Kamis, 17 Juni 2010

esai

(Jawa Pos, Kamis 17 Juni 2010)


Menimbang Revisi Perda KTR-KTM

Oleh: S. JAI




LEBIH enam bulan Perda Nomor 5 Tahun 2008 Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (KTR-KTM) di Surabaya resmi diberlakukan. Sepanjang waktu ini, di luar dugaan, ternyata terdapat fakta-fakta yang mencengangkan.

Setidaknya fakta-fakta tersebut bisa tersingkap dari hasil survey terhadap sejumlah kawasan yang dilakukan oleh CeRCS (Center for Relegious and Community Studies) April 2010 lalu. Survey yang dilakukan dengan metode simple random sampling, menetapkan 129 kawasan yang semua lokasi kawasan tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih.

Hasilnya, secara sederhana dapat dikutip sebagai berikut. Tidak semua kantor pemerintahan (52,6 persen) menyediakan ruang merokok khusus. Tidak semua terminal umum angkutan kota (56,8 persen) menyediakan ruang merokok khusus. Kantor tempat kerja swasta, sarana-sarana umum, dan tempat perbelanjaan (38,9 persen) menyediakan ruang merokok khusus. Akan tetapi semua tempat rekreasi di Kota Surabaya tidak menyediakan ruang merokok khusus khusus.

Fakta lain yang tak kalah mengejutkan, pada angkutan umum sebagai sarana transportasi publik dan bertemunya semua orang dengan segala usia dan jenis kelamin justru sangat sedikit adanya tanda peringatan “Dilarang Merokok” (15 persen). Kemudian, masih banyak pengunjung dan pegawai pemerintahan yang mengabaikan tanda-tanda peringatan dan melakukan kegiatan merokok tidak di ruang khusus yang disediakan. Sementara, kenyataan yang penting untuk dicermati adalah bahwa tanda peringatan “Dilarang Merokok, Ruang Merokok, dan Petunjuk Ruang Merokok” pada kantor-kantor pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis di dalam Perda.

Dengan kata lain, kenyataannya setelah enam bulan implementasi, Pemkot Surabaya sama sekali belum siap dengan infrastruktur perda. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan angkat topi bagi warga kota Surabaya, karena sebanyak 87,4 persen menyatakan persetujuannya Perda KTR-KTM ditegakkan secara serius. Walaupun tidak semua perokok membaca pasal demi pasal dari perda, apalagi perundangan yang lebih tinggi.

Sebetulnya berdasarkan Undang-Undang Kesehatan terbaru, UU Nomor 36 Tahun 2009 di sana sama sekali tidak disebut-sebut apa itu Kawasan Terbatas Merokok. Pada pasal 115 (ayat 1) hanya mendiskripsikan Kawasan Tanpa Rokok saja. Yakni, fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Lantas, dipertegas pada ayat 2 bahwa Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.

Artinya, apa yang disebut Kawasan Terbatas Merokok pada Perda KTR-KTM yaitu tempat umum dan tempat kerja (Pasal 4 ayat 1) dan ditegaskan pasal 12 dan 13 pada Perwali Nomor 25 Tahun 2009, sebetulnya termasuk dalam Kawasan Tanpa Rokok sesuai UU Nomor 36 Tahun 2009. Tak hanya itu, bahkan secara jelas ketika penyusunan draff Perda KTR-KTM pun sebetulnya telah menimbang dan memperhatikan Surat Menteri Dalam Negeri tertanggal 17 April 2008 tentang Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia dan Larangan Merokok di Tempat Umum dan Ruang Kerja. Entah mengapa, dan agak sulit memang untuk bisa diterima korelasinya jika pada akhirnya yang resmi diberlakukan di Surabaya adalah Perda Kawasan Tanpa Rokok dan Terbatas Merokok.

Sudah barang tentu, dua karakteristik kawasan tersebut sebagaimana terdapat dalam Perda KTR-KTM konsekuensinya pun amat berbeda. Dengan mempertimbangkan Kawasan Terbatas Merokok atas nama sikap toleransi terhadap para perokok, pemerintah musti menyiapkan atau setidaknya memastikan kesiapan pelbagai infrastruktur terkait Ruang Khusus Merokok. Akan tetapi mengacu pasal 14 Perwali No 25 Tahun 2009, ruangan yang terpisah dari area bebas rokok, dilengkapi alat penghisap udara, dilengkapi dengan sistem sirkulasi udara yang memadai tersebut, bisa dipastikan bahwa standar tempat khusus untuk merokok itu sangat mahal.

Berdasarkan fakta tersebut, tentu masuk akal bilamana danalah alasan utama sulitnya penegakan Perda KTR-KTM pada kawasan terbatas merokok, sebagaimana diakui Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya dalam kesempatan wawancara CeRCS dengan dr. Esty Martiana Rachmie, 24 Maret 2010 lalu. Walaupun pada kesempatan lain Walikota Surabaya Drs Bambang DH saat diwawancarai CeRCS pada15 April 2010 membantahnya. Saat itu Walikota menegaskankan Pemkot telah menyediakan dana baik dari APBD (pos Dana Alokasi Umum) maupun Dana Alokasi Khusus (dari Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau).

Atas dasar beberapa alasan pendorong yang sebetulnya false alias kurang tepat (baik karena perimbangan anggaran maupun dasar hukum) dan tidak cermat tersebut, alangkah bijak bilamana perlu untuk kembali mendorong pelaksanaan seratus persen free smoking area (area bebas rokok) di Surabaya. Setidaknya berlaku kawasan tanpa asap rokok dalam ruangan. Dengan menggiring sekaligus membebaskan asap rokok keluar ruangan, dengan demikian pihak manapun tidak perlu dana besar untuk pembangunan ruang merokok mewah. Hal ini sekaligus mencegah kemungkinan kesempatan terjadinya korupsi atas penggunaan dana-dana yang mustinya diperuntukkan pembangunan ruang khusus merokok.

Alasan yang terakhir ini bukan hanya isapan jempol belaka, selain melihat kenyataan bahwa masih banyaknya tempat merokok yang dibangun tetapi tak sesuai ketentuan Perda, sebaliknya yang sesuai Perda pun masih pula tidak bisa membebaskan ruangan dari asap rokok. Sangat mungkin sebetulnya pembangunan ruang khusus merokok yang telah ada telah “kompromis,” sama sia-sianya dengan pembangunan ruang khusus merokok yang mewah dan sesuai standar perda tetapi diabaikan oleh perokok.

Terang saja dua hal tersebut—kemungkinan kesempatan korupsi dan perilaku para perokok yang buruk—tidak ada hubungannya, walaupun bukan tidak mungkin kedua hal itu bisa terkait dengan mental budaya masyarakat kita.

Maka satu-satunya jalan tengah yang elegan dan bertanggungjawab saat ini adalah merevisi Perda Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok menjadi sepenuhnya Perda Kawasan Tanpa Rokok.[]



Penulis adalah peneliti pada Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya