Rabu, 22 Desember 2010

cerpen

Sirri

(Horison Online, Senin, 25 Oktober 2010 00:00 | Ditulis oleh S. Jai | )

MESKI kami, aku dan istriku tak yakin benar mana yang terjadi—apakah sebetulnya aku yang menyingkir ataukah diriku yang dipunggunggi—kenyataannya, kami yang diberkati tiga anak, sekarang hidup bahagia sekalipun jauh dari sempurna. Kebahagiaan kami nyungsang karena gempuran masalah ekonomi. Salah sebuah buntutnya, istriku sibuk bekerja dan kami jarang bercengkerama dalam suasana harmonis sebagaimana digambarkan iklan hunian Feni Rose di televisi swasta atau jaminan masa depan pada kartu pengangkatan pegawai negeri. Sejak menikah kami sering berpisah dan jarang berkumpul lebih dari waktu dua hari dalam sebulan.
Sepertinya hal itu bukan benar-benar jadi masalah. Seperti halnya kebiasaan, apalagi oleh cinta kami yang luar biasa, kesetiaan sungguh tak masuk akal. Begitulah waktu pun berlalu tanpa resah. Anak-anak senang, ibunya girang tanpa repot dengan posisi kami seperti itu. Sesekali memang pernah muncul pertanyaan di otak kami perihal cinta itu. Akan tetapi sebagaimana kami percaya, bahwa cinta mengalahkan segalanya kecuali cinta itu sendiri. Hingga di antara kami, aku, istriku dan anak-anakku tak pernah lagi bertanya perihal cinta itu lagi. Sampai kami berpisah, terpisah, atau takdir yang memisahkan kami. Istriku mencari jawab atas pertanyaannya sendiri, demikian halnya kusoal gebalau tanya perihal cinta itu sebagaimana milikku sendiri.

”Rahasia apakah seperti ini?” hanya dalam pikiranku.

Hari berganti seperti biasa, bulan bergeser dan tahun mengalun semenjak kami berkeluarga lebih duapuluh tahun lalu. Di atas kebiasaan itu pula, istriku tak pernah menaruh curiga ketika aku jatuh hati pada Rohana,—perempuan bermata teduh seperti telaga yang kusebut-sebut dalam suratku. Mata tajam istriku yang seperti elang tidak pula mencium hubungan istimewaku dengan pujaan hatiku yang baru, perempuan bermata bening bagai telaga. Betapa mata tajam istriku telah tersedot oleh kesibukan kerjanya sehari-hari. Ah, aku tak bermaksud menyalahkan istriku yang dengan segenap jiwa mengabdi pada hidup, pada keluarga dan pada takdirnya di dunia. Bahkan dua puluh tahun lalu, sebelum kukirim suratku untuk meledakkan segenap perasaanku pada perempuan bermata bening itu, terlebih dulu kutunjukkan pada istriku meski dalam kesempatan yang mepet.

Sebuah jawaban membuatku tercengang.

”Kau petik dari mana kata-kata seindah ini, Mas?” katanya.

”Kususun sendiri. Aku bermaksud membuat tulisan yang bagus hasil karanganku. Bagaimana menurutmu?” ucapku.

”Inspiratif,” jawaban yang tentu saja melegakanku.

Semenjak itu, setelah bertahun kemudian, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi padaku. Aku bukan saja jarang berkumpul dengan keluarga, istri dan anak-anak. Diam-diam aku sering melupakannya. Tepatnya, perpisahan kami ternyata lebih dari sekadar oleh sebab ruang waktu. Tapi juga ingatan. Istriku menjadi lebih sering absen dari ingatanku—tentang kebiasaannya, suaranya, kecantikannya, perhatian¬nya, mata tajamnya, juga suka dukanya, bahkan kepercayaannya pada sesuatu yang tak perlu diungkap dan disingkap—mungkin cinta itu sendiri.

Begitulah hidup kami, kukuh percaya pada betapa cinta sanggup mengalahkan segalanya, kecuali cinta itu sendiri. Kuakui, kami merasa kian terpisah, tapi tidak dengan cinta kami. Sebagaimana halnya, istriku tetap menyimpan kata-kata manis dalam muslihat surat itu menjadi bagian hidupnya yang tak pernah pula ia lupa.

