Radar Surabaya, 6 Juni 2010
Dari Pentas Blakotang Bengkel Muda Surabaya:
Mentertawakan Kemiskinan
Oleh: S. JAI *)
TERTAWA sebetulnya adalah peristiwa teater. Sekalipun tertawa itu klise. Sementara peristiwa teater senantiasa menolak hal-hal yang bersifat klise. Karena tertawa berdasarkan temuan ilmu kesehatan dan psikologi mutakhir membuat manusia itu sehat. Sebagaimana pula tugas kesenian, teater adalah menemukan manusia sebagaimana keutuhannya, juga kesehatannya.
Pada drama-drama konvensional sejak zaman Yunani telah kukuh mengakar perihal itu. Bahwa Plato, Aristoteles, Sophocles, Aeschylus, Euripides dan Aristophanes.mempercayai dan menyakini apa yang kemudian disebut catharsis. Nyanyian pengantar tragedi upacara korban penyembelihan kambing diimani sebagai pengantar pengutuhan manusia menjadi dewa kesuburuan (Dyonisius). Juga pada komedi sebagai karikatur cerita duka dengan tujuan menyindir penderitaan hidup manusia—penderitaan yang berujung pada happy ending.
Yang perlu digarisbawahi adalah kata karikatur yang dalam bahasa mereka menggunakan mimetic, tiruan, imitasi kehidupan jasmaniah demi kepentingan kenyataan. Karena itu, berdasarkan pemahaman konvensional drama-drama tersebut, yang menentukan kualitas drama bukanlah terletak pada sejauh mana kepentingan imitasi (artistic) belaka namun demikian juga tergantung pada seberapa luas demi kepentingan memperjuangan kenyataan (estetik) dari pertunjukkan drama tersebut.
Dengan kata lain, sekalipun tertawa adalah sesuatu hal yang klise, namun demikian bagaimana cara tertawa, apa yang ditertawakan, siapa yang ditertawakan dan mengapa tertawa sangatlah mungkin menentukan kualitas tertawa itu sendiri. Yang pada akhirnya juga menentukan kualitas pengutuhan diri manusia—teater itu sendiri maupun publicnya.
Drama Blakotang yang Selasa malam 25 Mei 2010 dipentaskan di Balai Pemuda, Surabaya hampir 2, 5 jam, mengisahkan pahit getir kehidupan kampung kumuh (slum) di pinggiran rel kereta. Sepasang suami istri Sanim dan Lasmi, diperankan Hengky Kusuma dan Irfa setiap hari cek-cok karena himpitan ekonomi. Sanim pengangguran dan Lasmi membuka kedai kecil. Sementara Kamit (Multato) pedagang keliling mainan anak-anak dengan mengayuh sepeda onthel, akhirnya terbelit utang rentenir dan berakhir membunuh sang rentenir. Sementara Mariyoso (Puryadi) hanyalah pengamen yang bergelut dengan kata-kata bijak dan Mak (Ndindy) tinggal sendirian di gubuk yang menyandarkan takdir dengan memanggil Bandang, sang anak yang entah berada dimana.
Barangkali Karsono selaku sutradara pertunjukan teater Blakotang, yang malam itu persembahan dari Bengkel Muda Surabaya sengaja menggabungkan unsur tragedi dan komedi untuk keperluan itu. Mempertajam tragedi sekaligus merangkum komedi. Atau sebaliknya memboyong komedi sembari memanggul tragedi. Dua hal yang sebetulnya sangat berat dalam konsep sekaligus amat sulit untuk dikuliti pada era mutakhir, modern dan pasca modern saat ini. Rupanya, eksperimen Karsono terletak pada membiarkan itu terjadi pada peristiwa teater dan pembiaran itu beresiko pada usaha untuk menguji masing-masing pihak: Karsono menguji dirinya sendiri, menguji aktor, menguji audience. Termasuk di dalamnya ajakan untuk saling menguji kualitas dirinya sendiri—aktor maupun audience.
Setidaknya peristiwa teater tersebut bakal selancar di puncak-puncak pencapaian jawaban bahwa di luar tertawa itu sebagai sesuatu yang klise, apakah masih banyak hal-hal klise lainnya yang patut ditertawakan. Atas dasar eksperimen Karsono menguji itu, tentu jawabannya pun beragam, tergantung respon dan kebutuhan masing-masing. Namun secara umum peristiwa teater itu sendiri bersepakat bahwa sedang berlangsung kegiatan mentertawakan kemiskinan. Terlepas dari identifikasi dan identitas makluk apa dan siapa sebetulnya kemiskinan itu? Sehingga sukses Blakotang sebagai komedi, bisa jadi lebih terletak pada menempatkan sudut pandang (point of view) saya, kami, kita ke dalam usaha untuk satu frame ideology mentertawakan kemiskinan tersebut.
