”
“Tidak perlu. Nanti kukenalkan kamu padanya, ayah orang sibuk, tapi aku yakin dia akan suka dengan seorang pemikir sepertimu, tentu dia akan luangkan banyak waktu untuk itu.”
“Kamu percaya itu, terserah kamu yang atur,” kata Biru angit “Kalau begitu ceritakan sedikit perihal kamu saja, betul-betul aku buta tentang kamu.”
“Aku? Apa yang bisa diceritakan dari orang macam aku ini, kecuali kenekatanku yang tentunya sudah kamu tahu.”
“Ceritakanlah, apa saja.”
Lantas ia ceritakanlah sesuatu. Cobalah setiap hari Minggu sore berkunjung menikmati geliat pemandangan arena Ice Skating, di lantai dasar Tunjungan Plasa, begitu riuh anak-anak, remaja dan orangtua yang membimbing putra-putrinya. Teriakan pengunjung atau histeria remaja yang keasyikan. Menari bersama mereka. Ada beragam tarian di sana. Jangan heran bila di situ bakal ketemu dan dibuat kagum oleh keceriaan Sulistyorini. Satu-satunya hobi beratnya yaitu meluncur-luncur dengan sepatunya di arena Ice Skating itu.
“Apa alasannya kamu pilih hobi itu?”
“Tidak semua hal musti pakai alasan, bukan? Ya begituah karena aku merasa senang saja. Begitulah semenjak anak-anak setiap minggu diantar papa dan mama, dari rasa senang itu pernah suatu ketika membuat aku jadi berprestasi,” jelas Sulistyorini.
“Dasar anak orang kaya,” gumam Biru Langit.
Dua
PERAWAKANNYA gagah, sehat dan nampak sekali segar. Benar-benar ciri orang yang kaya. Begitu kesan pertama Biru Langit tatkala diperkenalkan ayah perempuan itu, Profesor Doktor, Dokter Maryuhan Kurnia—ahli bedah plastik itu di kantornya di salah sebuah gedung di komplek RSUD dr Soetomo. Namun apakah ia seorang laki-laki, atau ayah yang baik? Entahlah biarpun gelar Profesor, Doktor dan dokternya telah cukup untuk dia sebut ia manusia yang baik. Lebih-lebih melihat kantornya yang amat pribadi, barangkali profesor itu jauh lebih baik dari yang dikira Biru Langit. Mungkin juga lebih baik dari yang kini telah diperkirakan perempuan Sulistyorini. “Tapi jelas aku kira orang ini lebih baik dari anak perempuannya yang menyerupai laki-laki itu,” gumam Biru Langit. Satu hal yang benar tentang omongan Sulistyorini adalah, ayahnya bakal menyukai Biru Langit. Lebih tepatnya profesor itu biarpun ahli bedah plastik, tapi ia suka bicara politik, dan Biru Langit adalah beberapa dari sekian orang politik yang dikenalnya kemudian. Maka merekapun kemudian asyik bicara politik, sekali lagi bicara politik—bukan bicara tentang perempuan, meski anaknya sendiri seorang perempuan, panjang lebar dan di luar dugaan profesor bedah plastik itu serang yang jago bicara.
Semula dia ceritakan, bagaimana kesukaannya membaca dan membeli buku-buku. “Kebetulan saya mengerti bahasa Inggris. Kadang-kadang, ada orang yang baca buku tapi tidak mengerti sehabis membaca,” ucapnya merendah sekaligus menyindir. Dia juga sebutkan sejumlah bacaannya, mulai dari surat kabar Kompas, Jawa Pos, Surya, Australian Herald Tribun, majalah American Scientific, Science, Nature majalah ilmiah nomor satu di dunia itu dan paling mahal harganya. “Kehidupan saya berubah, setelah menjadi dokter, banyak yang cumlude tetapi begitu-begitu saja,” begitu dia mula-mula memperkenalkan diri, sekaligus lagi-lagi menusuk dengan kata-kata tajamnya. Dia juga katakan telah mengabdi untuk ilmu bedah plastik ini sudah cukup besar dari sejak bedah plastik tidak ada baunya sampai ada aromanya di Indonesia.
“Kamu kuliah di politik masih bisa dihitung dengan jari, boleh kutahu apa pandapatmu tentang politik, anak muda?” tanya Profesor Maryuhan Kurnia.
Biarpun Biru Langit seorang mahasiswa politik, rasanya pertanyaan Profesor Bedah Plastik soal politik itu begitu rumit untuk dijawabnya, sebab itu apa saja yang ada di benaknya, ia keluarkan untuk menjawabnya, “Politik itu kekuasaan dan Soeharto nampaknya penganut Machiavelianisme sejati. Untuk melanggengkan kekuasaanya, dia tak cuma membangun jaringan politik yang mapan, tetapi juga melibatkan para gali dan brandal-brandal. Mereka dipakai bila deperlukan. Kalau sulit dikendalikan, maka perlu segera dilibas. Petrus adalah bagian dari itu,” jawabnya.
“Saya tidak bisa menyalahkan jawabanmu anak muda, teruskan,” barangkali ini memang gaya seorang profesor macam dia.
“Semenjak awal-awal pemerintahan orde baru, Soeharto sudah membentang beberapa incaran. Menciptakan konglomerat pribumi dari keluarga sendiri, juga menjalin hubungan khusus dengan konglomerat Tionghoa. Karena itu Soeharto langsung melibatkan orang-orang seperti Sudarmono dan Ali Murtopo tatkala awal pemerintahan. Soeharto tahu, keduanya menyatu dalam satu tubuh di Golkar, tetapi secara pribadi tidaklah ketemu. Namun memang itulah yang dicari, sebuah cermin manajemen konflik diktator Soeharto mulai diperkenalkan. Keduanya diterjunkan dalam hubungan politik ekonomi pribumi non pribumi. Sudarmono menjalankan roda organisasi ke Golkar, Ali Murtopo sebagai penjaga stalitas Golkar. Untuk memberi imbangan yang lain maka soal ekonomi satu sisi memberi privacy pedagang kuning di sisi lain juga membesarkan nama pribumi seperti Probosutedjo dan keluarganya.”
“Apa yang kamu ketahui selebihnya, bicaralah anak muda,” pinta Profesor itu.
“Konon Ali Murtopolah yang mengorganisir para gali berkomplot untuk mempermudah pengawasan dan demi kelangsungan taring kekuasaan Soeharto. Bila tujuannya sudah tercapai, strategi baru disusun. Hasilnya melenyapkan para bromocorah. Tak hanya itu, Ali Murtopolah dalam catatan orde baru nyata-nyata dipakai terus di barisan depan. Melalui jalur operasi intelejen, operasi khusus bersama-sama Sudjono Humardani, dia terbukti mampu melestarikan rezim Soeharto. Motif operasinya serba ditutup dan dengan kekuatan militer yang melibatkan ABRI. Penyiksaan penculikan, dan menghilangkan nyawa orang lain merupakan modus ciri khasnya. Cara-cara ini, yang berkembang dipakai dari awal orde baru menjelang pemilu tahun 1971 hingga sekarang yang menurut sejarawan Onghokham adalah intrik-intrik warisan rimba politik Jawa. Aktivitas intelejen itu dulu ditunjukkan dengan telik, sandi, kecu, weri. Onghokham juga mencontohkan peristiwa semasa Mataram dalam kekuasaan Sultan Agung dan Amangkurat I yang membantai 6000 jwa golongan ulama termasuk istri, anak-anak, orangtua, pembantu-pembantu ulama. Peranan operasi tertutup ini kian menonjol dengan munculnya tokoh baru Benny Murdani, dengan konfflk-konflik baru yang lebih terorganisir. Munculnya gerakan anti islam dan teror kepada umat islam. Tentu saja suasana jadi kacau karena kegiatan intelejen yang dinilai memotong Kostrad yang seharusnya di bagian depan. Wajar saja ini mnimbulkan pro dan kontra bahkan sakit hati di kalagan perwira. Orang-orang seperti Abdul Haris Nasution, HR Darsono, Sarwo Edi Wibowo disingkirkan. Mantan Pangkopkamtib Sumitro juga menyayangkan penyimpangan penggunaan operasi intelejen dalam urusan politik. Lebih dari itu Jenderal Sumitro disingkirkan dari jabatannya tak lepas dari oprasi intelejen ABRI saingannya. Juga meletusnya peristiwa Malari tahun 1974 itu.”
“Mengapa kau bicara seperti itu, anak muda. Sepertinya di matamu penuh dengan nyala dendam.”
“Oh, ya? Benarkah? Bukankah bila ini sungguh-sungguh dendam, tentu aku tak bisa bicara lagi? Terlebih kepada seorang profesor ayah dari kawan perempuanku?”
“Kamu orang yang berbahaya, seperti kebanyakan orang yang penuh dendam itu berbahaya, anak muda.”
“Jadi Profesor menilai aku sukses sebagai pendendam karena peluru aparat salah ditembakkan dan nyata-nyata membunuh ayahku, begitu?”
“Saya hanya tidak bisa menyalahkan kamu karena itulah yang kini memperkenalkanmu pada politik, itu saja, sederhana.”
“Apa bedanya, Prof? Tidakkah Prof tahu, sampai di daerah-daerah petrus melibatkan sejumlah aparat desa untuk menyusun daftar target operasionalnya yang kemudian banyak menimbulkan salah sasaran itu, salah tangkap dan salah tembak. Itu kmudian yang amat meresahkan masyarakat selain teror psikologis. Operasi yang menghilangkan hak hukum ribuan orang itu langsung atas perintah Presiden Soeharto sebagaimana pengakuannya dalam buku otobiografi Pikiran dan Tindakan Saya melibatkan banyak aparat militer. Secara langsung di bawah kendali Pangap/Pangkopkamtip Jenderal LB Murdani. Ini semacam mata rantai conspirasy theory masa kekuasaan Soeharto hasil rancangan khusus BAIS. Barangkali ada benarnya jika operasi ini didasari oleh keluhan para konglomerat Cina yang terganggu dengan aksi kejahatan para bromocorah. Namun demikian, petrus itu berkembang menjadi operasi terlubung. Modusnya sebagai teroris yang menakut-nakuti masyarakat. Lebih dari itu sekadar untuk menjamin stabilitas negara dalam hal ini Golkar, konglomerat dan presiden. Di masa kolonial Belanda biro yang disebut kantor Voor Inlandesch Zaken dan Chinessch Zaken merupakan badan koordinasi intelejen. Jadi indikasi Onghokham, menimbulkan kekacauan untuk kemudian menumpasnya, merupakan intrik elit kekuasaan sepanjang sejarah Jawa. Baik pada zaman raja-raja maupun masa kolonial dan pasca kolonial terbukti. Ali Murtopo dan operasi khususnya menjelang pemilu 1971 menggunakan para gali untuk melenyapkan saingannya. Dan dengan petrus akhirnya para gali itu dilenyapkan Soeharto. Hal ini berlanjut di tahun 1978, terkait dengan parpol dan kepemudaan. Namun karena dianggap tidak mampu dikendalikan, lantas para bromocorah yang dulu dimanfaatkan, akhirnya dilibas. Skenario in sangat klasik. Jikapun tak ada intrik dan komplotan, si penumpas kekacauan dapat dituduh menjadi dalangnya.”
Kali ini Biru Langit benar-benar menggebu, nyaris serupa dendam seperti apa yang ditakutkan profesor padanya. Selama Biru Langit angkat bicara, Profesor itu yang nyata-nyata seorang manusia biasa pula, harus banyak menahan emosinya sembari cengengas-cengenges, untuk barangkali sedikit menutupi malunya. Setelah diam cukup lama, lantas dia katakan yang sesungguhnya sebuah untaian basa-basi, “Saya sungguh beruntung berkenalan dengan anak muda seperti kamu, tapi sepertinya anakku yang kurang beruntung untuk itu,” Biru Langit merasa terpancing, lebih-lebih tatkala Profesor itu menyebut anaknya, ia menjadi sedikit tersinggung.
“Tunggu sebentar,” potong Biru Langit, “Rasanya tidak adil bila Prof belum ungkapkan pikiran tentang politik pada aku, mengapa seorang dokter seperti Anda tertarik masalah politik?”
“Karena sekarang saya lihat bangsa saya, negara saya seperti ini. Sebagai warga negara, saya masih kuat, otak saya masih mau berpikir, sebelum kena stroke. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya masih mikir dengan baik, saya ingin berjuang untuk kepentingan seluruh bangsa Indonesia. Berpolitik yang katanya kotor itu yang bikin saya sakit hati mendengar komentar berpolitik itu yang penting tujuan, tidak peduli cara, menghalalkan segala cara, kalau memang politik itu sampai kapan negara seperti ini, apa mau negara ini diserahkan kepada orang bajingan-bajingan seperti itu. Politik itu harus kotor. Rakyat yang memilih apa harus kotor-kotoran itu, itu kesalahan pola pikir. Pembicaraan seperti itu masih berdiam di Indonesia dan banyak yang menonton. Politik itu campur kejahatan, kejahatan itu harus dipenjrra. Kriminal kok mengurusi rakyat. Bajingan kok disuruh mengurusi orang banyak. Menjelang Soeharto turun, saya melihat segala sesuatunya tidak karuan. Asmuni melawak di depannya Soeharto dan senang, lalu dihadiahi naik haji. Dalam hati saya tanya itu gajinya Soeharto ataukah uang negara? Terus ada industri di kalimantan diambil begitu saja oleh anak-anak Soeharto, di TV ulangtahun sungkem diperlihatkan kepada rakyat Indonesia seperti kerajaannya saja. Wajib relay. Mau jadi apa negara ini. Saya tidak cocok. Kadang-kadang saya berpikir untuk meninggalkan Indonesia dan tinggal di luar negeri daripada ngomong terus ditangkap, tapi ini negara yang kucintai tidak bisa hidup saya di sini, kalau falsafah saya begini.”
“Tahukah Anda, omongan itu seperti kebanyakan omongan politisi sekarang ini, kalau mau kaya jadiah politisi!”
“Jujur saja, motivasi pribadi sudah tidak saya miliki. Untuk apa, cari duit? Saya bisa hidup sederhana dengan gaji yang cukup saya terima. Nama saya sudah banyak dikenal di Surabaya dan di bedah plastik Indonesia. Kedudukan saya seorang profesor di dunia sudah habis kedudukan. Ambisi pribadi tidak ada. Bahkan politik hanya membuat saya sibuk, keluarga saya malah marah-marah karena betapa susah minta waktu mereka pada saat saya memilih sibuk sedemikian rupa juga untuk berpolitik,”
“Apa aku harus percayai semua omongan Profesor?” Biru Langit mencoba menyinggung perasaan Profesor itu.
“Kuperingatkan padamu, agar jangan tersinggung dengan gaya bicara saya, beginilah bila saya bicara, dan banyak orang tersinggung lalu seperti jadi musuh saya,” Profesor itu mulai bicara sesuatu yang amat pribadi.
“Tidak, aku biasa bicara dengan orang macam Profesor?”
“Maksud Anda? Yang suka membuat orang marah?”
“Kurang lebih, tapi baiknya kita bicara soal pribadi sekarang,” pinta Biru Langit,
“Bukankah sudah saya mulai, anak muda?”
“Ya, sudah.”
