Minggu, 22 Agustus 2010

cerpen

P u l a n g
Cerpen S. Jai

(Dimuat Harian Radar Surabaya Edisi Minggu, 22 Agustus 2010)


KETIKA aku datang kali pertama di dusun itu, rumahnya bobrok ditumbuhi kebun nanas yang sulit dijangkau manusia. Rimbun pohon bambu dengan ujung-ujungnya yang menyentuh tanah menggelikan aku. Bahwa ini bukan tempat yang cocok buatku. Bila malam hari lampu teplok berbinar melawan bintang atau bulan yang terhalang.

Dua puluh lima tahun lalu aku pendatang dan merasa diriku di tempat baru bukan sebagai saudara, kerabat atau orang baru. Ya, aku lebih pas berada di kampung itu sebagai hantu. Atau lebih tepatnya aku benar-benar tidak mengenali siapa sesungguhnya diriku. Apalagi bila harus menjawab pertanyaan, angan-angan bila kelak dewasa bagaimana nasibku, hendak jadi apa aku, pergi ke mana saja aku, lalu akankah juga dikuburkan jasadku di belakang kebun nanas itu?

Membayangkan diri menjadi hantu lebih gampang ketimbang merasa diri jadi manusia, meski hantu itu sendiri tak lain adalah kata-kata buatan manusia akibat kebuntuan mencari jawab suatu pertanyaan. Jadi ia adalah ciptaan manusia juga. Barangkali cuma hasil otak-atik dari kata Tuhan. Dua hal yang entah bagaimana mulanya begitu menakutkan sampai di telingaku.

Seperti juga Tuhan, Hantu itu tiba-tiba hadir di benakku seperti bayang-bayang hitam yang membesar. Ya, meski tak pernah berkata-kata, dongeng juga cerita dari mulut ke mulut lebih cepat menyebar dan hadir menyeramkan. Jadi sesungguhnya takut benar-benar menjadi manusia itulah yang menyebabkan diriku memilih bersahabat dengan hantu. Ketidaktahuan nasib sebagai manusia jadi penyebab diriku seperti itu.

Dan ternyata menjadi hantu itu cukup enak. Setidaknya sedikit mengurangi rasa takut sebagai manusia meski tentu saja terpikir olehku ada juga hantu yang kurangajar, suka menggoda. Ini sisa rasa takut itu yang berbenih. Tapi bersaing dengan Tuhan mulai terpikir sejak itu. Tidak ada beban, tak ada kewajiban karena keberadaannya juga diragukan tentu saja oleh manusia. Tetapi terhadap sesama kaum punya persoalan tersendiri. Pendek kata antara ada dan tiada.

Selama berpuluh-puluh tahun aku hidup seperti itu, aman dan tanpa ada yang mengusik. Bila ada yang mengusik bisa dipastikan itu akibat ulah manusia juga yang usil mencoba menempatkan dirinya separuh manusia dan separuh lagi bukan. Barangkali semacam dukun yang mencoba mempengaruhi makhluk halus yang jahat untuk menjahati diriku. Dan biasanya, uanglah pemicu paling dahsyat dalam hal begitu kacau-mengkacau.

Berikutnya, pendidikan, pekerjaan, menjadi kehidupan yang di kampung itu lebih ruwet. Jumlah orang yang separuh dirinya manusia dan separuh lagi bukan, menjadi bertambah dan berlipat. Segelintir saja yang bersitahan menjadi hantu saja atau manusia saja. Salah satunya, diriku. Sekolah agama, sekolah teknik, sekolah ekonomi, ah kenapa tidak tersedia pilihan sekolah penerbang yang menempatkan guru besarnya seekor elang, sehingga aku bisa jadi penerbang seperti burung lain lalu bebas menghilang kemana aku suka.

Di depan rumah bobrok yang kuhuni itu, ada surau kecil. Bila sore hari ramai sekali anak-anak mengaji di bawah asuhan ustadz Harjito dan guru ngaji Rokemah dan Rofiah, gadis kampung yang paling cantik selain rupawan juga lantaran ramah dan murah hati. Semuanya itu sudah terbukti. Termasuk karena itu santri-santrinya dari hari ke hari bertambah banyak. Tapi mulai tumbuh keanehan bagiku, karena sekalipun aku tak pernah masuk di surau itu. Alasannya, tentu sudah bisa diketahui: takut. Apalagi lantai yang hitam dingin tersebar hingga di depan pintu. Terlebih gelap yang mengurung melebihi bayang-bayang sendiri. Aku tahu tak ada hantu di situ, tapi takut itu tak pernah sudi beranjak.

Inilah keanehan yang kurasakan mulai menjangkiti tubuhku, perasaanku dan jiwaku-menjadi makhluk setengah manusia dan sisanya tidak jelas. Apalagi bila hanya seekor hantu. Bila menjelang bulan puasa, pemilik surau Haji Sinto mengajak ustadz, para santri Mendengarkan pengajian-pengajian di pesantren. Rokemah dan Rofiah hadir pula. Dibaan dan Yasinan tak pernah sepi. Aku sendiri hanya sebagai saksi dan tak pernah hadir di tengah-tengah itu semua. Bagiku menjadi pendatang dari tempat yang telah kulupa telah jadi siksaan. Akan tetapi hidup yang tak bisa menentukan diriku sendiri di tempat ini telah terasa menyiksa lagi.

Lalu siapa yang salah, tentu sebagai anak bau kencur, aku tidak tahu. Salah besar itu padaku bila aku tak melakukan apa-apa. Kenyataannya aku beberapa waktu lamanya mencoba nyantrik, mondok pada Haji Sinto, pemilik surau. Dari situ aku mulai bisa mengintip santri-santri yang mengaji atau menyalakan lampu teplok untuk anak angkatnya, Lukman bila sedang menyalin huruf-huruf Al-Quran mengerjakan tugasnya. Dia sekolah di pesantren dan seminggu sekali pulang. Tapi sebagian besar kesehariannya kuhabiskan bergumul dengan tahu ayam karena harus mengurus ayam-ayam peliharaan Haji Sinto yang jumlahnya ratusan itu. Aku harus mengeruk kotorannya dan membuangnya di ladang-ladang pisang atau kebun lombok miliknya. Lalu aku harus mencuci pakaian yang menggunung di sumur. Satu-satunya kenangan yang tak terhapus dalam hidupku adalah saat ustadz Harjito membelikanku sebuah pensil, kertas dan penghapus, dan ia tak berkata sepatah kata pun untuk itu.

Semenjak saat itu mulai tumbuh dalam diriku suatu pengetahuan bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku lebih gampang mengerti bahwa diriku serupa dengan tahi ayam yang dikumpulkan untuk makan gedebok pisang atau vitamin tanaman lombok. Sebab itu semenjak itu pula aku tak punya keberanian untuk membentak sang majikan, dalam hal ini ayam. Aku selalu menyimpan seluruh rahasianya baik-baik. Karena itu di luar dugaan bila kelak di kemudian hari bagiku kehidupan seekor ayam tak kurang pentingnya dengan kehidupan seorang manusia. Biarpun manusia sempurna sepanjang zaman. Setidaknya seekor ayam adalah leluhurku atau ibu kandungku yang melahirkan aku. Meski ia melahirkan untuk kemudian membiarkan aku tumbuh berkembang sendiri secara liar. Sebelum akhirnya berujung di bawah pohon pisang.

Berbekal filosofi seekor ayam, sayap, cakar, tahi, aku meninggalkan kampung basah gelap oleh rerimbunan pohon bambu itu. Aku pergi mencangklong ransel mengembara tanpa tujuan-sesuatu yang telah diajarkan leluhurku. Persinggahan tak boleh terlampau jenak sebab hal itu justru akan membunuhku, apalagi bila sampai mengambil tempat untuk menetap. “Kau tak boleh membangun rumah lagi,” demikian tutur leluhurku itu. “Tapi peliharalah sungguh rumahmu sendiri, meski kamu memilih jadi pengembara.” Ya, sebuah pesan yang tak gampang dicerna karena bisa jadi memang tak kumengerti.

Rumah? Ah, rumahku yang sekarang adalah ransel dan sepotong ijazah lusuh di dalamnya agar aku bisa mendapatkan kerja. Bukan maksudku meremehkan nilai, bahan ajar, dan paraf atau cap jempol pada kantor keluaran Dinas Pendidikan negeri ini. Sebaliknya, justru dari situ kusimpan sejumlah gedung, bangunan, sekolah, kantor, pasar, pabrik, pemerintah, swasta, bahkan kebun dan hutan, laut dan pantai bisa tersimpan dalam ijazah itu. Lalu kupendam dalam ranselku.

Begitulah sebagai pengembara, berkat selembar kertas itu aku begitu gampang mencari kerja, gaji lumayan, meski makin susah mencari kawan. Aku keluar masuk kantor dengan leluasa. Aku bisa lakukan hal terburuk atau terbaik dari setiap perusahaan yang mempekerjakan aku. Semua tersedia dengan gratis. Itu tentu saja bila aku mau. Tapi apa boleh dikata bila itu semua pada akhirnya satu pun tak ada yang pernah kulakukan baik yang terburuk maupun terbaik bagi perusahaan. Jadi apa yang saya kerjakan hanyalah hal yang biasa-biasa saja-hal yang sama sekali tak ada dalam pesan leluhurku dan menjadi bagian hidupku. Apalagi, perihal kehidupan yang penuh dengan dunia basa-basi dan kompromi tak bisa kujalani. Jadi apa yang sebetulnya kucari tidak pernah berhasil kutemui dan tak pernah ada. Aku betul-betul merasa sendiri. Aku sungguh-sungguh jadi orang asing, lengkap dengan segala penderitaan sebagai makhluk hidup. Anehnya, itu bisa terjadi padaku selama bertahun-tahun.

Lalu apa yang kau cari, hei bung?

Di balik itu sebuah keajaiban diam-diam muncul pada diriku: aku kembali merasa sebagai manusia di atas banyak sekali timbunan kertas. Ya, meski seringkali aku merasa terjepit diantara kertas-kertas itu. Betapa tidak, dunia ini tiba-tiba dalam pandanganku bagitu banyak disesaki kertas-kertas-ijazah, sertifikat, surat keputusan, lamaran, koran, brosur, surat pajak, uang kertas, akta kelahiran, surat nikah, sim, ktp, rekening listrik. Ah, bahkan dunia ini bisa terlihat lantaran tersusun dari kertas koran. Hebatnya lagi, seperti dalam puisi Subagio Sastrowardoyo, Tuhan pun terselip di balik surat pajak.

Begitulah, untuk pertama kalinya aku kembali menjadi manusia dan sendiri. Aku cemas bukan karena mencemaskan diriku. Melainkan mencemaskan dunia yang kelihatannya cepat berputar makin cepat tapi sebetulnya sia-sia. Ya, kesia-siaan disana-sini banyak terjadi dan kekalahan seringkali terjadi pada diri manusia. Sudah menjadi rahasia umum dunia ini antara ada dan tiada, meski disana-sini juga kian dahsyat maknanya dikorup. Buktinya, antara ada dan tiada sering nongol di layar kaca dan bintang utamanya justru bukan manusia tapi hantu.

Lalu manusia sendiri malah terus berpacu mengeruk rezeki dari hantu-hantu bikinan stasiun televisi. Apalagi untuk meresapi kata-kata ‘sebagai makhluk yang serba merugi kecuali bagi yang tahu diri.’ Tidak.

***

KINI setelah puluhan tahun bersusah payah mengembara dan sia-sia, aku pulang ke kampung halaman. Aku tak membawa buah tangan yang menempel di badan kecuali sepotong sajak penyair Hamzah Fansuri . Di Barus ke Qudus terlalu payah. Akhirnya ditemukan di dalam rumah. Di kampung halaman surau yang dulu kotor dan beratap genteng yang bocor bila musim hujan, telah berganti bangunan yang kokoh dan megah, cantik dan menarik. Gentong-gentong tempat wudlu yang dulu kini telah diganti dinding berlapis porselin indah dengan kran-kran air berwarna keemasan. Juga lantai telah berwarna-warni lebih terang dan dingin.

Tapi mengapa surau itu kini telah berubah sepi, tiada lagi anak-anak yang rajin mengaji. Loudspeaker terlihat berdebu dan tak tersentuh tangan. Sesekali saja berkumandang bila adzan magrib.

“Begitulah, Nak. Zaman sudah berganti,” ungkap Haji Sinto. “Semenjak ustadz Harjito, Rokemah dan Rofiah pergi, tak ada lagi yang mengurus surau. Tak ada lagi yang mau jadi guru ngaji. Semula saya sendiri yang menggantikan, tapi lama-kelamaan anak-anak yang nyantrik telah habis dengan sendirinya. Barangkali karena saya sudah terlampau tua untuk mereka. Jadi tidak menarik lagi. Saya sendiri juga pilih mengurus sawah sampai petang hari. Maklum, tidak ada orang lagi. Lukman memilih hidup di kota. Jangankan untuk anak-anak mengaji, bila adzan magrib berkumandang, surau ini tetap sepi dari jamaah.”

“Terus, Rokemah dan Rofiah kemana lagi, Pak Haji?”

“Oh, dia jadi orang besar sekarang. Dia pilih bekerja di Hongkong dan Malaysia. Rumahnya bagus dan dua tahun sekali pulang bisa beli tanah. Orangtuanya dihormati orang. Apa yang mereka cari lagi di dunia ini kecuali itu? Ya, kampung ini sepi sekarang, Nak. Mereka banyak yang ke luar negeri jadi TKI dan TKW ke Hongkong, Malaysia, Arab, Korea, Kuwait. Mereka kaya dan rumahnya kau lihat sendiri, megah-megah tapi kosong ditinggal penghuninya,” ujar Haji Sinto.

“Lalu siapa yang menempati, Pak Haji?”

“Ya, yang punya orangtua dia yang mengurus. Tapi yang sudah nggak punya, siapa yang menghuni? Nggak tahu saya.” Seperti biasa Haji Sinto Sinis dengan giginya yang gemeretak karena gemetar. “Syukurlah kamu pulang. Kamu bisa Bantu saya mengurus surau.”

“Ah, Pak Haji. Saya belum cukup untuk tahu diri seperti Pak Haji,” takut mengecewakandia.
“Setidaknya, aku tahu kamu telah pulang. Itu artinya kamu tak membiarkan rumahmu itu kosong. Biarpun rumah itu tua dan terlihat tak terurus yang penting ada penghuninya. Seperti juga surau ini apa gunanya dibangun megah bila tak ada santrinya.”

Kata ‘kosong’ Pak Haji mengganggu pikiranku. Sebagai orang yang tahu agama tentu yang ia maksud bukan cuma kosong tanpa penghuni, melainkan jiwa yang kosong. Barangkali rumah-rumah megah itu juga dihuni banyak orang, tapi mereka tidak benar-benar ada. Di rumah itu malam-malam bagi mereka hanya untuk tempat tidur. Ketenangan, kenyamanan dan hidup serba cukup mengakhiri problem mereka sebagai manusia. Tidak ada lagi yang dipersoalkan, diperbincangkan. Ada atau tidak ada bagi mereka adalah sama saja. Jadi sebetulnya mereka ini tidak sedang benar-benar ada. Dunia pun berjalan seperti biasa, tapi sesungguhnya tidak ada sesuatu yang bergerak. Mereka makan juga dalam keadaan diam. Bekerja pun tak ada yang peduli. Manusia ataukah binatang ternak juga tak ada yang cukup punya keberanian untuk Menyimpulkan.

