Jumat, 11 Desember 2009

Pakansi

Kediri, dari Mata Kamera Sampai Mata Hati
S. JAI


SABAN sore selama awal bulan Pebruari 2009 saya mendapat tamu beberapa orang muda. Tamu yang mulanya memang diundang. Selanjutnya sering datang tanpa undangan. Sejak lama pula saya menyiapkan segala sesuatu terkait rencana pembuatan film dokumenter. Berawal dari konsep, naskah, dan tentu saja riset-riset, materi mentah narasi yang kesemuanya melalui diskusi-diskusi dengan tim yang terlibat seolah senatiasa bermetamorfosis.

Sengaja saya melibatkan orang-orang muda yang berbakat, segar, terbuka dan punya kegelisahan kreatif. Saya membayangkan betapa “menggairahkan” bekerja dengan anak-anak muda seperti itu. Mereka adalah KY Karnanta, lulusan Sastra Indonesia Unair yang sempat terjun ke jurnalistik dan mengawali bidang senematografi melalui ajang Kickstart 2008 In-doc. Lalu Kuncoro Indra Kurniawan, pengajar di ITS yang memang telah sering bekerja dalam satu tim dengan KY dan belajar sinematografi di ajang yang sama. Kemudian Ganjar Ahadiyat orang penata artistik teater dari FIB Universitas Airlangga yang punya minat tinggi di bidang perfilman. Kami masih perlu ditemani periset pendamping Joyo Adikusumo dari Center for Religious and Community Studies (CeRCS) untuk mewujudkan impian ini.

Bermula dari membayangkan membuat film berjudul Pita Buta,--sebuah film dokumenter yang mempertimbangkan “subjektivitas,” ”feature,” dan perihal “hitam putih” tema pokok yang diangkat. Kami pun menyusun rencana berangkat ke Kediri—tempat yang karena alasan khusus saya pilih—menyusuri pinggir, sudut maupun pusat kota demi menterjemahkan gagasan itu.

Seringkali, film bertema feature dianggap salah satu kegagalan film dokumenter. Lalu mengapa saya justru tergelitik menawarkan feature? Karena tak lain hasrat mencoba menggarap estetika yang memasuki wilayah itu tanpa terjebak dalam feature atau semi dokumenter. Artinya, tanpa meninggalkan esensi dokumenternya pada ”ingatan” yang bersumber dari fakta-fakta, data, tulisan, artefak. Dengan kata lain berangkat dari kenyataan fakta real. Mengenai konsepsi ”ingatan” ini menurut saya sangat penting digarap secara serius karena selain ini terkait esensi film juga menginspirasi perihal kronologi, plot, alur film menjadi sesuatu yang mengutuhkan.

Subjektivitas itu musti karena ini film bertema kritik dan pendidikan alternatif yang ilmiah dengan standar sumber ilmu pengetahuan. Kiranya ini tawaran yang penting digarisbawahi dalam film ini. Subjektif tapi ilmiah. Fokus dan angle film mengarah pada “pernyataan sikap” yang semuanya terungkap dalam bahasa gambar. Bahkan demi menentukan hitam dan putih, meski itu tak berarti solusi. Di satu sisi subjektivitas ini memasuki ruang feature tapi di sisi lain, subjektivitas berdasarkan kenyataan ilmiah.

Dalam bayang saya, film ini berkisah tentang semangat hidup sesosok manusia. Tepatnya perihal inspirasi, yang menyebabkan nyala spirit hidupnya terus berkobar. Karena itu, dia senantiasa mencari dan menemukan gairah hidupnya—inspirasinya. Di mana saja, bahkan di jalanan. Seperti hari belakangan ini ia terinspirasi pada tembakau, betapa tembakau telah mengilhami banyak orang—orang biasa, pengusaha maupun penguasa. Ketika ia tahu dalam mitos Roro Mendut, perempuan cantik itu terinspirasi menjual rokok, namun pria satu ini terilhami upeti Roro Mendut dalam kenyataan gurita masalah tembakau. zaman sekarang upeti tak lain adalah cukai.

Saya pilih film ini menggunakan sudut pandang sosok tertentu sebagai ujung mata pisau sekaligus prespektif melihat kenyataan--data, tulisan, artefak, informasi yang berangkat dari kenyataan fakta real. Prespektif berarti mengandung pengertian “cara-cara” atau “pandangan dunia” tertentu terhadap masalah yang diangkat: menggugat alur dana pembagian cukai. Bergenre catatan perjalanan-petualangan atau tepatnya “catatan perburuan” karena mempertimbangkan bobot investigatif dalam menggali data dan informasi dengan sadar estetika film. Menimbang spirit spontanitas dan improvisasi sepanjang untuk pendalaman wilayah garapan film. Mengedepankan kekuatan penyatuan (inhern) antara gambar, prespektif, dan petualangan menggali materi. Tanpa harus terjebak pada feature, subjektivitas, profil atau kampanye kepentingan tertentu.

Berikutnya, diatas kertas juga menawarkan suatu tantangan. Segala bahasa yang hendak diucapkan harus maksimal, imajinatif, tajam. Bahkan sedapat mungkin tanpa perlu bantuan bahasa lain, atau setidaknya jika perlu bahasa-bahasa lain semisal narasi atau teks dibuat seminimal mungkin sepanjang tetap mempertimbangkan film sebagai bahasa ucapnya sendiri. Termasuk juga tentu saja aspek orisinalitas—juga terhadap penataan artistik.

Resiko yang musti dibayar dengan pilihan prespektif, bakal tergelincir pada kemungkinan hadirnya tokoh atau penokohan. Meski demikian dengan kehati-hatian dan berkat gagasan yang kuat terkait tema, akan dengan sendirinya dalam film dokumenter tak perlu mempertimbangkan berlebih perihal tokoh dan penokohan. Jadi dalam film dokumenter ini sama sekali saya tak bermaksud menampilkan tokoh apalagi penokohan yang mendalam.

Secara konseptual, gagasan yang kuat pada tema, membutuhkan strategi atau teknik perfilman yang melalui diskusi mendalam titik temu dari seluruh persoalan, tantangan, dan juga kesulitan menterjemahkan dalam bahasa utuh (holistik) dari film yaitu pentingnya prespektif (sudut pandang) yang pada akhirnya menyangkut sikap subjektif. Jadi kalaupun ada kesan hadirnya tokoh tersebut hanyalah kesan--tetapi sebetulnya adalah sudut pandang yang dalam kenyataan-kenyataan selanjutnya sangat dibutuhkan demi "menilai" kenyataan. Dengan bahasa lain, prespektif tersebut sebagai cara atau teknik "mengikat" dalam satu kesatuan alur.

Karena itu, dengan prespektif tersebut juga tak mempersulit untuk memastikan apakah alurnya harus linear atau tidak. Mungkin alurnya bisa berputar atau yang lain, karena pendeknya yang amat kuat justru pada gagasan dan isi serta temuan-temuan fakta di lapangan. Selain tentu saja, banyak yang kemudian berdampak pada konsekuensi pilihan bentuk film, semisal perihal bahasa-bahasa narator tentu saja dari prespektif tersebut. Narator harus utuh dengan film dalam pilihan bentuk film dokumenter yang kita produksi kali ini. Meskipun ini bukan berarti tanpa kesulitan. Yang jelas perlu kejelian, kata perkata, kalimat per kalimat, juga idiom-idom film.

***
BEGITULAH, segalanya masih bermula dari ruang di tengkorak kepala saya. Hari-hari selanjutnya, saya berpikir keras untuk memuntahkan itu semua dari tubuh saya. Saya mencatat, pada Minggu 15 Pebruari 2009 di luar dugaan, saya diwawancarai koran Surabaya Post (karena sebelumnya telah mendengar rencana pembuatan film dokumenter perihal cukai rokok. Wawancara direncanakan untuk rubrik inspirasi (profil) dan release awal peluncuran atau pemutaran film dokumenter ketika proses penggarapan belum kelar. (Profil dengan judul Seni Mengkritik Rokok, dimuat Surabaya Post Sabtu, 28 Februari 2009. Sementara untuk release film, menunggu konfirmasi kesiapan pemutaran film. Sedangkan, gambaran awal dari situasi objek film di Kediri, dengan bersumber dari wawancara yang sama, dimuat pada hari yang sama 28 Februari 2009, dengan judul Mereka yang Tergiur Gurihnya Laba Rokok Ilegal).

Keesokan harinya, tepatnya Senin-Selasa 16-17 Pebruari 2009, memaksa saya untuk selanjutnya menyiapkan detil kebutuhan lapangan. Sebetulnya dijadwalkan Rabu (18 Pebruari 2009) pagi berangkat ke Kediri dan mulai kegiatan shooting, tetapi Selasa (17 Pebruari 2009) peralatan kamera dan sebagainya sudah siap dan siapkan. Tentu ini lebih mengejutkan saya. Saya menduga, kawan-kawan saya mungkin memang punya kebiasaan untuk mengejutkan. Yang artinya, sore itu pula musti dimulai kegiatan agar tak ”nganggur” yang boleh jadi berarti membengkaknya biaya. Sehingga sore itu dimulailah pengambilan gambar di kantor Center for Religious and Community Studies (CeRCS)—tempat saya bekerja selaku Head of Art and Culture Outreach—dan menggali narasi.

Sebuah media massa baru saja memberitakan, setiap pabrik rokok minimal harus memiliki areal usaha 200 meter persegi luasnya. Padahal selama ini sepengetahuan saya, pabrik-pabrik rokok yang tersebar, selain pabrik besar yang ada, cuma beroperasi di bawah atap rumah sempit, atau sudut-sudut ruang yang sesak saja. Toh, tetap beroperasi. Saya berpikir, ah mungkin ini hanya soal tafsir saja. Dalam arti aturan itu bisa ditafsirkan lain: setiap pabrik arealnya memang lebih dari 200 meter persegi. Soal pabriknya hanya sebesar garasi sedan itu soal lain. Membaca berita itu, saya mengamini ada masalah rumit, ruwet dan komplek. Saya juga meragukan, barangkali pula keruwetan itu bukti kekurangpahaman saya. Apalagi bila menyangkut sampai detil prosentase cukai masing-masing produk rokok. Meski semua ada aturannya, aturan itu menjadi kewenagan kantor bea dan cukai.

Saya juga membayangkan, betapa penyusunan aturan-aturan seperti itu tak kalah peliknya, entah oleh Menteri Keuangan atau Kementrian Perdagangan. Semuanya dihitung, sejak jenis olehan tembakaunya, olahan tangan atau mesin, isi perpaknya dan lain-lain. Juga sudah barangtentu diukur kualitas produksinya. Pabrik besar seperti pabrik Gudang Garam berbeda aturannya dengan pabrik standar yang lebih rendah. Namun secara umum berkisar antara 37-40 persen cukai yang dikenakan pada produk olahan tembakau. Yang paling tinggi 40 persen, sebab pada Pebruari 2009 baru saja dinaikkan rata-rata 7 persen. Lebih dari itu semua, secara umum angka itu pun terendah jika dibandingkan Singapura yang 80 persen dan Thailand yang 75 Persen.

Cukai rokok adalah kepanjangan dari cukai tembakau. Artinya, dilihat dari aturan perundangannya, barang yang kena cukai itu ada tiga yaitu, etanol, alkohol dan tembakau—karena mengandung nikotin. Jadi nikotin itu identik saja dengan tembakau sehingga rokok ini dikenakan cukai karena kepanjangan dari produksi olahan tembakau. Secara filosofis sebetulnya, dikenakan cukai itu untuk menekan produksi dan mengendalikan atau lebih tepatnya membatasi peredarannya di masyarakat. Bisa jadi bila dilanjutnya, hal itu untuk mengurangi sebelum akhirnya melarang. Seperti itu subtansinya. Karena itu, pertanyaan pentingnya adalah mengapa cukai terhadap rokok itu begitu rendah? Pertanyaan itu tampaknya terjawab dari perolehan pemasukan cukai pemerintah. Tidak sulit untuk membayangkan ketika tahun 2008 pemerintah mengumpulkan lebih dari 44 triliun rupiah dari itu. Lalu tahun 2009 ditargetkan mencapai 49, 48 triliun rupiah.

Salah satu daerah penyetor terbesar adalah Jawa Timur—karena memiliki beberapa pabrik rokok megah. Sehingga wajar bila pada akhirnya juga menerima Dana Bagi Hasil Tembakau (tepatnya dana bagi hasil cukai) paling tinggi di banding daerah lain. Tahun 2009 Jawa Timur dianggarkan menerima hampir Rp 600 Triliun dari keseluruhan angka Rp 960 Triliun yang disiapkan pemerintah pusat. Adapun angka yang terakhir ini adalah 2 persen dari keseluruhan target perolehan cukai negara. Memang di atas kertas, sesuai aturan Peraturan Menteri Keuangan maupun Undang-Undang Cukai itu sudah jelas peruntukkannya. Akan tetapi di tingkat implementasi tentu bermasalah, selain tentu saja kertas aturan itu pun masih bisa disoal.

Yang perlu digarisbawahi, Kediri sebagai salah satu penghasil dan penyetor cukai terbesar, kiranya tak kurang menghadapi soal. Bayangkan, bila tahun 2008 ketika Kediri (kota) menerima dana bagi hasil cukai Rp 9,5 miliar, dan bayangkan karena tahun 2009 ini bakal menerima Rp 41 miliar. Ketika saya membayangkan tahun 2008 saja disinyalir banyak pihak tak jelas peruntukkannya, lantas pada saat angkanya meningkat empat kali lipat seperti apa jadinya. Wajar bila kemudian menjadi masalah besar bagi orang yang punya respek dengan masalah cukai dan peruntukkannya. Memang dari Dari mentri keuangan sudah diberikan beberapa poin peruntukkan pengembalian dana cukai itu. Diantaranya adalah untuk perbaikan kualitas bahan baku, dalam hal ini tembakau, terus pemberantasan cukai ilegal, terus kemudian untuk keperluan sosial. Dalam arti menyangkut, sosialisasi kesehatan dampak merokok dan sebagainya. Tapi tampaknya itu juga menjadi persoalan tersendiri karena, daerah-daerah ada yang bukan penghasil tembakau, akan tetapi juga menerima dana bagi hasil tembakau.

Jujur saya akui, belakangan ini saya terinspirasi dengan masalah cukai. Bila misalkan ada orang merokok untuk mencari atau mendapatkan inspirasi, saya justru melihat rokok terus langsung terinspirasi, salah satunya terkait dengan apa yang ada di balik rokok, utamanya masalah cukai itu. Mulanya, saya juga terinspirasi ketika kembali mengingat mitos Roro Mendut, atau membaca novel Roro Mendut yang tokoh utamanya terinspirasi dengan rokok yang kemudian memproduksi dan menjual rokoknya sendiri.

Ketika kembali ke alam nyata, saya terusik untuk mencoba menelisik regulasinya yang terkait rokok. Kadang-kadang iseng untuk mengecek silang. Diantaranya dengan Undang-Undang Otonomi Daerah. Di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah, daerah diberi kewenangan untuk mengelola, mengelola keuangan, keuangan daerah. Nah, dengan regulasi semacam Permenkeu, ini berarti pusat memberi semacam paksaan terhadap penggunaan uang itu untuk mengalir ke arah ini. Ini satu masalah. Lalu, perihal peninggkatan kualitas bahan baku, ada daerah-daerah tertentu memproduksi rokok tapi tidak memproduksi bahan baku. Otomatis bila daerah produksen bahan baku, tidak mendapatkan dana cukai ini merasa ada tafsiran yang keliru atas peraturan seperti ini. Ini sudah ada contohnya, Gubernur NTB mengajukan gugatan ke MK karena daerahnya termasuk penghasil terbesar tembakau, tetapi tidak mendapatkan pembagian dana cukai.

Selanjutnya bila hendak lebih kritis, di daerah seperti Kediri dan Malang menggunakan banyak dana cukainya untuk kepentingan pembinaan lingkungan sosial, dalam hal ini bidang kesehatan. Misalnya sosialisasi danpak merokok, terus pendirian klinik-klinik kesehatan. Padahal justru dalam aturannya hal itu termasuk item kecil saja. Ada apa sebenarnya dengan masalah ini? Kediri, menurut laporan media, telah menggunakan 70 persen dana bagi hasil cukai untuk membeli peralatan pernafasan di rumah sakit Nggambiran dan obat-obatan. Mendengar sinyalemen seperti itu, saya berpikir, dana cukai itu sangat inspiratif bagi orang biasa, bagi pengusaha, bagi pejabat daerah, bagi pejabat pusat. Artinya inspiratif termasuk di dalamnya sangat mungkin untuk diselewengkan. Sangat mungkin apalagi dengan regulasi yang sangat silang sengkarut atau kalang-kabut atau entah mana yang benarseperti itu.

Secara subtansial, bagi saya dana cukai ini sebenarnya hak perokok karena itu dibayar oleh perokok. Itu poin terpenting. Di sisi lain, istilah cukai sendiri secara filosofis sudah sangat kabur. Bahwa di satu sisi cukai sebagai pajak dosa ketika itu diberlakukan pada barang yang mustinya dilarang penggunaannya. Bagaimanapun, uang cukai itu dibayar pembeli rokok sebagaimana secara teori dibebankan kepadanya dan bukan dibayar oleh pabrik rokok. Sampai di sini sudah betul. Terjemahnya bisa berupa perusahaan rokok hanya menyetor ke negara saja, tapi duitnya itu duit perokok. Secara sederhana bisa digambarkan: Karena filosofinya digunakan untuk membatasi pemakaian rokok itu, sehingga ketika rokok diberi tambahan beban cukai itu, diharapkan perokok terbebani dan mengurangi pembeliannya. Pembeli rokok membeli rokok itu, harga yang dia bayar selain harga rokok juga ada tambahan sekitar 40 persen atau kurang dari itu cukai itu.

Nah karena itu, secara subtansial itu adalah duitnya perokok. Memang masuk akal apabila disederhanakan lagi, bahwa cukai ini harus dikembalikan pada perokok, dalam hal ini salah satu contohnya misalnya ketika perokok mengalami gangguan kesehatan. Terapannya, biaya itu pengobatan ditanggung dari duit dana cukai itu. Akan tetapi persoalan berikutnya, kian komplek, pada saat dana cukai itu sangat inspiratif bagi banyak pihak, utamanya pejabat pemerintah dalam hal ini bila ditinjau dari sisi regulasi.

Selama ini, dari data-data yang ada, alokasi dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai orang-orang yang terkena penyakit dampak dari merokok itu mencapai angka empat kali lipat dari dana cukai yang masuk kantong negara. Termasuk juga data resmi dari pemerintah baik dari departemen kesehatan maupun Biro Pusat Statistik. Lebih dari itu, lagi-lagi masuk akal manakala pembagian dana cukai itu kemudian terbesar masuk ke kantong Departemen Kesehatan. Problem utamanya justru pada regulasi yang banyak berbenturan, sementara dana cukai rokok memang diarahkan kepada penanggulangan dampak penyakit akibat merokok. Sebetulnya sulit untuk melepaskan kaitannya dengan kenyataaan bahwa di satu sisi Undang-Undang Cukai itu, itu memberi batas 57 57 persen. Padahal yang diharapkan banyak kalangan, utamanya lembaga-lembaga yang concern di bidang tembakau dipastikan 60 atau 70 persen.

