Sinar Harapan, 30 Mei 2010
CEMBURU
Cerita Pendek S.Jai
AKU lebih suka memanggilmu Arimbi, meski namamu sebenarnya Arum. Bukan maksudku, rasa hatiku sulit untuk menterjemahkan aroma namamu seindah itu. Mungkin aku sulit untuk mengungkapkan—setidaknya untuk saat ini—seluruh gebalau perasaanku, otakku, jiwaku ketika menyaksikanmu duduk di pelaminan bersebelahan dengan kekasihmu.
Mungkin aku pencemburu. Sebab itu andaikata Arimbi adalah dendam rinduku akibat cemburuku, aku sama sekali tak kuasa mengelak dari tuduhan itu. Tuduhan yang sangat menghunjam, ketika melihat pesta pernikahanmu di cuaca siang yang cerah. Meski sebetulnya bulan ini adalah bulan-bulan paling rajin bagi langit untuk mencurahkan hujan ke tanah ini, juga tanah perbukitan di kampungmu.
Lagi-lagi, aku dibuat takjub, atau lebih tepatnya syak wasangka buruk. Engkau sepertinya telah mengerahkan berpuluh-puluh pawang hujan yang nyungsang di kampung, karena seantero penghuninya mengharapkan hujan datang agar benih tanaman, ternak, dan petani bisa mengumbar senyum melihat daun emasnya berkembang.
Arimbi, jangan engkau marah. Jangan lalu kau beritakan perasaanku, pikiranku, naluriku yang edan ini kepada kekasihmu—yang kini telah resmi menjadi suamimu. Jangan. Aku hanya sedang utarakan padamu perihal kembara jiwaku melihat kecantikanmu. Itu saja. Ah, andai kau tahu bagaimana tajam mataku ketika melihatmu tengah melipat bibir, justru saat duduk di pelaminan dan didoakan banyak khalayak.
Mungkin aku tidak sedang mendoakanmu, saat itu, pada waktu seluruh tamu seperti lebah memanjatkan amin. Doaku telah menyatu dalam tubuhku, kekagumanku, mimpiku, khayalku sejak sebelum engkau dipersunting lelaki yang kini engkau cintai itu. Jadi aku datang di hari pesta pernikahanmu, hanya untuk menjadi saksi kebahagianmu, juga saksi bagi kepedihan diriku sendiri. Ini sudah menjadi hakku—menjadi seorang yang pesakitan, di saat orang lain dalam kebahagiaan. Kau mungkin baru tahu, Arimbi.
Baiklah, sebaiknya kukatakan padamu perihal pesakitan yang mungkin kaupun sebetulnya sedang mengantongi di balik cemerlang gaun pengantinmu. Jangan coba-coba membohongi aku, dan sebaiknya kaupun harus jujur pada dirimu sendiri. Sebetulnya seorang wanita adalah makluk di bumi yang paling memuja pesakitannya. Hanya karena kecantikan dan senyum yang selalu ditebar, atau sikap malu-malunyalah yang membuatnya kuat sepanjang hidupnya merahasiakan itu semua.
Arimbi, di depan kekasihmu jangan bukalah tudung rahasiamu perihal sakit itu agar tahu bahwa itu semua tak berguna bagi suamimu. Sebelum pada saatnya, dengan cara yang setepatnya pula. Tahukah kamu Arimbi, bahwa di ranjang pengantinlah tempat yang paling tepat untuk menyingkap segala bentuk rahasia jiwa di depan kekasihnya.
Engkau boleh takut dan was-was kepadaku, Arimbi. Tetapi tidak pada suamimu—karena sudah barangtentu kekasihmu itu, calon ayah dari anak-anak yang bakal lahir dari rahimmu itu, akan melepaskan juga segala rahasia jiwa ke dalam sebentuk cinta di tempat yang sama. Kata kuncinya adalah saling melepaskan atau sama-sama membantu melepaskan. Sejak dari rindu dendam, hasrat, birahi, dan bahkan laknat. Saat itulah awal pengetahuanmu perihal pesakitan, mungkin juga awal pengetahuan kekasihmu soal disakiti atau menyakiti. Ah, bukan maksudku aku memandang sebelah mata dengan hati atau matahati terhadap kekasihmu, mempelaimu, suamimu.
Karena itu kusimpulkan saja engkau dan kekasihmu sama-sama terjangkit penyakit suka menyiksa diri. Engkau memuja rasa sakit lantaran rasa sakit bagi wanita adalah gerbang dari menuju kebahagiaan tatkala bercinta, saat gairah api cinta menyala dan membakar hangus seluruh tubuh dan jiwamu hingga hilang bentuk dan remuk. Demikian juga yang terjadi pada gelora meledak-ledak kuasa lelakimu yang sampai pada titik tertentu ia musti menghunjamkan kekejaman pada seluruh tubuhmu sejak permukaan kulit hingga rongga ngangga bahkan seolah sudi meremukkan tulang belulangmu hingga luluh lantak. Pada saat tertentu kalian sepasang kekasih yang saling meniadakan, saling menerbangkan jiwa seolah-olah menuju alam cita. Semua itu hanya berbatasan tipis di bibir pinggir ranjang pengantinmu, Arimbi.
Masuklah, merasuklah. Dua menjadi satu, satu menjadi dua. Selamat Arimbi, selancarlah sampai ujung terjauh, bahkan lebih jauh dari samudera yang selama ini dikunjungi para pencinta manapun. Aku bermaksud menunjukkan gerbang padamu, Arimbi. Barangkali engkau hendak memasuki sebelah mana yang kau pilih, terserah padamu. Pintu gerbang itu amatlah terbuka bagi sepasang pendatang-pendatang yang mabuk oleh segelas piala air dari Yang Maha Hidup.
