DUNIA MAYA
Cerpen S. Jai
(Surabaya Post, Minggu 15 Agustus 2010)
DAHAN sudah beristri. Anaknya tiga. Sementara Arumi Luna seorang mahasiswa sosiologi. Bagi Dahan yang lebih sering meninggalkan keluarga dan anak-anaknya, memandang diri kisah cintanya ini serupa dengan perselingkuhan pengarang Oki Toshio dan pelukis Otoko dalam novel Beauty and Sadness karya Yasunari Kawabata. Kisah cinta yang nakal tetapi menyentuh. Oki meninggalkan Otoko yang gila dan mengenang cintanya lagi setelah duapuluh empat tahun kemudian.
“Tapi ini nyata, bukan prosa. Atau prosa realis,” pikir Dahan.
Sementara si cantik Arumi Luna pun tak kesulitan memahami kenyataan cinta ini, tentang perselingkuhan ini. Bahwa ia jatuh cinta pada lelaki beristri. Cinta yang membuatnya merasa lebih bisa memahami diri, ketimbang memahami tokoh-tokoh yang ia baca maupun ia ciptakan untuk fiksinya. Dengan cinta yang menetes dari buah pikiran dan hati Dahan, membuat kenyataan hidupnya lebih segar dan bergairah dalam menaklukkan setiap gempuran masalah.
“Aku sudah berjanji untuk mencintaimu secara tulus, Arumi, kekasihku.”
“Aku tahu setiap janjimu selalu kau lunasi,” balas Arumi Luna.
“Karena kau bukan orang lain bagiku, demikian pula aku bagimu, adakah yang masih kau sembunyikan dariku? Katakan, Arumi.”
“Percintaan ini tidak adil rasanya bila aku sembunyikan sesuatu. Karena itu kukatakan bahwa, seperti halnya dirimu yang beristri. Sebetulnya aku pun telah memiliki kekasih selain dirimu, Mr Dahan,” begitu Arumi Luna seringkali memanggil.
“Oya? Ah. Sungguh fantastis! Sungguh percintaan paling indah di abad ini, kekasihku. Apakah kita akan saling menuliskannya dalam novel atau cerita pendek?”
“Entahlah,” jawab Arumi tersenyum.
Dahan pun segera merenggut tubuh kekasihnya. Lalu dipeluknya kuat-kuat. Kemudian menjalin mimpi diantara keduanya di dunia maya. Keduanya pun melupakan kenyataan dan juga fiksi.
Kenyataannya, istri Dahan dibiarkannya bekerja menghabiskan waktu dan hampir tak ada luang mengurus tiga anaknya. Karena itu ketiganya pasrah dititipkan kakek neneknya. Bahkan si kecil yang terpaksa tidak bisa menikmati susu ibunya secara sempurna. Dua anaknya yang lain tidak pernah belajar dengan baik karena ibunya, istri Dahan, seringkali menggunakan sisa waktunya di rumah untuk mengatur istirahatnya. Atau menyiapkan materi pekerjaannya demi esok hari yang musti berangkat pagi-pagi sekali, saat burung gagak mengakak dan membangunkan si bungsu yang masih berusia satu setengah tahun.
Dahan sudah menulis kenyataan itu semua dalam prosanya. Juga kenyataan Arumi yang sering beradu mulut dengan kekasihnya karena saling menuduh egois, atau saling mencium kecemburuan pada kekasih-kekasihnya yang lain. Selain soal kuliahnya yang tersendat-sendat lantaran lebih tertarik pada dunia kepengarangan ketimbang teori-teori sosial. Mungkin yang belum ia tulis dalam cerita realisnya adalah: belakangan Arumi juga mulai diserbu ayah ibunya yang menuduhnya ia anak bengal yang liar, susah diatur tetapi orangtuanya tidak kuasa membantah teori-teori kebebasan dari si otak cemerlang Arumi.
“Aku ingin menjadi diriku sendiri, Bapak, Ibu,” itu kata kuncinya.
***
MENJADI pengarang itu mungkin memang takdir. Sebagaimana ia ditakdirkan untuk bergelut dengan kata. Akan tetapi menjadi pengarang, juga sebagaimana ditakdirkan seperti arsitek, atau juru masak. Ia membangun dunia atau meramu bumbu masak untuk dihidangkan keluarga kita.
Meski demikian pada diri Dahan Nusa, dirinya menyadari betul ada yang mengalir pada tubuhnya: takdir yang ia jumpai di jalan tanpa bisa diatolak apalagi untuk dimasak. Hingga usianya menyongsong 40 tahun, ia menggebu dalam memburu prosa-prosa beraliran realisme. Ia pengarang yang takjub pada detil-detil kenyataan dalam sastranya. Karena kejelian dan kekuatan prosanya dalam mengangkat realisme dalam sastra, Dahan Nusa lebih melampaui sebagai seoarang pengarang. Bahkan keberhasilannya itu membuatnya dijuluki bukan pengarang, melainkan penulis yang memuja kenyataan.
Sudah hampir dua puluh tahun dan banyak karya gemilang lahir dari buah tangannya. Sampai suatu takdir menggiringnya pada titik kejenuhannya, kegelisahannya. Maka entah bagaimana mula nasib dan ceritanya, Dahan Nusa bertemu dengan seorang pengarang pemula. Namanya Arumi Luna. Pertemuan bermula dari keinginan Arumi Luna untuk mengumpulkan cerita-cerita pendeknya untuk diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan cerita.
Dahan Nusa menyambut gembira semangat perempuan muda itu dan membantunya dalam setiap diskusi-diskusi. Terlebih Dahan makin tahu ketajaman pikiran Arumi yang usianya hampir terpaut separuh lebih muda dari umurnya. Tapi tak mengapa, barangkali Dahan bisa mencuri gelora dari pengarang muda itu yang harus jujur diakuinya menakjubkan dirinya. Seingat Dahan, dirinya pun waktu belia tak sedahsyat apa yang dimiliki Arumi, terlebih watak pemberontaknya.
Satu hal yang membuat perkembangan keduanya melesat adalah lantaran ternyata baik Dahan maupun Arumi Luna memuja kenyataan. Keduanya sama-sama penganut aliran realisme.
“Bacalah karya-karya Steinback atau VS Naipaul. Kau akan jatuh cinta,” ucap Dahan.
Namun bukan soal Amarah atau Sebuah Rumah untuk Tuan Biswas yang menarik, melainkan karena di penghujung perjalanan Dahan dan Arumi Luna kemudian ditakdirkan saling jatuh cinta.
***
HUBUNGAN cinta gelap Dahan dan Arumi Luna pun seiring berjalannya waktu. Cerita-cerita tetap ditulis oleh keduanya yang selalu diangkat dari kenyataan. Bukan pada soal perselingkuhan itu sendiri. Mungkin karena tak kuasa menceritakan diri. Barangkali pula tak ditemukannya kenyataan yang utuh perihal misteri cinta seperti ini.
Meskipun ada pula kemungkinan justru oleh karena terlampau asyik dengan gairah api cinta yang melintasi takdir dua insan tua muda ini sehingga apalah arti sebuah cerita atau prosa bagi keindahan cinta mereka berdua?
Yang sering terjadi adalah sebagaimana tertulis pada artikel-artikel koran, ungkapan-ungkapan filosofis, atau ajaran-ajaran sejarah mental bahwa dalam situasi cinta atau hidup yang kompleks, kesedihan, penderitaanlah yang lalu menyerobot masuk mencuri perhatian. Maka penderitaan pun berebut mencari arti dirinya.
“Inilah misteri dari cinta sejati yang tulus, Arumi.” tutur Dahan yang ia lupa mengutip dari mana.
“Bagaimana kau tahu kata-kata itu, Mr Dahan?”
“Sudah menjadi bagian dari diriku, lalu spontan keluar kuberikan padamu, sayang.”
“Aku mencintaimu karena memburu kebahagian.”
“Demikian pula aku. Kau perempuan dan patut menikmati itu,” tandas Dahan.