“Ceritakanlah padaku mengapa kamu pulang, Nak?”

“Saya tidak yakin benar, apakah saya sesungguhnya telah pulang Pak Haji. Karena saya tak punya rumah lagi di sini. Rumah itu bukan hak saya dan telah jadi milik saudara-saudara saya,” kataku.

“Baiklah, mengapa engkau kembali?” desak Haji Sinto.

“Karena ternyata yang saya cari tidak jauh dari tempat saya berdiri sekarang, Pak Haji.”

“Kamu belum jawab pertanyaanku, tentang kembali Nak.”

“Oh, soal itu. Saya sendiri tidak yakin apakah di sini adalah tempatku yang terakhir. Kapan saja, saya bisa tiba-tiba pergi kemana saja, Pak Haji.”

“Baiklah. Sekarang apa yang kamu cari ditempat ini. Setidaknya untuk hari ini?”

“Seperti juga apa yang Pak Haji cari selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun di tempat ini dengan mendirikan surau ini,” jawabku.

“Jadi sekarang kamu menyesal dengan kau tunjukkan kepulanganmu ini, Nak?”

“Tidak Pak Haji. Sama sekali tidak. Apalagi seperti yang saya katakan tadi, saya tidak yakin diri saya telah pulang.”

“Lalu apa artinya ini semua?”

“Selama mengembara saya telah banyak singgah di pelbagai kota, bangunan dan rumah, mencari kawan, sahabat atau saudara. Tapi semakin jauh pengembaraan saya, semakin aneh lantaran tak seorangpun saya temukan itu yang saya cari. Saya justru mengundang banyak lawan dan musuh. Saya seperti hidup sendiri di dunia ini. Saya seperti batu yang berguling-guling di dasar kali tapi tak mengenal dan tak dikenal satu sama lain di planet ini. Pekerjaan saya sehari-hari hanyalah membersihkan diri dari perbuatan dosa yang jumlahnya ternyata berlipat ganda. Baru kemudian saya menyadari dalam pengembaraan saya, bahwa persinggahan yang sesungguhnya, di tempat yang bersih tanpa noda, terang dengan cahaya dan sejuk serta nyaman untuk istirah justru ada dalam diri saya sendiri. Tak seorang pun yang boleh berlama-lama singgah di tempat saya ini yang jauh dari hiruk pikuk kemabukan zaman. Kecuali bagi yang sangat kucintai dan kukasihi. Karena itulah, jujur saja saya akui Pak Haji. Saya sendiri tak tahu mengapa pada akhirnya pengembaraanku sampai di tempat ini dan kembali bertemu Pak Haji,” kataku.

“Kalau boleh kutahu, apa rencanamu sekarang, Nak?”

“Saya tidak tahu Pak Haji. Tepatnya saya tidak punya keberanian untuk membuat Rencana-rencana, karena sesungguhnya dalam diriku telah ada kekuatan yang menggerakkan tubuh dan jiwaku dengan sendirinya. Aku sangat takut kepadanya dan aku takut mengecewakannya.”

“Katakan saja, aku yakin kamu tak akan mengecewakannya.”

“Betulkah? Maukah Pak Haji menjadi jaminanku untuknya?”

Haji Sinto mengangguk.

“Saya ingin membeli beberapa ekor kambing dan jadi penggembala untuknya.”

“Oh, semoga aku tak salah dengar. Itu keinginanku yang berpuluh-puluh tahun tak pernah terwujud, Nak.”[]


Kampung Istana Kediri, 2009-2010