P E N G A R A N G
Cerpen S.JAI
(Tabloid Memo Edisi 152 Minggu III Juni 2010)
SETIAP hari Jauhar mencari penjual ginjal, setelah dokter memvonis kedua buah ginjalnya tak berguna. Dia telah dibuat mengerti, bahwa itu satu-satunya jalan untuk mengakhiri rutinitas cuci darah di laboratorium Rumah Sakit di Gresik dua kali saban seminggu. Meski ia tahu hal itu juga salah satu jalan kemungkinan untuk mengakhiri hidupnya. Pada saat demikian, dia benar-benar ada di garis batas berjuang memberi arti antara gairah untuk hidup dan gairah untuk mati.
Saya menjadi lebih sedikit mengerti bahtera di rumah majikan saya itu. Hanya karena saya sering diserahi pekerjaan beres-beres rumah Jauhar, mengecat kusen, menambal tembok, memasang kran, mengantar istrinya belanja, menjemput anaknya dari sekolah atau apa saja.
Di rumah itu saya hanyalah orang lain. Dia majikan dan saya pekerja serabutan.
Memang pada selanjutnya, saya mengerti banyak keadaan rumah tangga Jauhar sekeluarga. Semula ini saya nilai kejadian biasa, sebagaimana banyak terjadi bahwa seorang pembantu tentu lebih tahu ketimbang tuan rumahnya. Boleh dikata, pembantulah sebetulnya penguasa dalam sebuah rumah tangga kaya. Sementara majikan hanya anak-anak manja yang bergantung banyak padanya.
Ternyata, pengertian saya ini malah berkembang luar biasa. Saya malah merasa sedikit saja tahu tentang diri saya, selanjutnya tersedot oleh apa yang dimiliki majikan saya---penderitaan Jauhar sekeluarga. Saya memahaminya pada Jauhar ada gairah hidupnya yang sungguh tak pernah padam. Yaitu gairah untuk menuliskan kisah hidupnya dalam sebuah karangan entah fiksi, biografi ataukah sekadar catatan perjalanan.
“Dia tak pernah takut menghadapi hidup atau mati tetapi ia bakal kehabisan nyali bila suatu saat tak punya materi untuk dia karang dalam kertas-kertas kerjanya,” isi pikiran saya ini masih saya simpan untuk saya sendiri.
Lagipula, Jauhar telah sanggup melunasi jalan kehidupannya—kebutuhan hidupnya, kenikmatan dari itu semua ia peroleh dari jerih payah setiap alenia hasil tulisannya. Dia masih muda. Rumah ia punya, istri punya, anak ada, mobil tersedia. Apalagi hanya kulkas, kompor gas, piring, semuanya telah dia punya.
Ia hanya merasa tidak punya dua buah ginjal.
Sama halnya dengan saya, Jauhar terlihat getir melihat begitu marak orang bunuh diri dari kabar koran-koran dan layar televisi. Tidak satupun diantara mereka diduga oleh sebab memiliki cacat fisik, apalagi karena tak berfungsinya bagian dalam tubuhnya. Tidak pernah ada. Hampir pasti, semua terjadi karena kelainan jiwa. Mereka mencari jiwa di plasa-plasa, mal, tiang listrik, tower pencakar langit. Baru kemudian mereka meyakini bakal menemukan diri sesudah meremukan tubuhnya.
Jauhar hanya mencari sebutir saja ginjal sebelum menjemput ajal.
Kegetiran boleh jadi rasanya sama, tetapi apa yang dipikirkan seorang majikan dengan babunya, sudah barang tentu berbeda. Saya berpikir, satu hal lagi yang belakangan dipunyai majikan saya, yaitu penderitaannya. Selain kesusahannya sendiri oleh karena tubuhnya yang tiba-tiba saja beringsut seperti timun kisut, ibundanya, Nyonya Mening, sekarang pun betul-betul nelangsa melihat puteranya sedang berduka.
Kembali saya teringat pada kisah hidup Jauhar. Saya bayangkan bila ia menuliskannya dalam sebuah karangan, tentu jadinya serupa parade para penyandang cacat jiwa oleh karena derita. Toh, hal itu tetap ia lakukan karena ia seorang penulis meskipun bukan berarti ia seroang pemuja penderitaan. Ia tidak mengundang penderitaan itu, melainkan memang musibah datang beruntun berulang seperti gempa menghajar tanah ini. Lebih misterius dari datang tak diundang, pergi tak diantar. Lebih ngeri dari datang tanpa pesan, pergi tak permisi.
