Posisi Negeri Pengarang di Jawa Timur
(Surat Terbuka Buat Arif B Prasetya, W Hariyanto,
Fachrudin Nasrullah, Rahmat Giryadi)
Oleh S. JAI *)
HAMPIR pasti tiada suatu negeri tanpa bayang-bayang penguasa. Fatalnya hal serupa terjadi pada negeri sastra—tempat berdiam puisi, prosa atau drama. Ini yang tertangkap dari sebalik ulasan kritikus sastra Arif Bagus Prasetyo tentang “Jawa Timur Negeri Puisi,” Jawa Pos 25 Juli lalu.
Prosa berada di bawah bayang-bayang puisi. Sementara ekspresi penyair berada di sebalik kurungan keengganan dan kemiskinan berbahasa Indonesia. Dengan kata lain visi kepenyairan lebih berada di bawah ketaksadaran ketimbang kesadaran akan—dalam bahasa Gadamer—bildung, weltanchauung, sensus communis, judgement, taste.
Artinya prosa Jawa Timur dapat dikatakan sedang koma atau luluh lantak di mata kritikus yang kini tinggal di Denpasar, Bali tersebut. Akan tetapi Arif tidak sendiri mensinyalir demikian. Tengara serupa terbit beberapa hari sebelumnya, Selasa 20 Juli 2010 dalam sebuah seminar “Arah dan Perkembangan Sastra di Jawa Timur.” Penyair Tjahjono Widianto mengaku terus terang tidak punya nyali membahas prosa oleh karena takut salah. Ia hanya membahas puisi-puisi Jawa Timur meski yang bersangkutan juga menulis prosa di media nasional.
Ada beberapa sinyal yang tak asing dari peristiwa sastra mutakhir tersebut di atas. Sedemikian kukuhnya mengakar dalam darah daging sastra kita hingga sulit dideteksi yang tumbuh kembang ini tumor, kanker atau daging segar. Yakni, tak lain terkait dengan posisi prosa dan puisi di satu sisi dan posisi pengarang, penyair dan kritikus di sisi lain.
Tentu ini hubungan wilayah perkembangan yang maha luas dan perlu pengkajian mendalam. Hanya saja keunikan peristiwa di atas setidaknya bisa ditangkap karakteristik dasar di sebalik gejala sastra tersebut. Bahwa sastra, puisi, prosa sebagai satu kenyataan, kemudian sastrawan, penyair, pengarang sebagai kenyataan lain, di samping media massa, pembaca, dan kritikus sebagai kenyataan berikutnya yang memiliki karakter tertentu pula.
Kritik Arif Bagus Prasetyo yang meneguhkan Jawa Timur sebagai negeri puisi hanya mendasari diri pada sudut pandang karakteristik posisi tersebut di atas, tanpa menumbuhkan kemungkinan karakteristik lain dari ruh sastra itu sendiri—yang sudah berangtentu sebagaimana dikemukakan sang kritikus sendiri, diakui ada. Meskipun sempat disinggung pula adanya penyair yang menulis prosa seperti Mardi Luhung, Mashuri dan Beni Setia.
Secara sederhana, sebetulnya apabila kritikus yang juga kurator “Sastra Indonesia Hari Ini: Jawa Timur” itu bersedia membalik karakteristiknya dengan menganalogikan bahwa ketiga sastrawan sebagaimana dicontohkan itu “menulis prosa dan menulis puisi,” saja tentu bakal kuasa membangkitkan orang-orang visioner dan menyusuri dunia sastra dengan mata yang berbinar.
Dengan karakteristik baru semacam ini, kritik sastra bakal terimplikasi lain disamping pada dirinya sendiri selaku kritikus. Termasuk implikasi terhadap kekayaan pembacaan sastra oleh kritikus-kritikus sesudahnya. Rupanya, manakala kritik atas sastra di Jawa Timur itu berlanjut maka visi prosa dalam hal ini kepengarangan, juga ekspresi kepenyairan bakal dipersalahkan tanpa suatu kejelasan konseptual. Tanpa menyadari kekurangpatutan atas kritik sendiri, bahwa sebetulnya kesalahan konseptual atas prosa dan puisi bakal lebih berbuah aib memalukan atas dunia kritik sastra.
Boleh jadi visi dan ekspresi prosa juga puisi kita salah arah. Akan tetapi kesalahan arah prosa dan puisi kita boleh jadi disokong oleh ketidakpahaman akan subtansi sastra. Tentu saja perihal amburadulnya subtansi sastra yang bertanggungjawab dan punya andil besar adalah kritikus sastra. Rendra pada 1982 menyerukan omong kosong pada kritikus sebagai jembatan penonton atau pembaca dengan seniman.
Perlu kita ajukan kembali pertanyaan mendasar apa sebetulnya relevansi kritikus atau penyair, prosais yang kemudian sanggup merangkap sebagai kritikus membedakan antara puisi dan prosa? Lalu, apa sesungguhnya masih ada relevansinya pembedaan atas prosa dan puisi?
Sudah barang tentu pertanyaan ini bisa diperdebatkan—terlebih bila menyangkut historiografi atas prosa dan puisi. Perdebatan bakal lebih mendalam manakala terkait pula dengan—dalam bahasa Adonis—perihal personifikasi, simbol, retoris, liris dan representatif pada karya sastra. Betapa Adonis terkejut saat mengulas karya Jibran Khalil Jibran atas bentuknya yang banyak seolah-olah Jibran ingin memberikan inspirasi bahwa bentuk yang banyak juga merupakan jenis pembaruan dan jenis melampaui masa lalu.
