kliping
(Surabaya Pagi, 6 Maret 2010)
Sikap Anti (Asap) Rokok
Oleh : S. Jai
MULANYA di kalangan aktivis anti (asap) rokok berlaku semacam permakluman ada kompromi bagi perokok, sepanjang tak menghisap “tuhan sembilan centi” itu di ruang tertutup. Saat menyokong Perda No. 5/2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Terbatas Merokok (KTR-KTM) pun, aktivis anti (asap) rokok mengumandangkan sikap “toleransi” pada perokok. Meski akhirnya pada perda itu sendiri sama sekali tak menyinggung pelbagai kompromi itu. Terlebih, tak tercantum pasal-pasal apakah seseorang diizinkan atau dilarang merokok di ruang “terbuka” dan “tertutup.”
Lantas melihat fakta baru yang berkembang, terkait implementasi perda yang letoy, ketika pada hari ini kritik pun nihil, permasalahan pun berbiak. Diakui, seluruh kritik yang mustinya dilayangkan pada aparat berwenang (Satpol PP dan Petugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil) selaku penyidik maupun kepada Tim Pemantau selaku yang ditunjuk langsung Walikota Surabaya, benar-benar tiarap. Bahkan antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkesan saling menuding pun luput dari sasaran kritik masyarakat, juga media.
Sebagaimana dilakukan Dinas Kesehatan Kota Surabaya yang “mengeluhkan” sikap sejumlah SKPD yang kurang mendukung penerapan perda. Meski hal yang sama pun terjadi pada Dinas Kesehatan. Betapa salah satu sasaran implementasi Perda KTR-KTM yang paling gencar dijadikan model oleh dinas tersebut yakni Dinas Pendidikan Kota di Jagir Wonokromo jauh dari harapan. Pada kenyataannya hingga tulisan ini dibuat, ruang merokok yang disediakan dinas tersebut, jarang digunakan para perokok. Perokok lebih memilih melanggar aturan di ruangan kantin dinas atau di tempat larangan lainnya.
Kiranya, berita ini menjadi persoalan tersendiri terkait sikap aktivis anti (asap) rokok atas segala fenomena perokok di masyarakat. Perihal kata “toleransi,” memang tak tercantum dalam Perda KTR-KTM, tetapi betul bahwa dalam penjelasan umumnya, tersurat bahwa tujuan dari Perda ini adalah, melindungi perokok pasif, menekan perokok pemula, membudayakan hidup sehat dan melindungi kesehatan dari bahaya akibat merokok.
Dengan kata lain, ada hubungan baru yang coba diberi pengertian penting antara perokok aktif dan perokok pasif di situ. Baik itu hubungan antar keduanya maupun pengertian kedirian masing-masing selaku perokok aktif maupun perokok pasif. Bahwa baik perokok aktif maupun perokok pasif punya konsekuensi atas tiga tujuan perda yang lain. Kiranya inilah, yang menyebabkan timbul apa yang disebut “kompromi” dan “toleransi” bermula sejak memahami sebagai perokok dan bukan perokok, perokok aktif dan pasif, maupun asap rokok di ruang terbuka dan tertutup.
Akan tetapi manakala satu diantara beberapa hubungan diatas tidak tercipta, sudah barang tentu berdampak pada berubahnya konstelasi sikap mental, pemahaman, konsekuensi bahkan sanggup meniadakan sama sekali tujuan-tujuan dari perda tersebut. Termasuk di dalamnya berdampak perubahan pada perangkat-perangkat yang menjaga kewenangannya (Tim Pemantau SKPD) serta aparat-aparat yang bertugas di lapangan (Satpol PP, PPNS).
Sudah barang tentu, semakin lama berlangsung hal ini menjadi semacam lingkaran setan. Meski terkandung jawaban bahwa hanya orang yang tak berakal sehat manakala ada yang menyalahkan produk hukumnya (Perda KTR-KTM). Jawaban pastinya, pokok sumber soalnya ada pada budaya hukum (culture, behavior and personality) masyarakat kita. Budaya dalam pengertian konsentrasi kualitas kerja demi kualitas hidup yang lebih baik. Inilah fundamen dari spirit untuk hidup lebih baik demi keberhasilan di semua lini kehidupan: politik, ekonomi, teknologis dan tentunya bidang hukum. Dalam bahasa Immanuel Kant, ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Proses budaya merupakan semacam sekolah dimana manusia dapat belajar dan dalam kebudayaan manusia tidak hanya bertanya bagaimana sifat-sifat sesuatu, melainkan pula bagaimana sesuatu seharusnya bersifat.
