NURJANAH
Cerpen S.JAI
(Radar Surabaya, Minggu 24 Oktober 2010)
SETELAH sembilan tahun berlalu, Trisna mengutarakan rasa rindunya yang mendalam pada orang-orang yang pernah dia cintai dan mencintai dirinya. Hal itu diungkapkan pada istrinya di suatu pagi yang cerah, di emperan rumahnya yang hanya terhalang pohon sirsak dari pandang mentari.
“Semalam terbawa dalam mimpi. Aku berjumpa dengan bapak, nenek dan kakek. Aku rindu betul dengan mereka,” ucapnya tanpa mengubah arah pandangnya pada matahari pagi.
“Syukurlah, itu artinya karena Mas telah lama tidak menziarahi mereka,” bisik istrinya.
Suaminya memejamkan matanya kuat-kuat, sebelum akhirnya mengangguk dan menitikkan beberapa butir airmata.
“Kerinduan yang banyak dirasa orang baik menjelang lebaran seperti ini. Lebaran nanti kita telah tahu apa yang harus kita lakukan, bukan?” Sang istri mempertontonkan kebahagiaannya bersuamikan Trisna.
“Sekarang rindu itu berbeda sekali rasanya, dibandingkan waktu sebelumnya.”
“Aku mengerti, Mas,” dipeluknya Trisna kuat-kuat.
“Apakah kau mengerti pula apa arti airmata suamimu ini?”
Nurjanah diam sejenak. Tatap matanya yang dalam mencoba memberi jawab tanpa keraguan—mata yang kemudian diharapkannya dimiliki pula sejak matahati hingga ujung jemarinya saat menyentuh bagian-bagian tubuh suaminya.
Pagi itu, seperti hari-hari sebelumnya sejak beberapa bulan terakhir ini, Trisna senantiasa berjemur di bawah kemilau cahaya mentari. Ditatapnya cahaya itu, sambil menikmati burung-burung prenjak yang tak lagi membawa nujum pasti. Burung-burung itu melompat dari ranting-ranting pohon mangga hinggap di antena TV yang tak lagi berguna. Trisna menghangatkan tubuhnya, sendiri tanpa ditemani secangkir teh pun.
Ya, dokter telah tak mengizinkan sembarang makanan dan minuman mendampingi hari-hari Trisna. Satu-satunya teman setianya adalah istrinya, Nurjanah, bila selepas mengantar seorang putrinya yang berusia 8 tahun pergi ke sekolah, ia sempatkan sejenak menghampiri suaminya. Itupun jika Trisna mau. Seringkali dia ingin menyendiri, dan Nurjanah memahami keinginan suaminya untuk merenungi diri.
Bila itu terjadi, Nurjanah hanya bisa mengintip dari balik korden apa yang dilakukan Trisna. Saat Trisna menatap lama sekali cahaya mentari, mengunduh hangat dan kemilau itu ke dalam matanya. Bila dirasa cukup ia pun lantas memejamkan pelupuknya lalu menderailah airmatanya. Dari balik tirai, berderai pula airmata Nurjanah.
Peristiwa seperti itu, bagiku, seorang istri yang kerab dilibatkan perasaanku oleh Nurjanah, bagai puisi. Aku teringat salah sebuah puisi Dua Sejoli, Subagio Sastrowardoyo pada bait-bait:..tetapi kalau kebetulan berlintasan pandangan, dengan tidak sadar mengalir airmata di pipi.” Sayangnya, ini bukan puisi. Ini kenyataan dan betapa kejamnya aku membandingkan pahit getir keluarga itu dengan puisi.
Jelas saja sungguh beda antar keduanya. Puisi itu mengisahkan dunia batin sepasang suami-istri yang telah menua. Pada keluarga itu, airmata sejoli yang masih belia karena baru sembilan tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Walaupun sejujurnya, penderitaannya sulit untuk dikisahkan sekalipun dengan kekejaman yang ada di lubuk terdalam jiwaku. Sebab itu, hanyalah pikiran orang yang kurang kerjaan membandingkan hibuk duka keluarga itu dengan metafora.
Sebetulnya, kekejaman itu hanya untuk diriku sendiri. Sementara pada Nurjanah, sesama seorang istri, aku hanyalah iri padanya. Aku iri pada kekuatan hati seorang istri, yang hanya diberikan cobaan padanya bagi yang bersitahan dan mampu saja.
“Jadi, maafkan aku Nurjanah. Jikapun airmataku turut berderai melihat suamimu menatap kemilau cahaya mentari itu oleh karena tidak ada yang bisa saya lakukan untukmu, keluargamu, terlebih suamimu. Airmata itu datang dari hati seorang istri yang hancur berkeping, melihat keluargamu dicintai oleh yang maha hidup,” suaraku tersendat dalam mikrofon telepon selularku.
“Ngomong apa kamu ini, Mbak Kholifah,” tukas Nurjanah.
“Andai Tuhan memberiku cobaan sepertimu, pasti aku…”
“Aih..aih…Dulu kau yang mengajari aku tentang kekuatan cinta dan ketabahan seorang istri, kenapa tiba-tiba kamu jadi sentimentil begini sih?” Nurjanah balik membombardir.
“Ah…sudahlah. Aku cuma bicara tentang diriku sendiri, kok. Maafkan, aku tidak bermaksud membebani pikiranmu.”
“Aku masih ingat, hanya kamu diantara teman-teman kita dulu yang menakar agar aku mau menjadi istri Trisna, hingga kau menimbang mengapa orangtua kekasihku itu memberinya nama Trisna—nama yang bukan sembarang orang ngerti artinya kecuali bagi makhluk yang dibukakan pintu hatinya dari cahaya. ”
Serbuan Nurjanah membuatku mati kutu.
“Aku pun merasa belum mengerti artinya, Nur.”
“Apakah kamu kira kami sudah mengerti?”
Tidak ada jawaban kecuali pemandangan keluarga itu yang saban pagi mandi cahaya.
Bukan cuma itu. Sudah beberapa bulan terakhir ini, halaman rumah keluarga itu dibersihkan dari rerimbunan tumbuhan yang jadi penghalang masuknya cahaya matahari ke dalam ruangan. Banyak batang ditumbangkan hanya menyisakan beberapa pohon sirsak, mangga di belakang rumah dan jambu biji terbaik untuk putrinya bila trombosit darahnya merendah.
Di dalam rumah keluarga itu, seluruh ruangan utamanya kamar-kamar, lampu listrik diganti yang benar benar benderang, lampu mercury berdaya tinggi, meskipun telah tahu bahaya bahan kimia mercury bagi pencemaran udara yang merusak kesehatan. Terlebih bila bola-bola lampu itu pecah dan serbuknya dibiarkan bebas menari di sekitar hidung kita. Sepanjang hari lampu itu musti menyala, terkecuali manakala listrik padam. Bahkan pada siang hari. Tak lain karena keluarga itu sungguh merindukan cahaya. Sulit kubayangkan betapa hancur jiwanya saat sekarang listrik seringkali padam. Sulit juga kubayangkan bagaimana dahulu Nurjanah menerapi diri karena takut pada listrik, menyusul putrinya yang pernah memegang arus listrik oleh karena keteledorannya. Listrik juga menumbuhkan firasat dalam dirinya perihal masa depan keluarganya yang gelap, saat tepat akad pernikahannya lampu-lampu padam. Begitu pula ketika upacara tujuh bulan putrinya cukup hanya di bawah lampu minyak karena tanpa sebab arus listrik pun lenyap.
Akan tetapi ini soal kerinduan pada cahaya, bukan masalah listrik. Atau lebih tepatnya keinginan Trisna untuk melihat bayang-bayang dari balik cahaya itu. Bayang-bayang yang diharapkannya bisa jatuh pada matanya agar kemudian ia bisa bercerita tentang kehidupan kepada dirinya sendiri, perasaannya, hatinya, jiwanya. Tak lain agar Trisna tak malu pada diri sendiri, pada namanya sendiri tatkala bertutur kisah perihal katrisnan, cinta pada hidup dan mati.
“Jangan pernah bicara soal mati, Sayangku,” tutur Nur suatu ketika.
“Aha...yang realistis saja, Nurjanah. Kalau sudah hidup yang kita harus pertimbangkan ya soal mati, bukan? Harus jujur kita akui pada saat inilah episode sisa hidup kita, Istriku, menuju...” cetus Trisna.
“Kenapa tiba-tiba kau bicara begitu, suamiku. Berbulan-bulan kubangkitkan semangat hidupku sebagai istri mendampingi suami yang dirundung musibah. Kata-katamu seperti itu tidak saja meluluhlantakkan harapanmu tetapi juga padaku, pada keluarga kita. Pikirkanlah baik-baik. Tidakkah kita bercermin pada gairah hidup anak kita, Mas Trisna?”
Mendengar Nurjanah menyebut putri mereka, wajar bila malah melumpuhkan segala rasa Trisna. Anak, tentu saja tembok terakhir pertahanan cinta pada hidup. Kelucuannya, keluguannya, bening matanya, senyumnya, keceriaannya, keingintahuannya, gelegar jiwanya juga kelembutannya sanggup mengukuhkan tiang-tiang kasih sayang. Semakin lembut anak itu, kian kokohlah bangunan sebuah rumah tangga.
“Rupanya engkau telah tahu keadaan isi ruang batinku, Istriku. Bahwa bagiku anak adalah cahayaku yang lain selain engkau. Tentu kau telah tahu sejak lama, itulah titik kelemahanku, tetapi aku sendiri baru menyadari belakang hari akan hal itu sejak aku mulai kehilangan penglihatanku justru di usia semuda ini. Oh.. mengapakah jiwaku baru pulang sekarang? Lalu kemanakah jiwaku pergi selama ini? Ooh...ya Tuhan,” betapa setiap langkah juga jalan pikiran Trisna demikian sumir dekat dengan penyesalan.
“Kau tidak sendiri, Mas. Jangan cemas. Kau bisa jadikan aku matamu,” bisik Nurjanah begitu dekat di telinga suaminya.
***
ADAKAH yang lebih tinggi dari angka sembilan?
Pertanyaan itu sering bergelanyut di dalam rongga mata Trisna segelap bayang-bayang yang diharapkannya jatuh pada dinding retinanya. Pertanyaan tanpa jawaban pasti yang sering dilayangkan pada istrinya dan kemudian kerap hinggap pada benakku setelah berkali-kali dilemparkannya ke para tetangga. Lalu mereka pun saling berbicara pada dirinya sendiri, di antara anggota keluarga mereka sendiri perihal sosok angka sembilan.
“Aku sendiri tidak tahu ada rahasia apa di balik ini semua yang hendak dipecahkan oleh Tuhan. Dimanakah berdiri takdir di atas angka sembilan bagi keluargaku? Mengapakah berturut-turut keluargaku dirundung malang selepas meninggalkan angka sembilan? Aku tahu sesudah angka sembilan adalah nol, apakah ini artinya seluruh kehidupanku harus bermula lagi dari nol? Jawab pertanyaanku sahabatku?” dalam sebuah perjumpaan sesama istri, Nurjanah menghujani pertanyaan padaku.
Pikiranku bagai tanah kering—senang mendapat hujan, tapi tidak tahu hendak memberi apa padanya. Kukira, Nurjanah tak lagi membutuhkan nasehat apalagi puisi. Dia sekadar ingin memuntahkan gelegak ombak yang dikatakannya padaku. Sementara ujung tertinggi lidah ombak kata-katanya disentuh-sentuhkan pada hati siapa saja. Juga pada hatinya sendiri yang berjarak dengan pikirannya, dengan jiwanya, berjarak dengan laku tubuhnya yang penuh derita.
Sejujurnya kendati kami telah lama bersahabat, kini saya lebih suka menikmati tarian burung kenari di sangkar milik tetangga—hiburan baruku dari jerat kesuntukan hariku—ketimbang soal timbang saran hidup keluarga sahabatku itu.
“Apakah masih pantas bagiku memintamu untuk berdoa?” sahutku setelah lama kutimbang-timbang..
“Bicaralah, apa saja, Mbak Kholifah.”
Terang permintaan Nurjanah membuatku makin hancur lebur.
“Apapun nasehatku adalah buah dari rasa kasihanku padamu, suami dan juga keluargamu, Nurjanah. Perasaan yang selama ini tak pernah terjadi padaku karena kondisi ekonomi keluargakulah selama ini yang telah kau kasihani. Setiap bantuanmu kuartikan demikian selama ini dan maafkan aku kalau keliru. Tapi sekarang? Kamu tidak sedang berhadapan dengan orang, apalagi dokter atau paranormal dan ahli nujum. Kau berhadapan dengan takdirmu, langsung dengan Tuhan. Apalah aku ini? Karena itu di depanku sebetulnya yang kau butuhkan hanyalah memuntahkan ceritamu dan aku mendengar semuanya sambil menikmati kemunafikanku karena hanya kasihan padamu, Nurjanah.”
Kukuatkan betul batinku berkata demikian pada Nurjanah lebih dari sebagai sekadar sesama istri. Semakin bergelora muntahan katanya, semakin pula diayun-ayun tubuh dan perasaanku bagai berkendara kora-kora di dunia fantasi tapi nyata. Kujaga diriku menerima segala beban luka sahabatku itu dengan menundukkan penglihatanku pada kerasnya batu. Kubawa anganku pada tegarnya pohon trembesi. Kususun segala puisi ini tak lain hanya untuk diriku sendiri menjaga kemunafikanku.
Sementara tak ada sesuatu pun bisa kuberikan pada Nurjanah dan keluarganya. Sejujurnya harus kukatakan, bahkan untuk mendengar jeritan luka hati Nurjanah saja aku sudah kehabisan cara. Aku sudah lama membenci Tuhan. Salah caraku mendengar serbuan keluh kesah Nurjanah bisa kian memupuk amarah dan dendamku pada Tuhan. Karena itu tak ada lagi pretensi apapun padaku atas segala gundah dan resah kisah Nurjanah.
Wahai Nurjanah bertuturlah sekalipun dengan sumpah serapah!
Maka Nurjanah pun bercerita dengan isak tangis.
Bagiku hampir tiada beda antar keduanya: kisah dan derai airmatanya.
“Saudara-saudara, sembilan tahun kami hidup bahagia. Bahkan sangat bahagia. Meskipun pernikahan kami dibanjiri cucuran airmata sanak keluarga, tanpa undangan dan pesta oleh karena dua minggu sebelumnya ayah kami tercinta dipanggil oleh yang maha kuasa. Belum lelah kami berduka, seminggu sebelum upacara akad nikah, nenek kami menyusul ke alam baka. Betapa bisa anda bayangkan bagaimana rasa bahagia yang berdiri di pondasi mahaduka?
“Ya, sembilan tahun kami hidup bahagia. Bahkan sangat bahagia. Gaji suami saya boleh dikata berlebih tanpa korupsi. Rumah mewah, mobil ada, makan berlimpah, rekreasi bisa kemana-mana, motor tiga, kulkas dengan seperangkat minuman bersoda. Bahkan kamipun sebetulnya telah lupa bahwa tengah berbahagia. Sebagaimana kami melupakan telah ada jaminan surga karena kebiasan membantu orang lain yang kesusahan karena meringankan beban orang miskin bagi kami adalah kebiasaan. Kebahagian itu baru kami rasa tatkala bagi kami dunia ini seperti jeruk purut yang cepat beringsut.
“Ya, sesuatu memang pernah kami punya sembilan tahun lamanya. Juga keindahan di atas dunia yang telah terlupakan bagaimana menikmatinya bagi kami—suamiku tercinta, putriku dan keluargaku tercinta. Sebagaimana saudara-saudara ketahui sekarang, suami saya tercinta, Mas Trisna, kedua matanya telah buta selepas divonis dokter mengalami gagal ginjal stadium lima lalu cuci darah seminggu dua kali dan menyebabkan tensi darahnya menyerang saraf matanya. Kami meninggalkan rumah kami, suami saya dipindah pekerjaannya, putri kami berpindah sekolah. Kami pun sudah tak memiliki apa-apa dan tak punya keinginan suatu apapun. Yang dibutuhkan suami saya hanyalah cahaya untuk menangkap kelebat bayang istri dan anaknya.
“Kami sudah hampir putus asa. Kami hanya membutuhkan doa dari saudara-saudara. Karena hanya doalah yang saya yakin bisa menyelamatkan kami dari kesombongan dan dari dua pilihan antara hidup dan mati—keadaan yang belakangan ini sering terjadi pada istri-istri yang mengajak mati anak-anaknya bagai hendak rekreasi berdandan rapi dengan minyak wangi. Kami sudah hampir putus asa. Ketika suami saya menyatakan rindu dan bermimpi berjumpa mendiang bapaknya saya bayangkan itu tak lain kerinduan pada kematiannya. Hanya doa dari saudara-saudara pulalah kami ingin mimpi itu tak lain waskita yang menerbitkan rindu untuk ziarah pada mendiang orang-orang yang pernah dicintai dan mencintai kami. Maafkanlah, kami mengundang saudara-saudara sekalian karena memohon dengan sangat atas kesediaan, kerelaan dan keiklasannya mendoakan keselamatan suami dan keluarga kami. Hanya itu.”
Semenjak Nurjanah menuturkan kisahnya di hadapan orang-orang kampung, mereka tidak saja memberikan apa yang diminta: doa. Tetapi juga lampu-lampu rumah mereka dipasang dengan daya tinggi supaya terang cahayanya. Siapa tahu Trisna hendak bertamu ke rumah mereka? Orang kampung tak pernah ragu, juga tak pernah percaya slogan dari perusahaan listrik negara agar berhemat di rumah sementara banyak pencurian listrik di kediaman orang-orang kaya dan pabrik-pabrik konglomerat yang rajin mengajarkan hidup sederhana.
Orang-orang kampung tak ingin kehilangan kesempatan untuk menikmati keindahan dunia dengan benderang bagai hari raya sepanjang masa karena seorang suci telah mengajarkan: lampu-lampu itu berbeda, tapi cahayanya sama, datang dari sumber yang sama.
***
SELEPAS senja dan di tempat yang sama matahari memanggang rerontokan pohon jati, kini bulan yang sempurna bertengger di ranting akasia. Di balik bunyi jangkrik, Nurjanah mengisahkan dongeng-dongeng kepada putrinya tentang Candra Kirana, Timun Mas dan Ande-Ande Lumut yang menyeberang sungai tepat saat purnama menebar cahayanya dengan kemurahannya.
“…Penduduk pun menjadi kaya raya dan sejahtera. Karena sungai itu mengalirkan cahaya emas dan keperakan yang melimpah, sayang,” tutur Nurjanah.
Rosa, sang putrinya itu pun takjub mendengar cerita. Matanya bersinar terang.
“Sekarang giliran Rosa, dong! Katakan pada Mama dan Papa tadi di sekolah disuruh cerita apa oleh Bu Guru?” pinta Nurjanah.
“Rosa disuruh menggambar, Mama.”
“Oya? Rosa menggambar apa?”
“Menggambar bulan, bintang dan kunang-kunang, Mama.”
“Adik tidak takut dengan kunang-kunang?” cetus Trisna.
“Tidak, Pa. Kunang-kunangnya baik sekali. Rosa selalu ditemaninya jalan-jalan menangkap bintang. Bintangnya buayyaaaakkkkk…. Mengambang di langit yang biruuuu…. Kalau besar Rosa mau ambil beberapa untuk Mama dan Papa. Oya, Ma, ada pesawat terbang yang lewat juga. Lampunya seperti bintang berjalan, Ma, Pa.”
Rosa bergairah sekali mengisahkannya. Matanya turut berbinar-binar. Demikian juga dengan binar mata Trisna. Binar yang membayang hitam di batinnya. []
Lamongan, 4 September 2010