Minggu, 30 Mei 2010

Opini

Mengawal DBH Cukai Tembakau

Oleh S. Jai *)

Radar Surabaya, Edisi 29 Mei 2010


PEMERINTAH melalui Departemen Keuangan telah mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tahun 2010 sebesar Rp1,12 triliun. Berdasar Permenkeu No 66/PKK.07/2010 tertanggal 19 Maret 2010, dana tersebut dialokasikan ke duabelas daerah provinsi, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan.

Sejumlah Pemerintah Daerah di Jawa Timur termasuk yang paling sibuk mengatur jalur alur dana tersebut karena terhitung sebagai penerima terbesar, total Rp 613,451.367.661 miliar. Angka ini naik dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp 599, 357.180.000 miliar. Kesibukan itu memang beralasan, mengingat DBH yang jumlahnya untuk tahun ini meningkat berlipat-lipat itu amat inspiratif bagi banyak pihak, masyarakat, pemerintah daerah maupun pusat.

DBH yang dimaksud sebetulnya adalah pembagian 2 persen dari cukai yang disetor perokok ke negara. Dengan kata lain secara filosofi jumlah itu adalah dana bagi hasil dari sin tax atau “pajak dosa” hasil olahan tembakau. Cukai rokok sebagai kepanjangan dari cukai tembakau, karena tembakaulah, atau lebih tepatnya nikotinlah yang menyebabkannya dipaksa kena cukai. Meski sebab lain disebut-sebut lebih dari itu—karena kandungan tar dan ribuan zat racun lainnya.

Pasal Pasal 4 (c) Undang-Undang Cukai No 39 Tahun 2007 secara eksplisit mengatur demikian, meski sonder keterangan nikotin, tar dan ribuan zat beracun lainnya.

Lebih konkret, berdasar Pasal 2 (1) UU No 39 Tahun 2007 Pasal 2 barang yang kena cukai manakala; konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undangundang ini.

Diantara keempatnya, yang paling inspiratif adalah pada ayat 1 (d) khususnya pada idiom “demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang undang.” Mengapa demikian tidak lain, karena betapa penuh tantangan, perdebatan, terbuka bahkan eksperimen bila menyangkut atas nama keadilan dan keseimbangan. Rasanya ini berlaku bagi orang biasa, masyarakat, birokrat, pengusaha maupun penguasa. Terlebih lagi, bila saling berpegang kukuh pada subtansi dan filosofi atas apa yang disebut sin tax.

Masyarakat telah tahu selain tembakau dua yang lain terkena cukai yaitu Etanol dan Alkohol. Tanpa membedakan satu dari ketiganya, sesuai perundangan, penggunaan nikotin harus diatur, dibatasi, dicegah di luar keperluan medis. Cukai dari barang mengandung dua zat kimia ini tak populer. Sekarang yang amat penting untuk diketahui, dipopulerkan untuk kemudian dikontrol penggunaannya oleh masyarakat di masing-masing daerah di Jawa Timur adalah jalur alur dana total Rp 613,451.367.661 miliar tersebut.

Sekadar contoh, Kediri dan Malang santer menjadi perhatian publik lebih dari sekadar fakta keduanya termasuk penerima dan penyetor terbesar cukai tembakau. Beberapa waktu lalu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang mengingatkan Pemerintah Kota Malang mengkritik ketidaksesuai menggunakan dana bagi hasil cukai tembakau pada 2009. Seharusnya dana DBHCT hanya dibagikan kepada pengusaha UKM di sekitar pabrik rokok, kenyataannya diberikan kepada pengusaha UKM di seluruh kelurahan di Kota Malang. Untuk program penyuluhan bagi karyawan perusahaan rokok, petugas hanya datang meminta tandatangan. Desakan untuk agar dipakai untuk membangun rumah sakit bagi korban gangguan rokok, pun luput.

Tak kurang menghebohkan lagi, saat ini Kejaksaan Negeri mengincar sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Kediri terkait dugaan penyalahgunaan dana itu yang mencapai Rp 44,4 milliar. Sejumlah pejabat tersebut, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora), Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), dan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Kediri. Pemeriksaan terkait dengan data penerima dana bagi hasil cukai 2009 pada sepuluh Satuan Kerja, termasuk di dalamnya Kantor Lingkungan Hidup, Satpol PP, Dinkoperindag, Bagian Ekonomi Pemerintah Kabupaten.

Mengawal jalur alur Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau diarahkan agar setiap orang kemudian mengerti kompleksitas dan kontroversi persoalannya di balik perolehan cukainya kendati pemerintah pasang badan dengan menerbitkan rupa-rupa regulasi mengamankan.

Atas dasar kompleksitas di balik gebalau cukai, tidak banyak yang tahu, bagaimana setahun lalu Departemen Keuangan musti mengeluarkan peraturan NOMOR 20/PMK.07/2009 untuk merevisi atas peraturan NOMOR 84/PMK.07/2008 . Terbitan mutakhir Permenkeu NOMOR 20/PMK.07/2009 memberi perintah terbaru kepada pemerintah daerah. Diantaranya, mengubah Pasal 1 (2) dan menambah ayat (3) yang memberi kewenangan Gubernur untuk mengatur dan mengusulkan kepada Menkeu untuk disetujui dalam Permenkeu. Sebelumnya tak ada kewenangan itu. Pasal 3 (1b) ditambah kata mendorong. Mendorong pembudidayaan bahan baku berkadar nikotin rendah.

Artinya, perintah untuk memproduksi nikotin meski berkadar rendah diizinkan dikurangi proaktifnya. Tampaknya, ayat ini menjadi sangat penting tafsir dari implementasinya—mengingat eksplisit berurusan dengan zat kimia berbahaya. Tentu segalanya berpulang pada Pemerintah Daerah. Lalu, pada pasal 6 (3) menghapus kata harus yang boleh jadi tidak mengharuskan lagi Gubernur/Bupati/Walikota menyusun, mengadministrasikan, dan memutakhirkan database industri hasil tembakau.

Kemudian yang tak kalah spektakuler adalah dihapusnya kata dan/atau dari pasal 7 (1c) yang artinya penetapan kawasan tanpa rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum adalah kewajiban dan bukan pilihan. Pemerintah pusat masih perlu menambah dua ayat yang sebelumnya tak ada, perhatian pada pelatihan buruh industri hasil tembakau dan penguatan ekonomi dan pengentasan kemiskinan masyarakat lingkungan industri hasil tembakau.

Dua ayat tambahan ini, tampaknya paling gamblang bila dilihat dari prespektif azas keadilan dan keseimbangan. Satu sisi menimbang demi mengukuhkan dan mengokohkan industri hasil tembakau, sisi yang lain menakar warga miskin dan pengangguran di sekitar industri—yang sebetulnya sisi yang ini mudah dimengerti tapi susah dicerna bila terkait angka kemiskinan. Betapa kemiskinan sulit untuk tarik dalam skala prioritas.

Masyarakat miskin di luar lingkungan industri hasil tembakau, juga tidak lebih sedikit atau lebih banyak. Sekaligus paling gampang dimengerti manakala ada yang menilai dua ayat terakhir ini representasi ambiguitas regulasi di bidang cukai tembakau. Memang ambiguitas tersebut hampir tak masuk akal dilampaui, semenjak terukur dari subtansi dan filosofi cukai sebagai sin tax. Dalam kosakata yang sedikit imajinatif, yang diperlukan pajak dosa hanyalah penebus dosa.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah berdiri di dua alam dan dikuatkan sendiri ambiguitas itu dengan ”memelihara” kewajiban memberi tebusan. Tanpa harus membuat usaha-usaha kecil hasil tembakau gulung tikar. Bila pemerintah bersikap tegas dalam hal regulasi dan implementasinya, maka semuanya akan menjadi jelas pula. Andai angka 2 persen yang dikembalikan ke daerah secara keseluruhan diperuntukan biaya kesehatan penyakit akibat rokok, juga menuai soal yang tak kalah rumit.

Data banyak mengungkap biaya untuk itu jauh lebih besar dibanding keseluruhan perolehan cukai. Apalagi sebatas 2 persen. Sekalipun memakai term logika dasar bahwa dana cukai adalah dana perokok. Term yang lain tentu bisa diperpanjang berkat data lain, semisal 70 persen perokok adalah orang miskin. Artinya, orang miskinlah yang sahih diberi hak atas dana cukai, untuk apapun kepentingannya, tinggal mengatur di atas kertas. Dengan demikian keadilan dan keseimbangan bisa mendapat pengertian yang baru.[]



*) Penulis adalah peneliti pada Center for Relegious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.