Quo Vadis Perda Bebas Rokok
*Oleh: Joyo Adi Kusumo
PROSES pembuatan film documentari ini memakan waktu lebih dari enam bulan. Selain karena pengambilan gambar dilakukan di tiga kota, Surabaya, Kediri, dan Jakarta, juga karena beberapa kali bongkar pasang teknis penyajian dan konsep dokumentasi. Bagi saya, proses pembuatan film ini menjadi bagian penting proses pembelajaran memahami aspek ekonomi-politik terkait hubungan antara pemerintah dan industri rokok.
Proses penggalian data yang melibatkan berbagai nara sumber, baik dari pemerintah, pekerja, pemilik industri rokok dan masyarakat menjelaskan akan kerumitan hubungan tersebut.Misalnya saja, ketika kami mewawancarai Kepala Bappeko Kediri mengenai ketatnya peraturan penggunaan dana bagi hasil cukai, jelas sekali pertanyaan seperti ini mengubah mimik mereka, dari mimik ramah berubah menjadi mimik pasrah, sembari menjelaskan bahwa ruang gerak mereka benar-benar terbatas sehingga mereka harus mengembalikan porsi yang cukup besar ke pusat karena ketidakmampuannya memanfaatkan dana bagi hasil cukai sesuai peraturan. Pembagian DHCT begitu terkosentrasi sementara konsumen rokok menggurita di segala area, usia, dan jenis kelamin.
Hingga kini, masyarakat selalu dicecoki doktrin bahwa pabrik rokok penyumbang revenue terbesar, pada tahun 2007 misalnya, penerimaan negara dari cukai mencapai 37 trilyun Rupiah tetapi anggaran yang dibutuhkan untuk memerangi penyakit akibat rokok mencapai lima kali lipat lebih. Sementara itu, dana bagi hasil cukai digunakan untuk kesehatan sangat minim, hanya 2% dari total penerimaan cukai. Di sisi lain, peraturan yang mengupayakan kontrol akibat dampak rokok bagi masyarakat pengguna pelaksanaannya hampir mandul. Selama hampir tiga bulan sejak diberlakukan Perda KTR-KTM Surabaya, terbukti angka pelanggaran yang disidik petugas penyidik pegawai negeri Sipil (PPNS) dan diteruskan ke pengadilan masih bisa dihitung dengan jari, meski para pelanggar sangat mudah ditemui di kawasan yang menjadi locus delicti Perda tersebut
Sebaliknya, masyarakat yang peduli terhadap persoalan hukum dan memiliki kesadaran sosial berikut rekayasa di dalamnya tentu tak berhenti mengajukan pertanyaan. Mereka menggali dan mencari jawaban, mengapa hal demikian terjadi? Ada apa di balik ''kebiasaan yang luar biasa'' yang juga menimpa Perda KTR-KTM tersebut? Menghadapi realitas seperti itu, alangkah lebih baik bila kita kembali memandang produk hukum dalam tujuannya sebagai alat rekayasa sosial. Masih tercatat di benak kita, bisa kita ambil contoh terbaik misalnya, mulanya peraturan yang mengharuskan pemakaian helm banyak ditentang masyarakat. Namun, kenyataannya, setelah masyarakat merasakan manfaatnya, kesadaran itu bertumbuh kembang sendiri meski tanpa pengawasan.
Nah, pada Perda KTR-KTR ini, jelas rekayasa sosial yang ingin diwujudkan melalui pasal demi pasal aturan tersebut adalah pentingnya sikap toleransi terhadap orang lain yang bukan perokok, namun berpotensi terpapar asap rokok (second hand smoke). Terlebih, aturan tersebut di dukung berbagai data akademis bahwa ternyata perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif. Terkait dengan semangat perda tersebut, tidak ada pilihan lain kecuali mengimplementasikan sebaik mungkin aturan itu dalam kehidupan bermasyarakat. Kiranya, pertanyaan tersebut bisa diurai bahwa efektif tidaknya suatu produk hukum setidaknya mensyaratkan tiga hal utama, meski tak menutup kemungkinan jumlahnya bisa ditambah, yaitu, terkait kemampuan isi materi produk hukum tersebut, situasi upaya penegakan hukum, dan kualitas budaya hukum.
Dari ketiga syarat tersebut, saya aka bicara khusus pada aspek penegakannya dan kualitas budaya hukum. Efektif tidaknya implementasi Perda tersebut bisa dicermati dari sisi penegakan hukumnya. Penegakan Perda KTR-KTM bertumpu pada pemerintah daerah, dalam hal ini para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD ) dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) serta masyarakat. Selain itu, Walikota telah membentuk SK Tim Pemantau yang terdiri atas berbagai stakeholder. Tim Pemantau itu, dilihat dari tugas dan komposisinya, seharusnya bisa menjadi ujung tombak keberhasilan implementasi Perda KTR-KTM. Tim tersebut terdiri atas SKPD, NGO (non-government organization), juga kalangan kampus untuk menyusun rencana kerja sampai mengawasi Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok untuk selanjutnya dilaporkan kepada Walikota. Masalahnya, sejak Perda tersebut mulai diberlakukan, belum pernah sekalipun Tim Pemantau itu duduk semeja merumuskan mekanisme tugas-tugas yang harus diemban. Jelasnya, Tim Pemantau tersebut boleh dikatakan belum bekerja. Tampaknya, Tim Pemantau itu perlu lebih didorong ke arah yang lebih produktif dan aktif.
Disamping itu, citra buruk Satpol PP di Surabaya sebagai musuh rakyat kecil sedikit banyak berpengaruh terhadap wibawa penegakan Perda KTR-KTM. Pendekatan represif yang biasa dilakukan Satpol PP dalam setiap penyelesaian masalah menimbulkan antipati masyarakat. Di tengah krisis ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum, aparat penegak hukum seharusnya lebih berhati-hati. Jangan sampai tujuan mulia upaya penegakan Perda ini ditafsirkan masyarakat sebagai ''cari-cari perkara baru''.
Juga berkembang di masyarakat yang sebetulnya lebih sebagai ironi pemahaman hukum di antara mereka, seolah suatu peraturan diciptakan untuk dilanggar. Karena itu, dalam hal kualitas budaya hukum ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat juga menjadi tujuan serta manfaat Perda KTR-KTM. Demikian pula sikap apriori masyarakat pada intergritas pemerintah dengan kepatuhan hokum, pemerintah dipandang hanya sebatas gemar membuat peraturan tetapi pemerintah juga yang tidak mengindahkan pertauran tersebut.
*Joyo Adi Kusumo adalah Ketua Divisi Advokasi Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya