Ruang Publik Metropolis Jawa Pos, Selasa 13 April 2010
Menggugat Tim Pemantau Perda Rokok
Oleh : S. JAI
SAMPAI hari ini, warga yang ingin tahu rekapitulasi putusan Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (KTR-KTM) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya tentu justru akan terkejut dan banyak menyimpan tanya. Warga akan mendapati kenyataan, (hanya) ada tiga orang yang tercatat melanggar dan divonis denda Rp 40.000. Mereka adalah Lim A Shang, Susanto, dan Tubi yang pemberkasannya tercatat Senin, 16 November 2009.
Yang lebih mengejutkan, di antara ketiga berkas, hanya terdakwa Lim A Shang yang tercantum divonis pengadilan pada Kamis, 19 November 2009. Artinya, pada dua kasus yang lain, tidak ada keterangan yang meyakinkan. Kecuali pada terdakwa Susanto, didapat penjelasan bahwa karena terdakwa tidak datang, berkas dikembalikan PN ke satpol PP, diberkas ulang pada 25 November 2009.
Melihat paparan tersebut, tentu saja ada pertanyaan penting yang bergelayut di benak warga kota. Sudahkah hal itu bukti bahwa Perda KTR-KTM berlaku efektif? Atau justru sebaliknya, keseriusan koordinasi kinerja aparat berwenang yang perlu dicurigai? Maka, hal kedua ini, sebagaimana biasa lebih mengemuka saban kali penegakan perda dinilai lemah, kali pertama yang panen kritik adalah petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan satpol PP. Tak terkecuali atas sinyalemen melempemnya penegakan perda bebas asap rokok tersebut.
Lebih dari itu, melihat sejumlah fakta di lapangan, pertanyaan pertama bisa diabaikan karena memang belum cukup bukti yang mengarah bahwa perda tersebut benar-benar efektif. Lain halnya dan wajar bila aparat pemerintah mengatakan lain. Meskipun, kesan saling lempar tanggung jawab antar satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tak bisa dimungkiri adalah sinyal buruk. Sebagaimana dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya yang mengeluhkan sikap sejumlah SKPD yang kurang mendukung penerapan perda.
Apa yang dikeluhkan dinkes kota bisa dimengerti mengingat mereka selaku yang paling bertanggung jawab atas perda itu sekaligus pucuk pimpinan Tim Pemantau Perda KTR-KTM. Untuk tidak menumbuhsuburkan perdebatan apriori di antara SKPD, akan lebih baik menelisik kembali peran tim pemantau perda ini.
Secara sederhana, efektif tidaknya implementasi perda tersebut memang bisa dicermati dari sisi penegakan hukumnya. Tumpuannya, harus diakui, penegakan Perda KTR-KTM tidak saja ada pada para kepala SKPD atau satpol PP, tapi juga tergantung masyarakat.
Lalu, sudah barang tentu, yang tak kalah penting perannya adalah tim pemantau. Tim yang telah dibentuk melalui SK wali kota itu tidak luput dari kritik masyarakat. Tim tersebut dibentuk berdasar SK Wali Kota Nomor 188.45/330/436.1.2/2009. Sebab, menurut Perwali Nomor 25 Tahun 2009, tim pemantau terdiri atas PNS dan atau individu yang ditunjuk. Persoalan efektif tidaknya kinerja tim mengemuka manakala ada yang mengusik tidak adanya perimbangan antara aparat pemerintah dan individu yang ditunjuk -fakta sekarang yang terjadi. Artinya, komposisinya meragukan untuk mengemban tugas yang seharusnya menjadikan tim pemantau sebagai ujung tombak keberhasilan implementasi Perda KTR-KTM.
Dari rapat koordinasi Tim Pemantau Perda KTR-KTM di dinkes kota pada 19 Januari 2010, terungkap ada sekitar 30-an undangan tertuju pada sejumlah SKPD, NGO (non government organization), dan kalangan wakil kampus. Berdasar SK wali kota, jumlah anggota tim pemantau ada 32 (lembaga). Di antara jumlah itu, hanya tiga wakil masyarakat yang ditunjuk dan satu dari wakil kampus. Selebihnya adalah PNS, termasuk di dalamnya satpol PP.