Kebahagiaan? Apa hubungannya dengan penderitaan? Bagaimana dengan kesedihan? Juga keindahan? Ah, selama ini tidak ada pada prosa-prosa realis kita. Akan tetapi yang benar terjadi yaitu kenyataan sungguh menelan mentah-mentah kesempatan untuk itu semua—cinta yang hidup, misteri yang nikmat, kebahagiaan yang sublim. Hal ini terang melintas pada takdir cinta Dahan dan Arumi. Kehidupan keluarga yang menyita perhatian, waktu—mengurus anak yang sakit, istri yang menuntut, utang yang menumpuk, mertua yang kecewa. Atau pacar yang serba mengatur, cemburu yang berlebih.
Memang sebagaimana yang telah diyakini keduanya selama ini dalam hal kepengarangan, bahwa pekerjaan maupun tugas-tugas kuliah terang menganggu kreativitas dan produktifitas. Lebih dari itu yang terjadi kini kenyataan itu semua seolah bakal membunuh cinta. Sampai suatu ketika betul-betul kenyataan memakan habis waktu bagi keindahan cinta mereka.
“Kalau terus-menerus seperti ini, kita bisa mati berdiri, sayang. Kita terlanjur jatuh cinta tapi tanpa ada waktu berjumpa, apalagi menikmati keindahannya. Lalu siapa yang salah? Kita atau cinta itu sendiri?” Dahan tertekan berat.
“Aku sendiri tidak tahu mengapa aku jadi merasa bodoh, tidak bisa keluar dari jeratan waktu dan kenyataan seperti ini. Kita seolah-olah terjebak tanpa bisa memberontak,” tukas Arumi.
“Percayalah sayang, cinta tidak bisa terkalahkan. Kecuali oleh cinta itu sendiri.”
“Apa maksudmu, Mr?”
“Aku sudah berjanji tulus mencintaimu. Sebagaimana kau tahu bukankah aku tak pernah ingkar janji?”
“Percaya. Aku percaya kekasihku. Tapi dalam situasi seperti ini jangan lagi berteori. Ini bukan sastra.”
“Ya..memang ini bukan sastra, Arumi. Ini penderitaan, kesedihan dan keindahan cinta.”
Ah, sepertinya Arumi Luna sudah tak memerlukan pelajaran mengarang lagi.
***
“BAHAGIAKAH kau kini, Arumi?” suara Dahan pada gagang ponsel yang memanas karena berjam-jam dalam genggaman.
“Seperti yang kau rasa, itu datang dari ketulusanmu, Mr. Meskipun kita tidak pernah punya waktu berjumpa, kau sungguh menyakinkan cintamu meskipun dengan cara seperti ini.”
“Tak mengapa kalau yang kita bisa cuma sms atau telepon. Kita berpegangan, berpelukan, berciuman pun dari telepon.”
“Betapa indah saat kau kini bercinta dengan istri keduamu ini. Sebagaimana kebahagianku dalam pelukmu, oh suami keduaku.”
“Kedengarannya lucu ya kenyataan kita ini?”
“Ini bukan kenyataan, Mr Dahan sayang. Ini fiksi. Seperti mimpi. Bahkan sebagai sepasang kekasih, sepasang suami istri, kitapun bersetubuh cara sexs by phone.”
“Cinta kita lebih indah dari mimpi, kekasih?”
“Ya. Seperti itulah rasanya.”
“Hei…kamu bilang rasa cinta?”
“Cinta sejati rasa telepon, Mr. He.he..”
“Hmm….peluk aku, sayang.”
“Hangat sekali tubuhmu, kau sedang bergairah.”
“Kau juga.”
“Peluk dan cium aku lebih kuat.”
“Jantungku terasa berdetak kencang.”
“Uhh..aku hampir sulit bernafas ini.”
“Sorry..tahan dulu ya. Pulsaku mau habis.”
Tut..tut..tut..
“Huh..Diancukk!!!!”
Kembali ke: Kenyataan!
Surabaya, Juni 2010