***

”AKU terobsesi pada cinta tiga perempuan sepanjang hidup—perempuan bermata tajam seperti mata elang yang menjadi istriku, gadis bermata bening sebening telaga yang kini sebagai kekasih hatiku, dan kelak akan kuburu cinta perempuan buta agar bisa kulihat dunia dengan ketajaman matahati. Semua itu atas nama cinta, Rohana. Begitu pula cintaku padamu,” tulisku pada secarik kertas wangi yang kulayangkan pada kekasihku, perempuan bermata elang lebih duapuluh tahun lalu.

Sungguh di luar dugaanku bila ternyata setelah duapuluh tahun kemudian, Rohana masih menyimpannya untukku. Ini kejutan bagiku karena sebagaimana biasa, perempuan-perempuan yang mampir dalam hidupku kurasa hilang begitu saja—meninggalkanku.

Mungkinkah aku telah meninggalkannya juga? Ah, aku tak tahu persis jawabnya. Tidaklah penting apakah sebetulnya aku yang menying¬kir ataukah diriku yang dipunggunggi. Apapun, keduanya suatu per¬pisahan.

Kutulis surat itu, lebih duapuluh tahun lalu. Usiaku mulai beranjak tua ketika itu. Setidaknya, itulah perasaanku karena aku telah dipecat dari kantor tempat kerjaku di kawasan Kertajaya, Surabaya. Alasannya lantaran aku sudah tak lagi dianggap berguna. Daya kritis dan intuisiku dalam hal kepengarangan juga kian tumpul dan hambar sehingga tak ada lagi karya terbaik yang bisa kusajikan untuk pembaca. Syukurlah, seorang teman lama memberiku kesempatan untuk mem¬bantu mengurus galery art dan persewaan manekin ke butik-butik outlet musiman di Nginden. Inilah ketika itu satu-satunya yang menyemangati hidupku di usia menjelang tua—kerja untuk menghabiskan sisa waktu senja bila tiba waktunya. Tentu saja termasuk menghabiskan sisa cintaku yang tak jelas jluntrungnya—menyiksa hidup ataukah menyemangati gairah jiwaku. Hanya saja, kepada tuan dan puan pembaca, musti kukatakan bahwa Cintalah yang membuat gairah hidupku terus menyala berkobar. Bahkan bagiku hidupku untuk cinta. Hidup adalah perburuan atas nama cinta.

Ya, cinta yang membuatku merasa telah menghisap candu. Spirit hidup ini kubakar karena perburuanku atas nama cinta belum kelar hingga usiaku lebih berkepala lima ini dan terus menuju senja. Amboi, tentang perempuan bermata bening seperti telaga itu! Tentang kecantikan wanita yang buta matanya itu! Sementara usiaku kian merangkak di ujung senja saja.

***

SUATU ketika Rohana—gadis bermata bening yang belum lama kutemukan di belantara galaksi ini—kontan memuntahkan amarahnya padaku ketika ia memergokku sedang menggagahi manekin yang tak sengaja kurobohkan dari tempat pengunci sandarannya. Sementara amarahku oleh suatu sebab tak bisa lepas melihat reaksi Rohana. Amarahku sejujurnya malah kutumpahkan pada manekin berambut pirang sialan itu.

Sebetulnya, ini bermula dari kebiasaanku yang tak sampai hati melihat manekin-manekin itu telanjang tanpa busana. Sebelum kukeluarkan dari gudang, tubuhnya terlebih dulu kubungkus kaos dan rok sebelum akhirnya bisa leluasa dilihat orang. Kuakui sejujurnya, di usia senjaku ini, aku tidak sampai hati, ngeri dan bahkan mungkin sesuatu berkecamuk dalam diriku, bila tengah sendiri melihat, menyentuh, atau memindahkan manekin-manekin yang tanpa penutup badan keluar gudang.

