Rabu, 06 Oktober 2010

esai

Seluruh Kampus Melanggar Perda Rokok
Oleh S. JAI*)

(Jawa Pos, Rabu 6 Oktober 2010)


BANYAK regulasi dibuat eksekutif bersama legislatif berakhir hanya di atas kertas. Sementara implementasinya nihil, sebelum akhirnya abai dan dilupakan. Tak terkecuali terjadi pada Perda No 5 Tahun 2008 Kawasan Tanpa Rokok dan Terbatas Merokok (KTR-KTM).

Didorong karena tak ingin “macan kertas” terjadi pada Perda KTR-KTM, CeRCS (Center for Relegious and Community Studies) serius melakukan kegiatan monitoring, guna memastikan implementasi perda itu berjalan baik dan meningkatkan kualitas para pihak.

Lantas dilakukanlah serangkaian survey. Survey pertama 12 Oktober 2009 lalu dengan mendata pra-implementasi perda di 135 lokasi KTR/KTM di Surabaya. Survey kedua Maret 2010 CeRCS mewancarai langsung 500 warga Surabaya serta terkait kesiapan infrastruktur Perda dengan mengamati langsung 129 KTR/KTM.

Paling mutakhir, 23-26 Agustus lalu CeRCS memantau 20 Perguruan Tinggi di Surabaya sebagai KTR. Belum lagi selaku anggota Tim Pemantau Perda KTR-KTM CeRCS juga terlibat aktif melakukan monitoring setiap bulan bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah, Dinas unsure masyarakat, kalangan kampus.

Dari waktu ke waktu monitoring selalu membawa hasil yang mengejutkan. Pada survey pertama, sebanyak 90 persen instansi pemerintah belum siap mengimplementasikan perda dibanding swasta. Kejutan berikutnya pada survey kedua, 87,4 persen setuju perda itu ditegakkan secara sungguh-sungguh. Tetapi 83,6 persen warga Surabaya juga menyatakan tidak pernah melihat Petugas/Satpol PP menegur orang yang merokok di area “Dilarang Merokok.” Hasil lain yang penting kiranya untuk ditindaklanjuti adalah betapa warga menilai pada angkutan umumlah (74,7 persen) kendala terbesar implementasi perda.

Pertanyaannya sudahkah hal itu semua sebagai bagian penting dari implementasi perda?

Kini, kiranya ada fakta terbaru yang tak kalah mengejutkannya. Bahwa dari pemantauan terakhir yang dilakukan CeRCS di kawasan Perguruan Tinggi di Surabaya, catatan CRCS menunjukkan angka ekstrem. Hampir semua kampus dari 20 perguruan tinggi yang dipantau, bisa dikategorikan melanggar perda KTR-KTM. Pelbagai bentuk pelanggaran itu meliputi pelanggaran atas adanya iklan rokok, masih terdapatnya kegiatan merokok, dan terkait dengan ada tidaknya tanda larangan merokok.

Dari kegiatan Tim Pemantau, hasil pentingnya telah ada kesepakatan melakukan sidak di kawasan KTR-KTM sebulan sekali setiap tanggal 25, terbagi dalam beberapa tim. Sayang baru berjalan 3 kali sidak. Padalal mustinya dalam setahun masing-masing tim sidak dua kali.

Bagi CRCS sebagai NGO dengan professional boleh dikata tak ada kendala berarti selama proses monitoring. Justru kendala lebih banyak pada tindaklanjut dari terkait dengan evaluasi hasil-hasil monitoring tersebut.

Adapun beberapa kendala dan kelemahan dari beberapa kali mengikuti kegiatan tim pemantau yang tentu saja bisa menghambat kinerja dan berpengaruh pada kualitas implementasi perda.

Pertama soal kapabilitas personal tim pemantau. Masih banyak anggota tim pemantau yang tidak memahami isi maupun substansi perda. Pertanyaan-pertanyaan tentang isi perda masih sering muncul dalam rapat tim pemantau. Perlu ada semacam workshop untuk anggota tim pemantau.

Kedua soal strategi komunikasi dengan media. Mengingat gaung perda ini yang semakin lama semakin redup, kiranya perlu untuk meramaikan isu perda ini lagi. Sebaik apapun kinerja tim pemantau tidak akan mendapat apresiasi dari masyarakat jika tidak ada liputan media. Apresiasi bisa dalam bentuk kesiapan kawasan-kawasan yang termasuk dalam KTR & KTM dalam menunggu giliran dipantau.

Ketiga, soal anggaran. Sidak/pemantauan dan razia sebenarnya bisa ditingkatkan intensitasnya. Pernah ada wacana untuk melakukan sidak seminggu sekali. Akan tetapi wacana itu tidak dilaksanakan karena terganjal anggaran. Belum ada anggaran khusus untuk perda ini. Hal ini juga yang mendasari Satpol PP jarang melakukan razia. Ada usulan ( yang sudah ditetapkan sebagai keputusan rapat tim pemantau pada bulan juni lalu) untuk melakukan apa yang dinamakan”telaah staff”. Telaah staff yang dimaksud adalah meminjam uang kepada bagian keuangan atas usul dinkes ( hal ini didasarkan pada pengalaman SKPD lainnya) yang akan dibayar setelah anggaran untuk perda ini turun. Mungkin juga anggaran ini bisa diambil dari dana bagi hasil cukai, yang bisa dikategorikan sebagai sosialisasi bahaya rokok. Pada tanggal 12 Agustus rapat tim pemantau menyepakati untuk meminta penggunaan dana bagi hasil cukai tembakau ke Bapeko. Untuk sosialisasi perda. Lagi-lagi hasilnya nihil. Pengajuan permintaan anggaran untuk menggunakan dana bagi hasil cukai semestinya dilakukan di awal tahun anggaran ( sesuai prosedur penggunaan DBHCT).

Keempat soal database/pelaporan. Dalam perda disebutkan bahwa mekanisme pemberian sangsi dilakukan secera bertahap terutama untuk kawasan2 yang disebutkan didalam perda. Mulai dari peringatan pertama sampai pemberian sangsi denda atau kurungan. Sudah semestinya dibuat semacam database untuk mencatat kawasan-kawasan yang telah dipantau dan yang sudah diberi peringatan. Sehingga data ini nantinya bisa digunakan ketika ada pemantauan selanjutnya. Sehingga bisa ditentukan sangsi yang tepat ketika terjadi pelanggaran. Data ini bisa digunakan oleh siapapun yang termasuk didalam anggota tim pemantau dan juga satpoll ketika ada razia.

Kelima, soal keberadaan PPNS dalam setiap pemantauan. Keberadaan PPNS penting untuk melakukan penindakan jika terjadi pelanggaran pada waktu pemantauan. Mengingat anggota tim pemantau yang bukan PPNS tidak bisa melakukan penindakan ketika terjadi pelanggaran. Dalam pemantauan sebelumnya, tim-tim yang ada tidak semuanya menyertakan PPNS di dalamnya, hanya ada beberapa tim yang ada PPNSnya.

Terpenting dari kegiatan monitoring (dan juga evaluasi) ada potensi cukup positif ditegakkan. Masyarakat sangat mendukung, dan tinggal sikap pro aktif instansi penegak dan tim pengawas yang memang selama ini menjadi kendala utama. Terkait infrastruktur perda terutama di kawasan-kawasan instansi pemerintah, ada perkembangan menggembirakan. []


*) Penulis adalah Kepala Devisi Budaya Center for Relegious and Communtiy Studies (CeRCS) Surabaya.