MALAM
S. JAI
Kau ciptakan malam dan aku yang membuat pelita
(Iqbal)
DAFTAR ISI
MUKADIMAH
BAGIAN PERTAMA
BAGIAN KEDUA
BAGIAN KETIGA
AKHIRUL KALAM
TENTANG PENGARANG
Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat.
Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil korupsi.
Mukadimah
“AKU ini anak haram jadah. Lahir dari rahim seorang pelacur, bukanlah penghalang bagiku untuk mencintai ibuku. Aku punya anak dan istri. Punya keluarga membuatku sadar cinta kepada ibu telah menumbuhkan spirit hidupku untuk jadi manusia, bertanggungjawab pada diri, ilmu dan keluarga sebagaimana ajaran ibuku. Demi tujuan itulah aku menjatuhkan pilihan dengan keluar dari pekerjaan dan menutup pintu rumah rumahku kuat-kuat. Aku memilih mengurus sendiri hidup keluargaku dan menolak campur tangan siapapun, tetangga maupun negara.”
Ketika seorang mengusut dengan mengajukan tanya mengapa dunia luar sebagai ancaman, kukatakan tanpa sedikitpun bermaksud menganggap dunia luar itu remeh temeh, kukatakan kiranya ini adalah cara pandangku yang mempertimbangkan betul sisi dalam manusia itu sendiri. Yakni pengalaman sejak kecil hingga tumbuh dewasa. Dunia luar menurutku bukanlah satu-satunya ancaman, karnea sebaliknya pengalaman masa kecil yang buruk bukan mustahil sanggup mendorong manusia menjatuhkan pilihan pada merusak tatanan kehidupan kosmos. Inilah menurutku ancaman yang sesungguhnya yang benar-benar ancaman.
Bila karena itu Nietzsche mengaku kesulitan memahami manusia dari species hewan, karena dorongan kodrat manusia sebagai makhluk yang selalu berkeinginan berkuasa, tapi tiak bagiku karena di situ ada perbedaan mendasar antara kodrat dan fitrah—bahwa manusia hidup dan hadir di bumi ini sebagai wakil dari pencipta, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak untuk yang lain, apalagi untuk terus menjadi korban.
Celakanya, semua itu ada dalam diri manusia dan karena itu perjuangan untuk terus ditumbuhkan termasuk kepada diri sendiri. Begitu dahsyatnya pertarungan ini sampai kemudian Nietzsche melalui tokohnya, diam-diam di mana saja dalam sejarah moral—dalam asketisme orang-orang suci dan kecaman para tokoh moral, serta brutalitas legislator primitif.
“Aku tidak hendak menyalahkan Nietzsceh, tapi seperti halnya kata Al Ghazali begitu banyak pandangan-pandangan filsuf yang tidak banyak berguna alias sia-sia kurang lebih ada benarnya, termasuk salah satunya kepada saudara Nietzche ini,” pikirku.
Bagiku, di sinilah pentingnya mengajak (mendidik) siapapun manusia untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri sebagai sebuah jalan ke arah primitif baru—proses kesenian sebagai buah tangan dan pikiran manusia tak luput dari tugas itu. Memang kedengarannya pilihan terminologi primitif baru (neo-primitif) cukup arogan. Namun mengelola sesuatu arogansi itu menurutku adalah suatu kesenian, tentu saja dengan mempertimbangkan secara matang seluruh bentuk dan isi pikiran.
Syukurlah Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness, cukup lumayan ketika menyesalkan terjadinya kesalahan berpikir bahwa orang yang sungguh jahat dan destruktif pastilah setan—berwajah jahat, punya taring, tidak punya kualitas positif, dan sebagainya. Koreksi Erich Fromm, setan-setan ini memang ada, tapi celakanya, sangat jarang berpenampilan demikian. Yang lebih banyak justru setan yang memperlihatkan wajah manis dan menarik. Maka, sejauh percaya orang jahat pasti bengis dan bertaring atau bertanduk, tidak pernah akan menjumpai orang jahat di dunia.
Cukup menarik bagiku adalah pernyataan Carl Gustav Jung, yang mengungkapkan bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri. Bagian bayang dari pikiran adalah bagian esensial dari bentuknya. Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan, menjadi semacam hantu. Dari sinilah kemudian, ia berpendapat pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realistis.
“Aku lebih cenderung menggunakan terminologi sikap terbuka dan membocorkan diri atas bahwa manusia memang memiliki sisi gelapnya sendiri, yakni kemampuan untuk melakukan kejahatan yang justru merendahkan dirinya sendiri,” pikirku.
Ada pandangan yang spiritualis atau mistis mengemuka dari pernyataan Jung, bahwa manusia memiliki kekuatan komplek yang memungkinkannya untuk melakukan tindakan yang meniadakan kebaikannya sendiri. Dengan membocorkan diri tentang ruang-ruang gelap, dosa-dosa, kejahatan-kejahatan, keburukan-keburukan masa lalu dalam batin manusia, maka hal itu berarti aktif menciptakan kondisi ekstrem manusia tanpa lebih dulu harus ditekan dan pojokkan.
Karena menurutku, dengan cara seperti ini aku amat menyakini sebagai upaya untuk mengenali diri secara lebih dahsyat yang pada gilirannya barangkali justru akan menumbuhkan rasa percaya diri sebagai manusia menjalani fitrahnya.
***
SEJUJURNYA kuakui ini adalah ikhtiarku melakukan perlawanan terhadap segala bentuk korupsi. Ya, upaya ini memang dengan sengaja kumulai dengan mengurai peristiwa terdekat diriku yakni keluarga.
Aku menghadirkan diriku, lelaki yang mengasingkan diri untuk menjaga kebersihan hidupnya karena aku sadar mengemban misi mulia dari Sang Pencipta dengan segala konsekuensinya hidup dalam kemiskinan.
Menurutku, keluarga adalah titik batas paling rumit sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat.
“Betapa sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarga bukan hasil korupsi.”
Ah, pilihanku ternyata sekaligus jadi sebuah cara agar bisa berbicara banyak tentang ancaman dunia luar, utamanya perihal kebobrokan. Caraku menutup pintu jelas sudah berbekal kunci bahwa segala bentuk korupsi dan kebobrokan adalah kejahatan dan bukan budaya.
Ya, pilihanku seperti itu lantaran didorong kesadaran diri sungguh tak mampu mengikuti arus besar di luar rumah. Melawan pun tak bisa. Karena itu satu-satunya bentuk lain dari perlawanan adalah menjaga keluargaku sendiri dari bahaya luar, menumbuhkan sikap tak peduli, cuek dan apriori.
“Seperti inilah kemiskinan dan penderitaan hidup orang biasa. Orang tak perlu takut hidup miskin dan menderita. Justru keberanian itu terletak pada kukuh mempertahankan spirit hidup untuk tidak merusak tatanan kehidupan kosmos—sekecil apapun perbuatan yang disebut kejahatan,” inilah pesanku.
***
RASANYA aku tak perlu meminta maaf dengan begitu cukup banyak pesan. Karena kukakatan sejujurnya tiap kali membaca, mendengar, atau menyaksikan tontonan seringkali dihadapkan sebuah tanya apa pesan yang dituturkan. Dan itu kerap muncul ditanyakan pada akhir buku bacaan, atau pertunjukkan, dongeng.
Harus jujur kukatakan, pertanyaan itu tak lebih dari pengakuan disertai tuntutan memperoleh kegunaan dari padanya.
Jadi, disinilah kemudian pesan itu jadi barang mahal untuk didapat, apalagi bagi bacaan atau tontonan yang kurang berhasil karena tidak adanya kesadaran yang tinggi untuk menuju kesana. Kasihan sekali. Begitu mahalnya sehingga makin sulit untuk menggerakkan pesan-pesan seperti itu ke arah yang lebih dalam ke dalam bentuk kesan.
Bagiku, menghadirkan pesan dan menghidupkan kesan tampaknya hingga kini terus jadi pergulangan dalam tradisi tutur kita. “Atau barangkali bermula dari sini pulalah cikal bakal kesulitan akan berkembangnya seni tradisi?”
Sehingga tradisi tutur seperti jadi bulan-bulanan sebagai korban yang menyebabkan seni tradisi berpotensi mati yang sebenar-benarnya mati tanpa sebutir pun bekas. Kalaupun ada tak lebih hanya nostalgia yang fatalnya cukup laris dijual di pasar pariwisata bagi orang yang sebetulnya tengah kebingungan mencari dirinya sendiri berada di tengah hiruk pikuk zaman.
Lagi, menurutku sulit berkembangnya seni tradisi tutur akibat serbuan model dan sarana penuturan lain yang lebih efektif makin mengubur dalam-dalam nasib buruk tradisi tutur itu sendiri. Belakangan, sering dipertanyakan bagaimana memperjuangkan tradisi tutur yang telanjur banyak memilih bahasa lisan sebagai penyambung lidah pesan.
Mungkin ini suatu keuntungan, barangkali sebuah petaka, atau bisa jadi bukan sesuatu apa. Lantas, apakah pesan dan kesan di situ penting dan tepat diwujudkan dengan kata apalagi sebagai barang mahal?
“Inilah persoalanku. Inilah kebingunganku. Dan karena itu kutuliskan seperti ini jadinya.”
Memang, bagiku memperjuangkan bukan berarti membela mati-matian tradisi tutur. Tapi aku berpegang pada pentingnya pesan dan kesan itu sebagai kunci. Karena tradisi tutur sebetulnya lebih bertolak secara historie dari adanya pesan tersebut yang dikemukakan dalam kontek tahap kebudayaan mitologis menurut istilah Van Peurson.
Meski demikian tradisi tutur, tradisi lisan tak melulu berupa unsur-unsur yang berkaitan dengan gaya penyampaian tutur (verbal) belaka. Terlebih pada saat tradisi lisan itu memasuki ranah seni yang pada mulanya tumbuh subur sebagai sebuah upacara ternyata ada bentuk tarian di samping syair serta wayang dan kemudian menuju teater.
“Inilah persoalanku. Inilah kebingungan yang tercermin dari tulisanku.”
“Untuk itu, dengan penuh kesadaran tulisan ini kubuat berawal dari catatan bahwa tradisi tutur tak musti dengan bahasa verbal. Sebaliknya, sebagai tinjauan bahasa selaku alat penyampai pesan, bahasa dalam pengertian teater, tari, gesture, bisa ambil bagian dan tak kurang pentingnya.”
Dengan kata lain, sebagaimana di dalam masyarakat yang belum mengenal tradisi menulis sebagai bagian dari kebudayaannya, tradisi lisan menjadi alat atau sarana yang sangat penting dalam tranmisi nila, norma, dan hokum dari generasi ke generasi lain. Sebagaimana dikatakan Van Peurson soal mithos, adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada kelompok orang (pemiliknya) yang tidak hanya dituturkan, tapi juga dapat diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan wayang.1)
“Jadi orang tak bisa menulis, tak bisa membaca pun sebisa mungkin menikmati tulisanku ini. Entah bagaimana caranya.”
Atau bahkan bisa dibaca orang hebat dan jenius. Seperti penjelasan berikut ini. Dalam perkembangan selanjutnya atau tahap kebudayaan fungsional bahasa terkait dengan alat penyampai pesan, bukan mustahil bisa terus dicoba ke wilayah lebih luas termasuk di dalamnya film. Seperti pernah dicoba sineas ternama Garin Nugroho ke dalam bahasa gambar. Satu hal yang ditawarkan di situ film minus bahasa verbal akan tetapi sukses tidak meninggalkan nuansa tutur sebagai tradisi.
Syukurlah melalui penelusuran epistemologi, etimologi, maupun terminologi, simpul yang kutemukan pelbagai gagasan yang terkait tutur atau lisan adalah semangat untuk kembali menyampaikan pesan.
Kalau zaman baheula, mitologi hidup subur justru karena keterbatasannya, lantas bagaimana sekarang? Inilah yang menggugah pikiranku, bagaimana bisa memaknai kembali sebuah mitologi atau sejenisnya, ada upacaya ritual maupun mistik. Aku sadar tentang yang kusebut terakhir ini sulit untuk hidup kembali di ranah ini meski di sejumlah wilayah dalam kontek tertentu masih nyata-nyata begitu dipercaya kelompok masyarakat.
Ya, kelompok masyarakat dalam catatanku jadi semacam syarat mutlak untuk bisa memahami bahasa-bahasa mereka sendiri dalam sebuah kesepakatan.
“Jadi makna itu hanya dapat dipahami dan ditangkap masyarakat penciptanya. Sebagai kontek social seni itu lahir dan kemudian hidup,” pikirku.
Ya, seolah kelompok itu berkata, “Ini hanyak untuk kami sendiri, yang lain silakan tak perlu ikut-ikut. Percuma saja.”
Di sinilah kemudian kukakatan pemahaman kontekstual seni jadi lebih memiliki arti yang sulit untuk didekati kelompok lain di luarnya, tetapi gampang menggugah semangat bagi mereka yang senasib sepenanggungan. Karena di situlah terjadi transformasi makna dan pesan tutur dari pelaku ke publik penikmat, pembaca, pendengar mengalir melalui proses komunikasi baik verbal maupun non verbal pada saat sadar diri jadi seni pertunjukkan—bentuk komunikasi yang sudah dikombinasikan dengan aspek visual, kinerthetic, dan aesthetic dari gerakan manusia. Dalam bahasa lainnya, seni yang seperti ini mustahil bisa didekati secara universal meskipun ia sendiri bukan hal yang muskil kemunculannya memang universal.
Kupikir dari aspek komunikatifnya, konsekuensi pilihan seperti ini audiens, penikmat, pembaca, pendengar harus memahami pesan budaya yang dilakukan dengan gerakan manusia di dalam waktu dan ruang. Tentu saja terkait dengan ini, makna tidaklah didapatkan dengan sendirinya oleh masyarakat pendukungnya, akan tetapi melalui suatu proses sosialisasi atau proses kontinuitas dari generasi ke generasi berikutnya. Meskipun kontek ruang dan waktu dan sosial yang berbeda akan memberikan kontribusi bagi perubahan makna untuknya.
Selanjutnya dengan penuh kesadaran harus kukatakan, kesenian yang dihidupkan petani, peladang, buruh, pengangguran, mahasiswa seni, bisa diganti dengan seni yang digagas seniman, intelektual atau ilmuwan. Titik temunya pada apa yang digariskan Bertolt Brecht bahwa antara ilmuwan dan seniman itu memiliki tugas kemanusiaan yang sama yakni meringankan beban hidup manusia.2)
Bila ilmuwan bertugas untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan dalam mengungkap misteri keilmuan demi kesejahteraan hidup manusia di semesta, maka kehadiran kesenian sebagai penyeimbang karena keberadaannya dimaksudkan untuk menghibur.
“Jelaslan sudah,” pikirku. “Bagi siapa yang bisa bertarung di situ, kepada mereka kita sudah selayaknya dan patut mengangkat topi karena sebetulnya mereka bergulat mamaknai diri di tengah samudera alam semesta. Sekecil apapun makna itu baginya. Inilah kreativitas.”
Aku harus tandaskan, perjuangan seperti ini pun telah dilakukan manusia primitif sejak zaman baheula untuk memecahkan kerumitan hidup sejak sebelum ada religi, ritual atau agama dan pengetahuan lain seperti seni dan moral.
Dengan kata lain harus kukatakan proses budaya mereka adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses kreativitas yang digerakkan oleh badan manusia di dalam ruang dan waktu tertentu.
***
LANTAS, harus jujur kuakui kali ini aku beranikan diri mengobral mimpi, prasangka, yang entah tepat ataukah tidak. Ya, semacam dugaan-dugaan yang sifatnya perlu analisa dan eksperimen lebih lanjut.
“Bahwa di samping problem yang sudah melekat dalam diri manusia di semesta ini, konon perasaan senasib dan sepenanggungan dalam perjalanan bangsa yang bertahun-tahun didera akibat masa kelam, penderitaan, tekanan dan kepahitan, secara tidak langsung juga turut membentuk sebuah tradisi lisan dalam arti kata lebih suka diceritai daripada jadi pencerita yang analitis. Atau kita lebih terbiasa jadi pendengar atau jadi pendongeng saja dengan segala percikan-percikan yang dalam perkembangan hebatnya bisa dipelihara sedemikian cerdik.”
Aku tak bermaksud memposisikan pendongeng ke dalam makna efimisme, jika pun benar dugaanku betapa tradisi tutur yang lahir dari zaman gelap seperti itu sanggup berjuang dan mendapat tempat kuat di tengah masyarakat. Sebaliknya tentu tak memperoleh simpati jika ditinjau dari tahap fungsionalnya Peurson.
Kita tentu masih dibuat terkagum-kagum bagaimana piawainya Kartolo cs, atau Markeso,3) Cak Durasim yang sanggup memperjuangkan tradisi lisan justru di abad supercanggih seperti sekarang.
“Betapa ia menyampaikan pesan dengan rupa-rupa basa-basi verbal yang justru menurut Sindhunata mampu menghidupkan spirit hidup rakyat kecil dari hempasan penderitaan beban hidup.”
Masih tentang dugaan, deraan nasib bangsa dalam zaman gelap seperti ini dengan kata lain turut menumbuh suburkan monolog. Kita bisa menjumpainya bagaimana banyak penulis kita yang begitu dahsyat apabila menceritakan tentang penderitaan itu sendiri, meski tanpa suatu analisa tertulis dari disiplin keilmuan yang dalam.
Yang mau kukatakan, menjadi wajar apabila tradisi turut itu amat sulit dimusnahkan tanpa berniat untuk mempertahankan secara mati-matian tradisi yang dalam sejarahnya kini memang hidup enggan, mati tak mau itu.
Pertanyaan berikutnya, jika ini benar adanya, akankah monolog itu sebuah ikatan ideologis yang bukan kebetulan di sini dipicu oleh perasaan senasib dalam sejarah? Kiranya ini sebuah persoalan yang amat komplek seperti halnya masalah manusia atau pelaku-pelaku budaya itu sendiri dan keseriusan berproses budaya menjadi titik tolak untuk menemukan jawabannya kendati pun sulit untuk benar-benar terpecahkan. Tentu saja hal ini termasuk di dalamnya problem budaya dengan segala tetek mbengek hambatan bahkan terror kita sendiri yang jelas turut membangun berdirinya imperium tradisi tutur—yakni sulitnya memecahkan persoalan secara rasional sebagaimana tradisi barat—atau seringkali kita dicap berbelit-belit karena banyak bicara melalui simbolisasi (surealis?) basa-basi guyonan parikeno dan tidak pragmatis.
“Aku tidak hendak mengatakan simbolisasi itu buruk dan rasional itu jelek atau sebaliknya rasional itu baik dan simbolis itu bagus. Keduanya bisa ada dan ditiadakan. Sama halnya dalam tulisanku, dalam pertunjukanku yang tanpa mempedulikan keharusan realisme, absuditas atau simbolik, surrealisme. Kesemuanya niscaya bisa ada dan bisa pula ditiadakan. Kesemuanya punya hak untuk secara terbuka hadir dalam sebuah proses panjang berkesenian.”
***
SENGAJA aku menjajagi kemungkinan hadirnya nuansa wayang kampung sebagaimana selama ini aku terlibat dan bergelut dengannya. Ya, agar tak cuma begitu saja hadir pada tulisanku tanpa terencana. Menurutku ini tak sekadar akibat kebiasaan bergelut dengan kemiskinan, dengan menyadari pelbagai kendala kemiskinan, fasilitas, dana, pekerja dan lain-lain padanya. Sebaliknya, agar sekaligus aku bisa tunjukkan, segalanya itu jelas bukanlah penghalang utama sebuah kerja kreativitas.
“Aku leluasa menghadirkan elemen-elemen jagad perwayangan sejak dari dalang, blencong, layar, dan sebagainya kendati tanpa sepotongpun sosok wayang yang sesungguhnya. Ah, atau justru inilah wayang yang sebenar-benarnya wayang bagiku?”
Kemewahan sosok wayang hanyalah perkara tokoh dan penokohan. Sebab itu, aku yakin cukup menggantinya dengan kostum-kostum yang dipajang di depan layar atau di manapun berada. Sehingga dari situ pulalah aku menemukan kebebasanku bisa keluar masuk dengan ide-idenya atau penokohan jiwanya dalam kostum yang untuk itu pun aku harus sering berganti sesukaku. Aku bisa jadi cuma seorang pemain, jadi diriku sendiri, dan bisa pula jadi dalang, pengarang sekaligus bukan diriku sendiri tapi dirinya sendiri.