Lantaran aku kehabisan kaos dan rok bekas, juga karena aku kekeringan ide, maka sore itu kupinjamkan sehelai rok milik Rohana untuk manekin sialan itu. Saat itulah Rohana tahu Manekin itu jatuh terlentang dan roknya tersingkap sehingga kedua pahanya terbuka. Aku yang berusaha membuatnya berdiri malah terjungkal dan menindih manekin itu. Rohana berpikir aku menyetubuhi manekin itu dan menuduhku tidak bermoral. Atau setidaknya, ia tersinggung berat karena aku memperkosa pikirannya—menyetubuhi boneka sialan itu dengan sengaja menyingkap rok milik Rohana. Dia pikir, akulah yang sebetulnya terobsesi dengan pikiranku sendiri untuk menyetubuhi Rohana, kekasih pujaan hati di usia senjaku ini.

Padahal harus jujur kuakui, menghadirkan pikiran seperti itu, dengan segenap cinta yang kupahami di usia senjaku ini, sungguh suatu siksaan. Justru Rohanalah yang menyulut pikiranku tentang persetubuhan itu.

Kukatakan padanya: ”Cinta dan persetubuhan itu sesuatu yang sungguh berbeda, Rohana. Kamulah, semenjak itu yang mengenalkan padaku, justru di usia senja ini, bahwa cintaku padamu telah menyeretku pada pikiran untuk bersetubuh denganmu. Aha! Betapa fantastisnya, sesosok tubuh tua yang memburu bayang-bayang cinta dari balik sorot mata ini manakala bercinta, bersetubuh dengan gadis belia bermata bening sepertimu, Rohana. Kamu berlebihan, sayang. Kamu ketakutan. Bagaimana bisa itu terjadi dan kau lestarikan di alam pikirmu, gadis muda. Cintaku tidak untuk menyusahkanmu, tidak untuk menyiksamu, juga tidak untuk menakut-nakutimu.”

Belum genap sebulan kami saling menyatakan cinta—antara lelaki tua dan gadis muda bermata bening seperti telaga itu--, lantas ia pun pergi entah ke mana. Tanpa kabar, tanpa kata, dan tanpa cerita, tanpa berita. Tapi aku tahu apa yang ditinggalkan Rohana: Dendam dan pikiran bahwa akulah biang dirinya yang tersiksa karena ungkapan rasa cinta yang tidak pada tempatnya. Salah tempat, keliru alamat, dan tidak tepat ruang waktu peristiwa. Semenjak itu kami saling pergi menjauh. Aku pergi dan ia juga pergi. Meskipun kami tidak saling bepergian jauh. Lebih tepatnya kami sama-sama sembunyi di balik hati, perasaan, ingatan kami sendiri-sendiri.

”Bersembunyi?”

”Bersembunyi dari apa, Kekasihku?”


***

MUNGKIN maksudmu kita menipu diri. Barangkali maksudku saling menyiksa diri. Karena itu, aku tergerak hati untuk menulis surat buatmu, semenjak peristiwa malam-malam kamu dengan nada keras membombardirku dengan amarahmu. Kau, pertontonkan sungguh sakit hatimu padaku, Rohana. Rasa-rasanya kita bertengkar hebat waktu itu dan kuakhiri karena aku sungguh tak sudi bertengkar denganmu.

Terpikir bagiku menulis surat panjang—entah secepatnya kukirim padamu atau perlu kusimpan dulu untuk waktu yang lama sebelum akhirnya perlu kaubaca. Maksudku, agak kau dan aku saat membacanya, sontak bersedih hati yang dalam, atau malah tertawa lebar melihat kegelian dan kelucuan kita, Rohana.

Jadi suratku itu, yang khusus kutujukan padamu, niscaya tak lekang oleh waktu. Ketika kupunguti dan kurangkai kata dalam surat itu, aku tercenung dalam dengan tuduhanmu ’tidak bermoral’ padaku. Mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi sudahlah, itu semata-mata kusimpan saja di lubuk jiwa bahwa betapa sulit memper-tanggungjawabkan perasaan-perasaan dengan kata-kata. Surat itu semula kumaksudkan sebagai semacam pledoi atas tuduhan itu. Selebihnya, terserah apa artinya ini buatmu dan bagiku.

Bukan hal yang muskil, aku tercenung dalam lebih karena peristiwa-peristiwa kedekatan kita saja. Sehingga bukan lantaran benar-benar karena tuduhanmu itu. Maksudku, bila aku diizinkan untuk kemudian bertengkar denganmu, bersilat lidah, saling melempar tuduhan, bukan tidak mungkin dari mulutku bakal keluar kata-kata bahwa kamu orang yang tidak konsisten jikapun aku tidak mengatakannya munafik.

Sesungguhnya, seringkali ini kusinggung ketika mengkritik dirimu, Rohana. Ya, mungkin aku sering mengkritikmu, sebenarnya berawal dari kegoncangan, kegamangan, dan keraguanku menerima seluruh atau sebagian dari isi jiwa serta pikiranmu. Akan tetapi, aku selalu berupaya untuk menempatkanmu agar punya kualitas hidup lebih baik (dan sudah barang tentu juga berlaku buatku). Karena itu, kemarahanmu, kelancanganmu saat menggampariku dengan kata-kata setajam silet pada malam-malam dan terkesan mengajak berperang itu pun, dalam pengertian ini, sangatlah terhormat—betapa kamu adalah orang yang sangat merasa bertanggungjawab bahkan terhadap diriku. Kamu, sangat peduli padaku, mencemaskanku dan tidak ingin ada hal buruk yang bakal menimpaku, keluarga, istri dan anak-anakku.

Sampai di sini, aku yakin benar, juga sebagaimana aku meyakini sebelumnya, kamu perempuan yang sangat mulia. Kupikir, kemarahanmu, kelancanganmu, bicara kasarmu itu hanya soal bahasa saja. Di balik itu, aku belum pernah bergeser dari titik bahwa aku sungguh mengagumimu—cintalah yang menyebabkanku berada di pusaran takdir seperti ini.

Biasanya, di luar perasaanku seperti itu, yang mengemuka bilamana ada duri dalam daging, adalah keheranan-keheranan. Semisal, dalam konteks tuduhanmu itu, aku heran bagaimana kalimat itu berulang kali kau layangkan padaku? Padahal dua jarimu yang kauacungkan pada hidungku itu menyisakan tiga jari lainnya yang mengarah dirimu sendiri. Maksudku, kau pun membicarakan diri sendiri dengan kata ’tidak bermoral’ yang kamu selipkan di dadaku, Rohana.

Jadi kalaupun benar aku tidak bermoral, bukankah melibatkanmu dalam hal ini? Ataukah jangan-jangan kita tak sedang berada di tempat dan alamat yang benar untuk memahami apakah moral itu? Banyak hal kupertanyakan padaku perihal kamu, bermula dari keheranan-keheranan seperti itu dan tidak juga terjawab setelah lebih duapuluh tahun lamanya, Rohana. Satu-satunya jalan sempit yang menggiringku ke lorong yang sedikit kumengerti adalah kata maaf dan hasratku untuk tidak akan lagi menyusahkanmu.

Karena itu terus kujaga pertanyaanku, agar senantiasa terpelihara dari pemahamanku atasmu sebagai makhluk yang misterius, Rohana. Manusia sebagai misteri. Hanya dengan demikian yang bisa menye¬lamatkanku dari kegelisahan yang kurang ajar dan subversif ini. Subversif karena betapa setiap kali berbincang denganmu, mencerna isi pikiran, hati dan perasaanmu, telah hampir menyentuh langit-langit dan puncak dari gebalau jiwa antara manusia dan mungkin bukan manusia—semacam alam cita yang diburu untuk dijangkau. Meski kusadari setiap yang kutanyakan terbukti hanyalah bagai pisau yang kubawa sendiri, kekasihku.