Dipastikan dalam arti cukai dinaikkan sejumlah itu, dengan perhitungan bakal berdampak pada keadaan yang lebih baik. Dalam hal misalnya, misalnya perolehan cukai negara terus di sisi lain menekan angka kemiskinan. Bila cukai naik, asumsinya perolehan cukai ke pemerintah juga tetap tinggi. Karena konsumsi rokok tidak terpengaruh oleh cukai rokok. Itu hasil studi-studi di negara lain. Menurut studi itu mengikuti perkembangan cukai ketika naik tidak berpengaruh dengan pendapatan negara. Otomatis pendapatan negara juga naik. Di sisi lain dengan cukai yang naik, orang miskin tidak semuanya bisa membeli produk itu. Itu juga nanti runutannya dampak kesehatan akan berkurang--yang harus ditanggung oleh pemerintah. Salah sebuah studi menyebutkan 70 persen perokok itu dari keluarga miskin. Artinya pengeluaran keluarga itu ada untuk rokok. Tapi dengan cukai yang dinaikkan itu asumsinya nanti duit yang untuk rokok itu bisa untuk kebutuhan lain misalnya untuk menaikkan gizi anak-anaknya.

Oleh karena itu, boleh dikata masalah cukai itu bukan persis pada angkanya sekian miliar. Akan tetapi lebih pada terkait dengan regulasinya. Dalam arti regulasi yang kalang kabut itu pada akhirnya berdampak pada peluang orang-orang yang terinspirasi oleh cukai untuk bermain-main. Salah satu indikasinya terlihat daerah-daerah yang tidak memperjelas peruntukan dana itu. Artinya, semisal pernyataan Kediri yang menyumbang Rumah Sakit Gambiran 70 persen dari dana itu, namun yang 30 persen itu dikemanakan. Sementara ini dana itu memang ditekankan untuk kesehatan berangkat dari filosofi cukai sebagai hak dari perokok.

Saya kira hal ini perlu dikaji, mengingat jika pun untuk kesehatan secara lebih besar, dari sisi regulasinya timpang. Suatu misal, tentu saja Dirjen Bea dan Cukai bisa menuntut lebih bahwa dana itu juga harus diperuntukkan membasi cukai ilegal. Kurang lebih seperti itu. Terus kemudian, peningkatan kualitas bahan baku, otomatis departemen yang juga menghendaki dana yang sama, utamanya terkait jumlahnya. Jadi problemnya banyak sekali benturan di tingkat implementasi regulasinya. Memang, banyak sekali yang lebih berwenang soal regulasi ini. Itu persoalan pertama, saya rasa persoalan berikutnya lebih banyak lagi.

Menggali sesuatu inspirasi di Kediri, saya menyebutnya tamasya keilmuan. Menurut saya istilah saya ini tampaknya perlu saya jelaskan sendiri nantinya tatkala selama di Kediri. Saya kira perlu banyak hal untuk diketahui. Bila asumsinya betul bahwa penggunaan dana cukai ini tidak jelas, maka setidaknya harus ada upaya penyadaran kepada orang-orang yang terlibat, orang-orang yang punya respek dengan masalah cukai. Utamanya adalah masyarakat, dan lebih fokus lagi utamanya perokok. Bahwa dana itu adalah menjadi haknya. Sejauh ini banyak yang tidak mengerti dan perlu diberi pengertian. Bahwa cukai itu permasalahan yang sangat komplek. Banyak yang dirugikan, banyak yang diuntungkan. Bagi masyarakat bawah, warga miskin sebagaimana menjadi rahasia umum, lebih banyak dirugikan.

Kediri menjadi pilihan perjalanan saya, karena kekhasannya. Yang pertama Kediri sebagai penyumbang cukai terbesar. Kedua, jumlah buruh rokok di Kediri tercatat tertinggi dibanding kota lain, diantara sekian pabrik korok yang ada di negeri ini. Jumlah buruh pabrik rokok di Kediri termasuk terbesar diantara pabrik-pabrik rokok yang lain. Ada sekitar 41.000 buruh di Kediri. Sedangkan mengenai kemiskinan saya kira tak layak disebut kekhasan mengingat dimana-mana pun kemiskinan tetap aktual. Bagi saya tembakau menginspirasi banyak orang, itu dalam pengertian bukan saya saja yang terinspirasi dengan masalah tembakau. Namun demikian setelah melampaui pergulatan dengan masalah rokok, tembakau di tempat kerja Center for Religious and Community Studies (CeRCS), saya menjadi lebih tahu inspirasi itu dalam pengertian yang luas.

Ditinjau dari banyak sisi, dan bukan kebetulan kalau saya lebih banyak punya ruang gerak di wilayah kesenian dan kebudayaan, pun tembakau tak kalah inspiratif dieksplorasi pada dua bidang itu. Artinya, kebudayaan dalam pemahaman proses dinamis dalam peradaban ini. Salah satu dari pemahaman itu, saya bersama kawan-kawan pernah menonton film The Insider. Film ini diangkat dari dari kisah nyata. Yang menarik film ini berlatar Amerika Serikat tahun 90an. Waktu itulah awal-awal perdebatan tentang bahaya nikotin dalam rokok bila terhisap manusia. Jadi nikotin itu termasuk zat yang berbahaya atau tidak. Film ini menceritakan tentang si tokoh, si tokoh ini kan salah satu orang labotarium di perusahaan rokok, dan dia orang yang idealis karena tahu bahwa, nikotin dan sekian ribu zat yang terkandung di dalam rokok itu berbahaya. Kemudian dia didepak karena itu. Intinya itu.

***
PAGI-PAGI betul saya keluar dari sarang—dari kamar kost sempit di salah satu gang di Kertajaya. Tanpa musti ke kantor lagi, langsung meluncur di jalanan. Ini memang kebiasaan saya: pergi ke warung kopi di jalan Airlangga depan kampus unair untuk ngopi dan sarapan. Sebagaimana biasa saya melintasi lorong-lorong lurus kesukaan saya. Ah, apa ini berarti betul-betul kebiasaan saya di jalur yang lurus? Saya tidak tahu betul. Saya diikuti seorang kawan sambil menyalakan mata kamera terus memunggungi saya. Sebagaimana pengakuannya, keringatnya menyembur keluar mengikuti arah langkah saya yang lebar-lebar. Baru tahu rupanya dia.

Hari itu Rabu 18 Pebruari 2009. Diawali sejak pagi berangkatlah dengan rute sesuai skenario film. Saya berjalan sambil ngudoroso mengungkapkan kegelisahan seputar permaslahan cukai yang menarik saya untuk datang di Kediri. Persis lima belas menit sebelum pukul 11.00 WIB, saya melompat ke bemo menuju stasiun karena jam itulah kereta musti berangkat ke selatan. Tak seberapa lama sehabis membeli tiket perjalanan, dan hanya dalam hitungan menit saya dan kawan-kawan duduk di bangku kereta, peluit tanda kereta berangkat sudah terdengar. Maka berputarlah roda-roda kereta itu.

Entah mengapa, di dalam kereta kami lebih banyak diam.

Baru lebih dari dua jam kemudian, ketika kereta kian mendekati tujuan kami, pikiran, hati dan tubuh saya dan kawan-kawan tergerak bekerja. Di dalam kereta mata kamera kawan Kuncoro dipasang, diambil beberapa gambar yang menunjukkan perjalanan saya. Ada juga situasi orang yang merokok dan mengganggu penumpang lainnya. Lalu, gambar ketika grup musik jalanan dengan peralatan cukup lengkap beraksi mengamen di kereta. Rupanya, ini salah satu peristiwa penting, karena musik ini mungkin nantinya bisa dibuat musik pengantar film. Jengki—panggilan akrab KY Karnanta—menyerahkan kocek 10 ribu rupiah untuk upaya ini. Melantunlah dua buah lagu pop dan dangdut. Itu memang permintaan Jengki. Saya tidak tahu judulnya, meski cukup akrab lagunya di telinga saya. Yang saya ingat sepotong syairnya..

Sendiri.. kini aku sendiri,
kekasihku pergi entah kemana
merana.. kini aku merana......
Kini tinggal aku sendiri
Berteman dengan sepi...

Mendekati Kota Kediri, dari dalam kereta dapat dilihat dari kanan-kiri kereta megahnya Pabrik Rokok Gudang Garam Kediri beserta infrasturktur yang dibangunnya terlihat. Ada Gedung Olah Raga yang sangat megah dan seingat saya mengalahkan stadion milik kota Kediri. Tak lupa mengambil gambar cerobong pembakaran sampah yang menjulang tinggi mirip rokok dan mengeluarkan asap. Cerobong ini berada di tengah-tengah komplek pabrik GG. Saya sengaja melihat ke jendela kereta dan kemudian berjalan menuju pintu kereta supaya mata saya dan memancing mata kamera untuk lebih leluasa.

Setibanya di stasiun Kediri kota sekitar pukul 15.00 diambil beberapa gambar yang menunjukan bahwa telah tiba di Kediri. Jelas terlihat papan tulisan stasiun kediri kota berukuran besar itu menyatu dengan iklan sponsor perusahaan rokok Gudang Garam. Semenjak menjejakkan kaki di Kediri, saya sudah tahu kemana hendak tujuan berikutnya, kendati semula kebingungan tranportasi. Kami musti ke kediaman salah seorang kawan, namanya Pujiandi, seorang pengacara yang mantan wartawan harian Surya. Dari stasiun kru menuju ke rumah bapak Pujiandi dengan persepsi awal akan banyak tahu dan mudah untuk menemui tokoh-tokok kunci kunci yang berkaitan dengan gebalau isu cukai rokok di kota itu. Perjalanan ke rumah Pujiandi kami tempuh dengan menggunakan becak.

Sampai dirumah Pak Pujiandi pukul 15.30 WIB. Setelah ngobrol sebentar kami langsung diajak melihat potret kota Kediri yang sesungguhnya. Kita diajak ke daerah Gunung Klotok dimana dari daerah tersebut kita bisa mengambil gambar Kota Kediri dari ketinggian sekitar 200 meter. Perjalanan ke Gunung Klotok melewati salah satu kampung termiskin di Kediri—setidaknya ini menurut informasi Pujiandi. Kampung ini sangat berbeda dengan daerah kota lainnya. Kampung yang minim pembangunan.

Ketika di puncak kami sama-sama menikmati pemandangan. Juga mata kamera menikmati hal yang sama, mengambil gambar Kediri dari ketinggian. Dari sini dapat dilihat susunan wajah kota Kediri mulai dari Perumahan penduduk hingga komplek Pabrik Rokok Gudang Garam yang memenuhi frame kamera kami. Setelah mengambil gambar di Gunung Klotok karena sayang bila momen seperti ini terlewatkan, kami kembali ke kediaman Mas Puji—begitu akhirnya saya musti memanggilnya. Yang di luar dugaan adalah perjalanan pulang menjumpai banyak hambatan. Salah sebuah mesin motor yang kami kendarai ngadat berkali-kali dan menyeret motor yang lain untuk tahu diri. Wajar perjalanan molor berjam-jam dan musti tiba di rumah menjelang malam. Tepatnya sekitar pukul 19.00 WIB.

Sesuatu yang sama sekali tak saya bayangkan adalah, tatkala kami dijamu makan malam oleh keluarga Mas Puji.

Semenjak tiba di Kediri, sebetulnya, saya menyimpan firasat yang berat karena justru di awal mula kegiatan lebih banyak timbul masalah ketimbang solusi. Tapi saya tahu firasat itu bagaimanapun tetap baik, dan tergantung memperlakukannya. Mulanya, ketika berharap mendapat banyak bantuan dari Pujiandi (belakangan saya tahu ia seorang sahabat joyo di jagad LSM), justru yang terjadi malah memperpanjang waktu. Itu sudah saya rasakan mulai awal bertatap muka dengan Pujiandi sore 18 Pebruari 2009. Saya minta dengan sisa waktu yang ada ditunjukkan kampung-kampung miskin di Kediri kota sehingga malam bisa dihabiskan untuk mengatur rencana. Pujiandi sepakat, tapi saya belum berpikir untuk sepakat menyimpang dari kesepakatan. Yang terjadi adalah, kami dan kru ditunjukkan kampung-kampung meragukan tingkat kemiskinan atau ketidakmiskinannya karena itu kampung di tempat wisata. Singkatnya justru kami diajak ”rekreasi” di gunung Klotok—ditunjukkan makam leluhur mantan Ketua PP Yapto dansebagainya. Tapi kami bersyukur sepulang dari Klotok dijamu makan dan dicarikan penginapan yang sangat strategis.

Sesampainya di rumah kita beristirahat sebentar untuk kemudian mencari penginapan. Akhirnya kita memilih penginapan yang dekat dengan komplek Pabrik Gudang Garam. Hotel Crown. Kami yang berjumlah 5 orang menempati 2 kamar yang tersedia. Malam sekitar pukul 21.00 kami kedatangan tamu seorang temannya Mas Puji. Hanya saya dan Joyo diajak seorang teman di Kediri untuk mengelilingi Komplek Pabrik GG pakai mobil tuanya. Komplek pabrik sudah saya bayangkan semula dan benar ternyata sangat luas. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk melewati hampir semua jalan di komplek ini. Di GG ada sekitar 11 unit. Masing-masing unit memeiliki spesifikasi pekerjaan sendiri. Ada unit pembuatan rokok kretek, filter dan lain-lain. Kata teman kami dulu pernah ada seorang turis Belanda yang terkagum-kagum melihat pabrik rokok sebesar GG.

Sekitar Pukul 22.30 kami sampai penginapan. Mas Puji dengan semobil kawannya pun pulang. Bagi saya peristiwa itu tak membekas, pada saat pikiran saya terasa bekerja lebih keras dibanding hari-hari biasanya.

Ditempat itu, pula lagi-lagi kami sepakat mengatur rencana untuk kegiatan shooting hari Kamis (19 Pebruari 2009). Di luar dugaan, ternyata sepakat untuk tidak ada bantuan lobi-lobi dari Pujiandi sebagaimana rencana mula. Pujiandi menyatakan kesibukannya. Sebab itu, malam itu pula saya putuskan untuk merubah rencana. Yaitu, meminta cadangan bantuan lobi sahabat-sahabat Joyo—Sunu dan Gondrong. Dua orang ini memang sejak mula disiapkan dan diyakini Joyo bisa back up andai Puji tak berfungsi. Di luar dugaan saya dua-duanya ternyata juga mental, meski jauh hari sebelumnya menyatakan kesiapannya. Bahkan Gondrong yang jelas-jelas orang dekat pemerintah keberatan, yang menurut saya, justru karena kedekatannya itulah penyebab keberatan membantu memuluskan pembuatan film itu.

Itu terjadi entah malam atau dini hari karena semenjak itu saya sudah lupa tidur ataukah tidak. Tapi shooting tetap harus berjalan, film tetap harus dibuat dan tidak bisa tidak tak boleh rugi waktu (menurut saya). Pujiandi sempat mengundang seorang temannya yang saya pikir serupa—lebih suka beropini dan rekreasi—ketimbang berpetualang memuluskan pembuatan film dokumenter yang menurut saya perlu semangat luar biasa terlebih semenjak peristiwa itu. Malam itu, kami putuskan untuk kembali persis sesuai skenario awal saya: masyarakat miskin, lingkungan sekitar pabrik, buruh pabrik, pabrik rokok ilegal, dan pabrik rokok legal yang menengah—tingkat kesulitan masuk gudang garam, menyebabkan menjadikannya alternatif kedua. Tentu saja malam itu saya berpikir keras, mencari jalan masuk lubang-lubang lobi yang sudah tertutup oleh Pujiandi, Sunu dan Gondong. Tapi saya tahu jalan masuk itu. Setidaknya yakin tahu dimana pintu masuknya.

Malam itu juga saya menyusun perencanaan seolah-olah seperti buruh yang hendak mengadakan penyerbuan ke pabrik. Tapi gambarannya seperti ini: Saya katakan yang penting bisa masuk pabrik terlebih dulu. Tujuannya untuk mengetahui situasinya di dalam karena dengan bangunan pabrik sebegitu megahnya, pagarnya sedemikian tinggi, tembok-temboknya menjulang, gerbang-gerbangnya sedemikian berat, sebagai masyarakat tentu perlu untuk sekadar tahu isi di balik tembok itu. Baru kemudian mencari tahu, pendapat-pendapat orang penting di dalam Pabrik Gudang Garam—setidaknya di bagian Kehumasan. Kebetulan saya dibekali beberapa nomor telepon orang kehumasan yang menurut informasi seorang kawan di Surabaya, dulunya dari Fisip Unair. Saya punya sedikit kepercayaan tidak sulit untuk bertatap muka.

Di benak saya, dengan bisa bertemu, wawancara, ambil gambar, saya bisa coba korek-korek informasi terkait isu rokok di luar, seminal pada masalah regulasinya, atau implementasinya terkait bidang cukai dan sebagainya. Asumsinya, karena saya yakin itu nanti pasti ada hubungannya, ada misterinya dari hubungan keduanya antara orang-orang pabrik dengan pemerintah. Ya, taruhlah misalnya mengenai cukai. Boleh jadi, di pikiran saya berasumsi orang pabrik punya pendapat dengan beredarnya rokok palsu dan pita cukai palsu itu sangat mengurangi pangsa pasar. Setidaknya, memperoleh kritik dari orang-orang perusahaan kepada pemerintah dalam hal regulasinya ataupun implementasi regulasi itu di lapangan. Kalau tidak punya kritik justru aneh menurut saya. Aneh dalam hal satu sebagai punggung perekonomian, dan dua sebagai warga Kediri.

Waktu itu saya belum tahu jumlah Rp 41 miliar dana bagi hasil cukai tembakau yang diterima Kediri itu khusus untuk kota atau kabupaten atau menyangkut kota-kota lain mengingat wilayah verja Bea Cukai Kediri itu ternyata meliputi daerah Jombang, Nganjuk, Kediri Kota dan Kabupaten.

Informasi awal adanya pelbagai asumís-asumsi itu dari orang-orang yang sering kelua-masuk ke pemerintahan, kantor dewan maupun Bappeko dan sebagainya. Tentu ada suara-suara untuk membagi dana bagi hasil tembakau itu ke pelbagai departemen terkait, barangkali utamanya yang sesuai dengan peraturan menteri keuangan No 84 Tahun 2008. Namun berapa departemen itu pastinya belum tahu. Nantinya perlu kita cocokkan, juga dicocokkan dengan angkanya, terus kemudian kalau tidak cocok itu perlu tanya bagaimana kebijakan pemerintah daerah.

Di luar itu, saya baru saja mendapat informasi melalui sms orang Puskesmas di Kecamatan Semen yang mengaku tidak menerima dana cukai itu. Ya, dari nada informasinya sepertinya berharap dan mungkin sebenarnya dia juga tahu kalau berhak untuk mendapatkan dana cukai itu. Akan tetapi, kita harus anggap wajar dalam hal sikap mereka yang sangat tertutup untuk dimintai informasi. Apalagi dengan pertanyaan, mengapa tidak tarima? Sungguh kejadian yang biasa, ketika orang pemerintah, apalagi seorang bawahan bila ditanya macam-macam pastilah ngeles sebagai bahasa lain dari ketakutan.

Satu hal di benak saya yang tak boleh lupus, nantinya saya perlu tanya-tanya ke masyarakat sekitar pabrik untuk minta pendapat mereka tentang cukai. Mungkin mereka tahu. Mungkin juga mereka tidak tahu. Namun sebelumnya, saya mau cerita dulu tentang masyarakat Kediri. Kediri ini selain dikenal sebagai kota tahu, kota gethuk pisang, kota sate bekicot, tapi juga terkenal dengan kota tempat wanita-wanita cantik. Wanita cantik ini bukan cerita bohong, tapi ada foklornya, ada cerita rakyatnya yang dituturkan dari mulut ke mulut. Ada mitos yang membuat masyarakat punya punya pemahaman tentang kecantikan itu. Begitu banyak masyarakat Kediri maupun luar Kediri yang memang percaya bahwa gadis-gadis Kediri itu memang cantik.