Tentu, dari perimbangan itu, masuk akal bila komposisinya meragukan untuk efektivitas implementasi perda tersebut. Rasanya sulit menerima manakala satpol PP selaku aparat penegak juga termasuk dilibatkan sebagai petugas penyidik sekaligus menjadi bagian dari tim pemantau. Demikian pula halnya dengan sejumlah SKPD yang menjadi penanggung jawab, juga masuk tim pemantau atau tim pemantau pembantu. Maka, warga Surabaya pun boleh punya pendapat, ada peluang bias dari eksistensi tim tersebut. Terlebih, hanya ada dua NGO yang konon dipercaya mewakili pemantauan sebagai representasi masyarakat. Benarkah? Tentu tidak ada jaminan.
Dengan kata lain, peluang bias itu lebih menunjukkan tiadanya mekanisme kontrol yang jelas atas efektif tidaknya implementasi perda. Pada pasal 20 Perwali Nomor 25 Tahun 2009 ayat 2 disebut, tugas tim pemantau ialah menyusun rencana kerja pelaksanaan pengawasan terhadap KTR-KTM. Namun, di sisi lain (ayat b), membantu kepala dinas kesehatan menginventaris yang belum masuk dua kawasan tersebut.
Sementara pada ayat d diungkap, tim pemantau juga bertugas membantu pejabat yang berwenang dalam memproses setiap pelanggaran yang terjadi. Artinya, perlu tidaknya tugas itu dilaksanakan, dilaporkan atau memproses setiap pelanggaran sangat tergantung pada dirinya sendiri, tim pemantau. Sedangkan hampir pasti kontrol atas kinerja mereka tidak ada, kecuali dari media massa.
Asumsi tersebut bukan isapan jempol semata setelah mengamati peristiwa "Rapat Koordinasi Tim Pemantau" Januari lalu. Meskipun pada undangan tertera hal itu, pada halaman lampiran tertulis "Sosialisasi Perda KTR dan KTM Kota Surabaya". Mana yang benar di antara dua pernyataan yang jelas-jelas berbeda dan punya implikasi implementasi yang berbeda pula atas perda tersebut? Sudah barang tentu hal ini adalah buah dari bias pasal-pasal perwali sebagai penjabaran Perda KTR-KTM. Pun diperkuat dengan SK wali kota soal pembentukan tim pemantau yang jomplang.
Tanpa mengurangi pencapaian yang kini sudah cukup melegakan Surabaya, kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya sejak perda tersebut berlaku, belum pernah sekali pun tim pemantau itu duduk satu meja untuk merumuskan mekanisme tugas-tugas yang mesti diembannya. Tim pemantau boleh dikata belum bekerja atau memulai pekerjaan. Meskipun perda tersebut sudah 16 bulan sejak digedok dewan.
Karena itu, tak ada alasan lain untuk tidak mendorong kuat agar Tim Pemantau Perda KTR-KTM tersebut lebih produktif dan aktif bekerja. Hal itu dilakukan untuk menutup pertanyaan dan kecurigaan masyarakat bahwa jangan-jangan ada sesuatu di balik mandulnya tim tersebut. Semata-mata perihal lemahnya kordinasi, hanya masalah dana, atau memang ada problem lain?
Apa pun jawaban atas pertanyaan itu, kita dihadapkan pada dua kenyataan: menggugat tim pemantau agar kemudian bisa mengoptimalkan implementasi perda tersebut di lapangan ataukah menyoal kembali SK Wali Kota Bambang D.H. demi mendapat perimbangan anggota Tim Pemantau Perda KTR-KTM dengan maksud dan tujuan yang sama.
Tentu lain halnya bila ternyata ada agenda lain, ada maksud dan tujuan berbeda, dengan menetapkan tim pemantau yang sekarang. Bila itu betul terjadi, ada agenda tersembunyi, tentu SK tersebut sejalan dengan sebagian besar pikiran warga Kota Surabaya. Bahwa, inilah ironi pemahaman hukum kita: seolah suatu peraturan diciptakan memang sengaja untuk dilanggar. (*/c9/mik)
* Peneliti pada Center for Relegious and Community Studies (CeRCS) Surabaya