Mencipta Kembali Tradisi Teater Jatim
Oleh S. JAI*)
(Forum, Kompas Jawa Timur, Edisi Kamis 19 Agustus 2010, Dimuat dalam buku Realitas Pengap, Blesi Press 2010)
JAWA TIMUR, tepatnya Surabaya dan Sidoarjo pernah memiliki tradisi teater yang kuat—bahkan menggerakan tradisi teater modern di Indonesia. Ketika pada 1891 Komedi Stamboel berkibar dan pada 1926. Lalu Dardanella (The Malay Opera) berjaya yang diprakarsai Willy Klimanoff.
Di tangan mantan awak sirkus Komedi Stamboel itu, Dardanella dimodernkan sebagai teater yang mengutuhkan esensi laku dramatik dan menghilangkan nuansa lelucon dan tarian yang menyimpang dari esensi itu. Dari kelompok teater inilah berkembang pesat teater modern melalui awak-awak panggungnya. Bolero, Orion yang didirikan Miss ribort, Tjahaya Timoer yang didirikan Andjar Asmara. Termasuk Teater Maya di Jakarta, di bawah asuhan Usmar Ismail 1944.
Yang menarik dari pemodernan teater ini, dengan melakukan pembaruan spirit tradisi teater dengan mendekatkan diri pada peristiwa sehari-hari melalui naskah-naskah yang tertulis dan bukan lagi improvisasi atas tradisi lisan dari mitologi, epos dsb—yang tentu saja telah dianggapnya ketinggalan zaman.
Beberapa dasawarsa berikutnya, dalam peta tradisi teater tanah air, Jawa Timur—Surabaya, melahirkan tradisi baru berteater, bahkan sanggup menguatkan identitas teaternya ketika era 1970-1980-an. Munculnya sejumlah nama, utamanya yang pertama bisa saja disebut nama Akhudiat dan yang Kedua Basuki Rachmat, yang sezaman dengan Emil Sanosa, Max Arifin, sesudah generasi Lutfi Rachman yang kemudian terjun ke dunia film.
Nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan orisinalitas kentrung rock dan mendunianya ludruk (Istilah alm Profesor Umar Kayam). Melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat teater ludruk campur kentrung mendunia berkat lakon-lakon Bertold Brecht, semacam Darmi-Darmo dan Lingkaran Keadilan dan dipentaskan keliling Indonesia. Estetika teater Surabaya mampu menembus khazanah “Teater Indonesia.”
Bahkan konon mencuatnya Teater Sampakan di Surabaya sempat mempengaruhi gaya teater Yogyakarta yang kiranya perlu dicatat pencapaiannya dan penting bagi sejarah teater Surabaya. Melalui Emha Ainun Nadjib yang memang pernah bergaul dengan anak-anak Bengkel Muda Surabaya (BMS—tempat Akhudiat dan Basuki Rachmat besar dan membesarkan teater), pada saat Yogya dikuasai gaya Mataraman Bengkel Teater Rendra, gaya sampakan merasuk dan diproses Teater Dinasti yang berlanjut Teater Gandrik, Teater Paku sebelum akhirnya menjadi semacam aliran yang mewabah dan banyak penganutnya.
Kini pelbagai kalangan—termasuk seniman teater sendiri—berpendapat bahwa tradisi itu hampir tak ada lagi, lebih karena tidak adanya sikap kritis, mentalitas, spirit dan intelektualitas menghadapi fenomena kultural dan konteks sosial di belakang teks realitas. Walaupun sebetulnya, lebih tegasnya gejala itu tidak hanya terjadi pada teater. Melainkan seluruh aspek kebudayaan.
Saat ini, jurang kemelaratan melampaui kemiskinan yang diidentifikasi budayawan Rendra—kegagahan dalam kemiskinan. Bahkan kita ini telah melarat dari—istilah Kant—kemampuan untuk mengajar dirinya sendiri untuk bagaimana memaknai hidup dan punya identitas. Jelasnya, kemiskinan atas demensi subtansial kebudayaan yang disebut Herry Tjahjono—martabat bangsa, nilai-nilai bangsa, rasa memiliki, kebanggaan dan rasa aman.
Spirit mempertimbangkan tradisi pernah dicetuskan Rendra dalam proses kreatifnya pada 1971. Bahwa tradisi ibarat ayah kandung kita. Tradisi adalah kebiasaan yang turun-menurun dan ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Secara implisit justru Rendra mengakui usahanya itu lebih berhasil di dunia kepenyairan ketimbang drama. Meskipun pada spirit nilai tradisi puisi-puisinya itu diakui tak lain adalah tradisi abad 18 hasil karya raja-raja boneka dan bupati yang tidak aristokrat.
Kepada Profesor Umar Khayam, Rendra mengaku iri pada tradisi teater tradisional—wayang orang (ngestipandowo, sriwedari) ketoprak (mataram, siswobudoyo) dan juga srimulat—yang selalu dibanjiri penonton. Sementara konon salah sebuah pertunjukkan Rendra pernah hanya ditonton 7 orang, itu pun sebagian tertidur pada akhir pentas.
Dengan penuh kerendahan hati, diharapkan tulisan ini sanggup memberi kerangka yang menginspirasi seniman-seniman teater untuk mencari ruh teater kita. Oleh sebab itu model pertanyaan-pertanyaan berikut dimaksudkan sebagai jalan menemukan kembali ruh penciptaan tradisi teater Jawa Timur.
Pertama, kita musti bergelut dalam proses berteater dengan menjawab pertanyaan: Apa yang bisa kita lampaui dari pencapaian Rendra dalam mempertimbangkan untuk kemudian mencipta tradisi?
Boleh jadi, dunia penciptaan apapun sama—puisi, teater, prosa—hanya bahasanya yang berbeda. Apakah bahasa puitik ataukah bahasa dramatik. Meminjam kosa kata penyair Arab modern, Adonis: Dunia penciptaan, tidak lagi meniru model tradisional, dan juga tidak lagi meniru “realitas.” Kreasi dimungkinkan pertama-tama hanya dengan menjauhi peniruan dan “realitas” sekaligus. Ia merupakan penciptaan yang dipraktekkan..., terkait dengan penciptaan jarak antara dia dengan tradisi di satu sisi, dan antara dia dengan “realitas” di sisi yang lain.
Dalam kepenyairan Rendra mengaku dibimbing tembang dolanan anak-anak Jawa, tembang-tembang palaran Jawa, bahasa koran, mitologi Dewa Ruci. Juga dalam pertunjukan teaternya dibimbing teater rakyat Bali, foklore dan permainan image tembang dolanan.
Rupanya, keadaan ini pula yang dicoba ditaklukkan Goenawan Mohamad dalam esai “Sebuah Pembelaan untuk Teater Mutakhir” pada 1973. Bahwa teater membutuhkan publik yang intim karena ada perbedaan antropologi publik dengan antropologi teater. Waktu itu dia memilih kosa kata: pertunjukkan akan enak dinikmati bila jarak keduanya diperpendek.
Sampai di sini betapa jarak antropologi publik dengan antropologi teater masih menjadi medan tempur konsep berteater.
Antropologi Teater
Kedua, pertanyaan penting untuk digali adalah: Adakah kini yang mengatasi jarak keduanya—antropologi teater dan antropologi publik lalu menjadikan medan tempur baru berteater?
Pada kenyataannya, yang penting dipecahkan dalam “dialog-dialog” ekperimentasi teater, bahwa di atas pencapaian tradisi teater kita, teater mengampu pada tradisi lisan. Tradisi yang menopang teater kita inilah yang kemudian digugat Afrizal Malna sebagai politik yang mengontruksi tubuh dan berlangsung dalam pergaulan sehari-hari.
Karena itu, menurutnya penggunaan tradisi sebagai benteng identitas, juga mengandung resiko yang tidak sederhana. Tubuh-identitas lebih bermain di tingkat sikap (ideologis) dan bukan di tingkat bentuk. Tubuh-identitas yang masih bermain di tingkat bentuk, akhirnya hanya akan menghasilkan sikap verbal dari primordialisme. Pada gilirannya tubuh-identitas yang dikonstruksi sebagai tubuh-tradisi, itu bisa dibaca dengan sinis sebagai “sampah lokal” yang gagap menghadapi pergaulan dunia.
Ketiga, sedemikian sakralkah “dialektika antara realitas dan idealitas” sejak teater pra-modern, modern hingga kontemporer di atas sehingga masih menjadi panglima teater kita?
Pertanyaan ini tentu mewakili suara orang dari jurubicara pembela identitas seni kita yang menyakini teater kita haruslah sanggup menembus proses “tranformasi” menuju kulminasi identitas teater pasca-modern Indonesia atau teater pasca mitos kita.
Kiranya pencarian identitas dalam berteater musti memiliki paradigma baru yang berdiri di atas pertanyaan-pertanyaan penting di atas. Setidaknya pengalaman Teater Studi Klub Bandung mengingatkan akan hal itu. Teater Studi Klub Bandung mencoba menjawab sesuai epistemologi ketiganya—baik dialektika, realitas, idealitas sebagai produk dari suatu aliran filsafat barat—justru kemudian menempatkan kelompok teater itu sebagai wakil dari barat. Sementara Putu Wijaya bersama Teater Mandiri era 1970-an mencoba memecahkannya dengan membawa penonton hingga ke luar gedung, dan pertunjukan dilanjutkan di luar. Yang menginspirasi teater-teater generasi berikutnya untuk merambah ruang-ruang publik.
Di Surabaya cukup menarik apa yang ditawarkan Sutradara Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya dengan estetika “mencangkok ruang teater di antara kepanikan publik”-nya. Ekperimen teater Zaenuri yang masuk dan melipatkan para napi di Rutan Medaeng, teater para anak-anak urakan bonek Surabaya kiranya adalah upaya untuk penciptaan tradisi sekaligus estetika baru teater. Menurutnya Teater adalah riil. Teater adalah cara mengaktualisasikan diri dalam kapasitas peran yang berlebih dan panggung adalah kehidupan sehari-hari. Singkat kata teater harus berguna dengan memindahkan ruang estetis dari problem publik ke ruang yang katarsis—pencerahan.
Hal-hal inilah yang perlu disikapi teater mutakhir dalam penciptaan tradisinya menyongsong masa depan tradisi teater Jawa Timur, tanpa mendikotomi diri antara teater kampus atau non kampus, umum atau khusus. Selamat bereksperimen! []
S.JAI
Pengarang, kepala bidang seni-budaya Center for Relegious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.