Jibran menulis cerita pendek yang relatif panjang, drama dialogis, makalah, cerita simbolik, ungkapan padat (kata-kata bijaksana, perumpamaan), biografi, qashidah prosa dan qashidah bermatra. Kiranya, bisa dimengerti mengapa pula sastrawan besar seperti Sutardji Chalzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad memilih menjadi prosais dan orang seperti Koentowijoyo, Arifin C Noer, Iwan Simatupang juga memperkenalkan diri sebagai penyair.
Bahwa puisi sebagaimana prosa itu seperti seperti Rosario atau butir tasbih yang kebetulan dirangkai dalam satuan melingkar dan boleh berbeda ukuran. Sementara manusia, penyair, pengarang itu doa dan sembahyangnya. Personifikasi ini bukanlah ungkapan seorang kritikus yang kemudian mengkritik seakan hanya pembaca yang berdoa dengan rosario atau butir tasbih saja yang lebih sahih menikmati puisi dan prosa.
Setiap sastra meski bermula dari persoalan mitos-mitos pribadi yang terpecahkan dan berkembang jauh menjadi problem keilmuan, di dalamnya sudah barang tentu memuat puisi, juga prosa. Ada puisi dalam prosa. Ada prosa dalam puisi.
Tanah Air Sastrawan
Sastrawan punya kemampuan penguasaan bahasa lebih baik dari yang bukan sastrawan. Kendati senantiasa haus akan penjelajahan wilayah baru bahasa. Akan tetapi lebih jauh, menulis sastra adalah suatu upaya menjaga diri agar tak kehilangan hak milik sebagai manusia. Yaitu, semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia—yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya, juga yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.
Saat itulah sastrawan tak sulit merondai pikirannya menempatkan diri pada tirai puisi. Berkat kata dalam puisi sastrawan tidak bersusah payah menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Bahkan sebaliknya ia telah menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata.
Ya, sastrawanlah yang membabtiskan kata itu seperti manusia juga. Dia yang tahu jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, tahu bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu kerendahatian untuk berjanji sebagai sastrawan memperlakukan kata seperti halnya terhadap manusia. Betapa ia tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menjadi pembunuh berdarah dingin yang menghabisi manusia, seluruh semesta, membantai sesama kata dan bahkan membunuh dirinya. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang bersih dan jujur.
Sastrawanlah yang tahu bentuk yang tepat ekspresi sastranya mana yang sanggup memboyong segala kemungkinan kata karena tabiat kata yang sudah ditentukan padanya—kurang ajar, purba, tidak saja seperti anak yang lahir yatim piatu tanpa bapak dan ibu, tetapi juga sombong dan tak mengakui manusia. Ia hanya tahu manusia, pengarang, penyair itu ada. Tapi dia hidup di dunianya sendiri yang sama sekali asing dan barangkali punya kitab sendiri, nabi-nabi sendiri.
Karena inilah takdir kata. Seperti manusia, ia tak sanggup mengajar kesempurnaan kendati Tuhan telah menciptakannya sebagai makhluk yang paling sempurna. Secara fisik ia bisa cacat bisa pula sehat jasmani, atau berbadan perkasa. Bukankah lebih mulia bila kita memanusiakan mereka seperti kenyataan sesungguhnya? Laiknya manusia utuh sebagaimana wakil pencipta di bumi ini?
Kadang-kadang ruh sastra itu tak peduli benar dirinya bermakna atau tidak. Sastrawan hanyalah diberi hak untuk mengajukan pertanyaan, bujuk rayu, kebijakan filosofis, dalam bentuk seindah mungkin, sedahsyat mungkin agar seolah kelak mendapat jawaban pasti atas segala tanya dan mengakhiri kegelisahannya.
Walhasil, sastrawan, penyair, pengarang, orang biasa semakin sulit dibedakan. Namun sangat mudah untuk membedakan antara puisi dan penyair, pengarang dan prosa. Bahwa puisi bukanlah apa-apa. Puisi hanya ditulis oleh penyair karena takdirnya. Demikian pula prosa.
Artinya, menjadi semakin sia-sia ketika mencoba menarik pemaknaan puisi, prosa yang bagus dan penyair, pengarang yang luar biasa. Barangkali sebangun dengan ungkapan TS Eliot, kesusastraan diukur dengan kriteria estetis, sedang kebesaran karya sastra diukur dengan kriteria di luar estetika.
Bahwa satu kalimat terakhir ini tak lain merupakan usaha untuk menjawab spirit prosa. Penulis artikel ini sendiri termasuk ragu dan berpendapat hampir seluruh puisi-puisi yang ada jangan-jangan itulah sebetulnya spirit prosa. Atau setidaknya puisi-puisi yang sukses luar biasa menggiring pembaca untuk menjadi sesuatu yang lain: prosa. Lalu dimana puisi? Bahkan tidak sedikit puisi-puisi yang menjungkirbalikkan korbannya—utamanya mahasiswa sastra, sastrawan, calon penyair, ahli sastra yaitu ketika tanpa sadar dirinya sebetulnya sedang dibaca oleh yang berpura-pura sebagai puisi. Pilih mana yang benar: membaca atau dibaca?
Lebih dari itu penulis artikel ini percaya bahwa mengarang adalah menipu diri sendiri demi untuk meraih kegelisahan hidup kepengarangan selanjutnya. Kedengarannya memang naïf dan gila: tampil gagah hidup miskin, di tengah kemiskinan di lautan kata, samudera bahasa di negeri ini, yang fatalnya juga masih hidup susah karena serba terjerat kemiskinan, juga terlilit utang. Inilah kejujuran untuk menipu diri sendiri. []
*) Penulis adalah pengarang.