Telah kupetik sebutir trauma jiwa dari sorot matamu yang bening seperti telaga perawan, ketika mendadak sontak menyimpan rasa takut, gundah, gelisah. Marah. Takut karena menangkap perasaan cintaku yang rahasia. Ataukah gelisah akibat telah terjaring rasia rahasia kekuatan cintaku, Rohana? Aku lebih tersiksa melihatmu dalam pesakitan seperti itu, serba salah, gemetar, lungkrah dan yang pasti lemah—sesuatu yang belum pernah kusaksikan sebelumnya dan kini tak kusangsikan lagi. Sebab itu, hari ini, kusingkap rahasiaku sendiri atas kamu, Rohana. Bahwa aku tidak akan sudi lagi menyusahkanmu! Biarpun musti kutempuh dengan jalan menyiksa diri—suatu rahasia yang takkan pernah kubuka pada siapa pun di belantara galaksi ini.

***

HARI ini, duapuluh tahun lalu, kami telah saling pergi. Beberapa bulan kemudian, Rohana berkeluarga. Sebagaimana ia ceritakan, maskawinnya perpustakaan dengan ratusan koleksi buku yang salah satu bacaannya, pada novel itu, ia pakai pembatas secarik kertas surat pendek dariku. Entah di buku novel apa, dan tentang apa, dia telah lupa. Sementara, kini aku memulai perburuan baruku meraih bayang rahasia di balik mata buta. Sayang, usiaku kian senja dan belum juga kutangkap bayang itu. Anak-anak telah tumbuh dewasa. Damir, Makhfi, Zahra tak sampai hati melihatku, ayahnya, tua dalam perburuan di belantara semesta yang sepertinya tak pernah renta.

”Sudahlah ayah, istirahatlah. Berliburlah.”

Seperti biasa, anak-anak tak hanya pandai bicara. Diam-diam mereka telah menyiapkan tiket liburan khusus ke Bali. Bali. Bali. Menyeberangi pantai. Ah, sudah belasan tahun lalu terakhir kali aku ke sana. Ini waktu yang tepat untuk menggali lagi spirit gairah hidup lebih muda. Anak-anak tahu hal yang paling kusuka—menyeberang selat Ketapang-Gilimanuk untuk membuang segala nestapa ke laut.

”Sendiri? Bagaimana dengan ibumu?” rupanya ini kali pertama tulus kuingat istriku.

”Ya. Sendiri, Ayah. Sebetulnya ibulah yang meminta ayah pelesir.”

”Ah, ibumu, masih juga seperti dulu.”

”Ibu tak ingin menyusahkan ayah.”

”Dia berkata begitu?”

”Ya. Ibu juga melarangku menceritakan rahasia ini pada ayah.”

Entah atas nama apa, aku melupakan lagi istriku. Tidak juga aku berpikir. Namun demikian pastilah istriku tahu itu, bahwa satu-satunya yang ada di kepalaku adalah perempuan yang buta matanya. Aku menyeberang persis ketika matahari terbit dan semenjak itu terbit pula seluruh gairah mudaku kembali—cinta pada hidup, pada keindahan, pada kecantikan, pada perempuan.

Setelah belasan tahun pakansinya yang lalu, saat ini berlibur di sini, ternyata baru kutahu bahwa tempat yang paling kusuka adalah pantai. Selain, jalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan di Kuta. Di pantai aku leluasa melarung masa laluku. Sementara di jalanan, di sinilah timbul hasratku yang merasuk diam-diam dan tanpa kusadar menjadi bagian hidup di usia senjaku. Bagiku hal paling menarik perihal Bali selain keindahan alamnya, adalah manekin! Ada berjuta-juta manekin berkeliaran di depan mataku.

Satu di antaranya, perempuan menggamit novel yang pernah kuberikan pada Rohana—di dalamnya terselip kertas pembatas dari secarik suratku padanya. Sayang, aku sudah tak lagi bisa berpikir panjang. Satu-satunya yang ada di kenanganku adalah anak-anakku.

”Damir, Makhfi, Zahra, teruslah hidup. Merdeka!”

Sebutir logam pengunci di pinggangku terlepas. Aku nyaris terpelanting jatuh. Andai aku runtuh, pecah sudah seluruh tubuhku.[]

Surabaya 2009 - 2010