MELODRAMA DAN TRAGEDI: KAWAN BERGELUT
(Surabaya Post, Minggu 28 Maret 2010)Judul Buku : Serimpi: Sebuah Dedikasi untuk Perempuan
Penulis : Rohana Handaningrum
Penerbit : Jaring Pena
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : 138 halaman
Peresensi : S. Jai
PERJUANGAN keras manusia demi pengutuhan diri dalam sejarah umat manusia tak kunjung usai. Usaha ini tergambar jelas dari pergulatan sikap romantisme dalam dirinya, sekukuh romantisme itu sendiri. Keduanya saling mendaku dalam menempatkan antara sesuatu dunia yang diidealkan dan harapan akan memboyong cinta yang harmonis dengan Tuhannya.
Pendeknya, di satu sisi berkawan dengan pikirannya, di sisi lain bergelut dengan keindahan mimpi dan perasaannya yang mendalam.
Inilah yang hingga dewasa ini masih pula diperdebatkan apakah keduanya bisa berdamai dalam satu kenyataan (realisme) ataukah saling dipertentangkan (hiperrealisme). Pandangan kritis tersebut, nampaknya juga berdampak pada estetika dunia fiksi, tak terkecuali prosa, meskipun dengan kerendahan hati prosa senantiasa sanggup menampung keduanya—realisme, lukisan khayal, bahkan mimpi. Kendati pada sisi lain kerendahatian fiksi juga mengambil resiko kesanggupan untuk menampung apapun: melodrama sekaligus tragedi yang berdiam atau melintas pada diri tokoh-tokohnya.
Mengutipi kamus sederhana Simpliology-nya Mark Joyner, melodrama sebagai situasi yang tidak bisa dihindari, terlepas dari usaha terbaik sang korban peristiwa dan tragedi sebagai lakon yang menggambarkan berbagai peristiwa malang akibat kelemahan karakter seseorang. Pada melodrama, ada takdir yang menempatkan dirinya dalam situasi hitam atau putih. Sementara tragedi lebih menyingkap kesanggupan untuk mengampu pada keyakinan yang hidup dan tumbuh dalam dirinya. Semacam konflik dalam diri akibat tragika antara nasib dan kebebasan, antara “hukuman” dan hasrat jiwa.
Titik temu dari silang sengkarut itu ada pada kualitas karakter tokoh-tokoh secara psikologis—meski sudah barang tentu sonder lepas dari aspek sosiologis. Ada tiga demensi yang terbentuk karenanya, yang dalam bahasa Giddens disebut motivasi tak sadar (unconciuous motives), kesadaran praktis (practical consciousness) dan kesadaran diskursif (discursive counsciousness). Pada dunia fiksi, ketiga-tiganya tentu bisa berkecamuk dalam satu dunia, meski tentu ada yang mendominasi.
Membaca sebagaian besar cerita-cerita dalam kumpulan cerpen Serimpi, karya Rohana Handaningrum bergerak dalam pergumulan itu. Ada dominasi tampilan kesadaran diskursif yang mengacu kepada kapasitas penulis baik antar teks maupun melalui tokoh-tokohnya untuk merefleksikan secara rinci serta eksplisit dibanding dua kesadaran yang lain. Utamanya, kesadaran itu tampak jelas pada penggunaan “teks lain.” Hal ini mengingatkan gaya penyampaian novel laris The Name of The Rose-nya Umberto Eco. Seakan-akan ada intertektualitas di setiap satu cerita. Teks lain yang mendahului setiap cerita jelas dimaksudkan sebagai suatu dunia yang diidealkan, sementara cerita itu sendiri adalah dunia yang lain.
Pada Serimpi nampak sekali masalah psikologi yang tidak pernah tuntas di dunia keilmuan, ternyata telah sanggup dilampaui dalam dunia fiksi—cerita pendek. Bahkan sebaliknya penulis punya keberanian untuk menyoal, menggugat, atau setidaknya mempertanyakan. Keberanian yang berbekal kepekaan dan kecerdasan untuk tidak hanya menerima “dunia” apa adanya. Mungkin dalam pengertian sastra bukan kecerdasan yang sungguh-sungguh ada pada Rohana. Melainkan kejujuran. Kejujuran serta kerendahan hati bahwa ia memang berbakat untuk mempersoalkan, mempertanyakan, menggugat kehidupan yang melintas padanya.