Salah satu mitosnya adalah cerita Panji. Karena dalam cerita Panji banyak wanita yang di mitoskan. Diantaranya Dewi Anggraini perempuan yang kemudian bersinar dan ruhnya pergi ke bulan. Sinar dari Dewi Anggraini ini kemudian menjelma pada seseorang gadis lain yang kemudian diperistri oleh Raden Panji. Nama Candrakirana. Itu pengertianya serupa dengan ruh wanita yang cantik. Jadi masuk akal bila warga Kediri kemudian percaya gadis-gadisnya adalah gadis-gadis yang cantik. Tapi persoalannya ada fakta lain tentang kecantikan yang sudah meluntur. Kini yang terkenal dan melekat pada warga Kediri adalah sebagai kota dengan penduduk perempuan yang bekerja di pabrik paling besar.

Pabrik Rokok Gudang-Garam paling besar, jumlah karyawan perempuan, jumlah karyawan yang gadis perempuan, maupun yang ibu-ibu rumah tangga ini juga terbesar. Jumlahnya sekitar 40.000 ribu. Lebih besar dari pada karyawan di pabrik Rokok Sampoerna, 30000 ribu. Lantas mungkinkah ada fenomena-fenomena baru yang menggantikan kecantikan gadis-gadisnya? Akankah kecantikan itu di tempat ini musti diberi makna baru?

Pada Kamis 19 Pebruari 2009 pagi itu, saya dan kru menyisir masyarakat miskin dan lingkungan seputar pabrik gudang garam. Kami terhibur dari pernyataan-pernyataan lucu orang miskin tentang cukai. Saya sendiri, menyayangkan, mungkin karena terlalu menikmati kelucuan tapi bisa jadi juga lantaran tegang akibat berkurangnya saling kepercayaan antar kru. Bahwa salah satu pernyataan penting orang miskin bahwa masyarakat sekitar GG hanya mendapatkan ”THR” antara 50 ribu-100 ribu tak tertangkap kamera—saya baru tahu belakangan. Lalu, kami terpaksa membuang waktu sekitar satu jam untuk mencari tahu dari informasi yang ternyata kurang valid: mencari gambar buruh pabrik yang terbanyak, paling berjubel ketika pulang kerja. Tak ingin buang waktu lebih banyak, jadwal mencari pabrik rokok ilegal di Ngadiluwih dipercepat (sebagaimana data persis hasil survey).

***

DI NGADILUWIH, sudah saya duga sebelumnya lebih banyak yang takut dengan kamera ketimbang yang senang. Terlebih ini menyangkut kejahatan dan orang miskin. Salah seorang pilih meluruk kru ketika dilobi, ketimbang menyediakan ruang tamunya untuk kami. Tapi bagi film dokumenter tentu ini peristiwa menarik (setidaknya menurut saya) untuk sembunyikan kamera dari balik daun jendela. Tak terkecuali pabrik rokok SRI PUJI yang hari itu tutup tak produksi dengan alasan sedang berduka cita. Rumah pemilik tetap buka dan salah satu orang pentingnya menolak untuk wawancara. Lagi-lagi ini masih tahap lobi. Semenjak itu, saya improvisasi untuk mengubah rencana dan saya berpikir strategi dan sebagainya—tentu saja dengan melibatkan seluruh kru untuk menyokong gagasannya. Karena itu, ditempuhlah waktu menjelang malam hari, ketika pemilik usaha sekiranya tidak punya waktu untuk menolak kedatangan kami.

Saya menggali informasi lebih dalam dari masyarakat, untuk menumbuhkan nyali mendatangi dengan strategi tertentu ke pabrik rokok KN (Kanigoro). Pabrik ini cukup besar, tapi dari hasil survey sebelumnya, ditengarai pernah menggunakan cukai bekas. Atas dasar alasan itu saya harus berwawancara dan mengambil gambar serta konfirmasi. Entah mengapa pabrik tutup lebih awal dari biasanya. Padahal saya sudah sembunyikan kru di kebun tebu. Saya harus melobi dan tentu saja menipu istri pemilik pabrik untuk membantu melobi suaminya agar mau diwawancara. Saat itu sang istri tak berani ganggu suaminya, tapi besok atau lusa ia berjanji berani ganggu dan yakin bisa melobi suaminya. Kami kembali dengan tangan kosong. Dan jadwal berikutnya yang sudah menanti adalah: menunggu malam untuk menjebak pengusaha rokok ilegal dan buruh pabrik yang sudah pasti hampir semuanya punya usaha itu. Karena malam hari, kamera juga dikondisikan untuk menangkap gambar dalam suasana itu.

Wawancara dengan buruh pabrik semula berjalan alot, tetapi setelah diyakinkan, akhirnya bersedia dan di luar dugaan buruh pabrik ini jauh lebih berani dibanding kebanyakaan orang. Selain yang di luar dugaan, ternyata entah mengapa ada perbedaan dari informasi yang semula diberikan waktu survey dan shooting. Dugaan saya, mungkin kamera juga penyebabnya. Waktu survey, kesan buruh pabrik yang tertekan amat kuat, tapi kini menurutnya lumayan. Jadi terpaksa juga, jurus untuk membuatnya nara sumber itu menderita saya keluarkan. Lebih dari itu, saya musti mengatur bagaimana scenario pembelian dan distribusi rokok ilegal itu tertangkap kamera. Sejauh ini menurut saya tidak gagal. Sampai menjelang malam baru sadar ternyata betapa waktu memang kurang. Sambil menggali data, informasi, narasi yang terjangkau dan bisa sepanjang malam itu, sampai dengan Kamis tengah malam dan dini hari, saya banyak berpikir tentang mencari solusi ketimbang berpikir lagi perihal bagaimana melibatkan Pujiandi, Sunu dan Gondrong. Malam dan dini hari itu, saya kukuh untuk berencana mewawancarai narasumber penting sebagaimana skenario film. Utamanya, yang tak bisa dikejar di luar hari kerja, Sabtu dan Minggu (dua hari yang ditargetkan akhir dari pembuatan film ini).

Sejak pagi saya kesulitan menghubungi orang Humas di Pabrik Gudang Garam yang konon dari Fisip Unair. Sms-sms tak terbalas. Sampai suatu ketika saya berhasil mendengar suaranya melalui ponsel dan saya ceritakan maksud saya. Saya tidak ingat persis siapa yang menjawab di ponsel saya ini dari dua atau tiga nama. Apalagi yang tertera di layar juga bukan nama lengkapnya. Setelah berbasa-basi, hal yang di luar dugaan saya terjadi. Orang humas itu keberatan untuk saya temui. Sebagaimana biasa ia minta surat resmi dan daftar pertanyaan. Mungkin salah saya terlalu percaya diri dalam hal berhubungan dengan orang. Saya sempat menulis dengan tangan beberapa pertanyaan seperti yang dikehendaki sebelum akhirnya merasa hal itu tentu percuma. Lantas saya mulai ragu dan putus asa karena sebelumnya juga punya niat untuk memaksakan diri masuk gerbang utama kantor pabrik. Tapi urung. Melihat banyak satpam dan gerbang yang menjulang saya jadi ngeri sendiri.

Untuk itu senjata improvisasi mulai keluar. Baru sekitar pukul 08.30 saya bersama mata kamera mendekati komplek pabrik GG, tepatnya menemui masyarakat sekitar Pabrik Gudang Garam. Di pinggiran pabrik Gudang Garam pintu sebelah barat terdapat pasar tradisional. Dari pengakuan salah seorang pedagang pasar diketahui bahwa lahan yang mereka tempati untuk berjualan, memang diizinkan meski itu areal Pabrik. Mereka mengaku sudah beberapa kali direlokasi pabrik, dan diberi tempat yang baru. Sebaliknya berbeda bila tempat berjualan mereka direlokasi oleh Pemerintah Kota. Bedanya, bila Pemkot merelokasi, maka berikutnya di pindah ke tempat yang lebih buruk. Sebaliknya kalau Pabrik Gudang-Garam yang merelokasi, mereka dipindah ke tempat yang lebih baru dan layak dengan segmen pasar tradisional yang sebagian besar memang diperuntukkan bagi keluar masuknya karyawan pabrik. Dari sejumlah pedagang sekitar yang ditanyai perihal alur cukai hampir semuanya tak mengerti. Dari catatan saya, tak satupun warga yang ditanya mengerti perihal itu. Bahkan lebih banyak yang unik dan lucu. Barangkali karena ini telah menjadi karakter sebagian besar orang miskin di tanah ini. Seorang pedagang perempuan yakin memberi penjelasan, yang saya kira jawaban-jawaban itu kemungkinan besar keliru perihal cukai. Mungkin yang ia maksud sebetulnya lain.

Dikatakan oleh pedagang yang kurang lebih usia 30-an itu, pabrik Gudang-Garam baru saja membagi-bagikan duit cukai untuk kursus gratis bagi masyarakat sekitar pabrik. Ada kursus kursus menjahit, kursus setir mobil, bengkel las dan sebagainya. ”Siapa yang mau kursus dibiayai dengan duit cukai dari Pabrik, Mas,” katanya yakin. Menurutnya, tahun-tahun sebelumnya kesempatan itu tidak diperoleh warga. Yang mengagumkan saya adalah keyakinannya bahwa kursus itu didanai dari duit cukai. Apalagi itu dia sampaikan dengan mimik yang luar biasa serius. Lagi, yang tak kalah lucunya, pedagang pria usia 35an mulanya dengan tegas menjawab perihal cukai. Betapa jawabannya meragukan saya, ada kemungkinan salah dengar ataukah memang itu yang hendak diutarakannya dalam dialek kental Kediri.

”Bapak mengerti cukai, Pak?”

”Oohh...Ngetan kono Mas (ke Timur sana Mas-penulis)”

”Gimana maksudnya, Pak? Dana Cukai, bapak ngerti?”

”Ohh..gak ngerti. Sing oleh yo karyawan. Selain karyawan wong biasa-biasa ngene yo gak oleh (Yang terima hanya karyawan, orang biasa tidak menerima).”

Pertanyaan yang sama juga lebih banyak diajukan kepada pedagang. Tapi saya mendapat beragam jawaban. Diantaranya, ada yang menunjukkan tempe, ada yang tertawa ngakak, ada yang malah menjawab dengan kata-kata jorok. Intinya sama sekali tak mengerti cukai. Yang dimengerti sebatas setiap tahun menjelang lebaran diantara mereka menerima bagian barang dari pabrik dan hafal jam keluar karyawan pabrik. Karena jam keluar karyawan pabrik adalah harapan rezeki bagi mereka. Mereka merasa beruntung hanya libur pada hari Ahad dalam seminggu.

Setelah mengambil gambar situasi pasar tradisional kami melanjutkan perjalanan. Berhenti disalah satu warung pojok dekat Pabrik Gudang Garam. Pemilik warung bernama Rumini umur sekitar 60 tahunan adalah mantan Karyawan Pabrik Gudang Garam yang memutuskan keluar dari pabrik dengan alasan ingin berjualan. Dalam hitungan ekonomis menurutnya, berjualan lebih menguntungkan dan prospek hidup yang lebih baik pada masa sekitar tahun 1985 an—ketika ia memutuskan untuk keluar. Kini salah seorang anaknya giliran bekerja di pabrik yang sama. Dari pengakuan Rumini hubungan baik pihak pabrik dengan masyarakat lingkungannya di kampung Semampir cukup terjaga. Tiap tahunnya masyarakat sekitar mendapatkan tunjangan hari raya berkisar antara 50 sampai 100 ribu rupiah. Yang berdekatan dengan pabrik setahun sekali menerima 100 ribu sementara yang agak jauh dari lokasi mendapat 50 ribu rupiah. Tentu berbeda jauh dibandingkan karyawan pabrik yang bisa menembus angka lebih dari Rp 4 juta.

Seperti halnya sebagian besar warga perempuan tua Rumini tak tahu menahu perihal cukai. Kami sudahi berbincang setelah minum kopi, makan sepiring nasi dan ngobrol ala kadarnya karena informasi dari Bu Rumini ini beberapa saat lagi jam keluar karyawan pabrik sudah tiba. Maksudnya jam keluar di gerbang paling ramai yang kami incar untuk mengambil gambar. Tempatnya agak jauh dari warung. Kami musti berinisiatif untuk berkendara becak. Tempat persisnya beberapa ratus meter dari pintu pabrik arah sebelah kuburan. Saya lupa nama jalannya. Waktu itu, menurut Bu Rumini jam pulang karyawan pukul 13.00 dan yang paling ramai ada di unit 8. Untuk itu kami bergegas menuju unit 8. Sialnya, ternyata kami salah mendapatkan informasi. Keterangan dari salah seorang penjaga pintu gerbang unit 8, karyawan unit itu baru buyaran jam 16.30 WIB. Tak ingin buang waktu kami mengubah jadwal pengambilan gambar.

Selanjutnya kami menuju Ngadiluwih salah satu kecamatan di Kediri yang terdapat industri rokok kecil atau menengah baik yang legal maupun ilegal. Dengan naik bus kami sampai di Ngadiluwih untuk langsung membuat janji mewawancarai pemilik industri rokok kecil ilegal. Setelah turun bis, saya perlu berkendara motor untuk sampai tujuan. Jam menunjukkan sekitar pukul 14.30. Yang mengejutkan janji yang semula via telepon dengan orang yang dimaksud, mendadak dibatalkan dengan alasan yang bersangkutan tak punya nyali alias takut diwawancarai. Anehnya, Cak Nur—begitu saya harus memanggilnya—musti datang menemui saya menyatakan ketakutannya itu. Sebab itu, kami musti improvisasi mengatur rencana dengan sembunyi-sembunyi. Kamera disembunyikan dan mengambil gambar dari salah satu celah lubang jendela yang tersisa. Sementara saya harus terus memeras otak mendapatkan keterangan darinya dengan menahannya memakai lebih banyak pertanyaan. Maka cukuplah saya mendapatkan informasi darinya.

Diakui Cak Nur, kegiatannya membuat rokok ilegal hanya untuk memenuhi konsumsinya sendiri atau sedikit warga di desanya. Menurutnya dia ingin sekali mengembangkan usahanya tetapi terbentur masalah permodalan. Dia juga sadar bahwa kegiatannya ilegal. Bila ingin legal ia menyimpulkan hal itu berarti menambah biaya modal. Berkali-kali ia menegaskan kegiatannya hanyalah untuk dikonsumsi sendiri. Lebih dari itu, ia menyampaikan kemarahannya karena merasa dirinya menjadi tersangka. Apalagi ia ternyata tahu gambarnya di ambil dari sudut yang tersembunyi. Itu bukti ketakutannya. Itu tanda pengakuan salahnya. Bahkan setelah kami mengakhiri dialog menegangkan itu, Cak Nur tampaknya belum yakin dengan permintaannya yang saya luluskan yaitu agar menghapus gambarnya dari mata kamera. Ia merajuk berulang-ulang dalam hal ini, sampai suaranya mendesis. Tapi sudahlah, waktu sudah berlalu.

Ternyata kami juga ketakutan. Maksudnya takut bakal kehabisan waktu. Sebab itu menjelang sore itu, saya dengan mata kamera meluncur ke desa Kanigoro kecamatan Keras, sekitar tiga kilometer lagi. Berkendara motor, keluar masuk jalan sempit berlubang dan berlumpur. Air masih banyak di sana-sini di tengah jalanan yang sempit. Menerobos kebun tebu. Tujuan saya tak lain perusahaan rokok Kanigoro atau KN. Saya mengatur siasat dengan menghentikan mata kamera sekitar seratus meter dari gerbang pabrik. Maksud saya lobi-lobi dulu sebelum akhirnya bisa wawancara dan mengambil gambar kesibukan karyawan pabrik dengan pekerjaanya melinting rokok. Tapi sial, saya mendapati pabrik sudah tutup sejak sekitar dua jam sebelumnya. Saya hanya sempat berbincang-bincang dengan istri pemilik pabrik yang mengizinkan saya untuk kembali pada hari lain. Dari perempuan itu, saya dapat keterangan jam oprasional perusahaan ternyata hanya sampai jam 14.00. Tak ada jalan lain kecuali menjadwal ulang wawancara pada keesokan harinya. Lalu saya putar haluan. Lewat jalan yang sama.

Satu-satunya pilihan saya musti menunggu Mening—salah satu karyawan Pabrik Gudang-Garam yang musti diwawancara. Ini pilihan bila hendak tak ingin hari ini banyak membuang waktu. Sejam lebih kami menunggu Mening pulang dari pabrik. Rumahnya sederhana dengan banyak sekali perkakas besi peralatan kerja suaminya. Tidak terlalu besar. Tapi bagian dapur dipenuhi perkakas itu. Suaminya bekerja selaku tukang pengebor sumur tanah dan tukang pasang pompa atau mesin penyedot air. Perihal suaminya, saya perlu sedikit ceritakan. Usianya lebih 50 tahun. Ia pernah terserang penyakit jantung gawat dan dirawat di RS Baptis Kediri. Salah satu penyebab penyakitnya karena pria itu pecandu rokok. Ia berobat dengan biaya sendiri, artinya biaya dari hasil gotongroyong saudara sekeluarga. Kini ia tak merokok atas anjuran dokter. Kopi pun tidak. Hebatnya ia bisa lakukan itu semua dan penyakitnya tak pernah kambuh. Hanya darah tingginya saja yang terkadang mengganggu.

Dengan bersepeda, Mening tiba di rumah usai magrib. Kami langsung serbu dan semula, memang perempuan itu enggan. Tapi syukurlah orang biasa ini ternyata lebih punya nyali dibanding pejabat. Ia berani ngomong apa adanya. Banyak sekali informasi yang saya dapat dari Mening. Dengan bahasa Jawa Ngoko dialek Kediri, enteng saja Mening cerita banyak hal yang saya tanyakan. Dari pengakuan Mening terungkap katanya telah ada kebijakan baru di Pabrik Gudang Garam yang kurang menguntungkan karyawan. Mulai awal 2009 pendapatan karyawan menurun. Mening adalah karyawan dengan sistem borongan di bagian linting. Pendapatnya perhari tergantung dari jumlah batang rokok yang dihasilkan. Dengan alasan perbaikan kualitas, secara tidak langsung manajemen Pabrik Gudang Garam mengurangi pendapatan karyawannya. Perbaikan kualitas berdampak pada lamanya proses pembuatan rokok sehingga jumlah batang rokok yang dihasilkan menurun. Sementara mengenai hubungan Pabrik dengan karyawan sebelum diberlakukan kebijakan perbaikan kualitas sebetulnya dianggap sangat baik. Setiap karyawan yang sakit untuk biaya pengobatan ditanggung oleh manajemen, sekalipun di rumah sakit swasta. Lebih dari itu tidak hanya karyawan yang ditanggung. Anggota keluarganya pun jika sedang sakit atau berobat juga ditanggung pabrik biaya kesehatannya. Jika karyawan yang bersangkutan tidak bisa melanjutkan bekerja, manajemen pabrik menawari anggota keluarga lainnya untuk bekerja sebagai pengganti.

Ketika disinggung perihal usaha sampingannya membuat rokok sendiri, Mening terkesan menutup-nutupi. Dengan pengalamannya bekerja di pabrik Gudang Garam tentulah rokok buatannya mempunyai nilai lebih. Setidaknya lebih tangkas. Dari pengakuannya, rokok buatan hanya di bungkus plastik pembungkus obat ( pembungkus obat-obat apotik). Pengerjaan rokok Mening juga sesempatnya saja. Artinya tidak ada target jumlah produksi tertentu. Tetapi jika dilihat dari kemampuannya memproduksi rokok di pabrik yang bisa mencapai 4000 batang perhari dapat dihitung jika dia mengalokasikan waktu sehari untuk membuat rokoknya sendiri. Jika satu bungkus rokok berisi 20 batang dalam sehari dia bisa memproduksi 200 bungkus rokok. Itu hitungan kasar. Benar tidaknya saya tidak tahu.