“Seorang yang cukup dekat dengan saya dalam hal pekerjaan,” kata Profesor itu mulai brcerita, “Pernah berujar untuk membuktikan kebenaran itu manusia harus berbuat kebaikan kepada sesama orang lain. Saya katakan, tidak bisa drmikian karena dia pikir religius. Kawan saya yng lain nyletuk oh, dia itu omongannya surgawi. Dia juga katakan tidak cocok kalau bicara sama orang seperti saya. Saya pun balik nyletuk kepada siapa pun orang yang mau mendengar omongan saya. Anda betul, omongan dia itu surgawi, tapi omongan saya ini nerakawi. Saya bicara itu karena kejengkelan saya menanggapi omongan profesional yang ternyata sama sekali tak menggunakan logikanya. Cerita yang saya sampaikan barangkali memang murahan betul, tapi angin surga juga kadang-kadang sering datang, silih berganti bersimpangan jalan. Semisal, saya punya kenalan perempuan asli Indonesia. Perempuan itu sering mengirimkan SMS dan dalam surat-suratnya itu ia katakan “Tuhan begitu baik kepada saya, saya minta apapun dikasih oleh Tuhan. “Yang menggelikan terakhir kali ia katakan, “saya minta kenalan yang baik kepada Tuhan kemudian bertemulah saya denganmu.” Pesan itu beberapa hari menyibukkan saya dan membuat saya girang. Saya katakan, “Hebat sekali Tuhanmu itu. Setiap pertanyaanmu selalu dijawab oleh dia. Tuhan saya ini tak pernah bisa menjawab pertanyaan saya biarpun cuma satu, apa ruh itu, kalau Tuhan mu begitu pintar, kapan-kapan saya akan titip pertanyaan buat Tuhanmu.” Syukurlah perempuan itu betul dikirim Tuhannya untuk tetap bicara kapada saya. Saya belum sempat kabarkan kepada Tuhan saya. Dia masih sibuk. Karena sibuknya sampai saya tidak tahu. Bagaimana bisa saya seperti ini? Semenjak kecil, saya sudah berkenalan dengan pemikiran ahli fisika Albert Einstein. Ketika itu, saya masih duduk di bangku SMP di Palembang, dan perkenalan saya dengannya tidak membuat saya sungguh-sungguh tahu pikiran lelaki yang tampil berkumis lebat dan rambut acak itu. Laiknya seorang murid sekolah, saya juga tidak sadar di masa kelak kemudian hari, laki-laki itu memberi sumbangsih terhadap jiwa saya. Saya tidak mengerti. Memang, perkenalan saya dengan pikiran-pikiran Einstein benar-benar memberi inspirasi pola berpikir. Ketika itu yang tersimpan di otak saya tak lebih dari rasa kagum dan keheranan saya. Saya memutar otak berpikir keras, bagaimana manusia bisa sedemikian pintarnya, sedemikian geniusnya. Jikapun dia makan sekolah, sekolahan model apa yang dilahap makluk luar biasa satu ini. Sederet pertanyaan berakhir dan ujungnya cukup saya simpan dalam benak saya setelah bertahun-tahun lamanya. Ketika saya belajar di Perguruan Tinggi, barulah saya serius mendalami pemikiran-pemikiran manusia jenius itu. Waktu itu di mata saya Einstein sudah makin hebat. Bahkan di mata dunia dia makin terkenal kepintarannya dengan temuan atomnya itu. Dalam hati saya sendiri muncul pengakuan, padahal saya tahu bukan dia sendiri yang bekerja sampai ditemukannya teori tentang atom. Ada pendahulu-pendahulunya yang membuat Einstein begitu hebat. Saya lahir di Surabaya, 11 Maret 1940. Meski demikian, pendidikan dasar saya selesaikan tidak di kota kelahiran. Sebelum lulus berikutnya saya sekolah di Lampung, Sumatera Selatan. Antara dua kota, antara dua pulau, antara dua tempat tinggal saya, memaksa saya mau tidak mau untuk peduli dengan masalah-masalah kebudayaan dan masalah-masalah sosial. Begitulah, di sini perjalanan hidup saya sempat bergolak dalam urusan budaya masyarakat. Saya menyempatkan diri untuk membuat diri saya suka dengan budaya Jawa. Lebih suka ketimbang budaya orang Sumatera-an. Pikiran saya waktu itu, mengagumi budaya Jawa karena teramat tinggi nilai-nilai filosofinya. Betapa tidak, kekaguman saya pada orang Jawa sudah teruji karena segala kehidupannya berpegang pada filosofi wayang. Wayang ketika itu dalam pikiran saya adalah cermin orang Jawa. Tidak ada budaya seperti ini yang hidup di masyarakat selain Jawa. Di sisi lain, budaya orang Sumatera tidak suka berbasa-basi. Sebaliknya, budaya Jawa kental dengan basa-basinya. Kehidupan orang Jawa yang mencontoh garis hidup tokoh-tokoh wayang, diam-diam saya kagumi. Namun demikian terus terang kadang-kadang di tengah rasa kagum saya, saya tidak bisa mengikuti dengan jenak bila sedang menonton wayang. Bahasanya amat susah. Suluk dan omongan dalang tidak bisa saya mengerti. Itu terjadi tidak dalam waktu sekejab. Bertahun-tahun lamanya. Untuk kembali bisa menikmati, semacam menjawab rasa kerinduan pada wayang dan budaya Jawa itu, lantas saya memilih untuk membaca komik-komik wayang yang bahasa Indonesia. Saya tidak meragukan budaya orang Jawa itu lebih tinggi, jauh lebih tinggi dari budaya-budaya suku lain yang ada di Indonesia. Saya pikir begitu, manakala menikmati sopan santun, tepo seliro. Saya harus akui itu sebagai hal yang berbeda sungguh ketika saya menikmati hidup di Sumatera Selatan. Selama 6 tahun dari kelas 4 SD hingga tamat SMP saya ikut orangtua saya di Palembang. Di Palembang bila terjadi tindakan Anarkis, lebih anarkis daripada orang Jawa. Jawa membuat saya teringat kembali sesuatu yang tinggi bila terjadi keributan di tempat tinggal saya. Sampai saya meraih gelar Dokter Ahli Bedah dari Universitas Airlangga, hidup saya sebagai suatu perubahan evolusi saja. Selanjutnya pun demikian. Evolusi hidup saya di bidang keilmuan menuju tingkat yang lebih tinggi, ceritanya berawal saat banyak kawan-kawan saya ingin pergi menuntut ilmu kedokteran ke Belanda. Banyak orang-orang dari THT senior saya berlomba-lomba ke Belanda. Yang mengagetkan saya, sepulang dari Belanda orang-orang itu lantas mengambil tingkat doktoral semua. Saya heran bercampur perasaan ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan kemudian banyak tumbuh dalam diri saya. Kenapa saya tidak memilih seperti yang ditempuh kawan-kawan seprofesi? Jawaban saya, ketika itu karena saya menganggap itu sebagai sesuatu yang tidak penting. Lebih mengagetkan lagi, lama kelamaan saya melihat kawan-kawan saya doktor yang sudah dua. Di depan namanya ada dokter dan ada doktornya pula. Saya tetap dokter dengan huruf d kecil. Dipaksa untuk D besar, di rumahsakit tetap saya diakui sebagai dokter bukan doktor. Akan tetapi bukan masalah huruf D itu betul yang mengganggu pikiran saya. Melainkan ini: "Kawan-kawan yang mengambil doktoral itu bukanlah orang yang pintar, ternyata bisa. Kalau mereka bisa kenapa saya tidak. Kayak begitu saja, dapat DR-nya dua, kenapa tidak saya lakukan? Lantas saya pun punya pilihan untuk pergi menuntut ilmu kedokteran di negeri Belanda. Di Belanda saya mendalami Ahli Bedah Plastik di Groningen. Di luar dugaan saya, di kota Negeri Kincir Angin ini banyak pengalaman keilmuan yang tumbuh dalam diri saya, lebih-lebih dalam bidang filsafat dan dalam hal pemikiran modern. Saya melahap buku-buku keilmuan dan filsafat. Dengan berbekal bahasa Inggris yang cuma saya dapat dari ruang kursus selama sebulan saja, saya percaya sepenuhnya bahasa Inggris saya. Setamat dari Groningen, berbekal penguasaan bahasa saya pula, akhirnya saya sungguh-sungguh berniat mendaftar tingkat doktoral di Unair. Saya daftar dengan batas minimum tiga tahun. Begitulah saya mengambil doktor bukan karena keilmuannya tetapi lebih didorong karena saya ingin punya dua gelar. Sebab itu kalaupun banyak hal di luar dugaan, yang terjadi dalam diri saya selama mengambil doktor adalah soal tersendiri. Saya makin belajar banyak tentang ilmu di tempat itu. Waktu ambil doktor itu ada mata kuliah filsafat ilmu, saya ikuti. Betapa saya dan juga beberapa rekan kecewa karena ternyata filsafat ilmu di ruang kuliah itu isinya sekadar cerita sejarah. Seorang rekan yang juga calon doktor malah berterus terang kepada saya dan mengaku dirinya justru nggak ngerti sehabis mengikuti perkuliahan. Kekecewaan itu makin luar besarnya lantaran besar harapannya, setelah kuliah dia betul-betul paham tentang ilmu. Selama menempuh doktor, banyak hal yang membuat saya makin belajar sungguh-sungguh meski bukan karena menempuh kuliah tentang filsafat ilmu. Saya belajar karena didorong keinginan untuk saya untuk membuktikan sesuatu. Untuk membuktikan sesuatu itu saya harus pakai alat ukur, tidak bisa tidak. Alat ukur itu harus universal, kalau belum ada alat ukur maka harus dibuat dan harus ada pembuktiannya. Kebiasaan saya berpikir, mulai dari masalah-masalah kecil keseharian saya, semisal 'mengapa anak minum susu,' dia tak boleh menjawab 'saya minum susu karena disuruh mama' atau 'kalau tidak minum nanti saya dicubit mama,' berkembang ke masalah besar dalam hal loyalitas dan kontribusi. Saya pikir anak harus dididik berpikir dengan reasoning bukan atas kekuasaan. Seharusnya anak diajak berpikir bahwa minum susu itu sehat untuk pertumbuhan badannya. Agar tidak mudah sakit badan jadi kuat. Selama belajar, saya banyak bergaul dengan validitas internal-ekternal keilmuan, alat ukur, kriteria dan sebagainya. Bahwa hidung itu bagus apabila simetris. Untuk bisa simetris harus dibuat alat ukur ini simetris. Bagaimana bila terjadi pada anak kecil yang sedang menangis dan lain-lain, misalnya seperti itu. Teori ini yang kemudian saya angkat dalam disertasi program doktor saya, melalui promotor seorang profesor asal Belanda dan proforma orang Indonesia Penelitian saya itu kemudian membuat saya tertarik cara-cara metode ilmiah. Dalam pikiran saya, ini bagus untuk saya pakai menyelesaikan masalah-masalah umum. Ilmu itu universal, dipakai di Indonesia maupun Amerika metodenya pasti sama untuk mencari kebenaran. Hidup saya kian berubah dengan kebenaran itu. Hidup saya tak pernah terlepas dari upaya mencari kebenaran. Kebenaran bukan omongan saja, tetapi melalui suatu hipotesa, dalil jika sudah dilakukan pembuktian dengan metode ilmiah. Segala perkembangan hidup saya tidak terlepas dari itu. Hidup saya betul-betul berubah. Saya sering berpikir tentang kejadian-kejadian yang sepele. Suatu ketika, dalam perjalanan mobil, saya mendengarkan radio yang dengan enteng berbicara soal kebenaran. Kebenaran itu seperti ini, kebenaran itu begini. Saya gusar. Dalam hati saya berkata, orang ini ngerti apa nggak tentang kebenaran? Saya saja yang seorang doktor tidak bisa menjawab. Apa-apaan ini? Saya pun coba bertanya kepada teman-teman, kebenaran itu apa sih, tidak ada yang menjawab. Saya gusar karena saban hari orang ngomong benar salah-benar salah, tetapi tidak tahu yang diomongkan. Baru tiga hari saya berpikir karena saya gusar. Sebuah ironi, pada waktu kehidupan saya berubah setelah menjadi doktor, tetapi banyak profesor yang cumlude tetapi tetap begitu-begitu saja. Sejak remaja hobi saya berpikir. Saya katakan kalau butuh pemikiran, tanya saya, karena di zaman seperti ini masih pula ada orang yang tak mau berpikir. Kepada mereka saya sampaikan. Kalau memang mau bagus harus berpikir. Untuk kepentingan keilmuan saya, semenjak itu saya mengikuti terus berita-berita di koran tentang Stephen W Hawking yang lumpuh, kemudian saya beli buku-bukuya, saya baca, pemikirannya dengan Einstein klop. Berbagai buku Einstein saya punya mulai dari riwayat hidupnya, kemudian buah pikirannya itu, pidato-pidatonya, terus tulisan-tulisannya di koran yang pada akhirnya dikumpulkan dalam satu buku, karena itu saya tahu betul apa artinya God doest play dice—bahwa dia itu Atheis. Di lapangan pekerjaan saya menghadapi masalah antara loyalitas dan kontribusi. Sebenarnya yang paling bagus adalah kontribusi bukan loyalitas. Seseorang diberi bobot bukan karena loyalitasnya tetapi karena kontribusinya. Karena dengan kontribusinya, itu dia bebas untuk bisa memberikan gagasan, buah pikir, kritik, kerja, lalu mengimplementasikan, untuk mencoba. Berbeda dengan pokoknya nderek, ini suatu silent of boulding, orang yang diam itu lebih cepat naik pangkat. Begitulah saya menikmati pribadi saya yang menjadi bahan kesibukan orang lain. Suatu kali, seorang senior mengatakan kepada saya. Dia katakan kalau orang respek kepada Anda mungkin benar, tetapi kalau orang suka kepada saya, tunggu dulu. Ucapan ini bila didengar orang yang bukan saya, sudah barangtentu bakal menyiksa batinnya. Tetapi tidak bagi saya. Justru timbul pertanyaan dalam diri saya. Pilih mana direspeki orang dengan disukai orang? Beberapa hari saya memerlukan jawabannya. Orang respek itu bisa karena saya punya prestasi, saya punya keberhasilan. Tetapi orang suka itu bisa terjadi hari ini suka dan besuk tidak atau suka seterusnya dan sebagainya yang sifatnya sangat subjektif. Saya pikir kepada anjingpun, setiap orang bisa muncul rasa sukanya. Begitulah akhirnya saya pilih untuk direspeki ketimbang disukai. Kejengkelan saya setiap saat bisa timbul bila menyaksikan orang debat kusir tapi tanpa menggunakan keilmuan.”
Bicaranya yang panjang lebar sengaja ia tak meminta pendapat atau apa karena sungguh-sungguh ini dirasanya masalah pribadi. Ia baru berhenti sesudah dilihatnya Biru Langit mulai nampak tidak tenang, berkali-kali matanya keluar masuk terganggu oleh mobil atau pejalan yang melintas di jalan depan ruangan itu yang mulai padat, “Sepertinya giliran kamu harus ceritakan pribadimu, anak muda.”
Biru Langit yang memang sudah gundah dan duduknya tak lagi nyaman, nampak terkejut, meski begitu ia harus siapkan jawaban yang tepat. Dirinya merasa cukup longgar sebab kiranya jawaban apapun tak perlu ia risaukan. Bukankah Profesor itu orang yang tak perlu tersinggung? Asal ia bisa kemukakan alasan yang penting?
“Aku? Apakah masih perlu Prof? Bukankah aku seorang yang tidak punya kepribadian? Bukankah Prof sudah katakan sendiri itu? Kemudian satu-satunya pribadi yang kumiliki adalah aku seorang pendendam, seperti kata Prof?” enteng saja Biru Langit bicara.
“Tidak masalah, yang penting Anda tidak tersinggung dengan gaya bicara saya.”
“Nggak. Prof juga jangan tersinggung dengan jawaban-jawabanku,” Biru Langit sepertinya hanya bersliat lidah.
“Baiklah, lain kali kita bicara masalah lain,” pintanya.
“Apakah ada masalah lain yang lebih menarik dari politik, Prof?”
“Ingat. Kamu dikenalkan saya oleh anak perempuanku, itu juga harus kutanyakan padamu.”
“Ah…masalah pribadi lagi, Prof?”
“Saya kira itu lebih baik daripada saya tanyakan padamu apa agamamu, bukan?”
Tiga
JALAN masuk yang menyerupai lorong-lorong tua di Rumah Sakit Karangmenjangan 63) seperti sudut-sudut kotak kubus yang kesasar di kota Surabaya. Kamar-kamar yang berhadap-hadapan, bersebelahan, berderet dengan dapur, umum, perpustakaan, ruang kerja, lalu disepanjang lorong itu orang hilir mudik, tanpa tahu kemana tujuannya. Orang-orang berpakain putih-putih, wanita-wanita mendorong kereta yang menyisakam bau formalin, lalu orang-orang yang duduk di kedua sisi bersimpuh di atas tikar atau bungkus kertas koran menyisakan sandal-sandal atau sepatu bekas. Tangan mereka menggenggam minuman, makanan kering membantu menimbukan kesan yang menyedihkan—panorama yang di mata Biru Langit menyerupai wajah kota yang penuh ancaman, maut, dengan penduduk-penduduk dan pemangku pekerjaan yang sulit dipercaya, tidak menyimpan kejelasan.
Di sinilah, di salah sebuah ruangan Prpf Dr. dr. Maryuhan Kurnia menempati kantornya yang indah bersih, di tingkat dua, orang bisa bertamu ke situ melalui tangga lebar dengan kisi-kisi batako yang kokoh. Di pojok ruang kerjanya, seorang wanita yang pendiam dan hanya disibukkan dengan membuka-buka, mengumpulkan atau menata kembali buku-buku di perpustakaannya, di rak paling pojok nampaknya wanita itu meneliti buku-buku yang amat beragam yang nyata-nyata milik pribadi Sang Profesor, sejak buku ilmu pengetahuan, filsafat, sampai politik atau budaya. Kesunyian kerja wanita pendiam itu, terpecahkan oleh dua laki-laki lagi yang dipekerjakannya lalu juga sebuah TV menyala dengan suara yang sepertinya tak pernah terperhatikan betul sehingga menyerupai dengungan lebah belaka. Sepertinya itu tempat terindah pertama yang diketahui Biru Langit yang berbatasan dengan tangga. Persis di bawah tangga bau formalin kadang-kadang sudah menyebar, atau nafas orang-orang tua yang melenggang di sisi ruang rumah sakit itu. Di tempat seperti ini satu-satunya pemandangan menarik, tatkala melihat orang-orang biasa itu berjalan bersama atau duduk-duduk saling menuturkan berbagai anekdot pendek, guyonan ringan, jula-juli atau kecaman terhadap dunia yang ia jalano tapi dengan pasemon. Atau nyanyian-nyanyian ringan yang tak tentu benar ditujukan pada siapa hiburan itu, pada dirinya sendiri ataukah pada dunia yang kosong mlompong, dan baru berhenti tatkala tenggorokan mereka merasa tercekik.
Sungguh inilah perjalanan terindah dari Biru Langit. Rekreasi yang mengagumkan di belahan dunia yang berbatasan tipis dengan dunia yang lain. Itulah sebabnya mengapa banyak cerita-cerita misteri terjadi juga di tempat seperti ini, betapa banyak rumah sakit menyimpan bermacam misteri. Namun di benak Biru Langit, sesuatu yang misterius diam-diam juga menyerang dirinya—sesuatu yang telah merasuki darah dagingnya sejak bertahun silam, yang jauh sekai dari jangkauanya. Ya, suatu yang menyerupai mimpi tapi itu nyata, suatu kenyataan tapi itu berada di bawah arus kesadarannya. Barangkai lebih tepatnya sebuah penggalan masa silam yang hadir kembali di saat sekarang. Biru Langit melihat kepedihan telah berjalan-jalan di hadapannya… Begitu tiba-tiba… Rumah Sakit itu dari luar terlihat seperti bangunan kaca.Tetapi bila masuk ke dalam, akan terlihat betapa keropos dan penuh bau anyir darah. Tempat ini mengingatkan Biru Langit pada sebuah Rumah Sakit di Universitas Copenhagen, seperti tertulis dalam buku-buku orang pergerakan. Di situ hampir semuanya korban tindak kekerasan. Di tempat ini segala trauma yang dibawa diusahakan untuk lupa. Orang-orang itu seperti mereka yang telah berdatangan. Menyaksikan Rumah Sakit itu, serasa melihat sisi kelam gambaran di hampir seluruh nasib negeri berkembang. Beragam teror penyiksaan sacara fisik dan mental terhadap orang di negeri itu.Terpaksa harus dilarikan ke luar negeri. Jauh tetapi amat dekat bagi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Memang rumah sakit. Tempat orang sakit. Tetapi nyaman, ruangan-ruangan tata hiasnya menimbulkan ketenangan dengan lantai permadani. Ini adalah surga dunia para penderita, tempat ini pula yang mengingatkan Biru Langit akan kisah seorang lelaki anggota serikat buruh Chili, Miguel Angel Lee Urzua. Dia bernafas lega di tempat yang baru. Miguel adalah bekas pekerja di pertambangan El Teniente di luar ibukota Santiago. Umurnya kurang lebih 47 tahun. Dia hidup di kota tambang yang dikenal sebagai basis pendukung terkuat presiden Chili sosialis Salvador Allende. Miguel digiring ke kamp pasukan kemanan akibat gerakan politiknya. Akhirnya mendekam di klinik anti penyiksaan pertama di dunia ini. Namanya Rigshospitalet, tempatnya di Copenhagen. Sebelum itu, ketika terjadi kudeta militer tahun 1973 Miguel termasuk orang yang ditangkap pasukan keamanan. Serentetan penyiksaan beruntun yang dialaai Miguel, dihina, sebulan lebih dikurung dalam sel terkunci dipukuli pada malam hari. Disetrum listrik. Dua tahun kemudian, Miquel dilepas tetapi kediriannya sebagai manusia ambruk. Penglihatannya rusak berat, daya ingatya kacau. Di rumah kaca ini ia tetap teretkan. Kepalanya sering diganggu rasa sakit berat. Miguel mengaku sudah merasa bukan laki-laki lagi. Dia nyaris putus asa. Ia dihantui teror yang mengikuti sepanjang hidupnya. Kejantanannya telah dirusak anak buah Jenderal Pinochet. Di India, seorang wanita Arhana Guha, lumpuh kakinya. Ia wanita kepala sebuah sekolah lanjutan di Kalkuta, ditangkap 1974 karena dituduh terlibat gerakan Naxalit—kelompok teroris sayap kiri yang beroperasi di Benggala Barat. Selama penyiksaan, seluruh bagian tubuhnya dipukuli terutama daerah selangkangan. Dan punggungnya terus diserang dikurung dalam sebuah sel kotor.