Menurutku, pemainlah yang punya beban ide atau ideologi, bukan yang lain. Wujud wayang hanyalah soal baju saja. Selanjutnya, tergantung bagaimana mengisinya.
“Bukankah kita sudah biasa dengan berganti baju lalu tiba-tiba sikap hidup kita jadi sering pula barganti?”
Ibaratnya seperti teater, hidup ini, tradisi tutur bukan berarti menilai disiplin teater barat sesuatu yang abai. Mempertimbangkan Eugine Ionesco yang biasa menampilkan lelucon dan simbolik atau Bertolt Brecht yang cenderung berpikir, lalu Grotousky yang berusaha mempengaruhi penonton bahkan teater Rusia Okhlopkov yang sangat sosialis juga perlu.
“Ya, seperti teater jangan heran bila pertunjukkan itu nanti mengajak menciptakan kegembiraan atau semacam pesta dengan penonton gilirannya sebagai pemain. Ya, semuanya tidak mustahil ada di pertunjukkan ini dengan penuh kesadaran menghadirkannya—ini sebuah cara untuk kemungkinan aku bisa lebih bersikap terbuka,” kataku.
Untuk itu, sebagai sebuah gagasan aku amat yakin berdiri di suatu koma dan jauh dari sebuah titik. Karena itu, alangkah baiknya kalau ditempat pencarian ini, sekaligus mengurai kerendahan hati dan mengurangi beban arogansi, aku kembali mengajukan pertanyaan penting, mungkinkah aku mencoba menggali kemungkinan baru dalam tulisanku ini, tentang tradisi tutur, tentang monolog, dan tentang karya yang terbuka untuk dinikmati, siapapun penikmat, pembaca, pendengar, bahkan penonton. Lalu akankah dalam situasi di tengah hiruk pikuk zaman ketika dari hari ke hari, jam, menit, detik, makin banyak pula orang dan barang yang sibuk bermonolog, lantas kutawarkan karya tulisan sebegini asing bentuknya, apalagi ternyata diketahui bernuansa monolog sebagai sebuah ideologi dalam arti sudut pandang dunia? Kemudian efektifkah kiranya bila menyebarkan sudut pandang aku yang bukan mustahil tak ada bedanya jika diganti dengan sudut pandang kami asalkan keduanya sama-sama mempertahankan sikap sepihak?
“Aku tidak tahu persis dan karya tulisanku ini bukti bahwa aku masih terus bergerak dalam suatu kebingungan. Aku hanya bisa menukil satu kemungkinan jawaban sementara yang kuyakini dengan apa yang kulakukan, bahwa sudut pandang sudut pandang yang kumaksud itu melalui teknik tertentu sanggup menekankah pentingnya menyebarkan informasi bisa diterapkannya asas pembuktian terbalik di dunia hukum kita untuk memerangi korupsi,” pikirku.[]
Bagian Pertama
MALAM hari. Rumah sepi. Sebab itu kejadian biasa mendorongku cari akal. Ditambah dinding bobrok membuatku membentangkan lukisan besar di belakang. Entah lupa kucuri dari mana.
Begitu besar ukurannya sehingga nyaris menyerupai layar. Ada begitu banyak lukisan manusia kera, simpanse dan sejenisnya di situ. Tak jauh dari “layar” tembok belakang, sepetak lagi layar kecil dari kertas putih. Ini kebiasaanku untuk menutup-nutupi borok tembok dan bau serta pandangan jorok isi rumah.
Persis di depan ada beberapa baju tergantung di kapstok kayu buatanku sendiri di kedua sisi layar kertas. Bentuknya yang seperti boneka kayu, ditata sedemikian rupa mengesankan deretannya persis tokoh-tokoh dalam pewayangan.
Di bawahnya, berserakan di lantai membentuk lingkaran. Ada beberapa gedebog pisang (sengaja dikeringkan untuk tali yang mahal dijual untuk tali tembakau), tanah atau jerami atau daun jati kering.
Di atasnya, kuletakkan lincak bambu dan di situlah biasanya aku tidur mendengkur, telungkup nyenyak seperti baru saja terjatuh dari langit bersebelahan dengan tirai “ruangan kamar” di sebelah kiri dan sebelah kanan depan ada meja, kursi malas sepasang sepatu berserakan kertas dan buku. Sebuah bola.
Kebiasaanku: Lampu kunyalakan terang supaya padang luar dalam. Atau justru karena itu agar segalanya bisa terjadi bagi malam-malamku. Nyanyian dan senandung meronta di dasar hatiku masih sering terdengar juga suasana tegang mencekam. Gemuruh badai, gelora samudera, suluk amuk. Segalanya bisa terjadi. Panik. Kacau. Takut. Berlarian kesana kemari. Sesuatu seperti memburunya. Mungkin hendak membunuhnya.
“Masuk! Masuk! Cepat masuk. Hei! Yang di kamar semua keluar. Tutup pintu kuat-kuat.”
“Enaknya keluar apa masuk?”
“Terserah. Masuk lalu keluar. Bisa juga. Kalau perlu itu pintu dipaku.”
“Atau keluar dulu baru masuk.”
“Paling enak, sama-sama masuk. Sama-sama keluar. Bagaimana sih?”
“Cepat sembunyi di lubang yang kemarin kita gali.”
“Ya begitu. Jangan berisik. Tahan. Jangan kencing dan berak di dalam.”
Sesungguhnya aku lahir bukan untuk mengenal kebencian. Tapi sekarang justru kebencian itu tidak bisa begitu saja aku benci untuk kubicarakan. Begitu aku membencinya kebencian itu, aku malah tersiksa dibuatnya. Aku menjadi sulit tidur karena terus memikirkannya. Ini bukan karena kusengaja. Tapi ia menyerobot masuk begitu saja dalam alam pikiranku, dalam otakku. Tanpa permisi.
Jikapun aku bisa tidur, saat otakku mulai agak kendor, justru ia sering menggedor-gedor. Begitu kuberi peringatan, sepertinya ia malah bernada mengancam. Ketika kubuka mataku, ia yang berwajah menyeramkan itu sudah berdiri hadir di depanku.
Aku masih terbaring malas di lincak bambu mengenakan pakaian rumahan. Aku menenangkan pikiran. Aku nyaris seperti tertidur. Lalu perlahan-lahan aku memaksa bangun dalam kondisi setengah sadar. Aku berani mengangkat tubuhku.
Lalu aku pun lupa diri bahwa aku tengah bermimpi. Anda tahu, bagaimana rasanya mimpiku? Betul-betul seperti bukan mimpi. Benar-benar seperti aku berada di alam nyata. Seperti ini. Ya, seperti pertemuan kita hari ini. Mula-mula ia tak bicara apa-apa. Dengan sikap seperti itu pun aku sudah serasa terganggu betul. Namun karena ia datang di setiap tidurku, akhirnya sedikit demi sedikit ia mula membuka suara. He, apa kabar? Begitu pertama kali ia menyapa aku. Semenjak itulah aku berkenalan dengannya. Dan tidurku pun jadi lebih bervariasi. Yang biasanya tak pernah menikmati seteguk kopi, dalam tidurku itu mulai ada kesan aku harus menghidangi tamu aku itu dengan kopi. Nah, mimpi aku seeprti di alam nyata bukan? Hebatnya lagi, kesan pertamaku: Sungguh tamuku itu seorang yang ramah. Disusul kemudian dalam mimpi itu kami pun berkenalan.
Rasanya, aku seperti baru sadar dari mimpi, bangun dari tidur atau amuk. Cepat aku melompat dan aku membersihkan tubuhku.
Begitulah perkenalanku dengan kejahatan. Karena ia datang tiap malam, kami pun jadi akrab. Ia banyak menawarkan jasa baiknya buat bekal aku hidup di dunia yang seringkali sulit kumengerti ini. Hidup yang kupikirkan, makin kebingungan pula aku menemukan ada apa di balik selimut misteri ini. Boleh dikata perkenalanku dengan kejahatan itu membuat aku jauh lebih hidup dari hidup. Edan, kok bisa ya?
Mendadak aku terjengkang. Lalu perlahan-lahan menuju salah satu lubang dekat dinding rumahku. Kemudian hati-hati aku mulai memeriksa pintu.
Malam ini dia datang lagi. Tapi tak kubukakan pintu. Biar dia di luar sana saja. Biar dia menunggu hingga tidurku kelar. Anda tak percaya? Silakan coba cek di luar sana. Tunggu sebentar kawan! Masak menunggu barang satu dua jam saja nggak betah? Berilah aku waktu untuk istirahat! Biarpun sebetulnya berbincang-bincang denganmu itu apalagi pada malam hari rasanya seperti istirahat. Bukankah sebetulnya bersama denganmu itu suatu hiburan? Iseng ala kadarnya saja? Sekadar untuk melengkapi isi dunia ini biar tak serius melulu saja? Jadi begitu, oke? Tunggu sebentar karena aku sedang menjamu tamu lain di ruangan yang sempit ini.
Aku memberanikan diri memeriksa seisi rumahku sendiri sebelum berkata-kata selanjutnya. Dan tentu saja aku harus bernyali besar pada akhirnya untuk memeriksa keadaan diriku sendiri.
Maafkan aku kalau kalian mempersoalkan ruangan yang serba sempit ini. Karena inilah satu-satunya yang kupunya. Begini saja aku sudah amat bersyukur, karena ruangan ini memiliki dinding-dinding yang tebal. Sehingga jika pada suatu ketika ada orang yang bermaksud buruk hendak melenyapkanku dari semesta ini, ia tak begitu mudah untuk merobohkannya. Jadi kurasa cukup aman. Untuk sementara aku bisa sembunyi dari orang-orang jahat itu.
Anehnya, kata-kata ini tak cukup membuatku sunguh-sungguh bernyali. Diam-diam mulai tumbuh pula keragu-raguanku.
Tapi masalahnya zaman sekarang banyak buldoser. Dan Tuhan telanjur menciptakan bulsozer itu begitu kuat dengan tangan dan kakinya yang kokoh tapi tanpa sepasang mata apalagi mata hati nurani.
Lagi, aku harus mengintip. Aku mencari lubang pintu terbesar supaya bisa lebih teliti. Lantas di dekat lubang itulah aku bisa berbisik atau berkisah dan menerbangkan kisah-kisahku sampai menerobos keluar.
Untunglah pada jam-jam seperti ini tak ada bulldozer yang meraung-raung. Jadi untuk sementara rumahku ini benar-benar aman dari gangguan. Ya, kadang-kadang pernah juga sih, makluk asing itu jadi kesurupan ketika malam tiba. Ia mengamuk. Tapi itu tidak untuk rumahku ini. Itu untuk rumah-rumah penduduk yang ketiban sial saja yang keesokan harinya lantas pemilik rumah yang dirobohkan itu beramai-ramai mendatangi proyek dan melempari buldozer yang saat itu malu-malu kucing. Buldozer itu malu dan begitu malunya sehingga hanya bisa diam di tempat, tak bisa menyusun kata-kata untuk membela diri. Kasihan ya, buldozer itu.
Dari kisah itulah aku mendengar senandung kesedihan. Sebab itu cepat pula aku melompat menggeser tempat tak sudi hanyut dalam kepedihan berkepanjangan.
Apa? Nggak dengar! Ada yang kasihan pada orang kampung? Kasihan sih boleh saja. Tapi orang bilang berkata kasihan tanpa bisa melakukan apa-apa itu sama artinya dengan munafik. Sorry, ya. Aku tak bisa bila harus berbuat dengan suatu kemunafikan. Tahukan anda kemunafikan itu jauh lebih tak manusiawi dari kejahatan? Ya, memang banyak orang jahat ada di bumi ini, tapi itu pun demi keseimbangan semesta dan di luar dugaan tak sedikit para penjahat yang amat manusiawi. Tak sedikit para perampok yang baik hati dan tahu diri bahwa dirinya tengah menjalankan misi mulia dari Tuhan untuk semesta ini. Banyak bukti yang anda sebut.
Apa? Robinhood? Ah itu terlalu jauh dan hanya ada dalam dongeng. Terus? Kalijaga? Cuih yang ini pun cuma cerita dari mulut ke mulut yang amat sulit dibuktikan kebenarannya. Itu sulit kita usut asal-usulnya. Hanya seperti sastra maupun melodrama. Paling-paling isinya khotbah moral untuk anak-anak, bila tak memilih hitam berarti harus memilih putih. Bila sulit untuk memilih putih, maka dengan sedikit rekayasa dimusnahkanlah si hitam itu agar anak-anak jadi tepuk tangan meriah.
Anak-anak tidak tahu bahwa dunia sekarang ini tak cuma sedang jungkir balik, tapi juga miring, oleng, berputar, nyungsep ke kanan-kiri, atas-bawah, depan-belakang. Dan kita tak bisa berbuat apa-apa karena tak satupun tersedia pilihan untuk kita. Ada yang salah dengan isi pikiran kita sejak anak-anak. Ada yang keliru dengan cara kerja kita semenjak kecil. Ada yang tidak benar dengan perasaan kita semenjak dini. Hasilnya seperti ini. Contohnya, aku yang bila berdiri gagah seperti ini. Jangan tanyakan untuk apa aku ini. Jangan tanyakan darimana asal muasalku, berangkat pakai apa, masuk lewat pintu mana, karena itu semua betul-betul tidak penting bagi kita. Bukankah jawaban dari pertanyaan itu bagi kita adalah sama? Barangkali hanya satu yang tak semua kita punya: Nyali, keberanian.
Kupandangi dengan seksama lukisan besar menyerupai layar agar semua orang tahu mata, pikiran dan hatiku tertuju ke sana.
Keberanian itu barang mahal. Karena itu jangan biarkan siapapun untuk merampoknya dari kita. Siapapun yang datang dan bertamu ke rumah harus diselidiki dulu. Siapa tahu ia hendak merampok satu-satunya milik kita ini, ya? Pesanku, kecurigaan harus benar-benar ditumbuhkan semenjak dini—pada siapapun. Tak peduli tetangga, kerabat, sahabat baik, kawan apalagi lawan. Soalnya, biasanya mereka mulanya datang dengan air muka baik-baik, lalu pergi dengan agak baik. Tapi itu pertemuan pertama.
Begitu pertemuan kedua, mereka bertamu dengan tampak muka, begitu pulang tahu-tahu kita sudah tak memiliki apa-apa. Jangan dikira pesanku seperti ini hanya untuk anda. Untuk aku juga, karena aku baru menyadari beberapa jam sebelum ini. Sebab itu, memang ini tak seperti biasanya. Kali ini aku biarkan tamuku menunggu di luar kamar ini. Aku sedang mempertimbangkan apa-apa yang tersisa padaku yang masih kumiliki dan seberapa besar yang telah dirampok olehnya.
Untuk itu pula aku memilih lebih dulu menemui anda. Rupanya, pola pikirku yang baru berkata: Andalah yang layak aku curigai berikutnya. Pola kerjaku menyebutkan aku harus kerjakan dengan penuh tanggungjawab apa yang aku bisa untuk tamu-tamuku. Lalu perasaanku mengungkapkan yang penting aku berbicara penuh kesadaran, tanpa emosi dan yang lebih penting lagi aku tidak dalam keadaan mabuk.
Ya, jujur saja kuakui, aku tidak mabuk minuman maupun oleh kata. Aku bukan Guru Nankai, Sang Priyayi Pengetahuan Barat, Sang Pahlawan, apalagi Rumi yang menari-nari diiringi musik si jenius Diwan. Sekali lagi bukan.4)
Senandung kesedian makin lama makin terdengar keras. Asal sumber suara pun kian pula jelas tidak saja datang dari lubuk hatiku. Tapi juga dari sesosok wanita istriku tercinta yang melintas berjalan pelan tanpa alas kaki di lantai. Seperti juga terjadi pada diriku, wanita itu bersenandung teruntuk suaminya tersayang dan tentu saja kepada dirinya sendiri. Dia menghampiriku sejenak. Lalu dengan menggunakan kain kerudung yang semula dikenakannya, ia membersihkan jejak-jejaknya sendiri.
Aku ini orang biasa. Aku ini suami dari istriku, ayah dari anakku. Aku bukan manusia pilihan Tuhan. Aku datang di tempat ini atas kehendakku sendiri, pilihanku sendiri. Soal yang ini kadang-kadang aku sempat tanyakan apakah Tuhan sedang lupakan aku? Karena tidak ada jawaban, akhirnya aku pun terpaksa menyimpulkan sendiri pertanyaanku dengan pertanyaan lain. Benarkah ini aku sendiri yang bertanya? Atau ada makhluk lain dalam tubuhku yang membisikkan suara sehingga aku mengajukan pertanyaan muskil seperti itu?
Pertanyaan itu pun tak pernah kutemukan jawabnya, di rumah maupun di luar rumah. Di tempat sepi dengan dinding-dinding dingin seperti ini, maupun di keluasan udara panas di luar sana. Buktinya, aku toh, bertahun-tahun tetap seperti ini keadaannya. Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan. Aku juga tidak lebih pintar dari kemarin. Aku jadi tidak lebih mengerti dari sebelumnya. Aku juga tidak lebih baik keadaannya dari yang dulu-dulu. Apalagi, aku juga tidak lebih kaya dari kehidupanku yang biasanya. Terus mau jadi apa aku ini?
Seperti ini yang kuherankan kok, aku masih terus bertanya?
Kubawa kata kesal ini ke dinding belakang. Misteri itu kupecahkan dengan histeris. Sesuatu benda yang kusambar dan tak sempat kueja di tangan mendadak menghantam benda lain kuat-kuat hingga menimbulkan bunyi keras-keras. Berkali-kali.
Setan apa yang membujuk aku sehingga begini. Lalu, dedemit mana yang menyeretku hingga datang kemari. Bagaimana sih, jadinya kok aku meragukan pilihanku sendiri? Ataukah memang nggak ada bedanya antara aku dengan setan?
Sunyi senyap sejenak oleh tanya yang tak terjawab. Juga oleh sisa-sisa pekik amuk dan teriakan histeris yang tersipu-sipu pergi. Lenyap, diganti suara desah nafasku sendiri yang turun naik. Kemudian juga rasa bersalah melompat-lompat tak teratur dalam tubuhku.
Maafkan aku, kalau apa yang kukatakan ini kurang anda mengerti. Maafkan aku jika bicaraku ternyata malah membingungkan pikiran semua yang hadir di sini. Bukan maksudku untuk mengusik ketenangan anda sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Bukan. Jadi silakan yang tak sudi mendengarkan kata-kataku, silakan menunggu di luar saja. Karena toh jujur saja kuakui, apa yang kubicarakan ini tak lain adalah tentang diri pribadi aku. Betul-betul menyangkut privasi aku. Silakan-silakan jika keluar. Silakan tunggu di luar. Pesanku, di luar sana sekarang ada seseorang—yang semenjak tadi memang tak kuizinkan masuk—sedang menunggu juga. Tahu alasannya? Karena ini adalah rumahku. Tahu alasan lainnya? Karena yang berdiri di luar pintu rumah ini adalah sosok yang harus kucurigai: Kejahatan. Ah, tapi rupanya ini kata-kata yang amat umum di telinga kita. Tak ada yang asing. Boleh jadi pengakuannya tentang kejahatan itu tak sama persis dengan kenyataannya.
Mendadak aku dikejutkan gedoran pintu bertubi-tubi.
“Tunggu sebentar! Aku masih menjamu tamu. Bagaimana, sih? Sabar sedikit dong.. Ssssttt…”
Beginilah caraku mengolor-olor waktu. Aku harus pura-pura sibuk berbicara dalam pertemuan ini untuk secara halus menolak membuka pintu untuk tamuku—yang jangan-jangan untuk kali ini benar-benar mewujudkan niatnya: Merampok nyaliku. Karena tanda-tanda bahwa aku sedang menuju kekalahan itu sudah ada sih.