Berikut ini saya catat dan terjemahkan pengakuan Mening dari hasil perbincangan saya yang aslinya dalam bahasa Jawa Ngoko dialek Kediri.

”Apa yang akhir-akhir ini membuat Mbak Mening tertekan di pabrik?”

”Pengerjaan rokoknya minta lebih bagus dan halus. Dulu dinilai kurang halus. Sekarang hasilnya dikontrol langsung pemilik pabrik. Karena itu sekarang penghasilan saya juga merosot banyak. Semula garapan bisa 2000 sekarang paling Cuma 1500 batang tiap hari. Waktunya habis untuk berhati-hati memperbaiki rokok. Seperti saya ini mandiri linting sendiri, potong sendiri dapatnya sejumlah itu. Kalau yang berpasangan dengan tukang potong bisa 3000 atau 4000 batang perhari. Saban 1000 batang ongkos yang saya terima 18000 karena giling dan potong sendiri. Lek sing giling saja tiap 1000 batang dapat ongkos 12000 dan tukang potongnya 6000.”
”Pilih nyaman yang mana?”

”Sama saja sebetulnya? Hanya saja menurut saya enak giling dan potong ditangani sendiri. Karena tahu situasi rokok garapannya sendiri. Cuma sebetulnya kalau hitung-hitungan serius tentu ada bedanya. Setidaknya kalau hanya giling atau hanya tukang potong tidak terlalu capek. Kalau giling saja bisa mencapai 4000 batang perhari tinggal mengalikan 12000 kali empat, jadinya 48.000. Sekarang pabrik terus kontrol untuk mendapatkan rokok unggulan. Dulu seperti saya bisa sampai 2500 perhari. Tapi sekarang tinggal mengukur kekuatan fisik saja.”

”Menurut Mbak Mening kurang penghasilan sejumlah itu?”

”Ya lumayan sih. Hanya saja sekarang pulang lebih sore dari yang dulu-dulu karena harus dengan hasil yang bagus lintingan rokoknya. Tapi itu tidak hanya bagian giling saja. Bagian pengepresan juga diperlakukan sama harus siku betul tidak boleh seperti dulu-dulu.”
”Apakah dari sisi bahan baku dibatasi?”

”Nggak. Bahan los, bebas. Bahan tergantung kekuatan fisik. Karena itu produk Gudang Garam yang bagus betul kalau sudah diperlakukan demikian.”

”Bagaimana dengan karyawan yang dibawah standar? Ada sanksi?”

”Diperingatkan sampai tiga kali. Kalau tidak berubah istilahnya disekolahkan lagi, perlu diberi pelajaran lagi agar kemampuannya sama dengan rekan-rekannya.”

”Tapi tetap terima gaji?”

”Ya. Hanya saja hitungannya gaji sudah lain.”

”Mbak Mening buruh bagian apa sih?”

”Borongan.”

”Sejak kapan?”

”Tahun 1983. Di atas saya juga banyak yang lebih awal masuk. Saya terhitung belakangan.”

”Jadi rata-rata penghasilan Mbak Mening perhari berapa?”

”Sekitar 40000 dipotong transport harian 4000, ya tinggal 36.000.”

”Terus makan keseharian bagaimana?”

”Kalau makan, tidak saya hitung karena makan saya bawa sendiri. Seperti teman-teman yang lain banyak yang bawa makan sendiri.”

”Pernah ada tidak teman kerja Mbak Mening yang kena sanksi berat?”

”Setahu saya tidak ada. Paling-paling hanya ditegur, diperingatkan supaya garapannya harus bagus. Karena itu teman-teman akhirnya takut dengan sendirinya ketimbang nantin dipaksa tanda tangan lebih baik hati-hati saja.”

”Jadi memang ada sangsinya ya?”

”Sanksinya yaitu tadi, tanda tangan.”

“Habis tandatangan?”

”Lha itu, nggak terus diapakan (tertawa). Aku sih belum tahu benar yang sampai sekolah karena memang berhati-hati betul masing-masing menjaga diri dan lama-lama menyadari.”

”Nggak ada yang minta kenaikan upah setelah dikontrol ketat seperti itu?”

”Pokoknya setiap januari memang upah naik. Hitungan persisnya gak ngerti, tapi ya lumayan banyak.”

”Karyawan yang saling rasan-rasan, ngudoroso, apa yang dibicarakan?”

”Ya hanya takut saja, di sana ada kabar seperti ini, karena itu kalau kerja yang hati-hati. Eh, bagian pres diubek-ubek. Hanya seputar itu, takut diminta tandatangan.”

”Siapa yang ditakuti?”

”Siaran, kabar, suara-suara soal itu makin membuat karyawan ketakutan. Tapi sekarang garapan karyawan memang bagus betul.”

”Dulu kalau tidak salah, rokok-rokok yang jelek boleh dibawa pulang untuk jatah ya? Sekarang?”

”Rokok jatah sekarang tidak ada. Semua tidak dapat. Diganti dengan uang.”

”Berapa duit?”

”Kalau tidak salah karyawan harian itu satu paknya diganti empat ribu sekian. Tapi saya setiap sepuluh batang tigaribu.”

”Kapan dibayarkan?”

”Belum pernah terima. Tapi kabarnya bulan ini terima. Hanya sudah disiarkan akan diganti duit total.”

“Ada nggak karyawan yang protes atau demo?”

”Tidak ada lagi. Gak berani. Sebab dulu ada yang demo bagian filter, terus dirumahkan. Katanya setelah dirumahkan mau dipanggil lagi, tapi kenyataannya sampai sekarang tidak pernah.”

”Berapa orang?”

”Banyak.”

”Dipecat maksudnya?”

”Ya. Bahasanya dirumahkan.”

”Kok sekarang pulangnya sering sore?”

”Ya jam setengah lima. Sebetulnya suruh pulang jam lima tapi teman-teman gak mau. Kalau pulang jam lima, sampai rumah seperti apa jadinya.”

”Berangkatnya?”

”Kalau berangkat seperti biasa jam lima pagi, buka pabrik jam enam kurang”

”Istirahatnya berapa lama?”

”Gak ada istirahat kecuali waktu makan saja. Jadi kalau sistem borongan seperti saya ini istirahatnya kalau makan saja. Karyawan harian istirahat jam 12.”

”Kalau sering nglembur berarti garapan rokok yang dirumah berkurang juga kan?”

”Garapan rumah apa? Kerjaan mana?”

”Oh, rokok buatan itu toh? Itu saya gak begitu.....”

”Yang mana maksudnya Mbak?”

”Kalau soal rokok kualitas jelek, mangapa gak boleh buat jatah karyawan, katanya takutnya dijual lagi atau buat campuran. Rokok-rokok itu kuatirnya dirobeki, atau dijual, kuatirnya dikumpulkan, dirobeki tapi isinya buat campuran lalu dijual lagi.”

”Kalau rokok buatan sampean, untuk dijual atau untuk kalangan sendiri?”

”Buatan saya beli tembakau sendiri, tembakau biasa. Beli di toko-toko.”

“Hasilnya lumayan?”

“Nggak tentu.”

“Jam berapa sih mulai kerja sampingan buat rokok sendiri di rumah?”

“Nggak tentu. Saya nggak terlalu menggantungkan itu. Yang pasti ya duit dari kerja di pabrik. Kalau itu awalnya buat rokok untuk bapak, terus tetangga kadang-kadang beli.”
“Di rumah siapa yang mengerjakan pembuatannya?”

”Hampir tidak ada. Hanya saya. Kalau saya capek yang tidak lagi buat. Yang penting kalau ada yang beli selalu tersedia.”

”Sehari bisa mencapai berapa pak?”

”Saya bisa sepuluh pak. Mulai setengah delapan sampai jam sembilan.”

”Boleh saya beli Mbak? Atau bisa beli dimana?”

”Gak ada Mas. Itu rokok orang kampung, tidak dijual ditoko.”

”Sekarang tidak hendak membuat rokok?”

”Tidak. Capek. Malas.”

”Nanti saya beli.”

”Tapi jangan bilang-bilang, takut saya. Ini kan rahasia. Cara seperti ini sebetulnya melawan pabrik.”

”Jadi sebetulnya sudah tahu itu melawan pabrik?”

”Tapi saya tahu dari yang ada ditoko-toko, rokok putihan. Ada yang dari Tulungagung. Tahunya pernah dibacakan dan yang paling banyak dari Ngunut, Tulungagung. Ya sperti itu, saingannya banyak. Rokok Gudang-Garam itu enak tapi kurang halus.”

”Alatnya darimana Mbak?”

”Beli.”

”Persis seperti alat di pabrik?”

”Lebih bagus. Kalau pabrik itu dari kayu. Sekarang namanya teflon.”

”Berapa untung kalau buat sendiri?”

”Gak ngerti. Yang penting bikin.”

”Satu pak berapa?”

”Seribu limaratus.”

”Isi berapa?”

”empatbelas.”

“Mbak kalau karyawan sakit, dapat jaminan kesehatan apa tidak?

”Ada klinik. Kalau opname di RS Gambiran, DKT, Bhayangkara, Baptis. Soal berapa biayanya ditanggung pabrik. Karyawan tidak tahu menahu. Pokoknya masuk rumah sakit dibiayai pabrik. Kalau suami atau istrinya masuk rumah sakit juga dibayari pabrik, termasuk anak-anaknya.”

”Kok tahu dibiayai pabrik?”

”Askes. Askesnya diberikan rumah sakit terus, ditembusi kepala bagian, terus sudah ada yang mengurus. Kalau saya di rumah sakit ya cuma dikasih surat, terus pulangnya diurusi pabrik.”

”Berapa sih harga alat untuk buat rokok mbak?”

”Berapa ya, di toko sekitar 10 ribu.”

Saya kesulitan untuk mendapat pengetahuan membuat rokok Mening dan alatnya karena selain tempat kerjanya agak jauh, toh Mening hari itu sedang malas. Anehnya, tetangga mening ternyata juga melakukan hal yang serupa—membuat rokok sendiri, meski menurut keterangannya tidak untuk dijual. Rumahnya persis berhadapan dengan kediaman Mening. Namanya Matkur, usianya mungkin telah berkepala enam. Rumahnya gelap. Ia tak keberatan saya minta mempraktekkan. Saya perhatikan, ternyata proses pembuatan rokok manual sangatlah mudah. Prosesnya kali ini agak lama karena saya rewel minta diulang-ulang dan tentu saja Matkur memperlambat kerjanya. Entah mengapa, akhirnya saya terpikir untuk membeli alat itu jauh dari harga di toko-toko. Saya langsung tawarkan uang Rp 25.000 dan tidak keberatan. Setelah cukup pengetahuan, segera saya pamit dan bersiap untuk membeli rokok dari Mening juga sangat mudah dan murah karena memang tidak ada cukainya sekitar Rp 1.500 perpak. Saya mengeluarkan uang Rp 15.000. Satu tas kresek penuh diserahkan saya melalui seorang kurir. Setelah saya hitung, harga itu tidak sama persis Rp 1.500. Jauh dibawah itu. Saya tidak tahu mengapa bisa terjadi seperti ini. Mungkin karena saya telah dianggap saudara oleh Mbak Mening.

Malam kami baru tiba kembali di penginapan di Kediri.

***

JUMAT, 20 Pebruari 2009 pagi, sebagaimana rencana semalam, kami bermaksud nyanggong nara sumber penting: Kepala Bappeko Kediri. Apalagi inisiatif joyo untuk kembali minta bantuan Gondrong( bukan nama sebenarnya) sebagai orang dekat kepala Bappeko, ternyata tak mendapat respon dari Gondrong. Gondrong tegas tak bersedia membantu, meski ia tahu keberadaan narasumber yang dimaksud. Sialnya, lagi, Pujiandi pagi-pagi sekali muncul dan mengajak saya pribadi untuk dengan alasan melobi narasumber orang panitia anggaran, tanpa satupun kru film lainnya.

Sungguh di luar dugaan, selama kurang lebih 3 jam saya terjebak dalam urusan yang diluar kesiapan saya lahir dan batin: Saya dilibatkan dalam penyelesaian masalah perceraian keluarga dari orang yang menjadi penghubung ke nara sumber di panitia anggaran, dimana Pujiandi dipercaya selaku pengacaranya. Saya sama sekali tak punya suara kecuali satu suara memprotes keterlibatan saya di urusan perceraian dan membuang waktu penggarapan film. Tapi protes saya berlangsung sesudah berjam-jam kemudian. Saya katakan narasumber panitia anggaran tidak penting hari ini (maksudnya bisa pada bukan hari kerja). Lalu saya memisahkan diri untuk nyanggong nara sumber penting dari Bappeko.

Setelah nyanggong berjam-jam karena tak mau luput, akhirnya didapat keterangan narasumber itu ada. Saya harus melobi, termasuk dengan strategi andalan: menipu. Mula-mula saya melobi orang dekatnya—lama sekali saya bicara dan tentu saja menipu—dan lama juga baru saya tahu bahwa orang ini ternyata bisu tuli. Alternatif kedua, main selonong masuk dengan senjata ”salah sendiri pasang orang bisu depan pintu!” Kami bertiga: saya, kameramen, dan seorang yang saya pasang untuk alasan koran mitra perusahaan media TV CeRCS memang diterima masuk tapi tak segara diajak bicara. Kepala Bappeko itu, pilih berbicara proyek dengan rekan-rekan mitranya. Baru menerima pembicaraan saya setelah saya juga bicara ”proyek” yang melibatkan pribadi Kepala Bappeko. Maka lobi-lobi dan tipuan membuat wawancara akhirnya lancar. Di akhir wawancara, saya dimintanya untuk tetap duduk di ruangan dan meja kerja Kepala Bappeko. Saya menolak dan pilih tunggu data di luar ruang. Saya menolak karena saya takut diberi uang. Saya takut, tidak bisa menolak karena ini tidak berurusan dengan saya saja.

Sekeluar dari ruangan, saya bersyukur karena bakal ada titik terang dalam penggarapan film dokumenter (itu menurut pendapat pribadi saya). Sekeluar dari ruangan itu pula, saya memfokuskan pada pengambilan gambar yang tidak boleh luput dari skenario film, dan tidak bisa tidak harus ada. Gambar-gambar yang lain bisa dilakukan pengambilan disela itu dan bisa digunakan strategi lain pengungkapannya. Sampai menjelang sore, kami bersikukuh untuk mendapatkan gambar di gerbang terbesar pintu keluar pabrik gudang-garam dan hiruk pikuknya. Di sela-sela itu, sepanjang sore saya terus menjalin kontak dengan kawan-kawan wartawan di Surabaya maupun Jakarta untuk memperoleh akses masuk ke Kantor Bea dan Cukai berikut rumus-rumus kemudahan mengakses informasi di dalamnya. Sasarannya tentu saja, Kepala Bea Cukai Kediri karena saya tahu, sebagaimana watak pejabat birokrat yang jikapun berani bicara mereka adalah pucuk-pucuk pimpinannya. Itupun lebih banyak yang nggak mau ngomong ketimbang yang bersedia. Syukurlah, saya berhasil mendapat jalan orang dalam di kantor bea cukai, yang dengan senang hati sudi memberikan nomor kontak langsung ke Kepala Bea Cukai.

Selama dua hari, semenjak itu, saya melobi Kepala Bea Cukai melalui telepon, karena mustahil hari itu, apalagi sabtu atau minggu untuk wawancara. Lobi itu berhasil dengan kesediaannya wawancara, yang saya yakin bisa ditembus meski tanpa prosedur resmi sebagaimana yang diakehendaki (waktu tak memungkinkan untuk cara ini). Lagi saya bisa agak mengelus dada. Lagi-lagi saya mengandalkan cara menipu untuk menyakinkan narasumber dan menyakinkan saya sendiri menggali data. Saya katakan kami kru dari Surabaya akan kembali ke Kediri pada hari Senin pagi untuk wawancara. Jumat malam, saya mensiasati kesulitan menembus narasumber Dinas Kesehatan yang semula sudah dioutline oleh Joyo ditangani Pujiandi. Saya kesulitan dan perlunya mensiasati hal itu lebih karena hitungan waktu. Dari penginapan, malam itu, melalui HP saya bisa mengakses Kepala Puskesmas Kec Semen yang tentu saja menolak tegas wawancara, apalagi bertatap muka, tapi saya harus ”mencuri” datanya atau pengakuannya perihal dana bagi hasil tembakau meskipun sedikit. Tentu saya sisa waktu malam yang ada, untuk perencanaan, berpikir dan mempertimbangkan kemungkinan alur. Menurut rencana, esoknya mengambil gambar-gambar pendukung yang kurang dan melunasi janji wawancara dengan perusahaan rokok KN dan aktivitas pabriknya. Apalagi, sejauh ini tidak ada pilihan lain yang artinya harus lunas.

Saya kuras pikiran dan perasaan saya dari bayang-bayang sepak terjang Pujiandi hingga berhasil bersih bersamaan dengan suara adzan Sholat Jumat. Karena itu, begitu sholat Jumat usai, saya yakinkan kawan-kawan juga untuk fokus di kantor Bappeko Kediri. Untuk mengatur siasatpun entah mengapa saya berpikir sebaiknya dilakukan di kantor itu saja. Yang penting berangkat dulu. Dari penginapan kantor itu kurang lebih berjarak satu setengah kilometer. Cukup berkendara becak saja. Saya berpikir sejenak di muka gerbang kantor Bappeko. Berpikir sekadar mengatur strategi. Kurang lebih hasilnya, saya masuk lebih dulu, didampingi seorang yang kurancang untuk mengaku dari koran Surabaya Post. Baru membelakangi saya yang selalu siap adalah mata kamera. Hasilnya cukup jitu. Kami berhasil masuk dan tidak kesulitan mendapat izin bertemu dengan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Kediri, Bambang Basuki Hanugrah. Waktu itu yang bersangkutan sedang menerima tamu atau mungkin sedang menjalankan tugasnya memberi pengarahan kepada anak buahnya, barangkali juga rekanannya. Namun yang jelas yang bersangkutan tengah berbicara tentang proyek. Setelah dipersilakan duduk saya nylonong saya melempar satu dua pernyataan yang mulanya diacuhkan.

”Kami dari media TV swasta dan koran, Pak. Kami datang untuk membuat liputan khusus soal alur jalur dana bagi hasil cukai tembakau.”

”Tahun berapa? Tahun 2009 belum masuk. Tahun 2008 nanti tinggal saya beri kopi datanya.”

Setelah meminta stafnya menyiapkan copy data, lantas yang bersangkutan acuh tak acuh dan kembali pada keasyikan dengan tamunya. Tentu saya, saya agak kawatir dengan keadaan ini. Lantas saya kumpulkan keberanian untuk berbicara lebih lantang untuk mengajukan pertayaan yang serupa.

”Sudah ada masukan dari masyarakat atau belum, Pak?”

”Yang jelas kita ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Keuangan.” tampaknya yang bersangkutan mulai agak terbuka. ”Jadi mengenai usulan masyarakat, sekarang masih tahap usulan mulai 3 sampai 27 Pebruari masih usulan baru kemudian disurvey. Kita jelaskan dapat cukai sekian 2009, kemudian usulan Menkeu kegiatannya harus begini. Silakan kalau ada input.”

”Jadi pijakannya tahun 2009 tetap tetap Permenkeu? Kenapa tidak ada otonomi?”