Jadi masalah budaya adalah masalah mental kita, masyarakat, pejabat birokrat pemerintah, aparat termasuk di dalamnya para pengusaha dan tim pemantau bentukan pejabat. Belum terciptanya sikap “toleransi” dalam penegakan Perda KTM-KTR jelas bisa terlihat dari rendahnya kualitas budaya hukum kita. Atau bahkan tidak adanya sama sekali pemahaman budaya oleh karena mental yang tidak bermutu. Kalimat terakhir ini bisa jadi berdiri sendiri, namun boleh jadi bergantung pada kalimat penjelas lainnya, bagi yang keberatan disebut sebut kurang berbudaya, tak beretika atau pun bermental tak bermutu.
Ambruknya Budaya Hukum
Belum terciptanya sikap “toleransi,” sangat mungkin berdampak pada sikap para aktivis yang semula anti (asap) rokok, bakal memperjelas diri bahwa sebenarnya dalam dirinya telah lama mengalir darah anti-rokok. Mereka menolak setiap pengaruh yang berbau atau dilatari oleh gurita rokok, industri rokok dan sebagainya. Termasuk didalamnya, tiadanya respon atas Perda KTR-KTM, baik oleh masyarakat, aparat, pemerintah maupun Tim Pemantau dianggap sebagai sikap mental yang tidak mendukung gerakan anti asap rokok dan antirokok. Bahkan oleh Deputi Program Tobacco Control Support Centre, Kartono Mohammad sikap demikian disebut sebagai mental VOC yang membodohi rakyat dan memilih bekerja sama dengan penjajah (industri rokok). Tentu saja secara ekplisit yang dimaksud adalah pemerintah. Sementara secara implisit juga masyarakat, pengusaha dan aparat-pejabat-birokrat di baris yang sama.
Dalam kontek Surabaya dengan mandulnya kinerja Tim Pemantau dan nihilnya kasus yang masuk di pengadilan, sementara di sisi lain sama sekali “toleransi” belum terwujud, jelas mengindikasikan adanya pembiaran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota. Dalam arti, tiada langkah baru kecuali melanjutkan dengan menerbitkan Peraturan Walikota Surabaya No. 25/2009. Seperti diketahui, hingga detik ini dari laporan media massa, baru satu kasus saja pelanggar Perda KTR-KTM yang divonis Pengadilan Negeri Surabaya, atas nama Lim A Shang, warga Kenjeran. Pengusaha kerupuk itu didenda Rp 40 ribu.
Indikasi itu bakal mempertajam asumsi bahwa dalam hal kualitas mental atau budaya hukum ini, ternyata pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan tujuan serta manfaat Perda KTR-KTM makin berada di titik terendah. Sehingga pada masyarakat pun muncul rahasia baru yang telah menjadi pengetahuan umum bahwa selain gemar membuat aturan dengan minimnya usaha pendekatan pada publik, pemerintah pun gemar membiarkan kualitas budaya hukum masyarakat dan aparat-aparatnya memburuk. Logikanya, semakin banyak produk hukum, maka semakin buruk budaya hukum kita, akibat sikap pembiaran itu.
Sikap mental demikian secara lebih luas, tertangkap dari hitungan angka yang ditunjukkan kenyataan berikut: Di satu sisi pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 2010 hingga 5 persen. Di sisi lain, kenaikan tersebut juga untuk mendongkrak target penerimaan APBN 2010 dari sektornya Rp 55,9 triliun, yang mana target sebelumnya, dari Rp 53,3 triliun terealisasi Rp 48,44 triliun.
Oleh karena itu, wajar bilamana kini banyak timbul pertanyaan. Jika benar atas pertimbangan efektivitas, mengapa beberapa pendapat tentang kemungkinan sidang di tempat, atau sidang di kelurahan yang dinilai lebih efektif, tidak juga segera teralisasi? Ada apa sebenarnya dibalik ini? Dengan mencontohkan sidang dan tilang pada pelanggar lalu lintas, kiranya sidang pelanggar Perda KTR-KTM jauh lebih sederhana karena para pelanggarnya telah kasat mata. Sementara pada pengendara tanpa SIM atau STNK harus dijaring terlebih dahulu. Juga jauh lebih simple ketimbang operasi para pedagang kaki lima yang musti mengerahkan puluhan personil dibantu polisi dan terkadang tentara, termasuk beberapa truk khusus untuk menyita rombong mereka. Tentu ada sesuatu di balik jawaban atas pertanyaan ini -- perihal sikap mental dan budaya hukum kita.
Musti dikukuhkan, sebagaimana kita tahu, bahwa penegakan hukum juga mempunyai fungsi pendidikan kemutlakan budaya hukum. Syukurlah, beberapa aparat hukum sudah mengakui perlunya pembelajaran karena Perda KTR-KTM ini masih baru, utamanya terkait pentingnya kordinasi dengan aparat yang bekerja, mengingat jumlah aparat penyidik dan hakim dari pengadilan negeri di Surabaya juga terbatas. Semoga pernyataan ini keluar dari suatu usaha pemahaman budaya hukum, bukan sebuah mental lama warisan pejabat-birokrat yang ketinggalan zaman.
* Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.