Kisah ini pula yang kali pertama diceritakan Biru Langit pada Sulistyorini tentang kekejaman. Sepertinya ia harus ceritakan itu pada waktu yang tepat di saat ia kembali dipertemukan ayahnya di ruang praktek pribadinya di kawasan jalan Jawa. Kisah itu muncul lebih dari sekali dan sebab itu pula menyerang benak Biru Langit melebihi gangguan syarafnya, begitu ia melihat ruang praktek dengan meja-mejanya yang tinggi, di pasang alat-alat listrik yang entah bagaimana sampai di kepala Biru Langit amat mengerikan, persis meja penyiksaan dengan peralatan pencukil kuku, mata, tang, belati, palu dan sebagainya.
“Kamu seperti orang gila, Biru Langit,” bentak Sulistyorini yang merasa merinding dengan cerita itu. “Tapi betapa mengerikan akibat penganiayaan itu bila semua ceritamu itu benar.”
“Aku tidak sedang minta pendapatmu apakah ceritaku benar atau salah, Suistyrini. Sebab aku tahu tentu kamu tidak tahu apa-apa tentang pergwrakan. Yang mau kukatakan, penganiayaan masal itu, menggugah naluri kalangan para kedokteran, atas permintaan Amnesti Internasional. Tahukah kamu, apa yang di benakku bila mengingat seorang wartawan Irak yang berusia 23 tahun dengan ditubuhnya terdapat 35 bekas luka bakaran dari besi panas atau para korban penyiksaan di Amerika Latin yang seluruh tubuhnya mengalami penyiksaan listrik, Sulistyorini?”
“Kamu tidak sedang bertanya sungguh padaku bukan?” perempuan itu merajuk.
“Bagaimana bila itu terjadi di sini pada kawan-kawan atau bahkan pada aku sendiri?”
“Sama saja bukan, dimana pun itu kejadiannya?”
“Bagus, jawaban yang tepat, cerdas juga kau!” Biru Langit bermaksud memberi hati, namun jika mau jujur, sungguh itu jawaban yang cerdas. “Motif operasi terselubung yang menistakan orang itu, juga hidup subur di negara yang rakyatnya dikatakan sejak ribuan tahun lalu tepo seliro, tenggang rasa, sopan santun. Negrinya Kusni Kasdut. Tahu Kusni Kasdut kamu?”
Perempuan itu menggeleng cepat. Belum juga usai pertanyaan itu, ia lebih dulu menggeleng berulang-ulang.
“Nama lengkapnya Ignatius Kusni Kasdut, bekas anggota Tentara Pelajar. Dia dikenal sebagai pembunuh dan perampok di Museum Gajah, Jakarta dengan alasan untuk menolong sesama temannya yang juga bekas pejuang, Dia dieksekusi di sekitar tambak ikan Gresik bulan Januari 1981,” papar Biru Langit.
“Terserah padamu, Biru Langit. Ceritakanlah padaku tentang kekejaman lebih banyak lagi, entah apa yang terjadi padaku, aku jadi suka ceritamu dari semua yang mengerikan,” pinta Sulistyorini.
“Terus terang aku jadi kuatir justru kamu yang sedang dalam proses menuju gila.”
“Sepertinya kamu makin suka saja, kalau aku telah gila,” perempuan itu seperti memancing di air keruh.
“Suka apanya?”
“Tidak, sayang, aku sedang bergurau, teruskan ceritamu,” desak perempuan itu.
“Sejumlah tahanan politik di sini juga mengalami penyiksaan berat. Mulai dari pemukulan, tendangan dan pemukulan dengan gagang senapan. Dengan siksa api dengan menyulut korban pakai rokok, pencabutan gigi secara paksa tanpa obat bius, strum atau dengan mengaliri listrik di ranjang besi korban. Kemudian korban dibiarkan di tempat yang berhawa dingin dibiarkan dalam posisi tertentu dengan tangan terikat di belakang maupun berdiri terus menerus. Tangan atau kaki korban digantung pada kipas angin di plafon, telapak kaki dipukuli, korban disiksa dengan minum obat yang menghancurkan kesehatannya. Lantas siksa psikologis, pemaksaan untuk menyaksikan orang lain disiksa, tembakan dengan peluru kosong atau tikaman degan pisau mainan, membangunkan korban dengan mendadak saat tidur nyenyak. Lalu terus menerus menyoroti dengan cahaya silau. Pengucilan, perusakan panca indra, intimidasi, perusakan kemampuan seks, pemotongan bagian tubuh, perkosaan dengan memasukkan benda keras ke dalam vagina atau dubur adalah bagian dari penyiksaan itu. Ada lagi dengan cara membenamkan kepala korban ke dalam air berisi kotoran, muntahan atau air kencing. Membungkus kepala dengan kantung plastik sampai korban megap-megap, membunyikan suara kras dekat kuping yang merusakkan gendang telinga, serta menutup kepala korban dengan helm lalu memukulinya.”
“Tahukah bila kamu ceritakan tentang rumah sakit itu pada ayahku, kamu akan ditanya kebenaran sumbernya?” perempuan itu bermaksud mwnghilangkan keragu-raguannya.
“Apa yang aku ceritakan ini dari beberapa laporan Amnesti Internasional. Dari catatan tim Rigshospitalet ada sejumlah korban dari negeri berkembang termasuk Amerika Latin. Dari orang dewasa hingga anak-anak. Ada lelaki umur 35 tahun selama enam tahun disiksa pukulan tubuh, sengatan listrik, alat kelamin, lidah, twlinga. Selama 20 hari dikucilkan dan dipaksa menyaksikan orang lain disiksa, ada yang tujuh tahun, ada yang empat tahun disiksa. Juga menimpa seorang anak 9 tahun yang trauma akibat orangtuanya disiksa. Dan masih ratusan ribu lagi korban penyiksaan yang tak bisa mereka tolong karena tak diberi izin mendatangi korban, atau karena para korban tak diizinkan meninggalkan tanah air. Untuk menolong anak-anak, tim Rigshositalet di Copenhagen membentuk kelompok khusus anak. Ada psikolog anak, dokter jiwa, beberpa pekerja sosial dan perawat. Sebagian besar orangtua anak-anak ini dari Chili. Anak-anak gampang menangis, mendengar suara bising saja sudah ketakutan. Banyak anak yang susah tidur, sering diganggu mimpi mengerikan tentang polisi, tentara, pembunuhan dan kematian Operasi terselubung ini justru bisa lebih berbahaya seperti dicontohkan tentang ditangkapnya dua dokter Basque, sebuah darah di Spanyol yang ingin memisahkan diri. Kedua dokter itu, Estaban Maruetagoyena dan Jose Miguel Yetano, diciduk 16 dan 22 Maret 1982 karena memriksa dan merawat sejumlah korban penyiksaan. Sungguh biadab. Kedua dokter itu dituduh membocorkan berita penyiksaan yang telah dilakukan oleh tentara. Keduanya dipenjara. Dalam pembebasannya, salah satu meninggal karena ketakutan dan serangan jantung. Protes pun dilayangkan atas kekuatiran akan bahaya yang mengancam para dokter Spanyol yang merawat korban penyiksaan. Jadi kalau dokter yang anggota Palang Merah Internasional saja ketakutan menjadi sasaran penyiksaaan, apalagi orang biasa…”
Kian lama suara-suara itu makin tenggelam di telan, derit pintu ruangan, dihantam bising jalan dan dihempaskan cuaca petang yang riuh dengan angin-anginnya yang meresahkan. Derit sepatu menggerus pasir dan bebatuan lalu deru ribut radio panggil taksi membuatnya tak tersisa sedikitpun pembicaraan dua anak muda itu. Satu-satunya yang tertinggal adalah “suka apanya” Sulistyorini. Giliran Biru Langit membolak-balik sendiri kalimatnya, memutar-mutar jalan pikiranya, “apanya yang disuka?” Lantas iapun tersenyum kecut, dalam benaknya, timbul dugaan perempuan yang duduk di sampingnya ini serang yang luar biasa, buru-buru ia pertanyakan kembali pikirannya, “luar biasa apanya?” Kembali ia tersenyum, kali ini lebih kecut lagi.
Empat
BILA malam tiba hawa dingin serasa menusuk tulang-tulang yang entah karena capai begitu ngilu dan seperti keropos dan bersuara. Air yang turun dari keluasan udara, mungkin sisa hujan atau embun malam begitu dihantam hembusan angin, tampak begitu berani dan tanpa permisi masuk ruangan-ruangan, menyerbu menerobos celah-celah pintu rumah kediaman Profesor Maryuhan Kurnia, yang sesungguhnya menyerupai sebuah istana, yang berdiri di jalan Dharmahusada.
Sulistyorini duduk santai menghadap pintu dan jendela kamarnya gelisah tiada peduli dan mungkin juga telah terbius dan kebal oleh hawa dingin yang asing itu. Beberapa jenak ia belum sadar dengan apa yang terjadi padanya, sebab itu ia belum juga terdorong untuk menutup korden jendela dan daun pintu.
Semua orang tidur, juga ayahnya Sang Profesor yang tenang tapi pikirannya prnuh gejolak itu. Perempuan itu terjerumus lagi dalam pesona laki-laki Biru Langit yang kian hari kian membuatnya tak berpikir mengapa dirinya mencintai laki-aki itu, menyukai setiap bicaranya dan sayang bila tak bisa berada di sampingnya. Ya, sungguh ia tak pernah lagi berpikir setiap peristiwanya jika tengah bersamanya, sesuatu kekuatan yang menyekapnya membuatnya ia telah lupa segalanya, maka dengan termangu-mangu ketika udara malam serasa mengirimkan aroma dan desah nafas laki-laki itu, maka ibunya, masih memakai gaun ungu kekuning-kuningan yang hampir putih, hanya membiarkannya dari kejauhan biarpun bertemu pandang di mulut pintu—sesuatu yang kesekian puluh mungkin ratusan kali terjadi bila malam tiba.
Dengan kedua buah tangannya di meja perempuan itu duduk menatap bayangannya sendiri di bawah sorot lampu 40 watt. Namun ia tak melihat dengan jernih bayang-bayang itu. Perempuan itu juga tak pernah berpikir akankah dirinya akan kehilangan bayang-bayang yang senantiasa mengikutinya sejak bangun pagi hingga menjelang tidur malam. Satu-satunya pikiran yang masih hidup bila sosokl bayangan ibunya muncul adalah, “Kalau ibunya tahu apa yang terjadi dengan vaginaku hanya ada tiga kemungkinan yang terjadi, ibunya bunuh diri, aku yang dibunuh atau aku tidak tahu apa-apa!”
Bagaimana itu terjadi pada perempuan Sulistyorini? Bagaimana mungkin terjadi? Sekarang sudah terlambat, seharusnya cerita ini dibuat untuk membuka masalah itu, tapi karena bukan untuk itu, sesuatu yang mustahil dan sia-sia belaka jika lembaran-lembarannya dihabiskan untuk urusan itu. Jadi percuma untuk tak menyebutnya kehilangan waktu.
Sekarang ia perempuan yang ternoda, itu saja. Titik. Biarpun ia tokoh perempuan yang nasib dan pergulatan hidupnya berputar-putar, cerita tentang vagina itu tak pernah pergi dari tubuhnya. Biarpun lantas ia besoknya pergi kuliah bergurau dan duduk berdampingan dengan gadis-gadis dari kota hingga pelosok desa, atau berdebat dengan perempuan yang telah menjadi ibu di muka kelasnya, kawan-kawan aktivisnya, cerita itu juga tak meloncat keluar seperti ucapan dan kata-katanya.
Sesudah ayahnya, Sang Profesor bedah plastik itu, entah di suatu waktu di kesmpatan yang tersedia ia akan ceritakan mungkin pada ibunya, pada lelaki Biru Langit atau pada siapapun yang ia jumpai di jalan, sampai air matanya sudah mengering dan tak ada lagi yang sanggup mengalir bila kesdihan itu berulang-ulang ia bagi pada orang lain dan beban itu setitik demi setik terlepas dari tubuhnya.
Di luar jendela dan pintu rembesan embun itu bergumam dan angin yang menari-nari terus membisiki kuping telinga perempuan Sulistyorini, bercerita tentang kepedihan dan juga semangat untuk hidup yang entah sebutir atau dua butir embun itu pernah terbang pula di atas kamar Biru Langit. Siapa tahu.
Lima
“PALSU! Palsu semua! Tidak kawan, tidak lawan segalanya palsu dan terlalu banyak basa-basi, Biru Langit,” Pam terus mengumpat tanpa memperhatikan reaksi Biru Langit.
Dia juga terus bicara begitu melepas jaket, topi, dan menyelipkan batang rokoknya ke celah bibirnya yang tebal dan menghitam. Sampai nyaris persis suara orang berkumur ketimbang orang berbicara, bayangkan sesulit apa bila dalam kondisi seperti ini Biru Langit harus mengajaknya untuk berdiskusi. Pam pemuda bekas preman itu berkali-kali membontang-banting jaket topi dan kemudian tasnya sebelum akhirnya ia banting juga sisa tubuhnya ke kursi panjang yang kumal berdebu, dengan karet-karetnya yang menggelambir keluar. Menyaksikan itu, Biru Langit hanya kuatir barang itu diremukkan potongan-potongan tubuh Pam, untungnya kejengkelan Pam sudah terlebih dulu dilepas dari tubuhnya, hingga tak memberatkan lagi badannya.
Dia rindukan Sulistyorini sampai nyaris hilang nyawanya, tapi keinginannya untuk bertemu selalu kandas dan kesempatannya kerap kali direbut Biru Langit dengan obrolan-obrolan yang bagi Pam sendiri kalau mau jujur membosankan dirinya. Pam mundar-madir, hilir mudik, ke sana kemari bila itu terjadi, tak ada pembicaraan menarik, tak ada diskusi yang simpatik apalagi tentang manusia—bukankah dirinya beda sdikit dengan binatang yang bimbang?
Baginya, Sulistyorini adalah perempuan jalang yang membuatnya mabuk kepayang, Dia juga perempuan yang sangat antik bila dibandingkan dengan program kuliahnya di jurusan politik yang dia sendiri lebih tergelitik dengan teori-teori besar orang barat yang bukan politikus. Sebab itu wajar bila kian hari tambah membingungkan dirinya sendiri, Pendek kata, tidak ada istilah lain kecuali malapetaka di saat-saat seperti itu. Bila itu terjadi saban hari, saban kali, kebiasaan barunya muncul yakni dengan mereka-reka jari-jemari atau kekenyalan otot-otot perempuan itu di atas tombol nomor-nomor telepon umum, tiga sampai empat kali ia bayangkan perempuan itu menari di meja telepon. Sementara bayangan tubuhnya yang lain terbang dari tembok ke tembok di rumah-rumah atau gedung-gedung pinggiran jalan, hingga sungguh-sungguh memabukkan. Belum lagi rambut hitamnya yang terbang seperti menari-nari di angkasa dan dibayangkannya beberapa helai ujungnya menyentuh kulit muka Pam yang melintas karena kulit tangannya luput dari genggaman tangannya.
“Jadi betul-betul kamu sudah rayu mati-matian Sulistyorini?” seloroh Biru Langit.
Lalu Biru Langit melangkahkan beberapa jejak di sisi Pam. Sepertinya gendrrang perang urat syaraf itu sudah kembali diperdengarkan, sesuatu yang sungguhnya kedengaran lelucon bila mereka berdua berhadap-hadapan. Betapa tidak, sebab keduanya harus menunjukkan tampang berpusing-pusing tentang nasib perempuan yang siapa tahu sesungguhnya perempuan itu, Sulistyorini, tengah tertidur terlentang nyaris tanpa nyawa, atau makan kacang sambil nonton adegan prcintaan. Di saat seperti itu seperti dua ekor anjing, anak-anak muda yang kekiri-kirian itu hanya sama-sama menengadahkan mukanya ke atas.
“Aku sudah katakan cinta, dan bermaksud memperistri Sulistyorini,” ucap Pam lirih nyaris tak terdengar karena tak ada lagi kepercayaan diri.
“Terus apa katanya?” Biru Langit tak sabar.
“Apa katanya? Ya dia katakan tidak bisa, karena dia sudah jatuh cinta dengan pemuda Marxis bernama Biru Langit, jahanam!”
“Dia sungguh katakan itu?”
“Kamu yang mengecewakan aku. Mengapa itu tak lebih dulu kamu katakan padaku. Jadi aku harus menghormati kawan.”
“Menghormati kawan atau tidak jatuh malu?”
“Tidak ada bedanya, bagiku.”
“Kasihan sekali kamu. Tapi ketahuilah aku tak pernah katakan cinta padanya. Memang aku minta waktu untuk mencoba.”
“Mencoba? Dan mencicipi maksudmu?”
“Itu urusanku dan kukira kita telah banyak membuang waktu untuk omong kosong tentang perempuan yang tidak ada gunanya.”
“Tidak. Ini penting bagiku, karena kamu tidak bermain dengan fair. Kamu munafik,” Pam masih ngotot untuk brdebat.
“Fair? Tunjukkan padaku dimana tak fair dan tidaknya dalam masalah ini.”
“Kamu sedang menjebakku, kawan.”