”Cukai itu tidak ada otonomi. Sudah diatur untuk keperluan ini dan itu. Cukai itu tidak pernah ada otonominya, karena diatur oleh pusat. Bahkan kalau tidak sesuai nanti kita harus mengembalikan dana itu. Ya, alasannya tidak ada kegiatan lagi. Seperti contohnya, pemberdayaan petani tembakau. Di Kediri tidak ada lahan tembakau, ya akhirnya dana untuk itu dikembalikan. Kalau dipakai lainnya kita kena sanksi BPK.”

”Jadi tidak musti terpenuhi semua ketentuan Permenkeu nomor 84 tahun 2008 itu?”

”Utamanya pemberdayaan tembakau, banyak seperti itu. Item-item yang lain tidak masalah.”

“Pengembaliannya langsung ke pusat?”

“Ya. Tidak ke daerah.”

“Serius, selama ini ada pengalaman mengembalikan dana ke pusat?”

”Bukan hanya pengalaman. Ini nyata.”

“Berapa kurang lebihnya?”

“Sekitar 10 persen dari 9 miliar. Sekitar 800 jutalah.”

”Soal angka-angkanya juga ditentukan pusat?”

”Cuma dari spek program yang ditentukan itu, yang tidak kita serap itu program tembakau itu, karena kita gak punya.”

”Kegiatan yang lain bagaimana?”

”Kalau kegiatan ditentukan. Seperti menanggulangi akibar merokok. Impoten, mandul, kanker, jantung, ibu hamil dan lain sebagainya. Pokoknya terkait dengan itu.”

”Sampai berapa persen terserap ke sana?”

”Sekitar 60 persen. Untuk RSU Gambiran. Jadi, obat-obatan ISPA, dan alat-alat yang sudah dibeli oleh pihak RS. Pertanyaannya kalau tahun 2008 sudah beli, masak tahun 2009 mau beli lagi? Ya, rugi. Sementara permenkeunya tetap dan tidak ada otonomi. Mestinya lebih baik dananya untuk kesejahteraan masyarakat Kediri. Bisa masalah kesehatan, masalah infrastruktur dan macam-macam.”

”Secara umum menurut saya dari Permenkeu itu ada dua hal pokok. Masalah kesehatan dan industri rokok. Bagaimana menurut Anda?”

”Ini namanya ambivalen. Yang satu kita menghambat orang merokok, yang satu lagi kita menggunakan dana bagi hasil cukai tembakau. Contoh, dana cukai ini dipergunakan untuk sosialisasi bahaya rokok. Yang satu menggunakan dana cukai untuk memerangi perusahaan rokok yang memberi dana cukai.”

”Berkaitan dengan itu, apa kritik terhadap Menkeu?”

”Banyak. Contoh lagi, menteri mengeluarkan aturan khusus untuk pabrik rokok minimal luas lahannya 200 meterpersegi. Sekitar 22 usaha rokok kecil di sini rata-rata industri rumahan, gak sampai 200 meterpersegi. Untuk masalah ini saya mencoba tawarkan dengan dana bagi hasil cukai ini, bagaimana kalau misalnya dibangun pusat pabrik rokok? Bisa nggak? Ini tidak termasuk dalam skema permenkeu, tapi kita menjaga supaya pabrik rokok gak gulung tikar karena 2011 kalau tidak memenuhi itu tutup. Ada 22 pabrik rokok itu hampir 140-150 karyawan. Jadi bisa makin banyak pengangguran.”

”Mengapa nggak mengarah ke kesejahteraan masyarakat saja ya?”

”APBD Kota Kediri untuk yang tersedia belanja langsung, bukan belanja negara itu cuma 200 miliar. Itu untuk membiayai infrastruktur di Kota Kediri. Selain untuk kesehatan, pendidikan, ekonomi itu kurang. Diharapkan dengan adanya dana bagi hasil cukai yang tahun 2009 ini kita dapat 41 miliar rupiah, kalau tidak dibatasi permenkeu itu kita akan bisa membantu kesejahteraan, untuk menggerakkan roda ekonomi di kota kan lumayan. Terutama infrastuktur pendidikan, lebih mengerucut lagi untuk peningkatan mutu. Pendidikan dasar rata-rata kita masih tingkat SMP. Kita pingin nanti itu SMA dan ini butuh dana banyak. Kalau filosofisnya permenkeu itu kan hanya terkait dengan rokok. Padahal itu kan salah satu sektor penanggulangan pemerintah. Yang namanya kegiatan masyarakat miskin di luar BLT ini ada sekitar dua kali lipat. Ini yang ada di BLT sekitar 10 ribu dari 65 ribu KK ini sudah di back-up oleh askeskin pemerintah pusat. Diatasnya lagi ada 11 ribu KK, itu kalo itungan jiwa 49 ribu. Nah untuk menjamin kesehatan ini, uang APBD tiap tahun itu hampir 16 miliar dan kurang. Apalagi untuk masalah kesehatan penyakit yang perlu tindak lanjut.”

”Selama ini berapa persen untuk kesehatan bagi penderita sakit dampak rokok?”

”Saya ndak tahu. Yang jelas pemerintah daerah untuk merehabilitasi kegiatan masyarakat diatas orang yang menerima askeskin juga tinggi.”

”Usul anda terkait dengan implementasinya bagaimana?”

”Gak usahlah di dalam dana perimbangan. Uang itu kan dari pemerintah pusat. Ada DAU, ada DAK, ada dana bagai hasil cukai tembakau. Ini langsung masukkan DAU saja semua beres. Ngapain sulit-sulit. Untuk dana bagi hasil cukai tembakau kita 41 untuk 2009, masukan aja ke DAU kita yang 450 itu, akhirnya jadi 500 selesai.”

“Dari peraturan perundangannya bagaimana? Melalui dewan atau..?

”Tidak usah. Itu kebijakan. Makanya saya bilang untuk cukai gak ada otonomi.”

”Ada gak kesempatan pejabat-pejabat daerah memberi masukan ke pusat?”

”Berkali-kali. Sosialisasi oleh Menkeu sudah saya sampaikan.”

”Melihat fakta seperti ini, untuk 2009 sepertinya masih belum bergerak, betul Pak?”

”Kalau permenkeunya belum dicabut, ya sama saja. Pemerintah daerah pesimis. Karena Kota Kediri sangat kesulitan melaksanakan kalau dibatasi 5 program itu.”

”Jumlah 41 M itu untuk Kota Kediri saja atau bagaimana?”

”Kediri kota. Kabupaten dapat 40 M. Daerah lain dapat 1 M, 500 juta gak bingung, kita dapat 41 M bingung. Dibuat proyek fisik, keluarnya dana cukai itu bulan April, PAK tidak selesai. Yang betul saja. Kalau DAU bulan Oktober sudah keluar. Kita baru menata kegiatan itu baru bulan Mei, mau buat fisik buat klinik akibat rokok di dekat industri, boleh, tetapi kita lihat, Mei diajukan didok Agustus, tidak selesai proyeknya. Tidak selesai mau apa sekarang? Kalu 41 M dibuat proyek non fisik semua, gak habis, sosialisasi, kunjungan kerja, studi banding ke pabrik rokok di Malaysia yang kadar nikotinnya rendah, gak bakal habis.”

”Jadi poinnya pada pesan regulasi terkait dana cukai itu?”

”Saya harapkan dana cukai tidak sesempit itu penggunaannya.”

Keluar dari gedung Bappeko, rasa percaya diri saya mulai tumbuh kian menghebat. Seolah-olah saya sudah punya bekal untuk melakukan analisa kiri kanan. Pikiran menjadi lebih enjoy. Karena itu, berikutnya menjadi lebih fokus. Sekitar pukul 2.30 WIB, kami berangkat ke unit 8 menunggu jam kerja pulang dan mengambil gambar yang dihari sebelumnya batal di ambil. Saya yakinkan teman-teman sebaiknya menunggu ketimbang momennya luput. Saya banyak menghabiskan waktu memutar ulang isi pikiran saya. Dengan duduk santai di bawah pohon rindang persis depan gerbang pabrik, saya mereka-reka kritik, gagasan dan lain sebagainya. Sementara kawan-kawan yang lain menunggu sisanya menyisir pasar di sebelah pabrik. Menurut informasi, pasar baru ini adalah pasar yang seluruh pedagangnya relokasi dari pasar tradisional yang lain di sekitar pabrik. Berada di tempat ini sampai menjelang magrib. Betul ternyata jumlah karyawannya luar biasa membludak. Belum lagi pemandangan yang tak kalah asyiknya adalah warga penjemput yang bergerombol persis di seberang jalan menghadap gerbang pabrik di unit 8. Saya menyempatkan menyantap jajanan anak-anak penthol yang luar biasa laris.

***

KAMI menjadi lebih terbuka untuk saling berbagi. Malam hari di penginapan saya pun bertutur tentang diri saya. Saya ceritakan pengalaman saya yang pernah bekerja sebagai wartawan di harian Surya, dan menjadi redaktur di koran Duta Masyarakat karena pengalaman jurnalistik yang lebih empat tahun sekiranya layaklah untuk menjadi redaktur. Saya mengakhirnya karena ketidaksesuaian di koran-koran yang ”setengah” prefesional itu. Semisal terkait target iklan, karena iklan itu ada di tiap halaman maka yang ditarget iklan termasuk juga redakturnya. Selama sekian bulan tidak ada pemasukan, berarti lampu kuning. Saya merasa tidak mampu, karena tidak punya pengalaman bidang periklanan. Pengalaman saya adalah pengalaman lapangan, jurnalistik. Setelah saya keluar, saya memulai untuk berkomitmen di bidang kepenulisan. Kepenulisan dalam hal ini sastra. Setiap kali keluar kerja, komitmen saya untuk menulis sastra semakin kian tinggi.

Saya menulis novel Tanah Api tahun 2004. Persis sekeluar dari Surya. Terbit tahun 2005 oleh penerbit LkiS. Bersamaan dengan itu naskah saya yang lain juga diterbitkan koran Surabaya Post secara bersambung. Judulnya Tak Sempat Dikubur, kurang lebih selama 4 bulan. Prosesnya saya dihubungi oleh penanggungjawab halaman seni, namanya Cak Gimo dan sejak itu muncul tiap hari bermula persis sehari sebelum ulang tahun kelahiran saya. Honornya seingat saya hanya satu setengah juta dibayar dua kali. Waktu itu uang sangat penting bagi saya, jadi saya terima tawarannya. Saya harus akui boleh jadi sebelum itu, uang bukanlah hal yang penting karena sejak mula bagi saya yang benar-benar penting adalah persoalan kegelisahan kreatif.

Terus terang yang menginspirasi untuk hidup lebih hidup ya kegelisahan proses kreatif itu. Salah satunya. Takdir berikutnya membawa saya harus berada di CeRCS, Center for Religious and Community Studies. Sebagai lembaga yang punya misi mengembangkan pendidikan alternatif, atau memberdayakan pendidikan alternative untuk masyarakat sepertinya cocok buat saya. Sampai detik ini saya belum lama di sini dan merasa nyaman. Apalagi, yang menyeret saya adalah direktur lembaga itu sendiri. Saya baru setengah tahun sampai catatan ini dibuat. Saya merasa percaya diri karena itu. Bahwa ada sinyal yang memberikan kesempatan proses kreatif terkait dengan misi di CeRCS. Karena itu yang banyak saya lakukan di CeRCS ya yang berkaitan dengan proses kreatif. Dalam hal ini karena latar belakang saya, memang respect terhadap masalah-masalah seni dan kebudayaan. Jadi proses kreatif dalam pengertian seni dan budaya.

Saya tetap menulis. Karena jauh sebelumnya memang kegelisahan menulis itu tidak terhambat dengan segala macam, termasuk pekerjaan di CeRCS. Saya perlu ceritakan ada beberapa novel yang saya tulis sebelum masuk di CeRCS maupun selama masuk di CeRCS dan sekarang sudah masuk ke penerbit. Mudah-mudahan segera terbit. Dalam hal yang berkaitan langsung dengan CeRCS, berkaitan dengan seni dan budaya, salah satunya adalah menulis untuk keperluan publikasi terkait dengan misinya. Saya tidak bisa membayangkan setiap yang punya gagasan andai tak bisa menulis. Tentu saja tulisan-tulisan yang saya pilih adalah tulisan-tulisan yang berkarakter persoalan kesenian dan kebudayaan dan keperluan publikasi itu. Tergantung wilayah garapannya dan wilayah garapan yang pertama kali disodorkan kepada saya adalah masalah, kawasan tanpa rokok dan terbatas merokok. Kemudian bentuk yang lain yang saya tawarkan adalah pentingnya menawarkan pekerjaan kreatif seni teater. Salah satu garapan saya yang memperkuat pendalaman bidang kajian rokok adalah monolog drama Racun Tembakau, adaptasi bebas dari karya Anton Chekov.

Lantas apakah terkait dengan dunia akademis, dimana saya adalah jebolan Sastra Indonesia? Mungkin ya, mungkin tidak. Mungkin juga tidak terlalu penting untuk disingkap. Dalam arti, ya kalau berkaitan langsung dengan sastra, studi sastra, teori sastra dansebagainya mungkin tidak ada hubungannya. Akan tetapi dalam pengertian kebudayaan, sangat bersentuhan. Kebudayaan dalam pengertian setiap yang menawarkan gagasan untuk tujuan-tujuan dinamika masyarakat. Karena pengertian kebudayaan kan lebih mengarah kepada bagaimana masyarakat itu dinamis, punya proses yang bertanggungjawab baik secara horisontal maupun vertikal. Saya masuk lewat jalur itu, lewat kebudayaan itu di CeRCS dan CeRCS tanggap. Tanggap dalam arti memberi peluang. Terkait dengan proyek kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas rokok, saya tetap pada garis kebudayaan itu. Kalau misalnya saya masuk ke wilayah hukum secara teknis tidak mungkin. Atau masuk ke wilayah gerakan dalam pengertian gerakan sosial juga tidak mungkin. Saya tetap konsentrasi pada masalah kebudayaan, dalam arti gagasan-gagasan kebudayaan pada kawasan tanpa rokok dan terbatas merokok itu. Salah satu konkretnya adalah teater Racun Tembakau itu.

Pendek kata persoalan kawasan tanpa rokok dan terbatas merokok itu tidak secara langsung berpengaruh atau berkaitan dengan pandangan dunia saya karena wilayahnya sudah ada sendiri. Wilayah itu ada pada regulasi dan itu sudah ada orang yang bertanggungjawab atau sudah ada lembaga yang yang menangani. Lha, wilayah saya adalah wilayah pada gagasan-gagasannya, atau mungkin wilayah yang sifatnya tidak to the point, mungkin mengambil sisi kemanusiaanya, atau spirit dari advokasi kawasan tanpa rokok itu. Makanya saya, contohkan yang saya tawarkan dalam naskah Racun Tembakau itu. Nah, yang berkaitan dengan persoalan tembakau, persoalan pabrik rokok, dana cukai dan sebagainya saya pun tetap berpegang pada pandangan dunia seni dan budaya itu. Itu butuh pencarian yang tidak gampang. Butuh proses yang tidak mudah untuk menangkap spirit yang mengarah pada pandangan dunia itu tadi, pandangan dunia kebudayaan itu.

Kendati demikian saya penting untuk tahu, dan kemudian membagi pengetahuan perihal tembakau. Bahwa dana cukai tembakau itu regulasi dari pemerintah. Ada UU Cukai Nomor 39 Tahun 2007. Pengertian cukai itusemacam pajak, tetapi dibayar oleh konsumen. Jadi sebetulnya bukan pajak. Lha ini banyak diistilahkan sebagai pajak penebus dosa. Kenapa pajak penebus dosa? Karena cukai dibebankan kepada konsumen terhadap pembelian barang-barang tertentu yang oleh negara dibatasi batasi peredarannya maupun penggunaannya. Misalnya tembakau, karena mengandung nikotin, etanol dan minuman keras karena mengandung alkohol. Subtansi cukai untuk menekan penggunaannya oleh masyarakat dan untuk menekan peredarannya di masyarakat.

Sebetulnya problem cukai itu lebih besar dalam tembakau, karena cukai terhadap minuman keras dan etanol tidak banyak masalah. Fungsi cukai dalam hal dua peredaran barang ini cukup efektif. Tapi untuk cukai pada tembakau ini persoalanya menjadi sangat komplek. Sebaliknya pada cukai rokok lebih komplek karena di satu sisi sebagai sebagai pajak penebus dosa, di sisi lain jumlah peroleha cukai tembakau itu sangat besar. Jumlah yang besar ini tentu mengundang kompleksitas penggunaannya kepada yang berhak. Menjadi soal karena regulasinya menyangkut problem-problem itu. Tentu ada pro dan kontra, ada yang kontroversial, ada yang bisa bermain dan yang tidak bisa bermain. Utamanya, regulasi sebagaimana dalam ketentuan Permenkeu Nomor 84 Tahun 2008 itu. Pertama, masalah ada di daerah menyusul regulasi itu. Kedua, banyak masalah kritis yang bersentuhan dengan regulasi itu mengingat regulasinya berawal dari filosofi cukai yang agak abu-abu sehingga juga berpengaruh pada implementasi di lapangan, penafsiran di daerah, maupun pada pemahaman masyarakat dalam hal ini masyarakat yang kritis.

Sederhananya, masalah cukai itu secara filosofis regulasinya sudah bermasalah. Karena bermasalah, dalam pengertian implementasinya juga menimbulkan masalah di lapangan. Masalah-masalah di lapangan, karena secara substansi duit cukai ini bukan duit pajak—bukan duit pemerintah. Artinya itu adalah duit dari konsumen sehingga tentu saja yang paling berpotensi untuk mempersoalkan adalah masyarakat. Dengan bahasa lain, kalau mau jujur, duit cukai itu duitnya masyarakat. Hanya persoalannya masyarakat yang mana? Itu yang wilayah-wilayah tafsirnya bisa dianalisa atau dibawa kemana-mana. Masyarakat mana? Boleh jadi masyarakat perokok atau masyarakat yang menerima resiko asap rokok atau menjadi korban dari asap rokok. Bisa jadi seperti itu karena memang cukai dibayar oleh perokok. Atau bisa jadi masyarakat dalam pengertian yang lebih luas. Jadi mungkin masyarakat miskin. Bisa jadi seperti itu.

Nah, justru itu persoalannya berawal dari regulasi itu. Kalau diterapkan betul sesuai dengan regulasi itu tidak ada masalah. Regulasinya pusat sudah jelas, dan daerah tinggal mengalokasikan sesuai item-itemnya dan itu sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Akan tetapi kembali pada temuan di lapangan, ternyata banyak yang mempersoalkan bermula dari regulasi itu sehingga daerah yang semula punya spirit untuk mengalokasikan dana itu demi kepentingan kepentingan daerah malah kesulitan. Kesulitan karena tidak punya nyali untuk untuk menerjemahkan lain. Pemerintah daerah tidak berani untuk menggunakan alokasi dana itu selain dari kepentingan kepentingan apa namanya lima item itu. Secara formal begitu. Kalau secara terapannya di lapangan itu mungkin itu agak ada kemungkinan-kemungkinan lain seperti penyiasatan dan sebagainya.

Hal itulah yang menjadi persoalan utama utama setidaknya untuk saat ini. Pemerintah daerah sudah jelas baik secara analisa maupun fakta di lapangan punya kegelisahan itu. Punya kegelisahan mengimplementasikan itu, tetapi terbentur oleh regulasi. Karena itu, masyarakatlah yang mustinya berperan untuk melakukan pendidikan-pendidikan yang sifatnya alternatif demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pengalaman kemunculan dana cukai itu juga tak lepas dari tekanan dari masyarakat. Jadi cukai yang semula tahun 2008 untuk nasional jumlahnya Rp 200 miliar, tahun 2009 kemudian tiba-tiba menjadi Rp 960 miliar. Lompatan jumlah yang luar biasa ini juga karena pressure masyarakat yang kritis dengan beragam cara dan strategi. Karena itu berikutnya, implementasinya harus tetap dikontrol. Artinya harus tetap berfungsi yang namanya pressure, fungsi kontrol dan pendidikan alternatif. Ini hal penting.