Dimatanya, bahkan dengan kacamata psikologi, terlalu banyak yang disaksikan dunia ini omong kosong, ketidakseimbangan, atau lebih tepatnya potongan-potongan yang tidak utuh, karena dalam ilmu psikologi pun nyata-nyata otak terlampau mendominasi. Karena itu, Rohana mempertimbangkan sungguh selain penguasaan ilmu psikologi yang cukup matang, ia sangat perlu menghadirkan hati—kepekaan rasa kemanusiaan dan ketuhanan yang dalam bahasa saya sebetulnya keberanian untuk menciptakan ketegangan antara yang imanensi dan transendensi.
Karena itu, ia cukup tahu ketika memasuki wilayah ini merupakan wilayah kunci sekalipun tidak secara eksplisit memihak kepada yang benar atau yang salah, yang hitam atau yang putih. Hati punya ukurannya sendiri, juga tentang kebenaran. Bahkan hatipun punya nalarnya sendiri. Yang menarik sebelum cerita-ceritanya “menusuk hati” penulis memang sedang berjuang untuk tidak sunguh-sungguh memilih dikotomi benar-salah, hitam-putih. Ia sadar tak sudi terjebak nalarnya sendiri yang dalam keseluruhan cerpennya membuktikan ketakharmonisan, ketakadanya pengutuhan kualitas hidup. Di otaknya ia terus bergolak bahwa pikiran orang lain telah sedemikian masif menggergaji bagian-bagian tubuh (perempuan).
Dengan sadar dan ketaksadarannya yang tinggi cerita-ceritanya ditulis atas spirit mengutuhkan rasa kemanusiaan itu. Sebagai seorang yang paham psikolog, apalagi jebolan jurusan psikologi, tentu Rohana telah menyentuh wilayah apa yang disebut Gustav Jung bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri. Bagian bayang dari pikiran adalah bagian esensial dari bentuknya. Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan, menjadi semacam hantu.
Dari sinilah kemudian, ia berpendapat pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realitis. Penulis pun tak lupa mempertanyakan siapa sebetulnya yang menciptakan sisi gelap dan terang kenyataan hidup di semesta ini? Sebagai dunia fiksi, cerpen-cerpen Rohana memang tak menjawab pasti pertanyaan itu. Barangkali cerpen-cerpennya dimaksudkan menyelipkan jawaban atas pertanyaan itu dalam bentuk pesan. Akan tetapi pesanpun dalam dunia fiksi tidak terlampau penting. Justru yang terpenting dalam fiksi adalah kesan dan cerpen-cerpen Rohana cukup berkesan.
Dari sisi mempertimbangkan estetika seperti itu, kirinya Rohana sangat mungkin terhitung pengarang muda yang berbakat. Bukan tidak mungkin kelak di kemudian hari bila ia sanggup mengasah bakat dan kepekaannya, Rohana bisa meledakkan segenap daya kepangarangannya lebih matang. Pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam karyanya (semacam filsafat dalam sastra—meskipun sastra tak menyampaikan ajaran filsafat) tentu bakal lebih esensial. Dalam hal ini sudah tentu wilayah yang dimaksud adalah imajinasi, persepsi, intuisi, interpretasi atas kehidupan dipilihnya menjadi lebih kaya. Sebagai pembaca, terkesan bahwa cerita-cerita Rohana sangatlah inspiratif dan cukup menggugah dari keempat hal tersebut.
Pada cerpen Masokhis misalnya, ia menterjemahkan dan mengajukan penafsiran cinta dengan rasa sakit. Lalu, gadis yang dicap anak haram yang perawan menguji keperjakaan lelaki yang sepuluh tahun lebih tua darinya dalam Parabhen. Cerpen Larasati tak jatuh sentimentil, meski tentang kesulitan tokoh untuk jatuh cinta karena sedang mengalami bisu tuli. Dari sisi teknik penceritaan paling unggul pada Skandal dengan kejutan yang luar biasa mengarah pada berbau mistis atau surealis.
Pada cerpen Sepenggal Aku, ada nuansa yang sangat biografis. Namun dalam fiksi tidak menjadi soal apakah itu biografis atau bukan. Cerpen ini sangat kaya dengan kemungkinan lukisan dan persepsi sosial. Sementara cerpen Serimpi boleh dikata paling kuat mencerminkan pandangan dunia pengarang dalam hal masalah sosial—utamanya masalah kemiskinan yang menjadi background dari hampir keseluruhan cerpen Rohana. Pertanyaan yang tak mudah dijawab dengan analisa yang miskin adalah mengapa Rohana memilih segenap daya kepangarangannya dalam buku ini, mengarahkan mata penanya pada orang-orang miskin?
Kiranya inilah pertanyaan yang menggoda dan tak kalah menariknya yang menjadi bagian paradigma estetika Rohana Handaningrum. []