“He, sampai di situ rupanya.”
“Itu pengetahuanku tentang kecenderungan gaya politikmu.”
“Setan apa yang merasuki dirimu sekarang?”
“Tapi aku tahu iblis apa dalam pikiranmu. Politik!”
Adu mulut itu nyaris berakhir dengan adu pukul. Untungnya sesosok wanita lewat dan entah malaikat apa yang turun ke kawasan itu, si perempuan menyapa keras dan menyebut nama dengan gamblang dua pemuda itu. Ya dua-duanya. Belum lagi bunyi panci yang sengaja dipukul sebulum akhirnya dijatuhkan, juga menghentikan kedua pemuda itu. Sejak itu mulai timbul perasaan-perasaan aneh, kasihan, penyesalan, kuatir dan kekosongan.
“Dengarkan aku kawan. Jika kamu kawini Sulistyorini, dan jika kamu undang aku, aku berjanji untuk tidak mendatangi undanganmu,” Pam masih sinis.
“Dengarkan juga aku kawan. Aku juga tak akan mengundangmu jikapun benar-bnar dia bakal istriku.”
“Terserah!” potong Pam.
“Sekali lagi aku harus sadarkan kamu, bahwa omongan kita benar-benar tidak ada gunanya karena terlalu banyak kata jika, mengerti kawan?” celetuk Biru Langit.
Karena dia tamu dan Biru Langit tuan rumah, di rumah kontrakannya di kawasan gang sempit di Menur, maka dia harus tunduk pada penutup kata Biru Langit. Pam kembali pulang dengan segenap perasaan dongkol dan yang jelas rasa malunya itu, begitu mendongkolnya dan demikian malunya di rumah kontrakan itu dia harus berputar-putar seperti kesurupan mencari lubang pintu rumah. Sepertinya dia bersusah payah melindas kertas-kertas yang berserakan dan sepatu bekas di ruangan yang memanjang dan mirip lorong-lorong itu. Sorot matanya liar seperti hendak mencari hiasan-hiasan di dinding yang memang mustahil ia jumpai. Entah apa yang tersimpan di benaknya, begitu keluar melewati pintu samping rumah Pam lantas melompati pagar sisi kanan rumah kontrakan itu yang tak seberapa tinggi. Nampaknya ia lupa, persis di sisi luar tembok itu ada kali kecil dengan airnya yang menghitam dari aliran-aliran bak mandi serta comberan orang kampung. Diapun kecemplung. Setelah itu tidak ada kabar dari dalam rumah, kecuali terdengar pekik umpatan. Diamput! Namun dia bicarakan dirinya sendiri.
“Dia sungguh terlihat seperti anjing, biarpun tak sedang mendongakkan permukaan wajahnya ke langit dan biarpun tak menjulurkan lidahnya ke dasar kali,” pikir Biru Langit dari baik salah satu celah tembok itu.
Enam
SETAN yang bermukim di tubuh Pam tenggelam, semenjak laki-laki itu sudah memutuskan percintaannya yang menyebalkan itu. Biarpun sebentuk kecil diam-diam pernah ada dalam kehidupan perempuan Sulistyorini—kendatipun barangkali hanya memualkan saja di bagian tertentu perutnya sebelum akhirnya dicampakkannya.
Seperti juga setiap bagian hidup ini rupanya baik perempuan itu, Pam dan juga Biru Langit tak semudah membalik tangan bila untuk saling mencampakkan. Terlebih bagi sisi hidup Sulistyorini tentang Biru Langit atau sisi hidup Biru Langit. Juga perihal ayah perempuan itu.
“Jadi untuk siapakah ini semua?” Biru Langit tercenung mengerutkan kening memikirkan sesuatu yang tak penting benar.
Ia sendiri tak peduli benar apa yang terjadi pada dirinya tentang perempuan. Apalagi perihal masa lalu dan orang-orang di sekelilng Sulistyorini, tapi ia peduli kepedihan yang telah melampaui rupa-rupa perjalanan hidupnya sendiri semenjak keluarganya dimatikan. Sejumlah pertanyaan yang bergelanyutan di batinnya tak lebih adalah perasaan pribadi sedalam-dalamnya. “Dendam dalam jiwa ini demikian akut membuat aku tidak tahu diriku sendiri,” begitu setiap kali ada pecahan perasaan yang menyadarkan Biru Langit. “Rasanya obat mujarab bagiku cuma banyak bicara, banyak mendengar dan banyak bekerja tanpa aku tahu kenikmatan apa yang kudapat.”
Banyak kawan membuat Biru Langit bisa dapat obat mujarab itu, tanpa harus peduli harta, gelar, laki-perempuan, latarbelakang, ideologi dan pikiran-pikiran nakal yang bagaimanapun itu busuknya. Dia juga merasa terangkat hidupnya karena itu. Juga lantaran seorang Profesor Bedah Plastik lebih suka bicara atau barangkali tepatnya menghibur dirinya. Belum lagi anak perempuannya yang memberikan perasaannya, meski tetap membuat dirinya masih tak tahu kenikmatan apa yang ia dapat. Betapa Sang Profesor itu orang yang sulit diterima kebanyakan orang, tapi disegani mahasiswa-mahasiswa, kolega dan dipercaya orang terbaik di Rumah Sakit Karangmenjangan itu, tiba-tiba menjadi orang yang kecil, bebas, dan tak punya keluarga—betapa semua orang dianggapnya itu orang lain? Akankah Sang Profesor itu juga tidak diterima di keluarganya sebagai manusia biasa? Lagi-agi dirasanya ini pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab jikapun untuk tidak mengatakan memang tak seharusnya dijawab.
Diam-diam, dari hari ke hari Sang Profesor itu merelakan waktunya juga uangnya untuk agar putrinya dan Biru Langit prgi keluar menikmati dunia luar, menonton apa saja. Semenjak itu dua orang muda-mudi itu biasa menonton pertunjukan film, musik atau teater—sebuah jalan tengah untuk membersihkan jiwanya dan memperkaya semangat hidupnya, biarpun tidak jelas benar inikah suatu bagian dari kenikmatan, dengan makan kacang, mengunyah popcorn berjalan santai sejak dari komplek Balai Pemuda, Taman Hiburan Rakyat, Plasa, Jembatan Merah, yang segala tempat itu satupun tak pernah di sebut pemikir-pemikir kiri pada zamannya, tapi terlintas di benak Biru Langit tentang kapitalisme. Begituah dendam itu bisa menjadi penyakit karena nyata-nyata bisa muncul di setiap saat tanpa pandang dimana tempat dan waktunya—taruhlah ibarat penyakit maag,
Kadang-kadang ada yang terlintas cepat di saat-saat misterius itu. Biru Langit ingat kampung halamannya. Dia bisa ingat kerbau atau kambing atau bebek yang berkeliaran di sawah. Dia juga ingat perempuan-perempuan kampung yang masih lugu, dan yang pasti dia ingat ayahnya sebelum tertembak mati, ibunya sebelum mengakhiri hidupnya. Di lain waktu, ia juga ingat saat masih anak-anak mengenakan seragam sekah berpakaian merah putih dan bila mengenakan seragam pramuka tak pernah ia kenakan celana warna yang coklat tua karena satu-satunya seragam yang dimilikinya ya merah itu. Dibayangkannya itu kenakalan paling nakal di masa kanak-kanak, lantaran tak serangpun kawan-kawannya punya nyali untuk melakukannya itu—pelajaran berharga setelah bertahun perjalanan hidupnya, betapa kemiskinan itu telah menghidupkan keberanian dalam dirinya, biarpun sulit dibedakan dengan kenekadan dan dendam. Sebab itu semenjak dia tumbuh dengan seragam pramuka bercelana merah itu, ia rahasiakan bagian hidupnya itu. Jikapun kawan-kawan semasa kanak-kanak tahu itu, hanya dirinya sendiri yang tahu rahasia pribadinya itu. Juga leluconnya. Bayangkanlah betapa berat perbuatan untuk mentertawakan diri sendiri, kenangnya. Jauh lebih brat dari mematahkan semangat yang tumbuh dan mampu mengusir rasa takutnya itu. “Ya, karena kedua-duanya, ketakutan dan kebranian yang berbuah lelucon itu telah terlanjur hadir dalam masa silam Biru Langit. Betapa ini suatu dagan yang memilukan,” kenangnya.
“Kemarilah, anak muda. Siapa namamu?” tukas Sang Profesor saat sekelebat melihat laki perempuan itu sepulang dari sebuah acara.
“Biru Langit!” sahut perempuan Sulistyorini.
“Ya, Biru Langit. Namamu terlalu bagus sehingga sulit saya mengerti. Ceritakan padaku tentang seni, keindahan dan perempuan,” pinta Sang Profesor itu seperti sudah disiapkan sejak mula.
Terang saja pertanyaan itu amat mengejutkan dan membingungkan Biru Langit. Tak satupun dari ketiga kata itu yang benar-benar dikenalnya dengan baik. Kesenian hanya ia tahu dari perkenlannya dengan seniman Ipong. Keindahan tak pernah tahu datang permisi lalu duduk dalam hidupnya. Lebih-lebih soal perempuan, sulit ia harus ceritakan perihal yang satu ini pada orang lain. Permintaan Profesor itu tumbuh menjadi kebencian dan sebuah kutukan padanya. Selebihnya yang tumbuh cepat dalam jiwanya adalah perasaan bahwa ia tengah dalam kekuasaannya. Terang saja Biru Langit tak mengijinkan perasaaanya terus berkembang sebelum akhirnya Sang Profesorr itu memperbudaknya. Satu-satunya cara untuk agar ia tak tunduk pada pola pikir Sang Profesor, ia harus mengingat kembali seragam pramukanya dengan celana warna merah hati.
“Tolonglah anak muda, bedakan antara seni, keindahan dan perempuan,” pintanya lagi.
“Bagi aku itu sama saja, Prof,” tegas Biru Langit.
“Tolong beri alasan pada saya.”
“Karena untuk terlibat di dalamnya terhadap ketiga-tiganya dibutuhkan kebranian, Prof. Artinya bagi aku hanya seni, keindahan dan perempuan yang benar-benar berani yang harus didekati, digauli dan diperjuangkan. Bagaimana dengan penjasan aku Prof?”
“Masih membingungkan. Saya kurang mengerti dengan bahasamu. Masih ada yang lain?” tanya Sang Profesor lagi.
“Begini maksud aku, bagi aku untuk memahami karya seni, untuk menggeluti kesenian agar tahu yang namanya keindahan yang dalam bahasa muluknya itu estetika dibutuhkan daya intelektualitas yang tinggi dan intelektuatas yang tinggi itu maksudnya adalah kebranian. Pintar itu nomor dua. Keberanianlah nomor satu. Orang pintar itu banyak tapi orang berani itu jarang. Intelektual yang canggih itu terlalu banyak tapi pemikir yang punya nyali itu bisa dihitung dengan jari. Bukan berarti tidak ada, sebab aku sudah melihat sebagian dari mereka dan maaf kalau aku masih mengacuhkan Anda dengan sederet gelar di depan dan belangkang Anda, Bisa dimengerti, Prof?”
“Ya, lumayan,” Sang Profesor itu tetap kukuh. “Tapi kamu belum sebutkan tentang perempuan, bukan?”
“Bukankah tidak sulit bagi aku untuk misalkan menempatkan perempuan sebagai suatu karya seni? Jadi hanya orang-orang yang punya intelektuaitas yang tinggi pula yang bisa menikmati keindahan perempuan, sebab dengan itu laki-laki akan memilih perempuan-perempuan yang berani untuk menjadi pendamping hidupnya?” papar Biru Langit.
“Kamu anak muda yang suka sesuatu yang sulit. Lagi-lagi saya dapat kata-kata yang butuh penjelasan, intelektual dan keberanian.”
“Bagi aku dua hal itu juga sama, Prof. Siapa saja bisa menjadi intelektual, bisa menjadi pemikir yang punya keberanian untuk mengeluarkan apapun jalan pikirannya. Sekalipun itu suatu hal yang tidak mungkin. Siapapun bisa menjadi pemikir yang berani berbuat dan bekerja dengan isi pikirannya itu. Dengan begitu keberanian yang aku maksudkan di sini adalah keberanian untuk hidup dan bukan hanya keberanian untuk mencari penghidupan. Sekali lagi keberanian untuk hidup dan bukan cuma untuk mencari penghidupan,” Biru Langit terlihat seperti berpikir keras.
“Terus?”
“Sampai di sini, maaf juga kalau bagi aku dalam soal perempuan dan laki-laki adalah sesuatu yang sama. Karena anda seorang Profesor Ilmu Bedah Plastik, mustahil bagi aku jika Anda bertanya tentang laki-laki dan perempuan atau tentang apa itu hidup pada aku. Atau barangkali justru sebaiknya Anda tak akan bisa menjawab jika kutanyakan bagaimana Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan? Lalu dimana ruh hidup manusia?” tajam Biru Langit memilih kata yang menghunjam telak Sang Profesor.
“Tuhan… Ya, itu urusan yang sangat personal sekali,” Sang Profesor sepertinya hanya menggumam.
“Sebab itu tak kutanyakan pada Anda, Prof. Tapi aku tahu bagaimana itu bisa kutanyakan padamu dan kita bisa mulai berdebat perihal beda percaya dan yakin, kepercayaan dan keyakinan. Dan aku sudah bisa menduga, tahu persis bagaimana jawaban Anda. Bukankah, kita tidak akan pernah ketemu dalam satu titik tentang masalah itu, Profesor?” Biru Langit terus menghunjamkan kata-kata kunci yang ia tahu tak akan membuatnya tersinggung.
“Begini Biru Langit,” Sang Profesor itu begitu kaku bibirnya menyebut nama itu untuk kali pertama. “Yang ingin saya tanyakan juga apakah anak gadisku cukup cantik menurutmu?”
“Pertanyaan itu sama saja,” Biru Langit nampak memutar otak. “Begini saja. Anda butuh jawaban yang berbelit-belit ataukah yang sederhana?”
“Apakah pertanyaan saya cukup berbelit-belit untuk kamu jawab?”
“Ya, putri Anda sangat cantik,” jawab Biru Langit mantap.
“Tahu apa kamu tentang kecantikan?” desak Sang Profesor.
“Aku kira aku sudah tahu itu, karena aku sangat berhati-hati untuk mengatakannya. Bagi aku kecantikan itu tak ada hubungannya dengan uang, pengaruh dan kekuasaan. Ya, kedengarannya seperti omong kosong, tetapi aku sangat berhati-hati karena laki-laki yang mengatakan cantik pada gadisnya itu seringkali sama artinya dengan menyerahkan dirinya untuk dikuasai. Padahal itu semua bermula dari sesuatu yang sangat sepele. Tidak lain karena keperluan belaka biarpun tumbuh dalam hati nuraninya. Dengan penuh kesadaran aku tidak mau berbuat seperti itu, lebih baik aku memilih jalan berkhianat dari itu dan kemudian memperhitungkan kembali untung rugi. Anda tahu untung rugi yang ada di kepala aku? Bukan harta atau kedudukan apalagi gelar, tapi hidup itu sendiri, titik. Aku harus akhiri di sini karena lagi-lagi Anda tak bisa memasuki ruang hidup aku,” Biru angit terus bicara dengan pikiran-pikiran yang berani.
“Apakah putri saya mengerti semua apa yang kamu bicarakan?”
“Aku ragu, karena aku selalu ragu pada siapapun, juga pada Profesor seperti Anda.”
“Kamu orang yang berbahaya, Anak muda.”
“Bagi siapa?”
“Siapa siapa saja, juga putri saya.”
“Orang-orang yang berpikiran besar selalu membahayakan orang-orang mapan. Tapi Prof tak bisa begitu saja mengabaikan bahwa putri Anda menyukai aku.”
“Cinta?”
“Mungkin ya, mungkin juga tidak. Kurang lebih.”
“Begitu?”
‘Tanyakan itu pada putri Anda, jelas dia lebih tahu dari aku.”
“Ah, tidak juga. Kadang ia juga tak tahu siapa sesungguhnya dirinya.”
“Kalau soal itu, kadang aku juga tidak tahu persis siapa diriku sebnarnya. Begituah misteri manusia?”
“Kenapa kamu bicara seperti itu anak muda?”
“Karena aku bicara dengan orang tua, dan yang lebih pnting lagi, karena aku mencintai putri Anda.”
“Seprrtinya kamu sedang mengajari serang Profesor tentang seni bercinta,” Sang Profesor ketus.
“Seni… ya sni…” Biru Langit sempat menyimpan semacam perasaan geli dan lelucon dalam dirinya. “Kalau begitu aku perlu tahu pendapat Seorang Profesor Ilmu Bedah Plastik tentang seni.”
“Memang dalam limu bedah plastik, segala sesuatu itu berbau seni, tidak ada yang tidak, semua terkait dengan keindahan. Di pendidikan ilmu bedah plastik, begitu masuk yang diajarkan kepada mahasiswa-mahasiswa adalah bagaimana bisa berbuat sesuatu untuk penampakan lebih baik dan lebih bagus. Untuk bagus, tentu saja lemak yang tertinggal yang dibicarakan. Untuk apa membicarakan yang dibuang? Semua ilmu bedah seperti itu. Misalkan ada pasien kalianan usus dan harus dipotong sekian meter yang penting bukan berapa meter yang keluar dan berhasil dipotong ususnya, tetapi berapa yang kamu tinggalkan sehingga orang masih bisa hidup dengan ususnya. Itulah seni saya.”
“Bagaimana dengan kecantikan, dalam pikiran Anda, Profesor?”
“Begini. Yang bikin orang cantik itu lapisan lemak. Jadi kalau lapisan lemaknya terlalu sedikit orang itu jelek, karena kurus kering seperti tulang yang dibalut kuit. Begitu juga kalau lemaknya terlalu banyak, juga bikin orang tidak cantik.”
Biru Langit cepat bisa tertawa, dan dirasanya pikiran Sang Profesor ternyata juga lebih lucu dari jalan pikirannya.
“Jadi orang gemuk itu susah jadi cantik?” sergah Biru Langit.
“Saya bilang mudah jadi lucu,” katanya.
“Rupanya Anda sedang brteori?”