Hal ini pula tampaknya yang menjadi kekuatan teks teater Blakotang. Pada akhirnya kedekatan teks naskah dengan audience dipercaya agar public menentukan sendiri mengidentifikasi di belakang teks kemiskinan—walaupun sebetulnya tidak bisa dijadikan alibi bagi sutradara maupun aktor-aktor untuk tidak melakukan riset dan studi kasus pada masyarakat. Tema kemiskinan yang kemudian dibalut dengan bahasa Suroboyoan maupun spirit budaya arek memang ampuh untuk usaha mendekatkan teater dengan audience. Andaikata, Karsono sadar keampuhannya ini bukanlah hal satu-satunya yang terpenting bagi proses teater, mungkin teks-teks Blakotang akan lebih berbalik menambah kualitas bahasa Suroboyoan maupun spirit budaya arek tersebut. Bahwa keduanya tidaklah sekadar kendara atau alat teater—sebagaimana selama ini telah banyak digunakan oleh ludruk dan mencapai titik kulminasinya pada jula-juli Kartolo Cs--, melainkan keduanya adalah materi teater itu sendiri.
Kehebatan lain yang muncul dari peristiwa teater Blakotang adalah semangat untuk mendamaikan antara melodrama dan komedi. Mengutip kamus sederhana Simpliology-nya Mark Joyner, melodrama sebagai situasi yang tidak bisa dihindari, terlepas dari usaha terbaik sang korban peristiwa dan tragedi sebagai lakon yang menggambarkan berbagai peristiwa malang akibat kelemahan karakter seseorang. Pada melodrama, ada takdir yang menempatkan dirinya dalam situasi hitam atau putih. Sementara tragedi lebih menyingkap kesanggupan untuk mengampu pada keyakinan yang hidup dan tumbuh dalam dirinya. Semacam konflik dalam diri akibat tragika antara nasib dan kebebasan, antara “hukuman” dan hasrat jiwa. Dalam bahasa Oliver Marchand, sebagaimana dikutip Goenawan Mohamad, melodrama dibangun oleh monopati yaitu kesatuan perasaan yang membuat seseorang merasakan diri utuh. Tokoh-tokoh dalam sebuah melodrama “tak punya konflik yang mendasar dalam dirinya"-berbeda dari tokoh-tokoh tragis, yang terobek-robek antara nasib dan kebebasan, antara kewajiban besar dan gelora hati.
Secara tanpa tedeng aling-aling, teks Blakotang menyediakan itu semua melodrama, tragedi sekaligus komedi, hal yang dalam dunia nyata sebetulnya amat sulit kita jumpai. Barangkali karena ini imitasi, ini hanyalah teater dalam pengertian waham Yunani. Maka titik temu dari silang sengkarut itu ada pada kualitas karakter tokoh-tokohnya secara psikologis—meski sudah barang tentu sonder lepas dari aspek sosiologis. Ada tiga demensi yang terbentuk karenanya, yang dalam bahasa Giddens disebut motivasi tak sadar (unconciuous motives), kesadaran praktis (practical consciousness) dan kesadaran diskursif (discursive counsciousness). Tentu ketiga-tiganya tentu bisa berkecamuk dalam satu dunia, meski tentu ada yang mendominasi.
Mengusung banyak sekali konsep gagasan memang bukan tanpa resiko. Sayangnya seringkali, resiko-resiko itu tidak diikuti dengan riset atau studi kasus yang mengerucut pada satu titik temu gagasan yang baru. Acapkali yang dipilih adalah jalan pintas, kompromis dan menaklukkan hal-hal teknis serta penyiasatan untuk kemudian bisa tetap leluasa tertawa. Pun pada Blakotang, banyak teks-teks yang tidak didukung logika teks yang sehat, cerdas dan menggelitik kendatipun tak sedikit muncul irrasional teks teater yang menakjubkan.
Boleh jadi segalanya boleh ditempuh, asal bisa tertawa. Sekalipun dengan cara berpikir Aristotelian—teater musti mentertawakan dirinya sendiri. Ia musti melayani demi kenyataan hidup yang lebih baik biarpun dengan rendah diri. []
*) Penulis adalah pengarang, Kepala Devisi Budaya Center for Relegious and Communtiy Studies (CeRCS) Surabaya.