Persoalannya, fakta di lapangan itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah, penyadaran di masyarakat bawah tidak terjadi. Saya tidak tahu persis persoalannya, mengapa masyarakat tidak tahu perihal cukai. Itu persoalan mendasar. Kalau cukai saja tidak tahu, bagaimana bisa memulai sebuah penyadaran atau pendidikan kepada masyarakat bahwa masyarakat miskin sebenarnya berhak atas itu. Setidaknya begitu untuk saat ini. Saya telah melihat fakta awal di lapangan, kemudian melakukan riset sementara, setidaknya untuk data mula, apa kira-kira nantinya yang bisa dilakukan untuk kepentingan warga masyarakat. Untuk konkretnya belum terejawantah, belum terwujud. Akan tetapi gambaran-gambarannya kurang lebih setidaknya kita sudah punya pengalaman untuk memberikan pendidikan alternatif dalam pengertian kebudayaan itu tadi.

Mengapa Kediri? Ini pertanyaan penting. Wilayah garapan Kediri tentu mencakup Kota Kediri dan Kediri Kabupaten. Dua-duanya menarik karena termasuk penerima cukai tertinggi Rp 41 miliar dan Rp 40 miliar. Tentu ini sangat ironis bila cukainya tertinggi terus tingkat persoalannya juga sangat tinggi dari hulu maupun hilir. Persoalan yang menyangkut sisi regulasinya maupun masyarakatnya. Masyarakat banyak yang tidak tahu karena lebih konsentrasi pada kehidupan sehari-hari dan tetap miskin. Dugaan saya mungkin juga bukan hanya masyarakat yang tidak tahu, melainkan pejabat-pejabat juga banyak yang tidak tahu perihal cukai. Ambillah contoh misalnya, orang orang puskesmas yang bersentuhan langsung dengan Dinas Kesehatan. Mestinya berdasarkan Permenkeu Nomor 84 Tahun 2007 Dinas Kesehatan bersentuhan langsung dengan dana cukai itu. Namun faktanya ada pejabat puskesmas yang tidak tahu bahwa itu sebetulnya adalah haknya setidaknya berdasarkan permenkeu itu. Informasi dari sumber. Waktu itu, sumber tadi saya tanya, apakah Puskesmas menerima dana cukai untuk pengobatan penyakit akibat merokok? Ternyata menurut sumber itu Puskesmas tidak tarima. Dikatakannya itu kebijakan Pemda atas usulan dinas. Saya malah tidak tahu kabar selanjutnya.

Mustinya atas ketidaktahuan itu menjadi pertanyaan penting bagi saya. Betapa sedemikian akutnya permasalahan itu. Karna itu saya sampaikan niatan untuk wawancara menggali persoalan itu atau setidaknya untuk memberikan penyadaran berdasarkan Permenkeu bahwa Puskesmas harus menerima. Sayang pejabat yang terkait atau sumber tadi menolak untuk di wawancara. Melalui SMS ia menjawab: Maaf kalo soal itu saya gak bisa bantu. Saya gak ngerti sama sekali. Ke dinas saja, atau ke humas. Itu baru tepat, maaf ya.” Data awal dari Puskesmas ini saya kira cukup untuk melangkah lebih maju dari asumsi, bahwa ternyata ada masalah dengan Dinas Kesehatan terkait pembagian dana bagi hasil tembakau. Ditambah lagi hasil kroscek ke Bappeko Kota Kediri, lebih dari cukup keterangan. Dari situ didapat data resmi aliran atau alur dana cukai pada tahu 2008. Memang melihat jumlah angka-angkanya sesuai dengan data yang tersimpan di kementrian keuangan dan beredar di Internet.

Dari data itu benar memang tidak mendetil, apakah dana tersebut juga masuk ke puskesmas-puskesmas dan sebagainya. Masuk ke Dinas Kesehatan, Dinas Perdagangan, terus Lingkungan Hidup, Bagian Humas, Satpol PP, Disnaker, Bagian Pembangunan, dan sebagainya. Ini untuk wilayah kota. Yang terbesar di sini disebutkan tahun 2008 untuk peningkatan penanganan pasien penyakit akibat tembakau atau rokok. Jumlahnya 4,5 milyar. Ini diberikan kepada RSUD Gambiran. Untuk tahun 2009, dari informasi Kepala Bappeko Kediri belum ada sama sekali dan masih dibicarakan alur dana itu nantinya. Kalau konsisten untuk menangani penyakit akibat merokok, puskesmas mustinya terima dana terlebih sasarannya orang miskin. Penyakit akibat merokok sangat mungkin terjadi di masyarakat wilayah puskesmas tertentu. Dengan demikian apakah perlu dijelaskan sedetil mungkin dana cukai untuk departemen kesehatan itu untuk pengidap penyakit akibat merokok? Artinya, bisa juga sebetulnya dana itu lebih diarahkan kepada warga miskin dan tidak spesifik kepada masyarakat perokok. Makanya menurut Kepala Beppeko Kediri Permenkeu itu sangat ambivalen antara garis besar yang berkaitan dengan Dinas Kesehatan dan Industri Rokok.

Memang Permenkeu 84 Tahun 2008 dan Nomor 20 Tahun 2009 secara umum menyangkut Dinas Kesehatan dan Industri Rokok. Itu perbandingan yang agak susah apalagi itemnya pun tak berimbang. Semisal soal aktivitas kecil masyarakat untuk memproduksi rokok ilegal, secara terbatas, itupun adalah efek domino dari permasalahan komplek. Yaitu, masalah kemiskinan, soal ketiadapastian hukum, termasuk dari regulasi rokok itu. Sulitnya menyangkut hal itu. Artinya, itulah adanya fakta dan siapa yang bertanggung jawab atas fakta-fakta itu. Orangnya sudah jelas. Harus diakui, yang terjadi di lapangan semuanya menjadi masuk akal, mereka memproduksi untuk kepentingannya sendiri, untuk sedikit menambah rezeki keluarganya. Tapi faktanya seperti itu padahal itu sebetulnya masalah pelik dan komplek. Karena itu dari sisi ini, menurut saya, ada sesuatu yang misterius. Misterinya bukan pada masyarakat itu karena masyarakat malah ketakutan. Kenyataannya mereka melakukan itu sembunyi-sembuni dan takut. Lantas misterinya dimana? Misterinya di luar mereka, ada pada ketidakjelasan itu tadi. Ada apa? Mengapa diisukan atau diinformasikan di Kediri tidak ada penggerebekan cukai ilegal, sementara faktanya ada?

Keseluruhan wilayah regulasi dan implementasinya itu ada pada kebijakan pemerintah. Masyarakat yang kritis, yang respek terhadap masalah dana cukai hanya memberikan pressure, tekanan, kritik pada pemerintah. Salah satu usulan masyarakat kritis terkait dengan rokok dan permasalahannya adalah dengan mengajukan RUU Dampak Pengendalian Tembakau. Pemerintah diminta menaikkan cukai rokok hingga 65 persen. Diharapkan dengan menaikan 65 persen nanti efek dominonya sangat bagus termasuk di dalamnya mengarah kepada kesejahteraan masyarakat miskin. Prakteknya bagaimana? Itu belum bisa di bayangkan karena belum berlaku. Tetapi semangat demi kesejahteraan masyarakat kecil itu nanti termasuk berdampak pada kurangnya praktek-praktek ilegal yang ada di masyarakat. Logika dasarnya dengan naik sampai 65 persen, pemakai rokok tidak akan turun. Justru dengan harga naik, tapi pemakai rokok hanya yang mampu saja. Asumsinya 65 persen akan menambah pendapatan negara dan pendapatan negara dari cukai itu bisa dialokasikan untuk kepentingan masyarakat kecil. Tinggal mengatur prosentasenya saja untuk masyarakat miskin.

Cukai itu penting selama regulasinya jelas. Masalahnya sekarang cukai itu penting tetapi regulasinya abu-abu. Fakta di lapangan menunjukkan itu. Saya termasuk yang berpendapat seperti itu dan hal itu pula yang membuat saya bergairah. Dengan kata lain yang membuat saya bergairah adalah inspirasi. Saya terinpirasi dengan banyak hal dan dalam pengalaman saya sehari-hari, memang inspirasi adalah penting. Pada waktu teman-teman merokok untuk mencari inspirasi mungkin saya mencari sisi lain. Bahwa justru rokok itu sangat inspiratif, dan saya mencoba menggali inspirasi itu dari novel “Roro Mendut” yang bermula dari gambar Roro Mendut sedang merokok. Karena saya menangkap spirit atau inspirasi dari Roro Mendut ini juga berkaitan lansung dengan rokok. Jadi saya perlu menceritakan sedikit tentang Roro Mendut mengapa menjadi inspirasi bagi saya terkait dengan rokok.

Roro Mendut ini perempuan yang hebat, meskipun dia dicap sebagai budak. Menjadi budak karena pada masa kekuasaan mataram Islam Sulatan Agung sekitar tahun 1600an, Mataram sedang gencar-gencarnya melakukan perluasan wilayah atau melakukan penaklukan daerah-daerah. Termasuk di pesisir pantai utara. Di daerah Pati, tempat si Roro Mendut itu hidup di pantai utara. Nah bukti penaklukan itu, si Sultan Agung memerintahkan Tumenggung Wiroguno untuk memboyong si Roro Mendut. Bukti dari penaklukan itu. Nah, yang menarik adalah pribadi Roro Mendut. Karena Roro Mendut menjadi sosok yang sangat kuat. Dia di Mataram melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan Sultan Agung maupun Tumenggung Wiroguno. Karena dia punya kekasih dari Pati juga, bernama Pronocitro yang menyusul atau membuntuti Roro Mendut sehingga kisah cinta Roro Mendut dan Pronocitro ini sangat mengganggu privasi atau kehormatan Tumenggung Wiroguno.

Yang menginspirasi saya adalah sikap Roro Mendut sewaktu diusir oleh Tumenggung Wiroguno dari istana. Kemandiriannya, menjadi sangat penting disitu. Kemandirian jiwa Roro Mendut. Pada waktu diusir mucul ide-ide kreatif Roro Mendut untuk menjual rokok klobot, yang dia jual kepada masyarakat dengan servis rokoknya dilumat dengan bibir gadis itu alias disedot lebih dulu. Hasilnya laris luar biasa dan karena laris luar biasa, maka kekuasaan Sultan Agung pun meminta upeti dari Roro Mendut dari kegiatan jual beli rokok itu. Upeti inilah yang saya tafsirkan dengan bahasa saya sendiri untuk pengertian cukai pada masa sekarang.. Jadi inspirasi itu lebih pada upetinya Roro Mendut kepada kekuasaan Mataram. Saya menangkap masalah inspirasi itu lebih pada masalah kekuasaan. Upeti, Roro Mendut, dan Tumenggung Wiroguno.

Di samping itu masalah kekuasaan ini, terkait pula tangkapan saya ketika membaca berita penting bagaimana pahlawan H Agus Salim ditanya oleh diplomat Inggris dalam suatu kesempatan. Dalam bahasa gampangnya, “Pak haji rokok apa yang kamu hisap? Atau apa yang kau hisap?” Jawaban H Agus Salim sangat cerdas dan mencengangkan saya: “Inilah yang membuat bangsa barat ingin menguasai bangsa Indonesia.” Menurut saya ini adalah bahasa lain dari kekuasaan. Sehingga kian gamblang bahwa masalah upeti, masalah cukai ini asumsinya tidak lepas dari tradisi hisap-menghisap dan kekuasaan. Ada penguasa yang namanya negara, ada perusahaan rokok, terus kemudian ada buruh, ada masyarakat kecil, dan semuanya terlibat dalam gurita urusan pita cukai itu. Suatu keterlibatan yang langsung maupun tak langsung. Karena itu saya tergerak untuk mencari tahu seberapa komplek persoalan di dalamnya. Ternyata luar biasa komplek.

Pada Sabtu, 21 Pebruari 2009, saya harus menembus kabut. Subuh dini hari, seperti biasa, ketika kru yang lain belum bangun, saya menyeret kameramen untuk ke sisi timur Kediri: Guna mendapatkan sun rise dan cerobong asap paling legendaris di gudang garam. Sialnya mendung dan disusul gerimis tipis. Selebihnya, sebatas separoh hari kami kembali ke pabrik rokok KN. Setelah melalui kesulitan lobi yang tak perlu saya ceritakan modusnya—terlebih kecurigaannya pada kami sebagai penjual data ke partai politik, kami bisa wawancara dan mengambil gambar kegiatan pabrik dengan cukup nyaman. Termasuk konfirmasi cukai bekas yang tentu saja dibantahnya. Hari itu, memang sesuai rencana kami gunakan waktu separoh hari karena separoh sisanya untuk perjalanan kereta Kediri Surabaya.

Di dusun ini rasanya saya seperti mengulang perjalanan sehari sebelumnya. Jalannya sama, suasananya sama, lukisan pemandangan alamnya sama. Hanya harapannya yang berbeda. Saya berharap hari ini lebih mujur bisa mengorek keterangan pemilik pabrik berserta kesibukan karyawannya. Mula-mula Mawardi, pemilik pabrik rokok KN enggan dan bahkan curiga. Tudinganya langsung mengenai saya lantaran menyebut saya orang suruhan partai politik tertentu yang sengaja mendompleng pabrik dan namanya. Dengan segala cara saya menepis tudingan itu dan berhasil. Akhirnya Mawardi tak berkeberatan bicara, atau lebih tepatnya berkeluh kesah kepada saya.

”Pemerintah baru saja menaikkan cukai rata-rata 7 persen. Usaha anda terpengaruh?”

”Jelas. Biaya produksi terpengaruh. Penurunan penjualan mesti ada. Bulan-bulan ini terasa agak banyak penurunan sekitar 30 sampai 40 persen. Nanti kalau sudah berjalan berapa bulan insyaallah bisa berjalan bagus. Masalahnya bulan Pebruari pembelian pita cukai naik semua filter maupun kretek. Kretek sebetulnya naik gak begitu banyak tapi bagi pengusaha kecil seperti saya agak berat.”

”Atas kenaikan itu sendiri bagaimana menurut anda? Mungkin terhadap pelayanannya?”

”Saya sendiri tidak bisa ngomong masalah ini. Saya sendiri mikir pabrik saya sudah pusing. Saya bicara juga percuma. Asal pabrik saya lancar dan bisa untuk kelangsungan ekonomi stabil sudah senang. Dulu ada masalah penundaan pembayaran, sekarang tidak ada. Jatuh tempo pembayaran cukai itu tiga bulan sekarang tidak ada penundaan misalnya ambil Januari bayar Maret. Saya bingung dengan perubahan itu karena membantu keuangan. Saya dengar Malang bisa, tapi Kediri tidak bisa. Saya tanyakan ke Pabean Kediri katanya masalah penundaan menggunakan jaminan bank. Masak sampai sekarang belum ada keputusan?”

”Peraturan usaha kecil rokok sekarang makin diperketat, menurut anda?”

”Ya. Ada peraturan tidak boleh dibawan 200 meter persegi. Itu peraturan kepabeanan memang seperti itu. Pabrik kecil-kecil banyak yang berbuat ceroboh, tidak sesuai aturan. Mungkin banyak yang seperti itu tapi ada juga yang tidak. Sebetulnya peraturan itu harus dijalankan. Saya juga bekerja di bawah kepabeanan harus mengikuti aturan. Tidak semau saya sendiri. Sekarang ini main birokrasi secara terselubung, KKN juga seperti itu. Kalau dulu terang-terangan di atas meja sekarang di bawah meja. Sekarang kebalikannya. Sampai hari ini memang masalah cukai ini Kediri ketat sekali. Untuk tipe madya Kediri, Kudus dan Malang ketat pengawasannya.”

”Apakah bagi pengusaha kecil dipersulit untuk kelangsungan usahanya?”

”Sebenarnya tidak. Semua itu kalau bertanya ke pihak yang bersangkutan diberi kemudahan. Saya dulu langsung dan tidak ada masalah. Saya tidak pernah dipersulit mengurus segala sesuatunya. Cuma orang-orang yang sulit-sulit itu mungkin dia ragu-ragu tanya pada orang, atau tanya pada orang yang tidak benar sehingga dimanfaatkan. Kalau tanya pada orang yang benar langsung diarahkan dan semua kantor terbuka.”

”Dana bagi hasil tembakau menyentuh usaha kecil seperti milik anda?”

”Saya memang dengar ada dana itu. Untuk tahun ini katanya untuk sosialisasi saja, spanduk di desa-desa, pokoknya sosialisasi masalah rokok, cukai. Dinas kapan hari mengadakan pelatihan managemen, pelatihan tentang rokok, pelatihan macam-macam. Duitnya habis untuk begituan. Saya tidak dilibatkan meski dalam arti kata peserta pelatihan, dua kali studi banding keluar daerah Lamongan dan Pasuruan dan dananya dari perimbangan daerah bagi hasil cukai tembakau. Saya tidak pernah diajak. Yang diajak mungkin yang belum berkembang atau kurang berkembang supaya meniru cara distribusinya, manajemennya. Tapi pabrik-pabrik besar itu apa mungkin terbuka? Seperti punya saya saja setengah terbuka setengah tertutup. Studi banding itu bagaimana ya? Semua pabrik terutama masalah trik-trik pemasaran itu dari pabrik. Jadi saya kira itu acaranya ada tapi tidak memenuhi sasaran.”

“Bagaimana kalau ada kebijakan cukai terus dinaikkan?”

“Sudah dinaikkan. Apa pertimbangannya dinaikkan lagi? Bagaimana aturannya? Saya bingung. Yang jelas ada wacana seperti nantinya industri rokok besar maupun kecil cukainya sama.Cuma kapan 20 atau 15 tahun lagi belum jelas. Kalau sampai industri rokok mati atau dimatikan jelas pendapatan pemerintah akan hilang. Tahun lalu saja 44 triliun dan tahun ini targetnya 48 triliun. Pemerintah jelas eman. Di satu sisi pemerintah bagaikan buah simalakama. Ada tekanan dunia internasional, misalnya harganya harus mal. Ada perjanjian internasional yang kita belum tandatangan. Menurut saya pemerintah tidak usah ikut cambur luar negeri, yang penting rakyat makmur. Masalahnya kalau tidak ikut luar negeri terus dikucilkan, pemerintah diembargo. Gak usah takut diembargo. Embargo tak semudah itu. Yang penting masyarakat kita makmur.”

”Jadi sampai sekarang tidak ada yang menghambat usaha anda?”

”Sejauh ini belum ada. Justru yang menghambat pasar. Hari ini pasar lesu.”

”Kalau cukai naik untuk menghapus rokok ilegal bagaimana?”

”Sekarang Gudang Garam menghapus rokok jatah. Itu pertimbangannya dari aspirasi usaha rokok kecil. Kenapa, karena rokok jatah ternyata dijual bebas dan itu tidak boleh. Rokok untuk karyawan, untuk istana, untuk tamu sekarang tidak ada. Itu peraturan baru tahun 2009 ini. “

“Cukai rokok anda sendiri bagaimana?”