“Ya. Persisnya ini ilmu-Ilmu Bedah Plastik. Jadi sekarang orang memikirkan untuk mendapatkan porsi fat yang tepat tidak terlalu banyak dan tidak juga terlalu sedikit Seberapa fat yang menarik sebetulnya itu individual sifatnya. Ada yang suka sedikit gemuk, ada yang sedikit kurus. Sampai saat ini jika yang diidolakan orang seperti itu, sebnarnya tidak ada hubungannya dengan liposuction. Sedot lemak berperan pada orang yang sudah memiliki porsi ideal, namun di beberapa bagian tubuh itu terdapat tumpukan lemak yang berlebih, baru di situlah tempatnya sedot lemak. Karena itu sedot lemak disebut body counturing. Jadi melakukan pembentukan garis atau lekuk tubuh dengan membuang lemak yang berlebih pada tubuh. Bukan menguruskan seserang yang sudah gemuk secara menyeluruh. Kalau orang menguruskan badan yang sudah gemuk itu harus dengan diet dan olah raga. Jadi makanan yang masuk perut di atur dan ditambah dengan pembakaran lemak pada saat melakukan aktivitas olahraga. Prinsipnya seperti itu kalau mau menguruskan badan. Jadi body counturing, dilakukan hanya di tempat tertentu misalnya saja orang yang sudah cantik itu terdapat timbunan fat yang lebih banyak, sebut saja di lengan bagian atas sehingga kelihatannya seperti bersayap. Kemudian ada yang dipunggung, perut, paha bagian luar, biasanya di tempat-tmpat yang banyak lemaknya. Hanya sekarang ini, ada orang-orang tidak seluruhnya memakai sedot lemak itu dengan maksud seperti itu, karena kadang-kadang kalau orang itu sudah telanjur gemuk itu memang susah. Susah untuk duduk, atau untuk tunduk dalam keadaan duduk sehingga tujuannya memang bukan untuk body cunturing, tetapi tujuannya sekadar supaya dokter menghisap lemaknya, bukan untuk bagus-bagusan. Supaya bisa lebih enak saja. Tidak ada yang mengganjal.”
“Aku belum melihat sama sekali penjelasan Profesor tentang kecantikan,” potong Biru Langit.
“Cantik itu semuanya sama di seluruh dunia. Mereka pakai standarisasi kecantikan, yang sama. Dulu mungkin ada pikiran bahwa ukuran cantik bagi orang Timur itu harus seperti, cantiknya orang Barat. Itu anggapan dulu, ternyata pembicaraan yang terakhir, sepertinya hampir semua spakat, bahwa ukuran kecantikan itu universal. Orang Asia yang berhidung pesek kalau dia mau meniggikannya, bukan berarti mau dibentuk seperti orang barat. Dia mau meninggikan sebatas apakah ukurannya itu nanti harmonis untuk mukanya. Demikian pula bagi orang Barat yang hidungnya besar-besar, mrka mengingingkan dipotong, direndahkan supaya harmoni juga dengan mukanya. Jadi berarti memang kira-kira kebutuhannya sama. Orang Barat yang matanya besar dan orang Cina yang matanya sempit, lalu orang Cina itu menghendaki operasi itu bukan karena mau mencontoh orang barat, tetapi memang kalau dipasang lipatan jadi lebih bagus. Orang Barat tulang pipinya kecil tetapi orang Asia, menonjol. Kebanyakan orang Barat ditambahi, dan orang Asia dikurangi tulang pipinya. Jadi cantik itu universal.” 64)
“Sudah aku katakan sejak semula, Prof. Rupanya kita tidak akan ketemu dalam satu titik tentang masalah-masalah seperti ini. Mustahil aku yang mahasiswa politik ini menyeberangi sungai yang Anda kuasai berpuluh-puluh tahun itu.”
“Ya..ya.. saya bisa mengerti. Tapi saya bisa berkendara perahu di dunia poliitik, dunia kamu. Catat itu anak muda.”
“Silakan dan maaf kalau aku harus katakan, sangat terganggu dengan dunia universal Anda itu Prof. Permisi aku harus pergi.”
Biru Langit berpamitan dan sesudah itu lampaulah waktu demi waktu.[]
ENAM
MATAHARI SUBUH DI BULAN APRIL 1994
Satu
KEKACAUAN tetap menyelimuti pribadi perempuan Sulistyorini.
Dia hidup dengan seorang ayah yang sama sekali tak pernah percaya dan tak pernah beribadah, untuk menyebut Tuhan saja juga tidak. Kemudian ia mengambil kuliah sesuatu yang keputusannya ia ambil dalam suasana yang kacau—politik. Lantas ia memilih kawan laki-laki yang ia percaya bakal jadi kekasihnya itu orang yang tidak pernah tahu persis dimana jalan hidupnya, lalu perempuan itu juga tak tahu persis akankah masa silamnya yang suram sungguh-sungguh hilang, seperti apa yang dijanjikan ayahnya tentang keperawanan? Beban kekacauan itu semua ia tanggung sendiri saban hari. Sebab itu ia juga harus jumpalitan berusaha untuk menemukan kenikmatan-kenikmatan. Betul-betul ia berdiri dalam situasi kagalauan.
Dalam pencariannya itu dia ingin membedakan dirinya dengan batu. Barangkali dengan mendengarkan adakah musik dari dalam batu itu, maka atas saran Biru Langit pergilah keduanya ke kampung miskin dan mencari batu. Batu tetap batu, tapi kecerdikan Biru Langit membuatnya ia meluncur dengan taksi ke selatan kota mencari tidak sembarang batu, lebih dari itu agar perempuan itu tahu ada ruh yang ditiupkan orang-orang miskin itu pada batu.
Sekali waktu seorang perlu datang untuk milihat art galery atau berilibur menyisir pinggiran kota sisa kerajaan Majapahit di Mojokerto. Dijamin mengagumkan. Mengagumkan karena di situ bisa dinikmati penduduk yang khusyuk bekerja memahati kayu atau batu. Mencipta sebentuk dewa atau tubuh manusia adalah sesuatu yang biasa di sana. Meski tak pelru dilakukan seorang empu di suatu tempat semedi. Ini malah bisa dilembur di semacam home industry. Berbekal seperangkat alat cukil kayu dan tatah batu, pencipta begitu leluasa membuat tertawa para dewa, atau gestur tubuh wanita atletis mirip artis, apalagi jika cuma pesanan sepotong anatomi binatang yang bengis. Itu tidak mustahil dan benar terjadi di dunia nyata. Bukan mimpi.
“Kenapa kamu ajak aku kemari, Biru Langit?”
“Karena di sini banyak dewa dari batu, bahkan kamu tinggal pilih mana yang kamu suka perlu sepotong dewa yang tampil utuh, atau cuma perlu kepalanya saja,” kata Biru Langit.
“Terus terang aku tidak mengerti maksudmu.”
“Kita berjalan-jalan saja dulu tanpa aku harus mengganggu bagaimana kamu menikmatinya perjalanan ini.”
Selama itu taksi yang disewanya dari Surabaya, membawanya berkeliling dan menyisir pinggiran jalan yang dipenuhi patung-patung dari batu dan pekerja-pekerja yang sulit diganggu. Sesekali dua kali taksi itu berhenti dan dua anak muda ini mengelus dewa-dewa buatan para perajin. Semua pekerja berkelompok menghadap batu-batu itu seperti penyembah-penyembah yang khusyuk sejak zaman penganut kepercayaan, sementara perempuan-perempuan yang di halaman rumahnya menggandeng dan menyuapi anaknya dengan pandangan yang kosong. Juga di bagian paling dalam palataran itu seorang yang tertua sendirian memperhalus batu-batu yang sudah diselesaikan tukang-tukangnya.
Selama itu Sulistyorini nampak seperti kebosanan dan capek. Ia menggengam kuat-kuat tasnya dengan keringat keluar menderas. Sepertinya ia justru lebih kacau dari hari biasanya.
“Kenapa tak bisa kamu nikmati dengan enjoy?” Biru Langit mencari tahu.
“Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh, Biru Langit?”
“Ceritakan padaku.”
“Aku merasa lebih buruk dari batu-batu itu.”
“Kamu terlalu sentimentil.”
“Kukatakan ini sejujurnya, cantik-cantik sekali dia, benar begitu Biru Langit?”
“Kenapa tak kamu lihat bagaimana pekerja-perkerja itu bisa jadi manusia?”
“Tidak, itulah bedanya kau dan aku.”
“Ada lagi yang perlu kamu sampaikan, Sulistyorini?”
“Aku harus bawa pulang salah satu batu itu. Aku perlu.”
“Ya, aku tahu itu.”
“Ambilkan sebutir kepala dewa saja, bayar sescukupnya dan jangan ditawar.”
“Semoga kamu bahagia dengan pilihanku.”
Maksud hati Biru Langit sungguh bercanda, sebab itu ia musti menambahkan satu senyum kecil di bibirnya. Namun betapa terkejut ketika ia saksikan Sulistyorini justru menggigil dan kemudian meneteskan airmata. Sementara dirinya hanya bisa berkata di hati. Kamu orang yang tahu kenikmatan hidup Biru Langit, justru karena kepedihan akibat perasaan ditindas yang tidak kunjung padam.
Begitulah pendapat terakhir perempuan itu tentang Biru Langit sebelum akhirnya ia ceritakan padanya bahwa dirinya sudah tidak perawan.
Dua
JARAK pinggiran kota sejak timur hingga barat antara Menur dan Benowo, luar biasa jauh. Dua jam lebih perjalanan mengendara angkutan umum dan harus pindah tiga kali untuk sampai ke sana, Jalan terjal yang padat dengan kendaraan berat pabrik-pabrik, banyaknya pasar di pinggir jalan, kemacetan jelas memperlambat gerak mobil yang ditumpangi Biru Langit.
Di Benowo, rumah keluarga seniman Ipong sebelum sampai di emperan harus ditempuh dengan berjalan kaki hampir setengah kilometer jauhnya di ladang pohon siwalan dengan tanah-tanahnya yang keras, panas dan gersang—sebuah tempat tersembunyi yang tidak gampang ditempuh siapapun sekalipun seorang polisi. Pekarangannya yang tak ditumbuhi pepohnan apalagi rumput liar, dipakai oleh kelompoknya untuk tempat pertemuan diskusi penting di ruangan-ruangannya yang menyisihkan tempat tidur istri dan anak-anaknya. Lantainya masih belum rapi betul apalagi dinding-dinding batanya belum tertutup dan batubatanya di sana-sini masih terlihat menonjol keluar.
Biru Langit diperkenalkan dengan anak gadisnya yang cacat. Yang lainya beberapa kawannya yang sepertinya sudah lama menunggu. Arif Budiman, seorang mahasiwa Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan seorang wartawan koran Darma Karya Adi Santoso, Johar Kurmen, wartawan dari koran kriminal, Memorandum. Arif Budiman seorang yang tenang tabiatnya sudah memperlihatkan ia seorang pemikir. Sementara Adi Santoso dan Johar Kurmen bicaranya lancar dan nampak sekali bersahabat. Mereka sedang mendiskusikan suatu rencaana pameran instalasi “Jangan Nangis Mari Bermain,” akhir April 1994 mendatang, tentang kepeduliannya terhadap nasib pendidikan dan masa depan anak-anak akibat desakan gencarnya pembangunan dan Biru Langit datang untuk memenuhi janjinya memberikan sumbangan pemikiran pada kelompok itu. Mula-mula kepada Biru Langit seniman Ipong memberikan gambaran tentang konsep-konsep pameran.
“Saya bertolak dari ketidakmampuan dalam menghadapi perasaan semakin sempitnya kesempatan anak-anak untuk mengmbangkan imajinasi dan etos kerja mereka. Persoalan in tidak mungkin kami pikirkan sendiri, karena menyangkut masa depan suatu generasi dalam sebuah bangsa, melalui konsep belajar sambil bermain memberikan kesempatan anak berekspresi tanpa takut berbuat salah, suatu yang amat penting dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa. Setiap anak dilayani sesuai dengan kemampuannya. Memberikan pengalaman pada anak dalam mengungkapkan pengalaman estetika, memberikan kebebasan bermain-main bahan dan teknik yang dipilih anak. Menghargai anak berpendapat dalam mengungkapkan kehidupan alam, rasa, pikiran, kemauan serta kepribadiannya.”
“Barangkali pada Biru Langit, bisa ditunjukkan metodenya?” pinta Arif Budiman.
“Ya, kunci metode Seni Rupa Bermain itu diperlukan kesadaran, kesabaran, ketekunan dan pengorbanan yang besar dalam melayani kebutuhan setiap anak yang diperlukan dalam setiap proses berkarya, agar dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak ke arah kedewasaan yang utuh dan sempurna, pengembaraan imajinasi anak dijadikan pintu yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan dalam pembinaan mental,” papar seniman Ipong.
Giliran Biru Langit, ia pertontonkan beberapa lembar kertas hasil kerjanya.
“Maafkan aku, Cak aku tidak tahu ini bentuknya apa, cerita pendek, puisi ataukah lainnya. Anda tentu tahu aku tidak begitu paham kesenian, tapi kukira itulah jalan pikiranku, pada saat itu muncul, saat itu pula kutuliskan dan jadilah seperti ini.”
“Tidak masalah dan bagi saya itu sesuatu yang tidak penting. Ada yang lebih penting dari itu semua yakni studi kasus yang jelas,” tukas Ipong.
“Itu sudah kupikirkan sejak awal.”
“Dimana kamu pilih wilayah garapan kamu, kawan?”
“Kremil. Komplek pelacuran Kremil. Ini adalah gambaran kepedihan anak-anak di sana.”
“Kedengarannya menarik.”
Kamipun membaca bersama-sama dalam suasana yang amat tenang, Satu gelas besar kopi jahe dan rokok Dji Sam Soe tak membuatnya was-was, sebab mereka sudah telanjur mencapnya ‘Rokok Ideologi.’
Inilah kisah yang ditulis Biru Langit tersebut…
SEBUAH KISAH
PENGGAMBARAN DUNIA BATIN ANAK
DI KAMPUNG KUMUH
KOMPLEK PELACURAN PINGGIRAN KOTA
TOKOH
ALIF LAM, lelaki, seorang bocah murid SD
KUNTI, pelacur ibunda Alif Lam.
RUKBI, sahabat kawan bermain
PENYAIR si tukang cerita
Lelaki Bukan Bapak
Penduduk Kampung
KENCING
TIBA di tempat tersembunyi di ujung gang, seperti biasa bocah lelaki itu girang. Dia bersimpuh di tanah.
Digaulinya, semut-semut yang keluar masuk lorong hingga berbaris rancak di dinding bangunan tua. Didekatinya, moncong mulut semut, didengarkannya, bisik dan sungut-sungut yang bertubrukkan. Begitu ramai hiruk-pikuk dan gelisah.
Belum lagi, tak jauh dari tempat bocah itu bersimpuh ada angkrang, kecoa, tikus atau anjing.
Bila dirasa bisa mendengar berontak kemarahan, kegaduhan sekawanan semut, bocah itu merogoh sebentuk cangkir bekas yang dia simpan di balik rerumputan.
Bocah itu berdiri dan cepat dibukanya resleting celana pendeknya. Lalu mengencingi setiap baris binatang-binatang malang itu. Sebagian dari sisa kencingnya, ia tampung di cangkir bekas itu. Sebelum akhirnya, ia lempar untuk mengusir anjing kudisan milik tetangga—ketika kencingnya masih sanggup melindungi bebek-bebek peliharaannya dari gangguan binatang nakal.
Kebiasaan ini sering terbawa hingga dalam mimpi yang berlebihan. Bila tidur malam, bocah lelaki itu kencing di sembarang kesempatan.
Kesukaannya kencing di pinggir jalan membuat bocah lelaki itu dikasihani banyak orang. Makin dirinya berani terbuka perihal kebiasaannya itu, banyak orang makin iba padanya
LAKI-LAKI
BUKAN BAPAK
SEPULANG sekolah. Lebih pagi dari hari biasa. Masih mengenakan pakaian seragam, dengan sepatu yang belepotan lumpur, Alif Lam bermaksud menyantap makanan di meja makan. Namun tanpa seizin ibunya, tak mungkin keberaniannya muncul. Karena itu, dia menunggu.
Lagi-lagi ketidakpedulian ibunya, menggugah keingintahuannya. Alif Lam mencuri waktu untuk melihat ibunya di kamar. Dibukanya kamarnya yang tanpa daun pintu itu. Jemari Alif menarik korden kain tipis, begitu hati-hati.
Betapa terkejut bercampur takut, ketika Alif melihat sesuatu yang sama sekali belum pernah disaksikannya. Dia melihat dua tubuh, ibunda dan seorang lagi laki-laki yang bukan bapaknya bersetubuh. Dilihatnya laki-laki yang bukan bapaknya itu tidur telungkup bugil di atas tubuh ibundanya yang dengan sorot mata tajamnya terus mengawasi ke lubang ngangga korden pintu.
Di tangan kanan ibunya, masih nikmat menggenggam benda sebentuk gergaji. Seperti ada bagian tubuh dari laki-laki bukan bapaknya itu yang hendak dibenamkan ke dalam rongga-rongga tubuh ibunya. Sebaliknya, seperti baru saja ada sebentuk benda yang baru saja dibenamkan di leher laki-laki bukan bapaknya itu.
Kamar cukup gelap, tidak ada sinar matahari, karena itu tidak jelas adakah genangan darah mengalir atau mengering di atas kain sprei.
Cepat Alif Lam menutup korden dan menahan nafas. Sorot mata tajam ibunya mendesaknya agar dia cepat meninggalkan tempat. Alif bergegas melompat. Keringatnya yang sebesar biji-biji kacang hijau mendadak muncul dan berjatuhan di lantai.
Bocah itu berlari kuat melempar sepatu dan tasnya. Menyusul kemudian seragamnya. Sialnya, dia tak sadarkan diri begitu melempar seragamnya, ternyata di dapatinya dirinya sudah jauh di luar rumah.
Sepasang seragam satu-satunya itu terbang melayang sebelum akhirnya jatuh terjerembab di sungai busuk berbau sampah dan kotoran manusia di seberang jalan. Tidak ada seekorpun ikan disana, karena telah mati sejak lama. Air kali yang hitam sehitam bekas-bekas luka di kulitnya cepat melumat seragamnya. Bercampur plastik-plastik bungkus shampo, kaleng bekas, kawat gawat, dedaunan membusuk, gelas pecah dan karet-karet ban menyumbat aliran. Serasa di kerongkongan.
Nasib kerongkongan bocah Alif Lam memang sedang gawat.