Ya, perkiraanku, sedikit lagi aku pasti diperdaya. Kadang-kadang, aku ini juga merasa tidak bisa bertanggungjawab atas diriku. Seringkali aku meragukan batas-batas kemanusianku. Antara diriku sendiri dengan orang lain. Antara apa yang kuyakini dengan apa yang mendesak untuk membujuk aku. Antara pikiran dan emosiku. Bahkan antara kemanusiaan dan kebinatangan. Antara homo ludens dan homo sapien. Tahukah anda, tentang masalah ini aku sudah mencapai titik klimak. Buktinya, bila suatu kali muncul dendam, timbul amarah, di luar dugaan, maksudku tak ada dugaan apa-apa, aku sama sekali tak punya perasaan apa-apa, takut pun tidak, berani juga nggak, apalagi gamang.
Coba bayangkan bila orang biasa seperti aku tiba-tiba dengan amat cepatnya tak punya perasaan apa-apa. Bukankah segalanya bisa terjadi? Mulai dari kemungkinan tak terjadi apa-apa hingga amuk yang menghancurkan setiap garis hidup yang diatur Tuhan. Aku bisa gila dalam waktu cepat, setelah itu sembuh lagi, gila lagi, sembuh. Lagi-lagi gila, gila-gila lagi. Sebaliknya, aku juga bisa membunuh, merampok, memperkosa, apalagi cuma berbohong, menipu, korupsi.
Yang meski belum ada pengalaman tapi sudah mulai terpikirkan olehku karena beberapa kali TV menyiarkan adalah: Memakan daging manusia. Sepertinya nikmat, karena manusia itu makan makanan empat sehat lima sempurna. Jika nantinya keinginan itu muncul, aku ingin memulai mengunyah dari jari kelingking. Pasti gurih. Kalau gadis, emm… kira-kira dari bibir atau daging lain yang bisa disedot lebih dulu airnya. Srupuutttt…..
Lagi, aku menatap tajam lukisan besar sebentuk layar. Kera dan simpanse menguatkan inspirasiku pada hal-hal yang absurd dan nyata. Keduanya menyatu. Juga antara aku dan kamu. Jadi sekarang aku berdiri di tengah-tengah. Ya, tugasku untuk memecahkan suasana.
Apa? Kejujuran?…… Itulah salahku. Aku tak berani berkata jujur. Tapi baiklah, mulai hari ini berawal dari masukan anda, aku akan mulai berkata jujur pada tamuku itu. Kalau aku tak mau menerimanya lagi sebagai tamu, aku akan katakana tidak. Jadi tak perlu aku kucing-kucingan karena aku meragukan diriku sendiri. Tak perlu aku mengolor-olor waktu karena banyak pekerjaan lain yang bisa kukerjakan demi kelangsungan hidup keluargaku.
Ya, aku harus berani berkata jujur pada anda, bahwa aku telah berkeluarga. Punya istri dan punya anak. Ya, anjing pun sebetulnya punya pasangan dan punya anak juga. Barangkali anda mulai sulit untuk membedakan keluargaku dengan keluarga anjing? Baiknya aku berikan contoh dan itu tidak ada salahnya karena ini untuk kepentinganku agar anda tak melihat keluargaku seperti halnya melihat kerumunan anjing.
Begini, dalam pertemuan ini aku bisa respect dengan anda atau sebaliknya, anda bisa respect padaku. Nah, sikap respect-ku terhadap istriku, itu biasa disebut cinta. Kalau kepada anjing, aku hanya bisa suka pada anjing dan sebaliknya, anjing bisa suka padaku. Tapi soal suka anjing padaku itu tentu saja tanpa sepengetahuanku apa artinya. Demikian juga antara anjing dengan anjing serta anak anjing. Lalu, adakah diantara mereka perasaan cinta? Di sini anjing bisa saja diganti dengan kambing atau kucing. Jadi meskipun aku di rumah ini memelihara kambing dan kucing, tapi jika aku bicara keluarga keduanya tak kumasukkan sebagai anggota keluarga.
Ya? Karena soal makan dan tempat tidur? Oh, itu. Benar, semua tahu kambing makan rumput. Jadi istriku tak perlu ajak dia jalan-jalan ke pasar. Tapi kucing? Kami seringkali makan sama-sama di kamar makan. Tidur juga si manis itu terbiasa menyusul di kasur. Pertanyaanya sekarang, mengapa aku jadi sibuk dengan kucing? Apakah ada yang sedang jatuh cinta dengan kucing di sini? Kalau ada, mungkin benar kata orang, tahi kucing rasa tahi!
Ah, sekarang aku harus kembali. Tidak ada lagi penjelasan batas mimpi dan kenyataan.
Kenapa aku ingin bicara tentang keluarga? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak tepat betul. Bisa saja aku ganti pertanyaan lain—kalau bukan aku yang membicarakan, lantas siapa lagi? Toh, kalau ada orang lain yang membicarakan keluargaku, atau ada orang lain yang membicarakan keluarga milik orang lain lagi, itu namanya turut campur urusan dapur orang. Dan ini bisa jadi masalah besar. Ini bisa berujung perang yang lebih dahsyat ketimbang perang dengan senjata supercanggih.
Kita pasti pernah tahu bila terjadi perang mulut dengan tetangga akibat ikut campur itu tadi. Tapi kita juga tak pernah lupa banyak terjadi pembunuhan juga karena perang mulut. Si istri membunuh suaminya, atau suami membunuh istri orang lain. Lantas, ini mengingatkan aku pada pepatah lama, “Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.” Maaf kalau untukku, pepatah ini sama sekali tak berguna.
Aku bisa saja menggantinya dengan: “Mengurusi rumah tangga orang, lebih keji dari perang.” Perang itu ada aturannya, tapi satu yang aku bicarakan ini sama sekali tak ada konsensusnya. Yang pernah berkeluaga tentu tahu arah bicaraku. Tapi yang belum berkeluarga, bukan maksudku untuk mencemooh dan tak peduli dengan status yang memang masih manusia setengah baya itu.
Yang mau aku katakan, bagi yang belum berkeluarga cepatlah memutuskan untuk menikah, punya anak dan banyak masalah agar cepat dewasa. Apa, masalah sebetulnya menjadikan kita cepat dewasa? Itu kasuistis, bisa benar, juga tak mustahil bisa salah. Yang benar adalah berkeluargalah! Pasti banyak masalah!
Dulu waktu aku masih muda dan sedang berpacaran, satu rumusku: Buat masalah agar calon istriku tak pernah sedetik pun untuk berpikir mencari pengganti aku. Jadi, makin banyak masalah, akhirnya timbul masalah baru. Tahukah anda, dari semua masalah itu tak satupun yang tak bisa kupecahkan. Dan satu-satunya yang bisa mematahkan adalah perkawinan.
Bukan maksudku menceritakan ini semua tanpa tujuan. Jadi janganlah terlebih dulu aku divonis orang yang egois apalagi individualis. Sama sekali sifat itu jauh dari pemikiranku. Oh, ya untuk yang satu ini aku bisa ambilkan contoh dan aku bisa membuktikan itu benar tak ada pada diri aku. Sebagai intelektual, aku tak pernah menjual gagasan-gagasanku untuk diriku sendiri. Memang, aku tak pernah menjual gagasan satu kali pun. Swair. Untunglah, hingga kini terbukti tak ada seorang pun, lembaga, negara, permerintah, apalagi asing yang tertarik membeli gagasanku. Jadi boleh dikata aku selamat dan aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Sering aku melihat dan berpikir, makin banyak saja orang menjual gagasannya, intelektual, seniman, sastrawan dengan harapan menerima segebok uang. Lalu dimakanlah uang itu untuk keluarga, anak-istri dan mentraktir kawan. Tanpa berpikir apakah gagaasan-gagasannya itu berguna untuk orang atau tidak. Merekalah yang pantas anda sebut individualis. Merekalah yang harus dimelekkan pikirannya, agar tak hanya mempertimbangkan perus besarnya. Bahwa, masih banyak yang harus diperjuangkan untuk atas nama manusia.
Tiba-tiba mataku tertarik tertuju ke arah bola. Kuhampiri, kuraih dan kulemparkan ke atas. Kutangkap kembali. Begitu seterusnya aku memainkannya.
Di muka bumi seperti ini manusia bisa berbuat dosa. Walaupun aku tidak paham betul apa artinya kata-kata ini, tapi setidaknya di tempat ini aku bisa jadi berpikir dari perkataan orang lain tentang dosa. Karena itu, bukan maksudku berkata demikian jadi orang yang sok moralis. Itu jauh dari sifatku. Jika pun benar adanya moral itu hanya masalah pribadi yang kurang pantas aku umbar untuk diperbincangkan di sini, karena aku memang tak sedang membicarakan masalah pribadi.
Para cendekiawan berkata, seluruh pertanyaan di muka bumi ini termasuk yang termutakhir adalah pertanyaan ilmu pengetahuan, kecuali masalah-masalah pribadi. Dengan kata lain, tak ada soal yang tak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan. Bila itu tak ditemukan jawabannya, dipastikan itu adalah masalah pribadi. Setidak-tidaknya itu problem kelompok. Maaf bila yang beginian kurang mendapat porsi perhatianku. Maksudku menceritakan keluarga adalah karena mata kecendikiawananku baru terbuka melihat dunia saat sesudah aku berkeluarga. Ya, meskipun ada juga sih kadang-kadang sedikit masih tersisa dan mengganggu aku, seperti tadi aku terusik oleh dosa. Bagaimana manusia bisa melihat dosa di tengah hiruk pikuk zaman dan semesta seperti ini. Betapa sulit mencari tempat kita berpijak di saat bola ini ditendang ke sana kemari. Di lapangan, bola mata para bola mania seringkali tertuju pada kaki-kaki bintang lapangan dan bukan pada bolanya, bukan? Lalu, apa yang bisa dipecahkan dari permainan seperti ini. Kemudian ini soal macam mana pula sebetulnya?
Bola itu kumainkan kian liarnya. Aku pun terus berkata-kata dengan hebatnya sambil terus main bola. Hingga bagiku bola itu bukanlah lagi sekadar sepotong bola.
Mustahil! Mustahil! Itu bukan watak intelektual. Masak manusia bisa dijadikan bola? Yang benar saja. Kalau ada sih itu kan ada di dunia nyata tapi tidak ada di sini. Jangan salah. Sejak tadi aku belum sedikitpun bicara tentang dunia nyata. Soalnya menjijikkan, sih. Kok, tiba-tiba pikiran kamu nylonong saja, pasti karena terinspirasi dari permainan bolaku. Yang begitu-begituan terlalu kasar, tidak cocok untuk kita. Orang awam pun tahu kalau itu dosa. Masak kita bicarakan lagi? Itu sudah ada yang mengurus. Sudah ada petugasnya. Jangan khawatir, mereka bersenjata lengkap, lebih canggih dan yang pasti petugas itu sudah piawai menggunakannya. Tapi kalau pemain bolanya bersenjata? Masak yang begitu-begituan terus kamu tanyakan. Jawabannya, sudah jelas dan maaf itu yang amat menggangguku.
Aku makin kuat melempar-lemparkan bolaku. Entah mengapa aku dikejutkan pikiran dan perasanku sendiri, bagaimana mendadak bola itu hancur berkeping seperti buah semangka, seperti kepala manusia. Serpihan daging dan darah berserakan di lantai. Sesegar daging manusia. Istriku tak kurang kagetnya.
Semula bagi aku, tidak ada dosa paling besar yang diperbuat manusia kecuali berpikir tentang masalah-masalah pribadi. Karena itu, aku bisa paling tersinggung jika diajak seseorang untuk bicara masalah-masalah kepribadian. Inilah menurut aku cikal-bakal dari pikiran manusia untuk berbuat korup, bertindak menyimpang dan buta aturan. Kepada mereka di mataku, tak lebih berharga dari seorang laki-laki pencuri mayat di kuburan. Kisah pencuri mayat itu sudah kusiapkan sejak semula.
Demi itu, aku sibuk mencari kertas-kertas. Baiklah kupindahkan saja cerita itu persis dari kertas-kertas yang kusiapkan. Begini jadinya, setelah kurangkai kembali sebaik mungkin:
Desa Plaosan, Kecamatan Wonoayu-Sidoarjo diguncang kasus pencurian mayat. Warga heboh, persis kehebohan kasus Sumanto si pemakan daging manusia. Agus sebagai pelaku disinyalir kurang waras. Tulang-belulang dari mayat yang telah digali itu pun lantas dibuat mainan. Peristiwa menghebohkan itu terjadi akhir pekan lalu di dusun Kemalangan, Desa Plaosan. Mula-mula dipicu adanya temuan 5 kuburan yang digali seseorang dan 3 kuburan lainnya sempat diobrak-abrik. Entah bagaimana bisa luput dari perhatian juru kunci. Motif pembongkaran kuburan itu sungguh tak masuk di akal sehat. Konon, diperkirakan untuk mendapatkan jimat atau untuk kepentingan ilmu tertentu. Apalagi diketahui pelakunya Agus Susianto Budiman. Di luar dugaan ternyata ada orang lain yang saat ini tengah dalam pengejaran polisi. Pembongkaran mayat akhir pekan lalu itu diketahui Sawi, selaku juru kunci makam. Ia kaget begitu mendapati 5 kuburan dibongkar dan 3 lainnya diobrak-abrik. Sawi pun lantas memberitahukan pada kerabat terdekat ahli kubur yang dibongkar itu. Salah satunya, Sholeh. Segera saja Sholeh mencari tahu. Caranya dengan menghubungi orang pintar di Banyuwangi. Dari orang pintar itu diperoleh petunjuk, salah seorang yang melakukan pembongkaran adalah seorang yang jiwanya kurang waras. Orang yang dimaksud tak lain adalah Agus Susianto Budiman. Kemudian warga beramai-ramai mencari Agus dan warga tak menjumpai kesulitan mencari Agus. Saat ditemukan ternyata yang bersangkutan tengah memainkan tulang-belulang yang baru ditemukan itu. Mulanya warga sempat emosi, namun setelah mengetahui Agus kurang waras, akhirnya tidak diapa-apakan. Agus terus digelandang ke balai desa setempat lalu diserahkan ke polisi. Dalam pemeriksaan, Agus yang kurang waras tersebut menyebut pelaku lain b ernama Katib, warga Krian Krajan. Menurut penuturan Agus, Katib membawa tulang belulang itu akan digunakan untuk jimat. Dia sendiri mengakui ikut membongkar kuburan lantaran diajak Katib. Akan tetapi dalam keterangan yang lain Agus melakukan pembongkaran itu atas perintah gurunya. Saat ini pihak kepolisian tengah mengejar Katib karena dicari di rumahnya ternyata yang bersangkutan tidak ada di tempat.
Aku sendiri tak habis-habisnya rasa heranku sampai kesekian kalinya giliran melemparkan kertas-kertas itu tinggi ke udara. Untunglah, pada saat bersamaan istriku telah menuntaskan pekerjaannya membersihkan lantai. Lantas pergi ke kamar.
Sungguh dunia ini betul-betul sudah jungkir balik. Polisi bertindak tegas dan hasil kerjanya gemilang karena dibantu paranormbal. Paranormal malah dijuluki orang pintar. Lantas, apa pendapatku tentang itu? Siapa yang paling bisa menjadikan aku lebih manusia dari manusia? Tak lain adalah si pencuri mayat itu. Sekalipun ia disebut orang tak berakal sehat, toh ia sama sekali tak berniat melenyapkan manusia dari muka bumi ini. Tak ada niat di benaknya untuk membunuh, dan tak ada tata kehidupan kosmos di situ yang dirusak. Ia hanya mencuri mayat dan di balik itu ia berpikir tentang keilmuan. Jadi, ia tidak berpikir tentang pribadi. Aku semakin tidak mengerti siapa yang waras, siapa yang kurang waras, dan siapa yang sama sekali tidak waras. Karena itu, tak seorang pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Setiap saat, setiap waktu, setiap orang yang bertamu ke rumahku bukan mustahil punya rencana buruk unuk melenyapkan aku dari kehidupan ini.
Sebetulnya, sebelum aku berpikiran untuk menutup pintu rumah rapat-rapat, aku ada rencana untuk bertindak mendahului daripada didahului. Semula aku menyiapkan pedang dan kugantung di sebelah pintu. Harapanku, sebelum tamu-tamuku itu membunuhku, aku akan mendahului untuk membunuhnya. Saat itulah, menurutku perang yang sesungguhnya pantas disebut perang: Mempertahankan keluarga untuk hidup terus. Tapi entah mengapa, tanpa sempat berpikir, tiba-tiba ada yang membisikkan padaku, “Hei jangan kau balas kejahatan dengan kejahatan. Kalau engkau melakukan itu, maka engkau sendiri akan menjadi makhluk yang sia-sia diturunkan ke bumi ini. Kalau semua orang hidup dengan cara seperti hidupmu, semesta ini tak akan berumur panjang.” Itulah yang kemudian membuatku tahu arti kejahatan. Pedang kusimpan kembali dan satu-satunya cara aku mempertahankan hidup ya, dengan cara seperti sekarang ini, menutup pintu rapat-rapat. Aku bisa sedikit menenangkan jiwa tanpa harus dihantui dengan parang atau senapan milik tamu atau tetangga. Lalu aku juga bisa sedikit demi sedikit mengurai duduk perkaranya, mengapa aku jadi manusia?
Aku membolak-balik kursi kemudian duduk. Pada saat seperti ini aku mendengar sendiri musik dalam diriku mengiringi ketenanganku. Aku merasa seperti diiringi musik sampaan dalam kesendirianku.
Duduk perkaranya sekarang mengenai kedudukanku. Maaf bagi yang tidak kebagian tempat duduk. Ya, bicara tempat duduk memang kedengarannya lebih filosofis. Lain halnya bila bicara tentang kursi. Meskipun banyak orang menyamakan saja antara tempat duduk dan kursi. Bukan rahasia lagi, kalau banyak orang berebut kursi. Itulah yang aku maksud denga permohonan maafku. Meskipun sebenarnya ini hanyalah ungkapan penuh basa-basi.
Lalu apa sebenarnya yang terjadi, jika itu tanpa basa-basi. Mau coba di sini? Silakan! Silakan! Tentu anda sedang berpikir aku sedang capai, tidak salah, sah dan boleh-boleh saja. Tapi apa yang terjadi sesungguhnya? Tidak ada yang tahu bahwa aku hanya berani duduk di kursi milikku sendiri. Duduk seperti ini, sesuatu yang sama sekali tak pernah aku lakukan bila di luar rumah. Karena di sinilah satu-satunya kursi yang kumiliki dan aku hak-i untuk duduk. Di luar rumah tak ada hak bagiku untuk duduk. Kalau adku memaksakan diri, barangkali saat ini aku sudah tak bisa lagi hadir dalam pertemuan ini karena leherku sudah terpisah dari batang tubuhnya. Aku tidak sedang mengidap penyakit paranoia, melainkan di luar memang sudah demikian kejamnya dan nyawa manusia tak lebih mulia dari belalang. Sekelompok manusia tak ada bedanya dengan sekawanan belalang.
“Apa? Ada yang mengusik kursiku?”
Mendengar itu sontak musik dalam diriku juga terhenti seketika.
Siapa yang mengusik? Manusia atau belalang? Ini kebangetan, di rumahku sendiri, kursi milikku sendiri, ternyata masih juga ada yang mengganggu ketenanganku. Aku minta maaf maksudku biar tak mempersoalkan aku. Bukan maksud aku meremehkan kamu. Habis kamu menggelikan. Sudah jelas aku duduk di kursi malasku sendiri, tapi tetap saja kamu mencurigai aku. Kalau hanya sikap apriori, sih boleh saja. Bahkan itu baik sekali agar aku bisa lebih kritis. Tapi kalau kamu mencurigai aku karena kursi ini hasil dari tindakanku yang korup itu berarti berlebihan. Apalagi tuduhan kamu bahwa aku sengaja menyebarkan virus korupsi itu sama sekali tidak benar. Terus terang tuduhan kamu itu menggelisahkan aku. Betapapun ini rumahku, kursi malas inipun milikku sendiri. Tidak masuk di akal aku korupsi. Ini kebangetan!!! Mau aku taruh dimana lagi mukaku? Pasti ini perbuatan orang-orang yang kurang pekerjaan. Mana bisa aku disamakan dengan pejabat-pejabat yang duduk tenang di kursi mereka. Berbekal sebuah ballpaint dan selembar kertas saja, bisa mengguncangkan jagad. Yang benar saja!