Mula mula, Lukman—kakak tertua Jauhar yang masih pengantin baru karena telat menikah—terpelanting jatuh dari ranting pohon mangga. Ketika itu Lukman bermaksud memetik buah mangga muda untuk kekasihnya yang konon sedang hamil muda. Naas, ia terjatuh setelah rantingnya pepes dan tengkuknya menghantam persis moncong sebutir batu bata. Ia pun seketika tak bisa menggerakkan sekujur tubuhnya, meskipun ia lancar bicara.
Semula kami sekeluarga menduga ia mengalami kelumpuhan saja. Oleh karena itu segera Lukman dilarikan ke Rumah Sakit Orthopedi Dr Soeharso di Solo. Setelah menjalani pemeriksaan, pihak rumah sakit angkat tangan dan dirujuk untuk cepat dibawa ke Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya.
Di Surabaya, pria pengantin baru itu langsung dibawa ke bagian bedah syarat. Di sana, Lukman dirawat selama beberapa hari dan yang paling sabar mendampingi di pintu kamar rumah sakit adalah ibunda Mening dan istrinya, Rukmini. Sementara saudaranya yang lain mencari dana dan beberapa saudara jauh diantaranya meminta jampi-jampi dari kiai untuk diminumka demi pemulihan pria naas itu. Lukman saudara tertua dari empat bersaudara Jauhar. Seorang lagi menjadi tentara dan satunya lagi kerja di perusahaan Semen Gresik di Tuban.
Ya, memang pada akhirnya Lukman meninggal dunia dalam hitungan yang sama persis dari pengakuan seorang dokter waktu masih dirawat di Solo. Bahwa paling lama ia akan bertahan hidup selama empat hari. Pengakuan yang terbungkus rapat baru terungkap beberapa saat sesudah kematiannya. Ah, tetapi barangkali ini tidak penting untuk diceritakan. Teka-teki bukan. Rahasia pun juga bukan lagi. Sekarang suara itu sekadar kembang di taman yang layu lupa tersiram.
Ibunda Mening sangat terpukul saat melihat salah seorang putranya mati di dekatnya. Terlebih, ia menghembuskan nafas terakhir tatkala ibunda Mening sejenak pergi ke kamar mandi guna menggosok gigi sehabis sarapan pagi.
Terus terang saya tidak bisa menggambarkan duka Ibunda Mening karena saya juga tak sampai hati mengisahkannya. Sempat saat itu, saya menikmati Ibunda Mening justru terlihat seperti anak kecil merengek berada di samping jenazah puteranya. Selanjutnya, dibutuhkan beberapa orang untuk menjauhkannya dari tubuh jenazah Lukman yang masih panas tubuhnya terasa di jari saya yang sengaja menyentuhnya. Saya hanya bisa menuliskan mahadukanya tatkala mencermati gurat-gurat keriput raut paras Ibunda Mening, mata sembab merahnya, lemah tubuhnya seolah luluh lantak karena kelelahan fisik dan digempur tangis jiwanya.
Pada sosok Ibunda Lukman tampak segalanya meredup seperti lampu senter yang kehabisan tenaga. Terlebih lagi, saya suntuk menyaksikan panorama itu semua saat beberapa saat keluarga mengurus jenazah Lukman di kamar mayat. Birokrasinya berbelit-belit dan entah mengapa sepotong mayat pun pantas untuk dikasihani, rupanya. Apalagi bagi yang hidup. Namun itu semua tidak terjadi.
Ditambah lagi ulah para calo sopir ambulan yang bersimaharajalela, benar-benar menjadi raja tega melempar-lempar keluarga jenazah Lukman dengan seenak udel memasang harga selangit. Sungguh, saya melihat kekejaman dari sorot mata mereka. Saat yang bersama-sama, saya bisa menangkap penderitaan dan kekejaman orang lain. Entah dari yang hidup atau yang mati. Ingatan saya pun terbang ke arah beberapa tahun silam di tempat ini, saat koran-koran memberitakan penjaga kamar mayat rajin menyetubuhi jenazah-jenazah perempuan manis berbetis kilau cahaya birahi.1)
“Wahai, kamar mayat di bawah atapmu saya tersekap riwayat kebiadabanmu!”
Semenjak Jauhar divonis gagal ginjal dan perlu donor ginjal, rasa sesal Ibunda Mening makin berlipat. Ibunda Mening menyayangkan mengapa kerusakan ginjal puteranya tidak terdeteksi sejak lama. Setidaknya semenjak beberapa bulan sebelum Lukman terjatuh dari pohon mangga. Tentu bila takdir Tuhan menghendaki sesuai kemauan pikiran Ibunda Mening, sekarang putranya tak perlu mencari penjual ginjal. Bukankah tinggal mengangkat dua buah ginjal saudaranya sebelum meninggal?
Kenyataannya, Tuhan berkehendak lain dan manusia hanya bisa mengarang cerita.2)
Lagi-lagi pikiran saya tidak jatuh pada rasa sesal Ibunda Mening, melainkan justru pada kekuatannya menghadapi sekian banyak gempuran petaka. Ia rajin merawat putranya, tanpa perlu tunjukkan pada orang lain apakah itu pertanda bakal kehilangan lagi anaknya, ataukah bukan. Yang ia pertontonkan hanya keterkejutannya melihat putranya digerogoti penyakit yang demikian mendadak sontak. Atau lebih tepatnya berjuang menghadapi kekurangpercayaannya atas garis hidup Jauhar yang baru belakangan hari diketahui ada cacat yang tersimpan di tubuhnya.
Suatu petang, sepulang dari peluncuran buku kumpulan cerita pendeknya di Jogjakarta, tanpa sebab yang jelas Jauhar muntah-muntah dan suhu badannya panas sekali. Setelah direkomendasi dokter untuk diperiksa di laboratorium, terdeteksi ada butiran darah pada air seninya meskipun hal itu tak tertangkap dalam pandangan mata biasa.
Setelah sekian kali pemeriksaan berulang, di hari yang berbeda, didapat keterangan kandungan protein dalam darahnya memuncak. Meski demikian, badannya tetap kekar, perawakannya tampak segar. Begitu seterusnya ia pun tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa—juga sudah barangtentu menulis cerita dan membuat catatan perjalanannya. Sampai suatu ketika dalam perbincangan dengan Rukmini, istrinya, karena dari diagnosa dokter penyakitnya tak kunjung reda, ia gemar pergi keluar kota mencari pengobatan alternatif: dukun, kiai dan sebagainya.
Setiap informasi yang dia terima, Jauhar dan Rukmini dengan membawa serta putrinya, Aini, cepat membuktikan ke tempat tujuan. Ke pelosok pun mereka kunjungi, ke bukit pun mereka cari. Ke pesisir pun mereka datangi. Tulungagung, Banyuwangi, Surabaya, Solo, Sampang, Sumenep dan kota-kota lainnya. Semua tertuang dalam catatan perjalanannya yang bagi saya lebih mirip pakansi ketimbang berburu keajaiban. Anehnya, keseluruhan dari “orang-orang pintar” itu menyatakan seragam bahwa Jauhar diguna-gunai semenjak lama. “Sudah lebih lima tahun, Mas Jauhar,” sebuah catatannya. “Karena itu agak berat untuk mencari obat. Tapi harus dicoba. Yang enteng-enteng sudah saya bereskan,” dalam sebuah catatannya yang lain. “Saya bantu doa dari jauh, Mas. Insyaallah,” tulis lainnya lagi. Selebihnya Jauhar diberi minuman air mineral yang sudah dimantrai, selain juga kadang-kadang disuruh buat jamu Jawa terbuat dari rempah-rempah tanaman obat. Terakhir kali Jauhar dipersilakan menggelar selamatan dengan ingkung dua ekor ayam jago berbulu putih, serta minum air laut yang mengalir masuk kapal laut atau sampan nelayan. Ia pun pergi ke pantai Tuban.
Semua itu dilakukannya tidak gratis alias keluar uang. Namun Jauhar tak pernah keberatan untuk itu semua. Baru belakangan hari saya tangkap itu semua sebagai apa yang saya sebut “gairah untuk hidup” dan “bukan gairah untuk mati.” Itu berlangsung beberapa bulan bahkan bertahun-tahun. Sampai suatu ketika Jauhar yang belum genap berkepala empat itu, kembali muntah-muntah dan suhu badanya naik dengan cepat. Tidak ada alasan lain kecuali segera dilarikan ke Rumah Sakit. Saat itulah, untuk kali pertama, diketahui dokter bahwa Jauhar mengindikasi penyakit ginjal dan telah dalam stadium lima alias kronis.
“Dua buah ginjalnya sudah tidak berguna. Pilihannya hanya dua cuci darah atau operasi cangkok ginjal,” kata dokter pada Rukmini, istrinya.
“Berapa biayanya, dokter?” Rukmini tanpa berpikir panjang.
Dokter menyebut angka bila operasi cangkok ginjal biayanya mencapai Rp. 500 juta. Sementara jika cuci darah berlangsung dua kali dalam seminggu. Sekali cuci darah menghabiskan dana Rp 800 ribu dan dirujuk ke Rumah Sakit Umum di Gresik.
Saya sudah lupa hingga hari ini, cuci darahnya telah berlangsung berapa lama. Yang saya ingat, semenjak seminggu lalu Jauhar menyatakan pada saya sudah tak bisa konsentrasi untuk menulis cerita karena waktunya telah lebih banyak ia habiskan mencari penjual ginjal di situs-situs internet. Waktu itu ia memanggil saya untuk menuliskan cerita buatnya, demi menumbuhkan semangatnya, menggelorakan gairah hidupnya; mencatat peristiwa demi peristiwa, apa yang dia pikirkan, rasakan dan lakukan. Saya pun diizinkan untuk mengembangkannya sepanjang tidak mengubah muatan kisahnya.
Semula saya ragu karena saya bukan penulis cerita apalagi yang mahir berbahasa. Sebab itu, sungguh tidak bisa saya mengerti permintaan majikan saya itu. Hanya saja saya tidak bisa melakukan hal lain kecuali itu. Saya pikir, di bawah keraguan saya, mana mungkin saya bisa menggantikan gairah hidupnya dengan menggantikannya sebagai pencerita dunia batinnya. Setelah semula saya menipu diri saya sendiri, baru kemudian setelah lancar bercerita, saya mulai sedikit mengerti.
Cerita ini juga saya tulis atas permintaannya, karena Jauhar sudah benar-benar tak sanggup melakukannya. Sampai suatu ketika saya betul-betul menemukan kejujuran saya kembali. Perihal kejujuran saya yang kembali ini tidak saya tulis dalam cerita permintaannya, karena memang bukanlah bagian dari permintaannya. Jadi sejujurnya cerita ini belum selesai dan mungkin tak akan pernah selesai, meski juga bisa berarti telah tamat dengan sendirinya.
Saya kemudian dibuat mengerti, bahkan sampai suatu saat tidak sampai hati saya untuk memahami lebih dalam. Sesuatu tumbuh dalam diri saya. Saya sampai hati untuk bermaksud mendonorkan sebelah ginjal saya kepadanya. Mungkin juga hal ini saya tempuh usai merasakan kembali kegetiran atas orang-orang yang meremukkan tubuhnya di lantai atau aspal di bawah plasa-plasa.
Tapi apa lacur? Sayang, segalanya terlambat baginya. Beberapa jam lalu Jauhar telah dipanggil yang kuasa. Sementara bagi saya, saya kian mengerti mengapa semenjak kini saya memilih hidup baru menjadi pengarang.
Alenia paling buncit ini, saya tulis tanpa sepengetahuan dia dan memang bukan atas permintaan dia.
“Sejujurnya sulit saya menuliskan gairah untuk hidup dan gairah untuk matimu, Juragan.”
Surabaya, 17 Desember 2009
Catatan:
1). Tampaknya peristiwa inilah yang mengilhami Sony Karsono, menulis cerita pendek “Sentimentalisme Calon Mayat” lebih sepuluh tahun lalu dan di muat harian Kompas. Sony Karsono sekarang menempuh program doctor di Universitas Michigan Amerika Serikat.
2). Hasrat tokoh saya yang dipaksa menulis cerita, dan karena itu ia mau belajar karenanya, kurang lebih serupa dengan tokoh Julian Barnes dalam Tiga Cerita Sederhana pada novel Sejarah Dunia Dalam 10 ½ Bab, terj Arif B Prasetyo dan diterbitkan KPG Maret 2009. “Jika kita tidak membahas Tuhan sebagai Protagonis dan preman moral, tapi sebagai pengarang cerita, kita harus meneropongnya lewat plot, motivasi, kejutan dan penokohan,” tulis Barnes.