JATUH
DI TUBIR JURANG
SEMENJAK memergoki ibunya dan laki-laki bukan bapaknya yang menumpuk, bocah itu harus menanggung beban didiamkan ibunya. Satu-satunya cara untuk menarik perhatian kembali mereka, Alif Lam jadi anarkis dengan banyak menangis sehebat-hebatnya.
Di kamar perempuan ibunya itu, terbukti memang tak setetes pun darah diajumpai. Sprei dan tempat tidur masih teratur rapi dengan bantal dan guling di tempatnya. Justru laki-laki yang mestinya di mata anak itu bisa terbunuh oleh gergaji ibunya, tergelatak segar biasa dengan nafas liar.
Begitu bangun, biarpun masih dengan mata terpejam, dia sanggup memukul tubuh anak itu hingga terjengkang. Sepotong tempe goreng kering untuk membujuk Alif Lam terjatuh di tanah berpasir karena diacuhkan anaknya itu. Laki-laki bukan bapaknya itu kian berang. Alif ditendangnya sampai bibirnya mencium dinding berjurang. Untuk kali pertama anaknya itu melihat darah keluar dari lubang hidungnya, setelah bekas-bekas luka menghitam di kulit tubuhnya.
Giliran laki-laki itu yang acuh. Di luar dugaan, dengan wajah berapi, jari telunjuknya tajam diarahkan persis di depan hidung Alif Lam. Meledak dari moncong mulut laki-laki yang bukan bapaknya itu.
“Ingat, jangan sekali-kali ganggu saya!”
Anak itu diam. Tidak mengangguk. Tidak juga menggeleng.
“Ini urusan laki-laki. Kamu masih kecil tahu apa? Ngerti?”
Bocah itu menangis sejadi-jadinya. Kepalanya dipenuhi wajah-wajah dan benda-benda keras. Lama tangisnya tidak berhenti. Setelah reda, di pojok sempit otaknya terselip bayangan ibunya—ancaman yang kali pertama ia dengar. Kunti, perempuan ibunya itu masuk tak terkendali dalam benak Alif Lam akibat secuil ancaman serupa yang entah sadar atau tidak dia kagumi ibunya—kekaguman seorang anak tanpa ucapan terimakasih saja.
Bagi Alif Lam lebih dari sekadar tahu, ibunya adalah seorang ibu yang dinamis, perempuan yang ruang geraknya demikian leluasa, dia juga istri yang tak pernah tidur. Begitu dinamisnya, seolah-olah tak ada yang berhenti dalam tubuhnya seperti halnya semesta dengan ruh hidupnya yang tak pernah mati. Inilah ruh hidup dari seorang satria yang setia, seonggok daging manusia pembela kebenaran dan keadilan yang dipilih Tuhan untuk mewakili di dunia. Dia berdiam dalam keheningan keluarga dan yang dikirimkan untuk Alif Lam agar mengasihi anak-anak dengan mulut dan dada terbuka.
BERKAWAN DENGAN BIR DAN PENYAIR
TAK satu pun gang di daerah pinggiran yang miskin ini, tak dikenalnya. Semenjak syair-syair tajamnya yang selalu diabacakan itu gagal, dia pilih berjalan menyusuri kemiskinan adalah jalan hidupnya.
Tubuhnya akrab dengan alam, sorot matanya masih tajam lebih tajam dari syair-syairnya. Begitulah dia selalu hadir bersemangat. Sebotol sisa bir masih di tangannya.
Lebih bersemangat di saat belajar bersahabat dengan imajinasi anak-anak.
“Satu dari bapakmu yang mengecewakan ibumu. Bapakmu tumbuh jadi manusia yang menahan diri, dan puncaknya ia jadi penidur saban hari-harinya.”
“Menahan diri?”
“Ya. Bukankah bila Tuhan sebentar saja menahan diri, pasti dunia berhenti berputar dan semesta kacau dibuatnya? Karena itu Tuhan tak pernah menahan diri untuk bertindak, mencipta, menjaga, mengatur dan membunuh sepanjang masa? Betul-betul Tuhan tak pernah kehilangan momen.”
“Jadi ibu tak suka orang yang menahan diri?”
“Lebih dari itu. Sebagai seorang ibu, ibumu juga benci setiap manusia yang mengumbar nalar tanpa menajamkan hati. Kamu tahu apa yang terjadi bila ini dibiarkan terus hidup? Bila bumi dipimpin orang-orang yang curang. Kecurangan akan menjadi penduduknya.”
“Ibu tidak pernah terlalu jauh bicara seperti itu.”
“Itu hanya karena kamu tak pernah mendengarnya, bukan?”
Bocah itu diam dengan mata yang tajam, penuh sesak pertanyaan.
“Tapi kamu mulai biasa dengan bicara ibumu, Nak. Tentang bapakmu, atau agar jangan seorang pun boleh mengganggu keluargamu.”
Laki-laki bermata tajam setajam syair itu mengisahkan. Kunti, perempuan ibu bocah itu berbicara bukan lagi sebagai ibu atau sepotong manusia, tetapi seorang ksatria. Laiknya seorang ksatria, setiap orang bakal dibuat percaya, apa yang terjadi padanya, bila semakin tumbuh rambutnya yang putih, semakin pula Kunti berbicara dan bertindak sebagai seorang ksatria. Ksatria bagi keluarga dan anak-anaknya.
Lucunya, Kunti bukanlah ksatria yang memilih pedang samurai, keris, golok, atau tombak untuk jadi nyawa keduanya, tetapi sepotong gergaji menjadi bagian dari sisa-sisa hidupnya yang nyaris putus asa.
Lebih dari sekali Kunti menyelamatkan nyawa suaminya. Dasar suaminya seorang yang tak tahu diri untuk berucap terimakasih (semisal cukup dengan membuka mata biarpun setengah mati sulitnya) tak juga pernah dialakukan.
Ketika asyik duduk di bantalan rel kereta api, suaminya pernah tertidur beberapa waktu lamanya sampai badan kereta yang meliuk seperti ular raksasa itu mulutnya terbuka nyaris menyambar daging dan tulangnya. Pernah juga di emperan rumahnya tidur suaminya dibuyarkan Kunti beberapa saat sebelum truk besar bermuatan besi beton mampir dan hampir meremukkannya. Pada saat seperti itu Kunti seringkali tampil melebihi seorang manusia, melebihi seorang ksatria yang menjaga keluarganya.
“Lalu apa? Siapa dia?”
SEPOTONG RAHASIA
RANJANG kusut. Dua tubuh laki-perempuan tergolek diam. Nafasnya kacau, badannya meringkuk seperti mengendusi bau busuk. Tinggal kaki-kakinya bergerak mencari kain-kain kumal yang semula terlempar. Kebingungan seperti kehilangan celana dalam dan juga kutang.
“Dulunya suami aku seorang yang penuh gairah.”
“Gairah, Kunti?”
“Ya.”
“Kenapa sampai Alif sebegini besar, belum juga ada adik baru di rahimmu?”
“Ah, kamu. Polos sekali pertanyaanmu. Adik baru. Rahim.”
Diam-diam hati perempuan Kunti amat terpukul.
“Mustinya, ini juga yang harus aku sampaikan pada suamiku. Terus terang sama sepertimu.”
“Aku tahu ada masalah besar, pada diri kamu dan suamimu sampai seperti sekarang, Kunti?”
“Tidak sepenuhnya kamu tahu. Ini akibat suamiku banyak menahan diri.”
“Menyiksa diri maksud kamu?”
“Nggak ada bedanya, memang.”
“Terus.”
“Perasaan aku ada yang hilang.”
“Perasaan?”
“Sudahlah, berkali-kali aku katakan padamu, kamu tidak akan mengerti perasaan perempuan, ibu, istri dari suami seperti itu.”
“Ayolah. Jangan kamu sembunyikan sesuatu.”
“Seperti penyair, suamiku seorang yang luar biasa menghidupkan kata. Setiap kali merayu sebelum tidur, perasaan aku tak bisa digambarkan karena bila hendak bersenggama dibisikkannya sesuatu ke telinga aku. Kamu tahu apa itu?”
Seperti ada yang menghentikan hidup lelaki itu. Otaknya serasa tak berfungsi dan jaringan syaraf yang asing berdenyut di bawah perutnya. Pelan-pelan dia menggeleng.
“Gergaji. Seperti ini.”
Kunti menarik benda itu dari balik kain di atas bufet. Laki-laki itu cepat melompat. Tertawa ngakak. Kunti bangkit cekikikan. Tak peduli bila segalanya tak berarti.
“Betul. Dia sebut beberapa kali.”
Keduanya masih cekikikan. Tanpa baju tanpa celana.
“Kadang-kadang dia juga minta aku duduk di atas kompor”
“Untuk apa?”
“Seperti juga aku, dia ternyata suka sesuatu yang panas.”
Kunti dan lelaki itu makin hebat tertawa. Tidak peduli tetangga. Seperti halnya lelaki itu, sama sekali perempuan Kunti tak menahan diri. Sebelum akhirnya, sama-sama membeku. Serasa syaraf otaknya dihantam sebentuk benda penuh gerigi dan karatan. Persis gergaji.
“Sekarang,” Kunti meledakkan dendam, gairah, nafsu, obsesi dan sekumpulan lagi perasaan. “Kamu bisakah bayangkan bila sejak lebih sepuluh tahun lalu bisikan itu tak lagi ada. Bila sejak lebih sepuluh tahun lalu, setiap kali melakukannya, hanya dalam hitungan menit suami aku lalu tertidur mendengkur, telungkup di atas tubuh aku?”
Kunti menghunjamkan perasaannya.
Di kepala lelaki itu, seperti ada bagian tubuh suami Kunti yang hendak dibenamkan habis ke dalam rongga tubuh Kunti. Bersamaan itu, seperti baru saja ada sebentuk benda tajam bergerigi habis dibenamkan di leher dia sendiri. Pembunuhan adalah kosa kata yang berdiam di benak lelaki itu.
Sayangnya, kamar gelap, tidak ada sinar matahari sore, karena itu tidak jelas adakah genangan darah mengalir atau mengering di atas sprei.
PETANG, DALAM SUATU AMARAH
PINTU rumah kontrakan Kunti meledak. Petang itu berbarengan dengan tubuhnya yang terbang tak terkendali, membelah daun pintu. Dengan rambutnya yang tergerai bebas, mengenakan selendang berkeliaran, tubuh Kunti tenggelam dalam sukmanya yang liar. Tubuhnya nyaris lupa bila sedang menggenggam sebilah gergaji.
Di pekarangan itu berkumpul penduduk kampung. Tanpa suara. Mematung dengan sorot mata berkaca-kaca namun nyaris tanpa makna.
“Aku peringatkan kalian, jangan coba ganggu keluargaku! Segala yang terjadi di keluargaku tak seorang pun boleh ikut campur—sekalipun itu tentara. Jangankan untuk menghadapi kalian, mulutku ini bisa pula melebihi kilatan petir. Kalau kalian punya nyali menyebutku perempuan jalang, aku nggak ragu-ragu memperlakukan dagingmu seperti daging anjing. Jangan remehkan aku. Aku katai seperti ini karena aku hanya ingin membalas cara kalian yang melihat keluargaku lebih rendah dari anjing. Apa kamu kira keluargaku makan daging anjing? Aku peringatkan kepada kamu, sayangilah nyawamu. Kamu lihat apa yang kubawa? Kalian mau kurebus daging kalian dengan bumbu kaldu lalu kuhidangkan pada anjing, hueeh? Jawab!”
Kunti mempertontonkan gigi-gigi gergaji setajam taring macan. Demikian akrab tangannya menggenggam. Dia meringis bermaksud memperkenalkan senyum dan gerakan seorang pembunuh berdarah dingin.
“Kalian perlu tahu, sekali saja sorot mataku tak pernah tergelincir dari ujung tiap gigi gergaji yang tajam karatan ini. Itu karena mata-mata jemari tanganku ini tak pernah ada yang menandingi biarpun oleh mata buta seekor kelelawar. Ya, mata jemari ini telah bertahun-tahun terlatih ketangkasannya, tak silau oleh mentari, tak rabun oleh kabut malam dan tak lekang dimakan zaman. Biarpun mata jemari yang telah menumbangkan ratusan pohon di ujung gigi-gigi gergaji tetapi tak pernah sejenak saja lupa mana anyir getah pohon dan amis darah manusia.”
Sepenggal calon korban nyata-nyata lari tunggang langgang membayangkan kengerian. Persis seekor nyamuk sial berhadapan muka dengan pemburu mengokang sebilah tebah.
“Kalau aku mau, jangan dikira aku tidak bisa menghapus matahari. Dengan tanganku ini aku bisa,” perempuan Kunti makin sulit mengendalikan diri.
“Apalagi cuma mengganti tubuh suami yang tamat riwayat. Apalagi cuma mengambil alih peran kepala rumah tangga dari tangan pria yang hitam kulitnya oleh bekas koreng. Enteng!! Kalian tahu jelek-jelek perempuan seperti Kunti ini oleh yang maha hidup dibekali hati dan perasaan tajam. Aku bisa menangis seperti perermpuan lain, tapi tangisku ini seperti jarum-jarum hujan dihempaskan dari langit dan yang ditaburkan ke tengah laut. Jangankan sebatang tubuh manusia atau binatang. Sepercik bayangan hitam atau suara saja, yang terbukti mengganggu, aku tak segan cepat membunuhnya. Kalian bisa pilih, sekali lagi ada yang mengusik manusia Kunti dari kehidupannya di bumi, gergaji ini akan kubenamkan di batang leher kalian. Sebelum kemudian tanganku yang giras ini memotong satu persatu daging tubuh dan mengumpulkan penis kalian untuk campuran sayur rawon dan pelengkap rempeyek kering.
“Ah, tentu kalian mengira perempuan Kunti ini kesurupan. Terserah kalian karena aku sendiri juga tidak pernah mengerti mengapa terjadi seperti ini bahkan setiap hari hingga bertahun-tahun. Seperti kalian juga yang sama-sama punya anak, aku sedikit beruntung bisa bercermin pada diri putraku. Aku selami jiwanya dan aku rasuki otaknya. Aku bisa melihat bagaimana perempuan ibunya ini masuk tak terkendali dalam bagian tubuh Alif Lam, putraku. Entah sadar atau tidak dia kagumi ibunya—kekaguman sorang anak tentu tanpa ucapan terimakasih. Aku terus bercermin dari hari ke hari, dari pagi, siang, petang maupun malam hari. Bahwa bagi Alif Lam, putraku, seperti juga kemauanku sejak melahirkannya, lebih dari sekadar tahu, ibunya adalah sorang ibu yang dinamis, perempuan yang ruang gerakknya demikian leluasa, sekaligus istri yang tak pernah tidur. Begitu dinamisnya, seolah-olah tak ada yang berhenti dalam tubuhku ini seperti halnya semesta dengan ruh hidupku yang tak pernah mati. Inilha ruh hidup dari seorang ksatria yang setia, seonggok daging manusia pembela kebenaran dan keadilan yang dipilih Tuhan untuk mewakili dunia. Dia Berdiri dalam keheningan keluarga dan yang dikirimkan untuk Alif Lam agar mengasihi anak-anak dengan mulut dan dada terbuka.
“Apakah ada yang masih meragukan perempuan Kunti ini kesurupan atau tidak? Di luar rumah saja, orang seperti kalian boleh kesulitan menentukan kebenaran dan keadilan. Di luar sana masih banyak perempuan atau lelaki yang kebingungan mencari arti bagaimana ksatria itu bekerja, hidup dan menghidupi dirinya. Tapi itu semua tidak terjadi dalam rumahku ini. Di tempat ini segalanya itu jadi gamblang, tak perlu diperdebatkan. Kedatangan kalian kemari memang mengganggu aku, tapi aku juga harus berterimakasih kepada kalian karena sudi membuka pagar rumahku meskipun tanpa permisi. Sekarang pulanglah. Hari sudah malam. Malam adalah waktu yang tepat untuk kesempatan mencari jawab siapa sebenarnya di antara kalian semua yang kesurupan. Wajar kalau terjadi ada ayam-ayam kalian yang sulit mencari pintu masuk untuk pulang ke kandang, karena itu perlu diselamatkan. Tapi kalau ini terjadi pada manusia macam kita dan kesulitan mencari jalan pulang untuk bis selamat sampai di rumah, itu berarti malapetaka. Pulanglah! Kalau kalian tetap ngotot mau mencampuri kehidupan pribadi dan keluargaku, apa boleh buat. Kalau kalian memaksaku untuk memberi tahu pintu keluar masuk kehidupanku, datanglah bila aku punya waktu senggang dan akan kutunjukkan, di sini!”
Kunti memegangi kuat-kuat vulva vaginanya. Musik dangdut dari tape recorder di pasang keras-keras.
ANAK, TETAPLAH SEORANG ANAK
“IBU masih muda. Gergaji di tangan itu membuat ibu dianggap bukan lagi manusia. Mengapa ibu nggak buang gergaji itu. Untuk apa ini semua?”
Cuma Alif Lam berani mengusik ibunda Kunti dari kehidupan gergaji itu.
“Kamu nggak ngerti bagaimana jadi seorang perempuan seperti ibu. Kamu nggak akan pernah mengerti perasaan seorang istri sampai lebih percaya kepada gergaji daripada kepada suaminya sendiri.”
Di hadapan anaknya, perempuan Kunti berhati selembut salju (di kampung kumuh ini tak pernah dia jumpai salju).
“Kalau ibu diam, terang saja nggak akan pernah aku mengerti?”
“Apa mau kamu sekarang, Nak?”
“Ceritakan kepadaku, tentang gergaji itu?”
Diceritakannya pada anaknya asal muasal gergaji itu.
“Gergaji ini membuat ibu sulit bisa tidur.”
“Kok bisa begitu, Ibu?”
“Karena ibu nggak bisa tinggalkan gergaji ini nganggur di tempatnya. Ibu harus kerja, kerja dan terus kerja. Ibu percaya gergaji ini sahabat ibu yang sanggup ibu pergunakan untuk apa saja, memotong apa saja.”
“Ibu tidak tersiksa?”
“Hanya orang sehat yang tidak punya siksaan. Sepanjang hidup ibu, ini penyakit yang amat menyiksa.”
“Jujurlah Ibu, ada apa sebenarnya?”
“Tanyakan itu pada bapakmu. Sebelum dewasa, kamu harus tahu ini. Rahasia apapun telah ibu buka di luar rumah, tapi ibu nggak ingin anaknya sendiri telat mengetahui isi rumahnya.”
Perempuan Kunti tak bisa sembunyikan mata tajamnya.
“Ibu tahu sendiri, bapak nggak pernah buka matanya, seperti mata ibu. Bagaimana bisa aku dapat jawaban dari Bapak, Ibu.”
“Begitulah bapakmu. Bukan bapakmu, jika tidak begitu. Dia selalu tidur sepanjang waktu. Satu-satunya alasan bagi dia untuk bisa bangun cuma menyantap makanan.”
“Kalau cuma makan saja, bapak nggak perlu buka mata, Ibu. Mulutnya mengunyah nasi seperti sapi tapi jiwa raganya tidur mendengkur persis babi.”
Kepada anaknya, perempuan Kunti terus ceritakan suaminya yang tertidur tak pernah bangun sampai usianya di ujung senja. Namun begitu, mustahil Kunti mengurusi dapur keluarga tetangga ketika pada setiap yang bertamu ke rumahnya dia ingatkan agar tak coba-coba mencampuri bahtera rumah tangganya.
“Di rumah ibu percaya gergaji. Siapa tahu di luar banyak cerita tentang istri-istri yang bersahabat dengan kapak, parang, cangkul atau pistol.”
“Maafkan Alif, Ibu. Alif belum ngerti maksud Ibu.”
“Ibu tidak akan menyalahkan kamu, Nak.”
PAGI, DALAM SUATU MASALAH
BILA parak pagi tiba, laki-laki suami Kunti menunggui tungku. Setiap Kunti usai memasak, laki suaminya itu sebentar bangun, menyantap makan, lalu kembali mendengkur. Bangun di siang hari, mengisi perut yang kosong, lantas berak terus tidur. Bangun lagi di sore hari, makan, kemudian tidur lagi.
Kejengkelan perempuan Kunti menghebat di saat kelakuannya laki-suaminya masih dengan mata tertutup melempar komentar-komentar tak bermutu sampai membusa di moncong mulutnya. Betapa sakit hati Kunti mendengarnya.
“Hebatnya, apa yang dia lakukan dalam tidur? Sungguh tidur atau bersandiwara? Apa dia mampu terus bermain untuk masa bertahun lamanya semenjak sepuluh tahun silam? Mungkinkah dalam tidur, dia mengeja masa silamnya. Ataukah tidur adalah semacam pil penyembuh sakitnya dalam hidup di dunia yang sebentar ini? Bukankah sesuatu yang mungkin, tidur baginya ibarat perahu yang membuang jangkar ke pinggir pantai, dengan tidur dirinya ingin melucuti pakaiannya yang bernama tanggungjawab itu? Mati surikah?”
“Mana yang betul, Ibu.”
“Semuanya bisa betul. Kamu tahu, tidak ada yang salah dalam hidupnya. Satu-satunya kesalahannya, dia punya mata. Kesalahan kedua, dia punya nyawa. Nyawanya sendiri. Itulah sebabnya, kenapa setiap kali ibu bermaksud membunuh bapakmu selalu gagal. Ibu tak punya hak.”
“Apa maunya, Ibu?”
“Ibu biarkan bapakmu agar mati sendiri di kasur.”
“Nggak berhasil?”
“Nggak.
“Kenapa, Ibu?”
“Justru itu yang membuat ibu sedih.”
“Ibu yakin Bapak itu manusia? Bagaimana kalau Hantu?”
“Di Kampung ini memang banyak hantu. Tapi bapakmu bukan hantu. Buang jauh pikiran kamu itu!”
BILA MALAM BERTAMBAH MALAM
PEKARANGAN lain, keributan terjadi di rumah Rukbi. Jerit setengah tangis bocah perempuan sahabat Alif itu bertubrukkan dengan teriakan bapaknya. Bunyi sepatu sandal yang dilempar persis mengenai daun pintu.
Kegaduhan isak dan jerit tangis berebut nyaring lengking suara adzan isyak di masjid ujung gang.
Rukbi cepat berhamburan keluar. Tanpa sandal. Sebentuk tabungan ia genggam ke luar pintu. Berlari sepanjang gang untuk bertemu di suatu tempat dia membuat janji dengan sahabatnya—Alif Lam.
Sepanjang jalan melelahkan tak ada suara kecuali suara malam dan sisa tangis perempuan kecil Rukbi. Sesampai di tempat yang dituju, pelan-pelan nyaris berbisik memanggil sahabatnya Alif Lam. Menyusul kemudian, bocah itu muncul dari balik tembok bangunan tua.
Disodorkannya sebentuk tabungan itu ke sahabatnya.
“Kenapa nangis?” Alif Lam buka bicara.
“Belilah seragam sekolah dengan ini,” ucap gadis kecil itu.
“Dimarahi ibumu, ya?”
“Bukan. Bapak.”
“Soal ini?”
“Ya. Tapi ini duitku bukan duit bapak.”
“Kamu kerja?”
Gadis itu mengangguk. Entah benar atau tidak.
“Kamu seperti ibuku. Bekerja. Tapi ibuku tidak pernah menangis.”
“Apa kerja ibumu?”
“Ibu nggak pernah cerita. Kamu?”
Gadis itu diam. Tersenyum.
“Bantu ibumu jualan, ya?”
Gadis itu mengangguk. Dia usap wajah dan air mukanya. Lalu dirangkulnya Alif untuk beranjak pergi.
“Besok cepatlah beli seragam, agar tak dimarahi ibumu.”
“Aku bisa sekolah lagi. Bisa belajar mengarang lagi di sana.”
Menghilang.
“Jangan nangis lagi, ya.”
“Ya. Aku janji.”
“Main ke rumah sebentar, ya?”
“Biar kamu nggak dimarahi, ya?”
Makin menghilang.
SEKS RASA SIRUP JERUK SEGAR
LAKI-LAKI menyelinap ke dapur Kunti. Derit pintu kayu dan derak papan terinjak mengagetkan perempuan Kunti yang sedang menggoreng ikan asin dan tempe kering sisa diendus kucing.
Dari arah belakang, memunggungi daun pintu laki-laki itu langsung membekap kasar perempuan Kunti.
“Suamimu?”
“Ngorok! Mau apa lagi kemari, ha?”
“Ssstt.. Nggraji!!!”
“Utang kemarin belum kamu bayar. Jangan coba macam-macam!”
Sesuatu membuat Kunti bertindak lebih kasar.
“He! Aku kemari juga mau bayar utang, sialan.”
Sejenak Kunti biarkan tubuhnya diperlakukan bukan seperti perempuan biasa. Utang membuat nyali perempuannya cuma setengah badan. Sedikit ia mendongak ke rak bambu. Nampak tangannya merogoh sirup jeruk segar dalam bungkus plastik, gelas dan kemudian sedotan bekas. Dibukanya plastik itu dan seduhnya sirup biarpun dengan air dingin.
Laki-laki itu kian ganas menyerang sekalipun berdiri dekat api panggang.
Kunti pelan-pelan menyedot minuman rasa sirup jeruk segar. Tangan kanannya riang memegang segelas air dingin dan segar. Sebelah kirinya, menggenggam sebentuk batangan yang hangat, kenyal dan terjepit sumpek mencari lubang sempit yang terhimpit.
Dua pasang mata mengintip dari balik sisa pintu yang terbuka. Bocah. Dua pasang mata milik Alif Lam dan Rukbi yang mencari jawab pekerjaan Kunti. Di benaknya sama-sama tumbuh perintah Tuhan untuk tidak boleh menyaksikan persetubuhan. Sesuatu telah memaksa keduanya. Dari punggung kedua pasang persetubuhan, tak ada pilihan lain kedua bocah menunggu untuk sama-sama melihat dada.
Dengan sesak nafas yang tertahan, kedua bocah—yang terbiasa mendengar mulut mendesah atau mengintip dua tubuh yang menumpuk—itu sabar menanti.
Benar Kunti dan laki-laki itu saling berputar menukar posisi badan. Mendadak Rukbi terhenyak. Cepat dia balik badan dan ambil langkah seribu. Disusul kemudian Alif Lam.
“Siapa itu?” bisik laki-laki
“Anakku.”
“Ah, persetan.”
Cuilan tempe sisa kucing mengering di penggorengan.
KEHILANGAN DAN MENCARI DIRI SENDIRI
DALAM pelarian itu, kembali Alif Lam kehilangan. Sebentuk tabungan yang dia genggam jatuh tergelincir dan berguling-guling sebelum akhirnya terjun ke rahang sungai. Dilahap sampah-sampah busuk. Kalap.
Kali ini bocah itu tak peduli. Dia terus mengejar sahabatnya, Rukbi yang melupakan janjinya untuk tidak lagi menangis.
Kian mendekat, persis di punggungnya ditariknya kuat-kuat kemeja gadis cilik itu. Dia terjatuh. Demikian pula dengan Alif Lam. Berguling-guling di tanah. Bertubrukkan masih dengan sedu-sedan tangis yang liar. Keduanya duduk berpelukkan kasar laiknya tidak seperti anak-anak. Untuk beberapa saat, tidak jelas karena tidak ada penjelasan apapun…
Selama itu, Alif Lam memandangi teliti seonggok tubuh tua tidak jauh dari tempatnya. Matanya. Rambut putihnya. Keriput kulit mukanya, tangannya, dadanya. Ia nikmati sebagai benda yang rusak tak berguna.
Entahlah, lantas bocah lelaki itu mencari sesuatu yang sama sekali tak ia temukan. Jalan. Sekolah. Gedung Tinggi. Langit. Bulan. Bintang.
“Kamu masih teman aku, Alif?”
Mengangguk.
“Janji?”
“Janji.”
Rukbi menahan bicaranya. Dia sadar pertanyaan ini jadi tidak penting. Bukankah dirinya juga tak penuhi janji untuk tak lagi menangis?
“Kamu yang ingkar janji.”
“Maaf. Memang sebaiknya anak kecil seperti kita tak boleh berjanji.”
“Apakah kita masih perlu merasa seperti anak kecil?”
Lagi, Rukbi dibuat diam. Diam-diam ia membenarkan ucapan Alif Lam. Diam-diam sesuatu keberanian telah tumbuh dalam diri bocah perempuan itu. Barangkali ia kemudian merasa jadi laki-laki.
“Ya. Tumbuh dewasa saat ini atau nanti sama saja.”
“Mungkin kita dicap nakal. Tapi kita merasa jadi pintar.”
“Kalau aku laki-laki, tentu aku berani kasar pada ibumu seperti bapakku memperlakukan ibumu tadi.”
“Itu bapakmu?”
Dia jawab pertanyaan Alif Lam itu bersamaan dengan tangisnya yang datang kembali. Tangis itu makin menghebat saat Alif Lam melempar Rukbi dan mendorongnya kuat. Mendadak emosi Alif Lam menghebat bukan lantaran tangis itu tapi karena mulai tumbuh benih dendam.
Rupanya, dia betul-betul seperti bukan lagi anak-anak.
Begitu gadis cilik itu roboh. Bocah lelaki itu langsung berani memiting, membekap. Rukbi tak berdaya. Diam tidak ada perasaan mengiba. Diam-diam pula dia belajar sesuatu yang sudah biasa.
Bocah laki-laki itu berani memasukkan jari tangannya ke bagian tubuh gadis cilik itu. Tidak ada perasaan apa-apa, juga iba.
Tak selayaknya keduanya untuk membuat janji.
YANG TUMBUH SAAT SUBUH BERGEMURUH
ADZAN subuh bergemuruh. Bocah lelaki itu mengendap-endap untuk keluar. Diintipnya tubuh bapaknya yang tidur mendengur. Dia tak peduli jikapun sudah mati. Dengan darah atau nanah di tanah. Mengering campur sisa taiyeng.
Di luar pintu, adzan subuh saling menumbuk dengan musik dangdut dari tape recorder murahan. Dia berjalan ke arah sungai mencari tempat seragam dan celengan yang tergelincir di makan sampah.
Di tepian bibir kali, dilihatnya di tempat jauh langit menguning keemasan. Jatuh di permukaan sungai. Dimatanya, sinar itu hidup di sana. Berbiak dan pemandangan yang luar biasa bumi ini kaya.
Didengarnya bunyi kencing laki-laki. Ibu-ibu membuang sampah. Dijumpainya perempuan setengah tua berak digigir kali, menginjak kayu-kayu menyerupai tangga. Dia intip sebentar. Merasa percuma.
“Sudah apa belum.”
“Kamu anak kecil, mau berak di sini saja di samping saya.”
Bocah itu merasa tidak lagi anak-anak.
Dia merasa berdekatan rapat dengan daging perempuan keemasan.
Sebentar kemudian, bocah itu menuruni tangga kali. Perasaannya tidak berubah. Menginjak tisu-tisu kusut, bungkus-bungkus kondom dan plastik-plastik berisi bekas cairan mirip putih telor. Di pinggir kali, tanggannya menari, merogoh, mencari seragam dan celengan persis tak peduli emas-emas mengambang di permukaan kali.
Di belahan sisi yang lain, Rukbi menatap sedih wajah langit kemerahan.
Di balik tempat lain, penyair lamat-lamat menyuarakan syair-syair tajamnya.
Kepada Matahari Subuh yang Akan Menerangi Dunia.
Lebih lima miliar nyawa manusia tlah huni bumi yang menua
kencing dengan rupa-rupa warna, bau dan mungkin rasa
Bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa, kakek-nenek, laki-perempuan, presiden, menteri, hakim, jaksa, tentara, politikus, profesional, buruh, petani, mahasiswa, demonstran
Tanpa keluh, rela dirinya menampung ribuan kubik liter air kencing
menjadi ponten umum bagi mereka
Binatang lain cerita bila bicara, pun manusia penghuni ruang angkasa
Seperti halnya, lain pula bila politikus jadi berita
Bagaimana ia kencing.
melompat pintu pagar dan melirik jalan
satu-satunya pelajaran terpenting selama kencing di jalan
jadi tahu bagaimana orang miskin.
Menjadi politikus sebetulnya adalah berjuang melawan kencing.
Sayang, betapa politik bagi Tuan
ruang meja makan di restoran,
segala menu tersedia tanpa beranjak
pesan demokrasi? Kekerasan? Jalan ke surga? Wanita?
Atau mayat?
Kremil, April 1994
Usai membaca karangan itu, Ipong kembali melipatnya, setelah berhenti sejenak menghirup kopinya, ia berkomentar panjang lebar, begitu panjang dan berbobot.
Anehnya, sepertinya Biru Langit tak mendegarkan apa-apa, tak sepatah katapun…
Tiga
MEREKA orangtua yang mendengar dan melihat hubungan percintaan putrinya dengan pemuda Biru Langit. Tapi Sang Profesor dan Puri Wangi, istrinya juga melihat mungkin rumahnya ini akan digempur dua anak muda yang sama-sama berbahaya ini, sebelum terlambat orangtua ini hendak dikepung oleh pendapat-pendapat dan pandangan hidup anak-anak muda yang tak pernah tahu persis siapa dirinya, lantas ia menggiringnya keluar pada hari Minggu sekembali dari arena Ice Skating di lantai satu Tunjungan Plasa. Dengan berkendara mobil VW milik Sang Profesor itu, mereka meluncur menuju cafe langganannya di Hotel Garden.
Tempatya sepi dan dan mereka pun memilih tempat di pojok sisi kanan, agar matahari sedikit bisa jatuh di atas kakinya, di dekat meja mereka berdinding kaca dan bisa melhat dengan jelas keluar kolam renang berombak-ombak, beberapa orang duduk santai di tepinya. Profesor memesan roti bakar yang di permukannya ditaburi susu kental. Sementara istrinya memesan pisang yang dipotong-potong. Biru Langit minta dibuatkan sejenis gado-gado dan coffee cream. Perempuan Sulistyorini hanya memesan minuman juice tomat segar.
Mereka berbicara di meja makan bersama sendok garbu yang beradu dengan piring kaca, dan gas-gas yang berantukan dengan permukaan meja, sesekali juga harus berhenti sebab suara blander juice yang berdekatan dengan tempat duduknya meraung-raung—rupanya masih juga keluarga itu salah memilih tempat.
“Kita bertemu di sini untuk semua, bukan untuk saya…” Sang Profesor bicara dengan menyebut satu persatu di antara mereka. Tidak ada yang memotong. “Bukan, sebab itu aku perlu tanyakan padamu, putriku apakah telah kamu ceritakan semua tentang dirimu pada anak muda ini?”
“Sudah, Pa,” jawab Sulistyorini enteng.
“Ada apa ini?” tanya Puri Wangi buru-buru kendati sepertinya perempuan Sulistyorini sepertinya belum lengkap bicara.
“Papa minta saya cerita keadaan saya pada Biru Langit, Ma.”
“Tapi mengapa? Apa kesalahan kamu sepertinya kamu jadi terdakwa?” kata ibunya.
“Ya, aku juga merasa jadi terdakwa, Prof?” Biru Langit menyela.
“Jangan begitu, Ma,” potong Sang Profesor, “Sama sekali tidak ada niat menjadikan dua anak muda ini jadi terdakwa, seperti di pengadian saja. Sebaiknya, kita harus banyak belajar dari anak muda Biru Langit ini. Dia orang yang kenyang makan asam garam dan kepahitan hidup, dan ini bukan hanya masalah anak kita tapi masalah banyak orang. Orangtua seperti kita maupun yang di luar sana.”
“Masalah apa, Pa?” tanya istrinya.
“Keperawanan.”
Naluri keperempuanan dan keibuan Puri Wangi membuatnya harus diam seketika. Dia juga tak bisa menangis apalagi di depan anaknya dan pemuda macam Biru Langit. Dia hanya perlu membujuk dirinya sendiri betapa miskinpun telah berlimpah-limpah kebaikan telah diapunya, sesuatu peristiwa pahit telah menimpa putrinya dan bukan dirinya, biarpun sesama perempuan. Dia harus terus membujuknya bahwa anaknya cukup tegar, tak menaruh dendam pada laki-laki seperti terbukti bisa bergurau senang dengan anak muda Biru Langit. Apa yang terjadi pada putrinya nyata-nyata sampai sekarang tak pernah sungguh-sungguh ia tahu perasaannya. Jadi untuk apa lagi ia menangis? Apa yang terjadi pada putrinya sekarang, telah terjadi pada ribuan bahkan jutaan perempuan tapi hanya satu yang bernama Sulistyorini satu-satunya putri Profesor yang sekarang sedang makan di hotel berbintang.
“Hanya binatang buas yang layak melakukan pemerkosaan,” gumam Puri Wangi.