Geram membuatku serius menyambar kertas dan pena. Lalu dengan amarah kutancapkan pena itu kuat-kuat tepat di tengah kertas di atas meja. Bunyinya barangkali tak berarti. Tapi kekuatan otot yang mengalir hingga ujung pena menghunjam ke permukaan meja jadi pelampiasan tersendiri yang sulit diterjemahkan.
Semula aku begitu percaya pada kata-kata, “Ujung pena lebih tajam dari sebilah pedang.” Maaf kalau untuk masalah ini aku kurang sepakat dengan anda. Betapa hanya dengan ujung pena pembunuhan terjadi dimana-mana, pelaparan jadi gejala, korupsi merajalela, dan kejahatan berubah wujudnya. Aku hanya bisa percaya, dan satu-satunya yang masih kupunya diantara hanyalah pedang. Lalu apa yang bisa kuperbuat dengan pedang? Melawan? Siapa yang dilawan? Bagaimana aku bisa melawan kalau membuka pintu rumah saja, jantungku berdegup kencang? Ya, aku sudah berpikir keras memeras otak soal itu. Tapi hasilnya nol besar. Musuhku terlalu kuat untuk dihadapi. Lawanku terlalu hebat untuk kulayani. Biarpun aku sudah belajar keras selama bertahun-tahun untuk melenyapkannya, kenyataannya untuk tahu dimana hidungnya saja aku tak sanggup. Apalagi untuk memastikan letak kelemahannya, jantungnya, sungguh aku tak bisa. Mula-mula aku belajar silat karena dugaanku musuhku itu jago silat. Lalu aku latihan menembak untuk mematikannya. Kemudian aku menyamar jadi pelayan untuk mencegatnya bila sedang makan. Aku belajar catur siapa tahu ia pintar berpolitik. Terakhir aku tekun belajar agama barangkali musuhku itu menyamar jadi setan. Ya, aku sempat ditawari jadi wali, sih. Tapi aku mulai ragu. Aku memilih jadi manusia biasa, karena itu tawaran kutolak. Jadi semua usahaku gagal total. Musuhku sebenarnya bukanlah manusia. Bukan juga setan. Lalu makhluk apa ini? Apa? Laki-laki atau perempuan? Aku tidak tahu persis. Ha? Namanya kebudayaan?
Saat itulah sesuatu yang belum pernah terjadi padaku sebelumnya. Aku tertawa ngakak sebelum akhirnya aku pun kembali tercenung lebih dalam.
Ya, Tuhan! Aku baru ingat sekarang. Jadi kamu menuding aku bertindak korup karena aku capai dan berhenti berpikir, begitu? Kamu menuduh aku mengkorupsi waktu karena aku tidak sedang bekerja apa pun begitu? Benarkah yang kamu maksudkan karena aku tak melakukan kontrol apa yang tengah diperbuat istri dan anakku, lalu kamu sebut itu aku korupsi? Kalau itu yang kamu sebut, maka jawabannya adalah: YA. Okelah, aku terima. Tapi jangan sebut aku ini koruptorlah. Kalau aku yang seperti ini koruptor, lalu apa bedanya dengan mereka yang koruptor beneran? Kalau kamu sampai hati menyebutku demikian, betapa dunia ini sungguh kejammm.
Aku terjatuh dan roboh dari kursi. Roboh seroboh-robohnya, serendah-rendahnya. Sehina-hinanya dan air mata pun mulai datang tanpa diundang. Juga sesenggukan.
Betapa dunia ini tak kenal kasihan. Aku sudah hidup menyendiri dengan keluargaku sendiri, menjauh dari urusan-urusan kemasyarakatan, tetangga, negara, arisan sampai pemilihan presiden, tapi masih saja aku dicap koruptor hanya karena soal yang begini amat sepele—duduk di kursi malas melepas capai fisik dan pikiran, melupakan sejenak urusan keluarga. Sayangnya, aku tak sempat mengajukan pertanyaan bagaimana dengan orang yang sehari-harinya tidur duabelas jam, sampai umurnya 60 tahun? Bukankah itu berarti umur sebenarnya cuma 30 tahun, itupun belum dipotong saat kongkow-kongkow, atau duduk melamun alias menganggur, lalu mana sebetulnya bagian hidupnya?
Aku belum sempat tanyakan itu tapi kamu keburu pergi. Ini tidak adil! Kamu telah janjikan keadilan di alam sana, apakah itu artinya kamu menawari aku untuk cepat pergi ke sana saja daripada nggendon di sini tanpa kejelasan nasib? Ya, beginilah, rasanya jadi orang yang ragu-ragu bahwa apakah yang kukerjakan selama ini adalah korupsi atau bukan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Begini rupa rasanya.
Mungkinkah rasanya sama dengan seorang teman yang tidak bisa membedakan kambing dengan anjing? Soal yan ini, seorang kawan saya tukang becak mengayuh becaknya untukku. Ketika begitu cepat laju becaknya karena kuat tarikannya, tiba-tiba seekor kambing tanpa sungkan menyeberang. Begitu kagetnya si kawanku itu, ia pun berkata “ Hei asu! Minggir!!” Aku katakan binatang itu bukan asu, tapi kambing. Baru kemudian ia mengulang perkataannya. “He, kambing, minggat!” Anehnya suatu hari tanpa perasaan apa-apa becak yang saat itu kududuki, pada hari lain sudah ditempati kambing. Meskipun saya tidak menyeberang, toh kawanku si tukang becak itu tetap saja berteriak, “He, asu!!!”
Kali ini aku tercenung makin dalam. Aku nyaris tak bisa menahan tangis.
Baiklah jika itu yang menjadi kehendak kamu. Dengan penuh kesadaran dan keikhlasan yang seikhlas-ikhlasnya, aku akan buktikan bahwa dalam istirahatku, dalam tidurku, sama sekali tidak memenuhi unsure-unsur korupsi. Sekaligus aku akan buktikan bahwa sesungguhnya, akulah yang menjadi korban karena ada sesosok makhluk asing yang melibatkan aku ke dalam persoalan yang demikian pelik. Tidak, aku tidak bermaksud melawan. Apalagi untuk menghasuk melakukan perlawanan. Jadi maafkan kalau ini nanti menyeret-nyeret dan melibatkan anda dalam persoalan ini. Sekali lagi aku hanya ingin membuktikan diriku sendiri. Inilah yang namanya pembuktian terbalik. Anda juga bisa melakukannya, terhadap anda sendiri.[]
Bagian Kedua
MUSIK dan tembang. Juga nyanyian makin bergelora dalam tubuhku, dalam jiwaku. Rasanya sedang sibuk menuntut kebebasan dirinya. Di rumah ini aku mencari tempat khusus untuk perlu berdialog, membujuknya. Atau setidaknya untuk memahaminya dengan caraku karena aku terbiasa berada di alam nyata. Tapi tidak bagi musik, tembang atau nyanyian dalam tubuhku ini. Aku berdiri di sebuah ruangan depan layar kertas. Aku mengakrabinya, menggenggamnya, menggendongnya, memeluknya, memanjakannya, mengendarainya sebelum akhirnya mengajaknya bicara empat mata. Atau itu pula yang sedang dilakukan oleh musik nyanyian dan juga tembang bergantian memperlakukan diriku. Di ruangan itu persis di bawah sorot lampu. Lalu seorang wanita istriku berkerudung masuk. Kudengar perlahan-lahan turut bersenandung. Perlahan-lahan pula menuju suatu tempat entah kemana.
“Kubayangkan bila orang selamat dari sebuah ancaman pembunuhan, siapapun akan memiliki insting yang tinggi untuk giliran bernafsu membunuh. Tapi di sini, bagaimana bila orang selamat dari begitu banyak ancaman pembunuhan?
“Bila orang yang selamat dari pembunuhan lalu berteriak-teriak minta senjata untuk membunuh siapa lagi, termasuk istri dan anaknya, bagaimana di sini? Apakah tak menjadikan kita seperti babi yang buta?
“Bila menulis maupun bicara membabi buta, kubayangkan negeri ini dipenuhi babi-babi buta yang bisa berbicara tanpa bisa didengarkan isi pembicaraannya. Karena orang sibuk mengatasi atau menikmati perbuatan yang juga membabi buta.”
Aku tercenung dalam, menyerap isi pembicaraannya yang kedengarannya sampai di telingaku begitu sulit dicerna. Begitu berat, sebab itu aku perlu waktu untuk menghempaskan tubuhku duduk di kursi.
“Kekusaan ini entah milik siapa. Aku pernah mendengar perkataan Tuhan, “Manusia tidak akan bisa membanggakan kebesaran Tuhan.” Paranormal yang menyembuhkan penyakit kanker paling kronis dengan memindahkannya ke tubuh kambing pun berkata, ”Ini jauh di luar batas manusia.” Tapi aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana pembunuhan, saling bunuh, itu terjadi jauh dari mimpi manusia. Betapa itu dilakukan oleh kecanggihan system yang di luar kuasa manusia.”
Aku menarik nafas panjang dan dalam—sedalam kuburanku sendiri yang sepertinya sudah menganga dalam tubuhku. Betapa justru manusia sanggup melakukan suatu yang jauh di luar batas kemanusiaan.
“Mana yang benar?”
“Tapi itu cuma membunuh. Tuhan dan juga manusia tak cuma mengurusi soal membunuh. Buktinya, biarpun begitu banyak pembunuhan orang oleh orang lain, nyatanya kasus bunuh diri masih tergolong bisa dihitung dengan jari.”
“Apa pendapatmu tentang bunuh diri?”
“Bunuh diri itu jalan yang paling mulia, setidaknya untuk saat ini, sepanjang belum menemui jalan baru.”
“Begitu?”
“Ya, untuk tidak menjadi pembunuh, itulah jalan. Itulah pilihan antara menjadi pembunuh atau dibunuh.”
“Begitu dahsyat bicaramu.”
“Ya, kita diam-diam sudah digiring ke sana. Kemanusiaan, kebenaran, keadilan, persamaan itu sedang menuju kuburannya. Satu-satunya jalan, kita jangan lagi bicara kesunyian, keadilan kebenaran—persoalan seperti sebagaimana sekarang ini.”
“Kedengarannya memang mengasyikkan, membunuh, bunuh diri atau dibunuh—samasama mati. Biarpun sama-sama menuju mati.”
Berkat kata yang meluncur seperti dari langit itu, aku beranjak dari tempatku duduk. Aku bergerak tanpa sadar gerakanku hendak menuju kemanakah tubuhku. Satu-satunya yang aku sadar adalah perihal perasaanku, yang kendati dalam rumah sempit ini, entah mengapa kali ini kurasakan benar-benar berada di ruangan yang sama sekali lain. Anehnya, aku jadi biasa ke luar masuk dengan leluasanya. Justru tubuhku serasi jadi beban bagiku. Aku membungkuk karena beban yang kian sarat. Musik dalam tubuhku pun terus saja mengiringi menyusul masuk ruangan, istriku yang kulihat dimataku membawakan lampu kian mendekati tubuhku, lalu raut mukaku sepertinya hendak mengenali kembali wajahku. Atau memang itu telah menjadi tekadnya sejak semula sebagai istri untuk selalu menerangi suaminya yang berjalan berada dalam situasi kegelapan. Ah…begitu mulianya bila itu benar terjadi istriku. Barangkali pula itu sebuah cara baginya untuk turut mendengarkan musik dan nyanyian dalam tubuh suaminya ini agar bisa melihat dengan terang isi hatinya?
“Begini. Hidup kamu ini sesungguhnya menggelisahkan—apakah benarbenar disebut hidup. Sejak dari makan, minum, yang hidup dan pengetahuan yang ada padamu itu menggelisahkan—sungguh menumpang kehidupanmu yang hanya itu-itu saja dan bahkan cenderung merosot karena kamu kian terpaksa bertahan meski dengan berbagai cara. Ini tanda-tanda kemerosotanmu. Kemungkinannya hanya dua, kamu mampu atau tidak. Bagiku keduanya sama saja. Jadi bagiku kamu sebetulnya tidak benar-benar hidup. Artinya, kamu telah secara kebetulan dihidupkan oleh sesuatu yang sesungguhnya omong kosong. Jikapun kamu ulang kehidupanmu itu, di situ sesungguhnya kamu makin terlihat mulai menjadi pembunuh dan dijauhkan dari kemanusiaan. Ah, yang satu ini aku susah untuk menyakininya. Lalu bila gagal, kami akan dibuat sekarat. Lalu dibunuh atau saling bunuh di antara orang-orang yang sekarat itu. Anehnya, kehidupan ini sebenarnya memperkenalkan pada kita bahwa itu bukan tindakan yang kejam atau lalim. Itu hanya suatu kebiasaan yang harus terjadi. Kalau mau jujur, saat ini seperti itulah yang telah terjadi. Eropa dan Amerika telah menggambar-gemborkan pembunuhan lebih dari yang ia bicarakan dan kita tinggal menunggu percepatan waktu bagi mereka.”
Begitu beratnya terasa di punggungku, aku tak kuasa menahan tubuhku sendiri sampai aku roboh dan terjengkang.
“Lalu?”
“Ya, kita bisa tentukan sendiri waktu tepat dan jangan kita tak mau disebut pembunuh atau dibunuh.”
“Kamu seperti orang gila dan pikiranmu sesat.”
“Tidak, aku hanya bicara dengan penuh kelembutan.”
“Kamu mencoba mempengaruhi aku?”
“Lebih beruntung karena aku tidak membunuhmu.”
“Benar-benar gila kamu. Tidakkah kamu tahu bahwa pembunuh pun tahu orang-orang yang ingat? Dan pembunuhan juga menumbuhkan hasrat yang tinggi untuk bunuh diri?”
“Itu bagianmu untuk menceritakan kepadaku. Bagianku sudah habis.”
“Bukankah mungkin kalau terlalu banyak yang dibunuh, manusia pembunuh itu lantas menikmati jalan akhir untuk membunuh diri, bila tak seorang yang kemudian sanggup membunuhnya?”
“Bagi aku orang seperti itu akan menjadi gila. Dan orang gila jarang punya hasrat untuk bunuh diri. Seperti juga tak mempunyai hasrat untuk hidup waras.”
“Lalu?”
“Tapi orang yang sakit jiwa dan dalam sakitnya itu dia punya hasrat untuk bunuh diri, itu artinya dia tengah berharap menemukan jalan untuk sembuh.”
“Lalu dimana kamu berada?”
“Ya, di situ. Gimana sih kamu ini?”
Tiba-tiba suatu kekuatan telah membuatku sadar diri dari semacam mimpi. Cepat aku melemparkan beban. Aku bermaksud membebaskan diri dari segala himpitan yang entah apa namanya ini. Namun di luar dugaan, tubuhku pun terlempar pula jadinya.
Kisah yang ditulis pada waktu malam hari, entah mengapa lebih banyak bertutur tentang kemuraman, kegelapan dan ketakutan. Seolah lebih menakutkan dari nasib para calon korban kamu Yahudi oleh Nazi di kamp konsentrasi.
Seperti malam ini, mengisahkan kegelapan seperti sedang bernostalgia. Musik dalam tubuhku samar-samar masih terdengar. Juga wanita istriku masih setia mendampingi. Wanita itu memulainya dari mencium kakiku.
Tiap malam bagiku, kurasakan makin menakutkan. Orang mengalami kesulitan untuk bermimpi lantaran semua mimpinya sudah gambling muncul di layar-layar TV. Aku justru sering bermimpi buruk di saat tidur pendekku karena sesungguhnya aku terhitung sulit untuk tidur bila malam hari tiba. Orang tua bilang mimpi itu kembangnya tidur, tapi orang tua juga bilang, mimp itu—mimpiku yang sering berjumpa orang tua berwajah lurus berambut putih berjenggot kemudian mengajakku ngobrol—adalah pertanda kemuraman, kesedihanku.
Tapi katanya, orang tua yang menjumpai anak-anak dalam mimpi jarang sekali buka suara. Sekalipun ia berbicara, aku juga tidak pernah pedulikan apa isi pembicaraan orang tua dalam mimpiku, sepenting apapun. Ya, aku tidak begitu meresahkan mimpi-mimpi itu karena aku tidak mau lebih dibebani lagi hidupku. Biarkanlah mimpi itu hadir dan pergi semuaunya.
Begitulah aku tak pernah apapun mimpi itu, sepenting apapun. Tapi mimpi itu atau alam bawah sadar itu masih mengganggu gerak jantungku, nafasku dan kemudian keluarlah erangan hebat atau igauan dahsyat yang lebih hebat dari mimpiku sendiri. Ya, igauan yang kurasakan banyak mengandung misteri di dalamnya.
Misteri? Ya, sebut saja begitu. Betapa tidak, hanya itu satu-satunya yang mengingatkanku sebagai manusia bila bangun pagi, sehabis gosok gigi atau bangun dari tidur. Sehingga malam bagiku tidak cuma berlalu dan sekadar malam. Tidur juga tak cuma tentang tidur. Demikian pula mimpi. Apalagi igauan, erangan tak sadar, teriakan spontan. Itu semua mengingatkanku memang aku masih punya jantung. Itu juga yang mengingatkan hidupku apapun maknanya dan bagaimanapun aku punya kesadaran atau tidak.
Ah, punya kesadaran atau tidak ini hanya masalah sepele dalam sepersekian detik, dalam sepersekian tarikan nafas—pendeknya untuk menyebut kata Tuhan saja boleh jadi tak sempat lengkap. Jawaban pertanyaan itu hanya ada pada saat aku tidur yang sebenar-benarnya tidur, berapapun lamanya, semenit, sepuluh menit, satu jam, sepuluh jam. Mengapa demikian?
Sebab pada waktu tidur tidak ada yang terhenti sedikitpun. Kesadaran tentang apapun juga bahkan tentang kesadaran itu sendiri. Bahkan tentang berpikir, gerak jantung dan desah nafas. Tidur yang sebenar-benarnya sempurna. Ketenangan yang sungguh-sungguh nyaman. Tidak ada teror urusan hidup mati, terlintas hadir di situ. Rupanya inilah hidup yang bagiku benar-benar hidup. Bukan hidup apa yang disebut orang-orang tua sekadar mampir ngombe itu. Hidup ini begitu nyaman, tenang dan penuh kedamaian, tanpa mimpi—barangkali begini pula rasanya hidup orang-orang kaya, orang-orang yang tidak pernah punya persoalan duniawi, orang-orang yang sulit untuk bermimpi karena hidupnya sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di layar TV.
Sepertinya wanita istriku mulai gelisah. Atau ia rasa telah cukup. Lantas ia pun meninggalkan diriku dalam kesendiriannya lagi.
Begitulah, perihal mimpi bagiku sudah kuceritakan padamu. Jujur saja, semenjak awal aku benar-benar tidak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir tidak pada tempatnya dan salah alamat. Yang sungguh kuperlukan adalah waktu untuk tidur, dan bagiku siang dan malam bukan hal yang penting sebab ini hanya perkara apakah matahari menyaksikan aku atau tidak. Toh matahari juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu.
Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin seperti aku yang tidak mempedulikannya. Kupikir, apalah artinya matahari atau bulan bila aku tak benar-benar mempedulikannya. Bukankah aku bisa mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan tentangnya lalu kuceritakan pada waktu aku bangun? Namun bukan hal itu sungguh yang menggelisahkan aku.
Malam memang menakutkan, tapi bagi aku siang dan malam sama-sama menakutkan dan aku tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda ada apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos.
“Untuk apa kamu hidup kalau penuh ketakutan? Atau untuk apa mati kalau penuh ketakutan. Mati itu beda sedikit dengan hidup sebab hanya beda waktu, tempat dan alamat.”
Lantas apa yang kamu bayangkan tentang aku—yang siang dan malam tiada beda lantaran terus menerus diselimuti ketakutan? Apa yang kamu pikir perihal aku—dimana satu-satunya bagian hidupku adalah pada saat tidur yang hanya sepersekian sian dan malam itu? Aku hanya diperkenalkan matahari pada siang dan malam dan ia tak memperkenalkan aku pada kehidupan. Tuhan yang memperkenalkan aku pada tidak saja kehidupan tapi juga keberanian dan di mataku ia selalu datang pada malam hari.
Barangkali karena aku lahir pada waktu malam hari dan hari-hari berikutnya aku sering bermimpi dengannya dalam rupa-rupa bentuk.5) Kadang ia berseragam yang membunuh orang dengan senapan meriam. Kadang ia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan dengan orang berseragam. Seringkali pula Tuhan rela menjadikan dirinya teroris dengan membawa bom ke sana kemari meledakkan hotel-hotel tempat tidur santai dan rekreasi orang mencari hidup. Namun pernah pula ia hadir dengan ramah dan berbaik hati berseragam putih dengan berkalung stetoskop di lehernya, sembari mengucapkan, “Maafkan saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin,” kepada orangtua yang anaknya mengakhiri hidupnya di rumah sakit. Ya, meskipun yang sering terjadi, o rang berseragam putih itu memang diberi hak untuk tahu bahwa koruptor ini sedang sakit, koruptor itu perlu istirahat.
Sontak sesuatu telah membuatku terhenti. Apa itu? Sepotong nyanyian yang tertinggal. Sepenggal musik yang terabaikan. Ya, kesunyian suara yang malam ini telah lama dibungkam dalam kebisuan.
“Sebentar! Sebentar! Tunggu sebentar. Kelihatannya permainan ini tidak fair. Aku tidak melihat seorang juri pun yang menilai pledoi aku. Kalaupun ada boleh dong aku meragukan track record-nya? Karena itu mulai sekarang, biarpun gembel seperti aku yang bicara tetapi tetap harus dinilai. Demikian pula dengan kesaksian-kesaksian yang dihadirkan di ruang sidang ini. Tahukah anda siapa salah satu saksi yang kuminta dihadirkan? Diantaranya, setan dan kebudayaan. Aku juga minta kepada keduanya untuk dinilai apa dan bagaimana dirinya membuktikan secara terbalik kesaksiannya. Oke? Ini baru namanya pengadilan yang ciamikkk, paling keren abis! Karena itu, jangan dulu keburu pergi. Kita harus sama-sama mendengar kesaksian setan dan kebudayaan pada bagian berikutnya.”
***
SEBILAH cambuk yang tergantung di pintu kuraih dan kugenggam kuat-kuat. Sesekali dua perlu kulecutkan ke udara.
Lalu, kenapa kebudayaan dan mengapa setan?
Ya, karena antara keduanya aku benar-benar sulit membedakan. Kebudayaan sungguh sulit kutemukan. Juga setan. Tapi siapa yang meragukan keberadaan keduanya? Karena itu saya minta tolong kepada Yang Mulia untuk menghadirkan keduanya di sini, di depan kita semua pada pertemuan ini. Saya tunggu. Agar kita bisa saling membuktikan diri saat tepat menerapkan pembuktian terbalik ini.
Baiklah, sambil menunggu aku akan lanjutkan pembelaanku:
Bagi saya, kebudayaan itu seperti kecantikan, maksud saya baik kebudayaan maupun kecantikan tidak dimulai dengan kata. Beda dengan sastra, mula-mula adalah kata. Terus terang saya sulit menemukan kebudayaan. Sejak mula saya menduga kebudayaan itu persis tarian, karena itu bisa anda ingin menjadi budayawan, belajarlah menari.
Tapi fatalnya tarian pertama yang saya kenal dan saya pelajari adalah tari tiban6). Dengan cambuk setiap pasang diantara kami saling melukai. Karena itu kebudayaan saya pun di kemudian hari selalu penuh dengan aroma dendam. Jadi untung-untung saja saya bisa hidup sampai sekarang, meskipun seringkali saya nyaris terbunuh oleh bekas lawan-lawan saya dari belakang.
Siapa dia? Anehnya sering saya jumpai sosok yang nyaris membunuh saya itu pun juga bernama kebudayaan. Itulah yang saya maksud di tempat ini kebudayaan telah menyamar jadi kejahatan dan setan. Lalu, apakah saya ini orang baik sehingga harus dienyahkan? Ah, setidak-tidaknya sayalah yang berani menghadapinya dengan membuka baju celana dan telanjang dada seperti ini.
Kali ini aku harus mencuri waktu untuk membuka baju. Dengan penuh keberanian kutunjukkan tubuhku, kuperlihatkan kulitku yang penuh bopeng oleh bekas luka ke angkasa.
Hei!!! Lihat seperti inilah buah dari sikap budaya saya. Maaf kalau saya tak cukup menantang anda untuk menunjukkan dada. Mana dadamu, ini dadaku! Tapi saya harus katakana mana badanmu, ini badan saya. Tapi itu bagi saya tidak cukuuupppp!!! Karena badan saya yang penuh luka ini tidak saya perlihatkan pada kebudayaan yang—sorry—seperti gadis cantik tadi. Malu aku ah, masak jeruk minum jeruk?
Kerena itulah aku berontak. Maksudku ada bagian dalam tubuhku yang protes dan menyeret-nyeret tubuhku jadi seperti ini sekarang. Meronta, kemudian bangkit, menari-nari, menyambar apa saja yang di sekitar. Seperti leang-leong yang lincah melayang dan menukik dalam kemabukan tarian. Amarah terjadi dimana-mana selaksa diiringi suluk amuk yang membahana. Cambuk menggelegar, mencabik-cabik udara hingga angkasa pecah terbelah luka.
Ditubuhku, langit nusantara gelap terlelap. Petir menyambar-nyambar di atas atap. Gumpalan awan mendung bagaikan bidadari gundah. Melenggang di jalan dan airmatanya menjelma menjadi hujan. Celaka, celaka. Dimana-mana banjir airmata. Kalau memang sudah menjadi nasib negeri ini, biarlah kami menjalani. Tapi kalau segala kesusahan akibat ulah segelintir orang, itulah yang harus dipermasalahkan.
Di tubuhku, bumi nusantara bergetar makar. Gerombolan orang kampung bagaikan kawanan sapi pongah. Seperti gagak lapar mereka berkoar-koar. Seperti ombak laut selatan, semangat mereka menggelora. Dengarlah, dengarlah teriakan mereka membahana ke ujung dunia. Dengarlah amarah mereka menjarah hati nurani. Kaca pecah, kaca pecah. Sumpah serapah tumpah. Meletus, meletuslah cambuk petir dimana-mana.
Syukurlah, perlahan-lahan amuk di tubuhku perlahan-lahan mereda. Ruangan dalam dinding rumahku telah kembali menyempit seperti sediakala. Bahkan aku kembali lari merasa dihimpit. Sebab itu, satu-satunya pilihanku kemudian adalah berdiri di tempat yang tinggi-tinggi.
Bagi saya kebudayaan itu spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Hidup lebih hidup. Jangan tunda esok apa yang lusa bisa kerjakan sekarang. Di situ jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kehidupan kosmos. Untuk itulah saya perlu moral sebagai saksi kunci. Tapi saya harap dalam pertemuan ini cukup menghadirkan saksi-saksi atau tersangka demi proses hokum pembuktian terbalik ini, untuk membuktikan apakah korupsi itu budaya atau kejahatan. Sehingga tak perlu saya minta menghadirkan saksi kunci—si moral itu tadi. Kalau tidak? Apa boleh buat!
Apa sudah datang? Syukurlah permintaan saya pada Yang Mulia sudah dikabulkan.
Aku mendengar sesuatu kegaduhan dari ruang sebelah. Karena itu segera aku mencari asal sumber suara.
“
Ssstttt!!! Jangan bersisik, istriku. Sembunyilah di tempat aman yang kita siapkan seperti biasa. Jangan biarkan anak kita bermain lampu. Kalau perlu tidurlah. Aku sedang ada urusan. Sudah, tutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan ngintip, ah!”
Sesudah peristiwa itu, aku bergegas mendekati pintu. Aku menyambar baju yang tergantung pada kapstok dan sepatu. Aku mengenakan cepat-cepat kostum baruku. Lalu bersiap pergi membawa pledoi hendak menghadap hakim. Sebelum meninggalkan ruangan aku berbicara terus menghabiskan sisa waktu agar tak tercecer sia-sia.
Begitulah cara saya melindungi keluarga saya. Oh ya, anda belum tahu bagaimana cantiknya istri saya, bagaimana lucunya anak saya. Dia penurut dan sama sekali tidak pernah mempersulit saya untuk melindunginya dari bahaya di luar rumah. Karena tidak mungkin saya harus serahkan tanggungjawab saya pada orang lain, tetangga apalagi negara. Saya harus atasi sendiri. Syukurlah tidak ada kesulitan meskipun dengan cara apa adanya.
Di sini apa-apa yang pernah saya dapatkan dari buku-buku bacaan amat membantu saya. Saya ajari istri dan anak saya untuk tidak mengkonsumsi daging seperti apa yang pernah dilakukan Mahatma Gandi. Segala kesulitan hidup betul-betul saya tanggung sendiri. Pendidikan anak-anak saya tangani sendiri tanpa harus bergantung pada negara. Ekonomi keluarga kami kelola sendiri demi menjaga diri bukan hasil korupsi. Baiklah saya harus hentikan sementara ocehan saya.[]
Bagian Ketiga
BERDIRI gagah dan percaya diri, aku mengenakan seragam kantor, lengkap dengan sepatu dan dasi. Di belakang, layar kertas terbentang. Aku membawa pledoi tebal di tangan lalu membacanya di tempat yang kuyakini cukup tinggi.
“Yang Mulia Hakim yang saya hormati, nama saya Budiawan.”
Ya, kadang-kadang orang memanggil saya Budiman. Namun saya tidak merisaukan betul dengan panggilan itu—satu hal yang tak saya ketahui, mengapa ibu saya memberikan nama kecil seperti itu. Tapi saya bisa menduga kurang lebih kemana arahnya. Tak lain agar saya menjadi orang baik, pintar dan berakal sehat. Tapi apakah selama saya hidup di dunia ini sudah seperti apa yang tertulis pada nama saya? Saya tidak tahu persis karena seperti yang terjadi pada saat ini, saya juga tak tahu persis mengapa berada di tempat ini, di hadapan Yang Mulia Hakim. Tidak seorang pun yang tidak mengharapkan keadilan di tempat ini.
Demikian juga dengan diri saya. Saya datang kemari untuk mencari keadilan atas nama diri saya sendiri. Ya, saya sering mendengar tempat seperti ini sering diperjualbelikan. Hukum bisa diperdagangkan. Bahkan pengadilan bukan rahasia lagi sering jadi target pemerasan. Tetapi untuk kasus saya ini, untuk kali ini saja saya betul-betul percaya kepada Yang Mulia Hakim. Habis sudah tidak ada jalan lain sih. Toh, di sini bukan hakim yang membuktikan saya bersalah atau tidak. Saya sendiri yang akan memastikan keadilan.
“Jadi mohon Anda dengarkan apa pun pembuktian saya, oke Pak Hakim?”
Nah, seperti itu baru namanya hakim. Putuslah keadilan dengan santai, jangan tegang-tegang. Agar anak-istri anda juga tenang di rumah. Kalau anda tegang, ibu anda jangan-jangan ikut terserang jantungan.
Perlu Yang Mulia Hakim ketahui, saya adalah orang yang sangat mencintai ibu saya. Saya adalah orang yang sekali pun tak pernah membantah perintahnya dans aya menghormatinya lebih dari manusia biasa. Karena saya tahu ibu adalah perempuan pilihan dewa. Semenjak kecil hingga dewasa, saya selalu memohon restu kepada ibu setiap melakukan tindakan apa saja. Karena itu, jelas saya merasa beruntung masih memiliki ibu seperti dia. Dan saya sama sekali tak memiliki keberanian untuk membayangkan bagaimana bila kelak ibu saya tiada. Beda dengan apabila saya membayangkan orang lain dengan ibu-ibu mereka. Bahkan dari kepala desa sampai kepala negara, dari mantri hewan hingga menteri-menteri negara, dari penjahit sampai pejabat. Apakah mereka sudah tak lagi memiliki ibu sampai berbuat demikian merugikan orang? Apakah bukan mustahil mereka telah tak merasa memiliki ibu?
Jika benar demikian, apakah sebenarnya mereka-mereka ini anak haram jadah? Harapan saya semoga tak pernah betul-betul terlintas di benak saya, bagaimana bila ibu saya tiada.
Mendadak ada yang terasa bersalah pada otakku. Kemudian ada yang keliru pada tubuhku, meski bagian tubuh yang lain mencoba mengoreksi kesalahan itu dengan sadar tanganku menutup kuat-kuat dan membungkam mulutku.
Inilah bukti kejujuran saya. Biarpun tak semestinya saya kemukakan, ternyata keluar juga itu dari mulut saya. Ini sudah menjadi naluri saya. Naluri saya mengatakan saya akan terus berbicara mengenai kebenaran-kebenaran yang begitu jelas, biarpun saya jadi sakit7). Tapi kebenaran di sini jadi absurd. Kebenaran di sini menyakitkan. Kebenaran jadi kejam. Bahkan kebenaran di sini jadi mengerikan. Anehnya, saya memilih semuanya.
Apakah kemudian saya harus katakana kebenaran itu aneh? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Jadi aneh karena memang langkah, tapi jadi tidak aneh setidak-tidaknya menurut ibu saya. Entahlah, saya begitu kukuh untuk percaya, bahwa ibulah satu-satunya yang bisa saya percaya. Ketika saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan, dan melepas seragam ini, ibulah yang meluluskan permohonan saya dan mengerti penjelasan saya. Bahkan sebaliknya, ibu malah menyuntikkan sebagian sisa spirit hidupnya demi saya—anaknya yang baru saja sadar dan bangun dari kejahatan terbesar negeri ini, yakni berpikir untuk diri sendiri dan bukan demi ilmu.
Aku sekarang benar-benar menjadi anak ibu kembali. Ibu mengajarkan, “kejarlah ilmu sampai tua.” Ajaran itu tak cuma kata-kata. Buktinya, ibu telah membekali saya anaknya dengan ilmu hingga ibu tak memiliki apa-apa. Lalu betapa munafiknya saya bila ternyata di kemudian hari, ilmu saya itu sungguh tak berguna. Sudah dapat saya duga, restu ibu membuat saya sadar kembali kebenaran ilmulah yang musti dipegang teguh. Tapi tentu ibunda tak mau menjawab pertanyaan saya, bahwa pilihannya untuk saya ternyata membuat keluarga saya berantakan karena jatuh dalam kemiskinan.
Saya malu. Sungguh malu pada ibu. Tapi saya bangga. Sungguh bangga. Malu tapi bangga. Saya kira, semua yang hadir di sini bakal kelewat sulit mencari padanan kata “malu tapi bangga.” Hanya orang gila seperti saya yang bisa. Dan inilah keberanian saya sekarang: Membayangkan bagaimana bila bumi saat ini dipenuhi sesak dengan orang gila yang malu dengan bangga. Dugaan saya, evolusi akan bergerak lamban dan mengasyikkan kurang lebih seperti gadis Jawa.
Mohon Yang Mulia izinkan saya berhati-hati untuk mengucapkan “malu dengan bangga.” Tapi apa yang terjadi di sini? Betapa banyak pejabat dan para penguasa atasan saya yang sungguh bangga dengan kemaluannya. Mereka- mereka seperti inilah yang menurut ibu saya, orang-orang yang benar-benar gila. Gila kuasa dan gila wanita. Ya, saya sih beberapa kali diajakdan turut membantunya, tapi itu dulu. Sekarang kan saya sudah sadar seratus persen.
Karena kepercayaan diri yang dirasa cukup, aku malah merasa ada yang berkecukupan dalam diriku, bahkan lebih yang kemudian itu menjelma jadi semacam perasaan sentimental. Aku mondar-mandir karena kegelisahan dua hal ini—kepercayaan diri dan berkecukupan bahkan kelebihan. Buntutnya tumbuh bicaraku sendiri pada musik yang mengalun dalam tubuhku. Sejak dari berbicara dalam kelembutan hingga histeria yang menghepaskan tubuhkan dalam lompatan kegirangan.
Eh, Pak Hakim, suatu ketika saya diminta atasan saya untuk mencarikan seorang gadis Jawa. Tapi sebelum itu, tentu saja saya diharuskan memastikan keberadaan istrinya secara aman. Begitu saya pastikan aman, langsung saya bawakan itu perempuan yang emh…sebut saja namanya Sri. Tak perlu saya ceritakan pada Pak Hakim bagaimana cantiknya dia. Yang perlu saya ceritakan adalah, bagaimana atasan saya itu minta saya tak lupa membawakan kaset lagu-lagu Jawa Didik Gembrot kesukaannya. Saya putar, lalu menyanyilah si Didik Gembrot itu,
Sri kapan kowe bali
Lungamu ora pamit aku.
Jarene menyang pasar, pamit tuku trasi
Tapi kowe lungo ora bali-bali.
Ndang balio Sri Ndang balio8)
Stop! Stop! Tapi betapa kagetnya saya mendengar atasan saya itu menyanyi lagu yang sama sekali lain:
Ndang mlumaho Sri
Ndang mlumaho.9).
Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Kalau yang Mulia sudi dan bersedia membaui mulut saya, barangkali saat ini masih sedikit tersisa aroma alkohol. Hanya sisa Yang Mulia, karena tak lain yang mengajari saya adalah atasan saya. Karena itu maafkan saya jika apa yang saya perankan tentang atasan saya ini kurang menjiwai.
Pada saat seperti inilah aku mengolah kegelisahanku. Antara dua jiwa. Berbicara jadi tak terkendali. Tubuh melayang tak tentu tujuan. Mata blinsatan mencari sasaran. Tapi kesemuanya beraduk karena harus masih berada dalam keseimbangan diriku. Antrara menjadi diriku dan orang lain. Dalam waktu cepat, setelah memerangi saat hening yang sekejab, aku menyambar kain yang kukira cukup merangsang pikiranku untuk menjadi atasanku. Tentu sembari menyibukkan merias diri agar bisa tampil dengan wajah baruku.
Dan jika Yang Mulia Hakim menghendaki, alangkah baiknya Anda menghadirkan atasan saya. Tugas saya di sini hanya membuktikan bahwa atasan saya jelas-jelas orang yang melakukan kejahatan terhadap semesta. Bukan hanya melakukan kejahatan terhadap negara. Apalagi terhadap keluarga saya. Bukan. Karena itu, saya kira hukuman apa pun yang akan Yang Mulia jatuhkan padanya, saya kira kurang berat. Yang paling pantas menjatuhi hukuman adalah semesta.
Di belakang layar kertas aku cepat mengenakan jas panjang. Tak lupa membawa tas besar dan berat. Aku sengaja melepas sepatu sebelahnya, untuk melukiskan betapa kejadian luar biasa, semacam kegilaan yang sulit diterjemahkan di alam nyata yang terlanjur dikenal kewajarannya itu. Sepotong sepatu jadi botol minuman keras. Kutenggak isinya seteguk demi seteguk. Lalu mabuk. Sesekali jiwaku tablau dalam pertarungan dua jiwa ini. Pasang surut. Keluar masuk. Sebelum akhirnya menemukan kekuatan dalam waktu cepat dan aku sanggup menjebol layar kertas . Semenjak itulah musik dalam diriku turut mengantarku ke wilayah kemabukan bahkan hingga ambang batas kesurupan.
Akulah manusia avantgard. Akulah makhluk terkini yang mewakili dunia. Karena akulah yang sanggup mengejawantahkan ide-ide cemerlang dengan otak jeniusku ini untuk menjelaskan kepada umat manusia bahwa puncak dari segala puncak ekstase kehidupan adalah bila saat kita menemukan jawaban: Kejahatan bisa dilakukan bersama-sama dengan kebaikan. Bila saat kita menemukan sebuah jalan dimana tak perlu lagi kesulitan atau sibuk untuk membedakan antara kejahatan dan kebaikan. Jadilah kejahatan itu adalah saudara kandung kebaikan. Karena itu, antara keduanya bisa saling bertukar pikiran dan bisa saling menggeser tempat.
Siapapun manusia yang melampaui masa untuk itu, dialah manusia yang sungguh-sungguh manusia. Dialah manusia pilihan Tuhan untuk memimpin manusia lain. Karena Tuhan dengan demikian telah mengetahui sedikit jawaban untuk apa Dia menciptakan itu semua. Ekstase hidup saya mampu membuat Tuhan istirahat sejenak sebelum akhirnya meneruskan kembali kebiasaannyta untuk bermain dadu.
Maafkan saya kalau saya harus sampaikan dengan demikian arogan, Tuhan. Oh, iya, saya juga temukan dalam perjalanan hidup saya bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus arogan. Pemimpin yang saya maksudkan adalah pemimpin yang benar-benar pemimpin dan bukan pemimpin gadungan. Ya itu tadi pemimpin yang telah sanggup membuat kejahatan dan kebaikan seperti gado-gado.
Mengapa saya katakan kejeniusan jadi syarat mutlak? Karena antara arogan dan kejeniusan itu ibarat laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan demi kelestarian semesta. Kejeniusan adalah muatan isi otak untuk menjadi arogan. Demikian juga dengan arogan, adalah mustahil tanpa kejeniusan. Tahukah Tuhan, ini adalah gejala akhir makhluk di bumi? Sayangnya, Anda hanya tahu soal moral dan kitab suci. Kalau itu sih, saya percaya seratus persen, tiada yang sanggup menandingi kehebatan Anda. Tapi yang lain-lain, saya kira Anda hanya bermain dadu10). Tahukah, derajat keilmuan terakhir di bumi ini bukan untuk kesejahteraan umat manusia? Bukan. Karena terbukti, tujuan seperti itu banyak mengandung cacat dan sering diselewengkan. Kesejahteraan umat hanya ada dalam dongeng. Kesejahteraan umat itu non-sense.
Pertanyaan saya, salah siapa umat ini kamu buat berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berkelompok dan bahkan kamu hidupkan sentimen SARA! Derajat keilmuan terakhir yang subur di semesta ini adalah yang berorientasi pada kejeniusan dan arogan itu tadi, yang berorientasi pada jiwa pemimpin. Maaf, saya harus beritahukan satu hal lagi kepada Tuhan. Kalau dulu masalah-masalah terakhir semesta ini adalah masalah keilmuan dan bisa dipecahkan, kecuali masalah pribadi, sekarang apa yang terjadi, Tuhan? Seluruh masalah-masalah sampai masalah terakhir di semesta ini jadi buntu jika diselesaikan dengan keilmuan. Tapi berjalan mulus jika dituntaskan dengan kekuasaan. Jadi enteng bila diatasi dengan jiwa arogan. Apalagi hanya soal sepele semacam KKN dan sebangsanya itu. Enteng, Bung!
Karena itu, saya adalah orang yang paling benci dengan pemimpin yang meraih kekuasaannya dengan jalan menjilat. Dia hanya setengah manusia, karena terbukti keberhasilannya itu sebagai upaya pembuktian dirinya bisa mengerjakan sesuatu yang lebih dari seekor anjing. Kekuasaan yang ia raih dengan jalan seperti itu hanya menghasilkan penguasa yang tahu bagaimana KKN tanpa bisa menciptakan dan menjelaskan konsep-konsep KKN yang mendidik dan menyegarkan badan. Ibaratnya cuma bisa minum Irek 11) saja tapi mandul! Apa yang terjadi jika pemimpin-pemimpin di negeri ini bisanya cuma minum Irek saja tapi mandul?
Yang terjadi kurang lebih ya seperti di negeri kita ini, Yang Mulia. Maaf kalau saya harus katakana kurang tepat bila unsur-unsur KKN di negeri ini hanya disebut “tindakan yang merugikan keuangan negara.” Padahal penjelasan tentang perbuatan yang menguntungkan negara juga tak pernah tuntas dibicarakan. Maksud saya, kalau kami dituntut untuk menjadi warga negara, saya juga menuntut apapun perbuatan warga negara harus dihitung untung dan ruginya. Apalagi cuma KKN. Jangan hanya perbuatan subversif saja yang dihitung, Yang Mulia, kasihan mereka itu masih muda tapi sudah dibonsai hidupnya. Yang sedikit sopanlah, biarkan anak-anak muda itu sampai tua baru nanti kita jelaskan bahwa ide-idenya sudah terlalu usang. Pasti dalam diri mereka nanti timbul penyesalan. Penyesalan. Ya, rasanya penyesalan itu cukup mendidik bagi orang macam kita. Ya, setidak-tidaknya seperti apa yang terjadi pada bangsa kita ini. Penyesalan terus dijadikan Pelajaran—kiranya ini bisa lebih gawat. Kalau perlu ganti saja kurikulum pendidikan moral di sekolah-sekolah dengan mata pelajaran baru: P-E-N-Y-E-S-A-L-A-N. Jadi apa yang terjadi di sini menurut saya hanya sia-sia saja dan sia-sia itu perbuatan korupsi juga lho, Yang Mulia.
Demikianlah, keadaan jiwa memaksaku untuk terus menenggak minuman keras kendati dari sebuah botol yang kuraih saja seperti apa adanya, biarpun itu ternyata sebelah sepatuku sendiri.
Yang terbaik adalah, dilihat dari sisi keilmuan tercanggih saat ini: Bertarung. Jangan bernostalgia dan jangan bersikap sentimental. Bertarung satu lawan satu itu lebih fair, lebih menjanjikan dan yang penting adalah lebih beradab. Berilah hak kepada setiap orang untuk membuktikan diri—seperti malam ini. Ajaklah beradu konsep dan perkenalkan diri masing-masing adalah calon pemimpin di dunia perhelatan. Ya, memang susah. Tapi usaha sekecil apapun harus dimulai, misalnya dengan menumbuhkan kebiasaan untuk membaca cerita silat. Betapa di situ penjahat dan pahlawan sama-sama punya kesempatan untuk membuktikan diri kecanggihan ilmunya. Tahu referensi saya? Barangkali referensi orang segenerasi saya dan Yang Mulia hakim itu sama: Ko Ping Hoo, Panji Tengkorak. Ya setidak-tidaknya kalau anak muda sekarang mustinya baca Impecable Twins-lah. Biar tahu bagaimana jurus-jurus di dunia kangow.
Kini tibalah saatnya botol itu kulempar tinggi-tinggi ke udara. Jatuh. Dan sudah barang tentu: Tidak pecah.
Jujur saja saya akui. Memang benar, saya korupsi. Tapi, korupsi saya ini saya lakukan dengan tingkat kesadaran yang amat tinggi. Korupsi yang saya lakukan justru mempertontonkan bahwa saya adalah orang yang beradab. Korupsi yang saya lakukan tak lain adalah demi menjaga ekosistem dan demi kelangsungan hidup. Dan tahukah saudara-saudara jalan saya ini saya tempuh tidak dengan cara mudah. Sulit. Memang sulit jalan peradaban ini.
Seperti sekarang ini barangkali anda mengira saya sedang mabuk. Tidak. Kemabukan hanyalah jalan untuk membongkar dinding bisu dan kemapanan pola pikir. Sekaligus saya membuktikan bahwa antara jiwa dan tubuh saya masih terikat dalam sebuah kesepakatan dan harus senantiasa saling menjaga diri. Inilah makna kesadaran yang sebenar-benarnya kesadaran: Menjaga kesepakatan tubuh dan jiwa. Kebutuhan tubuh boleh tinggi. Kebesaran jiwa boleh menghebat. Tapi kalau hal itu tidak terjaga dalam sebuah kesadaran akan upaya untuk menjebol dinding-dinding kebekuan dan kemapanan tentu mustahil bermakna—dan apa bedanya manusia dengan seekor sapi?
Tentu Anda sekalian perlu tanyakan, lalu dimana arti sebotol minuman bagi saya? Jawaban pertanyaan ini tak cukup dengan kata-kata. Karena itu mabuklah. Saya akan jamin, kebebasan ini perlu ditempuh dengan satu jalan kecil dan murah—seharga sebotol minuman. Kebebasan untuk menjebol kebekuan ini hanya perlu sedikit waktu dan satu ayat bahwa Tuhan tidak membenci makhluknya untuk mengumpat sekalipun ke angkasa atau kepada diri-Nya apalagi bagi mereka yang teraniaya.12) Jadi kita hanya perlu sedikit waktu karena kita sudah punya persyaratan yang telanjur dibayar mahal, yakni teraniaya. Saya kira ini sudah lebih dari cukup! Cukup!
Kalau tidak? Sedikit saja kita sudah berada di titik batas melangkah menuju mati. Ya, jutaan orang di negeri ini seperti itulah keadaannya. Jadi ini hanya soal kesempatan. Lalu apa yang saya lakukan dengan kekuasaan saya hanyalah mencuri kesempatan. Apa susahnya? Apa salahnya dibanding usahaku untuk menyelamatkan bawahan-anak buah dan kelompok saya yang bila salah langkah sedikit saja akan tergelincir menuju mati? Jadi bagi saya yang punya kejeniusan dan kecerdikan ini, melakukan korupsi itu tindakan yang amat mudah. Begitu mudahnya, sehingga kadang-kadang saya seperti tidak melakukan apa-apa. Karena terbiada akibatnya dalam perasaan saya seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi hasilnya, ruarrr biasa!!!
Pada saat seperti inilah semuanya terlepas bebas mengangkasa. Bahkan jikapun ingin keluar dari dalam raga. Musik pun leluasa didendangkan dengan sendirinya. Lalu bergoyang merdeka. Kemudian menari sepuas hati.
Bagi Anda yang belum pernah melakukan korupsi atau belum pernah melihat bagaimana asyiknya korupsi itu terjadi, ya beginlah kira-kira gambarannya. Jangan ragu-ragu dan jangan bimbang. Jangan ada bagian tubuh kita yang tertahan. Bila Anda ingin bergoyang, ikuti irama sambil berdendang. Gendang gendut tali kecapi, kenyang perut senanglah hati. Mari-mari Yang Mulia Hakim. Mari kita menari bersama-sama. Singkirkan sejenak kitab hukum dari meja dan tak perlu lagi Anda baca berita acara. Acaranya sekarang adalah berjoget. Karena kita pada hakekatnya adalah sama. Barangkali Anda belum menemukan jawabannya saja. Pasti-pasti ketemu, bahwa gaji Anda itu hanyalah sedikit bagian dari uang saya, hasil kerja saya. Ya, saya tak perlu imbalan apa-apa. Melihat istri Anda lebih dari dua dan melihat anak-anak anda ganteng dan cantik itu sudah lebih dari cukup. Ya, ya kita sama-sama tahu ini hanyalah urusan bagaimana bersandiwara. Jangan terlalu menjiwai nanti malah lucu. Kita malah jadi repot. Kita malah susah sendiri. Terlalu serius nanti malah jadi malapetaka.
Lagi-lagi pertarungan dalam diri sendiri tak juga kunjung usai. Terbukti, kali ini aku benar-benar harus berbicara pada diriku sendiri
“Bahwa susahnya main sandiwara itu kalau kita ketahuan punya peran ganda. Itu saja.”
Meski demikian aku terus menari. Aku baru berhenti menari setelah merasakan fisikku tak kuat lagi melakukan itu. Aku tiba-tiba terjengkang kendati pikiranku masih terus berdendang. Aku hanya merasa sedikit waktu ada tablau dalam jiwa. Itu pun kuhabiskan untuk mengatur nafas yang tercecer di lantai tanah.
Serius. Dalam dunia nyata ini kita harus serius. Jangan hanya serius kalau sedang menderita. Jangan cuma punya tekad kalau lagi sengsara. Apalagi yang punya kuasa—seriung lupa diri dan tak serius pegang kekuasaannya. Kesenian juga harus serius dan jangan dalam dunia nyata kemudian berperan ganda. Inilah arti sebenarnya dari kepribadian.
Dengan sisa tenaganya, sisa nafasnya di lantai, juga sisa kesadarannya aku berkata diiringi musik yang memparodi dalam diriku.
Yang jadi pejabat jangan kemudian berperan jadi penjahat. Jadi polisi jangan merangkap preman. Intelektual tak usah pura-pura jadi pecundang. Seniman nggak perlu jadi padagang.
Selanjutnya, entah apa yang dibenakku yang tiba-tiba menghentikan musik yang memparodi itu. Memang sesuatu telah mengejutkanku, beranjak dari lantai, perlahan berdiri sebelum akhirnya terlempar ke atas. Lantas keluarlah kata-kata dari mulutku.
Apa? Laki-laki berlagak perempuan? Ah, kalau itu sih bukan pilihan. Itu kutukan, Bung! Beda dengan koruptor seperti saya. Jelas ini pilihan. Sama dengan kenapa orang lain memilih jadi presiden. Karena jadi presiden itu tak bisa merangkap sekaligus jadi rakyat. Setidaknya itulah prinsip demokrasi. Soal presidennya itu korupsi, kolusi dan nepotisme itu lain soal. Dia hanya coba-coba. Kalau pun berhasil saya yakin hanya sekali dua saja. Paling-paling tiga atau empat kali begitu. Suatu saat pasti tersesat. Saya bisa saja memilih jadi da’i atau kiai tapi hal itu tak saya lakukan karena saya percaya masing-masing punya asas kebebasan, kesemaan adan persaudaraan. Persaudaraan? Ya, karena seringkali saya dibutuhkan oleh mereka. Saya kirimkan bertumpuk-tumpuk uang yang tak seberapa jumlahnya itu pada mereka. Keuntungan malah ada pada saya. Karena dengan begitu saya jadi sedikit dekat dengan Tuhan. Lumayan juga, daya intelektual mereka. Pintar dan tahu moral. Sedikit saja dari mereka yang terpaksa berurusan dengan polisi karena kebodohannya dan karena tak bisa menerapkan ajaran moral secara benar. Ah, saya sendiri tak pernah bicara moral karena itu bukan bagian saya. Tapi bukan berarti tak boleh mengkritik bukan?
Saya ini koruptor dan bukan kritikus korupsi. Kalau peribahasa mengatakan mengkritik itu gampang, berbuat itu susah, bagi saya malah sebaliknya—mengkritik itu amat susah tapi berbuat itu gampang. Bedanya kalau di pengadilan, kritikus korupsi itu jadi saksi ahli yang tak pernah korupsi—sebetulnya beda sedikit dengan dukun. Tapi saya, setiap kali di pengadilan saya duduk sebagai tersangka dan terdakwa. Jadi mengkritik sesama koruptor itu bagi saya sesungguhnya susah. Hanya satu yang membuat gampang saya mengkritik. Yakni karena usaha saya menjadikan korupsi sebagai ilmu telah berhasil gemilang. Buktinya, doktor korupsi seperti George Junus Aditjondro tak segan berguru pada saya. Memang itu ia lakukan secara diam-diam. Sebab andaikata ia lakukan secara terbuka, betapa malu seisi dunia ini bila seorang doktor belajar pada pengangguran macam saya. Jadi jelek-jelek begini, saya ini sebetulnya seorang pendidik yang ulung. Sebagai pendidik saya tentu tak keberatan mengkritik. Saya ikhlas, biarpun kritik saya atas korupsi ini tak jadi karya monumental karena karya saya yang sesungguhnya adalah korupsi itu sendiri. Begini. Presiden bisa korupsi, kiai pun bisa korupsi. Lalu apakah korupsi mereka sudah sesuai dengan ilmu korupsi? Jawabnya, belum.
Tuan-tuan dan Nyonya koruptor. Kritik saya pada anda adalah, anda seorang koruptor tapi tak pernah mengacu berterus terang bahwa andalah koruptor itu. Anda tak mau bersikap tegas mengakui diri anda koruptor, penguasa atau pengusaha. Anda pengusaha tapi bersembunyi di balik ketiak penguasa. Sebaliknya, penguasa malah berdalih demi memperjuangkan kepentingan rakyat. Tahukah akibat perbuatan tuan-tuan dan nyonya, sesuatu yang amat berbahaya telah merasuki jiwa rakyat, setiap detik, jam, hari dan sampai bertahun-tahun. Tahu apa itu, tuan-tuan dan nyonya? Rakyat jadi tidak ikhlas menjalani hidupnya. Rakyat jadi putus asa. Frustasi. Rakyat menjalani hidupnya dengan dendam, amarah dan amuk di mana-mana. Tahukah satu-satunya yang kini masih tersimpan baik di jiwa rakyat? Adalah kesabaran untuk tidak menggunakan pedang dan parang. Betapa hebat jiwa rakyat di balik perasaan dendam, masih sanggup berpikir bahwa pedang dan parang lebih bergun bila digunakan untuk panen kacang ketimbang untuk menebas leher orang. Rakyat masih segar berpikir bahwa kejahatan tak harus dibalas dengan kejahatan. Karena itu bagi saya, tuan-tuan dan nyonya tak lebih dari seorang yang munafik. Jadi kejahatan tuan-tuan dan nyonya di mata saya bukan murni karena korupsi itu, melainkan justru karena anda munafik. Akibatnya, anda tak mau bertanggungjawab untuk menjalani profesi anda sendiri, karena dalam prakteknya anda melibatkan banyak orang. Di situ sering saya perhatikan anda membeli orang lain untuk kemudian melibatkannya. Saya tidak mempersoalkan mereka yang mau anda libatkan. Tapi yang tidak mau, kemudian anda paksa ini berarti tuan-tuan dan nyonya melanggar etika persamaan hak dan kebebasan. Bahkan yang menjijikkan saya adalah cara anda menyewa mahal o rang untuk menyiasati undang-undang. Jujur saja, melihat kelakuan anda, sebagai pendidik saya jadi tersinggung. La wong, undang-undang itu dibuat oleh yang terhormat para wakil rakyat, tapi tuan dan nyonya malah merancang usaha untuk menyepelekan hasil kerja mereka. Bagaimana ini? Sudah tak menghargai diri sendiri, masih juga menyepelekan hasil kerja rakyat. Jujur saja, satu-satunya yang saya kagumi dari tuan-tuan dan nyonya adalah pandangan anda yang sama sekali baru terhadap nasionalisme. Apa hubungannya? Lho, andalah yang memperkenalkan internasionalisme kepada kami karena anda leluasa keluar masuk negeri asing, hidup bebas di luar negeri meski jadi buron di dalam negeri. Ah, kata orang, itu sih karena kebodohan polisi saja. Lalu saya jawab, bukan. Bukan. Polisi kita tidak bodoh karena memang banyak akalnya. Kalau pura-pura bodoh mungkin saja. Atau justru karena kebanyakan akal itu kemudian polisi bingung sendiri. Ha..ha…. Ya, mungkin saja. Hal itu, terlihat dari cara polisi menerapkan asas praduga tak bersalah/ Buktinya, karena terlalu kuat berpegang pada asas itu, akhirnya polisi pun tak pernah melakukan apa-apa. Kejaksaan juga setali tiga uang. Fatalnya, itu terjadi pada kasus-kasus besar. Tapi pada kasus-kasus kecil, tuan-tuan dan nyonya tentu baru tahu bagaimana gambar-gambar di TV itu mempertontonkan ternyata polisi itu lebih garang dari preman. Lebih hebat dari penjahat. Jangan-jangan lebih sadis dari residivis. Di mata saya ini hanya soal keberanian, tuan-tuan. Banyak akal itu nomor dua, tapi keberanian itulah yang utama.
Begitulah. Karena ini kritik, maka janganlah hal itu tuan-tuan dan nyonya tanyakan kepada saya tentang diri saya. Itulah sebabnya mengapa saya senantiasa mengingatkan bahwa mengkritik itu susah.
Kemudian, cepat kulepas jas yang menempel dan memperlakukan tubuh dan jiwa ini sedemikian rumit. Aku bergegas merenggangkan dasi, melucuti pakaian, celana, sepatu dan setiap atribut yang melekat pada tubuhku karena pemeranannya telah usai. Aku kini telah kembali jadi diri sendiri apa adanya dan tidak sedang berbaur apalagi dicampuri atasannya. Karena itu cepat pula aku menyambar pakaian seadanya. Lantas mengenakan sarung, meraih kaos oblong menginjak sandal dan tak lupa mengangkat kopyah dari cantelannya. Lalu aku pun berlagak sopan karena merasa sedang hendak menjumpai seseorang malam itu.
He, Pak Kiai ..Assallamualaikum. Ahlan Wasahllan, Pak Kiai. Ahlan biq. Tentu Pak Kiai masih ingat saya santri yang urakan dan nggak punya aturan itu. Bukan. Bukan. Jangaan khawatir. Saya tak termasuk santri yang murtat, kok. Saya masih Islam, tapi Liberal alias lihat-lihat berapa nilainya. Ah, saya tak bermaksud menyindir Pak Kiai. Saya hanya guyon saja, bermaksud memecahkan kebekuan saja. Ini masih tahap pertama. Nanti, nanti akan saya ajarkan Pak Kiai untuk tahu bagaimana nikmatnya bermain chatting. He..he..he.. sambil saya belajar adakah itu aturannya dalam kitab kuning. Ah, sekali lagi mohon untuk jangan tanggapi serius ocehan saya. Jujur saja saya hanya bercanda. Satu hal yang mau saya kemukakan dan serius adalah saya kagum pada anda. Saya hormat pada anda. Bukan saja karena anda manusia pilihan dan tokoh terpandang. Tapi juga karena darah biru anda. Kesimpulannya Pak Kiai nyata-nyata bukan orang biasa. Kalau boleh saya berkata siapa orang terhebat di dunia ini setelah Mahatma Gandi? Tentu saya jawab andalah orangnya. Santri anda banyak dan tak satupun yang buta urusan dunia-akherat. Kecuali saya. Ya, kecuali saya. Sebetulnya saya malu. Malu tapi saya beruntung masih punya malu sehingga punya kesibukan untuk menutupi malu saya dengan bicara yang menyejukkan hati saya sendiri. Saya tahu, meski saya diberi hak untuk mengumpat tapi hal itu tak pernah saya lakukan. Apalagi untuk menakut-nakuti orang. Saya tertindas tapi pada gilirannya tak pernah saya menindas orang lain, Pak Kiai. Maafkan saya kalau karena itu saya tak pernah lagi berjalan kaki mendatangi masjid-masjid. Saya takut. Para pengkotbah itu telah menakut-nakuti saya dengan dongeng-dongeng mengerikan dan setiap kali sorot matanya jatuh pada saya, saya merasa bukan lagi manusia. Saya merasa jadi setan. Tapi lupakanlah ini, Pak Kiai. Karena saya hanya bicara tentang perasaan bukan kenyataan. Mungkin benar mungkin juga salah. Bisa jadi salah tapi bukan mustahil itu suatu kebenaran. Ironisnya, saya tak pernah diberikn kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan saja—apakah kehidupan surga yang engkau janjikan itu juga berlaku bagi orang macam saya? Setan ini? Lalu apakah juga berlaku bagi orang yang memilih berada di luar karena ia tahu hanya sejengkal saja lantai masjid itu yang bukan hasil dari korupsi? Kalau demikian adanya alangkah pemurahnya Tuhan kamu itu. Semuanya dihargai murah. Tapi bagi Tuhanku kenapa segalanya jadi mahal? Ya, salah saya sendiri, sih. Harga beras mahal. Harga susu mahal. Harga diri pun harus dijual mahal. Setelah bermalam-malam saya melekan, dan akhirnya saya dapat ilham. Tahukah apa jawabnya Pak Kiai? Satu-satunya jalan menuju keselamatan, saya harus memilih untuk kembali menjadi orang primitif. Tahukah Pak Kiai bahwa pilihan saya ini hanya beda sedikit dengan cara yang anda tempuh? Bedanya, kalau anda bersikap keras anda bakal dituding sesat dan teroris. Tapi saya dituding pembangkang. Kalau anda bersikap kritis kemudian banyak pejabat datang dan kasih uang—apalagi bila menjelang pemilu akan datang. Sebaliknya, bila saya yang berteriak lantang jelas buntutnya saya tak bisa dapatkan makan. Lalu, jika Pak Kiai sanggup menjaga kebersihan dan menepis segala godaan sudah pasti akan panen pujian. Kalau itu terjadi pada saya, orang akan berbondong-bondong untuk mengucapkan belasungkawa dan kasihan. Menyedihkan. Betul-betul menyedihkan.
Kini satu-satunya kesempatan yang benar-benar diberikan padaku hanyalah mencuri waktu. Dan itu tak kusia-siakan.
Memang sudah menjadi tekad saya di tempat ini untuk pamer kesedihan. Sudah jadi niat saya untuk mengatakan bahwa menjadi seekor simpanse lebih nikmat ketimbang jadi makhluk setengah manusia tanpa otak, hati dan perasaan. Alangkah asyiknya bila tempat ini untuk malam ini saja dipenuhi sesak para simpanse. Tentu saya tk perlu tegang menyembunyikan “rokok ideologi” saya dilipatan baju seperti ini.
Tapi ternyata aku masih perlu mengobrak-abrik baju kusut dan kumal untuk mendapatkan sang ideologi itu.
Jadi kalau harus kutawarkan “Bos rokok?” Paling-paling si kumpulan simpanse itu cuma meringis saja.” Seekor simpanse cukup makan pisang tanpa perlu membaca undang-undang! Seekor simpanse tak butuh gelar penghargaan, apalagi bintang jasa. Tapi seekor simpanse untuk malam ini ia rupanya memang perlu membaca naskah karena sedang lupa.
Aku sibuk dengan simpanse. Aku kembali membongkar-bongkar barang. Di sela sebuah nyanyian pengisi waktu luang yang entah bagaimana mulanya nyelonong saja dalam diriku sebelum akhirnya kuhentikan sendiri lantaran aku harus menyuarakan kata lain.
Saya hanya ingin membela hidup keluarga saya apapun resikonya. Saya cuma ingin hidup terhormat di mata saya sendiri, anak serta istri saya. Satu-satunya kehormatan bagi saya adalah menjamin apa yang kami makan ini betul-betul bukan hasil menjarah. Memilih mati ketimbang menyantap masakan hasil korupsi dan kolusi. Apalagi, pantangan bagi saya bila menyimpan barang yang bukan hak keluarga saya. Saya membela kehormatan hidup keluarga saya karena itu adalah hak hidup saya sebelum mati. Saya harus ambil resiko meskipun saya juga sibuk menghitung sisa umur saya dengan jari tangan karena saya tahu kehormatan di luar rumah itu sangat beda artinya. Sebab itu, saya tak perlu menyampaikan kata maaf bila tak menerima tamu dari luar rumah. Siapapun dia. Saya sudah tahu gelagat dan maksudnya. Pejabat? Kiai? Konglomerat? Cendekiawan? Ilmuwan? Menteri? Bahkan Presiden? Sekalipun mereka datang bersama-sama ke rumah saya ini, saya akan lebih memilih mengurusi anak yang mencret ketimbang menjamu tamu-tamu seperti mereka.
“Apa? Ada yang belum saya sebut? Siapa? Tentara? Tentaraaaa!!!!!”
Ini yang memaksaku untuk terus sibuk. Lebih tepatnya menyibukkan diriku sendiri. Ya, sesuatu yang menyibukkan diriku sendiri ternyata adalah ketakutanku sendiri.
“Ah, untuk apa tentara kemari? Tapi dia tak mungkin berani masuk karena pintu saya kunci dengan paku sebesar ini.”
Lagi-lagi ada yang memaksaku untuk mengintip melalui lubang pintu berkali-kali.
“Tapi ini orang hebat. Pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dan merangkap kiai, gelarnya Profesor Doktor Insinyur Kiai Haji nekad datang kemari.”
“Untuk apa? Belajar? Belajar ilmu apa? Tidak bisa! Tidak bisa! Tahu apa yang nanti ia kerjakan? Dia akan menjual hasil penelitiannya kepada asing dan saya tetap saja miskin!”
“Tapi ini cuma penelitian soal korupsi. Hanya untuk dia sendiri. Dia ngaku sudah korupsi tapi meski gelarnya banyak, korupsinya masih juga belum sempurna.”
“Apa? Ngaku korupsi? Tangkap saja! Ada-ada saja. Jangan bikin saya pusing.”
Aku harus mengintip lagi makin kuat.
“Hei wanita. Siapa lagi itu? Jangan goda saya. Saya belum pernah ambil sikap bagaimana bila tamu saya wanita. Tukang kredit! Sebetulnya ini urusan dapur. Tapi kukatakan saja istriku tak ada di rumah! Ha? Masih saja tanya? Istriku sembunyi di lubang tanah!!”
Kudekati kembali lubang pintu. Kemudian aku kembali mengintip keluar. Kali ini lebih cermat.
“Wow cantiknya di! Pizaaaaa!!!!”
Dadaku bergemuruh. Di situ musik membahana, menggelegar bersamaan dengan itu serasa ada yang memainkan leang-leong atau sebentuk babi-babian dengan dahsyatnya. Cukup lama musik, tari dan nyanyian menjadi satu. Seirama suasana jiwaku. Hingga sesuatu menghentikannya. Cepat aku menyerobot masuk lubang pintu lagi. Mengintip lagi.
“Bukan. Bukan. Itu ibuuu!!!!.. Oh tunggu sebentar ibu!”
Penglihatan mata batin terakhirku pada ibu menyebabkan aku gugup. Banyak alas an yang menyeretku berbuat demikian. Aku sibuk memperbaiki isi ruangan yang kacau. Buntutnya, pikiranku pun turut kacau jadinya oleh segudang tanya belum terjawab. Kebingunganlah mahkotanya.
Mengapa ibu datang malam-malam begini? Apa? Bapak sudah ketemu? Hidup atau mati, Bu? Ah, sudahlah, ibu istirahatlah. Bagi aku sama saja bapak hidup atau mati. Jangan ibu repot-repot mencari bapak sialan itu untuk anakmu. Ibu sudah tua dan itu cuma nostalgia. Cuma masa lalu buruk untuk ibu. Tapi sekarang, tidak ada kehadiran di sini bagi aku yang lebih penting kecuali ibu. Biar susah sungguh. Aku tahu ibu susah dan aku sedemikian kesusahan. Aku tahu itu karena bertahun-tahun ibu menanggung malu dan percayalah ibu, bila kutemukan bapak ia akan aku lumat habis. Aku mencintai ibu tanpa sejengkalpun yang tersisa. Ya, tanpa sisa sejengkalpun. Seperti juga aku mencintai negeri ini, sadumuk bathuk sanyari bumi. Sekalipun aku anak jadah, lahir dari rahim pelacur seperti ibu, tidak ada seorangpun yang sanggup membebaskan jiwa dari fisik perempuan semacam ibu kecuali ibu sendiri. Hanya ruh ibulah yang mengerti bahwa seorang ibu tetaplah ibu. Perempuan tetaplah perempuan. Kalah maupun menang. Pelacur atau bukan. Hanya ruh ibulah yang tahu akan kebenaran dan omong kosong. Istirahatlah, ibu. Meski engkau tahu di sini, ruh ibu itu telah dikorup sampai ke akar-akarnya. Meski bangsa ini begitu bangga dan sedikit pun tak sungkan menyebut dirinya Ibu Pertiwi padahal di sna-sini demikian menganga borok dan kebobrokan. Istirahatlah ibu, dan jangan pedulikan anakmu ini. Sekalipun harus yatim piatu.
Dalam jiwa kembali ada permainan leang-leong atau babi-babian. Diiringi pula musik yang membahana. Malam makin larut. Antara kegerahan dalam dinginnya malam dengan kegairahan hidup yang berputar-putar, dirasanya ada yang menarik layar belakang kamarnya kuat-kuat hingga meruntuh dan menutup sekujur tubuh. Aku
Menggeliat-geliat meronta dan jiwaku berteriak-teriak.
“Tolong! Tolong aku!! Aku nggak bisa bernafas. Toloonggg!!! Aku takut takut kehabisan darah. Aku bisa mati percuma!”
Akhirul Kalam
SAMPAI di sini, dengan penuh hormat kusampaikan terimakasih pada kawan-kawan, penikmat, pembaca, pendengar yang turut merayakan tulisan ini. Sengaja aku menggunakan idiom “merayakan” karena aku punya harapan besar karyaku ini sanggup mewarnai khazanah sastra negeri ini, atau sering disebut dunia ketiga ini dan bahkan menjadi warga sastra dunia.
Harapanku ini bukan omong kosong, bukan impian dan bukan pula tanpa alasan. Karena aku dengan penuh kesadaran menyiapkan sungguh upayaku ini ke dalam bentuk gagasan estetis maupun artistik pada karyaku meskipun menyadari hal ini berarti harus menghadapi sejumlah masalah, lantaran bukan rahasia lagi bagi pengetahuan sejarah, sosial, filsafat maupun budaya sastra kita berada pada posisi kebimbangan konsep estetik.
Sastra kita dianggap kehilangan spirit untuk hidup dan menghidupi wilayah pengetahuan yang memang sangat terbuka diperdebatkan dan bahkan membuka diri untuk diperalat, didzolimi serta dijadikan bulan-bulanan ini. Sudah bisa diduga siapa pelakunya, tak lain adalah manusia.
Aku sangat beruntung (dan tentu saja curiga) mendapat istilah kebimbangan estetis itu di era tahun 1990-an dari seorang professor sejarah Asia Tenggara yang berdiam di Prancis—dialah Profesor Dennys Lombard. Beruntung karena sebagai ilmuwan tentu saja dia jujur dan aku menyetujui pernyataannya. Sementara curiga dan menyisakan banyak sekali pertanyaan di benakku karena aku menangkap ada semacam standar ganda dalam pernyataannya, sebagaimana setiap teori barat yang diyakini Al Ghazali tidak banyak berguna.
“Sisa pertanyaan dari pernyataan Lombard adalah bukankah Lombard juga penganut mondernitas yang banyak menelantarkan pelbagai hal (termasuk sastra) dan kemudian memasuki gerbang postmodernisme yang juga perlu diwaspadai itu?”
Terus terang, banyak yang kusetujui dan angkat topi dengan kemampuan konseptual Lombard ketika menjelaskan isme kesenian termasuk sastra yang hidup di negeri seperti Indonesia, ideologi kesenian di Prancis merujuk karya, aliran yang punya tempat dan ruang tertentu dan waktu dengan posisi yang jelas masing-masing dalam kisi-kisi sejarahnya, mulai dari impresionisme, realisme sosialis, surealis dan sebagainya. Namun di sini sudah tersedia serempak. Ini pukulan hebat kepada seniman-sastrawan kita yang dengan bahasa lain sama artinya dengan “asal pasang urusan selesai” atau “daripada susah-susah pakai yang ada saja.”
Pramudya, Mochtar Lubis dituding sebagai pembawa modernitas. Putu Wijaya, Iwan Simatupang dan juga Budi Darma penganut wajah lain dari itu. Sementara karya-karya Danarto agak perkecualian karena Danarto sanggup meracik sufisme (Islam) Jawa ke dalam pandangan dunianya meski kelemahan di sana-sini, semisal logika mistis itu sendiri kadang-kadang masih dimaknai sebagaimana cara pandang logika modernitas.
“Bukankah mitos itu memiliki logikanya sendiri, dan pandangan dunia Islam Danarto memunculkan banyak pertanyaaan universalisme sastra sebagai seni dan bukan agama?” pikirku.
Kukira, orang yang tak kalah besarnya harus bertanggungjawab adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan sezamannya yang membawa suara baru arah susastra menuju penciptaan memasuki ruang pribadi yang dibuka sejak Hikayat Abdullah, cikal bakal malapetaka pelbagai ranah ilmu pengetahuan, sejarah, teknologi, social, filsafat yang mengasingkan manusia dari keberadaan semestanya.
“Siapa yang salah? Karena manusia menjadi pusat semesta, manusia pula yang kemudian menjadi korbannya. Sebagaimana ilmu lainnya sastra yang tanpa dosa akhirnya menjadi tidak bermakna.”
Maaf kalau terpaksa aku mengajak untuk bersikap romantis dan berjalan pada masa silam yang harus diakui sempat mengalami puncak-puncak estetis sebelum akhirnya jatuh tidak pernah tuntas, hilang lenyap karena didera masa depan yang agresif dan niscaya itu.
Sebagai orang Jawa, saya tahu benar sebelum Lombard mendedahkan bagaimana Jawa mengenal keterkaitan hakiki jagad makrokosmos dan mikrokosmos. Bahwa ungkapan kesenian adalah sarana ungkapan keselarasan, penyeimbang, setiap kali tampak terancam. Manusia tak bisa dikeluarkan dari persekutuan masyarakatnya dan tak terpisahkan dari alam.
Aku perlu mencetak tebal kata terancam dan tugas pujangga tidak hanya melihat tetapi memaknai. Tanpa berusaha membebani makna berlebihan, hal itu terungkap sejak sastra anonim, mantra, puisi lama, dongeng, sastra suluk, pelbagai tembang Jawa dan puncaknya adalah wayang. “Spirit untuk menjaga keutuhan kosmos dan harmoni jagad cilik jagad gedhe jadi lelaku hidup orang Jawa.”
Sekali lagi aku minta maaf karena memang harus membeberkan hal ini. Karena aku harus melukiskan dengan sisa ingatan yang ada sembari mewaspadai ketakutan apa yang pernah dilontarkan komponis Slamet Abdul Sjukur bahwa kalau tidak hati-hati kita bisa belajar gamelan kepada barat. Kata gamelan bisa diganti dengan musik, teater, senirupa dan tentu saja sastra.
Seni rupa abad 8 – 10 Hindu Jawa menghasilkan pahatan realis pada Borobudur, Prambanan. Ketika bergeser ke Jawa Timur terutama abad 14 cenderung surrealis gaya wayang. Artinya, puncak-puncak pencapaian estetis sudah terlampaui yang di tangan konseptor barat stereotif maupun arketipnya demikian rumit.
Dan lagi terpenting, belum pernah ada upaya untuk melepaskan manusia dari keselarasan kosmos. Boleh dikata kelemahan kita terletak pada kemampuan untuk merumuskan gagasan-gagasan yang kemudian celah itu diambil oleh barat. Kukira bukan kebetulan jika kemudian rumusan-rumusan itu lantas diputarbalikkan dan sanggup melumpuhkan akar dan spirit budaya asali. Fatalnya, selama berpuluh-puluh tahun kita dibuat terperangah olehnya. Politik kekuasaan dan industri media mempercepat usaha untuk menghapus serta melepas manusia Indonesia dari kejayaan masa silam serta keharmonisan masa depan.
Lantas kenapa sastra? Sastra kita sastra dunia ketiga, memang terus tumbuh, lahir dan perkembangannya sangat mencurigakan. Semula aku cukup percaya bahwa subtansi novel adalah tokoh. Namun dari uraian di atas kepercayaanku terhadap pelaku-pelaku jadi sumbang. Tokoh bukan segala-galanya. Karena itu tokoh dalam novelku hanyalah pembuka jalan demi sejumlah penokohan lainnya. Tokoh tidak ambil pusing dengan sesugau kenyataan fakta real peristiwa maupun imajiner.
“Jadilah tokoh di sini menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamanku bergeser menjadi ide lebih penting ketimbang tokoh. Bukankah sebuah novel bisa pula tanpa tokoh? Dalam dunia ide, aku sangat percaya bahwa aku punya hak untuk memperlakukan secara bersama-sama keseluruhan teks, realitas, imajiner, fantasi (realis-surrealis-realisme magis?). Bukankah dari uraianku sebelumnya kita sama-sama memiliki akar sehingga kejadian apakah realitas atau imajiner haruslah mengandung arti pentingnya sendiri?”
***
SAMPAI di sini aku mengerti dengan pernyataan Milan Kundera, novel adalah prosa sintetis yang panjang yang didasarkan pada permainan dengan tokoh-tokoh yang diciptakan. Sintetis adalah keinginan novelis untuk memaknai subjeknya dari segala sisi dan dalam kelengkapannya yang paling penuh—esai, narasi, penggalan otobiografis, dan aliran, fantasi. Kekuatan sintetis novel sanggup mengkombinasikan segala hal ke dalam satu kesatuan tanggal. Tidak harus plot tapi tema.
Hanya saja, lagi-lagi aku meragukan ucapannya ketika mengungkapkan novel tidak memaksakan apapun. Novel mencari dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Aku tidak tahu mana tokohku yang benar. Cerita ini berisi konfrontasi tokoh-tokoh itu dengan cara inilah aku bisa mengajukan pertanyaan. Kebijakan novel berasal dari dimilikinya pertanyaan untuk segala hal.
“Jadi kecurigaanku lebih sebagai seorang ilmuwan yang harus menyikapi apriori setiap ilmu pengetahuan dan senantiasa menggugat, menyoal dan mendesak untuk membuktikannya. Namun demikian aku lebih menerima pertanyaan itu sebagai upaya karena ketidakpahaman antara kenyataan dan fiksi atau kesulitan membedakan keduanya akibat terlalu kabur. Kenyataan menjadi fiksi atau fiksi menjadi kenyataan seperti terjadi di negeri ini semisal bagaimana kebutuhan berdusta terjadi dimana-mana. Karena itulah au mengajukan pertanyaan-pertanyaan (lebih tepatnya gugatan) dengan metafora. Aku mempersoalkan realitas di luar teks dengan menyusun teks baru sastra. Di sini bagiku pertanyaan menjadi sesuatu yang sama sekali baru artinya. Katakanlah ada spirit baru di situ—perjuangan untuk menjaga ingatan masa silam sembari memaknai kekinian demi menatap hari depan. Aku menemukan jalan menuju ke sana tidak dalam rupa-rupa persoalan pribadi, melainkan dalam bentuk persoalan ilmu pengetahuan, yakni dengan bahasa lain serupa ingatan kolektif. Meski kematian ide, kelupaan adalah masalah terbesar pribadi manusia, hilangnya masa silam sebagai bangsa, negeri, adalah kematian bersama yang hadir dalam kehidupan. Jadi yang membuat kita takut pada kematian bukanlah masa depan tapi masa lalu.”
Perihal ini F Budi Hardiman,filusuf dari STF Driyarkara melontarkan pernyataan bahwa sastra yang baik itu yang otonom dan memihak. Otonom dalam arti memiliki demensi rasionalitasnya sendiri yang akan mandul kalau diintervensi system administrasi politis dan manipulasi komersial. Otentitas itu menyangkut kemampuan reflektif karya seni terhadap hubungan pengalaman seniman dan standar nilai yang berlaku.
Dengan kata lain seni otonom itu memikhak para korban patologi modernitas. Sebetulnya Nirwan Dewanto tahun 1991 pernah menyusun konseptual pandangan kebudayaan dengan gemilang, yang sesungguhnya lebih mirip dari gabungan teori ideology John B Thomson dan Sosiologi Pengetahuan dari Peter L Berger yang dikembangkan sebelumnya di sini oleh sastrawan dan budayawan Kuntowijoyo.
Entah mengapa kemudian Nirwan Dewanto justru menjadi juru bicara paling agung dari gerakan postmodernisme di negeri ini yang sudah barang tentu di mataku harus dihadapi dengan kehati-hatian (ingat bila bangsa ini tak jadi lebih bersahaja dengan kebudayaannya, anda juga harus bertanggungjawab, Bung!) Bahkan tahun 2000, masa yang membuka pintu masuk abad 21, dalam sebuah pidato kebudayaannya, sastrawan Cina Gao Xingjian karena meraih hadiah Nobel, menyatakan dengan bahasa yang sangat bias menyebut sastra dingin—sastra yang tak punya kewajiban apa-apa terhadap rakyat jelata dan komunikasi antara penulis dan pembaca adalah komunikasi spiritual—adalah sastra yang akan melarikan diri untuk bertahan hidup, inilah sastra yang menolak untuk dicekik oleh masyarakat dalam pencariannya dalam keselamatan spiritual. Bias yang saya maksudkan karena di satu sisi tak punya kewajiban apa-apa namun di pihak lain menyediakan dirinya jadi sumur gagasan spiritual yang tak lain adalah ajaran Tao-nya.
Ada ruang kosong yang bisa jadi amat berbahaya di antara keduanya. Pertanyaanku apakah Gao serta merta berubah wajah dirinya seperti Nietzsche yang sulit memahami manusia dari spesies hewan lantaran dorongan kodratnya untuk senantiasa ingin berkuasa?
“Bagiku di situ ada perbedaan mendasar antara kodrat dan fitrah. Bahkan manusia hidup dan hadir di bumi sebagai wakil dari pencipta, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak untuk yang lain, apalagi untuk terus menjadi korban. Bagiku kebudayaan adalah spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Di sini jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kosmos. (Tuhan tidak marah bila umatnya mengumpat sekalipun ke angkasa bagi yang teraniaya).”
***
DEMIKIANLAH, sebagai pribadi, sebagai pengarang dan sebagai ilmuwan, novel ini lahir karena dorongan kuat dan serangan hebat dalam bagian hidupku untuk menyusun ke dalam jalinan kisah. Pendek kata, aku tidak mau mati ide. Aku harus berani mengakui sebagai manusia aku lahir cacat oleh pendahulu-pendahuluku.
Boleh jadi apa yang aku kerjakan sekarang ini telah lebih dulu dilahirkan sastrawan sebelumnya. Sehebat apapun karyaku mungkin bukan sesuatu yang benar-benar baru, karena orisinalitas di tengah hiruk pikuk zaman juga kian sulit ditemui dan dicari.
Boleh jadi jauh lebih hebat dari karya sastrawan terdahulu, Steinback, Jose Rizal, Gorky, Tolstoy, Pasternak, Pramudya, Milan Kundera, apalagi Tahar Ben Jelloun, Naguib Mahfudz, Mishima, Marquez, Borges, Sindhunata, Centini, Mahabarata, Seribu Satu Malam. Boleh dikata karyaku adalah sampah.
Namun demikian tekad untuk sadar bahwa cukup karyaku sajalah yang cacat dan bukan diriku atau setidaknya aku bisa mengurangi cacat dalam diriku yang terbawa sejak lahir. Bayangkan betapa sebuah tragedy besar bakal terjadi bila aku tak lahirkan suatu karya. Sudah barangtentu aku cacat sebagai makhluk hidup karena mati ide.
Karena itulah dalam diriku mengalir semacam pemahaman bahwa aku tidak percaya dengan karya terbaik. Bagiku sebuah karya yang terbaik hanyalah karya yang belum lahir dan masih ada di dalam otak. Artinya, semua sastra itu misterius, tidak mustahil menyimpan niatan buruk, pembodohan, kebohongan, kejujuran di situ sulit dipertanggungjawabkan. Aku lebih cepat percaya pada karya sastra itu dibebani setumpuk obsesi, keserakahan, kemabukan, aksi tipu-tipu, target, cita-cita, dendam, gejolak dan sebagainya, keinginan popularitas terselubung penulis.
“Tak cuma kepada penulis atau sastrawan lain, bahkan kepada karyaku sendiri pun aku juga harus menghadapinya dengan sikap apriori. Jadi satu-satunya amanah penulis itu terletak pada kemuliaannya dan kewajibannya untuk saling mengingatkan.”
Ya, aku harus akui setelah karya ini, ada sekian banyak obsesiku yang belum terwujud.[]
2004 - 2006
Catatan:
1) Van Peurson, penulis filsafat berkebangsaan Belanda yang dikenal menyimpulkan tahap kebudayaan mitologi, ontology dan fungsional. Masing-masing, manusia masih terbenam dalam tengah-tengah dunia Sekitarnya. Lalu, manusia mengambil jarak terhadap alam rayu dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian, manusia mulai menyadari menyentuh relasi-relasi lalu mendekati tema-tema tradisional (alam, Tuhan, sesama identitas sendiri) dengan cara yang baru. Dalam Strategi Kebudayaan Kanisius. 1992.
2) Bertolt Brecht Organon Kecil Untuk Teater, Dalam Pertemuan Teater 80 terjemahan Dr Boen S Oemaryati Dewan Kesenian Jakarta, 1980.
3) Markeso ngamen “ludruk garingan” sejak 1949 – 1990. Dikenal ludruk garingan karena dia tampil sendirian tanpa diiringi gamelan. Musik pengiring cukup menggunakan musik mulutnya sendiri. Saya beruntung sekali sempat menyaksikan gaya permainan Markeso saat di panggung. Waktu itu diundang khusus oleh Dewan Kesenian Surabaya. Penontonnya membludak dari usia anak-anak hingga orang dewasa Markeso gayeng karena gayanya akrab bagi publik Surabaya dan Sekitarnya. Itu terjadi beberapa bulan sebelum meninggal. Tahun 1993 di usia yang ke 70, Markeso mulai sakit-sakitan dan menetap di lokalisasi Tunggorono Jombang hingga meninggal.
4) Tokoh-tokoh rekaan pujangga Nakae Chomin, dalam sastra klasik Jepang Dalam Perbincangan Tiga Pemabuk tentang Pemerintahan, terj Sylvia diterbitkan PT Gramedia 1989. Priyayi Pengetahuan Barat adalah sosok cendikiawan penganjur dan pengajar demokrasi, kebebasan yang dipenuhi idealisme politik dan filsafat Eropa abad 19. Sang Pahlawan, tokoh pembela budaya tradisi. Seorang pencinta perang yang bernostalgia. Yang menderita karena kehilangan tradisi dan identitas yang pada abad-abad pertengahan Jepang dilambangkan oleh pedang. Sang Guru, pemimpin perdebatan menolak kedua-duanya. Seoarang yang tenang, rendah hati juga. Seorang filsuf tradisional, seorang pembaharu sekaligus jalan tengah. Dia menunjukkan kelemahan justru dengan tidak banyak bicara. Bahkan dengan menanggung resiko dituduh plin-plan. Sedangkan, Diwan yang dimaksud adalah Diwan Shamzi Tabriz. Seorang jenius yang kemudian menjadi sahabat sekaligus guru sufi Jalaluddin Rumi. Sebagai guru yang brilian ia tak pernah menulis buku seperti halnya Sokrates. Setelah Diwan tewas dan terbunuh secara rahasia, memantapkan jalan sufi Rumi. Ia berkenalan dengan seorang jenius lain yang punya daya ingat dan telinga yang tajam yang kemudian sanggup memindahkan apa-apa yang diucapkan Rumi berupa syair dalam tarian ekstase, maulawi.
5) Di sini pengarang sama sekali tak bermaksud, apalagi mempertegas diri sebagai penganut paham pantheisme. Islam sama sekali tidak mengenal ajaran itu, meskipun bukan berarti tidak memberi peluang di dalamnya sebagai tersebut dalam ayat Al-Quran yang tersohor “Kau lebih dekat padanya dari urat nadinya sendiri,” (Qaaf : 16). Usaha pengarang hanyalah menunjukkan adanya tokoh-tokoh yang tidak mustahil menyakini lain dari ayat itu dan secara sadar atau tidak menyebarkan ajaran ke dalam tindakan nyata dalam kehidupan masyarakat. Buktinya, makin banyak manusia yang mengkorup kekuasaan Tuhan ke dalam tangannya yang bukan haknya. Diantaranya membunuh, menggunakan kekuasaannya untuk merusak tatanan kehidupan kosmos, perang, merusak lingkungan, mendatangkan bencana dan lain sebagainya.
6) Tari Tiban, sejenis tarian yang pernah subu dalam masyarakat tradisional. Tarian ini dahulu menjadi bagian dari upacara memohon turunnya hujan kepada dewa-dewa. Diduga berasal dari kosa-kata ketiban yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta berarti kejatuhan, rezeki, pulung, beroleh bahagia, anugerah, pangkat. Namun dalam perkembangannya, tarian dengan memakai cambuk ini berubah fungsi jadi ajang adu kekuatan antar jagoan-jagoan yang saling menguji kekebalan kulit tubuhnya dari deraan cambuk. Beruntung saya sempat mengenal sisa-sisa tradisi baik tiban sebagai tarian maupun sebagai ajang adu kekuatan. Dan sudah barang tentu Kesenian itu kini telah punah.
7) Kalimat yang sama ini persis diucapkan tokoh Sang Priyayi Pengetahuan Barat kepada Guru Nankai. (lihat catatan 4) Sambil mengosongkan gelas lagi, Sang Priyayi Pengetahuan Barat memandang Guru Nankai dan berkata, “Kalau saya terus Berbicara mengenai kebenaran-kebenaran yang begitu jelas, anda mungkin jadi sakit.” Guru Nankai berkata, “Tidak, tidak. Di negara Eropa, percakapan anda mungkin biasa, tetapi di sini, di Asia, ide-ide anda masih segar. Jangan lelah Berbicara, lanjutkan argumentasi anda hingga ke konklusinya.”
8) Dinukil dari salah sebuah syair lagu. Kurang lebih artinya, Sri kapan kau kembali. Pergimu tanpa seizinku. Bilang ke pasar hendak membeli terasa. Tternyata kepergianmu tak pernah kembali selamanya.
9) Segeralah terlentang, Sri. Segeralah terlentang.
10) Diilhami metafora ilmuwan Albert Einstain yang terkenal “Tuhan tidak bermain dadu.” Einstain menggugah banyak ilmuwan dengan pandangan dunianya yang sama sekali baru terhadap semesta. Bahkan ia menyerupai “nabi” karena pandangannya yang lebih bersifat religius ketimbang ilmiah. Khususnya tentang ruang dan waktu. Menurutnya ruang dan waktu terkait erat dan tak terpisahkan dengan membentuk suatu kontinum empat demensi yang disebut “waktu ruang.” Dalam fisika relativisti, kita tidak pernah dapat berbicara tentang waktu. Begitu pula sebaliknya. Dalam Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban. Bentang 1998. Hal 106. Einstain menyatakan bahwa diantara kedua prinsip dasar materi dan energi, ia mencari suatu kebenaran yang sulit ditangkap dengan ilmu fisika. Kebenara ini kata Einstain, merupakan suatu entitas yang tidak diketahui, yang kadangkala mengejawantah sebagai materi dan pada waktu lain mengejawantah sebagai fisika dan tetap tidak diketahui untuk selamanya. “Inilah yang saya namakan Tuhan,” kata Einstain. Yang terakhir ini saya kutip dari Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim terj Amien Rais, 1995. PT Raja Grafindo Persada. Hal 115.
11) Sejenis obat perangsang kejantanan yang diperjual-belikan bebas di toko-toko.
12) Diilhami sebuah ayat suci Al-Quran. Surat An-Nissa. []
TENTANG PENGARANG
S. JAI. Selepas lulus dari jurusan Sastra Indonesia, saat masih bernaung di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, ia memilih menjadi seorang “pengembara.” Ia lahir di Kediri, 4 Pebruari 1972. Menurut Penanggalan Islam-Jawa, mustinya ia tercatat lahir pada Ahad Kliwon (4 Pebruari 1973) melalui tangan trampil seorang dukun bayi di dekat lereng gunung Kelud. “Aku tak mau umurku dicuri biarpun hanya sedetik, apalagi setahun,” demikian ungkap putra pasangan Ali Bin Tamsir, tukang kebun sebuah perusahaan peninggalan Hindia Belanda dan Markonah bekas bunga desa yang buta huruf. Ketika beranjak dewasa, berbekal rasa percaya diri yang tinggi dan bermaksud memecahkan problem ekonomi orangtuanya, ia menempuh pendidikan SMEA. Tiga tahun kemudian berhasil mengantongi nilai ujian “nyaris sempurna.” Walhasil, saat itu pula pandangannya tentang ekonomi berubah—sekaligus pemecahan—bahwa ekonomi bukanlah sebuah masalah. Karena itu, tahun 1991 mengembara ke Surabaya untuk memperdalam sastra dan budaya hingga menyelesaikan studinya tujuh tahun lamanya. Tujuh tahun pula bergaul dengan sejumlah komunitas seniman Bengkel Muda Surabaya, Kelompok Seni Rupa Bermain, Teater Puska, Teater Gapus, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar. Sempat bertandang ke banyak komunitas diantaranya Teater Garasi Judi Ahmad Tajudin, Teater Populer Teguh Karya, Bengkel Teater Rendra. Bermula dari bermain drama, terlibat penggarapan sejumlah lakon baik sebagai actor, penulis maupun stradara. Diantaranya, Nyai Adipati, Jalan Tembakau, Samadi, Alibi, Caligula. Pernah mengikuti Pertemuan Teater Indonesia tahun 1993 di Surakarta. Di awal gerakan reformasi, tahun 1994 terlibat kegiatan Malam Seni Luar Biasa di Dewan Kesenian Surabaya memperingati 100 hari pembredelan Tempo, Editor, Detik bersama seniman dari Surabaya, Gresik, Blitar, Solo dan Yogyakarta. Tahun 1995 bersama KSRB menerbitkan antologi puisi dan cerpen Kami di Depan Republik dibacakan di STSI Denpasar sebagai catalog Seni Rupa Layanan. Dengan disertai pertunjukkan drama Kopi Pahit Pak Su, yang ditulis dan disutradarainya sendiri. Selaku kontributor gagasan Seni Rupa Peristiwa, tahun 1998 esainya termaktub dalam catalog Istighotsah Tanah Garam, penyerta ritual tanah di lokasi rencana pembangunan waduk Nipah di Sampang Madura. Berlanjut dialog dengan anggota DPRD Jatim bekerjasama dengan LBH Surabaya. Kemudian tahun 1999 sebagai kontributor gagasan gerakan budaya Wayang Kentrung Tiji Tibeh kerjasama dengan The Japan Foundation. Selain esainya termaktub pada katalog, juga selaku sutradara bersama Saiful Hadjar, Harman Sumarta, Amir Kiah, dan dramawan Akhudiat. Di lapangan sastra, cerita pendek pertamanya priyayi dimuat di koran Surya yang kemudian memberinya kesempatan untuk bekerja sebagai jurnalis selama beberapa tahun. Sastra digelutinya setelah meninggalkan kegiatan jurnalistiknya. Berturut-turut ia melahirkan sejumlah novel. Novel pertamanya Tanah Api diterbitkan LkiS Yogyakarta 2005. Sebelumnya novel Tak Sempat Dikubur dimuat bersambung di harian sore Surabaya Post dari Pebruari hingga Mei 2005. Kini dalam persiapan diterbitkan penerbit LkiS. Kemudian sederet novelnya yang belum dipublikasikan dan manuskripnya hanya dibaca kalangan terbatas, Langit Berbantal Kabut, dan sebuah novel yang diilhami mitos Cerita Panji berjudul Tanha. Agustus 2004 mendirikan Komunitas Teater Keluarga. Komunitas ini bermula dari kegelisahan di pinggiran Jalan Airlangga yang berlanjut kehendak mempertemukan setiap lalu lintas ide dalam satu simpul—untuk mengejawantahkannya. Di sekitar Jalan Airlangga, tepatnya depan kampus Universitas Airlangga Surabaya berhumbalang gagasan-gagasan dari sekelompok intelektual muda yang mampir di kedai-kedai kopi. Sejak dari penyair, wartawan, pengarang, penganggur hingga yang masih menyandang status mahasiswa. “Jabang bayi” Komunitas Teater Keluarga lahir di kedai kopi yang terbuka di trotoar jalan itu. Agustus 2004, tercetuslah nama Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga disingkat Keluarga. Puncak-puncak pencapaian kepenyairan kala itu, kian membuat timpang untuk jagad teater dan prosa. Inilah awal Komunitas Teater Keluarga menggagas teater monolog Alibi yang ditulis dan disutradarainya sendiri. Alibi digagas dalam bentuk ”Gerakan Seni Budaya Mengelola Spirit Neo-Primitif: Sebuah Konsep Gagasan Teater Tutur” tepat pada 6 November 2004 di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Sederet penggagas utama S. Jai, F Aziz Manna. Kemudian sejumlah nama turut memberi kontribusi Mashuri, Indra Tjahjadi, Putera Manuaba, Zeus NUman Anggara, Listiyono Santoso, Adi Setidjowati. Dalam proses berikutnya, tentu saja makin membludak intelektual-intelektual yang berasa berasal dari lingkungan jalan Airlangga. Boleh mahasiswa, sarjana (muda, karena fresh graduate) atau pengajar. Bahkan tak sedikit komunitas yang tumbuh berkembang untuk bertemu di simpul yang sama. Naskah Pantai yang ditulis Zeus NUman Anggara juga digagas untuk pentas di tempat ini. Berikutnya, pada 25 Oktober 2008 teater masih dipercaya sebagai kendara menuju ujung terjauh temali kekeluargaan: Racun Tembakau adaptasi dari On the Harmful Effects of Tobacc, Anton Chekov yang menggunakan konsep “Estetika Realisme - Primitif, Testimoni, dan Pengutuhan Kualitas Hidup.” Adaptasi dan penyutradaraan masih dikerjakannya sendiri. Sementara katalog dikerjakan, Mashuri, mantan aktivis Sardiyoko, Siti Nurjanah, Indra Tjahyadi. Selain menulis esai di pelbagai media massa, sejumlah cerita-cerita pendeknya masih berserakan dan berniat untuk dikumpulkan di bawah judul Calcutta van Java, salah sebuah novel pendeknya yang diikutsertakan khusus untuk lomba pada Majalah Femina 2008. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehari-harinya ayah dari Raushan Damir dan Khasyful Kanzan Makhfi ini bekerja pada The Center for Religious dan Community Studies (CeRCS) sebuah lembaga pemberdayaan yang bergerak di bidang pendampingan dan penelitian masalah-masalah agama dan kemasyarakatan di Surabaya.[]