“Saya sekarang tidak pakai personan. Tapi perbatang 40 rupiah. Kalau persenan itu dulu. Semua langsung batangan dan lebih mahal dibanding persenan. Satu pak isi 12 kali 40 ketemu 480 rupiah ditambah PPn. Yang membedakan rokok kecil dan rokok besar itu Ppnnya. Rokok usaha kecil tanpa PPn tapi rokok besar kalau cukainya melebihi 600 juta otomatis pakai PPn. Kenaikan-kenaikan seperti ini dari semula 30 menjadi 40 perbatang merepotkan pengusaha kecil. Apalagi masalah di satu sisi pemerintah memberantas rokok-rokok ilegal, di lain sisi menaikkan cukai. Rokok ilegal tetap sulit diberantas kalau cukai terus naik-naik seperti itu. Walaupun skalane kecil tapi saya yakin tetap ada rokok ilegal. Apalagi kalau petugas sudah lengah, ya bakal membludak lagi. Bahkan rokok-rokok illegal yang lama bisa bermunculan lagi. Logikanya, daripada membeli rokok katakana 2500 mending beli yang 1500 atau 2000 yang penting bisa merokok.”

“Selama ini apakah ada yang menawarkan jalan pintas atau memanfaatkan usaha anda untuk kepentingan pribadi?”

“Masalah ini sekarang saya hati-hati sekali. Saya takut sekali menempuh aturan main yang gak benar karena masa ini masa berkembang dan saya tidak ingin jatuh. Eman. Biarkan mereka yang mau jalan pintas yang penting kami dari pabrik rokok KN gak pernah macam-macam. Kalau kesandung masalah malah repot. Dulu pernah ada oknum-oknum yang menekan, tapi sekarang saya sudah tahu aturan main akhirnya mereka gak berani lagi.

Di tempat ini kami mengahiri dengan menelisik kegiatan buruh-buruh pabrik milik Mawardi yang sebagian besar perempuan. Bisa diduga bagaimana kekhasan perilaku orang miskin, apalagi di depan kamera: Banyak bercanda tanpa beban. Di sebalik itu saya tidak tahu.

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, kami meski pulang mengejar kereta ekonomi menuju Surabaya. Kami pulang dan masih meninggalkan hutang untuk agar membuat film dokumenter ini layak (lagi-lagi menurut saya) yaitu: menambah kekurangan gambar yang bisa dikerjakan di Surabaya dan menggali data dari Bea Cukai yang saya pastikan Senin pasti bisa saya dapat. Begitulah, kami pulang dan diantar Pujiandi hingga stasiun Kediri. Pujiandi tiba-tiba menjadi seorang yang tidak banyak berkata, tapi justru banyak bertanya. Saya sempatkan mencairkan suasana dengan mengajaknya makan bersama di warung sambil sesekali mengupas suatu masalah meski tak perlu tuntas.

***

BAGI orang lain hari Minggu boleh jadi hari tenang. Bagi saya tidak dan masih bergelut dengan pekerjaan. Pada Minggu 22 Pebruari 2009 saya bersama kawan-kawan musti melakukan kegiatan praediting, sejak logging dari kaset mini dv ke komputer, lalu transkrip, merancang opening, menyusun ending, dan melunasi gambar-gambar utamanya yang harus dilakukan di kantor CeRCS. Di luar itu, tentu saya menyiapkan strategi lobi materi dan tetek mbengek aksi tipu-tipu untuk menggali informasi ke Bea Cukai Kediri pada keesokan harinya. Saya pun sembari berpikir keras soal itu masih menyempatkan merangkum informasi terakhir dari perusahaan rokok KN.

Dari hasil wawancara dan pantauan kamera, di Perusahaan Rokok KN saya bisa menangkap gambaran bahwa perusahaan yang menengah dalam arti perusahaan legal yang punya karyawan cukup banyak sekitar 100 karyawan itu, setidaknya terungkap dengan kenaikan cukai yang 7 persen ternyata berdampak langsung terhadap penjualan produk mereka mencapai 30 persen. Tetapi mungkin yang perlu banyak diketahui bukan soal itu. Lebih dari itu, menyangkut kegelisahan-kegelisahan industri rokok dalam hal ini KN mewakili industri rokok kecil ternyata punya kegelisahan atas regulasi pemerintahan terkait dengan cukai, utamanya kenaikan atas cukai. Sedemikian kompleknya persoalan cukai sebagai pajak dosa.

Menurut saya ada hal penting yang perlu dicermati dalam kaitannya dengan cukai. Setidaknya ada dua pilihan yang mungkin perlu dicermati bersama bermula dari sejumlah kesaksian di Kediri atas filosofi pajak dosa itu. Pertama kemungkinan cukai ditiadakan atau dihapus. Kedua kemungkinan cukai dinaikkan. Opsi pertama cukai ditiadakan dengan mengembalikan secara murni pengertian atau subtansi cukai sebagai pajak dosa. Dengan meniadakan cukai maka hal itu asumsinya karena dikenakan pada produk-produk yang berakibat dosa dan dihasilkan oleh pabrik. Nah, bilamana pilihannya itu menghapus cukai, maka nantinya bisa mengarah kepada hal-hal yang ekstrem. Menurut saya dua pilihan ini perlu digambarkan secara ekstrem untuk mempermudah penangkapannya tanpa takut meninggalkan pengertian subtansialnya. Yaitu, kalau cukai dihapus konsekuensi lain dari itu adalah juga menganggap bahwa industri rokok adalah industri yang yang haram. Bisa jadi dengan menghapus cukai maka akan disusul dengan penghapusan atau pembubaran industri-industri rokok.

Itu pilihan pertama. Selanjutnya opsi kedua adalah menaikkan cukai setinggi-tingginya yang mana juga barangkat dari hal yang sama secara subtansi maupun filosofis pengertian cukai. Kalau cukai itu dinaikkan setinggi-tingginya maka pendapatan negara dari cukai ini bisa naik. Bisa naik setidaknya seperti itulah hasil pelbagai penelitian yang pernah ada. Nah, kenaikan pendapatan negara dari cukai yang tinggi ini bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini masyarakat miskin. Untuk menaikkan cukai setinggi-tingginya karena memasuki wilayah regulasi, harus berlanjut adanya jaminan pemerintah bahwa regulasi yang sedemikian itu harus harus jelas implementasinya. Juga harus ada jaminan untuk betul-betul menggunakan dana cukai ini demi kepentingan kesejahteraan rakyat miskin. Adanya jaminan implementasi regulasi terkait dari dana cukai ini menjadi syarat mutlak kalau pemerintah tidak mau dikemudian hari dipersepsikan sama dengan retribusinya komplek pelacuran. Memberikan jaminan tersebut menjadi tugas pemerintah secara umum utamanya penegakan hukum, dan jaminan keberpihakan pada tujuan-tujuan kesejahteraan masyarakat miskin. Karena itu penggunaan dana bagi hasil tembakau atau yang diambil dari cukai itu untuk kepentingan kesejahteraan rakyat harus pula dibawah kontrol pemerintah serta ditangani orang-orang profesional yang bertanggungjawab terhadap komitmen untuk menyejahterakan masyarakat kecil.

Dari dua opsi tersebut diatas, antara pilihan menghapus sama sekali dan menaikkan cukai setinggi-tingginya menurut saya yang lebih realistis dan masuk akal setelah melihat fakta-fakta di lapangan adalah yang kedua. Bahwa cukai harus dinaikkan setinggi-tingginya setidaknya untuk saat ini. Pilihan ini lebih masuk akal ketimbang apalagi sampai berdampak buruk membubarkan pabrik-pabrik rokok. Dengan menaikan cukai setinggi-tingginya, asumsinya itu akan menaikan pendapatan pemerintah dari cukai, sehingga dana bagi hasil yang dikembalikan ke daerah otomatis juga prosentasinya tinggi. Nah, dana yang dengan prosentasi tinggi ini alokasinya juga bisa jadi lebih tinggi. Bisa dibayangkan bila dana tersebut ditujukan untuk kepentingan-kepentingan masyarakat utamanya memajukan kehidupan ekonomi lebih konkret.

Logikanya seperti itu. Jadi kalau cukai cukai naik, pendapatan pemerintah naik, maka dengan regulasi yang jelas, dengan implementasi yang jelas, alat kontrol yang jelas, dana sisa bagi hasil tembakau itu bisa diperuntukkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat miskin. Dengan masyarakat miskin yang kemudian meningkat kesejahteraannya, maka akan dengan sendirinya menghapus kegiatan-kegiatan yang ilegal di tengah masyarakat mereka semisal kegiatan memproduksi rokok ilegal, atau mendirikan perusahaan rokok yang ilegal itu dengan sendirinya tidak ada lagi. Karena dari data dan fakta di lapangan kegiatan seperti itu lebih didorong oleh faktor ekonomi. Karena kemiskinan.

Betapa persoalan di lapangan sudah sangat konkret menyangkut masalah regulasi. Artinya regulasi menjadi persoalan penting. Kita tahu dari regulasi itu ketika implementasi lebih banyak bermasalah dari pada menyelesaikan masalah. Karena sudah ada yang menangani regulasinya, perlu didorong saja bahwa termasuk didalamnya perlu jaminan. Harus ada jaminan regulasi yang tegas, jelas, dengan kontrol yang ketat dan sasaran yang tepat. Kalau fakta di lapangan menunjukkan kalangan birokrat pemerintah malah banyak menyampaikan keluhan, ketakutan, tidak punya pegangan yang jelas, ragu-ragu dalam bertindak. Itukan bahasa lain dari ungkapan ketidakjelasan regulasi sebagaimana diungkapkan Kepala Bappeko Kediri. Oleh karena itu bagaimana sikap pemerintah kalau atas kenaikan 7 persen saja berdampak penjualan pabrik turun 30 persen. Terus yang 30 persen itu kemana saja larinya.

Bagaimana pemerintah bisa mencari titik temu dari keduanya. Saya kira penjelasan ini lebih mengarah kesana. Artinya misalkan cukai naik 70 persen terus kemudian usaha-usaha kecil pemerintah itu terpaksa gulung tikar, pemerintah perlu menjelaskan hal itu. Bahwa pemerintah juga berkewajiban membenahi masalah itu, berkewajiban menangani dampak dari penerapan regulasi seperti itu. Bentuknya apa, itu tugas pemerintah. Kita tidak punya wilayah untuk lebih jauh ke sana. Bilamana tak ada jaminan seperti itu, selamanya pemerintah akan berdiri di dua alam. Yaitu ambiguitas pemerintahan. Kita menangkap kemauan pemerintah, maunya mendapat dana setinggi-tingginya dari perolehan cukai itu tanpa harus membuat usaha-usaha kecil itu gulung tikar. Namun ambiguitas itu lebiah dikuatkan sendiri oleh pemerintah. Kalau pemerintah bersikap tegas dalam hal regulasinya, dalam hal regulasi dan penerapannya maka semuanya akan menjadi jelas pula.

Tidak bisa tidak, pada Senin, 23 Pebruari 2009 pukul 5 pagi kami berangkat lagi ke Kediri, dengan harapan 9.30 WIB sudah di depan pintu kantor Bea dan Cukai. Tentu saja tidak ada alasan bagi kepala Bea Cukai menolak, ketika saya telpon dari muka pintunya dan tahu kami dari surabaya berangkat subuh. Beliau hanya perlu basa-basi persyaratan yang tak sulit saya penuhi: kartu nama (saya katakan surat izinnya sudah dikirim oleh tim lain—surat tugas tentu saja bawa). Berjam-jam saya harus melobi dan menggiringnya pada keadaan pejabat itu untuk senang bicara, senang membocorkan keadaan pribadinya. Tapi berjam-jam pula pejabat itu menolak untuk diwawancara. Apalagi untuk memberi informasi lebih. Tapi keajaiban berkata lain di luar pikiran saya, bahwa pejabat itu minta dibacakan seluruh pertanyaan saya yang tidak keberatan untuk dijawab di depan kamera hanya dua saja. Tapi saya mulai bisa mengatur nafas dan strategi menggali data lainnya. Lagi-lagi menipu dan mencuri cara yang ampuh. Kami menyembunyikan kamera dan terus melobi sehingga mendapatkan sama persis dengan apa yang saya bayangkan—termasuk masuk ke gudang rahasia kantor Bea dan Cukai. Meski demikian tidak semua suara yang dirahasiakan tertangkap kamera. Saya membayangkan andai suara itu masuk seluruhnya, informasi itu luar biasa.

Setelah saya buka-buka data gambar maupun rekaman suaranya, saya mendapatkan seperti yang saya tuturkan kurang lebih berikut ini suara dari Kepala Bea Cukai Kediri. Namanya Iyan Rubiyanto. “Mengenai pengawasan pemberantasan rokok ilegal sebenarnya secara tupoksi (tugas pokok dan fungsi), Bea Cukai melaksanakan pemberantasan mulai dengan operasi pasar rokok-rokok yang dijual di pasaran maupun operasi intelejen. Dengan adanya DBH (dana bagi hasil tembakau) ini mungkin akan lebih membantu memperingankan tugas kami sebagai Direktorat Jendral Cukai di lapangan dengan adanya informasi dan adanya dana ini mendukung tugas kami. Sehingga mendapat hasil lebih akurat lagi. Sebenarnya kami di Kediri ini sudah melakukan koordinasi, seperti baru-baru ini dengan Kabupaten Kediri melakukan operasi bersama. Ini hanya teknis di lapangan terkait dengan informasi tadi, kami berkoordinasi dengan Pemkot, Pemkab Kediri untuk operasi pasar terhadap produk rokok ilegal. Sebenarnya soal produksi rokok itu terkait dengan pasar, permintaan, dan produksi. Kami hanya bisa melakukan pengawasan rokok ilegal. Dengan kita memberantas rokok-rokok ilegal kita harapkan semua pabrik-pabrik yang benar meningkatkan dan mengisi kosongnya pasar atas pemberantasan rokok ilegal tadi. Nah, Memang DBH itu yang mengelola sesuai dengan Permenkeu adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota. Selama ini kita kerjasama, kami siap menyumbang tenaga terutama untuk memberantas rokok ilegal. Jadi DBH itu yang mengelola pemda, kami siapkan tenaga. Karena apa, karena dalam penyidikan selanjutnya memang bila ditemukan sebuah pelanggaran, yang berwenang adalah Direktorat Jendral Bea Cukai. Kewenangan tetap di Direktorat Jendral Bea Cukai, sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995, yang sudah diubah Undang-undang 39 Tahun 2007. Pemda tidak punya kewenangan untuk penindakan dan hanya sebatas memberikan informasi. Itulah yang menjadi hambatan apabila Pemda menindak, justru melanggar undang-undang. Jadi hanya memberikan informasi lalu bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Makanya koordinasilah yang diperlukan antara pemda yang selama ini mengelola dana bea cukai. Koordinasi ini kaitannya dalam dua hal, sosialisasi dan pemberantasan rokok ilegal. Jadi tidak bisa Pemda menangkap rokok ilegal sendiri karena memang tidak ada kewenangannya. Nanti bisa salah kaprah. Karena kalau ada yang melanggar dan diajukan tuntutan, pasti akan ditolak oleh kejaksaan. Bagi kami, ada atau tidak ada DBH kami tetap jalan karena itu tupoksi kam. Kami oprasi pasar setiap hari, operasi intelejen tiap hari. Dengan adanya DBH akan lebih membantu meringankan kami karena koordinasi atas informasi adanya pelanggaran-pelanggaran atau rokok ilegal dari Pemda. Itu saja.”

Secara pribadi Iyan sangat terbuka. Mungkin karena latar pribadinya yang bukan orang Jawa. Kesan itu sudah lama saya prediksi sejak berkali-kali saya sms dan semua sms terjawab. Ketika bertamu pun ia tak segan menerima. Begitu juga saat hendak keluar dari ruangan ia antar hingga depan pintu. Bahkan ia perintahkan anak buahnya untuk mengantar kami yang minta gambar-gambar pita cukai dan rokok ilegal di gudang. Kami pun di antar dua anak buahnya dalam satu mobil. Dari situlah, menurut saya, gambar terbaik dari keadaan gudang rokok dan cukai ilegal telah tertangkap kamera, dan statemen kepala bea cukai telah didapat. Sampai di sini menurut saya telah layak sebagai bahan film dokumenter. Tentu saja ini menurut saya kendati di sisi lain belumlah bisa dianggap sempurna. Senin siang itu, kami langsung kembali ke Surabaya dengan bis paling mahal dan nyaman: Patas Harapan Jaya. (Bis yang sama beberapa puluh menit sesudah yang kami tumpangi mengalami kecelakaan maut di perlintasan kereta api Kediri).

Suatu sore di Surabaya. Hari masih Senin, 23 Pebruari 2009. Di sela-sela itu, saya menyempatkan untuk mengirimkan email kepada Bu Direktur. Isinya: ”Yang Terhormat Bu Direktur, Saya memahami kalau kesan saya Bu Direktur mencemaskan proses produksi film, bahkan lebih dari itu saya sempat menangkap kepanikan. Pun demikian halnya saya, saya cemas, saya gelisah utamanya entah mengapa kemudian saya merasa terbebani, juga merasa dikejar waktu deadline--yang sesungguhnya sudah saya duga sebelumnya. Namun saya sendiri cukup hafal dengan diri saya sendiri, bahwa kecemasan, kegelisahan yang ada seperti itu sudah mendarah daging. Juga buntutnya yang lain: Sulit Tidur. Ini yang menurut saya kegelisahan proses kreatif saya ketika banyak sekali mempertimbangkan, mencari, mencoba segala hal yang terkait proses kreatif: strategi, gagasan, alternatif, bentuk, muatan, dan renik-renik lain sebagainya . Tapi mungkin tak perlu saya sampaikan semuanya di sini di tengah kesibukan seperti ini--kesulitankesulitanya, tantangannya. Yang perlu saya kemukakan, saya menyudahi proses shooting di Kediri yang dijadwalkan lima hari namun molor menjadi 6 hari. Dengan akhir kata, bahwa hampir seluruh gagasan yang sebagaimana saya kemukakan dan ditambah dari Bu Direktur sudah terwakili, sejak dari gambar, ilustrasi, maupun permasalahan yang hendak dikemukakan (menyangkut regulasi--rokok ilegal--cukai ilegal) sudah cukup nantinya diterjemahkan dalam bahasa film. Malah saya kira saya merasa cukup menawarkan bentuk petualangan investigasi yang kuat terkait dengan rokok dan pita cukai palsu. Nara sumber penting, diantaranya yang menyingkap sisi gelap hubungan pemerintahan dengan pabrik rokok juga tertangkap dalam bahasa film. Demikian pula dengan terungkapnya fakta baru yang meski tak secara langsung terkait cukai sebetulnya memperjelas keragu-raguan emplementasi regulasi di lapangan. Yakni, adanya peraturan menteri yang membatasi bahwa yang legal industri rokok hanya yang diatas luas 200 meter persegi. Dibawah itu musti dibasmi. Kenyataannya di lapangan tidak ada pembasmian, malah pemerintah berencana melindungi dengan mengumpulkannya dalam satu kawasan. Saya tidak akan bercerita banyak tentang sulitnya menembus aparat intelejen, penyidik di Bea Cukai. Tapi saya bisa memperoleh gambar, juga merekam secara rahasia bagaimana pihak penyidik kebingungan dengan tugasnya, mengintip kegiatan ilegal dan membeli alat kegiatan ilegal itu, atau beradu mulut dengan orang-orang yang merasa terancam. itu semua berusaha kami tampilkan faktanya tanpa terlepas dari ketiga gagasan yang Bu Direktur sampaikan. Karena saya membayangkan apabila terlepas satu saja dari gagasan utuh Bu Direktur: Regulasi, Rokok Ilegal, Pita Cukai ilegal, dan tetek mbengek kemiskinan buruh-buruh pabrik rokok, maka persoalan justru berat sebelah. Namun tetap perlu ending yang mempertimbangkan sesuatu agar menjadi realistis dan lebih baik.
Saya membayangkan tidak saja Bu Direktur, Saya, atau Mbak Diana yang cemas. Yang menyenangkan dengan pekerjaan di lapangan dan kru di sini adalah saling pengertiannya. Saya tidak merasa bekerja sendiri. Kru dari ITS dan Unair orang-orang yang sangat cerdas di bidangnya. Karena itu mereka juga memahami deadline yang diberikan Bu Direktur dan saya pertegas bahwa tanggal 4 Maret harus sudah jadi. Ini sesuatu yang tidak wajar (bahkan tentu menurut Bu Direktur--saya pernah dengar deadline sebetulnya 22 Pebruari) Editing normal film yang ditangani kru sepuluh hari, tapi kesanggupan kurang dari itu membuat saya lebih memikirkan soal lain--masalahmasalah teknis agar justru tak mempersulit pekerjaan kru melakukan editing di bawah pengawasan saya. Yaitu mengingat kecemasan Mbak Diana. Karena itu saya sarankan mbak Diana untuk mendapatkan narasumber2 yang pasti lebih dulu untuk segera di kirim ke surabaya dan tidak saling mempersulit. Syukurlah mbak Diana memahami sebagaimana yang di surabaya juga memahami kesulitan mbak Diana. Kami yang di surabaya malam ini langsung mereview alur sementara yang coba kami buat di lapangan. Di susul mereview belasan rekaman yang menjadi bahan mentah film. Hasilnya akan segera saya sampaikan ke Bu Direktur. Demikian yang dapat saya sampaikan. Terimakasih. JAI.”