“Sudahlah, Ma,” bujuk Sulistyorini.
“Begini anak muda, atau semua saja. Sebelum terjadi pada Sulistyorini, perkosaan dan penggeranyangan tubuh perempuan telah terjadi pada ratusan korban baik di depan umum maupun di depan keluarganya. Jauh sebelum kejadian, banyak tokoh berbicara tentang moral, tentang akhlak, Tetapi mengapa perkosaan beramai-ramai bisa terjadi di negara yang merasa punya kebudayaan luhur? Benarkah kita berbudaya luhur? Hanya sampai di situkah keluhuran budaya kita? Apakah tolok ukur keluhuran budaya kalau begini? Masih akan banyak lagi pertanyaan yang akan timbul untuk bisa mengerti. Kalau mengerti saja tidak, maka jangan harap masalah itu akan teratasi secara lebih permanen. Para tokoh yang menamakan dirinya pemuka moral, pemuka akhlak, pengkotbah moral dan akhlak, benarkah ia sudah mengundangkan moral? Mereka harus berintrospeksi dalam dirinya sendiri lagi, karena ternyata tidak efektif. Menteri Urusan Peranan Wanita yang anti buka-bukaan, anti ratu-ratuan, haruskah menutup mata terhadap perkosaan yang menggemparkan itu? Kalau tanpa sengaja, tanpa menduga sebelumnya, bertemu binatang buas lalu kita diserangnya, luka-luka bahkan mungkin mati, salahkah kita? Kalau bertemu sesama manusia, tanpa menduga bahwa manusia itu hanya wujudnya saja tetapi perangainya binatang, binatang buas, lalu anda diserangnya salahkan anda? Pada keaadaan seperti ini siapakah yang tidak berharga, siapakah yang bernilai rendah? Perempuan yang manusia biasa, yang diperkosa ataukan manusia pemerkosa yang binatang? Perempuan korban perkosaan tidak akan berubah harganya karena diperkosa, kalau tadinya ia perempuan terhormat, ia tetap perempuan terhormat. Justru laki-laki yang tadinya dikira manusia terhormat, setelah kejadian itu ia tidak lain hanya sesosok binatang yang tidak berharga dan patut dibawa ke pengadilan untuk menghadapi ancaman hukuman yang berat. Kejadian yang menyedihkan ini bagi si korban patut kita berikan simpati tetapi tidak perlu menjadikannya suatu kesedihan yang berkepanjangan. Pengertian yang arif harus diberikan baik kepada korban, keluaraganya, pacarnya, suaminya bahkan siapapun, bahwa kurban tidak akan hilan kehormatan dan nilai kemanusiaannya karena diperkosa atau dipaksa. Kurban harus ditolong baik secara fisik, mental dan budaya oleh dirinya sendiri maupun oleh masyarakat. Siapapun harus dapat dengan jelas membedakan kurban dan pelaku. Sikap masyarakat, budaya masyarakat akan dipengaruhi oleh sikap para pemimpin dan pemerintah. Sayangnya reaksi para pemimpin terhadap kejadian yang ini terasa amat lambat, kurang peka. Kalau perkosaan mempunyaarti yang serius dalam soal budaya, secara medis-fisik bukan suatu hal yang serius, suatu hal yang ringan. Mungkin ini tidak begitu dipahami oleh masyarakat. Luka yang biasanya ditimbulkan hanya luka lecet atau luka ringan. Kemungkinan timbulnya infeksi umumnya adalah infeksi yang mudah dapat diatasi, kecuali AIDS, tetapi penyandang AIDS jarang berambisi memperkosa. Liang vagina sesudah perkosaan akan segera kembali normal, reversible. Kerusakan selaput dara bagi yang masih perawan bisa minta bantuan spesialis Bedah Plastik untuk mengoreksinya. Atau akan lebih baik lagi bila dengan tegar dapat diterima saja sebagai suatu fakta tanpa harus dioperasi. Kerusakan fisik secara medis bukan masalah serius. Perkosaan menjadi lebih terasa serius dan berat bila si korban berada dalam naungan budaya yang mengelu-elukan kelamin, seolah-olah kelamin adalah segala-galanya dalam kehidupan ini. Sering penghargaan terhadp kelamin terasa amat berlebihan. Misalnya seseorang yang tidak perawan diserbut tidak suci, seolah-olah kelamin itu barang suci. Bukan Alkitab sebagai buku suci, rumah peribadatan sebagai rumah suci, tetapi vaginapun ada vagina yang suci. Masalah yang cukup serius tersebut hendaknya tidak lebih dibesar-besarkan lagi, tetapi dihadapi secara realistis dan berimbang. Dengan mengubah sedikit para korban dan sikap masyarakat maka penderitaan itu menjadi terasa lebih ringan. Tetapi para pemerkosa, manusia dengan perangai binatang itu tidak bisa lepas dari pertanggungjawabannya. Memperbaiki perilaku budaya bangsa yang barbar yang tidak bernalar yang serendah binatang buas harus diperjuangkan dengan segala cara. Akhlak, moral tidak berdiri sendiri, tidak ada pengkotaan, moral hanya berarti moral pancasila P4, akhlak hanya punyanya agama, budaya hanya punyanya orang yang tidak beragama. Moral akhlak, budi pekerti, etika semua berada dalam satu wahana yang sama, wahana budaya. Banyak macam budaya yang berilai tinggi, luhur tetapi ada juga yang seolah-olah luhur dan kita harus punya kemampuan memilihnya. Pemilihan itu akan semakin mendekati ketepatan kalau kita bisa mempergunakan daya intelektual/daya nalar kita secara optimal. Pemakaian daya nalar secara optimal hanya dijanjikan dalam budaya yang biasanya mengantar ilmuwan, budaya ilmiah. Para ilmuwanlah yang mengubah dunia ini dari era primitif ke era modern. Budaya ilmiah sudah harus mulai dilatih sewaktu anak-anak masih duduk di sekolah rendah atau SMP dengan menggelar forum debat untuk masalah sederhana. Dengan demikian logika, kritik dan reasoning dapat dimulai dari umur yang amat muda dari masalah yang amat sederhana sampai yang amat sulit. Selama berpuluh tahun budaya ilmiah tidak bisa berkembang karena adanya orang-orang yang ingin mempertahankan jabatan dan kekuasaannya, orang yang tidak mau dikritik, orang yang tidak mau realistik, orang yang inginkan status quo entah sampai kapan. Yang dikembangkan justru budaya raja-raja (aristokrasi) serta budaya militer untuk orang sipil. Bawahan, anak buah dan rakyat disuruh, dihimbau, diindoktrinasi untuk jadi penurut, takut, tidak boleh protes, tidak boleh kritik. Para pejabat menganggap negeri ini miliknya sendiri dan bukan milik seluruh rakyat. Pengertian sederhana begini saja tentang kepemilikan negeri ini rupanya tidak semua ‘pemimpin’ menghayatinya sehingga lalu merasa dirinya menjadi besar sampai kecil, jenderal besar sampai jenderal kecil. Karena merasa raja ia tidak bisa dan tidak butuh kritik. Tempat budaya raja-raja biarkan dia hanya berada di sekitar raja yang masih tersisa dalam area sekian meter persegi di sekitar Jogjakarta dan Surakarta. Budaya militer biarkan ia berada di dalam kemiliteran, karena memang harus demikian. Tetapi rakyat sipil di negeri Republik yang bercita-cita demokrasi ini, jangan dipaksa, jangan diindoktrinasi, di-brainwashing dengan kedua budaya itu. Bangsa ini ingin pandai, bangsa ini ingin modern dan ingin bermoral dengan ukuran-ukuran internasional. Apakah kalau bangsa kita sudah berbudaya ilmiah perkosaan akan lenyap? Kebijakan dari hampir semua bidang, semua lini, pada suatu periode yang sama biasanya akan bercorak budaya yang sama, budaya yang sedang berkembang di waktu itu. Perbaikan satu sektor budaya akan berimbas memperbaiki sektor lain. Budaya yang kondusif terhadap kemajuan budaya ilmiah akan mengantar semua lini kehidupan bangsa ke jenjang yang lebih tinggi. Masyarakat kecuali mengenal berbagai macam aturan, tatacara dan kaidah-kaidah mereka pun akan lebih mampu mempergunakan nalarnya untuk memilih. “Life is distinguishing.” Perkosaan sporadis, perkosaan satu-satu mungkin saja masih terjadi dan akan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Di masyarakat modern, dengan nalar yang tinggi perkosaan massal sudah terlalu kecil kemungkinannya untuk bisa terjadi!”
Mendengar pikiran itu, Biru Langit sama sekali tak memberi komentar karena itu adalah pernyataan seorang Profesor Bedah Plastik. Kemanapun ia kejar teorinya itu mustahil ketemu dalam muara yang sungguh-sungguh membahagiakan. Apalagi untuk kemudian satu hati, mustahil.
Satu-satunya yang membuat sibuk pikiran Biru Langit karena selama ini Sulistyorini tak pernah mengungkapkan dirinya korban perkosaan.
Empat
KABAR tentang Pam kedengarannya seperti sosok makluk asing buat Biru Langit dan tentu saja perempuan Sulistyorini. Asing karena begitu sulit dilacak dan ditemukan simpul pikirannya. Pilihan langkahnya sulit ditebak, membingungkan. Persentuhannya dengan masalah-masalah dunia pemikiran juga sulit dirangkai kembali.
Sesudah sekian lama tiada kabar, semenjak gejolaknya dengan Biru Langit perihal perempuan, laki-laki itu bekerja menjadi reporter di sebuah majalah. Yang mengherankan lagi majalah itu dimiliki salah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor bangunan di kawasan jalan Ahmad Yani. Sebab itu Pam banyak berurusan dengan masalah-masalah properti, pertanahan dan sejenisnya. Lebih mengherankan lagi, belakangan Pam juga banyak keluar masuk Plasa, entah apa yang dicarinya, tidak ada penjelasan untuk itu dan satu lagi dia jadi suka sesuatu yang berbau mistik. Dalam suatu perjalanan yang kurang dimengertinya itulah ia bertemu dengan seorang gadis. Dengan mengenakan kaos armani dan celana jean levis, seorang gadis itu mulanya melaju dengan mobil merah menyala dengan kecepatan limapuluh kilometer perjam. Di tangannya melingkar arloji rolex seharga 3.200 dollar US. Di dompetnya terselip beberapa kartu kredit. Dari daftar harga dan jenis marka dagang yang tertera, jelas wanita itu dari kelas jet set. Sampai Pam tak begitu yakin apakah sedang melihat gadis itu sungguh-sungguh atau cuma impian-impian persis adegan film televisi atau telenovela yang sering ditonton ibu-ibu rumah tangga atau dia sedang terobsesi oleh iklan-iklan di balik showroom kaca. “Baik. Anggap saja aku sedang bermimpi,” gumamnya,
Di luar dugaan, suatu hari Pam juga kerja menjual photo, gadis-gadis malam hasil jepretannya. “Ini kejamnya kota,” bgitu pikirnya, “harus pintar-pintar sajalah cari duit.” Diantara puluhan photo, muncul perempuan berkaos armani, celana jean levis. Entah bagaimana akhirnya, gadis itu juga muncul dari laboratorium photo dan wajahnya tercetak lalu terjual lima ribu sampai sepuluh ribu perlembar. Pam terus terganggu. Jangan-jangan itu karena pikirannya sudah dipenuhi gadis sial itu. “Tapi ini bukan mimpi.” Entah mengapa Tuhan akhirnya menjatuhkan spot light tepat pada permukaan photo. Gambar itu nampak seperti hidup. Aneh! Di balik gemerlapan daftar harga barang mewah yang sama sekali tak dikenalnya, wajah itu menyimpan rasa sedih yang dalam. Juga dendam.
“Sungguh, ini bukanlah mimpi.”
“Lantas, bagaimana nasib photo gadis itu? Negatifnya masih kamu simpan?” banyak yang kurang percaya dengan pengalaman Pam.
Akhirnya tercetak cukup banyak. Dan laris. Semula gadis itu memang cuma muncul dalam photo. Selanjutnya keluar dari pintu restoran, ruang-ruang pramuniaga. Dia terganggu sekali dengan kecantikannya.
“Namanya?” kawan-kawan yang mendengarkan terus memburunya.
“Aku tidak tahu. Aku cuma tahu dari ciri-ciri khususnya. Pokoknya dia cantik.”
“Banyak wanita cantik sekarang.”
“Ya.”
Biarpun orang kota, kemiskinan membuat Pam datang di plasa persis si Kabayan turun ke kota. Di kota tidak ada kerbau. Cuma wanita cantik. Kecantikan perawan-perawan kota luar biasa lain: ada di mana-mana seperti kembang plastik dijual di bazar tujuhbelas Agustusan. Di plasa tentu saja Pam leluasa membawa wanita cantik. Karena itu baginya dan tentu bagi banyak orang, plasa memang tempat mengagumkan. Fantastis! Meski dia tahu di plasa banyak barang imitasi atau kembang plastik imitasi, kerbau imitasi, plasa melebihi tempat peristirahatan, villa besar kusam dan kelam. Tapi plasa juga persis neraka. Hal yang sama adalah, angker. Lebih dari dongeng-dongeng orangtua di kampung tentang peri, bau parfum. Apa bedanya dengan bau minyak serimpi menusuk hidung. Pam kian ketakutan. Bahkan lebih runyam lagi. Laki-laki sudah menjadi wanita, pakai anting-anting, minyak serimpi, rambut panjang. Ini peri bencong. Ah, dunia apa-apaan ini! Pam pasang aksi lebih berani. Padahal sering nyaris terkencing-kencing. Tiba-tiba saja celana basah.
Makin hebat ketakutannya makin dia susah kencing. Kian pula dia merasa dekat dengan perempuan itu. Pam kenalan di tangga lift berawal dari suka seragam kantornya yang kotak-kotak. Dari aroma suaranya sudah pasti wanita itu pakai pasta gigi close up. Namanya Rusma. Di muka pilar-pilar restoran, Rusma dijepret separuh badan sendirian. Pam terkejut. Jantungnya hampir runtuh tersumbat bola tenis ketika naik cetak, photo itu berubah pose peri bersebelahan laki-laki setengah tua kumis tebal panjang pakaian hitam seram. Hasilnya ditunjukkan petugas laboratorium photo. Katanya, “Aku tidak melihat apa-apa!” Lantas diajawab, “Sebaiknya anda periksa mata, Bung!” Tapi ini biasa, pikir Pam. Seringkali memang terjadi muncul gambar-gambar asing di belakang photo tertentu. Sebut saja makluk yang mbahurekso tempat itu. Selesai.
Rasa ingin tahu banyak campur aduk rasa ngeri yang memuncak. Sehabis dia datangi lagi pilar restoran sialan itu, Pam curiga jangan-jangan ada perempuan yang sengaja dikubur hidup-hidup campur adonan semen dalam pilar itu dan cuma Pam yang sanggup melihat dengan kasat mata, saat itu. Maunya Pam panggilkan paranormal. Tapi urung. Sekali-kali dilihatnya photo yang tersisa di kantong. Lalu beberapa perempuan muncul dengan betis, paha dan dada terbuka. Amblas di sudut tembok. Ada lagi amblas ditelan mulut kamar lift. Dan naluri ingin tahunya tambah dahsyat saat diabaca koran Nyata hari ini. Tulisannya: Tiga bocah jadi tumbal proyek perumahan Citra Raya Klakahrejo Benowo, Surabaya Barat. Nampak tubuh ketiga korban naas itu mengapung di atas kubangan air tanpa baju dan di angkat ke darat, ditidurkan berdampingan.
“Hiihh!!! Bangkai orang! Ini bangkai orang! Bukan bangkai tikus!”
Pam makin keranjingan. Pam merasa seperti hidup di alam yang mesterius. Tapi ini bukan dongeng seperti yang pernah diceritakan ibu sebelum tidur dahulu ketika masih anak-anak tentang lelembut. Hingga dia tak begitu percaya apakah tengah berkumpul dengan manusia ataukah lautan calon bangkai.
“Begitulah, kamu sebenarnya tidak sedang bermimpi,” kata seorang kawannya dengan gaya pemikir lulusan Fakultas Sastra dan Filsafat. “Dan aku percaya itu semua ada.”
“Aku ketakutan sekali karena baru saja aku kenalan dengan salah seorang…Namanya Rusma.”
“Ha??”
“Ya. Rusma Rahmawati.”
“Rambutnya agak pirang, potongan pendek laki-laki?”
“Betul.”
“Hah!! Dia itu… Ah, dua tahun yang lalu perempuan itu, ck…ck…ck… terkilir jatuh dari lift. Lalu mati!”
Mulut Pam terkunci rapat. Pelupuk matanya serasa penuh dikerubuti semut. Dan aliran darahnya seolah terhenti total. Hampir saja Pam roboh. Nyali runtuh.
“Itu peristiwa biasa di zaman serba beton dan serba rumah kaca ini. Minggu lalu kamu baca di halaman muka koran Nyata, wanita tengah baya terpelanting dari sepatu ice skating. Kepalanya membentur sudut pagar besi pembatas. Mati! Aku tak sampai hati menghitung tumbal semenjak plaza ini dibangun, para kuli jatuh, tersengat listrik, cacat, tertimpa material berat. Hah!!!”
Sungguh, setiap detik di kota misterius nyawa bisa terancam rusak. Cuping telinga kian waktu juga kian penuh sesak kabar kematian, pembunuhan,kecelakaan. Lalu beterbangan arwah para peri malang itu. Bayangkan jika ragu dengan diri sendiri dan memilih hidup bersama peri! Jangan-jangan ini kota milik para peri. Saban kali Pam bicara dengan seseorang terutama wanita, dia tidak begitu yakin apakah betul sedang berhadapan dengan manusia ataukah peri.
“Apa yang bisa kulaporkan untuk majalah kontraktor macam begini?” ini satu-satunya ucapan bingung Pam saat menghadapi pekerjaan.
Hari-hari berikutnya dia kerja seperti biasa.
Anehnya, diantara puluhan photo yang dicetaknya, kemudian muncul pula gambar Sulistyorini, perempuan yang nyaris dia buru sampai mati. Dia tersenyum. Tapi di mata Pam wajahnya berubah teramat buruk rusak oleh berbagai marka kosmetik kimia buatan pabrik.
“Hai, perempuan, aku ingin kawin dengan peri. Tidak dengan manusia seperti kamu. Kamu manusia, bukan?”
Peristiwa itu amat cepat.[]