Karena inilah aku memberanikan diri memanggil namamu Arimbi, meski nama sesungguhnya anugerah orangtuamu adalah Arum. Orangtuamu telah melunasi keinginannya dengan menjadikanmu bunga desa di kampung itu. Betapa engkau telah memiliki lika-liku, lekuk jalanan menanjak berbukit seperti di tubuhmu. Di puncak tertinggi engkau semacam mata memandang ke arah gunung Anjasmoro.
Arimbi, engkaulah gerbang itu. Gerbang kebahagiaan hidupmu penyatuan antara dua dunia laki-laki dan perempuan. Bekal nasehat dari tetua kampung, seorang kiai ternama keturunan Prabu Brawijaya VI atau Pangeran Benowo yang telah paham apa arti cinta bagi khalayak insan kamil menjadi gerbang lain dari perjalanan hidupmu. Doa dan harapan leluhur-leluhurmu di sisi yang lain seperti tuah yang melapisi besi berabad-abad lamanya dan menghidupi spirit penganutnya.
Apalagi, Arimbi, bukan rahasia lagi perkampungan dan bukit-bukit yang meliuk dengan pepohonan hijau membentang, adalah sebuah jalan lempang menuju dua peradaban. Terang saja, ini adalah ruh hidupmu yang lain, agar engkau tidak pernah mati obor nenek moyang leluhurmu, Arimbi. Berabad-abad yang lalu, di depan rumahmu ini membentang jalan dua kerajaan besar Majapahit dan Kediri dengan tentara-tentaranya yang disiplin, berani, tangguh dan sesekali juga kejam.
Kau perlu tahu, meski ini sedikit melantur, di bukit yang lain terbentang di utara, seorang patih yang kelak mengharumkan nama negeri lahir—Gajah Mada dari dusun Mada. Dialah seorang yang sangat patuh pada rajanya, Hayamwuruk, yang tentu tak lagi kau heran di kampungmu ini, aroma keharumannya paling sempurna—mungkinkah Hayamwuruk pernah mampir ke rumahmu, Arimbi? Lalu merokok, sambil melihat masa depan bahwa kelak di kampung ini bakal ada dara yang mendapat pancaran sinar kecantikan Dewi Parwati? Atau baginda bakal yakin bahwa kelak di suatu hari akan tiba saatnya seorang gadis punya nama Arimbi, istri sang patriot Bima itu?
Aku sudah tidak sabar Arimbi. Karena itu kupaksa kau menyandang nama itu! Kesalahanmu satu-satunya hanyalah, memaksa aku menyaksikan pesta pernikahanmu dengan Bima, di penghujung senja tahun 2008 ini. Kamulah yang memaksa aku, menghidupkan lagi arwah Ratu Tribuawana Tunggadewi, sang baginda ratu leluhur Prabu Hayamwuruk dari kremasi abunya yang disimpan di dalam bangunan candi. Betapa sunyinya sang ratu dalam kesendirian. Sepi memagut dengan ruh rambut yang hempas angin kencang atau rintik-rintik gerimis yang mulai datang.
Arimbi, lihatlah! Kau pasti diam saja dan tak beranjak dari kursi keemasanmu, ketika aku dalam bayang gerimis berlari kencang menuju altar candi dan meneriakkan keras-keras namamu. Segulir tetes airmatamu pun tidak akan meruntuhkan kesedihanmu begitu aku tahu aku sedang kesurupan hebat. Aku kesurupan oleh ruh apa saja, segala danyang-danyang penunggu candi. Aku tidak peduli sama sekali karena yang ada di kepalaku hanyalah namamu: Arimbi. Mungkin aku bersedih. Mungkin juga aku sedang gila. Apalagi puluhan penduduk kampung malah meneriaki aku. Mereka mengejar aku yang menerobos masuk halaman candi. Berputar-putar dari pintu ke pintu lalu ke bilik situs candi. Sebagian warga lainnya kudengar, mulai paham dengan kesurupanku. Beberapa yang berhasil menangkapku memaksaku untuk berbaring sebelum akhirnya menyandarkan tubuhku di dinding lapis batu bata candi yang ditata miring itu.
Satu-dua orang mengintrogasi aku dengan pelbagai pertanyaan. Aku masih waras karena mustahil aku menceritakan keinginanku bercinta dengan istriku, semenjak melihat kecantikan Arimbi. Aku hanya tak bisa menjawab pertanyaanku sendiri, mengapa justru aku berlari menuju altar Candi Arimbi?
Ah, mungkin benar aku kerasukan ruh sang Ratu. Barangkali juga ruh istriku. []
Catatan:
Candi Arimbi, terletak di Dusun Ngrimbi, Desa Pulosari Kecamatan Bareng, Jombang. Candi ini masih kokoh berdiri di bawah kaki Gunung Anjasmoro. Namun kondisi candi dengan panjang 13,24 meter, lebar 9,10 meter dan tinggi 12 meter kian memprihatinkan dan banyak yang sudah tidak utuh lagi. Dulu, di ruang utama (kini ruangan ini sudah tak ada lagi) ditemukan Arca Parwati, istri Dewa Siwa sebagai simbol wanita dengan kesempurnaan seorang wanita, ibu dan istri. Parwati juga dianggap sebagai dewi lambang kesuburan. Arca Parwati yang ditemukan di Candi Rimbi melukiskan Ratu Tribuana Wiajaya Tunggadewi, ratu Majapahit yang memperintah pada 1328 - 1350 M.