Rokok, Negara, Perusahaan Swasta, dan HAM
oleh Athoillah *
TERDAPAT dua aktor yang selalu menjadi pusat perhatian dalam berbagai diskusi hak asasi manusia, termasuk tentu saja, hak atas kesehatan. Pertama negara, kedua perusahaan swasta (private sector).Soal aktor negara, hampir tidak ada kesulitan utuk mendefinisikan peran yang secara normatif harus diperankannya dalam keseluruhan upaya penghormatan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai hasil dari kesepakatan (konsensus) politik (setidaknya begitulah teori lama menyebut asal-muasal terbentuknya negara) negara mempunyai kewajiban penuh (primary responsibility).
Sejarah, teori, dan seluruh instrumen hak asasi manusia, baik nasional maupun internasional, seluruhnya meletakkan negara dalam posisi ini. Negara berperan sebagai pemegang kewajiban (duty holder) sedangkan masyarakat berperan sebagai pemegang hak (right holder). Posisi negara sebagai pemegang kewajiban dioperasionalkan dengan melakukan mobilisasi secara penuh atas seluruh sumber daya yang dimilikinya, yakni sumber daya kebijakan, aparatur, dan anggaran.Dalam soal hak atas kesehatan misalnya, negara musti menjamin bahwa seluruh warga negara mempunyai akses yang sama untuk menikmati kesehatan. Termasuk memastikan bahwa hal-hal yang mempunyai pengaruh buruk, langsung atau tidak, terhadap kondisi kesehatan masyarakat, akan diminimalkan dan pada akhirnya dihilangkan.
Contoh yang paling kongkrit dalam kasus ini adalah rokok. Harusnya negara melakukan pembatasan yang efektif (jika tidak langsung menghentikan) untuk menghalangi konsumsi rokok, karena hampir tidak ada yang bisa membantah bahwa rokok mempunyai pengaruh buruk untuk kesehatan. Anehnya, produksi dan industri rokok justru dilindungi dan disahkan. Jika-pun ada upaya untuk meminimalkan –misalnya melalui politik cukai dan perijinan- justru melahirkan praktek menyimpang baru, seperti yang hendak disampaikan oleh CeRCS melalui film ini.
Soal perusahaan swasta, sejumlah upaya telah dilakukan oleh masyarakat internasional untuk mendorong kelompok ini untuk menghormati hak asasi manusia. Sekedar menyebut diantaranya adalah Global Compact yang dipromosikan oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan dan Resolusi Nomor 2003/16 yang dikeluarkan oleh Sub Komisi PBB untuk Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Global Compact adalah proposal global yang mengajak perusahaan swasta untuk ikut memberikan kontribusi dan perhatiannya pada 4 prinsip utama: hak asasi manusia, perburuhan, lingkungan hidup, dan anti-korupsi.
Khusus soal hak asasi manusia, dokumen ini memberikan dua prinsip penting; Pertama bisnis harus mendukung dan menghormati perlindungan hak asasi manusia yang diakui secara internasional; Kedua bisnis harus memastikan bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia.Sayangnya, karena sifatnya yang “hanya ajakan”, dokumen ini tidak mengikat secara hukum (non legally binding). Kelemahan inilah yang hendak ditutupi. Masyarakat internasional mulai merancang dokumen internasional yang dapat mengikat kalangan bisnis agar ikut menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Upaya ini telah melahirkan dokumen Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2 (2003).
Secara prinsip, dokumen ini menegaskan kewajiban perusahaan swasta untuk “to promote, secure the fulfilment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law, including the rights and interests of indigenous peoples and other vulnerable groups”.
Negara dan perusahaan swasta punya kewajiban yang sama yaitu mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.Jika hal ini diletakkan pada locus yang lebih sempit, rokok, sudah seharusnya ada langkah kongkrit untuk memastikan bahwa industri ini tidak lagi merugikan kesehatan masyarakat. Caranya macam-macam, misalnya negara bisa memulainya dengan melokalisir tempat konsumsi rokok (seperti yang dilakukan di Surabaya melalui Perda KTR-KTM), pembatasan produksi, pengaturan iklan, menaikkan cukai, dan penertiban distribusi. Sementara pabrik rokok bisa memulainya dengan mengurangi, membatasi target konsumen hingga mengalihkan bisnisnya pada usaha lain. Bukan sebaliknya malah melanggengkan “konspirasi jahat” antara negara dan industri untuk melanggengkan produksinya – cermin buruknya penyelenggaraan dan pengelolaan negara.
Kesehatan jelas adalah bagian dari hak asasi manusia. Asumsi sebaliknya bahwa merokok adalah hak, jelas tidak tepat. Mengambil keuntungan dari sesuatu yang melanggar hak asasi manusia adalah langkah yang tidak seharusnya. Cukai dan seluruh perijinan tentang rokok –apalagi jika dimainkan untuk kepentingan yang jelas bukan untuk masyarakat- tentu saja tidak dapat dibenarkan. Hilangnya hak asasi tidak dapat di kompensasi dengan cukai dan pendapatan negara yang lain.
Pesan yang hendak disampaikan dalam film kampanye (awareness campaign) berjudul Pita Buta yang diproduksi oleh CeRCS ini dapat dipahami. Film ini hendak mengajak (memprovokasi) penontonnya untuk berpikir dan berperilaku berbeda dari norma kejamakan dengan hendak menghadirkan “protes” dan desakan untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Persis seperti yang pernah ditulis oleh Hatta, Kalau kita harapkan tabib dari luar, kita akan menunggu orang yang tidak akan datang, yang sanggup mengobatinya banyak atau sedikit ialah rakyat kita sendiri. Dan pokok segala usaha ialah kemauan yang tetap. Kemauan itulah yang harus kita bangkitkan. Itulah dasar self help yang senantiasa menjadi buah bibir kita. Rakyat kita sebagian besar adalah rakyat yang kena sugesti (pukau) ketidakmampuan. Pukul dan bunuh sugesti itu dengan propaganda dan contoh”. Untuk itu, tingkat keberhasilan film ini tidak diukur dari menang di kontest film indie (kalau diikutkan), tetapi pada kemampuanya mendorong penontonya untuk berpikir secara berbeda dan melakukan sesuatu. Makaberhentilah membaca tulisan ini, simpan atau serahkan pada teman atau keluarga Anda. Segeralah keluar rumah dan mulailah lakukan sesuatu. Bagaimana?
*Athoillah adalah pengacara HAM di Jawa Timur