Selasa 24 Pebruari hingga Senin 2 Maret 2009. Kami seluruh anggota kru produksi film bekerja di studio Alam Pasti Ilmu rata-rata 20 jam sehari. Sampai dengan tanggal 1 Maret, kami menyerahkan copy film yang belum sempurna dan bahan untuk subtitle Inggris kepada Mbak Diana. Selasa hari itu juga, saya mengirimkan email kepada Bu Direktur. Yang isinya: ”Yang Terhormat Bu Direktur, Saya sudah membaca saran Bu Direktur perihal alur film dokumenter. Alur yang saya gambarkan kemarin memang masih berpeluang besar untuk berubah, mengingat review dari bahan-bahan mentah film belum kelar. Saya juga berpikiran sama dengan Bu Direktur perihal tokoh. Karena mengingat gagasan yang kuat terkait tema, memang akan dengan sendirinya dalam film dokumenter tak perlu mempertimbangkan apalagi lebih dalam perihal tokoh. Jadi memang dalam film dokumenter ini sama sekali saya tak bermaksud menampilkan tokoh apalagi penokohan yang mendalam. (Jadi sangat sadar saya harus berupaya menghindari hal itu). Perlu saya jelaskan secara konseptual, gagasan yang kuat tersebut, membutuhkan strategi atau teknik perfilman yang kemudian setelah berdiskusi dengan kawan-kawan titik temu dari seluruh persoalan, tantangan, dan juga kesulitan menterjemahkan dalam bahasa utuh (holistik) dari film yaitu pentingnya prespektif--sudut pandang--yang pada akhirnya menyangkut sikap subjektif sebagaimana prespektif CeRCS terhadap masalah yang dihadapi di lapangan. Jadi kalaupun ada kesan hadirnya tokoh tersebut hanyalah kesan--tetapi sebetulnya adalah sudut pandang yang dalam kenyataan-kenyataan selanjutnya sangat dibutuhkan demi "menilai" kenyataan. Dengan bahasa lain, prespektif tersebut sebagai cara atau teknik untuk "mengikat" dalam satu kesatuan alur. Karena itu, dengan prespektif tersebut juga tak mempersulit untuk memastikan apakah alurnya harus linear atau tidak. Mungkin alurnya bisa berputar atau yang lain, karena pendeknya yang amat kuat justru pada gagasan dan isi serta temuan-temuan fakta di lapangan. Selain tentu saja, banyak yang kemudian berdampak pada konsekuensi pilihan bentuk film, semisal perihal bahasa-bahasa narator tentu saja dari prespektif tersebut. Narator harus utuh dengan film dalam pilihan bentuk film dokumenter yang kita produksi kali ini. Meskipun ini bukan berarti tanpa kesulitan. Yang jelas perlu kejelian, kata perkata, kalimat per kalimat, juga idiom-idom film. Demikian Surat Saya. Terimasih atas masukannya. Semoga berkenan. JAI.”

Jumat, 27 Pebruari 2009. Saya mengirimkan laporan hasil transkrip film, bahan alur naskah editing dan wawancara Tulus Abadi kepada Bu Direktur. Keterbatasan waktu membuat laporan ini tidak mendetail. Dalam arti tidak semua bahan mentah film terkirim dengan rapi.

Minggu, 1 Maret 2009. Saya menerima email dari Bu Direktur. Isinya: ”Ini inputku dengan alur, masih abstrak. Sepertinya masih banyak sekali yang perlu dikerjakan yaaa Pak. Kalau memang tidak mungkin, yaa tidak usah dipaksakan-lah Pak. Kuatirnya nanti justru materi yang bagus ini tidak bisa bener-bener bicara dalam film-nya. Kita bisa garap lagi dengan lebih teliti dan tidak terburu-buru, belum lagi sub-title bahasa Inggrisnya. Sementara alurnya khan belum jadi, jadi Diana juga ngga bisa mulai ngerjain, sementara harus jadi tanggal 3, sementara ini sudah tanggal 1. Sepertinya memang bener-bener sulit Pak, ngga apa. Gimana menurutmu?”

Senin, 2 Maret 2009. Kami langsung menghentikan proses produksi film.

***

TIGA hari kemudian, tepatnya Kamis, 5 Maret 2009. Entah mengapa, saya masih terobsesi untuk membuat bahan-bahan katalog pendamping, manakala nantinya film documenter ini diputar di Surabaya. Setidaknya, saya bisa menyusun gagasan yang lebih baru setelah menambah bahan tulisan yang lama. Maka saya pun menyelesaikan tulisan: Menimbang Film Sebagai Media Kritik dan Pendidikan Alternatif. Saya berpikir tulisan itu cukup ditambah pengantar dari Bu Direktur, Kritikus Film dan Catatan Perjalanan Joyo. Saya tampilkan di Blog dan saya revisi beberapa kali. Wartawan Radar Surabaya yang membaca tulisan itu, yang kebetulan redakturnya adalah sahabat saya, bermaksud wawancara untuk profil dan preview film dan saya menolak karena belum siap.

Rabu, 11 Maret 2009. Saya mengirim email kepada Bu Direktur sebagai jawaban atas tawaran wawancara narasumber Bea dan Cukai di Jakarta. Surat itu adalah sbb: ”Yang Terhormat Bu Direktur, Sebelum membaca surat terakhir anda perihal rencana wawancara dengan nara sumber dari Bea dan Cukai di Jakarta, saya sudah menerima kabar dari Deco perihal itu. Seketika itu saya langsung menyampaikan kesanggupannya untuk wawancara, meski sebelumnya lagi saya menyampaikan pendapat kepada Mbak Diana bahwa menurut saya berdasarkan pengalaman nara sumber Bea dan Cukai di Kediri, sebetulnya kurang tepat untuk memilih wawancara dengan nara sumber Bea dan Cukai di Jakarta. Mengapa kurang tepat? Karena aparat Bea dan Cukai sangat tertutup dan hanya menempatkan diri sebagai sebagai pejabat teknis yang hampir tidak peduli dengan hal-hal yang berkait langsung dengan regulasi. Hal ini terbukti dengan dari kurang lebih sepuluh pertanyaan yang saya ajukan, pejabat terkait hanya bersedia menjawab dua saja. Selebihnya saya menghabiskan waktu untuk melobi dan menyembunyikan kamera. Pejabat terkait secara tegas menyatakan tidak bersedia berkomentar di luar tugasnya dan tugas-tugas yang dimaksudkannya ditunjukkannya dalam setumpuk peraturan perundang-undangan yang sangat teknis. Menurut saya pribadi, untuk nara sumber yang dari Jakarta, terkait dengan regulasi dan cukai yang lebih tepat adalah dari Departemen Keuangan. Khususnya, pada wilayah kerja yang sekarang ini dikepalai oleh Anggito Abimanyu atau bidang lain yang menyokong kebijakan bersumber dari itu. Namun kemudian, setelah membaca surat dari Bu Direktur, mendadak timbul kesulitan teknis dan keragu-raguan saya. Terutama terkait dengan jarak ruang dan waktu yang berbuntut pada masalah biaya. Berdasarkan pengalaman dan proses produksi film sejak di Kediri, saya mencemaskan sekali masalah pembengkakan biaya. (Maaf kalau semenjak proses produksi di Kediri, makin banyak yang mencemaskan saya. Tentu saja, saya sedikit kurang lebih tahu penyebabnya). Singkatnya (untuk menindaklanjuti wawancara di Jakarta), biaya untuk menyewa kamera akan memberatkan hanya untuk wawancara taruhlah satu jam. Artinya, butuh hitungan tiga hari peminjaman kamera--dua hari dalam perjalanan. Dengan perbandingan harga rental di Jakarta yang dua kali lipat. Sementara kenyataan sebelumnya, yang dialami oleh Kru produksi, dari uang muka Rp 3 juta yang diterima, kurang lebih Rp 2,5 juta diperuntukkan bagi peminjaman 7 hari sejak hari Selasa hingga Senin Rp 350 untuk tiap harinya. Kenyataan yang perlu saya sampaikan pada kesempatan ini pula, saya melibatkan tiga orang kru untuk pekerjaan ini, hal ini dengan pertimbangan (ketika itu) demi mencapai target deadline tanggal 4 Maret. Untuk ketiga kru ini sebagai tim tidak banyak masalah menurut saya karena pembagian kerjanya jelas. Semuanya menguasai bidang yang sama, jadi semata-mata untuk efisiensi dan percepatan kerja saja. Yang satu sebagai editing naskah dan teknis penyutradaraan, dua yang lain editing gambar berikut kameramennya. Hingga kini karena deadline tanggal 4 pada akhirnya tak terpenuhi secara matang, kru masih punya tanggungjawab dasar untuk melakukan menyempurnakan dalam arti mengoreksi gambar-gambar yang masih belum jelas, mixing dan subtitling. Sementara, gambar yang (mungkin) dikirimkan kepada Bu Direktur tersebut awalnya untuk kepentingan penerjemahan atas permintaan Mbak Diana sonder opening film. Andai saya tahu sejak awal gambar itu bakal dikaji oleh Bu Direktur, sudah barangtentu akan menyertakan selengkapnya, setidaknya tinggal subtitling saja sebelum tanggal 4 Maret. Demikian gambaran yang dapat saya ungkapkan kepada Bu Direktur, dengan harapan utamanya terkait proses produksi film yang molor dan rencana wawancara dengan nara sumber Bea Cukai di Jakarta, dapat dimaklumi. Salam dan hormat juga Buat Mbak Diana. JAI.”

Kamis, 12 Maret 2009. Setelah sehari sebelumnya, saya memperoleh informasi pemerintah mengeluarkan peraturan NOMOR 20/PMK.07/2009 revisi atas peraturan NOMOR 84/PMK.07/2008, saya tergerak untuk menulis opini yang siapa tahu bisa untuk koran, untuk tambahan data katalog, untuk cadangan jurnal, atau untuk yang lain. Tapi yang jelas itu analisa saya terkait dana bagi hasil tembakau dan masyarakat miskin, setelah mendalami proses produksi film. Judulnya, Menakar DBH Nikotin.

Senin, 16 Maret 2009. Masih berkait dengan obsesi produksi film dokumenter, saya membuat beberapa versi pendek tulisan soal cukai, dana bagi hasil tembakau untuk saya kirim ke pelbagai media. Judulnya masih, Menyoal DBH Nikotin, dengan studi kasus Jawa Timur, utamanya Kediri. Isinya, Jawa Timur 2009 terbesar menerima Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Tembakau Rp 599,35 miliar. DBH yang dimaksud sebetulnya pembagian 2 persen dari cukai yang disetor perokok ke negara. Jumlahnya keseluruhan mencapai Rp 960 miliar pada tahun anggaran 2009. Tentu saja, daerah-daerah luar biasa sibuk mengatur jalur alur DBH Nikotin tersebut mengingat jumlahnya berlipat-lipat dibanding tahun sebelumnya yang cuma Rp 200 miliar. Apa yang menggairahkan daerah dan pusat pasca keluarnya peraturan Nomor 20/PMK.07/2009 revisi atas peraturan Nomor 84/PMK.07/2008.

Kamis, 18 Maret 2009. Saya kurang tahu pasti, menjadi senang mengungkap kembali data-data survey dan bahan tulisan terkait dengan selama proses produksi film. Mungkin saya bermaksud menggali kemungkinan atau alternatif lain yang bisa lebih bermanfaat. Diantaranya, merevisi dan melengkapi Catatan Perjalanan:Ketika Tembakau Mengilhami Banyak Orang ke dalam banyak versi tulisan. Saya sering bertanya dan menjawab sendiri pertanyaan dengan tulisan itu. Siapa tahu bermanfaat untuk koran, untuk katalog, untuk jurnal, atau untuk apa saja.
Rabu, 25 Maret 2009. Di sela-sela menjawab beberapa email baik dari sahabat maupun dari Bu Direktur, saya tumbuhkan lagi untuk menawarkan tulisan perihal seputar rokok. Bahannya masih data mutakhir yang saya analisa. Saya mulai mengirimkan naskah ke koran sambil banyak berharap segera muncul gagasan baru untuk saling menguatkan keberadaan. Judulnya, Roro Mendut, Rokok dan Kekuasaan. Isinya: Rokok mengingatkan kita kepada Roro Mendut. Mendut adalah cerita rakyat, foklor, dongeng, mungkin sejarah yang kemudian menjadi mitos yang lahir di Pati Jawa Tengah. Kisah Roro Mendut menjadi sangat mistis dan mengilhami YB Mangunwijaya menulis novel Rara Mendut (Gramedia Pustaka Utama, 2008). Barangkali Manguwijaya juga bermaksud memecahkan perang dingin Mataraman versus Pesisiran, yang bukan mustahil mitos-mitos sekarang ini kuat karena dihembuskan orang-orang pedalaman. Mungkin. Selebihnya, saya juga tidak hendak menilai mitos Roro Mendut terutama karena saya tidak hendak mau terlibat kontroversial berlebihan semisal meragukan harga diri Roro Mendut di kalangan kaum hawa dengan rokok birahinya itu. Atau kehebatan perang terselubung antara pedalaman dan pesisiran—dinamis dan statis dan sebagainya. Betapa tembakau telah mengilhami banyak orang—orang biasa maupun penguasa. Upeti di zaman Roro Mendut, tak lain adalah cukai di masa sekarang.

Di kepala terus berputar-putar inspirasi. Selain juga tentu saja kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan. Saya merasa terus dijejali persoalan gebalau tembakau dengan segala asumís-asumsi problem di sebaliknya. Seringkali saya menggunakan waktu istirahat saya dari isu-isu tembakau dan rokok dengan membaca berita-berita di koran. Ah, itupun belum cukup rasanya, karena seringkali pula di koran sadar atau tidak saya juga kerap berjumpa dengan informasi rokok. Seperti statu sore, saya malah dibuat lebih terkejut membaca koran Surabaya Post edisi Sabtu 28 Februai 2009. Di lembaran lain yang tengah memuat profil saya, ternyata saya temukan berita mencengangkan: tidak jauh dari kampung asal saya. Beritanya seperti ini:

Mereka yang Tergiur Gurihnya Laba Rokok Ilegal

Ditingkatkannya nominal cukai rokok oleh pemerintah bukan lantas menghapuskan peredaran dan jual-beli rokok ilegal. Di Ngadiluwih, Kediri, misalnya, proses produksi rokok ilegal masih terus berjalan sampai sekarang.

Selama ini, Ngadiluwih diyakini merupakan salah satu desa yang banyak dihuni produsen rokok ilegal. Namun sangat sulit untuk menemukan tempat produksi rokok ilegal tersebut di desa ini.

“Mereka nggak mau terang-terangan perihal usaha rokok yang dijalankan, dan cenderung berhati-hati kepada warga pendatang,” kata Jono (tentu bukan nama sebenarnya—penulis), mantan buruh dan sales di sebuah sentra produksi rokok ilegal.

Jono menceritakan bahwa razia telah sering digelar di Ngadiluwih. Kendati begitu, nyali produsen rokok ilegal tidak juga ciut.

“Ya masih tetap operasi. Karena hasilnya kan juga lumayan menggiurkan. Saat dulu saya jual di Jakarta saja laku keras,” ujarnya. Karena ilegal, rokok yang dijual Jono tersebut tidak menggunakan pita cukai resmi pemerintah.

Menurutnya, selisih harga rokok dagangannya dengan rokok dengan cukai resmi bisa mencapai Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per bungkus. “Belum lagi kalau yang nggak pakai cukai sama sekali, bedanya bisa lebih dari Rp 3.000,” tambahnya.

Salah satu produk rokok yang sama sekali tidak memakai cukai sama sekali adalah rokok produksi Wahyuni. Wanita yang juga bekerja sebagai buruh linting di Gudang Garam ini mengemas rokok buatannya hanya dengan plastik bergaris merah yang biasa dipakai untuk membungkus obat.

“Karena saya juga kerja di pabrik, saya hanya produksi waktu malam hari,” ujar Wahyuni. Dalam satu hari, ia bisa memproduksi sekitar 15-an bungkus rokok ilegal. “Isinya 14 batang. Saya jual Rp 1.500 per bungkus,” tambahnya.

Menurutnya, produk rokok ilegal tak jauh berbeda kualitasnya dengan rokok dengan cukai resmi.

“Rokoknya sama saja. Rasanya sama. Wong kita pakai tembakau juga tembakaunya Gudang Garam,” terang wanita ini. Tembakau Gudang Garam tersebut dia dapat dari membeli kembali jatah rokok harian teman-temannya di pabrik.

“Setiap karyawan kan dapat jatah gratis 3 bungkus per hari. Itu yang saya beli,” tambahnya. Namun wanita ini enggan menyebutkan berapa harga dia membeli rokok jatah temannya tersebut.

Menurut Jono, produsen rook ilegal semacam itu sangat banyak di desa Ngadiluwih. “Jangankan yang sambilan seperti Wahyuni, yang murni menjadikan rokok ilegal sebagai pekerjaan utamanya malah lebih banyak lagi,” ungkapnya. Salah satu produsen yang benar-benar menekuni industri rokok ilegal sebagai penghasilan utamanya adalah Nidas.

“Cari apa. Saya nggak jual rokok. Saya melinting buat saya sedot sendiri,” jawab Nidas kasar. Saat ditanya apakah menjual rokok, Nidas curiga dan sempat naik pitam. “Kalau sampai ada polisi, kamu akan berurusan dengan saya,” ucapnya.

Namun setelah dijelaskan kembali, dia mulai melunak. “Tolong mas, saya ini cuma orang kecil. Kalau mau yang besar di kecamatan sebelah,” ujarnya sambil masuk ke rumah dan menutup pintu.

Menurut Jono, omzet Nidas per hari bisa sampai empat kali lipat dari omzet Wahyuni. “Di Kecamatan sebelah memang ada yang lebih besar lagi. Itu bisa dua sampai tiga kali lipat dari omzet Nidas,” ujar Jono. Setidaknya, Jono, Nidas dan Wahyuni adalah sekelumit bukti bahwa industri rokok ilegal masih terus beroperasi sampai sekarang. Sebuah sisi lain yang menunjukkan bahwa peraturan pemerintah yang memperketat aturan dalam industri rokok, ternyata masih juga menemui celahnya. []